Buletin Mimesis Edisi 12

Page 1

CERPEN: Pancasuda (Andrian Eksa) Edisi 12

1


Salam Sapa Susastra :*

Redaksi Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt Pemimpin Umum: Reigina Fanindika Putri Pemimpin Redaksi: Sigit Pritiyanto

Salam sejahtera bagi kita semua karena dapat kembali menyapa kawan-kawan. Selama berbahagia juga untuk perayaan Paskah yang berselang tak cukup lama kemarin. Mengingat kembali perayaan-perayaan yang sudah terlaksana, kita mengingat akan adanya pintu yang sudah tertutup cukup lama. Kami menyadari akan diskusi dan musyawarah yang sudah matang dalam ruang yang bernama rumah. Maka, tak ubahnya dalam kepompong, kami siap untuk keluar kembali dan merentangkan sayap untuk mengajak dan menghibur para kawan-kawan. Keluarga dalam waktu dekat ini akan kembali membuka pintu dan akan memulai suasana baru dan pemikiranpemikiran baru. Mengajak kita berdiskusi dan bersolusi tentang rintangan-rintang yang baru maupun rintangan lama dan sudah ada. Kami tentunya akan ikut menyumbang beberapa wacana yang kurang lebih bisa membuat mata kawan-kawan terperanjat dari skripsi atau kepornoan. Maka, inilah wacana itu! Selamat menikmati.

Sekretaris: Nana Marlina Staf Redaksi: Rizky Alcantara, Inas Adila, Nana Marlina, Puti, Sidiq S. Mandiri, Anto Editor: Redaksi Tata Letak: Deadpool Mimesis menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku & film. Surel: susastrakmsi@yahoo.com

2

Edisi 12


Tokoh

Satu Meja dengan Katrin Bandel: Ngobrol Sastra, Kritikus, dan Akademisi • Andrian, Budiman, Irwan Apriansyah

Kami datang tepat ketika Katrin Bandel selesai salat dzuhur di ruangannya, Pusat Studi Perempuan, Anjani, Universitas Sanata Dharma. Kami disambut dengan senyum khas perempuan Jerman berjilbab dan berkacamata itu. Satu per satu dari kami selayaknya anak kepada ibunya, salim kepadanya. “Kayak siapa saja saya ini?� candanya sembari mempersilahkan kami untuk duduk. Siang itu kami ada dua hal yang membuat kami berkunjung ke ruangan

facebook Katrin Bandel

Katrin Bandel. Pertama, kami mengantar Kepala Suku KMSI, Budiman, untuk membicarakan tentang kegiatan KMSI yang rencananya akan mengundang Katrin. Kedua, kami hendak berbincang ringan dengan Katrin terkait dengan sastra. Beginilah perbincangan ringan itu terjadi. Apa yang membuat Kak Katrin lebih tertarik memilih Sastra dan Indonesia, padahal bukan orang asli Indonesia?

Edisi 12

Kalau awalnya sih saya dari dulu, dari remaja suka sastra, seperti baca novel. Eee ... kemudian mulai tertarik pada budaya Asia. Jadi ya dasarnya itu aja sih. Terus waktu lulus SMA mau kuliah, mau ambil apa ya? Pinginnya ke budaya Asia, tapi mau budaya yang mana? Sebenarnya ya nggak ada pengetahuan apa-apa. Belum pernah ke asia juga, jadi ya bisa dibilang agak asalasalan sih. Nggak mau ambil yang besar-besar, seperti Jepang dan China, banyak mahasiswa yang ambil itu untuk tujuan bisnis, saya merasa nggak cocok. Kan saya mau belajar budaya dan sastra gitu. Jadi ya apa ... ada jurusan kecil gitu, kalau di kampus saya di Hamburg itu Sastra dan Bahasa Austronesia, jadi ada Indonesia, Malaysia, Filiphina, dan sebenarnya wilayahnya luas. Saya juga nggak ada pingin fokus ke Indonesia, nggak ada. Nggak

3


pernah ke Indonesia, jadi ya hanya sekadar kayaknya asyik deh. Jadi ya asal cepat kuliah, sudah bosen di rumah. Berantem terus sama orang tua, pengen cepet keluar rumah. Hahaha. Jadi ya terus kuliah dan walaupun jurusannya itu mencangkup wilayah luas seperti itu dan profesornya waktu itu fokusnya ke Indonesia. Dosen Sastra dan Bahasa Indonesianya waktu itu Pak Dami N. Toda. Orangnya itu baik dan menarik sekali dan mungkin itu mempengaruhi juga ya. Tertarik bahasa indonesia ya dari Pak Dami ini. Bagaimana peran sastra terhadap kampus dan bagaimana kampus mendukung atau justru membatasi gerak sastra untuk akademisi sastra khususnya? Ini mungkin harus agak dipilah saya pikir pertanyaannya. Karena kan ada akademisi sastra dengan mahasiswa yang sedang belajar kritik sastra dan sebagainya. Kemudian ada kegiatan sastra di kampus. Itu kan dua hal yang terpisah. Nah, kalau akademisi sastra kan tugasnya terutama

4

untuk mengajar kritik sastra. Jadi bagaimana kita membaca karya sastra dan bagaimana kita menulis kritik atau ulasan yang bermutu tentang karya sastra. Bukan bagaimana menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan itu program lain, ada creative writing, tapi itu biasanya tidak dipelajari di kampus kan? Jadi ya, akademisi itu sebenarnya juga bisa dan mungkin bagus kalau terlibat di dunia sastra secara langsung juga, gitu kan? Misalnya menghadiri acara-acara sastra dan atau berinteraksi langsung dengan sastrawan, tapi saya lihat itu tidak selalu terjadi di kampus-kampus? Sebagian aja yang bergaul dan yang lainnya ya di kampus saja. Nah, itu bagi saya pribadi secara prinsip tidak masalah. Hanya saya kadang-kadang akademisinya yang sama sekali tidak mau terjun ke lapangan, katakanlah, itu bisa jadi nggak ngerti peta. Jadi kadang-kadang menimbulkan, apa ... ya ... seakan-akan jadi dua dunia yang berbeda. Ini dunia sastra, kemudian ini dunia akademisi sastra, dengan esai-esai yang dihasilkannya tidak dibaca atau tidak

Edisi 12

relevan dengan tulisan si sastrawan ini. Kan sering seperti itu. Atau misalnya, kalau kita melihat jurnaljurnal, kok karya ini yang dipilih? Sepertinya tidak ada pentingnya, gitu kan? Terus tetap mengulas sesuatu begitu saja tanpa ada kontribusi apa-apa. Ini terus mau mengkritik apa? Mau memperlakukan karya seperti apa? Ini yang saya rasa selalu ada kekurangan seperti itu kalau dari akademisi. Jadi bagi saya idealnya sih, akademisi dan dunia sastra ini saling berinteraksi. Mahasiswa kalau suasana belajarnya seperti itu kan bisa jadi kesulitan. Teori yang dipelajari ini terus relevansinya gimana? Teori yang dipilih belum tentu sesuai yang dibutuhkan. Misalnya, bagi saya yang selalu menjadi persoalan, ya kalau saya berpendapat, yang paling relevan yang dikenal di Indonesia ini ya teori pascakolonial untuk membahas sastra. Kalau nggak pakai itu sulit memahami dalam karya kondisi masyarakat di mana karya-karya ini lahir. Tapi kan Masih jarang dipelajari di kampus. Jadi ini persoalan akademisi dan kritik sastra. Kemudian kegiatan


sastra di kampus itu lain lagi persoalannya. Biasanya lahir dari mahasiswa dan sekalikali saja dosen ikut terlibat di situ. Ini sebenarnya tidak harus dari mahasiswa sastra Indonesia kan? Mahasiswa dari mana saja yang berkarya sastra, bisa dan ini saya kira penting. Di Jogja itu kelompokkelompok sastrawan yang kemudian kritis banyak di kampus-kampus dan itu sangat penting ada untuk terus menerus berkegiatan. Apa pun nanti hasil karyanya sangat bagus dan semua yang terlibat menjadi sastrawan, itu saya pikir itu nomor dua. Akan tetapi yang penting itu komunitas seperti ini ada. Biasanya kan komunitas seperti ini juga politis. Bukan sekadar kumpul-kumpul baca puisi, tapi tahu peta juga, peta sastra dan politis juga. Ya memang kadang dengan politis gerakan bisa overlaping, tapi peta politik sastra biasanya dikenal banyak. Misalnya, mendukung jurnal Boemi Poetra dengan kritik terhadap Utan Kayu itu kan mahasiswa. Mereka tahu peta dan gelisah dengan dominasi-dominasi yang ada. Kemudian mereka nyambung dengan hal-hal seperti itu.

Jadi ya di situ saya pikir penting sekali. Akan tetapi sejauh mana kemudian kelompok ini berpengaruh ke proses kuliahnya dengan belajar menjadi kritikus sastra itu bisa jadi menjadi sangat comblang, belum tentu nyambung. Dulu Indonesia waktu masanya Syahrir kan ada bacaan wajib, sastra timur dan sastra barat. Sastra timur itu Ramayana dan Mahabarata, sedangkan sastra barat itu ada Shakespare dan Ghoete. Permasalahannya, sekarang itu tidak ada. Menurut Kak Katrin, apa penyebabnya? Di mana-mana di negara pascakolonial seperti itu. Kalau di Indonesia mungkin dilihat di awal dengan gagasan kemerdekaan, gerakan perlawanan, dan sempat ada usaha untuk merdeka beneran. Akan tetapi 65 dihabisin semua ini kan sudah jajahan baru sebetulnya. Kalau dari kacamata pascakolonial kan kolonialisme belum berakhir. Seperti Lekra kan secara gamblang anti-imperialis dan ada usaha-usaha untuk

Edisi 12

meng-counter sastra model barat itu mesti ada dan itu baru awal. Nanti seperti apa? Sebenarnya perlu berkembang, bukannya belum apa-apa sudah dipotong. Kemudian sampai sekarang, cara seperti founding kan mainnya di situ. Jenis sastra apa yang diterima dan jenis yang mana yang tidak mendapat founding apa-apa. Nah, itu kan yang mengarahkan sekarang, sehingga tidak nampak pengaruh kekuasaannya. Bagaimana posisi kritikus sastra di Indonesia menurut Kak Katrin? Ya ... masih agak sulit. Kalau jumlah, misal semua akademisi yang nulis sastra dihitung sebagai kritikus sastra, sebenarnya banyak. Akan tetapi, yang memang berpengaruh, dalam arti seharusnya karya sastra dengan kritik sastra dan teori sastra itu menjadi satu kesatuan yang sebenarnya ini kerja intelektual. Jadi bukan hanya sekadart memuji karya sastrawan ini dan itu, tapi ini persoalan intelektual. Karya-karya yang membahas persoalan masyarakat, atau

5


mencoba dengan bahasa sastra menginterpretasikan kegelisahan yang ada, atau kritik sosial. Kemudian kritikusnya mengulas ini, teorinya mencoba untuk teoritis menangkap itu. Bagaimana sih cara untuk mengkritik lewat sastra? Kritis itu seperti apa sebenarnya? Bagaimana cara meng-counter kekuasaan neolib itu kan teori, dan di sastra seperti apa wujudnya? Lalu kritik sastra melihat bagaimana karya ini? Seberapa berhasilnya karya ini? ini kan sebenarnya satu dunia intelektual secara ideal yang saling mendukung. Nah, ini kalau di Indonesia masih jarang terwujud. Jadi karena tadi interaksinya kurang, terus memang kritikus ini atau akademisi ini jarang terpanggil untuk memenuhi fungsi intelektual ini. Tidak merasa sedang mengkritik. Hanya sekarang ini ada karya dan diulas dan dimuat di jurnal. Mendapat nilai cum. Itu tidak juga, bukan maksud saya merendahkan para dosen, tapi sistemnya membuatnya seperti itu. Jadi, sistemnya sekaligus harus juga dikritik. Kalau saya lihat sistemnya dengan nilai cum ini sangat bermasalah, karena

6

mengharuskan setiap dosen, kan rata-rata gaji dosen di Indonesia kecil, kemudian supaya bisa naik sedikit lama-lama, kan orang harus mengikuti sistem ini. Sistem ini mengharuskan orang menulis di jurnaljurnal tertentu, yang kadang semua standartnya itu yang agak mengekang dan tidak dibaca orang juga. Siapa yang baca jurnal-jurnal itu? formatnya harus sesuai dengan ketentuan dikti, sehingga tidak menarik dilihat. Terus harus memproduksi cukup banyak artikel dan memang tidak bisa serius mengejar kualitas. Kalau mengejar kualitas, berapa artikel bisa jadi dalam setahun? Bisa jadi cuma satu. Kapan naik gajinya? Nggak akan pernah. Jadi yang penting bikin tulisan yang sesuai dengan format itu, asal jadi, dan dapat nilai cum, sehingga mengikuti sistem itu. Kemudian orang tunduk dengan itu ya sewajarnya. Dia punya keluarga dan harus makan. Kalau nggak mengikuti ya, nggak pernah cukup penghasilannya. Jadi, ya sistemnya itu yang harus dikritik. Bukannya marahmarah kepada dosen, karena memang sistemnya dibikin tidak sesuai.

Edisi 12

Dosen-dosen itu juga rugi misal bikin buku. Biasanya buku itu merupakan kumpulan tulisan-tulisannya yang sudah diterbitkan di tempat lain. Ya kerana sistemnya seperti itu. Kalau bikin satu buku nilai cumnya tidak sama dengan yang dipecah jadi beberapa artikel. Jadi ya itu yang membentuk, padahal menarik membikin buku seperti itu. Mungkin si dosen ini tidak menerbitkan apa-apa sampai bukunya jadi, nah itu tidak menguntungkan. Menurut Kak Katrin saat ini kritikus sastra di Indonesia yang masih berpengaruh itu siapa? Yang sangat menarik dan oke itu hampir nggak ada. Biasanya yang malah agak berpengaruh ya sastrawansastrawan yang kadang nulis kritik sastra. Kalau yang murni dari akademisi kan jarang sekali. Perbincangan selanjutnya dengan Indonesianis sekaligus feminis ini, kami ngobrol tentang feminisme, dari yang sepele sampai LGBT. Lalu kami berpamitan pulang dengan senyum dan salim perpisahan.[]


Puisi

Dari Celah Pintu Kamar Tidur • Barkah Ramadhan Ibu termenung di meja makan. Memandangi kopi. Lalu diaduk. Lalu dipandangi lagi. Dari matanya, wajahku berputar-putar dalam cangkirnya. Berpusing. Semakin cepat. Seperti nasib yang diblender di kepala. Ibu menangis setelah minum kopi. Matanya seperti cangkir pecah. Isinya tumpah. Keluar air mata kopi. Di baju. Di celana. Di lantai. Semut-semut berlarian, menyerbu tubuh ibu yang basah. Seperti menyerbu tubuh nasibku sendiri.

Yogyakarta, 2016.

Sebuah Teka Teki • Lina Sari Dewi

Akankah Kau ijinkan aku bertanya Tentang huruf yang sering disebutkannya Tentang cerita kasih yang dituliskannya Tentang jalinan kata yang penuh tanda, Cinta yang membisu. Akankah Kau ijinkan aku mencari Seseorang yang ia titipkan dalam sebuah sajak kutahu kesalahan mengambil peran ini bermain teka-teki. 2016

1.bp.blogspot.com

Edisi 12

7


Puisi

Kembali • Sigit Pristiyanto

4.bp.blogspot.com

Biarkan aku kembali menatap rupa dewi cinta yang menangguhkan semua asmara, hingga purwarupa para pujangga memelas bersujut hingga lutut tertanam di tanah hilang akal sebagai pengembara. Biarkan aku kembali menatap garis sutra tipis dan melihat betapa subur pinggulnya agar aku teringat, betapa bodohnya manusia. Biarkan aku kembali menatap awan yang seperti lebam di muka langit. Lebam yang menangis, mengandung tetes-tetes keringat para pekerja, mengandung tetes-tetes air mata para ibu sebab anak yang durhaka. Biarkan aku kembali menatap lebam itu tergores garis cahaya, seperti seribu malaikat ikut menangis di hadapanNya. Biarkan aku kembali menatap perahu-perahu tertambat pada haluan yang buntu. Merasakan ombak menggulung kakinya, meresahkan para pencari ikan tentang badai dan air yang pasang. Biarkan aku kembali menatap ketakutan terdalam para pencari harapan yang berakhir buntu, hingga wajahnya seperti diukir dari berbagai batu dan mengeras, hingga asinnya lautan menjadi semu. Biarkan aku kembali menatap sebab-sebab yang menjadikan ketiadaan. Apa yang ditanam dan yang akan dituai. Seperti padi yang semakin menua, dan bungkuknya mengatakan bahwa ajalnya sudah tiba. Biarkan aku kembali menatap, agar kematian tidaklah dusta. Seperti pengembara yang tidak lupa akan tujuanya. Seperti para doa yang melayang dan singgah di sisiNya. Yogjakarta 17.03.2016

8

Edisi 12


Puisi

Sebelum dan Sesudahnya • Desvandi Maka, salamkan pada matahari Burung-burung berkicauan meneriaki pagi Sementara kendaraan mulai dinyalakan Juga tungku yang diapi Pagi mencari cinta dalam kerja Selami asuh dalam abdi Sampai maghrib menggapai-gapai senja Barulah cinta didapati Panas dingin bukan masalah siapa Karna cinta bentuk lain dari keikhlasan Maka, salamkan pada rembulan Gorong-gorong berdesis meneriaki malam Sementara kendaraan sudah dimatikan Tungku juga dipadamkan Tinggal cinta bersemayam dalam hati Pada siapa berbagi jika sendiri ;bertanya pada hati Pada tuhan jawaban pasti Sebelum dan sesudahnya, berbagi cinta pada Paduka semesta Jogjakarta, 26 Mei 2015

Edisi 12

9

bahanbelajarsekolah.blogspot.co.id


Cerpen

Tugas Pak Guru

obzor.com

• Rizky Alcantara

Edo memang menjadi anak yang menjengkelkan buat Ayahnya. Bagaimana tidak, saat mereka sedang asik-asiknya bercinta, tibatiba saja Edo masuk ke kamar tanpa menggedor pintu. Memang sudah menjadi kebiasaan bahwa pintu kamar jarang dikunci. Salah satu alasannya yaitu jika sewaktuwaktu ada gempa, atau hal apapun, tidak membuatnya membuang-buang banyak waktu hanya untuk membukakan kunci kamar. Mereka hampir tidak bisa bercinta bilamana Edo masih

10

di rumah. Mereka harus menunggu dia berangkat sekolah. Setidaknya dari pukul tujuh hingga pukul satu. Di sekolahnya, Edo yang baru kelas satu SD, dipandang sebagai siswa yang memunyai jiwa keingin tahuan yang besar. Bahkan dia menanyakan kepada guru saat melihat orang tuanya saling tindih di kamar. “Pak guru, Edo mau tanya?,” sambil mengacungkan jari. “Ya, Edo.” “Pak, mengapa Ayah dan Ibu bertindih-tindihan setiap

Edisi 12

malam hari?, Edo kasihan melihat Ibu ditindih Ayah. Ayah kan badannya lebih besar dari Ibu. Edo juga mendengar suara seperti tangisan Ibu.” Mendengar pertanyaan seperti itu Pak guru bingung. Wajahnya mendadak pucat dan mulai gusar. Lalu Pak Guru memutuskan untuk berdiri di depan kelas. Sesekali tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya terkunci, sama sekali tidak ada kata yang keluar. Sementara temanteman Edo sangat santai


menanggapi pertanyaan tersebut. Bagaimanapun mereka seumuran dengan Edo, jadi pertanyaan Edo tergolong biasa-biasa saja. “Lalu bagaimana kok Edo bisa sampai kamar Ayah dan Ibu, kan sudah malam?,” Pak guru memutuskan untuk memberi pertanyaan balik. “Edo ingin pipis.” “Lantas?,” sergah Pak guru dengan cepat. “Ya, edo menangis Pak.” “Mengapa? Terus pipisnya?” “Kasihan Ibu, Edo tak tahan melihatnya. Dan akhirnya Edo ngompol.” Belum sempat melanjutkan ceritanya bel pulang sekolah berbunyi. Pak guru terbuyarkan konsentrasinya. Temanteman Edo berkemas, lalu berdoa sejenak, bersalaman kepada guru dan kelas bubar. Pada saat giliran Edo bersalaman, “Do, bisa kamu ceritakan kejadian yang tadi?” Edo menceritakan segala kejadian yang ia lihat. Salah satunya ketika Ayah Edo berada di atas tubuh Ibu. Dan mata Ibunya terpejam, Ayahnya seperti menyumpalkan mulutnya ke dada Ibu Edo dengan kasar.

Mendengar cerita tersebut. Pak guru memunyai rencana lain, semata untuk menolong masalah yang Edo hadapi. “Do, bapak punya sesuatu buat kamu. Ini bisa kamu gunakan ketika Edo masuk ke kamar Ayah lagi.” “Maksudnya?” “Kamu bisa merekam kejahatan Ayah, lalu nanti dilaporkan ke bapak. Itu PR buat Edo, mengerti?” “Baik pak.” . Edo pulang dengan wajah berseri-seri. ___ Sampai di rumah Edo tidak mendapati orang tuanya. Edo pikir orang tuanya sedang tidur siang di kamar. Edo memutuskan untuk ke kamarnya sendiri dan memeriksa apa yang dikasihkan oleh Pak guru di sekolah tadi. Adalah sebuah smartphone canggih berwarna putih. Edo mempelajarinya sampai sore. Lama dia mengutakatik benda tersebut. Hasilnya? Edo sama sekali tak mengerti bagaimana cara menggunakannya. Baru ketika terdengar suara adzan Ashar, pintu

Edisi 12

kamar Edo digedor oleh Ibunya. “Edo jangan lupa makan, sudah sore”. Dengan buru-buru smartphone itu di taruh di bawah bantalnya. Setelah selesai makan, mandi, dan duduk-duduk di teras Edo memutuskan untuk ke kamarnya. Dia kembali mengutak-atik smartphone pemberian Pak guru. Edo lupa belajar. Dan jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Edo tertidur. ___ Siang harinya, saat pulang sekolah, “Gimana Do, tugas bapak sudah kamu kerjakan?,” tanya Pak guru. “Belum Pak, Edo bingung menggunakannya.” “Kemarilah,” Pak guru itu lantas mengajari Edo cara mengetik, cara menggunakan kamera, menggunakan internet, dan membuka aplikasi-aplikasi lainnya. Edo hanya menganggukangguk. Tidak ada raut wajah bingung. “Rupa-rupanya anak zaman sekarang sangat pintar-pintar,” batin Pak guru. “Begitu Do caranya, jika batrainya habis tinggal kamu charge saja.” “Apa itu pak? Lagi

11


pula bagaimana cara menggunakannya?.” “Tenang, ini sudah bapak bawakan, kamu tinggal mencolokkan di bagian bawah hp ini, dan tunggu dua hingga tiga jam saja.” “Baik pak.” ___ Malam harinya, setelah belajar Edo sibuk memainkan smartphone. Sesekali Edo membuka internet, mengetik-ngetik yang tidak penting, dan memotretmotret benda-benda yang ada di kamarnya. Hingga tiba-tiba Edo kebelet pipis. Berhubung sudah malam Edo tidak berani ke kamar mandi sendirian. Maklum saja, kamar mandinya berada terpisah dari rumah Edo. Dia memutuskan memanggil orang tuanya untuk menemani. Beberapa kali Edo memanggil Ayah dan Ibunya. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Dengan rasa jengkel Edo berjalan menuju kamar orang tuanya, tentu dengan smartphone yang masih ditangan. Dia membuka

12

kamar orang tuanya. Suara tangis Ibu terdengar samarsamar. Dia kembali melihat Ibu ditindih Ayah. Beberapa saat mereka tidak mengetahui kedatangan Edo. Kemudian Edo merekamnya dan akan melaporkan kejahatan Ayah kepada Pak guru. Edo menangis, dan seperti kejadian yang lalu dia ngompol. Ayah dan Ibu Edo kaget bukan main. Ayahnya buru-buru memakai celana, sedangkan Ibunya menarik selimut yang memang berada tak jauh dari ranjang. Melihat kejadian itu mereka memarahi Edo habis-habisan. Ayahnya juga menanyakan tentang smarphone yang berada di tangan Edo. Edo menjawabnya sebagai tugas yang diberikan Pak guru untuknya. Orang tua Edo tidak terlalu curiga karena alasan tersebut. Namun, untuk alasan lain orang tua Edo menyuruhnya mengembalikan smartphone itu kepada Pak guru. “Sudah-sudah, Edo kembalikan saja benda itu ke Pak guru. Ayah tidak mau

Edisi 12

tahu, pokoknya, besok Edo tidak boleh memegang benda itu lagi. Jika ketahuan, Edo tidak boleh masuk sekolah.” ___ Seperti biasa, siang sebelum pulang sekolah, murid-murid berkemas, berdoa, lalu bersalaman dengan Pak guru. Edo mendadak ingat perkataan Ayahnya kemarin malam. Dia menghampiri Pak guru di depan kelas. Katanya begini “Pak, tugas saya sudah selesai. Saya sudah merekam kejahatan Ayah, ini hpnya buat bapak saja, Ayah menyuruh saya mengembalikannya ke bapak.” “Oh, kerja bagus Do. Sebentar, Bapak periksa tugasmu.” tukas Pak guru. Setelahnya Pak guru hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil mengusap pelan rambut Edo. “Kerja bagus nak, tapi sayang rekamannya kurang jelas.”

Klaten, Januari 2016


Kritik Sastra

Lubang-lubang Hegemoni Cerpen “Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi” Karya Kuntowijoyo • Budiman

Bayangkan, ketika dalam satu gedung telah tertata rapi puluhan robot di ruangnya masing-masing, dengan porsi kerja yang sudah ditentukan oleh robot yang paling dahsyat kekuatannya. Mereka bekerja sesuai sistem yang diberlakukan dengan aturanaturan. Setelah itu coba bayangkan bila di gedung itu ternyata robot-robot tersebut adalah manusia. Apa bedanya robot dengan manusia? Mirip. Sebuah sistem atau pola hidup manusia pun memang terlanjur dikendalikan oleh kelompok atau bahkan individu pengendali. Dalih pun ikut hadir di dalam pergerakannya. Tiada “aku” yang benar-benar diriku yang utuh, “aku” dengan pakaian yang aku inginkan “aku” dengan gaya rambut yang aku rencanakan. Semua berbatas. Jadi, robot atau manusia? Mungkin bisa dikatakan manusia robot.

Kita akan sedikit berimajinasi, tentang tokoh Sutarjo dalam cerpen “Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi” karya Kuntowijoyo ini keluar dari kuasa pengarangnya. Mungkin tidak perlu dibayangkan, sebab ketika cerpen ini dibaca, seakanakan naskah ini adalah berita hot-news di koran pada waktu itu. Semacam olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) secara rinci, detail dan runtut. Permainan hegemoni yang dihadirkan Kuntowijoyo cukup menyenangkan. Agama sebagai penggerak atau poros berputarnya roda kampanye Sutarjo yang kebelet jadi lurah. Lebih tepatnya agama itu dibawa atau dikenakan oleh seorang DPRD yang dijadikannya guru politik dalam pemilihan lurah kali ini. Dari olah TKP yang rinci, detail dan runtut itu

Edisi 12

masih mempunyai celah untuk urusan sosial dan politik. Bagaimana tokoh Sutarjo (seorang pekerja konveksi) mendapatkan suntikan percaya diri yang menjadikannya begitu mentereng dari warga lain, sehingga dia berani mencalonkan dirinya sebagai lurah? Itu menjadikan Sutarjo mempunyai sisi misterius dalam wilayah kelas sosialnya di desa. Sutarjo dalam pandangan warga desa seberapa besar pengaruhnya bagi desa, sehingga dari sekian banyak warga di desa itu, Sutardjo seorang pekerja konveksi berani mencalonkan diri sebagai lurah. Ada kecurigaan pada warga, sekalut itukah keadaan warga pada waktu itu? Hanya akan memilih yang kelihatan mempunyai uang. Sampaisampai seorang pekerja konveksi seperti Sutarjo― meski penghasilannya belum jelas—memberanikan diri

13


dengan bekal yang belum jelas juga. Hubungan manusia antara apa yang disebut “guru”, dengan apa yang disebut “murid” biasanya mempunyai ikatan batin yang dekat. Otomatis Sutarjo mengenal guru politiknya sudah cukup lama. Namun dalam cerpen “Pelajaran Pertama Bagi Calon Politisi”, pengarang belum memunculkan hal itu. Atau memang itu menjadi kesengajaan pengarang? Sehingga memunculkan maksud tersembunyi yang dikehendaki pengarang. Maka pada wilayah itu, kembali lagi pada tingkat pengalaman dan kejelian pembaca. Cerpen ini berhasil menciptakan tokoh misterius dalam pergerakannya, yakni guru politik Sutarjo— seorang anggota DPRD II mewakili Golkar meski dia kader PPP. Guru politik Sutarjo di sisi identitas memang sudah terpampang jelas. Dia agamawan dan track record-nya dalam politik pun cukup bagus, sehingga memungkinkan jika hegemoninya bergerak

14

lancar. Secara sadar atau tidak, guru politik ini menjadi penggerak cerita dan tokoh utama, Sutarjo. Namun tokoh yang sebutannya “Guru politik” ini amat begitu ikhlas dalam membagikan ilmu politik pada Sutardjo yang dikuasai nafsu politik. Apakah Sutardjo ini salah satu kader partai politik yang dibawa guru politiknya? Belum jelas. Seorang pekerja konveksi menjadi kader itu di luar dugaan. Maka guru politik Sutarjo ini mempunyai kepentingan apa kepada Sutarjo yang haus kekuasaan itu menjadi sangat sulit dideteksi. Dalam cerpen ini, hegemoni seorang pengarang terhadap tokoh-tokohnya masih berlubang. Hegemoni pengarang terhadap tokohtokohnya masih belum utuh. Menjadi miris jika pengarang tidak melengkapi pakaian-pakaian fisik dan sosial terhadap tokoh-tokoh yang dimunculkannya. Karena keutuhan tokoh yang dihadirkan menjadi sangat penting. Kuntowijoyo sendiri dalam penciptaan karya terpengaruh oleh sebuah

Edisi 12

hegemoni politik koran. Bagaimana pada waktu itu karya diciptakan pada tahun 2003―enam tahun setelah Soeharto lengser—pengarangpengarang mulai berani memunculkan cerita-cerita yang berunsur intrik politik di Indonesia. Apalagi dalam cerita ini masih mengaitkan politik Soeharto. Begitupun dengan sastra koran yang mempunyai kekuatan hegemoni untuk membentuk karya pengarang-pengarang dengan kepentingan dari koran tersebut. Sadar atau tidak, Kuntowijoyo dan karyanya ini telah termakan kepentingan koran. Namun perlu dicermati, bahwa hadirnya kekuatan hegemoni ini sesungguhnya bukan hanya untuk digunakan dalam hal buruk. Hegemoni mempunyai peran menertibkan atau mengoraganisir apa yang rancau, berantakan, dan membahayakan. Dan cerpen ini, terlepas dari hegemoni yang dibentuk koran, mempunyai peran penting dalam penjelasan praktik politik di Indonesia.


Buku

Borges dan Kisah-kisah Ajaib

Penerbitgambang.com

• Reigina Fanindika Putri

Judul: Parabel Cervantes dan Don Quixote Pengarang: Jorge Luis Borges Penerjemah: Lutfi Mardiansyah Penerbit: Gambang Buku Budaya Cetakan: I, Maret 2016 Tebal: 131 hal.

“Tanpa Borges novel Amerika Latin modern sama sekali takkan pernah ada.” Carlos Fuentes. Jika kita tergolong penikmat sastra dunia, maka tidak ada salahnya untuk melirik kumpulan cerpen Borges yang diterjemahkan oleh Lutfi Mardiansyah, Parabel Cervantes dan

Don Quixote. Melalui buku ini, kita sebagai pembaca dituntut untuk mengikuti setiap cerita yang tentunya akan memberikan kesan yang menarik dan beragam. Dibuka dengan cerpen

Edisi 12

berjudul “Zahir”, Borges dengan sengaja mengartikan kata zahir dengan makna yang berbeda-beda dari segala penjuru di dunia. “Pencarian Averroes”, cerita kedua dari kumpulan

15


ini memberikan gambaran dari perspektif agama mengenai karya sastra, melibatkan pula antara tragedi dan komedi. Judul lainnya yaitu “Aleph”, “Kitab Pasir”, “Yang Lain”, “Simurgh”, “Bahamut”, “Burak”, “Uroboros”, “Legenda”, “Cermin Terselubung”, “Harimau Impian”, “Alur”, “Suatu Masalah”, “Sekuntum Mawar Kuning”, “Argumentum Ornithologicum”, “Delia Elena San Marco”. Hal menarik yang ditemukan dalam beberapa judul tersebut ialah Borges kebanyakan membuat setiap cerita dengan tanpa terduga oleh pembaca. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa Borges menuliskan setiap ceritanya dengan gayanya sendiri. Dalam “Kitab Pasir”, misalnya, cerita diolah dengan penyampaian yang beberapa kalimatnya bermakna tersirat. Diceritakan bahwa tokoh aku dan penjual Kitab Pasir saling bernegosiasi perihal kitab

16

tersebut. Sebuah kitab yang bisa dibilang menjadikan siapa saja penasaran satu demi satu lembarnya, membuat tokoh aku menjadi hampir gila karena tak hentinya mencari tahu isi dari Kitab Pasir tersebut. Dikisahkan pula mengenai Bahamut, seekor ikan yang dalam tradisi Islam dikatakan bahwa Tuhan menciptakan seekor ikan bernama Bahamut, dan di bawah ikan ini Tuhan menempatkan air. Hingga Borges membuktikan bahwa Bahamut sebagai pusat di atas segala hal lainnya dan menjadi bukti kosmologis adanya Tuhan. Borges sengaja membuat pembaca untuk memikirkan sendiri dari setiap kisahnya. Mencari tahu apa sesungguhnya Urobos itu. Memberikan pengetahuan mengenai sejarah lama yang terjadi di Babilonia tentang empat binatang yang disebut Haniel, Kafziel, Azriel, dan Aniel. Dalam kisahnya, Don Quixote bersama Miguel de Cervantes memunculkan

Edisi 12

sebuah mitos yang menjadi awal mula kesusastraan, sekaligus ujung-pangkalnya. Beda judul, beda kisah dan beda pula penafsirannya bahwa dalam judul yang lainnya yaitu Suatu Masalah diceritakan bahwa Don Quixote merupakan seorang tokoh pahlawan yang dari sekian keributan telah membunuh seseorang dan menjadi asing bagi dunia Spanyol bahkan dunia Barat. Masih terdapat beberapa kisah ajaib dan hal-hal menarik dari kumpulan cerpen Parabel Cervantes dan Don Quixote. Buku karya Borges ini cukup merangsang pikiran untuk memahaminya secara baik karena Borges membuat setiap ceritanya tak seperti cerita fiksi pada umumnya. Borges membuat setiap ceritanya seperti bercerita mengenai kisah perjalanan hidup. Jika tidak percaya, bisa coba baca sendiri dan temukan kisah perjalanan lainnya.

Yogyakarta, MAret 2016


Film

Film

SURAT DARI PRAHA • Hafilova

Surat Dari Praha Sutradara: Angga Dwimas Sasongko Aktor: Julie Estelle, Rio Dewanto, Tio Pakusadewo, Widyawati Tahun Rilis: 2016

Setelah pekerjaan luar biasa yang dilakukannya pada Hari Untuk Amanda, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan Filosofi Kopi, susah untuk kemudian tidak memasang harapan tinggi pada setiap karya terbaru seorang sutradara muda berbakat macam Angga Dwimas Sasongko ini, misalnya seperti yang teranyar, sebuah romansa pahit-manis berbalut tragedi masa lalu yang diberi tajuk Surat Dari Praha.

Edisi 12

Kemala Dahayu Larasati atau panggil saja Larasti (Julie Estelle) mesti terbang jauh-jauh ke Praha demi memenuhi wasiat terakhir ibunya; menyerahkan sebuah kotak perhiasan berisi suratsurat kepada Mahdi Jayasri (Tio Pakusadewo) sekaligus meminta tanda tangan pria tua itu agar rumah berserta isinya bisa secara resmi menjadi miliknya. Masalahnya, Pak Jaya emoh untuk menerima pemberian terakhir sang ibu, termasuk

17


Film juga menandatangani surat warisan itu. Apa yang terjadi? Siapa sebenarnya Pak Jaya yang penyendiri dan misterius ini? Ada tulisan “Praha” besar dicetak tebal di judulnya, tentu saja saya tidak pernah menyalahkan penontonnya yang kemudian akan mencap bahwa Surat Dari Praha akan menjadi film ‘jalanjalan’ lain yang akan lebih banyak mengeksploitir lanskap kota yang menjadi set-nya ketimbang peduli dengan isi ceritanya. Ya, pastinya Angga Dwimas Sasongko tidak ingin terbang jauh ke Praha dengan percuma begitu saja tanpa mengambil gambar-gambar cantik salah satu kota paling indah di Eropa Timur itu, tetapi bukan berarti ia terjebak menjadikan Surat Dari Praha sebagai film wisata dan melupakan fokus dan inti sarinya Bagaimana narasi cinta dari masa lalu masih terasa menyengat begitu kuat di sini, sangking kuatnya, seiring berjalannya waktu saya pribadi tidak lagi memedulikan di mana lokasi syutingnya, mau di London, di Paris, di Amsterdam atau

18

di Timbuktu sekalipun akan terasa sama saja mengingat dari awal Angga sudah langsung memusatkan segala perhatiannya pada relasi Jaya dan Laras yang kuat dengan segala kisah mereka masingmasing yang tak kalah menariknya. Pak Jaya adalah laki-laki renta yang menghabiskan masa tuanya di negeri orang sebagai tukang bersihbersih di sebuah gedung pertunjukan, ia hidup sendiri, hanya di temani oleh Bagong, si Golden Retriever yang sama tuanya. Tidak jarang selepas pulang kerja ia mampir di bar yang kebetulan dijaga oleh mahasiswa arsitek asal Indonesia bernama Dewa (Rio Dewanto). Pertemuannya dengan Larasati yang tidak pernah disangkasangkanya membuka luka lamanya, apalagi kemudian ia mengetahui fakta bahwa perempuan yang paling dicintainya telah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Sementara Larasati sendiri digambarkan sebagai perempuan muda yang jutek, keras kepala dan egois lihat bagimana ia menolak mentah-mentah

Edisi 12

kehadiran mantan suaminya di pemakaman sang ibu, atau ketika ia meminta warisan tanpa rasa hormat mengingat baru satu hari ibunya di makamkan. terbang ribuan kilometer ke Praha hanya dengan satu tujuan, mendapatkan tanda tangan Pak Jaya, pria misterius yang tidak pernah dikenalnya. Ya, hanya satu tanda tangan saja, mudah, dan setelah itu ia bisa kembali ke tanah air dan memperbaiki hidupnya lagi. Masalahnya Larasati tidak pernah mengira bahwa ia akan terjebak di sana lebih lama dan dalam situasi lebih rumit dari perkiraannya. Perlahan ia mulai mengetahui siapa sebenarnya Pak Jaya, mengapa pria tua itu menolaknya dan pemberian ibunya mentah-mentah, hingga fakta yang kemudian mengubah hidupnya selamanya. Ya, interaksi antara Larasati dan Jaya adalah daya pikat terbesar Surat Dari Praha, susah untuk tidak terpesona melihat bagaimana mereka sukses menggerakkan naskah garapan Irfan Ramli (Cahaya Dari Timur: Beta Maluku). Keduanya memang bukan


Film pasangan ideal dalam term romansa mengingat perbedaan umur yang terlampau jauh, namun berbagi orang tercinta membuat keduanya menjadi dekat, tidak hanya dekat namun juga bagaimana kedua manusia bermasalah ini kemudian saling menyembuhkan satu sama lain dari luka-luka pahit masa lalu. Angga tahu bagaimana memperlakukan karakternya agar bisa tampil senatural mungkin, membiarkan ikatan tumbuh di antara mereka dan juga penontonnya melalui

cerita dan dialog-dialog semi santai namun tidak pernah kehilangan esensinya tentang cinta sejati dan sebuah idealisme yang harus dibayar mahal, sangat mahal. Memang ada unsur politik yang mendasari masa lalu Pak Jaya, namun Angga tidak menjadikannya bahasan yang sampai berlarut-larut namun diselipkan dalam poris yang cukup untuk mendukung latar belakang karakter Pak Jaya dan motifnya mengapa ia sampai terdampar jauh di Praha. Kombinasi naskah bagus,

wowkeren.com

Edisi 12

penyutradaraan lembut dan penampilan solid dari cast-nya kemudian semakin disempurnakan dengan kualitas musikalitas dari Glenn Fredly yang tak kalah hebatnya dalam membangun romantismenya. Tidak hanya berakting, baik Julie Estelle dan Tio Pakusadewo turut menyumbangkan suaranya dengan menyanyikan lagulagu seperti Sabda Rindu dan Nyali Terakhir yang seperti mewakili pesan tentang kerinduan akan cinta sejati.

19


Tentang Penulis Andrian Eksa

Kadiv Bangun Sastra KMSI. Aktif menulis cerpen, puisi, dan berteater. Bergiat di Sangkala, Kajian Rabu Sore. Puisipuisinya termuat dalam beberapa antologi bersama.

Budiman

Kepala Suku KMSI 2016. Menulis puisi, cerpen, dan kritik sastra. Sesekali juga bermusikalisasi puisi.

Irwan Apriansyah

Sastrawan dan akademisi sastra. Menulis puisi, resensi, kritrik sastra dan esai. Beberapa karyanya termaktub dalam JurnalSajak dan beberapa antologi bersama Ia Terbangun di Tahun yang belum Tercatat Kalender (Kendi Aksara: 2011), Puisi Empat Generasi, tribute to Dr. Boen S Oemarjati (Yumi Pustaka: 2012) dan lain sebagainya. Selain itu beberapa karyanya termuat di beberapa media massa dan cyber. Bergiat di Sindikat Rawarawa.

Barkah Ramadhan

Mahasiswa Sastra Indonesia. Menulis puisi dan bermusikalisasi puisi.

Lina Sari Dewi

Mahasiswa Sastra Indonesia 2015. Aktif di LPPM Kreativa

Sigit Pristiyanto

Mahasiswa Sastra Indonesia 2013. Menulis Puisi dan Cerpen. Bergiat di Kajian Rabu Sore dan Susastra.

Rizky Arfian Kurniatama

Menulis cerpen, puisi dan sesekali mendaki gunung mencari inspirasi.

Hafilova

Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia

20

Movie reviewer, horror & thirller mania, Man Utd’s fan and a -still trying to be good-husband for my @fr4n53sCk4 & father from two great kids in the world.

Reigina Fanindika Putri

Mahasiswa Sastra Indonesia 2014. Sibuk mengkoordinasi Susastra.

Desvandi

Mahasiswa Sastra Indonesia 2014. Bergiat di Sangkala, Kajian Rabu Sore. Gemar Bermusik dan menulis.w

Edisi 12


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.