7 minute read

Koleksi Mata Uang Langka di Museum Bank Indonesia

Dari Bahari untuk Kiwari di Museum BI

Pengelolaan koleksi merupakan jantung dari kehidupan permuseuman. Ia menjadi daya tarik dan bahkan pilihan utama bagi masyarakat untuk datang ke museum. Berdasarkan koleksinya, museum pun terbagi menjadi dua, yakni museum umum dan museum khusus. Museum umum merupakan museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan berbagai cabang seni, disiplin ilmu dan teknologi. Sedangkan museum khusus merupakan museum yang koleksinya terdiri dari kumpulan bukti material manusia atau lingkungannya yang berkaitan dengan satu cabang seni, satu cabang ilmu dan atau satu cabang teknologi. Jenis museum kedua ini menjalankan pengelolaan koleksi yang sangat spesifik dengan melibatkan tenaga ahli spesialis. Museum Bank Indonesia (MuBI) adalah salah satu museum khusus di Indonesia. Museum yang resmi dibuka pada tanggal 21 Juli 2009 ini menampilkan sejarah panjang perekonomian, perbankan dan numismatik di Indonesia. Koleksi numismatiknya meliputi aneka koin langka yang sukar ditemukan di tempat lain di dunia.

Advertisement

Uang Prakolonial

Dalam bahasa Indonesia, kata ‘bahari’ tidak hanya berarti laut, tetapi juga dahulu kala, kuno, bertuah, dan elok atau indah sekali. Koleksi numismatik di MuBI terkait dengan semua hal tersebut. Selain berasal dari masa kejayaan bahari Nusantara, koleksi tersebut juga memiliki nilai yang sangat tinggi pada era kiwari atau masa kini.

Koleksi mata uang tertua yang dimiliki oleh MuBI adalah uang ma. Uang ini berasal dari Kerajaan Mataram kuno yang berdiri sekitar abad ke-8 hingga abad ke-11 Masehi. Uang ma juga memiliki ukuran yang mungil. Berbentuk seperti dadu dan berukuran seperti biji jagung. Uang ma terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama bergambar bunga cendana dengan tulisan ma, sedangkan kelompok kedua bergambar biji wijen dan bertuliskan ta. Ma berarti masa, sedangkan ta berarti tahil; keduanya mengacu kepada satuan berat logam mulia. Satu ma atau masa beratnya 2,4 gram, sedangkan tahil setara dengan 16 masa. Uang ma menjadi penanda zaman bagaimana pada masa itu masyarakat di Nusantara telah menggunakan uangnya sendiri.

Uang ma terus dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan setelahnya seperti Kerajaan Kediri, Jenggala dan Majapahit.

Meskipun begitu, sejak era Kerajaan Majapahit dari abad ke-13 hingga ke-16, penggunaan uang asing di masyarakat mulai terjadi. Penggunaan uang gobog atau dikenal juga dengan sebutan picis atau kepeng Cina telah dilakukan oleh masyarakat kerajaan tersebut. Dari sini kita bisa melihat bagaimana eratnya hubungan antara Majapahit dan Cina. Belakangan, uang gobog Cina ini diadaptasi ke dalam bentuk lokal dengan nama picis Majapahit. Terdapat hiasan bergambar senjata, binatang, pohon beringin, tulisan, relief manusia dalam bentuk wayang, dan lain-lain. Hiasan-hiasan tersebut menggambarkan kehidupan atau pekerjaan sehari-hari masyarakat Majapahit, seperti penggembala sapi, pertapa, nelayan, pemburu banteng, peternak, bangsawan, dan sebagainya. Setelah Majapahit runtuh, uang picis ini berubah fungsi sebagai jimat oleh masyarakat yang memercayai klenik. Meskipun begitu, picis-picis Cina tetap diproduksi dan dipergunakan di berbagai wilayah di Nusantara.

Ketika kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha runtuh, kerajaan-kerajaan Islam bangkit dan mulai menguasai berbagai wilayah di Indonesia. Masing-masing dari mereka pun memiliki uangnya sendiri. Karena Nusantara menjadi pusat perdagangan global dari rempahrempah, mereka mengadaptasi koin-koin kerajaan Islam seperti dinar dan dirham yang dibawa oleh para pedagang Islam. Koin dirham yang di wilayah asalnya berbahan dasar perak pada beberapa kerajaan Islam di Nusantara berbahan dasar emas. Begitu pun koin dinar yang biasanya berbahan dasar

emas di bebeberapa kerajaan Islam di Nusantara yang berbahan dasar perak.

Salah satu koleksi MuBI yang terkait dengan koin-koin Islam tersebut adalah koin milik Kerajaan Samudra Pasai. Mereka mencetak uang dirhamnya sendiri. Koin dirham tersebut berbahan dasar emas berkadar 70%, 22 karat. Uang yang dibuat pertama kali pada masa Sultan Muhammad Malik Az-Zahir (12971326) itu juga berlaku pada perdagangan internasional pada masa itu. Dalam perniagaan internasional, 16 dirham memiliki nilai yang sama dengan 1 real Spanyol, 5 dirham sama dengan 4 shilling Inggris, dan 1 keping uang dirham sama dengan 9 crussade Portugis. Hal ini tentu saja menunjukkan betapa banyak bangsa yang datang untuk berdagang di wilayah Aceh pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya.

Real Spanyol - Koleksi MuBI

Uang Kolonial

Setelah kerajaan-kerajaan Islam berkuasa di Nusantara, orang-orang Eropa kemudian menemukan jalan menuju ke wilayah tersebut. Mereka yang datang untuk berdagang, dan belakangan menguasai, pun membawa uangnya masing-masing.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, terdapat uang real Spanyol, shilling

Inggris dan crusade Spanyol. Selain itu, perusahaan dagang Belanda,

VOC, juga datang membawa uangnya sendiri seperti doit, rijksdaalder, dan lain-lain. Meskipun begitu, mata uang

Eropa yang bisa digunakan di berbagai wilayah di Nusantara saat itu adalah uang real Spanyol, yang memiliki bahan dasar perak seberat 25,2605 gram.

Masa kejayaan real Spanyol di Nusantara berakhir pada tahun 1826 dengan konsolidasi moneter Nusantara di bawah kendali Belanda. Pada 1828, di Hindia Belanda didirikan bank sirkulasi pertama, De Javasche Bank, yang juga merupakan bank pertama di Asia. De Javasche Bank kemudian menerbitkan uangnya sendiri, gulden De Javasche Bank. Di sisi lain, Departemen van Financien atau Departemen Keuangan Hindia Belanda, juga menerbitkan uangnya sendiri dan uang ini disebut sebagai uang Pemerintah Kolonial. Terdapat dualisme dalam pengedaran uang. Meski begitu, pihak yang mengatur pengedaran uang agar tetap tertata adalah De Javasche Bank. Uang gulden ini juga bisa menjadi penanda penyebaran kekuasaan Belanda di Hindia Belanda semakin kokoh.

Uang Pemerintah Republik Indonesia - Koleksi MuBI

Ketika Jepang datang dan menguasai Hindia Belanda, mereka melarang peredaran uang De Javasche Bank dan Pemerintah Kolonial. Jepang pun menerbitkan dan mengedarkan uangnya sendiri, yaitu uang Jepang. Mereka juga menutup De Javasche Bank dan menggantikannya dengan Nanpo Kaihatsu Ginko. Pada masa ini penggunaan kata rupiah pertama kali dimunculkan, bersamaan dengan larangan penggunaan Bahasa Belanda. Meski begitu, uanguang yang dari masa Hindia Belanda pada kenyataannya tetap beredar karena proses peralihan mata uang berlangsung sangat lama dan tidak merata.

Uang Zaman Merdeka

Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 negara Republik Indonesia yang baru lahir berhasil mencetak dan mengedarkan uangnya pada Oktober 1946. Lahirnya Oeang Republik Indonesia atau ORI menjadi penanda moneter kelahiran bangsa Indonesia. Sekalipun NICA sebagai kekuatan militer yang hendak melakukan rekolonisasi membawa uangnya sendiri, yakni uang NICA, tetapi masyarakat enggan menggunakannya dan lebih memilih menggunakan ORI. Pada era Revolusi itu, begitu banyak uang yang beredar di Indonesia. Tidak hanya ORI dan uang NICA, uang De Javasche Bank, uang Pemerintah Kolonial dan uang Jepang yang telah ada sebelumnya, juga turut beredar. De Javasche Bank yang dibuka kembali pun

mengedarkan uangnya sendiri, yaitu Uang De Javasche Bank Seri Federal. Ini masih diperumit oleh fakta bahwa karena NICA menghambat peredaran ORI, banyak wilayah di Indonesia yang kemudian mengedarkan uangnya sendiri yang Bernama Oeang Republik Indonesia Daerah atau ORIDA.

Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949 menyepakati pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 1 Mei 1950, pemerintah RIS menarik ORI dan ORIDA dari peredaran dan menggantinya dengan mata uang RIS yang sudah berlaku sejak 1 Januari 1950. Namun, pada Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan uang RIS dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pada tahun 1951, Pemerintah Indonesia mengeluarkan emisi pertamanya yaitu, uang kertas seri Pemandangan Alam I. Kemudian, pada tahun 1953, segera setelah De Javasche Bank resmi dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia, bank ini mengeluarkan uang kertas pertamanya, yaitu emisi Seri Kebudayaan. Namun juga perlu diketahui bahwa pada periode ini, terdapat dualisme dalam pengedaran uang. Di satu sisi, Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Keuangan menerbitkan uang rupiah pecahan lima

Koin Doit VOC - Koleksi MuBI

Koin bimetal Bank Indonesia -

Koleksi MuBI

Uang De Javasche Bank seri bingkai - Koleksi MuBI

rupiah ke bawah, sedangkan di sisi lain, Bank Indonesia menerbitkan uang rupiah pecahan lima rupiah ke atas.

Dualisme tersebut berakhir pada tahun 1968. Melalui Undang-undang No, 13/1968, Bank Indonesia dikukuhkan sebagai pemegang hak tunggal dalam mengedarkan uang. Sebagai penanda perubahan tersebut, Bank Indonesia kemudian mengedarkan uang seri Soedirman dengan berbagai pecahan. Perlu diketahui, semenjak awal pencetakan uang Bank Indonesia, uanguang tersebut selalu ditandatangani oleh Gubernur dan Direktur, belakangan berubah menjadi Dewan Gubernur, Bank Indonesia.

Semenjak tahun 2016, uang pecahan NKRI mulai diperkenalkan ke masyarakat, dimulai dengan pecahan Rp. 100.000. Uang NKRI tersebut tidak lagi ditandatangani oleh Gubernur dan Dewan Gubernur Bank Indonesia, melainkan oleh Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pecahan Rp. 100.000 ini menjadi penanda perubahan uang Bank Indonesia menjadi uang NKRI.

Dari Bahari untuk Kiwari

Uang-uang yang berasal dari era bahari, baik era kejayaan laut di Nusantara dan juga era masa lalu, hingga era kiwari ini hampir semuanya menjadi koleksi dan dipamerkan di MuBI. Koleksi-koleksi numismatik tersebut menjadi penanda penting berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat Indonesia. Memahami sejarah numismatik juga membantu kita memahami bagaimana orang-orang di era bahari hingga kiwari memaknai uang yang mereka miliki.

Dari bahari untuk kiwari, kisah numismatik di Indonesia terangkum dan tersaji di MuBI.

(Syefri Luwis, Indonesiana)

Uang real Batu Kerajaan Sumenep -

Koleksi MuBI

This article is from: