8 minute read
MUHIBAH BUDAYA JALUR REMPAH Telusur Jalur Masa Silam, Jelajah Rempah Masa Depan
Dewa Ruci melintas di Banda Naira -
Redaksi Jalur Rempah
Advertisement
aut-raut kegembiraan dan
Rsemangat terpancar dari wajah para Laskar Rempah yang berjumlah 147 orang dan berasal dari 34 provinsi itu. kebahagiaan itu terlihat tidak pernah pudar dari wajah peserta kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah yang telah berlayar selama 32 hari mulai tanggal 1 Juni hingga 1 Juli 2022 menggunakan kapal legendaris, KRI Dewaruci, mulai dari titik keberangkatan hingga pada saat mendarat di tujuan. Kegiatan yang bertajuk Muhibah Budaya Jalur Rempah merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbudristek bekerja sama dengan TNI AL, pemerintah daerah, hingga komunitas-komunitas lokal yang berada di setiap titik simpul jalur rempah nusantara. Sedianya kegiatan ini akan diselenggarakan tahun lalu, namun karena kondisi pandemi pada saat itu maka kegiatan ini baru dapat dilaksanakan pada tahun 2022. Kegiatan napak tilas jalur rempah ini dilaksanakan di enam titik simpul jalur rempah, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Naira, Kupang, dan berakhir kembali di Surabaya. Peserta dibagi menjadi empat rute yaitu rute Surabaya – Makassar yang berhasil diarungi oleh batch Lada, rute Makassar – Baubau dan Buton – Ternate dan Tidore yang telah dijajaki oleh batch Cengkeh, rute Ternate dan Tidore – Banda Naira – Kupang
Tari Gandrang Bulo, sebuah tarian khas Sulawesi Selatan yang merupakan bentuk perjuangan para seniman pada zaman penjajahan -
Redaksi Jalur Rempah
yang ditelusuri oleh batch Pala, dan rute terakhir yaitu Kupang – Surabaya dan Mojokerto yang dijajal oleh batch Cendana. Penamaan batch merujuk pada kekhasan jenis rempah di setiap titik simpul yang dilalui dan kekhasan jenis rempah dari setiap titik ini ditandai dengan penanaman bibit pohon rempah di setiap titik sebagai simbol kehadiran Laskar Rempah sekaligus selaras dengan konsep sustainable living.
Titik-titik simpul Jalur Rempah
Titik simpul pertama sekaligus titik terakhir dalam rangkaian kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah tahun 2022 adalah Surabaya dan Mojokerto. Selain sebagai basis KRI Dewaruci, Surabaya di masa lalu memiliki peran sebagai pendukung ekonomi khusunya pada masa Majapahit. Oleh karena itu, titik simpul ini menempel langsung dengan Kota Mojokerto sebagai sebuah kesatuan simpul yang menarik untuk dieksplorasi oleh para Laskar Rempah. Napak tilas bermula dari Pelabuhan Kalimas, Menara Syahbandar, dan Pasar Pabean, ekplorasi pusat-pusat perdagangan rempah di wilayah Surabaya berlanjut ke pusat kerajaan Majapahit di Kecamatan Trowulan, Mojokerto sebagai salah satu kawasan situs arkeologi terbesar dan ke sekolah presiden pertama RI, Soekarno.
Di kota Makassar terdapat situs dan museum penyimpanan karya budaya Nusantara, seperti kapal Pinisi dan naskah La Galigo yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai intangible cultural heritage) dan sebagai memory of the world. Selain itu, Laskar Rempah mengunjungi situs dan museum Benteng Sumba Opu, Museum Karaeng Pattingaloang, Benteng Rotterdam, Museum La Galigo, Museum Kota Makassar, dan Komplek Makan Raja Tallo. Selanjutnya, Laskar berkunjung dan berdiskusi di Museum Balla Lompoa di Kabupaten Gowa yang diduga sebagai bekas istana Kerajaan Gowa sebagai poin penting atas ketokohan Karaeng Pattingaloang. Titik simpul kota Baubau dan kabupaten Buton di Pulau Buton menjadi signifikan karena disebut di dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365 M) yaitu; Butuni. Pulau ini merupakan ‘Zona Penghubung’ (Zone of Connector) dan sebagai ‘Pedagang Perantara’ (Trader of Agency) antara pusat rempah-rempah di Kawasan Timur Indonesia dengan pusat industri pengolahan rempah-rempah di kawasan
KRI Dewaruci sedang lego jangkar di Selat Madura -
Redaksi Jalur Rempah
Tari Jejer Gandrung dalam pelepasan KRI Dewaruci -
Redaksi Jalur Rempah
Sambutan Mendikbudristek pada saat pelepasan KRI Dewaruci di Dermaga Madura Koarmada II, Surabaya -
Redaksi Jalur Rempah
Reog dalam pelepasan KRI Dewaruci -
Redaksi Jalur Rempah
barat Indonesia. Laskar Rempah selanjutnya berkunjung ke Benteng Wolio di bekas Kesultanan Buton. Selain itu Laskar Rempah juga diajak untuk mengenal lebih dekat kehidupan suku Bajo di kecamatan Wabula.
Titik simpul Ternate dan Tidore mengingatkan pada empat kesultanan Maluku lama yaitu, Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo yang disebut dengan Moluku Kie Raha. Di Ternate, Laskar Rempah mengunjungi Benteng Kastella, Benteng Oranje, Kedaton Sultan Ternate, dan Perkebunan Cengkeh di desa Tubo. Sementara di Tidore, Laskar Rempah berkunjung ke Kedaton Kie (istana Sultan Tidore), Benteng Torre, dan Benteng Tahula.
Titik paling timur adalah Banda Naira yang berlokasi di kepulauan Banda. Kepulauan Banda dikenal sebagai satusatunya daerah produsen pala dan fuli hingga abad ke18. Pulau ini disebut dalam Kitab Negarakertagama sebagai Wandan dan dianggap masuk ke dalam wilayah Kerajaan Majapahit dan pada masa kolonial sempat menjadi primadona di kalangan bangsa-bangsa Eropa sehingga pada tahun 1667, Inggris menukar pulau Run dengan pulau Manhattan, New York.
Jejak-jejak rempah di pulau Banda ditelusuri oleh Laskar Rempah di beberapa lokasi seperti Benteng Belgica, Masjid Tua Kampung Baru, Benteng Nassau, dan Istana Mini. Selain itu, mereka juga mengunjungi Rumah Bung Hatta, Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Rumah Iwa Kusumo Sumantri, bekas tempat tinggal beberapa tokoh nasional yang pernah diasingkan ke Banda.
Muhibah Budaya Jalur Rempah juga menjadi momen terwujudnya kunjungan bersejarah melalui acara Baku Dapa Basudara Wandan (Bertemunya Saudara Wandan) yang untuk pertama kalinya setelah 401 tahun, sejak leluhur mereka terusir dari Banda oleh VOC kembali menginjak tanah Banda. Basudara Wandan adalah anak cucu keturunan Banda yang sekarang menetap di Kepulauan Kei yang disebut Banda Eli/Ely dan Banda Elat. Pada masa kolonial, leluhur mereka selamat dari pembantaian VOC karena menolak upaya monopoli perdagangan pala dan rempahrempah di sana.
Titik terakhir, yaitu Kupang, adalah wilayah yang terkenal dengan kayu cendana tanaman endemik di Nusa Tenggara Timur dan kualitasnya tercium harum hingga India, Tiongkok, Arab, dan
Eropa. Di titik ini, para laskar singgah di Kupang dan berkesempatan untuk mengunjungi dan melihat langsung serta berdiskusi di kebun cendana di desa Nitneo. Selain mengenal lebih dekat tanaman cendana, Laskar Rempah juga diberikan edukasi mengenai tenun.
Belajar Budaya Bahari di Kapal Dewaruci
“Nenek moyangku seorang pelaut” Begitulah kira-kira spirit dalam kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah yang pada setiap batch rata-rata berlayar selama 2-5 hari. Selama di pelayaran peserta diberikan materi kemaritiman dan basic training safety yang diberikan oleh kru KRI Dewaruci kapal milik TNI AL yang masih aktif menggunakan layar saat pelayaran berlangsung. Penggunaan layar ini serupa dengan pengalaman dari para pelaut terdahulu yang menggunakan kapal tradisional yang tenaga pendorongnya mengandalkan kekuatan angin. Oleh karena itu, materi peran layar yang meliputi cara mengembangkan dan menggunakan layar menjadi relevan untuk diberikan kepada peserta. Selain itu, peserta juga diberikan pengenalan cara bernavigasi, yaitu dua cara yang dilakukan dalam menentukan posisi navigasi, yaitu dengan menggunakan GPS maupun dengan menggunakan rasi bintang, cara menentukan posisi kapal warisan nenek moyang. Materi lain adalah pengetahuan membaca star chart (peta rasi bintang) untuk menentukan posisi kapal.
Yang menarik adalah pada saat kapal melewati garis khatulistiwa, yaitu di rute Baubau – Ternate dan rute Tidore – Banda, KRI Dewaruci melaksanakan tradisi Mandi Khatulistiwa. Tradisi mandi khatulistiwa ini wajib dilakukan oleh semua penghuni kapal termasuk Laskar Rempah. Pada saat melewati garis khatulistiwa, semua awak kapal dan Laskar Rempah berkumpul di geladak. Beberapa kru kapal ada yang berperan menjadi Dewa Neptunus (dewa penguasa lautan), Dewi Amfirite (istri Dewa Neptunus), Davy Jones (utusan kepercayaan Dewa Neptunus), dan punggawa (pengikut setia Davy Jones). Selanjutnya, salah satu kru kapal memandu peserta untuk melakukan perenungan dan dilanjutkan dengan menghadap Dewa Neptunus satu per satu. Dewa Neptunus kemudian menyiram setiap peserta dengan air kembang yang diberikan campuran khas Dewaruci. Setelah selesai mandi, peserta diberikan ramuan berupa jamu yang diracik khusus. Di akhir acara, peserta berfoto bersama dan diberikan sertifikat yang menjadi penanda pernah mengikuti mandi khatulistiwa. Menurut Sugeng Hariyanto, tradisi mandi khatulistiwa ini juga tetap dilakukan ketika melewati garis khatulistiwa yang berada di teritori wilayah asing.
Momen penting lain yang dialami peserta saat berlayar adalah melakukan prosesi tabur bunga di Laut Bali dalam rangka mengenang KRI Nanggala 402 yang tenggelam setahun yang lalu. Prosesi ini berlangsung sekitar 30 menit. Semua
kru kapal dan Laskar Rempah satu per satu menaburkan bunga ke perairan Bali. Ketika prosesi berlangsung, semua kru kapal mengenakan seragam TNI AL berwarna putih, sementara para Laskar Rempah mengenakan pakaian khas masing-masing daerahnya. Nabila Putri Delinda, Laskar Rempah Provinsi Jawa Timur, merasa sangat beruntung bisa mengikuti prosesi tersebut. Menurut Nabila, meskipun mereka tidak mengenal korban satu per satu namun setidaknya mereka dapat mewakili Laskar Rempah Indonesia memberikan penghormatan terakhir dan bisa mendoakan yang terbaik untuk KRI Nanggala 402.
Jalur Rempah sebagai Bagian dari Peradaban Dunia
Kegiatan Muhibah Budaya Jalur Rempah hanyalah satu upaya Kemendikbudristek mengajukan jalur rempah ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya. Jalur rempah bukan sekedar jalur perdagangan rempah-rempah nusantara ke pasar perdangannya dunia. Jalur yang tercipta di masa lalu ini telah meninggalkan berbagai jejak budaya seperti terciptanya benteng, aneka macam kuliner, pengobatan, kosmetik, hingga karya seni. Jejak artefak rempah ini juga ditemukan di peradaban klasik dunia, seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, India, dan Tiongkok. Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, menyatakan bahwa rempah-rempah nusantara memiliki peranan penting dan menjadi komoditas utama yang mampu memengaruhi kondisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya dalam skala global.
Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, “Jalur Rempah bukan hanya perdagangan rempah semata, tetapi juga terjadi pertukaran budaya. Kita berharap para Laskar Rempah dapat menghidupkan kembali pertukaran dan pergaulan budaya seperti yang terjadi ribuan tahun lalu melalui Jalur Rempah”.
(Anny Veradiani: Pamong Budaya Ahli Muda Kemendikbudristek)
Sambutan dari Dirjen Kemendikbudristek, Hilmar Farid -
Redaksi Jalur Rempah