6 minute read

Situs Bumiayu yang Terus Berdenyut

Data paleontologis menunjukkan bahwa penghunian Pulau Jawa diperkirakan sudah berlangsung pada akhir Pliosen, sekitar 2 juta tahun silam, berdasarkan bukti penemuan gajah purba Archidiskodon di situs-situs Bumiayu. Bumiayu adalah tempat istimewa, karena sanggup menunjukkan jejak tertua akan kehadiran mamalia di Pulau Jawa. Fosil-fosil pertama telah ditemukan selama tahun 1920-an di Formasi Kaliglagah, dan telah diteliti oleh beberapa peneliti seperti H.G Stehlin (1925), F.H van der Maarel (1932), maupun G.H.R Koenigswald (1935). Fauna-fauna tertua ini ditandai oleh penemuan gajah purba Mastodon sp dan Tetralophodon bumiayuensis, berusia sekitar 1,5 juta tahun. Jenis lainnya adalah kuda air Hexaprotodon simplex, rusa Cervidae, dan kura-kura raksasa, Geochelon. Fauna ini menunjukkan fauna yang miskin spesies karena lingkungan terisolasi, insuler. Hasil-hasil rumusan biostratigrafi ini kemudian direaktualisasi oleh P.Y Sondaar dan John de Vos di tahun 1980-an. Keduanya menyodorkan konsep fauna tertua hingga termuda sebagai Fauna Satir (1,5 juta tahun lalu), Fauna Cisaat (1,2 juta tahun silam), Fauna Trinil HK (1 juta tahun), Fauna Kedungbrubus (0,8 juta tahun), Fauna Punung, dan Fauna Wadjak. Selain itu, penelitian di Bumiayu di masa lalu adalah studi pertanggalan absolut

melalui metode paleomagnetisma oleh François Sémah pada dekade 1980an, dilakukan terutama pada endapan purba di Kaliglagah dan Kali Biuk, yang menghasilkan kepurbaan antara 2,15 hingga 1,67 juta tahun.

Advertisement

Hasil pertanggalan ini telah “memberi jiwa” bagi penelitian biostratigrafi sebelumnya, sehingga dapat dikaitkan dengan suksesi kronologinya. Berbagai penemuan di Bumiayu tersebut

Lanskap Bumiayu -

Aditya Indro Waskito - https:// www.shutterstock.com/id/g/ Aditya+Indro+Waskito

membuktikan kehadiran fauna-fauna tertua di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang saat itu ditafsirkan sebagai lingkungan insuler, sepadan dengan kondisi pantai timur Jawa Barat pada awal Kala Plestosen Bawah, sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.

Penelitian Terkini di Bumiayu

Pembaruan penelitian pun dilakukan di tahun 2019 dan 2021 oleh Harry Widianto dan timnya (yang saat itu terafiliasi di Balai Arkeologi Yogyakarta), guna memahami kehadiran manusia dan fauna tertua di Pulau Jawa. Data terbaru pun segera terkuak dari perut bumi. Sejumlah fauna baru dapat ditempatkan pada kronologi suksesi fauna Jawa yang mewakili Zona Satir (Formasi Kaliglagah bagian bawah) dan Cisaat (Formasi Kaliglagah bagian atas.

Penemuan jenis fauna Cervidae (rusa dan Muntiacus sp), Bovidae, buaya rawa (Crocodylus siamensis) Formasi Kaliglagah bagian bawah secara in-situ dalam penggalian, telah melengkapi minimnya fauna di awal pembentukan daratan di daerah ini. Oleh karenanya, penemuan jenis fauna baru ini telah mampu merubah pemahaman tentang fauna tertua di Pulau Jawa, sehingga biostratigrafi dan bio-kronologi hadirnya fauna tertua harus direvisi, dengan menambahkannya pada lingkup Fauna Satir, menjadi : gajah, rusa, kuda air, kurakura raksasa, Bovidae, dan buaya rawa.

Temuan penting lainnya dari penelitian terkini ini adalah penemuan alat-alat batu paleolitik yang terdiri atas kapak penetak, kapak perimbas, dan juga alat serpih, yang merupakan data pertama tentang penemuan alat-alat manusia purba di Bumiayu, terbingkai ke dalam tradisi kapak penetak-perimbas (choppingchopper tool complex). Penemuan artefak batu ini memberi harapan baru untuk penemuan manusia pembuatnya. Sudah sangat jamak disebutkan bahwa kehadiran artefak batu paleolitik dianggap sebagai hasil budaya Homo erectus, dan merupakan indikator kehadiran Homo erectus di suatu daerah.

Benar saja, segera hadir temuan master piece dalam penelitian ini, hasil temuan penduduk setempat, berupa 2 (dua) buah pecahan bonggol tulang paha (caput femoralis) yang masuk dalam variasi Homo erectus, berasal dari dasar Kali Bodas. Temuan ini telah berhasil diidentifikasi posisi stratigrafisnya berdasarkan korelasi berbagai kolom stratigrafi terukur, yang menunjuk pada posisi stratigrafis Formasi Kaliglagah bagian bawah di suksesi litologi di Kali Bodas.

Temuan dua bonggol tulang paha manusia tersebut merupakan bukti pertama akan penemuan komponen fosil manusia di Bumiayu, dan menjadikan indikator pertama tentang kedatangan manusia di daerah tersebut.

Oleh karenanya, temuan ini sangat penting bagi upaya pemahaman migrasi manusia, karena telah muncul dari daerah yang cukup terpisah dari sebaran manusia purba yang selama ini hanya diketahui di Jawa Tengah bagian timur

Homo Erectus dari Bumiayu - Harry Widianto Kekayaan keragaman dari Bumiayu - Harry Widianto

dan juga Jawa Timur saja. Bumiayu adalah sebuah jendela baru. Kedua komponen tulang paha ini --Bumiayu 303, Bumiayu 310—berdasarkan interpretasi posisi stratigrafi dan karakter morfologi dan biometriknya, merupakan sisa-sisa hominid dari takson Homo erectus. Satu hal yang dapat dinyatakan di sini adalah: Homo erectus telah hadir di Bumiayu. Akan tetapi, kapan mereka hadir di Bumiayu?

Analisis geo-litologis dan geo-stratigrafis terhadap lereng Kali Bodas, menunjukkan kedua bonggol tulang paha tersebut berasal dari lapisan karbonatan, yaitu dari bagian bawah Formasi Kali Glagah. Para ahli mencatat, antara lain, Sémah (1986), bahwa endapan-endapan purba di lokasi ini merupakan endapan tua yang terkait dengan genesa Pulau Jawa pada Kala Plio-Plestosen, berusia, misalnya di Kali Biuk, antara 2.1 hingga 1.7 juta tahun. Berdasarkan penelitian terhadap eksistensi foraminifera pada endapan Kali Biuk dan Kaliglagah, diketahui bahwa perubahan lingkungan laut menjadi lingkungan darat terjadi pada batas antara Kali Biuk dengan Kalglagah, yaitu pada Kala Pliosen Akhir, bagian atas N20-N21 (Sudijono, 2005).

Sementara, masih terkait dengan formasi purba di Bumiayu, Prasetyo et al (2012), menyebutkan bahwa N22 setara dengan awal Kala Plestosen. Pernyataan dari para ahli geologi yang telah melakukan pertanggalan terhadap Formasi Kali Biuk dan Kali Glagah ini sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa Formasi Kali Biuk merupakan hasil pengendapan fasies marin, dan Formasi Kaliglagah adalah endapan darat pertama di Bumiayu, sesaat setelah terangkat dari permukaan air laut. Batas kedua formasi ini diikat pada akhir Kala Pliosen, dan usia Formasi Kali Glagah sendiri adalah awal Kala Plestosen.

Dengan demikian, indentifikasi kepurbaan kedua fosil hominid ini telah menempatkan pada periode sangat tua, pada sekitar 1,8-1,7 juta tahun yang lalu, jauh melampaui usia tertua Homo erectus dari Sangiran yang selama ini ditempatkan pada kronologi Plestosen Bawah bagian tengah, sekitar 1.5 juta tahun.

Jika hasil penentuan usia bagi kedua bonggol paha ini terkonfirmasi, maka akan memberikan implikasi luar biasa bagi kedatangan dan persebaran manusia di daerah Bumiayu dan Pulau Jawa: merupakan Homo erectus tertua, yang selama ini belum pernah diketahui. Situasi ini memberikan dua pemahaman baru, yaitu distribusi lateral yang semakin luas di Jawa Tengah bagian barat, dan juga kronologi vertikal yang signifikan: lebih tua dibanding Homo erectus tertua dari Sangiran.

Ditambah dengan hadirnya Homo erectus di Semedo (Tegal) dan Rancah (Ciamis, Jawa Barat), maka hasil penelitian ini telah memperlebar persebaran lateral Homo erectus di Pulau Jawa, hingga

Jawa Barat. Dari Bumiayu, denyut jantung migrasi manusia dan fauna itu tetap digemakan. Data baru semakin memperkaya cerita masa lalu manusia yang spektakuler di daerah ini.

Peran Penting di Jalur Masa

Inilah kebaruan yang dicapai oleh penelitian ini, Homo erectus telah menjelajah lebih ke barat, dan lebih dini sampai di Pulau Jawa. Pemahaman baru ini akan memberikan “peta migrasi” baru. Fase hadirnya manusia dan fauna yang pertama di Pulau Jawa ini telah mampu menggambarkan asal-mula kebhinekaan Kepulauan Nusantara saat ini, yang saat itu masih berjalan linier dengan garis migrasi yang sederhana dan jelas, setidaknya hingga periode 150.000 tahun silam.

Jika dibandingkan dengan periode setelah 70.000 tahun hingga sekarang, migrasi dan kebhinekaan itu tergambar lebih kompleks dan rumit, akibat terjadi migrasi dan retro-migrasi yang terus menerus bersamaan dengan mikroevolusi lokal karena faktor-faktor ekologis dan kultural. Gelombang migrasi manusia silih berganti di Kepulauan Nusantara, dengan hadirnya Manusia Modern Awal sejak 100.000-20.000 tahun lalu, disusul oleh gelombang migrasi dari Ras Australomelanesid di periode 20.000-5.000 tahun silam, dan diakhiri dengan hadirnya Ras Mongolid --para Austronesians dari Taiwan-- yang masuk ke Indonesia sejak 4.000 tahun lalu. Mereka kemudian menyebar ke wilayah Indonesia bagian barat dan menurunkan penduduk aktual di Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatra saat ini. Situasi semakin beragam oleh kedatangan etnisitas dan ras lain sejak awal Masehi, yang akhirnya membentuk keragaman genetika manusia Nusantara yang saat ini menyatu dalam kesatuan politik, Bangsa Indonesia.

(Harry Widianto/ Peneliti Ahli Utama dan Profesor Riset, Badan Riset, dan Inovasi

Nasional)

This article is from: