2 minute read

MENGABDI DI BUMI PAGUNTAKA

Next Article
DAPUR REDAKSI

DAPUR REDAKSI

Aku ingin menceritakan tentang pengalaman pertama jauh dari kota kelahiranku. Agak berlebihan, tapi begitulah adanya. Ini cerita perjalananku ke pulau kecil di Kalimantan Utara, Pulau Tarakan.

Aku bersama 49 orang lainnya melakukan pengabdian di Tarakan. Melalui kegiatan pengabdian yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hasanuddin.

Advertisement

Aku datang mewakili identitas Unhas, bertugas meliput setiap rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan BEM Unhas di Bumi Paguntaka itu. Tak hanya meliput, tapi juga dilibatkan langsung dalam pengabdian.

Kami berangkat menggunakan kapal.

Pada 3 November sekitar pukul 6 pagi, kapal meninggalkan Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar. Selama di kapal, kami tidur di dek enam, tempat yang diagungkan oleh orang- orang. Katanya, tempatnya bagus, jauh dari kebisingan, dan tidak panas. Aku di tempatkan di kamar 6017 bersama dua orang lainnya.

Selama di kapal, kami melakukan beberapa hal, bermain kartu joker, bermain lego, berkeliling kapal, hingga menonton bioskop melalui kaset bajakan yang diputar.

Perjalanan hampir tiga hari ditengah laut, akhirnya kami tiba di Tarakan. Dijemput menggunakan bus yang disediakan Pemerintah Kota Tarakan. Rasanya, pengabdian ini seperti healing.

Sesampainya di penginapan, aku tercengang. Kupikir kami akan tidur beralaskan karpet, kepanasan, dan hal umum lainnya ketika melakukan pengabdian. Siapa sangka, setiap orang disediakan kasur dan kamar berpendingin udara.

Pembukaan dilakukan pada 7 November di Kantor Walikota Tarakan. 50 peserta dibagi menjadi beberapa tim berdasarkan program yang akan dijalankan, di antaranya edukasi stunting, scaling dan pencabutan gigi, operasi bibir sumbing, sirkumsisi, sosialisasi pembuatan pupuk, serta vaksinasi Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada ternak.

Aku ditempatkan bersama tim agrokompleks. Tim yang bekerja sama dengan Dinas Ketahanan Pangan Kota Tarakan. Hari pertama, aku ikut bersama pembina sekaligus dosenku. Kami melihat tanaman yang dibudidayakan di daerah ini. Seperti daerah lain, Tarakan juga kaya akan komoditas seperti cabai, jagung, hingga melon. Uniknya, tanaman ini tumbuh baik di daerah berpasir, pasir pantai tepatnya.

Setelah berjalan cukup jauh, kami kembali ke tim inti yang sedang melakukan vaksinasi dan pemasangan ear tag pada ternak warga. Berbeda dari daerah lain, di Tarakan, pemasangan ear tag bertujuan untuk menandai ternak yang telah di vaksin PMK. Sama halnya sistem 'peduli lindungi' pada manusia.

Pukul tujuh malam, Walikota Tarakan mengadakan malam ramah tamah bersama alumni-alumni Unhas di Tarakan. Kami bergabung dalam kegiatan itu dan bercengkrama dengan alumni Unhas lainnya. Tiga kegiatan dalam satu hari, membuat kami cukup kelelahan.

Hari kedua, aku bersama beberapa anggota tim melakukan sosialisasi pembuatan pupuk. Materi ini dibawakan oleh dosenku, Ibu Marhama. Aku kagum padanya, ia mampu menjawab permasalahan petani di daerah itu, membagikan campuran pupuk serta tanaman indigofera yang dibawanya dari Makassar. Tanaman ini berpotensi tinggi sebagai sumber pakan ternak berkualitas dan mampu meningkatkan status bahan organik dan kadar nitrogen dalam tanah.

Setelahnya, kami bergabung melanjutkan vaksinasi. Seorang warga bercerita tentang sapi yang dimilikinya, Shela dan Mei-Mei. Shela, sapi betina berusia 13 tahun telah melahirkan 8 kali, salah satu anaknya adalah Mei-Mei. MeiMei lahir pada bulan lima, namanya berasal dari bulan itu. Tak mau kehilangan kesempatan, aku menyuntikkan vaksin PMK untuk si kecil Mei-Mei.

Malam harinya, aku menyempatkan diri bertemu pers mahasiswa Universitas Borneo

Tarakan (UBT) di salah satu kafe. Yang membuatku sedikit terkejut, mereka berasal dari Enrekang, Bulukumba, Sinjai, dan daerah lainnya di Sulawesi. Hal ini membuat ku semakin membenarkan bahwa anak Sulawesi memang darah perantau.

Sebelum meninggalkan Tarakan, kami diajak berkeliling Kota Tarakan. Namun, kondisi cuaca yang kurang mendukung sehingga kami tak banyak mengunjungi tempat wisata. Rencana kami melihat bekantan harus ditunda di lain kesempatan.

Perjalanan menuju hingga kembali dari Tarakan, kapal berlabuh di empat pelabuhan, yakni Pelabuhan Parepare, Pelabuhan Semayang Balikpapan, Pelabuhan Pantoloan Palu, dan Pelabuhan Tunon Taka Nunukan. Nunukan, rasanya sedikit lagi aku sampai Negeri Jiran, Malaysia.

Empat hari di Tarakan dan enam hari melintasi Selat Makassar menjadi pengalaman tak terlupakan. Dari pengalaman ini, aku mengenal teman dan memiliki pengalaman baru yang menjadi cerita berharga bagiku yang belum pernah jauh dari keluarga.

Nelayan:

Seorang nelayan dan anaknya berdiri di atas deretan perahu mamandang awan hitam kian mendekat. Ini adalah tempat bersandar kapal-kapal nelayan lokal di Barombong, Sabtu (29/10).

This article is from: