5 minute read
Be Guling Bali, Persembahan untuk Dewa
Be
Guling Bali Persembahan untuk Dewa
Advertisement
Selain memiliki keindahan alam, Pulau Bali juga menyimpan kreativitas budaya yang telah tercipta dari nenek moyang masyarakat Bali. Perpaduan antara agama Hindu dan adat istiadat banyak menghasilkan karya budaya yang unik, hidup, dan sarat dengan nilai budaya. Kepaduan adat dan budaya ini dapat dengan mudah kita temukan di setiap kabupaten, kecamatan dan desa-desa. Di antara produk budaya hasil perpaduan adat-budaya tersebut adalah makanan-makanan tradisional yang masih ditemukan di masyarakatnya. Tidak hanya itu, kuliner tradisional tersebut juga muncul dengan ciri khas tersendiri di masing-masing kabupaten.
Salah satu makanan tradisional yang khas dari masyarakat Bali yang telah diwariskan secara turun-temurun tersebut adalah be guling (babi guling) yang kini menjadi salah satu ikon kuliner Provinsi Bali. Mulanya, be guling merupakan sajian khas upacara; baik upacara adat maupun upacara keagamaan. Sejalan dengan perkembangan zaman dan pola konsumsi yang berkembang saat ini, be guling telah menjadi makanan masyarakat umum yang dijual sebagai hidangan baik di warung-warung, rumah makan, bahkan restoran di hotel-hotel tertentu di daerah Bali.
Tidak ada catatan pasti kapan terciptanya kuliner babi guling ini. Akan tetapi, catatan tentang keberadaan be guling ini telah dimuat dalam lontar Sundarigama yang menuliskan bahwa babi guling adalah sebagai suatu kelengkapan dalam persembahan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu melakukan yajna pada hari-hari yang dipandang sebagai hari suci. Salah satu di antaranya hari suci menurut hitungan pawukon adalah tumpek penguduh yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wariga. Hari tersebut merupakan hari suci pemujaan Sanghyang Sangkara atau dewa penguasa kesuburan semua tumbuhan dan pepohonan. Upacara pemujaan ini menggunakan be guling (babi guling) sebagai pelengkap yang dimaknai sebagai permohonan keselamatan atas tanaman agar supaya dapat berbunga, berbuah, dan berdaun lebat sebagai sumber kehidupan.
Dalam lontar Raja Purana juga disebutkan bahwa babi guling digunakan sebagai sarana dalam upacara Usabha Posya (kurban pebalik sumpah) dalam ritual Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih pada bulan Desember. Pada lontar tersebut dijelaskan bahwa bahwa Bhatara Turun Kabeh menggunakan sarana upacara; dua babi pinudhukan dicencang, satu pajuwit, satu be guling (babi guling), satu kerbau hitam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan babi guling sebagai sarana persembahan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sudah berlangsung sejak zaman dahulu.
Pande Egi, pembuat babi Guling yang telah menggeluti usaha babi guling secara turun temurun selama puluhan tahun, menyatakan bahwa istilah kuliner be guling dari cara memasaknya, yaitu dengan cara diputar atau digulinggulingkan secara terus-menerus di atas bara api hingga matang.
Selanjutnya, Pande Egi mengatakan bahwa pada zaman dalulu terdapat mitos yang menyatakan bahwa membuat babi guling dan menyantapnya langsung dipercaya akan membawa kesialan dan kemalangan bagi keluarga yang membuat dan yang memakannya. Sehingga, dalam pembuatan babi guling untuk konsumsi, ketika babi guling telah matang dan siap untuk dimakan, bagian-bagian babi seperti sebagian kecil dari kuku babi guling, sebagian kecil ekor, sebagian kecil hidung, sebagian kecil mulut, dan sebagian kecil telinga harus tetap dipersembahkan dalam sesaji kepada Sang Pencipta terlebih dahulu. Tradisi ini dikenal dengan istilah kuku rambut. Masyarakat Bali percaya bahwa sebelum dinikmati, be guling terlebih dahulu harus dipersembahkan kepada Ida Bhatara, dewa pemberi perlindungan kepada umat manusia sebagai permohonan agar tidak mengalami musibah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Tradisi membuat be guling untuk konsumsi disebut nguling. Upacara pembuatan be guling secara khusus biasanya dilakukan dalam upacara disebut ninggungin. Sejatinya, ninggungin adalah tradisi menyembelih anak babi yang biasanya dilakukan oleh warga masyarakat peternak babi. Ketika babi peliharaannya beranak, dalam umur sekitar tiga sampai empat bulan salah satu dari anak babi tersebut diguling dan dagingnya akan dibagi-bagi dan disantap bersama-sama tetangga dan kerabat dekat.
Fungsi Be Guling
Olahan kuliner be guling ini memiliki beberapa fungsi pada masyarakat pendukungnya, di antaranya berfungsi sebagai pelengkap upacara yadnya, khususnya pada upacara Dewa Yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya. Be guling sebagai sesaji seringkali difungsikan menjadi satu paket dengan banten bebangkit.
Sebagai sarana upacara Dewa Yadnya, be guling juga dijadikan persembahan pada pelaksanaan usabha Pura Dalem yang berlangsung sekali setahun pada hari Tilem Kaulu (bulan JanuariPebruari) di Desa Timbrah, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Pada upacara ini ada tradisi penghaturan be guling persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya oleh masing-masing kepala keluarga warga adat.
Babi guling dalam prosesi tiga bulanan manusia yadnya -
Dwika Decka
Sebagai sarana upacara pada manusa yadnya, terutama pada upacara tiga bulanan maupun satu otonan, sesuai dengan desa kala patra dan kemampuan dari orang tua si bayi. Upacara Nelubulanin (upacara tiga bulanan) dilakukan masyarakat Hindu di Bali untuk merayakan hari kelahiran ke-105 hari atau tiga bulan seorang bayi menurut penanggalan Bali. Masyarakat Bali percaya bahwa pada usia tersebut setiap bagian dari panca indra bayi sudah mulai aktif, termasuk dengan pencernaannya. Rasa syukur mereka dihaturkan dengan menghadirkan be guling sebagai sarana upacara tersebut. Kemudian, setelah upacara selesai be guling dapat disantap bersama-sama seluruh anggota keluarga.
Be guling juga dijadikan sebagai sarana upacara pada pitra yadnya, khususnya pada acara pengabenan. Sebagaiana diketahui, upacara Ngaben sendiri sebenarnya adalah prosesi pembakaran mayat atau kremasi bagi penganut Hindu Bali. Ritual pembakaran mayat tersebut merupakan simbol untuk penyucian roh orang yang telah meninggal. Jika upacara ngaben menggunakan bebangkit maka babi guling wajib dihadirkan sebagai sarana. Bahkan, pada ngaben yang berlangsung di Desa Adat Duda Wates Tengah, be guling ditarikan pada prosesi mengantar bade atau jenazah menuju kuburan.
Nilai Budaya Be Guling
Dalam konteks kebudayaan, makanan bukan hanya sebagai pasokan gizi dan nutrisi melainkan juga sebagai tradisi yang mengandung nilai religius, nilai kebersamaan dan nilai ekonomi. Nilai religius tampak pada penggunaannya sebagai sarana atau pelengkap pada upacara yadnya. Dalam hal ini, be guling merupakan wujud persembahan syukur kepada Tuhan yang telah memberi berkah berupa keselamatan, kesejahteraan, keberhasilan, kesehatan, dan lain lain. Nilai kebersamaan tercermin dari proses pengambilan babi dari kandang, penyembelihan, penyiapan bumbu, hingga memasak. Hal ini harus dilakukan secara bersama dan saling bekerja sama satu sama lain. Pada akhirnya, be guling tentu juga disantap bersama-sama seluruh keluarga besar seusai upacara atau ritual dilakukan.
Nilai ekonomis kuliner be guling terlihat pada perkembangan usaha babi guling yang tentu saja membutuhkan tenaga kerja, pasokan bumbu, bahan babi dan sebagainya. Tentu saja, usaha kuliner ini membuka ruang perekonomian bagi masyarakat di sekitarnya. Perusahaan kuliner babi guling memiliki potensi untuk mendatangkan keuntungan dan peluang ekonomi yang sangat menggiurkan sebab peminat babi guling di Bali kini semakin banyak. Usaha sejenis ini kini menjadi salah satu yang cukup menjanjikan sebab keuntungannya patut diperhitungkan.
(Kadek Dwikayana: BPNB Provinsi Bali)
Be guling dibawa menuju restoran -
Syefri Luwis
Sebagai doa dan persembahan -
Dwika Decka