3 minute read

FOOD LOSS ATASI DENGAN

Next Article
DAPUR REDAKSI

DAPUR REDAKSI

Kemasan Cerdas

Ramah Lingkungan

Advertisement

Saat ini, food loss menjadi isu penting di seluruh dunia. Food loss atau sampah makanan merupakan sampah yang berasal dari bahan pangan. Sampah ini juga akibat dari penurunan mutu bahan pangan yang tidak digunakan dan hanya menjadi limbah. Mirisnya, Indonesia merupakan salah satu penyumbang sampah makanan terbesar di antara negara ASEAN. Mengacu pada data yang dihimpun oleh

Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional 2021, angka food loss and food waste di Indonesia mencapai 115 kg per kapita tiap tahunnya. Dampak dari food loss tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga berdampak bagi ekonomi. Salah satu komoditi paling banyak berakhir menjadi food loss adalah daging. Kerugian food loss komoditi daging menginjak 10 triliun rupiah per tahun atau mencakup 30 persen dari food loss yang yang ada.

Secara umum, food loss dihasilkan pada rantai pasok mulai dari tahap produksi hingga pengemasan. Daging merupakan salah satu komoditi yang menjadi penyumbang food loss terbesar setelah sayuran dan buah-buahan. Sifatnya yang mudah rusak (high perishabel) membuat daging memiliki umur simpan relatif singkat. Selain bersifat high perishabel, kemunduran mutu daging didorong oleh kualitas kemasan yang buruk.

Urgensi tersebut kemudian mendorong pembuatan inovasi kemasan yang mampu mempertahankan mutu serta meningkatkan umur simpan dari bahan pangan. Inovasi ini dirancang oleh Dosen Departemen Teknologi Pertanian Unhas, Prof Ir Andi Dirpan STP MSi PhD. Ia mengembangkan kemasan aktif dan sensor cerdas dalam menjaga kualitas bahan pangan.

Daging-daging tanpa smart packaging memiliki resiko kerusakan yang besar dan mengurangi masa simpan.

“Memang sudah banyak yang meneliti tentang kemasan aktif (active packaging) dan sensor cerdas (smart packaging), tapi kebanyakan hanya diteliti secara terpisah. Makanya, saya berpikir jika kemasan aktif dan sensor cerdas pada pengemasan daging tersebut dapat digabung dalam satu sistem,” jelasnya Selasa, (29/11).

Sensor cerdas merupakan indikator yang menjadi penanda saat mutu bahan pangan yang terdapat dalam kemasan mengalami penurunan dengan prinsip monitoring. Prof Dirpan menambahkan bahwa sejak tahun

Banyak potongan daging digantung dan diletakkan di lapak salah satu pedagang Pasar Bacan. Tanpa pengemasan yang baik, penurunan mutu bisa sangat cepat.

2016, ia mulai aktif meneliti mengenai kemasan aktif. Namun, penggabungan sensor cerdas dan kemasan aktif merupakan terobosan baru yang ia gagas bersama dengan

Dosen Teknologi Pertanian Unhas, Muspirah

Djalal STP MSc dan Irma Kamaruddin.

Keunikan dari kemasan aktif tidak hanya dilihat dari kemampuannya dalam meningkatkan umur simpan. Inovasi dari

Kepala Editor Canrea Journal ini juga menerapkan sistem yang berkelanjutan yaitu ramah lingkungan. Kemasan aktif yang sering dijumpai dalam bentuk sachet dinilai belum ramah lingkungan.

Pembuatan kemasan aktif dengan memanfaatkan ekstrak bawang putih berbentuk sediaan bantalan merupakan solusi dalam mengembangkan kemasan aktif ramah lingkungan. Pemanfaatan ekstrak bawang putih dinilai efektif karena dapat mengeluarkan sistem pertahanan berupa senyawa allicin yang dikenal sebagai senyawa bioaktif. Senyawa tersebut mampu berperan sebagai agen antimikroba yang bekerja secara efektif dalam membunuh bakteri.

Selain itu, Prof Dirpan menegaskan bantalan yang mengandung senyawa bioaktif dari bawang putih tidak akan mempengaruhi rasa daging.

Sensor cerdas yang digunakan juga menerapkan sistem ramah lingkungan, dengan memanfaatkan bakteri Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa yang menjadi indikator penentu mutu daging. Keunggulan dari sensor cerdas dilihat berdasarkan kemudahan konsumen dalam mengidentifikasi kemunduran mutu bahan pangan dalam kemasan, tanpa perlu menyentuh atau mengamati secara teliti. Cukup dengan mengamati perubahan warna indikator kemasan.

“Perubahan warna terjadi karena selulosa yang digunakan mengikat larutan bromotimol biru. Salah satu ciri suatu daging mengalami kemunduran mutu yaitu menghasilkan amonia. Unsur H dari amonia akan dideteksi oleh larutan indikator sehingga warna yang mulanya jingga atau menandakan kesegaran bahan akan berubah seiring penurunan mutu menjadi hijau tua,” terang Prof Dirpan.

Penelitian yang menggabungkan kemasan aktif dan sistem cerdas ini tidak terlepas dari berbagai kendala. Prof Dirpan mengaku bahwa keterbatasan alat di laboratorium membuat penelitian berlangsung lama, terutama pada tahap pengujian zona hambat. Ia mengungkapkan, tidak tersedianya alat yang mengukur zona hambat dari bakteri Staphylococcus aureus di Fakultas Pertanian membuatnya harus mengantri di laboratorium mikrobiologi milik Fakultas Kedokteran Unhas.

Selain itu, sumber bahan baku produk juga menjadi faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan penelitiannya. Daging sapi yang diujikan merupakan potongan tenderloin yang bersumber dari tempat potong hewan. Menurutnya, perolehan sumber daging yang akan digunakan dalam penelitian harus terjamin kesegarannya.

Meski demikian, penelitian yang telah diterbitkan pada 11 Januari 2022 di jurnal terakreditasi Internasional ini terbukti efektif dalam memperlambat penurunan mutu daging. Kemasan ini dapat menambah waktu penyimpanan daging selama empat jam dan penggunaan sensor cerdas dapat memonitor adanya kemunduran mutu pada daging yang dikemas.

Penelitian ini belum dirancang untuk dikomersialkan. Prof Dirpan mengaku kemasan aktif dan sensor cerdas tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut sebelum dilanjutkan ke tahap komersialisasi. Kemasan aktif dengan penggabungan sensor cerdas sendiri belum secara luas diterapkan dalam pengemasan di Indonesia. Oleh karena itu, Prof Dirpan berharap agar penerapan jenis kemasan aktif lebih dimasifkan penggunaannya di Indonesia karena dapat mendukung keamanan pangan dan menekan makanan yang terbuang.

This article is from: