7 minute read
NOKEN Merajut Noken, Merajut Kehidupan
Merajut Noken
MERAJUT KEHIDUPAN
Advertisement
Ketika berkunjung ke Jayapura Papua, kita akan disuguhi alam yang indah dan pedagangpedagang di pinggir jalan. Satu di antara barang dagangan yang menarik mata adalah tas tradisional Papua, noken. Ya, noken bukan saja sebagai identitas budaya orang Papua dan alat untuk menyimpan barang bawaan, namun kini juga menjadi tanda mata yang banyak dijual di pinggir jalan oleh mamamama Papua. Mama-mama Papua itu membuat sendiri nokennya, dan jika beruntung kita dapat melihat mereka membuatnya, langsung di pinggir jalan itu. Meski belum setenar batik, noken merupakan warisan leluhur etnis-etnis di Papua yang telah ditetapkan oleh UNESCO pada Daftar Warisan Budaya Takbenda pada 4 Desember 2012. Tentu hal ini menjadi kebanggaan tersendiri, meski tidak semua orang di Tanah Papua mengetahuinya.
Secara umum noken dikenal sebagai tas tradisional orang Papua, namun sesungguhnya terdapat beragam istilah berbeda untuk menyebutnya. Noken yang umumnya dikenal sebagai khas Papua adalah “noken wamena”. Padahal noken itu bukan hanya berasal dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, tetapi merupakan ciri khas etnis-etnis Mepago di Pegunungan Tengah Papua. Ukurannya pun beragam. “Mama-mama” di wilayah adat Mepago mengaitkan talinya di kepala dan membiarkan terjulur di belakang punggung, dari yang ukuran kecil hingga berukuran besar. Isinya beragam; benda pribadi, makanan, hasil kebun, hingga untuk menggendong bayi dan batita. Etnis lain di Papua memproses daun tikar (sebutan untuk jenis tanaman pandan hutan), kulit kayu, serat pohon genemo atau melinjo (Gnetum gnemon), kulit anggrek hutan, dan rumput rawa untuk membuat noken.
Tiap etnis memiliki ciri khas dalam teknik merajut dan menganyam, sehingga tiap noken di Papua menjadi semacam identitas etnis. Hampir tiap etnis punya istilah untuk tas tradisional dalam bahasa ibu, bahkan beberapa etnis mengidentifikasi beberapa kata berbeda untuk noken berdasarkan beberapa kategori. Misalnya, masyarakat Sentani tepatnya di Kampung Ifar Besar, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, menyebut noken dengan khangge (tas kecil) dan hoboi (tas besar). Adapun masyarakat Tepera di Depapre, Kabupaten Jayapura, menyebut noken dengan nama tangke moro yang artinya tas noken. Khangge merupakan tas kecil yang digunakan dengan cara digantung atau tas selempang. Hoboi merupakan tas besar yang cukup membantu masyarakat dalam menaruh atau membawa barang besar atau jumlah yang banyak. Khangge dan hoboi dibuat dari bahan-bahan yang ada tumbuh di sekitar perkampungan masyarakat Sentani Tengah, yakni kulit kayu (huisaa/serat kulit kayu) dan genemo. Pembuatan hoboi dan khangge sekitar 1-2 minggu. Ukuran hoboi lazimnya 1x1 meter, sedangkan khangge 30x50 cm.
Tangke moro jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah tas. Tangke moro merupakan aksesoris tradisional hasil karya pengetahuan orang Tepera dalam menganyam kulit kayu moro menjadi suatu yang berfungsi. Tangke moro ini telah telah dibuat dan digunakan oleh masyarakat Depapre sejak dulu dan masih bertahan hingga kini serta menjadi kebangggan tersendiri bagi masyarakat Tepera. Tangke moro terbuat dari jenis pohon kanya atau pohon maro atau kulit maro. Untuk pembuatan tangke moro, pertama-tama kulit maro dibersihkan, kemudian direndam di air asin agar
Salah satu motif noken -
Bortolomeus Abdi W. - https://www.shutterstock.com/g/abdiwidyatama
dapat menghasilkan tangke moro yang lebih tahan lama. Setelah itu, kulit kayu dibentuk, bisa dianyam atau dilipat. Agar terlihat lebih cantik, pada bagian luar tas dibuat rumbai-rumbai. Jika bahan siap, pembuatannya hanya dua hari.
Tampaknya sederhana, ya, namun sesungguhnya rumit. Beda etnis, beda bahan, beda pula teknik produksinya. Beberapa tanaman bahan baku masih mudah ditemui di pinggir hutan atau kebun-kebun, namun beberapa lainnya sudah susah ditemukan dan berada di tengah hutan. Secara umum, bahan baku tersebut dipotong, dikuliti, dan direndam untuk dibersihkan dari segala kotoran termasuk getah pohon. Lembaran bahan lantas dijemur hingga kering, lalu dipisahkan atau disobek menjadi lembaran kecil mengikuti arah seratnya. Lembar kulit kayu pohon genemo, kulit anggrek hutan, lembaran daun pandan hutan, dan rumput rawa yang telah diproses sebelumnya kemudian dipilin hingga menjadi satu untaian panjang semacam benang.
Teknik memilin masih tradisional; ambil beberapa bahan, satukan dengan tangan, dan dipilin di atas paha hingga beberapa untaian bahan tadi menyatu kuat serupa benang atau tali tambang kecil. Setelah seluruhnya selesai, digulung dan disimpan agar dapat dipakai sewaktuwaktu. Proses ini terus berulang menjadi satu pola yang melekat dalam budaya Papua. Ketika akan membuat tas, bahan dipintal lagi menjadi tali/benang, lantas dianyam. Teknik rajut khas menghasilkan kaitan satu sama lain dengan jarak yang lebih renggang namun kuat. Model rajutan inilah yang memungkinkan noken bersifat elastis.
Perempuan Pengrajin Noken
Pengrajin noken umumnya adalah para perempuan, yang memanfaatkan waktu disela-sela waktu luang setelah mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus kebun. Biasanya para perempuan itu membuat noken dengan duduk berkelompok sembari mengasuh anak-anak, meski ada juga yang mengerjakan sendirian. Perempuan pengrajin noken disebut dengan istilah “mama-mama” noken, meskipun di antara mereka ada juga yang belum menikah. Di etnis tertentu noken dikerjakan juga oleh laki-laki. Saat para perempuan berkumpul dan membuat noken, saat itulah quality time mereka bersama anak dan perempuan lainnya, bahkan bisa menjadi semacam me time. Di momen itu mereka bisa melepas penat sembari saling bersenda-gurau, bercanda dan tertawa lepas, berbagi cerita dan pengalaman hidup antara yang tua dan yang muda. Momen berkumpul sambil membuat noken secara tidak langsung menjadi wadah internalisasi nilai budaya, karena kerap terjadi proses pewarisan. Bukan hanya pewarisan bentuk, namun juga proses, makna dan nilai-nilai kehidupan yang patut dihargai. Dalam kehidupan sosial budaya etnisetnis di Papua, noken menjadi simbol budaya yang multifungsi, penuh makna dan filosofi yang selalu dibawa ke manapun. Noken dimaknai seperti rahim ibu yakni simbol kesuburan dan pewarisan nilai-nilai kehidupan.
Kemahiran membuat noken adalah simbol seorang perempuan sudah dewasa dan siap menikah. Noken digunakan sebagai alat tukar, simbol penyelesaian sengketa dan perdamaian, pembayaran denda, simbol status sosial di antara lapisan sosial budaya masyarakat, dan sebagainya. Dengan prosesnya yang rumit dan penuh dengan nilai kehidupan, maka sebuah noken serat alam memiliki “nilai lebih”.
Seorang pria Papua Khangge
atau tas kecil - Saberia
Benang Pabrik
Saat ini, noken berbahan benang pabrik dengan ciri khas Papua sudah banyak di pasaran. Awalnya dikerjakan oleh etnis pendatang, namun lambat laun kini pengrajin noken juga mulai mengerjakan varian noken dengan benang pabrik. Kedua jenis noken ini bersaing harga di pasaran, dengan harga jual noken benang pabrik lebih murah. Misal, satu noken serat alam seukuran buku tulis kecil dijual sekitar Rp. 200.000, noken benang pabrik dijual lebih murah. Makin sulit bahan bakunya, makin mahal harganya. Noken berbahan anggrek yang disebut juga noken anggrek atau noken kuning adalah noken termahal di kelasnya. Noken anggrek seukuran buku tulis dijual sekitar Rp. 1.000.000. Noken jenis ini lebih rumit pengerjaannya dan bahan baku berupa anggrek hutan berwarna kuning semakin sulit didapatkan.
Meski dijual lebih mahal daripada noken benang pabrik, noken serat alam tetap diminati dan memiliki penggemar tersendiri. Berbagai upaya terus dilakukan oleh penggiat budaya, para pengrajin, penggiat UMKM, pihak swasta, dan pemerintah untuk tetap mempertahankan eksistensi noken, bukan hanya sebagai benda tapi juga sebagai budaya takbenda. Satu langkah yang telah berjalan adalah anjuran penggunaan noken untuk anak sekolah dan para pegawai baik pegawai pemerintah maupun pegawai swasta. Meski kenyataannya, ada juga yang memakai noken benang pabrik. Di Kota Jayapura, sudah terdapat lebih banyak ruang yang disediakan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta untuk tempat “mama-mama” noken menggelar dagangannya, misalnya di Festival Danau Sentani, Festival Teluk Humbolt, PON XX, dan PEPARNAS XX. Noken juga sudah dijual secara daring.
Kerjasama semua pihak sangat diperlukan untuk mempertahankan status noken sebagai warisan budaya takbenda UNESCO, yakni dengan mengupayakan ketersediaan bahan baku noken. Bahan baku alam mulai berkurang, antara lain karena adanya pembukaan hutan dan perluasan lahan untuk pemukiman dan kepentingan lainnya. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya pembibitan dan budidaya secara sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan pihak lain. Upaya lain adalah memasukkan noken sebagai bahan ajar pada muatan lokal agar pengetahuan noken dan nilai-nilainya dapat terus berlanjut.
Sebetulnya telah ada Museum Noken yang diresmikan pada 10 April 2013 di Kota Jayapura. Namun, museum belum berfungsi optimal sebagai sarana informasi dan edukasi, sekaligus pelindungan dan pemanfaatan ikon Papua tersebut. Padahal, museum juga dapat menjadi tujuan wisata yang menyenangkan bagi wisawatan dari luar Papua.
(Windy Hapsari, S.Sos., M. Si/Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua)
Seorang Mama membuat noken - Bortolomeus Abdi W. - https://www. shutterstock.com/g/abdiwidyatama