6 minute read

PINISI

Jangan Ragukan Otoritas Panrita Lopi

Hati-hati mudik, nenek moyang kita pelaut bukan pembalap”. Selorohan itu menyelipkan narasi historis bahwa nenek moyang kita hidup dalam kultur maritim. Laut menjadi lahan mencari kebutuhan hidup dan tempat membangun identitasnya. Mereka tahu betul cara beradaptasi dengan perubahan-perubahan iklim di laut, tidak akan tersesat dengan mengandalkan navigasi rasi bintangbintang. Untuk menaklukkan laut dibutuhkan nyali, keberanian, ketekunan, keuletan, serta kesabaran karena laut luas penuh dengan ancaman seperti angin topan, badai, ombak, binatang laut, dan karang laut yang bisa mengganggu kestabilan kemudi perahu.

Advertisement

Perahu untuk melaut tidak dibentuk begitu saja dengan menyusun papanpapan kayu seperti puzzle. Dibutuhkan modal pengetahuan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Produksi pengetahuan lokal ini sangat filosofis, syarat makna, dan dibalut dengan ritual sebagai penguat keyakinan masyarakat dalam proses pembuatan perahu. Membuat perahu bak proses penciptaan manusia. Rangkaian material perahu dilekatkan pada sistem anatomi tubuh manusia. Mulai dari proses awal pembuatan perahu hingga diluncurkan ke laut. Lunas diidentikkan rangka pokok tubuh manusia sebagai tulang belakang yang kokoh menyangga tubuh. Ukuran panjang lunas berdasarkan ukuran jengkal tangan atau jengkal kaki panrita lopi (maestro pembuat kapal). Menghitung panjang lunas menggunakan metode khusus untuk menentukan keterikatan “kimia” yang kuat antara perahu dan pemiliknya, termasuk dalam soal keberuntungan dalam berlayar.

Potongan lunas terbagi menjadi 3, 4, atau 5 bagian yang disebut dengan tatta. Potongan lunas bagian depan disimbolkan sebagai laki-laki (suami). Lunas pada bagian belakang disimbolkan sebagai perempuan (istri). Pada pertemuan potongan lunas depan dan belakang dimasukkan palului yang berisi kapasa’ rurung-rurung (kapas yang beruntai), jarum/baja, irisan kelapa, irisan gula merah, dan kerak nasi. Semua bahan tersebut dibungkus dengan kain putih dan diikat dengan benang. Bahanbahan yang terdapat dalam palului tersebut menjadi harapan dan motivasi keberlangsungan perahu ketika di laut. Potongan baja (jarum), misalnya, adalah simbol harapan perahu akan kuat menyerupai baja, adapun palului yang telah dibungkus kain disimbolkan sebagai sperma. Benih palului ditanam pada sambungan lunas perahu, mengikuti jejak proses penciptaan manusia. Proses pembuatan perahu di bawah komando panrita lopi.

Dalam pembuatan perahu, tidak hanya dibutuhkan kelihaian dan kecekatan jari jemari dalam membentuk material. Namun dibutuhkan pengetahuan tradisional dan rasa dalam membuatnya. Ilmu inilah yang diwariskan secara turuntemurun di dalam komunitas pembuat perahu di Lemo-Lemo (Tanah Beru), Ara, dan Bira, Sulawesi Selatan. Ilmu yang ditransmisikan bukan sekadar ilmu yang dipelajari di bangku sekolah, akan tetapi ada asupan ilmu tasawuf yang berkaitan pengenalan diri manusia. Tidak hanya memakai hitungan logis matematik dalam mengukur material perahu, namun menggunakan ukuranukuran yang melekat dalam diri manusia. Misalnya satu ruas, sejengkal, sesiku, dan sedepa. Semua proses ini dilakukan secara tradisional, menggunakan pengetahuan lokal tanpa alat ukur modern. Hitungan kerangka arsitektur perahu yang dilakukan oleh panrita lopi sangat seimbang. Cara mengukur keseimbangannya mengacu pada kerangka tubuh manusia yang sangat

Ilmu pembuatan perahu adalah ilmu yang diwariskan turun temurun -

Husnul Fahimah Ilyas

seimbang antara kiri dan kanan. Desain arsitektur perahu yang sangat filosofis tergambar dalam pikiran panrinta lopi tidak tergambar secara detail dalam coretan kertas. Inilah kehebatan ilmu para pembuat perahu, sehingga UNESCO mengakuinya sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang mewakili negara (Indonesia)/Representative List pada tahun 2017 “Pinisi, Art of Boatbuilding in South Sulawesi.

Pelestarian Pinisi

Setelah pinisi diinskripsi di UNESCO, apa Langkah selanjutnya? Pemerintah Kabupaten Bulukumba membuat Peraturan Daerah tentang Pelestarian Perahu Pinisi Nomor: 2 Tahun 2019. Perda tersebut dimaksudkan untuk melindungi, mengamankan, dan melestarikan perahu pinisi; serta memelihara dan mengembangkan pelestarian perahu pinisi yang merupakan budaya dan jati diri sebagai lambang kebanggaan masyarakat daerah. Tujuan Perda adalah untuk 1) meningkatkan pemahaman kesadaran masyarakat terhadap pelestarian perahu pinisi; 2) meningkatkan kepedulian, kesadaran, peran masyarakat terhadap pelestarian perahu pinisi; 3) membangkitkan motivasi, memperkaya inspirasi, dan memperluas khasanah bagi masyarakat dalam pelestarian perahu pinisi; serta 4) mengembangkan perahu pinisi untuk memperkuat jati diri kebudayaan nasional serta ciri khas daerah dan Provinsi Sulawesi Selatan.

Sejak tahun 2018, Bulukumba telah melakukan akselerasi aksi terhadap perkembangan usaha pinisi termasuk

Pembuatan pinisi di Bulukumba -

Bastian AS - https://www.shutterstock. com/id/g/BastianAS

Seorang pembuat pinisi dan pinisi yang sedang dikerjakannya -

Ichmunandar - https://www.shutterstock.com/id/g/ichmunandar

dalam kegiatan festival pinisi. Pemerintah dan masyarakat berkolaborasi dalam kegiatan songkabala ri bantilang dan anyyorong lopi sebagai runtutan dari pembuatan perahu pinisi. Songkabala ri bantilang adalah ritual yang dilakukan di lokasi tempat pembuatan perahu (bantilang), dipercaya akan menolak bencana dan segala bentuk musibah. Sedangkan anyyorong lopi merupakan ritual mendorong perahu untuk dilarungkan ke laut.

Upaya lain adalah sosialisasi pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter yang menginternalisasikan nilai budaya daerah perahu pinisi sejak tahun 2018, mengacu pada pembelajaran karakter pada tingkat sekolah dasar. Namun hal itu belum maksimal dilakukan pada semua sekolah. Selanjutnya, upaya pemajuan melalui pengembangan dan perlindungan budaya daerah adalah sebuah strategi agar masyarakat dapat mempertahankan budayanya di era globalisasi saat ini. Kegiatannya dialog tentang pinisi dan budaya kemaritiman.

Perhatian masyarakat tercurah pada pembuatan pinisi yang kembali pada alam yakni pinisi dengan konsep tradisional, dimulai dari proses pra pembuatan yang disebut dengan songkabala ri bantilang kemudian pemilihan kayu, penebangan, serta pembuatan perahu secara tradisional. Ini berbeda dengan pinisi konvensional yang menggunakan tenaga penggerak mesin sebagai penggerak utama. Pinisi tradisional dibuat dengan menggunakan layar sebagai tenaga penggerak utama yang akan diluncurkan dalam proses anyyorong lopi. Proses pembuatan perahu secara tradisional ini menjadi wahana wisata yang unik dan diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Program ini sedang berjalan yang dimotori oleh Endangered Material Knowledge Programme (EMKP).

Usaha-usaha pelestarian pinisi harus dilakukan secara kolaboratif dan bersinergi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, masyarakat, komunitas, serta lembaga non pemerintah yang terkait keberlanjutan perahu pinisi. Keberadaan dan nasib pinisi kini dan akan datang menjadi tangung jawab komunal. Terdapat sejumlah program yang mendesak untuk dilakukan secara bersama.

Pertama adalah merealisasikan pembuatan living museum di sekitar

pembuatan perahu tradisional di Tanah Beru atau Ara. Konsep museum, pertama sebagai titik kumpul memperoleh informasi mengenai pembuatan perahu tradisional, dokumentasi digital, dan tempat penyimpanan koleksi peralatan serta contoh material yang digunakan dalam pembuatan perahu. Konsep kedua, museum sebagai wadah edukasi, pengunjung dapat melihat secara langsung pembuatan perahu di bantilangbatilang yang berada di sekitar museum.

Kedua, menjadikan tempat pembuatan perahu tradisional sebagai tempat destinasi wisata yang aman, nyaman, dan menarik sehingga dapat meningkatkan devisa daerah dan mengembangkan ekonomi rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan perencanaan tata ruang dan kebersihan lingkungan wisata. Selama ini pengunjung membuat catatan merah mengenai kebersihan, sampah berserakan di tepi laut di sekitar bantilang. Hal itu sangat penting mengingat destinasi wisata bantilang utamanya di Kecamatan Bontobahari merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah tertinggi. Sewajarnya kecamatan ini mendapat memperhatikan khusus soal pengelolaan sampah.

Ketiga, penanaman pohon sebagai material pokok dalam pembuatan perahu. Produksi pembuatan perahu masih berlangsung sampai sekarang dan pohon yang ditebang sebagai material adalah pohon yang tumbuh secara alami. Pada suatu saat nanti, akan terjadi masa kelangkaan atau kepunahan pohon yang menjadi material perahu seperti kayu sepang (Biancaea sappan L.Tod.) yang dulunya dipakai sebagai pasak perahu. Kayu sepang kini diganti dengan kayu kandole (Diploknema oligomera). Maka itu, masyarakat dan pemerintah perlu melakukan reboisasi.

Keempat, meninjau kembali aturan kesyahbandaran setelah mendapatkan pacak (surat rekomendasi kepemilikan kapal dari kecamatan). Kontinuitas pembuatan perahu pinisi sampai sekarang tetap berlanjut, pewarisan ilmu tata cara membuat perahu juga diwariskan, yakni dengan pola pewarisan yang bersifat tradisional dan lisan. Arus perkembangan teknologi modern (penggunaan mesin) yang mempercepat produksi pembuatan perahu pinisi tidak dapat dielakkan. Masyarakat pengrajin perahu pun terkendala urusan administrasi, seperti kewajiban membuat grand plan gambar perahu yang akan digunakan untuk pengurusan surat dokumen kapal. Padahal, membuat perahu tradisional tidak mempunyai pola atau gambar yang dituangkan dalam kertas. Konsep gambar perahu terekam dalam memori panrita lopi, termasuk konsep keselamatan dan keseimbangan perahu yang dianalogikan dengan organ tubuh manusia. Janganlah meragukan kapasitas keilmuan dan otoritas para panrita lopi yang menggunakan pakkasia’ (rasa) dan logika dalam menciptakan perahu yang siap berlayar ke belantara samudera. Mari hormati panrita lopi.

(Husnul Fahimah Ilyas/Pusat Penelitian

Manuskrip, Sastra, dan Tradisi Lisan, BRIN)

This article is from: