5 minute read

Sinrilik: Panggung Memori Masyarakat Makassar

Pasinrilik Daeng Aco (75 tahun) -

Muhammad Mughiits

Advertisement

ernyata masyarakat di pedesaan

TSulawesi Selatan diam-diam rindu pada irama kesok-kesok. Buktinya, saat masyarakat Labbakkang mendengarkan lantunan Sinrilik I Manakku Caddi-caddi oleh Arif Daeng Rate, beragam ekspresi tiba-tiba muncul. Ada yang diam penuh khidmat; sesekali mengusap air mata; bahkan ada yang sampai memukul lantai dan bersorak pada saat mendengarkan penggalan cerita andalannya.

Kejadian itu memanggil ingatan pada (Alm) Syarifuddin Daeng Tutu, maestro Sinrilik dari Gowa. Daeng Tutu pernah mengatakan bahwa panggung sinrilik adalah medium interaksi pasinrilik (pelaku) dan penonton sehingga tercipta rasa kebersamaan yang hangat. Panggung ini disebut sebagai panggung organik, yaitu panggung yang tidak membutuhkan pelantang suara atau tata cahaya memadai ala pertunjukan modern.

Nyatanya, sinrilik merupakan tradisi yang terbingkai rapi dalam memori baik bagi individu maupun kolektif masyarakat Makassar. Oleh sebab itu, panggung organik sinrilik praktis menjadi ruang “recalling” atau sebagai panggung memori manusia Makassar. Memang, warga masyarakat telah lama tak menyaksikan pertunjukan sinrilik, tapi begitu mereka disuguhkan kembali, beragam ingatan masa lalu mereka perlahan muncul dan memenuhi pikiran mereka.

Sinrilik dan Manusia Makassar

Sinrilik adalah tuturan yang diiringi kerek-kerek gallang atau kesok-kesok yang merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Makassar. Keberadaannya bagaikan bulan purnama yang langka dan dinantikan. Momen kedatangannya disebut sebagai pannyaleori atau pelipur lara. Di beberapa daerah yang dikunjungi penulis hampir tidak ditemukan lagi pasinrilik aktif (seniman sinrilik).

Menurut kamus Bahasa MakassarIndonesia sinrilik berarti prosa-lirik. Sedangkan, menurut Syarifuddin Daeng Tutu, sinrilik merupakan pertunjukan yang memadukan antara seni tutur dan instrumen yang dinamai kesokkesok. Akkesok dalam bahasa Makassar secara harfiah berarti menggesek-gesek

Sinrilik:

Panggung Memori Masyarakat Makassar

suatu permukaan benda ke benda yang lain. Dalam konteks ini, kesok-kesok merupakan sebuah alat musik yang dimainkan dengan cara digesek.

Dalam konteks keseharian, sinrilik dikenal masyarakat Makassar sebagai salah satu jenis ikan laut dengan nama latin Caesionidae Sp. Diduga terdapat hubungan antara ikan sinrilik dengan tradisi lisan sinrilik yaitu secara struktur ikan sinrilik yang dianalogikan sebagai instrumen kesok-kesok.

Pa’rasanganna tu Mangkasaraka (masyarakat Makassar) memiliki jenis sinrilik yang khas sesuai daerah masingmasing di Makassar, Gowa, Maros, Pangkep, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, dan Selayar. Tidak heran jika sebagian sinrilik menggunakan nama tokoh sebagai judul, seperti, I Maddi Daeng ri Makka, berasal dari Jeneponto; I Manakku Caddi-caddi, bangsawan berdarah Luwu dan Bone yang latar ceritanya berkembang di Labbakkang-Pangkep; Tuanta Salamaka Syekh Yusuf, berasal dari Gowa; Datu Museng dan Maipa Deapati, sepasang kekasih dari Gowa dan Sumbawa, dan beberapa lainnya. Hal itu menandakan bahwa sinrilik telah menjadi bagian identitas lokal rumpun Makassar.

Organologi Sinrilik

Secara organologi, instrumen kesok-kesok tergolong dalam klasifikasi alat musik jenis cordophone, yaitu sumber suaranya berasal dari senar atau dawai. Kemudian, pada struktur bentuk, kesok-kesok memiliki kemiripan dengan instrumen rebab, yaitu memiliki dua senar dan membran kulit sebagai penutup resonator tabung. Cara membunyikannya dengan menggesekkan busur pada senar yang ditegangkan.

Bahan yang menubuh pada instrumen kesok-kesok terdiri dari kayu pilihan untuk bodi umumnya menggunakan kayu cempaka, kayu nangka, dan kayu jati putih, sedangkan pada membrannya menggunakan kulit kambing muda/ remaja, babat kerbau, atau kulit biawak. Komponen pada bow menggunakan ekor kuda sebagai penggesek senar yang dibentangkan pada kayu melengkung terlihat seperti busur panah.

Menurut keterangan Yusuf, seorang pengrajin alat musik tradisonal di Gowa, dawai yang digunakan pada kesok-kesok dahulu berasal dari usus hewan, setelah itu beralih ke kawat tembaga. Seiring perubahan dan waktu yang berjalan, terjadi inovasi pada instrumen kesok-

Para perawat sinrilik -

Muhammad Mughiits

kesok penggunaan senar dari usus hewan dan tembaga digantikan oleh senar gitar seperti yang kerap dijumpai hari ini. Bagian kepala kesokkesok atau headstock berfungsi sebagai penampung pasak, terdiri dari dua lubang tuning dan dua putaran senar sebelah kanan dan kiri headstock.

Khazanah Sinrilik

Pada dasarnya, sinrilik terbagi atas dua jenis, yaitu sinrilik pakkesok-kesok dan sinrilik bosi timurung. Pertunjukan sinrilik dapat dijumpai ketika masyarakat Makassar melaksanakan suatu hajatan seperti perkawinan, sunatan, acara peresmian, syukuran masuk rumah, pesta panen, dan lain sebagainya.

Dahulu, Adab yang perlu diperhatikan sebelum mengundang pasinrilik (seniman sinrilik) ialah dengan membawakan sepaket sirih pinang oleh sang pemilik hajat, apabila paket tersebut diterima, maknanya pasinrilik bersedia menghadiri undangan tersebut. Hal semacam ini tampaknya sudah ditemukan lagi. Saat ini, jika ada yang hendak mengundang seorang pasinrilik, cukup dengan mendatanginya bahkan sekadar lewat telepon pun sudah bisa. Pertunjukan sinrilik berlangsung setelah salat Isya hingga menjelang azan Subuh berkumandang yang menyebabkan pasinrilik atau pakesokkesok wajib memiliki stamina yang prima agar terciptan pertunjukan yang atraktif.

Sementara itu, sinrilik bosi timurung (sinrilik hujan lebat) merupakan pertunjukan yang dilaksanakan tanpa menggunakan instrumen kesok-kesok, dan isinya cenderung berisi ratapan atau nasihat-nasihat. Jenis sinrilik ini tidak membutuhkan penanggap atau penonton.

Daeng Tutu berkata bahwa menjadi pasinrilik bukanlah sebuah profesi melainkan hanya sebuah kegiatan sambilan bagi pakoko—tukang kebun atau petani. Namun di era ini, pasinrilik merupakan seniman pertunjukan popular yang menjadi profesi yang bernilai ekonomis. Daeng Tutu juga menuturkan bahwa pertunjukan sinrilik dahulunya dilakukan dengan saling

Kesok-kesok -

Muhammad Fadhly Kurniawan

duduk melingkar. Hal tersebut bila ditelisik mengandung aspek sipakatau— saling menghormati, sipakalabiri—saling menghargai, agar saling sipakainga yaitu saling mengingatkan. Ketiga aspek tersebut merupakan nilai dasar yang mengikat moral manusia Makassar dalam bermasyarakat.

Sinrilik dan Panggung Memori

Dalam pengamatan beberapa tahun terakhir, pertunjukan organik sinrilik tidak lagi tercipta di panggung populer, khususnya di kota Makassar. Dapat dikatakan bahwa saat ini kemasan pertunjukan sinrilik menitikberatkan pada aspek estetika panggung dan hanya dilihat dengan sudut pandang monovisual di mana konsentrasi pertunjukan hanya terfokus pada pasinrilik, padahal, idealnya, kesatuan pertunjukan sinrilik terletak pada interaksi antara pasinrilik dan penontonnya. Untungnya, pada 10/04/2021 penikmat sinrilik berkesempatan menyaksikan pertunjukan organik sinrilik di Labbakkang—Pangkep.

Inilah pertunjukan organik sinrilik; sebuah ruang untuk me-recalling memory masyarakat Makassar. Banyak ingatan lampau dihadirkan kembali dalam panggung tersebut. Buktinya, sesekali di antara mereka saling menggoda dan beradu argumen saat pertunjukan berlangsung. Inilah yang dikatakan sinrilik sebagai pannyaleorina tu Mangkasara yang artinya pelipur lara manusia Makassar.

Kisah I Manakku Caddi-caddi, misalnya, merecall kisah terkait etos kerja yang dialami Daeng Rate ketika ia mendapatkan undangan untuk bermain sinrilik di Labbakkang-Pangkep (22/01/2021). Pertunjukan tersebut dilaksanakan sebagai hajat sang tuan rumah yang telah sukses di rantau dan memasuki rumah baru di Labbakkang.

Konon, sebelum merantau, tuan rumah tersebut terinspirasi oleh etos kerja yang terkandung dalam sinrilik I Manakku Caddi-caddi. Sang tuan rumah bernazar bahwa pada suatu hari kelak apabila ia telah sukses dalam usahanya, ia akan mengundang pasinrilik sebagai bentuk rasa syukur atas spirit—buah dari etos kerja—sinrilik tersebut. Peristiwa itu dapat dikatakan sebagai appalappasa tinjak atau melepas hajat sekaligus melepas rasa rindu mendengarkan sinrilik kembali setelah puluhan tahun lamanya.

Sinrilik adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Makassar dan bukan sekadar hiburan pelengkap acara. Panggung sinrilik ialah ruang pengetahuan kultural dan memori manusia Makassar yang adi luhung, jangan sampai ternoda dengan hanya dijadikan sebagai “formalitas identitas”, bahkan, panggungnya menjadi “tempelan” pertunjukan populer

(Muhammad Fadhly Kurniawan/ Alumni Program Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia)

Daeng Aco sang perawat panggung memori -

Muhammad Mughiits

This article is from: