Buletin Mimesis Edisi Ospek 2015

Page 1

Agustus 2015, Edisi Ospek

liliputzlight.tumblr.com

“Menulis adalah sebuah keberanian…” Pramoedya Ananta Toer PUISI:

Lovitta, Nisa Maulan, Barkah, Avesina Wisda CERPEN: Pancasuda (Andrian Eksa) Mimesis edisi OSPEK

1


Salam Sapa Susastra :* Salam kenal bagi yang pertama membaca buletin ini. Selamat berjumpa lagi bagi yang pernah menikmati sebelumnya. Kita bertemu dalam nuansa masih kemerdekaan, tahun ajaran baru, juga hura-hura. Sebelumnya, mengenalkan, Susastra adalah forum diskusi dan belajar kita tentang sastra itu sendiri, serta semua bidang yang berkait—Linguistik, budaya, dan lain. Kali ini kami menghidangkan buletin mimesis yang kesekian dengan berbagai menu yang selain mengenyangkan, semoga meninggalkan kesan. Selanjutnya, silahkan ditelanjangi, dinikmati, boleh juga dikritisi. salam.

Penasehat: Komang Ira Puspitaningsih, Muhammad Qadhafi, Avesina Wisda, Irwan Apriansyah, Reddy Suzayzt | Pemimpin Umum: Zuhdi Ali | Pemimpin Redaksi: Sigit Pritiyanto | Sekretaris: Karla | Staf Redaksi: Julitasari, Reigina, Inas Adila, Nana Marlina, Puti, Danang S. Budi, Sidiq S. Mandiri | Editor: Anto, Reddy Suzayzt, Irwan Apriansyah, Mawaidi D. Mas, Muhammad Farid Ansori | Tata Letak: Rizky Alcantara | Ilustrasi: Refly Kholiq N Mimesis menerima tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku & film. Surel: susastrakmsi@yahoo.com

2

Mimesis edisi OSPEK


PUISI Agosto Lovitta R. Rahma Semalam. Bapak pulang bawa tanya. Ibu di kursi berkerat luka. Agosto. Apa kabar merdekaku? Agosto. Dusun dan kota bersolek Di tanah lapangpasukan berbaris, menyetor derap pengabdian Di atas sana bendera berkibar : “Oyy, kita merdeka!” Agosto. Nyatanya bersalut lebu. Era bangga berbalut emas, lama sudah memudar Di senayan, tuan dan nyonya berdasi Sikut kanan-kiri berebut kursi Di jalanan, bunga bangsa mencekik leher sendiri Vodka! Vodka! Vodka! Larut dalam euforia gengsi Agosto. Di kala malamPojok-pojok pegadaian obral harga diri. Mata sigap lihat kanan kiri. Berharap malam ini terang lagi. Mencoreng muka:

Refly Kholiq N

Anak-anak kurang gizi Bayi bergelimpangan mati Ibu-ibu tak punya asi Agosto. Apa kabar merdekaku? kemarin aborsi Esok mutilasi Lusa gantung diri Agosto. Apa kabar merdekaku? Agosto! Mana merdekaku? Malam ini. bapak pulang bawa tanya Ibu di kursi, menangis. menjawab dalam rintih : “Ini, bulan Agustus.”

Pemali, 25 Agustus 2014 Lovitta R. Rahma, Mahasiswa Sastra Indonesia 2015. Gemar menulis puisi maupun cerpen.

Mimesis edisi OSPEK

3


ESAI Sastra dan Kritik Sastra Dwi Rahariyoso

M

embicarakan bidang sastra tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan konteks sosiologis yang melingkupinya. Termasuk di dalamnya adalah persoalan ranah produksi, baik secara tekstual maupun ekstratekstual. Pada ranah tekstual, maka akan dikaitkan dengan struktur dan hakikat keberadaan karya sastra itu sendiri. Bisa dipahami bahwa keberadaan karya sastra secara ontologis merupakan sebuah dimensi ideologis dimana di dalamnya termaktub suatu bentuk antara konvensi dan inovasi (Wellek dan Warren, 1993). Karya sastra selalu berada dalam kondisi dinamis yang berubah dari waktu ke waktu tergantung konteks zamannya. Dengan demikian, membicarakan karya sastra secara ontologis, tentu saja selalu bersinggungan dengan kondisi manusia dan masyarakatnya. Hal tersebut bisa diasumsikan sebagai ranah ekstratekstual, wilayah yang berada di luar teks sebagai sumber acuan atau referensi, baik secara eksplisit maupun implisit. Keberadaan karya sastra dengan demikian mencakup wilayah yang luas, sebab di dalamnya terkandung berbagai reproduksi atas realitas, yang hadir sebagai

4

sifat referensialnya. Secara tekstual sendiri, karya sastra bisa dilihat dalam kerangka struktural, dimana di dalam strukturnya tersebut, bisa ditemukan suatu pola, bentuk, maupun ciri khas yang menjadi “tanda� spesifik untuk membedakannya dari jenis genre dengan karya sastra yang lain. Ciri identitas ini menjadi suatu bentuk awal dalam menyelami dan memelajari karya sastra, secara tekstual. Sebut saja misalkan, seperti pendekatan intrinsik, yang mengulas komponen dan komposisi karya secara struktural. Klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa hadirnya upaya-upaya untuk menerjemahkan dan memahami karya melalui pola yang hadir secara tekstual. Tidak berbeda juga dalam konteks ke luar teks, bahwa karya sastra bisa juga dilihat dalam posisinya yang terhubung dengan dunia kehidupan, tatanan sosial masyarakat, maupun ide-ide yang diterjemahkan sebagai sebuah upaya mengomunikasikan pengalaman ke dalam tulisan. Sifat dan persoalan kompleks yang ada di dalam karya sastra menunjukkan bahwa sastra tidak bisa dianggap sebagai suatu fungsi hiburan belaka. Di dalamnya juga termaktub gagasan-gagasan,

Mimesis edisi OSPEK

imajinasi, maupun sarana dialektik sebagai hasil respon terhadap suatu peristiwa kehidupan. Berpijak dari asumsi tersebut, maka membaca sastra secara akademis menjadi satu dimensi yang diajarkan di institusi pendidikan dan juga di perguruan tinggi. Membaca sastra secara akademik, tentu saja dimaksudkan sebagai menjelaskan dan memahami persoalan yang hadir di dalam karya sastra sesuai dengan perspektif dan teori di bidang tertentu. Dalam pembelajaran sastra secara umum, sastra tidak memiliki bidang keilmuan yang benarbenar independen lahir dari dalam dirinya sendiri, melainkan meminjam dari bidang-bidang lain di luar dirinya, sebut saja sosiologi, psikologi, strukturalisme, interteks, resepsi, hingga teori-teori post yang semakin marak berkembang. Sebagai bidang keilmuan yang secara akademis diakui, jurusan atau program studi Sastra, khususnya Sastra Indonesia, rupanya belum signifikan tepat sasaran. Betapa tidak bidang sastra masih secara terbatas bisa menjawab tantangan kompetensi di bidang lapangan kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas lulusan sarjana


sastra kebanyakan bekerja tidak linear dengan bidang akademis atau konsentrasi keilmuan yang diperolehnya. Entah kenapa persoalan ini seperti menjadi sebuah common sense yang tidak begitu dipersoalkan. Seolaholah begitulah adanya, sebagai kodrat yang harus diterima oleh program studi ini. Kondisi tersebut semakin ambigu ketika universitas-universitas membuka jurusan atau prodi Sastra Indonesia, yang di kemudian hari menjadi mekanis dengan mencetak sarjana-sarjana formal yang kurang memahami kajian bidang sastra (termasuk saya sendiri). kebanyakan memilih jurusan Sastra Indonesia bukan karena hendak memahami dan mendalami bidang akademis tersebut, melainkan karena terpaksa, atau bahkan sebuah pilihan pahit, yaitu daripada tidak kuliah. Paradigma tersebut menjadi sebuah asumsi nyata bahwa Sastra Indonesia hanya menjadi suatu ikon formal di antara sekian ratus bidang akademis lain yang lebih prestisius. Jurusan Sastra Indonesia lebih sebagai sebuah eskapisme. Sastra Indonesia sendiri sudah diajarkan sejak di sekolah, satu kemasan dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Percampuran tersebut, pada akhirnya menimbulkan suatu kesimpulan bahwa aspek sastra menjadi subbagian

di bawah payung bahasa. Mempelajari sastra dengan demikian mempelajari pola dan bentuk konstruksi bahasa. Memang bahasa merupakan medium bagi hadirnya sastra, hal tersebut tidak bisa dipungkiri tentu saja. Namun pada sisi lain, pengajaran bahasa menjadi lebih dominan daripada pengajaran sastra. Aspekaspek sastra yang diajarkan di sekolah kadang menjadi terlalu struktural. Hingga pada akhirnya ketika masuk ke wilayah perguruan tinggi, pengajaran sastra hanya mereduplikasi konsep-konsep di sekolah dengan beberapa pengembangan yang terkadang kurang relevan dengan isu-isu mutakhir yang muncul secara global. Seperti kita ketahui, bahwa sifat sastra yang dinamis dan kontekstual sesuai dengan semangat zaman, selalu mengangkat isu-isu yang muncul dan terhubung dengan perubahan global maupun regional, maka pembacaan dan analisis terhadapnya tentu saja harus senantiasa mutakhir. Jika boleh mengatakan, kajian sastra harus senantiasa hangat dan baru secara progresif. Tentu saja karena setiap periode dan zaman selalu muncul karya-karya baru dari para penulis dan sastrawan. Kelemahan pembacaan dan konektivitas terhadap realitas global dan empirik tersebut, pada akhirnya

Mimesis edisi OSPEK

menyebabkan pembahasan terhadap karya terutama kajian-kajian ilmiah akademis menjadi macet dan klise. Tidak ada perkembangan yang signifikan dan bermanfaat secara konkret terhadap masyarakat Indonesia yang dihasilkan oleh para sarjana sastra melalui penelitian maupun kajian-kajian terhadap karya sastra Indonesia, kecuali sebagai bukti formal kelulusan mereka. hal ini sangat disayangkan, jika berbicara tentang kontribusi nyata penelitian sastra dan sarjana lulusan bidang sastra di Indonesia. Kajiankajian terhadap sastra yang klise dan tidak memberikan kontribusi kebaruan secara keilmuan pada akhirnya hanya menjelma mesin yang menganiaya dunia akademis tanpa pernah mencakup wilayah yang luas dalam konstelasi realitas kehidupan di negeri ini. kajian-kajian sastra pada akhirnya hanya menjadi wilayah utopis ketika tidak mampu menyinergikan diri dengan isu dan perkembangan dunia global. Sehingga sastra seolah menjadi ruang alienasi yang menyesatkan, alih-alih mencerahkan dan menginspirasi. Hal tersebut berdampak pada pesimisme dan kualitas lulusan sarjana sastra yang diposisikan tidak pernah lebih baik dibanding mereka lulusan bidang sains. Asumsi tersebut seolah-olah mendiskreditkan para sarjana sastra kepada sebentuk

5


euforia belaka. Betapa tidak, dunia sastra bagi mayoritas masyarakat kita adalah dunia imajiner, fiktif, dan semu. Uniknya, tidak semua mahasiswa program studi sastra memiliki pemahaman akademis terkait paradigma yang melandasi dibukanya jurusan sastra Indonesia di perguruan tinggi. Hal tersebut kadang menjadi suatu problem psikis bagi mahasiswa. Beberapa mahasiswa bahkan kerap menduga bahwa ketika mereka masuk program studi sastra, maka akan diajarkan atau bahkan diarahkan untuk menjadi sastrawan. Betapa tidak, sebagian asumsi tersebut muncul karena mereka menyenangi aktivitas menulis, senang membacakan puisi, mempunyai bakat di bidang sastra, hendak mengasah bakat sastranya secara mendalam, dipenuhi oleh berbagai imajinasi dan fantasi yang membuai, dan seterusnya. Semangat dan orientasi tersebut tentu saja tidak tepat sasaran. Penyesuaian antara harapan dan kenyataan ini menjadi suatu aspek penting bagi mahasiswa dan jurusan yang dimaksud. Orientasi yang diharapkan secara akademis dari program studi sastra Indonesia, tentu saja menciptakan sarjana sastra yang paham teori dan aplikasi metodologis dalam mengkaji karya sastra. Bukan pada proses menciptakan karya sastra. Kerancuan orientasi

6

tersebut kerap terjadi dalam dunia mahasiswa, bahwa mereka melakukan sebuah proses kreatif sebagai akibat merespon karya para sastrawan yang mereka kagumi. Sebenarnya tidak ada kesalahan signifikan dalam persoalan di atas, melainkan orientasi akademik yang diinginkan oleh universitas, terutama pengelola program studi jurusan sastra Indonesia menjadi tidak terpenuhi. Proses kreatif bagi mahasiswa program studi sastra memang harus ada, dengan orientasi bahwa mereka perlu melatih diri mereka untuk memiliki kepekaan, penjiwaan, imajinasi, respon, dan kepedulian yang kesemuanya diimplementasikan untuk membaca karya sastra secara lebih komprehensif. Pengetahuan terhadap karya sastra tersebut menjadi suatu aspek dalam mendukung informasi dan persoalan akademik dalam membaca dan menilai karya sastra. Sehingga diharapkan bahwa mahasiswa secara jeli bisa menguasai persoalan maupun isu yang termaktub dalam suatu karya sastra. Tentu saja keberhasilan mahasiswa ini perlu juga mendapat perhatian dan respon penuh dari dosen dan jurusan yang mengelola program studi tersebut. Dengan demikian, pengetahuan terhadap karya sastra, pengarang, maupun isu-isu yang diusung

Mimesis edisi OSPEK

dalam konteks tersebut bisa menjadikan mahasiswa tidak buta arah, ragu, pesimis, dan bertanggungjawab terhadap jurusan yang kelak meluluskannya dengan titel Sarjana Sastra. Selain itu, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa kajian-kajian terhadap karya sastra benarbener relevan dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka pemahaman dasar tentang teori di bidang keilmuan sastra harus tuntas dan tidak simpang siur. Maksudnya bahwa kerangka dasar yang diberikan kepada mahasiswa bisa benar-benar dapat diuji secara saintifik. Terutama jika berpijak pada hakekat keberadaan karya sastra, juga tentang bagaimana secara ontologis dan epistemologis suatu teori bisa bekerja dalam menjelaskan suatu karya sastra. Permasalahan tersebut tentunya tidak bisa instan, melainkan di dalamnya ada suatu proses bertahap yang harus dilalui. Awal kuliah di jurusan sastra Indonesia, mahasiswa akan dikenalkan dengan mata kuliah pengantar Ilmu sastra maupun pengantar teori sastra. Mata kuliah tersebut merupakan pembuka dasar yang mengenalkan mahasiswa melihat konstruksi dan kajian terhadap karya sastra. Karya sastra dalam konteks tersebut sudah tidak lagi dipandang


hanya sebagai hiburan sebagaimana pembaca awam, melainkan ia hadir dengan lebih kompleks dan lebih spesifik karena memunculkan suatu isu atau persoalan. Berangkat dari isu maupun persoalan tersebutlah maka hadir suatu perspektif yang membatasi sudut pandang tertentu dalam melihat kenyataan karya sastra. Melalui pengantar ilmu sastra, maka mahasiswa akan diberikan suatu kerangka dasar dalam mencermati persoalan. Mendefinisikan isu maupun wacana yang hadir dalam karya sastra tentu saja kemudian akan dihubungkan dengan perspektif dan pendapat para ahli yang referennya bisa dikutip dengan cermat sebagai acuan batasan, sesuai dengan fokus dan genrenya masing-masing. Teori-teori dasar pada fase awal tersebut menjadi pondasi awal yang harus benar-benar solid bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa mengerti dengan tepat dan tuntas yang harus

dikajinya. Hal tersebut harus didukung dengan dosen yang berkompeten dan efektivitas penyampaian teori yang sesuai dengan jenjang kebutuhan penelitian. Bagi jenjang awal strata 1 (S1), mahasiswa jurusa sastra diharapkan mampu menerapkan sekaligus menguasai satu bentuk aplikasi teori yang bisa digunakannya kelak dalam menulis skripsi. Kenapa hal tersebut penting? Perlu dicermati bahwa tradisi sastra Indonesia dewasa ini minim kritik. Betapa tidak, mayoritas masyarakat sastra Indonesia lebih fokus dan minat pada dunia kreatif penulisan sastra, dibanding menulis kritik sastra. Kondisi tersebut menunjukkan adanya dua implikasi. Pertama, bisa jadi karena lemahnya kerangka akademis yang dihasilkan oleh universitasuniversitas yang mengelola program studi sastra. Kedua, bahwa tradisi kritik sastra tidak lepas dari persoalan selera yang seringkali

memunculkan perbedaan pemahaman antara satu kritikus dengan kritikus yang lain, maupun antara kritikus dengan pengarang yang kurang terbuka dalam menyikapi suatu kritik. Pertanggungjawaban akademis dan teoritis sangat diperlukan dalam dunia sastra, bukan sekedar untuk menghakimi atau menilai kualitas karya, melainkan juga mampu terkoneksi dengan dunia di luar teks secara global sebagai bagian dari kerjasama sejagad. Penguasaan teori dan isu-isu terbaru tersebut, pada akhirnya mampu memberi kontribusi bagi perkembangan dunia akademik sastra dan membangkitkan kembali dunia kritik sastra kita secara dialektis. Sastra tanpa kritik sastra ibarat tubuh tanpa roh. Keduanya menjadi satu komposisi, dimana tubuh selalu mencari ekstase kepada roh, demikian juga sebaliknya. Keduanya membentuk suatu dialektika yang berkesinambungan. Ponorogo, Agustus 2015

Dwi Rahariyoso lahir di Ponorogo, Jawa Timur. Menyelesaikan studi S1 di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNY tahun 2009. Menyelesaikan studi S2 Ilmu Sastra di FIB UGM tahun 2015. Menyukai puisi dan beberapa kali puisinya termaktub dalam antologi bersama. Tinggal di Papringan, Catur Tunggal, Depok, Sleman. Email: jaketlusuh@gmail.com

Mimesis edisi OSPEK

7


BUKU Cerita-cerita “Tolol” Eka Kurniawan “Kalian orang-orang tolol yang percaya pada mimpi”, salah satu petikan dari kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali menemukan Cinta melalui Mimpi karya Eka Kurniawan. Terkadang memang hal tolol bisa membuat bahagia atau mengembalikan semangat hidup seseorang. Atau setidaknya, bahan cerita. Buku ini merupakan kumpulan cerpen terbarunya yang dilahirkan pada tahun 2015, menyusul karya terakhirnya berupa novel yang berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dalam kumpulan cerpen Perempuan Patah Hati yang Kembali menemukan Cinta melalui Mimpi ini, Eka Kurniawan banyak mengangkat tema sederhana dan seperti tersebut di atas, tolol.

Judul: Perempuan Patah Hati yang Kembali menemukan Cinta melalui Mimpi Pengarang: Eka Kurniawan Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit: 2015

8

Mimesis edisi OSPEK

Apakah kalian ingat tebak-tebakan masa kecil yang berbunyi “Bagaimana memasukan seekor gajah ke dalam kulkas?” atau “Gajah yang besar apanya?” Eka menjawabnya di sini. Dalam cerpen “Membuat Senang Seekor Gajah” diceritakan tentang dua bocah yang berusaha memasukkan seekor gajah ke dalam kulkas. Jika dipikir secara logis, sangat tidak mungkin seekor gajah cukup berada


dalam sebuah kulkas. Akan tetapi, Eka Kurniawan membawakannya dengan cara yang berbeda. Dengan polosnya, dua bocah tersebut memotong-motong si gajah tanpa memikirkan akibatnya, yaitu si gajah mati. Karena yang ada dalam benak kedua bocah tersebut hanya ingin membuat si gajah bisa masuk ke dalam kulkas. Alhasil, si gajah berhasil masuk ke dalam kulkas dengan keadaan yang sudah tidak utuh lagi. Itu semua dilakukan supaya si gajah senang dan kedua bocah tersebut pun merasa senang ketika gajah berhasil masuk ke dalam kulkas. Dalam “Perempuan Patah Hati yang Kembali menemukan Cinta melalui Mimpi”, diceritakan

keberadaan seorang perempuan yang dengan mudahnya percaya pada sebuah mimpi dan mengikuti alur dari mimpinya sendiri. Hingga pada akhirnya si perempuan berhasil menemukan cintanya, seorang lelaki yang ada di dalam mimpinya. Tak disangka bahwa sebuah mimpi bisa menjadi nyata, bahkan sebuah cerita dalam mimpi benar adanya. Tetapi bukankah seseorang yang percaya pada mimpi, bahkan mengikutinya adalah hal yang tolol? Ada beberapa lagi hal-hal tolol yang diceritakan dalam kumcer ini—bahkan hampir semua. Bagaimana seorang wanita yang menikmati puncak seksualitas dengan

menahan kencing. Sebuah batu yang memiliki perasaan dan dendam kepada manusia. Seorang gadis yang membunuh ibunya karena jawaban kebetulan teka-teki silang, dan lain sebagainya. Hal-hal yang kebanyakan orang menganggapnya tolol tersebut, dikemas dengan ide cerita yang menarik. Ada lagi sebuah cerita yang membuat pembaca merasa tolol karena berpikir apakah itu fiktif atau memang didasari oleh kehidupan penulis, “Pengantar Tidur Panjang”. Tapi kalau tak ingin ambil pusing dan terlihat tolol, cukup menikmatinya sebagai cerita-cerita tolol nan menarik. Karena buku ini menyajikan itu. [*]

Egin dan Nana. Menuliskannya berdua karena sama-sama menyukai buku ini, dan ingin menuliskannya.

MEMPERKENALKAN, PERPUSTAKAAN JURUSAN.

C14 (Lab. Karawitan lt 1) Mimesis edisi OSPEK

9


KRITIK SASTRA KEMENDUAAN ”SEORANG DAGING MENTAH” (Pembacaan atas Puisi Afrizal Malna) Muhammad Qadhafi

Tubuh Metonimic “Seorang Daging Mentah” “Seorang Daging Mentah”, sejak dari judul tersebut, puisi ini telah memuntahkan sesosok mutan misterius. Lebih lanjut, ia bisa berupa kombinasi antara manusia, makanan, sihir, dan bahan bangunan di suatu sisi. Di lain sisi, ia bisa juga merupakan anak sedarah dari hubungan iseng antara puisi dengan prosa. Lalu apa maksudnya? Pertanyaan itu tidak terlalu penting untuk diajukan dalam konteks “bentuk” puisi ini, begitu juga jawabannya. “Seorang Daging Mentah”, barangkali, memang tidak memerlukan rasa kasihan dan pengertian kita untuk memahami suara dari dalam tubuh rapuhnya. Ia terkesan hanya ingin mempertontonkan (atau sekaligus menonton) suatu permainan tubuh yang diliputi benturan dan buraian. Tubuh “Seorang Daging Mentah” sebagian besar dibangun dengan lemparan kerikil-kerikil metonimi. Dan oleh karena itu; membingungkan, “tidak mudah” dibaca, atau jika

10

mengutip istilah Barthes: tidak “Readerly”.[1] …. Tidak mengenal duduk dan berdiri. Ia hanya tahu bertepuk tangan di balik pagar. Seorang anak berusia 50 tahun setelah 8 tahun (2012: 57)

Usia “50 tahun” dan (setelah) “8 tahun”, angka tersebut bisa seenaknya dimain-mainkan. Misalnya dimainkan demikian, “seorang anak berusian 60 tahun setelah 10 tahun” atau “seorang anak berusia 49 tahun setelah 9 tahun”. Main-main angka pada tubuh puisi tersebut tidak mengubah makna, sebab tidak ada makna di sana, yang ada hanyalah penandapenanda. Daripada suatu makna, permainan angka usia ini lebih merupakan suatu cemooh (juga ironi) “Seorang Daging Mentah” terhadap narasi besar para psikolog yang mengkategorikan manusia berdasarkan perkembangan psikologisnya—bahwa masa kanak-kanak dialami manusia pada kisaran usia 2 hingga 12 tahun.[2] …. Kini ia hanya tepuk tangan di balik pagar. Rumah yang nilai-nilainya dijaga

Mimesis edisi OSPEK

oleh uang dan sejarah binatang di bawah meja makan. (2012: 57).

Dari mutilasi tubuh “Seorang Daging Mentah” di atas, terlihat bagaimana antarbagian-bagiannya tidak saling terkait, tidak koheren. Relasi—antara tepuk tangan, rumah, uang, sejarah binatang, meja makan, cinta, dan pasir—tersembunyi, disembunyikan, atau bahkan memang tidak ada relasi di sana. Lebih ekstrimnya, pada potongan tubuh itu mengucur darah sejarah. Sejarah yang terdahulu mati, kemudian ditawarkan sejarah yang baru. Sejarah di sini bukan lagi sejarah yang dianggap berlaku universal, bukan lagi menyangkut momen-momen masa lampau yang dinarasikan sebagai penciptaan atau penghancuran agung, melainkan sejarah yang terabaikan: sejarah binatang di bawah meja makan. Apakah hal itu pantas disebut sejarah atau tidak, itu tidak penting lagi. Pada sempalan tubuh “Seorang Daging Mentah”, darah sejarah tidak lagi merah, hitam, biru, atau putih—tidak lagi berwarna. …. Ia takut


dengan hitam legam ia takut dengan lendir yang legam. Dan setan-setan tak megerti apakah malam terbuat dari sihir tepung terigu atau bubuk-bubuk semen yang belum dicampur air.

Ia yang selalu ingin terbalik. Sepatu kiri terbalik, halaman belakang terbalik, pohon mangga tumbuh terbalik, berjalan terbalik menuju ke kiri yang terbalik. Desember yang terbalik dengan Januari… (2012: 58).

Segala keterbalikan di atas tidak menjelaskan suatu tujuan tertentu, melainkan sekadar hasrat “ingin terbalik”. Dengan demikian, di sana dapat dioperasikan keterbalikanketerbalikan yang lain. Urutan dan penempatannya pun bisa dibolak-balik tanpa menimbulkan permasalahan berarti. Sederhananya, semisal ketika disebutkan bahwa “ia mendengar dengan ujung rambut”, rambut di sini bisa seenaknya digantikan dengan kaki, jari, kuku, dan lain-lain. Pengkombinasian[3] semacam itu tidak bertujuan menampakkan suatu gejala pemaknaan, dan memang bukan “inti kedalaman” tersebut yang dipertontonkan oleh “Seorang Daging Mentah”, melainkan kebopeng-an permukaan tubuhnya. Larangan-larangan Terselubung Afrizal Di antara berbagai

keterpecahan yang dipamerkan tubuh metonimik “Seorang Daging Mentah”, Afrizal diam-diam melongok lewat jendela laranganlarangannya. Dalam keadaan demikian, kecenderungan Afrizal terhadap modernisme terlihat. …. Kepercayaan kepada cinta dan kesunyian yang tak pernah bisa terisi dengan 1 truk pasir, besi beton, dan semen (2012: 57)

Kutipan di atas menyodorkan hukum yang mutlak, yang diajukan oleh pangarang, bahwa cinta (yang bersifat batin) tidak bisa dan tidak mungkin digantikan oleh bahan material bangunan (yang bersifat materi). Dengan demikian, Afrizal berpegang pada narasi besar[4] bahwa hal-hal sprititual lebih unggul daripada yang material. … Dengan sendirinya latar depan menyesatkan kamus-kamus yang mencari akhir sebuah kata. Ia harus melalui jendela untuk meloloskan diri dari jebakan pintu. Seorang daging mentah yang kadang melihat ada kuburan bintang-bintang di telapak tangannya (2012: 58).

Di sini, “meloloskan diri melalui jendela” dapat disebut sebagai pengharusan, sebagai kehukuman. Dan jika tidak, karena suatu hukum yang diajukan modernisme

Mimesis edisi OSPEK

selalu mengandung sangsi, maka yang melanggarnya akan “melihat kuburan bintang-bintang di telapak tangannya”. Dengan demikian, sebagai sangsi dari pelanggaran tersebut— harapan dan pencerahan tidak akan tercapai. Antara bentuk dan muatan larangan dalam “Seorang Daging Mentah” merupakan dua hal yang saling berbenturan, kontradiktif. Dalam hubungannya dengan modernisme, puisi ini merupakan suatu karya yang paradoksal. Ia menentang modernisme lewat bentuknya, namun secara bersamaan larangan-larangan (yang merupakan produk modernisme) ia tanamkan di sana. Referensi [1]Roland Barthes, S/Z (1974) [2]Elizabeth B. Hurlock, Developmental Psycology (1980) [3]Ihab Hassan, The Postmodern Turn (1987) [4]Linda Hutcheon, A Poetic of Postmodernism (1988) “Seorang Daging Mentah”, Puisi Afrizal Malna dalam buku Ruangpuisi 03 (2012) terbitan Framepublising, Komunitas Rumah Lebah Yogyakarta. Muhammad Qadhafi. Alumni Sastra Indonesia UNY. Sedang menempuh S2 Ilmu Sastra di UGM.

11


PUISI Gadis Perindu Hujan Nisa’ Maulan Shofa

Aku adalah gadis perindu hujan Yang selalu merindu bau basah tanah Yang selalu menanti awan menumpahkan cintanya Mengalirkan cintanya untuk disimpan oleh tanah

Aku adalah gadis perindu hujan

Menanti langit meneteskan air sayang

Air suci yang berpadu kasih

Air jiwa yang berserah pasrah

Aku adalah gadis perindu hujan Dalam keheningan malam menanti petir Mengutuk rapal kepada bintang

Aku adalah gadis perindu hujan

Yang selalu menengadah menanti deru angin

Yang setia menjaga nyala cita

Cita untuk menuju sang hujan

Refly Kholiq N

Menyuruhnya sirna berganti gelayut awan hitam

(teruntuk saudara-saudaraku yang tengah menanti hujan di tanah yang kering)

Nisa’ Maulan Shofa, Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta. Suka menulis dan sering memasukkan karakter unik seorang teman untuk menjadi tokoh rekaannya di dunia imaji.

12

Mimesis edisi OSPEK


PUISI Riwayat Musim Avesina Wisda

# dalam mulut semua bahasa menjelma batuan kali sesekali terhempas tak tahan laju air siapa tahu bahasa batu? # Di ketiadaan, kubangun dirimu di sisiku, begitu pula aku Dari ketiadaan, kurasa nadimu tinggal di telapak tangan # Musim telah kemarau, rumput lagi tak bergeming pada godaan angin tentu, dingin masih ada termometer mencatat kesepian hari seorang gadis berlari menuju apaknya, malu-malu menanyakan cinta “raba dalam diri, apa yang kau rasa?� # siapa tahu peta nasib, sungai yang membawa pada kelokan-kelokan sempit yang kau namai sunyi

Avesina Wisda , Mahasiswa Sastra Indonesia 2010. Bergiat di Susastra dan Keluarga Rabu Sore. Skripsi tak mengurangi perhatiannya kepada adik tingkat.

Mimesis edisi OSPEK

2015

13


Google.com

CERPEN

Pancasuda Andrian Eksa

Tugi memang tak pandai berhitung. Tak pandai memperhitungkan hidupnya. Tapi setiap hari ia mesti berhitung, memperhitungkan kebutuhan hidupnya, memenuhi kewajibannya sebagai suami. Bersama Parni, kini Tugi harus siap menghadapi konsekuensi hidup yang dipilihnya. Menjalin keluarga kecil yang diharapkan bahagia dengan segala keadaan. Sekalipun setiap hari hanya makan dua kali, itu pun dengan lauk seadanya. Awalnya mereka masih sanggup tertawa dengan canda renyah sepasang kekasih yang dilanda cinta. Hingga bulan purnama beralih bentuk dari pandangan mata mereka menjadi bulan sabit yang cekung, seperti mangkuk yang terbalik. Ya, mangkuk sup yang terbalik dan kosong karena isinya berjatuhan. Begitulah hidup mereka,

14

kini. Belum sempat dua tahun penuh dari hari pertama mereka mengucap akad, kesulitan-kesulitan hidup datang satu persatu. Bergantian. Seperti serdadu musuh yang terus datang menyerang ketika barisan depan ditumpas habis. Dua tahun yang lalu, cinta Tugi kepada Parni berada pada titik yang menggairahkan, begitu pula cinta Parni kepadanya. Tugi duapuluh lima dan Parni duapuluh satu. Keduanya sama kuat tekadnya, mereka akan menikah. “Mas, pokoknya bulan depan kita menikah. Aku takut kehilangan kamu, Mas. Kita sudah hampir lima tahun pacaran. Hubungan kita juga sudah terlanjur jauh.”Tugi memandang kekasihnya dengan penuh kasih. Dielusnya rambut Parni yang rebah di dadanya. Ia tersenyum, lantas menimpali dengan keyakinan yang kuat.

Mimesis edisi OSPEK

“Pasti. Mas Tugi janji. Bulan depan pasti aku akan bertandang ke rumahmu beserta wali yang akan melamarmu untukku. Tenanglah. Sebentar lagi kita akan hidup bersama dengan lebih tenang, tidur seranjang tanpa merasa takut dipergoki orang.” Parni mengembang hatinya, kebahagiaan yang diimpikan sejak lama akan segera ia rasakan. “Tapi ada satu hal lagi, yang juga penting.” Lanjut Tugi. “Apa, Mas?” Parni mengangkat kepalanya menjadi sedikit mendongak dan menatap mata Tugi yang memandang jauh. “Masalah Bapak?” Ia segera menebak. Parni tahu dan berkalikali menceritakan perihal bapaknya kepada Tugi. Jika bapaknya akan merestui pernikahan Parni dengan siapapun asal perhitungan Pancasudanya tepat. Tidak jatuh pada hitungan yang akan membawa mereka


CERPEN menghadapi masalahmasalah selama mengarungi hidup sebagai keluarga. “Ya. Dan kau tahu bukan? Aku sudah mempelajari hal itu, perhitungan neptu kita jatuh pada Pancasuda lebu katiup angin, kita akan menghadapi banyak masalah jika berkeluarga nanti. Seperti kesengsaraan, sering kapesan, susah mencari sandhang pangan, susah mendapatkan apa yang kita inginkan, dan masih banyak rintangan lain. Aku tidak mempermasalahkan itu. Sebab aku mencintaimu dan siap menanggung semua konsekuensi dari cinta kita. Tapi bapakmu? Aku tidak yakin.” Air mukanya berubah, Tugi seperti jatuh dari bayangan yang telah dibangunnya tinggi-tinggi. “Aku akan mengurusnya, Mas. Aku akan katakan kepada bapak jika perhitungan neptu kita jatuh pada Pancasuda yang tepat dan kita akan bahagia. Tanpa masalah apapun.”Parni mencoba membangun kembali semangat Tugi. “Bagaimana maksudmu?” “Mas sudah tahu bagaimana perhitungan neptunya. Kenapa kita tidak mengganti hari lahirmu saja, Mas? Toh tidak akan ada yang tahu. Mas coba hitung, hari lahir apa yang neptunya jatuh pada hal baik jika dihitung dengan neptuku.” “Masalahnya namaku Tugi, Dik. Tugi itu dari Setu Legi. Yang berarti aku lahir di hari itu. Bagaimana kita akan

membohongi orangtuamu jika dari namaku saja mereka sudah bisa menebak dengan jelas.” “Itu hanya nama to, Mas. Kenapa mesti dipermasalahkan?” “Kita mungkin tidak mempermasalahkan, Dik. Tapi orangtuamu? Seperti perhitungan neptu kita ini. Orangtuamu yang mempermasalahkan. Mas sebenarnya juga tidak terlalu percaya dengan hal semacam itu, Dik.” Parni terdiam. Sejenak ia berpikir, kenapa calon suaminya menjelek-jelekkan orangtuanya. Bukan menjelek-jelekkan, cuma ada rasa tidak suka. Dan seharusnya Parni tidak membenarkan hal itu. Tapi sebagai perempuan mesti patuh terhadap suami. Paling tidak ini sebagai awal kepatuhanku, batinnya. Sementara Tugi juga terdiam. Tiba-tiba ia teringat mendiang orangtuanya, terutama bapak. Dulu bapak selalu percaya terhadap hal-hal semacam ini. Ia akan menghitung segala sesuatu sebelum melangkah. Risiko apa yang akan terjadi dan keuntungan apa yang akan didapat. Bapak akan melarang siapapun dari rumah kami untuk berpergian ke mana pun, jika perhitungannya menunjukkan hal buruk akan terjadi. Namun, ketika bapak dan ibu meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan ke rumah simbah itu, aku

Mimesis edisi OSPEK

tak lagi percaya. Manusia memang bisa menghitung, tapi ketentuan hidup sudah digariskan dan dikendalikan oleh Tuhan. Semoga kau bisa meyakinkan bapakmu, Dik. “Aku akan mencoba menjelaskan kepada bapak, Mas. Tapi Mas juga coba hitung hari apa yang tepat dengan neptuku, Jumat pon.” Tugi mengangguk pelan, mendekap tubuh Parni dan kembali mengelus rambutnya. Satu hal yang membuat Tugi selalu ingin bertemu Parni adalah bau rambutnya yang wangi dan keringatnya yang sudah menjadi candu. Entah apa yang dikatakan Parni kepada bapaknya. Ia hanya memberi kabar kepada Tugi, bapak merestui dan kau diminta datang ke rumah untuk membahas pernikahannya, sehari setelah Tugi memberitahu jika hari Senin legi menjadi hari lahirnya yang baru. Jika dihitung neptunya dengan Jumat pon, akan jatuh pada Pancasuda tunggak semi. Yang berarti hidup pasangan akan dilimpahi dengan rejeki yang lebih dari cukup. Setelahnya Tugi datang melamar bersama Mbah Giman, tetangga yang sudah biasa melamarkan anak-anak lelaki di desanya. Kepada Mbah Giman, Tugi mengatakan hari lahirnya Senin legi dan Parni Jumat pon. “Cocok.Tunggak semi. Hidup kalian akan makmur.” Kata Mbah Giman usai

15


menghitung Pancasudanya. “Iya, Mbah. Semoga.” Tugi berkata sedikit tersendat, seperti ragu. Semoga ini menjadi doa, batinnya. *** “Bapak juga heran, Le. Menurut perhitungan, hidup kalian akan berlimpah rejeki. Tetapi kenapa hidup kalian masih saja pas-pasan. Kamu dan Parni juga kerjanya ituitu saja, mencari pasir di kali. Apa salah hitung ya, Le? Tapi tidak mungkin. Bapak sudah menghitung berkali-kali dan hasilnya tetap sama, tenggak semi. Aduh, aduh. Ibumu itu lho, setiap malam selalu tanya ke bapak. Kapan bisa menggendong cucunya?” Tugi sudah hafal kata-kata ini. Setiap kali ia berkunjung ke rumah mertua, kata-kata ini yang diucapkan bapak mertuanya. “Mungkin ini ujian, Pak.” “Tapi kenapa terusterusan, Le? Ini sudah satu setengah tahun kalian menikah.” Tugi hanya akan diam. Atau sesekali ia akan mengalihkan pembicaraan dengan bertanya tentang hal lain, semacam meminta pendapatnya terhadap tetangga yang mati atau rumahnya kemalingan. Sebab Parni pernah bilang, jika bapaknya hanya tahu jika Tugi lahir di hari Senin legi. Namanya Tugi, Setu Legi, diambil dari penggabungan hari lahir bapak dan pasaran ibunya. Setelah hampir dua tahun pernikahannya, Tugi mengurangi intensitas

16

berkunjung ke rumah mertua. Jika sebelumnya seminggu sekali ketika masih satu desa, lalu sebulan sekali ketika Tugi pindah ke rumah yang dibelikan mertuanya di desa lain, dan kini setahun sekali setelah kepindahannya ke kota lain. Alasannya tidak pernah berubah, ia tidak berkutik dengan keluhan mertua yang tidak pernah bisa ia penuhi. Kerja tetap, hidup makmur, dan memberikan cucu untuk mereka. *** Hidup dengan bayangan tuntutan-tuntutan dari orangtua membuat mereka sering ribut. Saling menyalahkan satu sama lain. Parni mempermasalahkan tentang sikap Tugi yang menjauh dari orangtuanya. Sedang Tugi mempermasalahkan tentang ketidakkonsistenan Parni. Dulu mereka bertekad untuk tetap menikah, apapun yang akan mereka hadapi setelahnya. Tapi sekarang Parni mulai menyalahkan diri mereka yang terlalu nekat. “Kita telah memilih jalan ini. Harus menjalaninya apa pun yang terjadi. Kini aku percaya dengan perhitungan itu, Dik. Pancasuda lebu katiup angin itu memang benar dan kita mengalaminya. Tapi dulu kita tidak perccaya.Sekarang kita harus percaya, Dik. Harus!” “Tapi apa kita akan terus seperti ini, Mas?” “Mungkin iya, mungkin juga tidak. Pernikahan kita

Mimesis edisi OSPEK

awali dengan kebohongan dan terus kita bangun dengan kebohongan lain. Sekarang kita harus meluruskannya, Dik.Kita harus jujur kepada orangtuamu. Meminta petunjuk dari bapak.” Untuk pertama kalinya Tugi merasa menjadi suami yang sesungguhnya. Keesokan harinya mereka berkunjung ke rumah orangtua Parni. Mereka membawa sedikit oleh-oleh yang dibeli dari hasil penjualan satu kursi di ruang tamu. Begitu sampai mereka segera sungkem dan menjelaskan semua. Awalnya bapak dan ibu kaget jika mereka—terutama Parni—tega berbohong kepada orangtua. Sesekali menganggukkan kepala memaklumi masalahmasalah yang dialami anak dan mantunya. Setelah penjelasan selesai, bapak angkat bicara. “Bu, kabari warga di sini, besok kita akan mengadakan ruwatan. Kabari juga jagal untuk menyembelih kambing dan bapak akan ke pasar menjual sapi, mumpung masih pagi. Untuk menanggap wayang.” Ibu keliling desa. Bapak ke kandang di belakang rumah. Tugi dan Parni hanya terdiam, di tempat semula, tak tahu apaapa.[] Yogyakarta, Agustus 2015

Andrian Eksa, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di Keluarga Rabu Sore (KRS).


ULASAN SASTRA Puisi dan Matinya Estetika Dalam napas, puisi bekerja tanpa melakukan pengejaran (Rabu Pagisyahbana) Muhammad Aswar

Jika kita kembalikan puisi kepada terma awalnya dari Aristoteles, poetics, maka dalam beberapa waktu belakangan, puisi kita pernah dan sedang berbenturan hebat dengan dua teori yang sedang berkembang. Pertama, cultural studies, dan kedua, free market. Aristoteles memaknai puisi sebagai pembentukan realitas baru dari realitas yang kita diami. Dindingnya adalah bahasa, patoknya adalah estetika, keindahan. Jika yang pertama berfungsi menuntun siapa saja untuk memasuki rumah, maka isi rumahnya adalah estetika. Estetika itulah yang mampu menghadirkan realitas baru, makna baru, di antara makna-makna yang bertaburan di dalam dunia kita.

Adanya estetika memungkinkan puisi bermakna pada dirinya sendiri. Ia tidak membutuhkan realitas keseharian dalam penilaian, antara baik dan buruk, benar dan salahnya. Ia benar dan baik dengan sendirinya, tergantung bagaimana ia menghadirkan realitas sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan beberapa kalangan yang memosisikan puisi di dalam dekapan cultual studies. Bagi mereka, puisi hanyalah salah satu teks dari keseluruhan dokumen sosial yang mengandung penandapenanda sosial yang pernah terjadi. Puisi dikaji untuk menyingkap gejala-gejala sosial.

Dengan tujuan itu, mereka tidak tertarik Estetika, secara sederhana, untuk mendapatkan dapat dimaknai sebagai semacam jouissance, keindahan. Keindahan adalah suatu kenikmatan tekstual rasa. Bagaimana rajutan kata- yang muncul dari dalam. kata yang dalam keseharian Tetapi puisi itu berguna tak memiliki rasa, tak jika mampu menghadirkan hidup, kemudian di dalam kecenderungan dan gejala puisi mendapatkan rasanya sosial itu sendiri. Sehingga sendiri. Kata-kata itu hidup, puisi tidak berbeda dengan menghadirkan sesuatu yang dokumen sosial yang lain, tak terduga.

Mimesis edisi OSPEK

tak ada yang lebih tinggi atau lebih baik. Teks puisi sama nilainya dengan teks-teks yang lan, baik sastra populer maupun chicken soup. Dalam pembacaan ini, fungsi kritikus, dalam arti yang sesungguhnya, disisihkan. Meneliti kata demi kata, membacanya berkali-kali, mencari keindahan yang sengaja disembunyikan, lalu menghadirkannya dalam ulasan yang juga indah, tak diperlukan sama sekali. Yang perlu adalah menilai keserasian puisi dengan kondisi zaman yang sedang terjadi. Selain itu, cultural studies menjadikan puisi berpihak. Sebab, cultural studies menganggap kebudayaan dan realitas itu kompleks dan berubah-ubah, tergantung siapa yang memakainya dan dengan kepentingan apa. Kebudayaan itu sengaja dibuat untuk kepentingankepentingan tertentu. Dan kebudayaan dibuat untuk melakukan hegemoni terhadap orang lain. Kebudayaan bersifat politis. Semua itu terejawantahkan

17


dalam kajian feminis, gay dan lesbian, etnisitas dan agama. Maka puisi juga demikian. Pertanyaan pertama yang diajukan terhadap puisi adalah keberpihakannya. Di mana ia berpihak, apakah rakyat biasa atau para penguasa, apakah ia hendak melaukan suatu perubahan atau hanya berdiam diri dengan perputaran sejarah. Free market bergerak lebih dalam lagi. Jika cultural studies berbenturan dengan pengkajian dan kritik terhadap teks, maka free market berupaya memasuki relung moralitas penciptaan puisi, ke dalam hati para penyair. Ia tidak peduli bagaimana puisi dihadirkan dalam ruang sosial, tapi bagaimana para penyair mengada di dalam dunia yang diciptakan pasar. Kebebasan dalam pasar memungkinkan segala sesuatu dapat diperjualbelikan. Hal ini berbeda dengan konsep ekonomi sebelumnya, di mana pasar hanyalah tempat bertukar hasil-hasil produksi. Di dalam pasar bebas, baik hasil produksi, jasa distribusi serta alat tukar pun dipertukarkan. Sebut saja contoh yang paling konkret. Jika dahulu orangorang memakai uang sebagai alat tukar antara beras dan ikan, maka hari ini uang bisa ditukarkan dengan uang, rupiah dengan dollar.

18

Pasar bebas adalah bagaimana mengkonversi segala sesuatu sehingga mampu menghasilkan keuntungan dalam bentuk finansial. Jika memakai adigium yang sering terdengar, tak ada yang gratis, bahkan untuk bernapas pun harus bayar. Dalam pasar bebas, adigium ini dipraktekkan seketatketatnya. Dari rupiah ke dollar, tidak hanya ditukarkan, tapi juga harus mendapatkan keuntungan. Sasaran utama dari pasar bebas adalah moralitas. Apa yang seharunya tak dijual, tak perlu mendapatkan keuntungan, semuanya dikapitalkan, di-uang-kan. Tak ada yang bisa lepas darinya. Semuanya bergerak di dalam sistem bisnis. Hendak lepas darinya? Sayangnya hidup kita sedang berputar-putar di dalamnya. Ia kini lumrah dan melekat di dasar otak kita. Bukan hanya otak pribadi, tapi otak sosial. Sebab ia adalah sistem. Ia bergerak secara naluriah, seperti yang dikatakan Adam Smith, digerakkan oleh The Invisible Hand, tangan-takterlihat, yang mengarahkan kehidupan kita ke dalam sistem itu. Begitu juga dengan puisi. Puisi yang tak memiliki nilai finansial sama sekali, kemudian dijual. Dengan “tuntutan zaman� para penyair dipaksa untuk profesional, menjadikan puisi

Mimesis edisi OSPEK

sebagai lapangan pekerjaan, ladang penghasilan. Puisi dijadikan sumber penghidupan finansial dalam arti yang deterministik. Di sinilah persinggungan antara kapital dan estetika. Estetika mengikuti pasar. Jika tidak, ia akan tersisihkan dan tak laku untuk diperjualbelikan. Menunda Kematian Lalu, bagaimana kita memosisikan puisi di antara benturan tersebut? Disuguhkan buku antologi puisi Rabu Pagisyahbana, Perahu Napas, saya mendapatkan suatu usaha awal untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap permasalahan kita. Usaha awal, sebab, saya kira, dengan perjalanan kepenyairan Rabu, haruslah terjadi eksperimentasi yang panjang seiring kedewasaannya dalam memadukan antara dinding dan patok rumah, antara bahasa, estetika dan usahanya untuk menghadirkan realitas baru. Bagi Rabu, “Puisi seperti halnya membicarakan napas, dan perihal bernapas bagi kita adalah suatu hal yang tak asing dalam keseharian.� Setiap orang bernapas selama masih hidup. Ia naluriah dan terjadi begitu saja, tanpa perlu memikirkannya terlebih dahulu. Tak ada yang memperdebatkan arti penting dari bernapas, sebab ia hal yang seharusnya. Ia


diterima begitu saja: “Tanpa melakukan pengejaran.�

Simak cara Rabu bernapas dalam puisi berikut:

Sebab napas adalah pemberian.

Hati

Tak ada yang bisa mengintervensi orang lain untuk tidak bernapas, atau bagaimana caranya ia bernapas. Seperti halnya tak ada orang yang mampu mengubah bernapas dengan hidung menjadi bernapas dengan telinga. Puisi harus ditempatkan demikian. Tak ada yang boleh mengaturnya, baik dalam bentuk uang maupun wacana. Bagaimana bisa diatur, jika ternyata menghadirkannya pun tak ada yang mampu memprediksikan kapan puisi datang. Ia muncul begitu saja, dihirup, lalu menjelma teks. Berpuisi tidak pernah dibuat atas keisengan atau maksudmaksud tertentu. Maka yang hadir adalah apa yang diberikan. Tak lebih. Estetika adalah pemberian, bahasa adalah pemberian.

sepertinya ia tahu daun teh tak mau sembarang dipetik dahan tak mau sembarang menyabang akar tak mau sembarang menancap dan beban tak mau sembarang dipikul baiknya aku mesti kembali ke arah pantai merekam ombak dan cermat memindainya tak sudi laut mau sembarang jadi manis tak ubah kiranya perahu yang tak mau sembarang kayu begitu juga hati

Tak ada yang dibuat-buat. Semuanya mengikuti kodrat. Akar tak menancap di udara, sebab begitulah ia menancap. Ketika menancap ke tanah, akar sedang tidak melakukan

keisengan. Sebab itulah yang ia butuhkan. Seseorang akan mengatur seberapa besar oksigen yang ia masukkan ke dalam paru-paru, seberapa sering ia bernapas, tergantung kebutuhan masing-masing. Maka seorang penyair akan menghadirkan estetika sesuai dengan kodrat dan kebutuhannya. Tak perlu dilebih-lebihkan entah menyesuaikan keberpihakan ataukah untuk mengikuti selera pasar. Begitulah. Bernapas adalah pemberian, yang uniknya, sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Puisi bergerak mengikuti irama tersebut, yang dalam bahasanya Friedrich Holderlin, “buah akan ranum pada waktunya, daun akan jatuh pada waktunya; dan puisi akan lahir.�

Makalah ini disampaikan dalam diskusi Peluncuran dan Bincang Buku Perahu Napas karya Rabu Pagisyahbana, 8 Juni 2015

Muhammad Aswar, mahasiswa Studi Qur’an dan Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mimesis edisi OSPEK

19


ESAI Sastra dalam Apresiasi dan Kompetisi Namun kalau pihak yang mengadakan lomba tersebut sepenuhnya mengambil hadiah yang akan diberikan kepada pemenang dari uang pendaftaran, lebih-lebih mendapat untung darinya, patut dipertanyakan di mana sisi apresiasinya. Pertentangan sastra dalam apresiasi dan kompetisi memang menjadi hal yang seksi untuk dibicarakan. Karya sastra, antara layak atau tidak untuk diperlombakan, dan alasan bahwa kompetisi adalah bagian dari apresiasi, menjadi dua hal yang menarik untuk diperdebatkan. Keduanya bisa menjadi benar sebagaimana bisa juga menjadi kurang patut. Perlombaan karya sastra— cerpen, puisi, novel, esai, kritik sastra—memang sedang marak-maraknya. Berbagai lembaga yang entah itu berhubungan langsung atau tidak dengan dunia sastra itu sendiri, mengadakannya. Dengan berbagai region, kategori, dan sebagainya. Mulai dari tingkat sekolah, kampus, daerah, hingga nasional, bahkan internasional. Dari khusus remaja dengan batasan umur tertentu, hingga yang memperlombakan karyakarya penulis besar dunia. Perlombaan karya sastra memang harus diakui menjadi salah satu alternatif bagi penulis

20

untuk mempublikasi dan membuktikan kesaktian karyanya selain media mayor seperti koran, majalah sastra, dan media elektronik. Tidak sedikit penulis yang lahir dan diakui melalui kompetisi karya sastra. Selain itu, dari perbincangan sastra hari ini yang banyak dibilang megap-megap, kegiatan semacam ini bisa menjadi helaan baginya. Bahkan lebih dari itu, diharapkan menjadi solusi dengan munculnya karya sastra yang terseleksi, maupun pengarang dan kritikus sastra itu sendiri. Jadi, dari sisi yang telah disampaikan di atas, kompetisi dalam sastra bukanlah hal yang salah bahkan patut diapresiasi. Kalau kita perhatikan lagi, sastra khususnya karyanya, memang tidak bisa lepas dari kompetisi. Untuk pemuatan karya sastra di media seperti koran dan majalah, sudah barang pasti akan melewati proses seleksi. Di sini karya sastra akan dibandingkan, dikonfrontir, dan dipilahpilah mana yang sesuai kriteria media tersebut, atau setidaknya yang menjadi

Mimesis edisi OSPEK

www.pd4pic.com

Zuhdi Ali

favorit redaktur. Bahkan penghargaan sastra paling bergengsi seperti Nobel pun, tidak akan lepas dari penyaringan sesuai kriteria yang mereka miliki. Pertanyaan selanjutnya kalau karya sastra memang tak bisa lepas dari kompetisi, lalu apa yang menjadi alasan bahwa sastra bukanlah hal yang patut untuk diperlombakan? Sastra seperti halnya karya seni yang lain, memang memiliki penikmatnya masing-masing. Penilaian bagus atau tidaknya karya tersebut sangatlah tergantung pada subjektifitas penikmatnya. Seperti seorang sangat mengagumi lukisan abstrak dan menyebutnya memiliki imajinasi dan estetika tinggi dan orang lain menganggapnya biasa saja atau buruk menurut seleranya, begitu pula karya sastra yang tidak semua orang bisa sepakat bahwa semua karya bisa dianggap baik atau buruk. Seorang remaja mungkin akan menganggap karya sastra remaja atau teenlit adalah yang terbaik dan menjadi


favorit bacaan mereka. Namun orang lain bisa saja tidak terlalu bahkan sama sekali tidak menyukainya. Atau seorang mungkin bisa bilang sebuah puisi sangatlah bagus dengan semua metafor, imaji, dan menyentuh pedalaman jiwa, namun orang lain justru tak paham sama sekali isinya. Penilaian sastra seperti ini memang tepat menjadi alasan kenapa karya sastra menjadi hal yang kurang patut untuk dilombakan; bahwa setiap karya sastra adalah baik tergantung pada masingmasing penikmatnya. Ini juga mengartikan bahwa bukan berarti karya sastra yang tidak menang dalam lomba adalah karya yang buruk. Dengan asumsi bahwa baik tidaknya karya sastra adalah hal yang sangat subjektif dan untuk itu semua karya sastra bisa dianggap baik tergantung yang menilainya, perlombaan semacam itu pun tidak lepas dari subjektifitas. Karya yang tidak menang, bisa jadi adalah karya tidak kalah baik menurut juri, namun berdasarkan kategori-kategori yang sudah ditentukan akhirnya mereka menentukan pemenangnya yang lain. Dengan kategori-kategori yang tersebut, entah itu mengenai tema, genre, dan lain-lain, perlombaan mengenai karya sastra bukanlah hal yang salah sama sekali. Memang keputusan pemenang tetap akan mengandung subjektifitas

juri, namun hal itu bisa dibatasi dengan kategorikategori yang sudah ada. Jadi karya sastra teenlit tak akan menang pada perlombaan yang dimaksudkan untuk sastra serius, begitu pun sastra serius tak akan menang dalam perlombaan karya sastra teenlit atau pop. Sampai di sini, belum ada yang harus dipermasalahkan dari perlombaan karya sastra. Selama hal itu dimaksudkan untuk mengapresiasi, sudah seharusnya kita juga mengapresiasi pihak-pihak yang telah menyelenggarakannya. Tapi kalau perlombaan tersebut justru menciderai hakikat apresiasi, sudah seharusnya kita melawannya. Tapi bagaimanakah perlombaan yang menciderai apresiasi? Beberapa perlombaan karya sastra yang ada saat ini mengharuskan pesertanya membayar uang pendaftaran. Hal ini bukan sepenuhnya salah kalau hanya untuk administrasi seperti keperluan mencetak biodata peserta atau naskah lomba. Namun kalau pihak yang mengadakan lomba tersebut sepenuhnya mengambil hadiah yang akan diberikan kepada pemenang dari uang pendaftaran, lebih-lebih mendapat untung darinya, patut dipertanyakan di mana sisi apresiasinya. Hal ini bisa saja, bahkan sangat mudah dilakukan. Buat saja lomba menulis puisi dengan tema yang banyak ditulis orang atau sentimental,

Mimesis edisi OSPEK

CINTA misalnya, dengan biaya pendaftaran tidak terlalu tinggi dan imingiming hadiah dan sertifikat, sudah cukup untuk menarik perhatian anak-anak muda yang terlalu banyak menyimpan puisi cintanya. Namun, dengan catatan uang hadiah tidak disebutkan terlebih dahulu. Setelah itu, bisa saja memberi hadiah sekenanya. Apresiasi terhadap sebuah karya sastra tidak harus melulu dengan menetapkannya sebagai pemenang dan memberi hadiah. Membaca sebuah karya sastra dengan sungguhsungguh, atau mengkritisi, atau menganalisisnya, juga adalah sebuah bentuk apresiasi. Permasalahannya, tidak semua pihak yang mengadakan perlombaan tersebut benar-benar mempunyai niat apresiasi. Tidak semua pihak tersebut sempat untuk sekadar membaca karya yang masuk. Mereka bisa jadi membayar seorang sastrawan untuk menjadi juri, yang akan membaca satu per satu karya peserta dan menentukan pemenang. Kalau lagilagi, perlombaan tersebut dilakukan seperti itu, dan ujungnya penyelenggara justru bisa menyimpan keuntungan hasil lomba, di mana letak apresiasinya? Yogyakarta, Agustus 2015 Zuhdi Ali, penggemar Persipura.

21


PUISI Aku Ingin Pulang Barkah Ramadhan Serupa Hidjo Kian kemana rasa bangsa pada jiwa Perlahan pudar dan mengelupas Bahkan berceceran entah dimana Apalagi sejak datangnya Betje Aku makin tergoda Pada rayu-rayu manisnya Seakan dia memahat tubuhku yang kaku Sambil terus berkata: “Apa kau tetap akan memilih menjadi Faust?” Akhirnya aku layu Disuguh Lili Green di Prinsesse Schouwburg Apa telanjang adalah kemerdekaan? Hingga aku benar menikmatinya Bahkan yang lebih dari itu Situs-situs penggoda lebih canggih dari pada Betje Memberangus apa saja yang sejak lama kususun rapi di dalam otak Aku ingin pulang Kembali pada hangat dekapmu Menebus segala yang sempat sesat Karena kurasa Sudah terlampau jauh raga ini berjalan Jauh menembus jarak dan peta-peta Izinkan aku kembali Bukan untuk mengawini Woengoe Tapi tumbuh berkembang dan berjuang Sebagai harapan bumi pertiwi Lalu setelah itu mati Dalam kemerdekaan bangsaku yang hakiki. Medari, Mei 2015 1. Puisi ini mendapat juara 3 dalam lomba sastra yang diadakan Universitas Hasanuddin, Makasar. Barkah Ramadhan. Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2013. Aktif mengkoordinasi divisi Sasmita Musik KMSI UNY.

22

Mimesis edisi OSPEK


FILM

www.sonyclassics.com

Dendam dalam Berbagai Menu Sebuah karya agung berasal dari Argentina yang disutradari dan ditulis oleh Damián Szifrón dan mendapat penghargaan Oscar pada kategori Best Foreign Language Film di tahun 2014 juga berbagai nominasi di tahun 2014-2015. Antologi film yang bercerita tentang dendam setiap manusia dapat menjadi ide yang menarik. Bagaimana dendam itu disajikan dalam menu berbeda dan beragam rasa. Damian menyajikannya dengan penuh perhitungan, hingga sepotong cerita yang pendek bisa utuh. Boleh lah, mensejajarkannya dengan Pulp Fiction dan film yang bergenre black comedy lainnya.

Film: Wild Tales Sutradara: Damián Szifron Penulis: Damián Szifron Produser: Hugo Sigman, Agustín Almodóvar, Pedro Almodóvar, Matías Mosteirín, Esther García, felipe photiades, Gerardo Rozín Distributor: Warner Bros Tanggal rilis: 17 Mei 2014 (Cannes) 21 Agustus 2014(Argentina)

Mimesis edisi OSPEK

Dibuka dengan film pendek tentang pembalasan dendam Pasternak, seorang tokoh yang membuat para penumpang pesawat terjebak dalam keterhubungan dengannya. Pembukaan yang tidak berteletele, namun sedikit hal yang digantung oleh Damian yaitu ending dari Pasternak. Anda dapat menebak atau sekadar melewatkan dan menunggu film yang kedua. The Rats adalah film kedua yang bercerita tentang hancurnya keluarga yang disebabkan oleh politikus, minim ketegangan, namun cukup untuk menjadi bahan satir bagi para politisi. Kemudian The Strongest, tentang pertarungan di jalan kosong yang jauh dari kota, berujung pada

23


kematian sunyi. Little Bomb, film keempat yang mungkin akan menyentil telinga para penonton, sebab dalam bagian ini Damian berhasil membuat realita menjadi hiburan dan sedikit mengulur waktu untuk apa yang akan dilakukan tokoh utama dalam film pendek tersebut. The Proposal, bagian kelima ini akan membenturkan kita dalam ranah dunia nyata di Indonesia, mungkin ada banyak masalah atau kasus tentang permainan hukum, salah satunya dalam bagian The Proposal, penonton akan

disadarkan, bahwa uang dapat menyelamatkan nyawa seseorang juga membunuh orang yang tak bersalah. Until Death Do Us Part, film penutup yang penuh dengan suspend, bercerita tentang sepasang kekasih yang merusak pestanya sendiri dengan masalah-masalah kecil, mulai dari membawa mantan, hingga melakukan sex dengan salah satu koki di atas gedung.

penonton untuk segera mengetahui, bahwa dari keenam film Wild Tales mungkin pernah terjadi di belahan bumi antah berantah. Oleh karena itu, pantaslah kita duduk atau sekadar melepas penat selama dua jam untuk menonton film ini. Sebuah masterpiece dari Damian Szifron akan membuat Anda tersadar dalam realita sisi kemanusian.

Kita melihat realita yang dibungkus dengan satir dan komedi yang menghempaskan Danang S. Budi. Masih sibuk menulis cerpen.

en.wikipedia.org

24

Mimesis edisi OSPEK


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.