3 minute read
SANG MAHA GURU BASRI HASANUDDIN
Sebuah jargon yang sering kali ia sampaikan dalam rapat koordinasi.
Terhitung 9 November ini, Prof Basri Hasanuddin menginjak usia 83 tahun.
Advertisement
Siapa yang tak mengenalnya?
Namanya tak lagi asing di tanah air bahkan mancanegara. Sosok pria gagah, berkarisma, dan cerdas ini telah menduduki jabatan strategis di bidang akademik hingga pemerintahan.
Perjalanannya sebagai akademisi dimulai ketika ia mengungsi ke kota, saat daerah kelahirannya yang kini disebut Desa Pambusuang, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat terbakar pada 1956. Hijrahnya ini membuatnya memiliki akses memasuki dunia pendidikan hingga ke perguruan tinggi, bahkan
Rekam kariernya membekas ketika menjadi salah satu pelopor terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Dalam sejarahnya, pembentukan provinsi ini telah diperjuangkan sejak 1960, namun karena banyaknya kendala, usulan ini tidak disetujui pemerintah pusat. Usulan ini kemudian kembali menemukan momentum emas pasca gerakan reformasi pada 1999.
Perjuangan dengan kecintaan terhadap tanah kelahirannya kemudian membuahkan hasil, Provinsi Sulbar akhirnya resmi terbentuk pada 2004. Pencapaian ini membuat Prof Basri dipercaya sebagai penasihat pemerintah Sulbar pada era Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh hingga Gubernur Alibal Masdar periode lalu.
Tak hanya itu, Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) tidak dapat dipisahkan dari peran sosok Prof Basri Hasanuddin. Ide pendirian Unsulbar bersama saudara-saudara dan rekan-rekannya telah digagas sejak 2003 hingga berdiri pada 2007. Pendirian universitas ini juga menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Sulbar. Tak tanggungtanggung, ia kembali memperjuangkan Unsulbar hingga menjadi Perguruan Tinggi Negeri pada 2013.
Di Kampus Merah, Prof Basri pernah dipercaya menjadi Ketua Program Pengembangan Staf Unhas. Dari sinilah, ia mendorong banyak dosen Unhas untuk melanjutkan pendidikan hingga ke luar negeri.
Kemudian, saat menjadi Pembantu Rektor
I pada masa Rektor Prof Amiruddin, ia dinilai sangat handal memajukan universitas. Keunggulannya ini tergambar dalam caranya meningkatkan SDM, ia pandai melihat setiap potensi yang dimiliki seseorang. Hal ini diceritakan salah satu narasumber, Prof Saleh Pallu dalam buku Bundel Kisah untuk Sang Guru yang diterbitkan pada 2021 lalu. Ketika itu, Prof Saleh ditunjuk oleh Prof Basri menjadi penanggung jawab pembangunan fasilitas kolam renang dan jalan lingkar kampus.
Prof Basri meraih gelar doktornya di University of Philippines, Manila dengan predikat cumlaude. Setelah kembali dari Filipina dan mengajar lagi, ia menjadi salah satu dosen yang paling ditunggu oleh mahasiswa.
Kewibawaan, keramahan, dan kecerdasan yang dimilikinya menjadi kekuatan hingga terpilih menjadi presiden universitas (sebutan untuk rektor pada masa itu) selama dua periode 19891997. Selama menjadi Rektor Unhas, tak hanya menciptakan atmosfer akademis, ia juga banyak melakukan pengembangan kampus. Salah satunya, di masa kepemimpinannya dibangun Gedung Rektorat yang sebelumnya bertempat di Perpustakaan Unhas.
Tak lama setelah mengakhiri masa bakti sebagai Rektor Unhas, Prof Basri menerima telepon dari Presiden Keempat Republik
Indonesia, K H Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Pada 18 November 1999, melalui panggilan suara itu, ia diminta menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan (Menko Kesra dan Taskin) dalam Kabinet Persatuan.
Ketika itu, ia kerap mendampingi Wakil Presiden RI, Megawati Soekarno Putri, melakukan kunjungan-kunjungan di daerah konflik di Indonesia.
Dari kedekatannya inilah pada penghujung 2003, Megawati sebagai Presiden Kelima
RI memerintahkan Menteri Luar Negeri RI menetapkan Prof Basri Hasanuddin sebagai ujar Prof Basri sebagai candaan untuk Prof Mansjur Natsir yang juga merupakan seorang dokter gigi.
Duta Besar (Dubes) Negara Republik Islam Iran.
Selama menjadi Dubes di Iran, ia sering kali mengundang para pelajar dan mahasiswa yang melanjutkan pendidikan di sana untuk datang ke kedutaan atau kediaman Dubes yang berlokasi di Teheran. Hal ini dilakukan pada perayaan hari besar nasional atau hanya sekedar ajang silaturahmi. Berkatnya, rutinitas itu terus berlanjut hingga sekarang, meski Prof Basri tak lagi menjadi Dubes.
Pencapaian itu tak menjadikannya sosok yang melupakan almamater tempatnya memulai karir. Pada 2016-2019 ia kembali mengabdi di Kampus Merah sebagai Ketua Majelis Wali Amanat (MWA).
Pengalaman saat menjadi rekan Prof Basri di MWA diceritakan oleh Prof Mansjur Natsir dalam buku yang sama. Katanya, Prof Basri pernah menceritakan saat dirinya sakit gigi dan diantar dengan kawanan Mobil Voorijders ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) di Jakarta saat itu.
Selain humoris, banyak juga yang mengungkapkan Prof Basri pandai menyanyi, pidato, dan fasih dalam membaca Al-Qur’an. Tak heran, ia pernah berkhotbah pada Hari Raya Idul Fitri di masjid nasional negara RI atau dikenal Masjid Istiqlal Jakarta. Tak hanya aktif di lingkup kampus dan pemerintahan saja, Prof Basri juga pernah menjadi Ketua Korwil Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sulsel selama dua periode.
Sosoknya yang banyak andil untuk perubahan Unhas menjadikannya simbol universitas baik skala nasional maupun internasional. Kini pria berdarah Mandar ini menjadi Ketua Yayasan Al Markaz Al Islami Makassar.