6 minute read
Manumbai, Mengambil Madu di Riau
Merayu Lebah Merayu Alam
Tradisi lisan di Nusantara memiliki kaitan yang erat dengan lingkungan tempatnya berada dan dapat dikatakan bahwa lingkungan (ekologi) merupakan determinan kelestarian, perubahan, ataupun kematian tradisi lisan tersebut. Salah satu tradisi lisan yang berkaitan erat dengan lingkungan-lingkungan fisik, biologis, sosial, dan komposit itu ialah Menumbai di masyarakat pebatinan Petalangan, puak ‘suku asli’ Melayu yang bermukim di sebagian wilayah Kabupaten Pelalawan dan di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Advertisement
Tradisi Menumbai, menurut pengamatan yang dilakukan di pebatinan Petalangan, tradisi manumbai adalah keseluruhan proses kegiatan mengambil madu dari sarang lebah yang terdapat di dahandahan pohon Sialang. Proses tersebut terutama adalah ritual yang dilakukan agar lebah tidak mencederai orang yang mengambil madu dari sarangnya. Ritual Menumbai menggunakan perangkat bahasa yang dinyanyikan dan yang diucapkan dalam hati, disertai tindakan dan peralatan tertentu.
Menumbai dilakukan di kala malam gelap tanpa bulan, diawali pelafalan mantra magis dalam hati oleh juagan lobah (juragan lebah), yaitu pemimpin kelompok kecil pengambil madu lebah. Ritual kemudian dilanjutkan dengan proses pemanjatan pohon sialang sambil melantunkan nyanyian kata-kata berima berbentuk pantun dalam pola irama yang bergantian. Pantun yang dinyanyikan oleh juagan berisi rangkaian kata-kata rayuan yang mempersonifikasi lebah sebagai gadis cantik dan juagan yang memanjat sebagai tamu atau kekasih si gadis cantik.
Menumbai merupakan upacara yang terdiri dari tuturan mantra dan pantun yang dinyanyikan. Mantra merupakan wujud permohonan izin terhadap Tuhan sebagai penguasa semesta. Mantra juga digunakan sebagai penghormatan terhadap para roh leluhur, roh penjaga dan semua makhluk halus yang terdapat di sekitar Pohon Sialang. Mantra dipercaya dapat menjaga dan memberi keselamatan pada juagan ketika menjalani proses ritual. Sedangkan pantun yang dinyanyikan bertema bujuk dan rayu antar kekasih, yaitu juagan sebagai seorang pria dan lebah sebagai gadis cantik.
Peran juagan pada ritual menumbai adalah sebagai penutur yang menuturkan mantra dan pantun yang dinyanyikan,
Menuo Sialang Adrian Eary Lovian
sementara audiens merupakan masyarakat Petalangan sebagai pemilik tradisi atau masyarakat luar yang berarti siapa saja dapat menjadi audiens dalam ritual menumbai. Pada pementasan tradisi memungkinkan terjadinya interaksi antara penutur dengan penonton, penutur dengan penutur, dan penutur partisipan yang membantu penutur dalam pementasan, misalnya seperti pemusik atau pengiring.
Ritual menumbai tidak selalu dilakukan oleh satu juagan, melainkan dapat dilakukan oleh dua juagan atau lebih. Oleh karena itu perlu ditentukan siapa yang menjadi juagan tuo yang ditentukan bukan karena faktor umur dan pengalaman melainkan lebih kepada tugas perapalan mantra. Juagan tuo bertugas merapal mantra sepanjang ritual sedangkan juagan mudo berperan sebagai pengumpul madu lebah. Selain itu, juagan juga dibantu oleh juru sambut yang berperan sebagai penerima timbo yang berisikan lilin madu dan juru ubo yang berperan sebagai pemeras lilin lebah untuk mendapat madu.
Pada pelaksanaannya, juagan menggunakan peralatan menumbai; tunam, timbo dan ubo. Tunam adalah alat penyapu sarang lebah yang terbuat dari kulit kayu. Timbo adalah wadah yang digunakan untuk menurunkan sarang lebah untuk kemudian diterima oleh para juru sambut. Sedangkan Ubo yang merupakan wadah untuk memeras lilin lebah guna mendapatkan madu lebah.
Mantra Sebagai Permohonan Izin
Menumbai merupakan ritual yang sarat dengan kepercayaan akan adanya roh atau makhluk halus yang menjadi penjaga dalam kehidupan serta selalu dihormati keberadaannya oleh masyarakat Petalangan. Tidak mengherankan jika mantra kerapkali digunakan sebagai wujud penghormatan antar sesama makhluk ciptaan Tuhan. Masyarakat Petalangan percaya jika roh-roh tersebut berada di dunia gaib (alam golap) dan harus dihormati. Penghormatan terhadap roh-roh tersebut dibacakan melalui mantra sebelum dan sesudah pelaksanaan ritual.
Dengan menggunakan konsep kehidupan masyarakat Petalangan yang terbagi menjadi dua, yaitu alam golap dan alam toang, maka mantra ditujukan secara khusus kepada para roh leluhur dan makhluk lainnya. Mantra juga dipercaya berasal dari arwah leluhur yang juga dianggap sebagai kata yang berasal dari Tuhan yang diteruskan kepada leluhur. Mantra merupakan sarana komunikasi untuk berhubungan dengan makhluk supranatural dan kemudian dihubungkan dengan kekuasaan tertinggi yaitu Tuhan.
Ritual menumbai menggunakan dua mantra yaitu mantra Pelangkahan dan mantra menuo sialang. Keduanya memiliki persamaan yaitu terdapatnya pengaruh Islam. Islam yang menjadi agama kepercayaan resmi masyarakat Petalangan nyatanya mampu mereduksi pemikiran orang Petalangan yang awalnya menganut kepercayaan nenek moyang yakni animisme dan dinamisme telah berubah pada pandangan terhadap pemegang kuasa tertinggi dalam kehidupan yaitu Allah sang pemilik alam semesta. Islam kemudian dijadikan sebagai sumber budaya.
Kepercayaan lama yang sudah berakar dengan kuat dalam ruang hidup masyarakat Petalangan tidak serta merta hilang, seperti halnya mantra yang lahir dari resam atau kebiasaan nenek moyang yang justru mengalami perubahan dimana warna islam masuk sebagai wujud ekspresi kultural orang Petalangan. Pengaruh Islam membuat fungsi mantra yang awalnya digunakan untuk mendapatkan kekuatan magis dari roh leluhur berubah menjadi doa yang ditujukan kepada Allah.
Tunam, alat penyapu sarang lebah yang terbuat dari kayu -
Adrian Eary Lovian
Mantra Pelangkahan diucapkan oleh juagan sebelum berangkat menuju Pohon Sialang. Setelah mantra diucapkan, maka juagan dapat melihat Pohon sialang yang akan dituju melalui mata hati. Setelah tampilan pohon sialang itu terlihat, maka menjadi tanda juagan diperbolehkan untuk melanjutkan upacara yang diadakan pada malam harinya.
Mantra menuo sialang ini dirapalkan tepat dibawah pohon Sialang yang akan dipanjat. Selain sebagai permohonan izin kepada seluruh makhluk halus yang ada disekitar pohon, mantra ini juga dilafalkan dengan tujuan agar diberikan keselamatan dalam memanjat dan tidak diganggu oleh makhluk halus.
Menumbai dan Kearifan Ekologis
Proses memanen madu Petalangan harus didahului dengan ritual menumbai yang berlangsung pada malam hari. Namun kini, memanen madu oleh warga lain dilakukan pada siang hari. Perilaku ini tentu berdampak buruk terhadap kelangsungan tradisi menumbai, karena menurut masyarakat Petalangan, memanen madu pada siang hari menyebabkan lebah tidak mau lagi bersarang di pohon sialang.
Dalam ketentuan adat dan sistem pengetahuan orang Petalangan, setiap pohon disebut sialang apabila lebah bersarang di pohon itu. Apabila di pohon yang sebelumnya lebah pernah bersarang, namun karena berbagai sebab lebah tidak lagi bersarang di pohon itu, maka pohon tersebut tidak lagi disebut sebagai pohon Sialang, melainkan pohon biasa dan nama pohon kembali ke nama semula, misalnya Kempas. Dalam aturan adat Petalangan, sialang pantang ditebang sampai lebah tidak lagi bersarang di sana sehingga pohon tersebut dapat ditumbangkan untuk keperluan tempat tinggal anak dan kemenakan.
Keterkaitan menumbai dengan empat jenis klasifikasi lingkungan, antara lain adalah bahwa menumbai selalu dilakukan pada lingkungan hutan yang banyak terdapat pohon sialang yang dalam adat Petalangan disebut hutan atau rimba kepungan sialang. Pohon sialang merupakan pohon yang memiliki ketinggian mencapai 40 hingga 50 meter. Hubungan dan keterkaitan menumbai dengan lingkungan biologis merujuk kepada keberadaan pohon sialang, lebah, dan tumbuhan-tumbuhan lain yang memproduksi bunga untuk disari lebah, yang menjadi faktor penting dalam tradisi Menumbai dan rasa serta jenis madu yang diperoleh.
Dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, Menumbai dapat dikaitkan sebagai sistem kepercayaan masyarakat Petalangan yang menjadikan pohon sialang sebagai media ritual yang merupakan jenis tumbuhan yang dianggap sakral karena dikawal oleh roh penjaga hutan. Dalam sistem pengetahuan masyarakat Petalangan, setiap makhluk di dunia memiliki roh penjaga atau yang mereka sebut Okuan (Kang.2002:10). Oleh karena itu, sebagai penghormatan
Menumbai adalah bagian hidup dari masyarakat Petalangan -
Adrian Eary Lovian
terhadap roh penjaga hutan, perlu dilakukan pelafalan mantra magis sebagai tanda permintaan izin dan doa untuk keselamatan.
Ritual menumbai dan ekologi memiliki 2 relasi, yaitu; (1) relasi kepatuhan referensial yang dimana kebudayaan itu bergerak mengikuti gerak ekologis yang given atau sebelumnya: sudah ada sebelumnya. (2) Relasi interaktif-resiprokal, yang berati bahwa lingkungan yang terdapat ruang hidup masyarakat Petalangan dieksplorasi, dipelajari, diresapi, dan kemudian diposisikan sebagai subjek dalam berbagi pengetahuan atau kognisi, emosi dan keperluan keperluan dalam memenuhi kebutuhan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Petalangan tidak menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan, melainkan alam yang mejadi pusat kehidupan. Adat mereka yang menjunjung bersebati dengan alam, alam yang menjadi guru, alam yang menjadi diri sendiri semakin mengukuhkan bahwa masyarakat Petalangan menolak pemahaman antroprosentrisme yang hanya menjadikan lingkungan sebagai objek untuk memenuhi keperluan pragmatis manusia dalam berkehidupan.