RUU KIA: Melek Maternitas Indonesia Adanya RUU KIA kini ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan, mengingat RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022. Bahkan, RUU ini disorot dan disambut baik oleh Kepala BKKBN Pusat, dr. Hasto Wardoyo yang menilai RUU KIA akan sangat bermanfaat, terutama sejak dari persiapan kelahiran, pemulihan kesehatan ibu, hingga pemberian ASI bagi bayi. silahkan baca draft RUU disini bit.ly/RUUKIA2022 Adapun “Pasal kontroversial RUU KIA” 1. Cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan 2. Cuti pendampingan melahirkan bagi suami paling lama 40 hari 3. Fasilitas tempat penitipan anak (daycare) di tempat kerja Mengapa 6 bulan? 6 bulan ini merupakan hasil pertimbangan dari evaluasi cuti ibu sebelumnya yakni selama 3 bulan, mengingat 3 bulan ini bertentangan dengan pasal 1 angka 2 PP No. 33 Tahun 2012 mengenai Asi Eksklusif selama 6 bulan. 6 bulan pertama dari kelahiran bayi ini merupakan periode emas bayi dalam menyukseskan ASI Eksklusif, sesuai dengan rekomendasi WHO dan UNICEF bahwa bayi membutuhkan ASI sebagai nutrisi utamanya, yakni dalam satu jam pertama kelahiran dan disusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan (artinya tidak ada makanan atau cairan lain yang diberikan). Kurang implementatifnya program ASI Eksklusif ini berkaitan dengan tingginya prevalensi stunting di Indonesia yakni mencapai 24,4% pada 2021. Angka ini masih jauh dari target Presiden Jokowi, 14% pada tahun 2024. Bahkan juga jauh dari batas tolerir WHO, sebesar 20%. Stunting sendiri dipengaruhi pemenuhan nutrisi di awal kehidupan, salah satunya melalui ASI eksklusif 6 bulan seperti yang disampaikan sebelumnya, dan termasuk dalam preventif stunting dalam masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Pada periode tersebut, menjadi masa penentu generasi penerus bangsa sesuai tujuan RUU ini dibuat yakni untuk tumbuh menjadi sumber daya manusia (SDM) yang dapat membawa Indonesia semakin maju. Menariknya, RUU KIA juga memberikan perpanjangan cuti ayah (paternal leave) menjadi 40 hari, dari yang sebelumnya hanya 2 hari, dengan harapan ayah memiliki lebih banyak waktu untuk mendampingi istrinya sebelum dan utamanya setelah persalinan. Ada apa dengan 40 hari pasca persalinan ? 40 hari pasca persalinan ini merupakan rata-rata masa nifas atau pemulihan ibu pasca hamil dan melahirkan. Pada fase ini setiap wanita memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, namun utamanya pemulihan menuju masa seperti pre kehamilan, perbaikan kondisi fisiologis dan psikologis ibu yang telah mengalami perubahan drastis, baik hormon maupun organ tubuh
lainnya. Periode ini merupakan periode penting, berdasarkan penelitian Juharni (2012) bahwa 55% kematian ibu ternyata terjadi pada periode ini. Selain itu, juga ditemukan data bahwa 85% wanita pasca bersalin mengalami peningkatan reaktivitas emosional, seperti perubahan mood yang naik turun dan mudah menangis, iritabilitas, serta cemas. Sehingga dalam periode masa ini, peran suami mutlak dibutuhkan dan dioptimalkan baik sebagai pendamping, pendukung (support system), dan pembantu peran istri pada periode awal menjalankan tugas baru sebagai ibu. Dengan disahkannya UU ini nantinya, akan menggeser perspektif patriarki berupa beban ganda yang dipikul perempuan yang mengakar sejak lama, yakni mengerjakan urusan domestik sekaligus bekerja di ranah publik yang tidak jarang menjadi penghalang bagi perempuan untuk memaksimalkan peluang yang dimilikinya dalam karir. Utamanya apabila cuti ini dimaknai baik dengan penuh kesadaran oleh sang ayah, maka dapat bermanfaat dalam membangun pembagian kerja domestik yang lebih seimbang, sekaligus membantu pasangan suami istri menjalin kerjasama, komunikasi, dan pembagian kerja yang tepat, baik dalam domestik rumah maupun pengasuhan anak. Walaupun perpanjangan cuti ayah menjadi suatu langkah maju bagi perjuangan kesetaraan gender dan membawa manfaat bagi kesejahteraan dan keharmonisan keluarga, wacana tersebut memiliki potensi menghadapi tantangan sosial budaya, salah satunya perspektif gender dalam implementasinya nanti ketika sudah disahkan. Selanjutnya mengenai poin “Perusahaan wajib menyediakan fasilitas penitipan anak (daycare)” Kemnaker menyoroti bahwa mestinya fasilitas ini sebaiknya tidak dipaksakan dan dipertimbangkan kembali mengenai ‘kesanggupan’ dan ‘kemauan’ perusahaan bersangkutan. Di sisi lain, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan semakin menjerumuskan perempuan utamanya yang sudah menikah ke ranah domestik dan membuat perempuan kehilangan akses terhadap pekerjaan, karena akan banyak perusahaan yang memilih mempekerjakan laki-laki dengan durasi produktivitas dan porsi fee yang lebih menjanjikan. Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur menghimbau pengusaha juga tidak perlu khawatir mengenai biaya cuti, karena hal tersebut dapat dibebankan melalui jaminan sosial dengan sumber dana APBN, APBD maupun CSR. Berkaitan dengan jaminan sosial terhadap cuti, Vietnam dan Malaysia telah lebih dulu menerapkan sistem serupa bahkan durasi cuti yang sama antara suami dan istri, sudah sepatutnya Indonesia meneladani koleganya dengan tetap mengedepankan pengawalan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, tepatnya tanpa menutup mata terhadap Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan pada tiga tahun terakhir, yang mendokumentasikan telah terjadi 108 kasus kekerasan di dunia kerja, pelanggaran terhadap hak perlindungan kerja yang layak dan hak bebas serta diskriminasi bahkan terhadap fungsi reproduksi perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Hikmahrachima, Hardya Gustada, dkk. 2019. Impact of Exclusive Breastfeeding on Stunting among Child Aged 6-59 Months in Kabupaten Bogor at 2019. Artikel Penelitian Jurnal Epidemiologi Indonesia Volume 3 Juharni, Sri, dkk. 2012. Faktor risiko kematian ibu sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas di Kabupaten Bima tahun 2011-2012. Laporan Hasil Penelitian Media Neliti Ranggawari. 2022. RUU KIA Dilema Antara Rugi dan Laba . www.validnews.id WHO. 2020. Breastfeeding Recommendation. who.int/health-topic