6 minute read

Inovasi Cap Batik Kertas Warga Panggungharjo

Inovasi Cap

Warga Panggungharjo

Advertisement

Kertas dapat dijadikan cetakan batik? Kertas apa? Pertanyaan itu muncul spontan karena selama ini kami hanya mengenal tembaga sebagai alat mengecap batik. Nur Rohmat, sang perintis cap batik kertas, rupanya telah melakukan beberapa kali uji coba untuk menentukan kertas yang paling cocok digunakan sebagai cetakan batik, kertas yang cukup kaku namun mudah dibentuk menjadi motif. Nur Rohmat juga menciptakan motif batik weton, yakni motif yang menggambarkan weton atau hari kelahiran seseorang dalam penananggalan Jawa. Gagasangagasan itu muncul pada masa pandemi Covid-19. Betapa kreativitas bisa membeludak ketika gerak langkah terbatas. Tubuh boleh tertahan, namun imajinasi tidak tertahankan.

Pagi itu, Jumat (18/6/2022) kami mengobrol dengan asyik seputar jagat perbatikan Tanah Air bersama para awak Sanggar Inovasi Desa di Omah Kreatif Dongaji di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY. Kami disambut oleh Nur Rohmat dan Joko Hadi Purnomo, pentolan Sanggar Inovasi Desa. Kopi panas dan lemper ayam menemani perbincangan. Satu demi satu anggota komunitas datang ke markas, dengan membawa kreasi batik mereka.

Inovasi cap batik kertas sebetulnya tidak terlalu mengejutkan mengingat Nur Rohmat ini lulusan Jurusan Kriya Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang memang terbiasa dipacu untuk mendulang gagasan-gagasan autentik. Meski demikian, pemicu munculnya ide itu sejatinya adalah kebutuhan untuk bertahan dalam kondisi terdesak. Waktu itu ia dan komunitasnya mendapat pesanan batik namun ongkos produksi tidak mencukupi. Nur Rohmat pun bereksplorasi dengan kertas, mulai bungkus rokok, cangkir kertas, hingga karton.

Ongkos produksi cap kertas jauh lebih murah dari cap tembaga. Harga sewa cap tembaga saja sudah mahal, apalagi memesan atau membelinya. Beberapa motif mungkin mampu, namun banyak motif membuat kantong kempes. Harga sewa cap per lembar kain Rp 2.500, padahal rata-rata dibutuhkan dua atau tiga cap untuk satu kain. Jika 10 lembar kain? Ya, tinggal dikalikan saja.

Betul bahwa kertas setelah dicelup ke dalam malam atau lilin batik akan menjadi kaku, tidak lembek, sehingga ketika ditekan di atas kain tidak melengkung. Akan tetapi, proses menjadi tebal dan kaku juga tidak serta merta. Maka itu, tidak asal kertas yang dapat dipakai untuk

cap. Kertas koran, misalnya, sangatlah sulit. Kertas karton yang tebal dan kaku bisa, namun kurang elastis. “Nah ini paling pas,” ujar Rohmat sambil memperlihatkan cap kertas dari kartu remi.

Saya memegang cetakan kertas itu. Memang kertas sudah kaku karena puluhan kali dicelupkan ke cairan lilin batik. Namun, yang membuat saya tibatiba merasa girang, gambar jack, king, dan queen masih terlihat, juga beberapa gambar sekop/waru, hati, wajik, dan keriting di separuh atas cetakan. Kartu remi yang biasanya untuk bermain truf, poker, casino, solitaire, dan yang paling serius untuk dilombakan hingga tingkat dunia, bridge, kini “turun tahta” secara berfaedah: digunting-gunting untuk cetakan batik.

Sinau Batik

Ketika Nur Rohmat siap membagikan pengalamannya, sanggar lantas mengadakan kegiatan bertajuk Sinau Batik dengan mengundang peserta yang beragam, termasuk penyandang disabilitas. Mereka ratarata sudah mengenal proses pembuatan batik. Lewat program inilah pembuatan dan penggunaan cap kertas diperkenalkan. Pewarnaan bisa secara sintetis atau dengan pewarna alam yang bahan bakunya masih ada di lingkungan sekitar namun makin langka seperti kulit kayu tingi, jambal, tegeran, dan mahoni, juga dengan daun mangga, daun kelengkeng, kenikir, dan pacar air. Namun, karena proses pewarnaan alam itu membutuhkan waktu lebih banyak dan batiknya lebih mahal, mayoritas peserta memilih dengan pewarna sintesis.

Manajer Program Sinau Batik Sanggar Inovasi Desa Joko Hadi Purnomo atau akrab disapa Koko menuturkan, potensi industri rumahan batik memang sudah ada di Panggungharjo dan tempat berkumpul juga sudah ada yaitu di Omah Kreatif Dongaji. Di tengah keprihatinan masa pandemi, ketahanan pangan harus diwujudkan.

Peserta Sinau Batik, Dewi Lestari, menciptakan motif sekar gadung, yang terinspirasi dari upacara adat tunggul wulung di dusunnya. “Dulu upacara ini dilakukan oleh punggawa Majapahit, lalu sekarang dilakukan setiap tahun pada Jumat Pon pada bulan Agustus atau September di Dusun Dukuhan, Desa Sendang Agung, Minggir. Sleman. Dalam upacara itu ada kirab dan tarian sekar gadung, makanya saya bikin motifnya kembang gadung, lalu dipadukan dengan motif parijoto. Warnanya keunguan sesuai dengan warna upacara tunggul wulung,” papar Dewi, menjelaskan filosofi motif batik yang ia kembangkan.

Bagi Koko dan Nur Rohmat, membuat motif batik haruslah disertai latar

Motif Indonesia dalam

batik cap - Zul Lubis

belakang dan alasan, tidak asal menggambar bunga, misalnya. Hal itu juga ditekankan oleh Dwi Hening, pensiunan guru Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta Jurusan Tekstil, yang menciptakan motif Panggungharjo dan Karangkitri. Bagaimana menerjemahkan nama desa menjadi sebentuk motif batik? “Desa Panggungharjo itu kan masuk dalam garis imajiner DIY, dari Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, hingga Merapi. Nah di Panggung Krapyak itu ada Karangkitri, tempat luas yang ditanami palawija. Merapi sebagai tempat tertinggi mengisyaratkan bahwa ada yang berada di paling atas yaitu Tuhan. Panggungharjo sendiri artinya panggung yang makmur,” terang Dwi.

Lalu bagaimana menggambarkannya? Kami makin penasaran. Dwi lantas menunjukkan karya batiknya. Di sana kombinasi daun asem, simbol adem (dingin) ayem (nyaman) mesammesem (senyum-senyum), lalu ada air yang digambarkan dengan awan yang nantinya mengucurkan air (bentuk awan berbeda dengan awan dalam motif mega mendung Cirebon). Kemudian ada mainan kitiran, ini terkait dengan sesepuh yang saban hari membuat mainan anak di Panggungharjo sehingga desa itu dijuluki kampung dolanan. Lalu ada pula gambar kawung yang sangat bermanfaat dan gambar kandang menjangan yang ada di Panggung Krapyak. Kain sepertinya penuh dengan motif beragam, namun ternyata pas karena capnya tidak terlalu rapat.

Di antara 100 peserta di Sinau Batik, terdapat 25 penyandang disabilitas yang rata-rata tuna daksa, karena kecelakaan maupun sakit polio. Di antara mereka ada pula penderita tuna rungu. Khusus untuk penyandang disabilitas, praktik membuat batik dikerjakan berkelompok agar dapat saling bantu meski masingmasing peserta boleh menghasilkan batiknya sendiri, seperti Sutrismi dengan batik motif bunga randa tapak atau dandelion dan Sri Lestari dengan motif daun kamboja.

Motif Weton

Baru-baru ini Nur Rohmat membuat dan mengembangkan motif weton. Bermula dari kegelisahan akan makin hilangnya pengetahuan mengenai kearifan lokal yang menjadi jati diri akibat latah menggunakan milik kebudayaan lain seperti shio. “Saya sebetulnya menentang. Bukan berarti tidak boleh pakai shio, tapi yang dekat

Membuat motif baru - Zul Lubis

jangan dilupakan. Kebudayaan kita harus dibumikan hingga menjadi produk yang dapat memunculkan pranata sosial,” katanya.

Pembahasan mengenai mikrokosmos dan makrokosmos serta lingkaran kehidupan tidak akan pernah selesai sepanjang kehidupan manusia. Daur hidup mulai kelahiran hingga kematian selalu akan dieja dan diterjemahkan agar manusia dapat hidup dengan tenang dan punya sandaran. Tiap etnis dan bangsa sebetulnya memiliki pijakan yang sama dalam memaknai daur hidup, menerjemahkan watak manusia, hingga memindai energi tubuh, yakni dengan menghubungkan tiga elemen: Tuhan, manusia, alam. Maka itu muncul narasi

empat elemen yaitu air, api, kayu, dan batu, atau ada yang memakai elemen air, udara, dan api. Begitulah.

Dari berbagai pembacaan sejak dulu kala, muncul penerjemahan weton manusia, misalnya orang yang lahir pada Kamis Wage itu memiliki unsur angin, kilat, dan tanah dengan hewan gajah dan tanaman bulir/rumpun padi. Selanjutnya ada penerjemahan linggayoni, tabiat, dan dominasi daya. “Setelah membaca buku-buku, tugas saya adalah mengalihwahanakan menjadi motif batik,” ujar Nur Rohmat, yang kemudian menunjukkan koleksi batik weton yang tersisa.

“Wah, motif weton saya tidak ada,” kata saya. “Inden, ya,” sahut Nur

Rohmat. Baiklah…

(Susi Ivvaty/Indonesiana)

Sri Lestari memegang batik motif weton Jumat Kliwon karya Nur Rohmat -

Zul Lubis

This article is from: