3 minute read
Lontara Yusring, Harmonisasi Aksara Lontara dan Teknologi
Aksara Lontara merupakan satu dari 12 aksara khas yang ada di Indonesia. Aksara ini berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya berkembang dalam tradisi masyarakat Bugis, Mandar, dan Makassar.
Berawal dari kesadaran akan sulitnya akses menggunakan aksara L ontara secara digital, membuat Dr Yusring Sanusi Baso M App Ling berinisiatif untuk menciptakan perangkat lunak yang dapat memudahkan masyarakat, terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, dan siswa menggunakan huruf Lontara sebagai bagian dari teknologi.
Advertisement
Perangkat lunak yang dimaksud adalah aplikasi kibor untuk menulis aksara lontara pada perangkat digital. Selain untuk memudahkan penggunaan aksara Lontara, kibor tersebut juga dirancang agar pembaca dapat belajar membedakan huruf konsonan, aktif, sampai angka dalam Lontara. Aksara Lontara sendiri merupakan satu dari 12 aksara khas yang ada di Indonesia, aksara ini berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya berkembang dalam tradisi masyarakat Bugis, Mandar, dan Makassar. Berkaca dari situasi dewasa ini, globalisasi berdampak besar terhadap pudarnya aksara dan bahasa tradisional. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi dan revolusi informatika yang mendorong perubahan dalam tatanan manusia.
Dosen Sastra Arab ini melihat bahwa semakin mudahnya dunia maya dan internet diakses oleh masyarakat, maka akan memperbesar kemungkinan kepunahan bahasa-bahasa daerah.
Perkembangan teknologi hanya salah satu alasan, berbagai fenomena seperti pernikahan antar suku, fluktuasi ekonomi, dan migrasi telah mempengaruhi perubahan tatanan bahasa secara lisan. Penggunaan Bahasa Nasional pun juga jadi pemicu walaupun hal tersebut tak dapat dihindarkan.
Selain itu, tulisan Lontara yang susah dibaca juga jadi pemicu utama, di mana bentuknya adalah silabel sehingga membuat orang lelah berpikir. Yusring bercerita, 2006 silam saat masih Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) tampil di Hotel Clarion dan berbicara seputar Kebugisan dan Kemakassaran. Ia mengatakan bahwa dirinya pun kesulitan membaca Lontara.
“Kebanyakan orang lelah dan jenuh mempelajari aksara Lontara karena tidak diketahui yang mana konsonan atau vokal. Jadi umumnya masyarakat akan kesulitan membedakan yang mana huruf mati atau yang lainnya,” ungkap Yusring saat ditemui di ruangannya di Lantai Dasar Perpustakaan Unhas pada Selasa, (15/11).
Setelah menempuh kuliahnya di Australia awal 2000-an, Yusring lalu membuat kibor aksara Lontara yang dapat digunakan di Windows dan Linux. Aplikasi itu awalnya diberi nama Lontara Unhas, namun kemudian diganti menjadi Lontara Yusring pada 2008.
Pria 52 tahun itu mengawali penggarapan aplikasi dengan membuat aksara Lontara angka pada 2007 lalu, dari bilangan 0 sampai
10. “Saya memulai dengan membuat angka karena aksara Lontara yang ada kala itu tidak memiliki angka,”ujarnya.
Dalam merumuskan angka Lontara, lambang bilangan didasarkan pada sulapa eppa yang merupakan filosofi dasar dalam pembuatan aksara Lontara. Filosofi tersebut diambil dari model walasuji sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat.
Selain itu, agar huruf konsonan mati mudah dibedakan, ia juga menambahkan titik dalam kibor Lontaranya. Ia mengungkapkan bahwa penambahan penanda konsonan dalam hal ini tidak akan merubah arti, justru lebih membantu sebagai tanda baca. Ia menambahkan, pada awalnya aksara Arab juga tidak mengenal titik dan harakat. Awal mula kemunculannya karena mengalami perkembangan zaman dan lebih mudah untuk dipelajari.
Tantangan yang dihadapi dalam membuat aplikasi pertamanya ini yakni aksara tersebut harus disesuaikan dengan model angka yang simetris, sedangkan konsep filosofi aksara lontara sendiri bentuknya tidak simetris. Tidak hanya itu, dalam penggarapannya, pembuatan aplikasi ini sempat dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Namun, Yusring tetap optimis.
Sebelumnya, font Lontara juga telah dikembangkan oleh Barbara Friberg pada 1994 di komputer jenis IBM-PC lalu dilanjutkan dengan pembuatan font Lontar21. Di tahun yang sama, Andi Mallarangeng juga mengembangkan font BugisA.
Namun, dua font tersebut masih memiliki kekurangan. Walaupun dapat dijalankan dalam Microsoft Office Word, bentuk angka pasti tidak tersedia, bahkan huruf juga terkadang tidak terdefinisi sehingga aksara berubah menjadi kotak atau error.
Terus terang ia mengatakan bahwa aplikasi ini adalah penyempurnaan dari pengembangan Barbara, yang juga adalah guru dan pembimbing dari Yusring sendiri. Ia menciptakan perangkat lunak ini dalam bentuk kibor yang disesuaikan dengan model desain QWERTY.
Untuk menggunakannya, pertamatama mengunduh aplikasi kibor seperti Google Keyboard di Playstore, kemudian menambahkan aksara Lontara pada aksara yang tersedia.
Pada laptop, laman untuk mengaksesnya pun dapat ditemukan di aksaradinusanara.com dan dapat digunakan untuk mengetik dokumen.
Sampai saat ini, kibor buatan Yusring ini telah menarik minat pemerhati aksara internasional dari negara Jepang dan Singapura. Meskipun begitu, Yusring tidak pernah berniat untuk menggaet keuntungan dari perangkat lunak yang dibuatnya. Jadi, kibor ini dapat digunakan secara gratis.
Yusring berharap melalui kibor yang dibuatnya, masyarakat dapat lebih mudah ikut melestarikan aksara dan bahasa daerah. “Saya menciptakan aplikasi ini karena saya ingin generasi muda menggunakannya di tengah gempuran teknologi,” pungkas Yusring.
Oktafialni Rumengan