Telusur - Edisi 2

Page 1

Binaia dalam Tradisi dan Modernisasi

Harimau dan Gambut: UGM Research Expedition

Dilema Pariwisata di Merapi

TelusuR JIWA DALAM SETIAP PERJALANAN

Asa di Asahan

Perjalanan panjang menuju UGM International Expedition 5

EDISI 02 | FEB 2020


TelusuR JIWA DALAM SETIAP PERJALANAN

Pembina Dr. M. Pramono Hadi, M.Sc. | Penanggung Jawab Iqbal Setya Nugraha | Penyunting Barin Panduarta; Muh Ilham | Desain & Tata Letak Dimas Irham; Farah Aida Ilmiatul Kulsum | Ilustrasi Ichsan Noordiansyah | Kontributor Foto Demetria Alika; Fariz Ardianto; Hendri Anggara; Rais Kun Fajar P; Iqbal Setya Nugraha; Sholeh Firmansyah | Kontributor Gambar Erika Kartika Madiaferry; Hafshah Lafif; Ria Verentiuli Sianipar | Kontributor Tulisan Adam Astiti; Atsil Tsabita; Ayu Purbasari; Erika Kartika Madiaferry; Fahmi Arsyad; Hafidz Wibowo; Hafshah Lafif; Hanif Nur Hasan; Julia; Rachmat Willy Adam.

Disusun dan dicetak oleh: Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada Komplek Perumahan Dosen Universitas Gadjah Mada Blok D11 Jalan Podocarpus II, Bulaksumur, Caturtunggal, Depok Sleman, DIY. 55281. Telp. (+62) 812-2693-0339

Mercusuar yang terletak di sisi barat-selatan Pulau Nuca Molas. Jika cuaca sangat cerah kita dapat melihat Pulau Sumba di kejauhan dari lantai teratas mercusuar tersebut. Foto: Hendri Anggara

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Negara Republik Indonesia


edisi 02 ¡ februari 2020

daftar isi

16

Kabar dari binaia

Mempertahankan tradisi dalam laju modernisasi

28

Mengarungi derasnya sungai asahan

Sungai Asahan menawarkan jeram eksotik nan ekstrem

36

Satwa dan kebudayaan harimau sumatera Efek domino ancaman kepunahan yang saling memengaruhi

38

Masa depan gambut indonesia Sebuah krisis di lahan kritis

SD Negeri Nuca Molas adalah salah satu dari dua sekolah dasar yang ada di Pulau Nuca Molas. Di halaman sekolah terdapat pohon beringin nan rimbun yang biasa digunakan untuk duduk bersantai ketika jam istirahat. Foto oleh Hendri Anggara

OPINI

SAINS

14 Menjadi lebih sadar untuk mulai beraksi

13 Mengenali hipotermia ketika dalam perjalanan

pariwisata di Lereng Selatan Merapi

sumber hewan ternak

52 Rawan bencana,

15 Gas metana

SEJARAH

12 Perahu ramping dan cepat bernama Kayak

VISUAL

VERBAL

04 Kamar Cahaya

09 Jejak Langkahku

06 Sketsa Rupa

10 Puisi Gladimula


kamar cahaya

berjalan-jalan dengan sedikit cerita bersama ibu di toko idaman sejak lama, dan asyiknya -- lagu pilihan di toko, senja teduh!

kota yogyakarta, 2019 ‹| Alun-alun Kidul, Patehan. Iqbal S. Nugraha, @iqblsngrh • Ketandan Wetan, Ngupasan. Farah Aida I.K., @summer9747 |› Taman Sari, Kadipaten. Sonya Maharani, @sonyazescarani_

4

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


menjejakkan kaki sendiri, namun menyesal tiada akhir sekarang begini, mimpinya begitu. lagi begitu, pinginnya begini. cari apa siih?

VISUAL

5



sketsa rupa

verent sianipar

erika kartika

Kiri: Ikan di langit-langit, Atas: Kantong kepala

Senyum setelah berhasil nge-top di Tebing Blok E Pantai Siung

INSTAGRAM | @verentkiting MEDIA | Autodesk Sketchbook • Digital

INSTAGRAM | @ererikaka MEDIA | Krita • Digital

VISUAL

7


sketsa rupa

Oleh: Hafshah Lafiif. @hafs.lafif

8

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


sudut aksara

JEJAK LANGKAHKU Oleh: Hanif Nur Hassan Al Faruqi

Berkelana saja tuan-tuan, disana kita temui keniscayaan Berjaga api di dingin malam, sunyi ini kebisuan hidup yang hakiki Samudera ketidakpastian terjawab sudah, asah naluri, langkahkan kaki! Rumah bagi kita adalah segala badai dan gelegar petir yang menggila Menyelami dasar lautan, menghujani tanah-tanah gersang dengan peluh keringat Menyeka bibir sungai dengan dayung, lalu menguak gulita yang berteka-teki dalam keheningan gua, sampai-sampai kita tak berhenti pada cadasnya tebing yang tercengkeram dalam genggaman dan udara segar diantara awan yang bera-arakan, kita menyerupai capung dengan payung. Berjalan, jauh, sangat jauh, sampai kita musti berjuang untuk kembali meninggi ke langit, menapakkan kaki dibumi, dimana ada do’a disitu tumbuh keberanian manusia. Tatkala surya muncul dibalik rumus waktu yang belum bisa kita terjang, ia menyirami kita dengan cahaya, tak pernah begitu terik, tak pernah. Sementara keriuhan kita kerap usai pada sela-sela jemari waktu sore menjelang petang, disanalah istirah, segala fase yang sudah sudah semestinya kita rayakan bersama. Sudikah kiranya menengok masa yang lama? Bongkahan es ditengah riuh deru angin Jayawijaya, bersamaan dengan reinkarnasi jiwa kembara kita yang tak pernah usai menuntaskan dahaga. Atau tentang nyamuk di Belantara Nusakambangan, bersamaan dengannya naluri seorang manusia ditantang, mampukah kita hidup berdampingan dengan alam, menyatu, ruh dan jiwa bersetubuh, berkoalisi demi menumpas segala angkuh dan bersikukuh memberi asupan untuk ego belaka.

Lalu, puisi ini menyaksikan satu mahasiswa dengan ranselnya menggapai puncak soemantri. dua mahasiswa dengan kayaknya bermandikan jeram di Sun Koshi bersamaan dengan bahu yang memaku, musti kita hadapi baik-baik betapa perjuangan ini tidak pernah tidak berbuah hasil. Tiga mahasiswa dengan tas ransel didada dengan tas besar dipunggung berjibaku di tengah kabut dan cuaca dingin alas kaki Pussa Yan Cliff sembari berteman dengan lantunan dari Rancid, Aresthed in Shanghai. Tangan juga kaki menjadi saksi sekaligus peneguh, hati menjadi naungan bagi niat baik untuk Tuhan melewati alam dan kebudayaan. Tiga tahun terlewatkan, tak ada perehalatan akbar ke luar bumi khatulistiwa. Tapi empat srikandi berdiri diatas puncak tertinggi Stok Kangri, berkawan dengan dingin yang tak terperikan menggemalah Indonesia Raya, berkibarlah Sangsaka pada satu pasak ranah tinggi jagat India. Jiwa kita terlampau liar dan bebas, menolak berdiam dalam tempurung Kita adalah serdadu yang berjaga dikelamnya malam, dan siaga dibawah terik mentari Kemerdekaan bagi kita adalah berteman dengan segala ketidakmungkinan, berpacu diatas ragam rupa pertanyaan yang tak pernah terjawab perihal kehidupan. Tidak untuk ditakuti, segala musim, sesemua suasana dan kecamuk zaman kita hadapi, bersama dengan berani, menjadi penjelajah, pengabdi dan peneliti. Tak lain, demi kemuliaan Sang Pencipta Alam Semesta Raya jua menghabisi waktu menuju gerbang kepulangan; mati dan abadi.

VERBAL

9


sudut aksara

A JOURNEY UPWARDS oleh: Atsil Tsabita

I'm en visaging you in every single point it's like being hau nted by a shallow shadow laid up in a room full of joy but I'm still a half solitary I dozed off but the noises are still here They're so tough a nd I feel like a creep tha nks to the existence of our beautifully hazed moonlight: a creep's turning a less creep. or at least that's what the thought said. then I feel like Baudelaire in the middle of a n a mphitheater of ba mboo a nd their friends; with a playlist of my favourite rock ba nd stuck in my ears. I'll see you in the next six hours

10

TELUSUR ‡ JANUARI 2020

IT'S CHEERF ULLY

DARK oleh: Atsil Tsabita

Failing's never been wrong. Feeling so fail at the last minute is. They said those thoughts will: both kill you and hard to be killed. but hey indeed I found a nice killer: fright.


BATIN Oleh: Hafshah Lafiif Dua titik tumpu Raga berbisik lelah Angan melaju bak berniat membalap tubuh Menempatkan diri di atas tebing Imajinasi, tak nyata dan tak menyakiti Lalu aku lihat saudaraku Menghela nafas di puncak sana Tangan bergetar mencengkram ujung kertas yang terlipat Gema euforia, dari orang lain sekalipun, membangun candu Batin kita mulai terikat, bisakah kau rasakan?

Dua titik tumpu Raga tercekat, diselimuti fobia dan tertimpa bongkahan panik “Melangkah dulu�, kataku, “cemas belakangan�, kataku Angan terdisorientasi Gelap abadi bukanlah tempat yang ramah bagi kami yang lemah Tak bisa membedakan dimana kepalaku mulai dan kakiku berakhir Lalu aku dengar lantun saudaraku Tuhan, kian melipir seakan enggan mengikuti kunci Namun kamu disampingku, dan aku tahu kau disampingku Gema ketenangan, dari alam sadar orang lain sekalipun, meredam deru Batin kita mulai terikat, bisakah kau rasakan?

VERBAL

11


sejarah

Jika diperlihatkan ketiga objek dalam ilustrasi di atas, apakah anda dapat menyebutkan nama-namanya? Sebelum bergabung dalam komunitas pencinta alam, saya akan menjawab pertanyaan tersebut dengan: perahu, perahu, dan perahu. Bedanya apa? Tidak tahu. Berdasarkan survei kecil yang saya lakukan pada kawan-kawan non-pencinta alam, kebanyakan dari mereka memberikan jawaban serupa. Beberapa menyebutkan kano meskipun bukan pada objek yang tepat, dan hanya sedikit yang menyebutkan kayak. Ada juga yang menyebut ketiganya sebagai kapal. Sedangkan jawaban yang lebih tepat untuk pertanyaan tersebut adalah kayak. Dari jawaban mereka saya menyimpulkan jika banyak orang yang masih kesulitan membedakan antara kayak dan kano. Hal ini tidaklah mengherankan dilihat dari bentuk keduanya yang cukup mirip. Kemiripan bentuk tersebut tak lepas dari asal usul sejarah mereka yang sama. Menurut Bill Matos dalam buku "Kayaking & Canoeing for Beginners", jauh sebelum kita mengenal kayak dan kano yang kita ketahui sekarang ini, suku pedalaman Amerika menggunakan gelondongan kayu yang diapungkan di atas sungai untuk mengangkut barang dari satu titik ke titik yang lainnya. Tak lama kemudian mereka menyadari jika mereka menggunakan gelondongan dengan rongga di tengahnya, maka gelondongan tersebut akan lebih seimbang saat mengapung di air. Berdasarkan jejak arkeologi yang ditemukan, beberapa teknik awal untuk melubangi gelondongan tersebut antara lain dengan cara mengikis bagian tengah kayu ataupun dengan membakarnya sehingga terdapat lubang di sana. Namun bahan yang terbuat dari kayu solid ini menimbulkan masalah karena bobotnya yang menyulitkan untuk mobilisasi di darat. Pada akhirnya perkembangan teknologi memungkinkan mereka menggunakan bahan lain yang lebih ringan, yaitu dengan kulit kayu dan rangka dari tulang, serta kulit binatang sebagai pelapisnya. Di belahan bumi lainnya bahan lainnya juga digunakan. Misalnya di Asia Tenggara, terkadang alat transportasi yang serupa dibuat dari bahan bambu. Dari sinilah terjadi percabangan evolusi kayak dan kano untuk menjawab kebutuhan lingkungannya. Kano dikembangkan oleh penduduk asli Amerika Utara beberapa ribu tahun yang lalu. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan kano modern, dengan dayung satu bilah dan rongga luas yang dapat menjadi tempat duduk ataupun berlutut beberapa orang. Sedangkan kayak diciptakan oleh suku Inuit bagian arctic dan sub-arctic dengan desain untuk pendayung yang selalu duduk sehingga bentuknya lebih tertutup. Kulit anjing laut digunakan untuk melapisi bagian luarnya. Terdapat bilah di kedua sisi dayungnya untuk menghadapi arus besar ketika mereka berburu dan bepergian di laut. Selama beberapa ribu tahun tidak terjadi banyak perubahan pada kedua desain tersebut. Hingga sekitar abad 19 dan 20, terjadi modernisasi dari segi bahan baku. Demi menciptakan perahu yang lebih ringan, digunakan rangka kayu tipis dengan kanvas sebagai pelapisnya. Perubahan selanjutnya terjadi pada bahan pelapis kayak dan kano yang digantikan dengan jenis pelapis yang lebih baru. Adapun dayung yang digunakan masih berbahan kayu. Ini bertahan hingga sekitar tahun 1950an sebelum akhirnya bahan bakunya digantikan dengan fibreglass yang menjadi bahan kebanyakan perahu saat ini.

Jejak Sejarah Kano dan Kayak

Oleh: Erika Kartika Madiaferry

Pada jaman sekarang, kano dapat digolongkan menjadi 2 kategori; flatwater dan whitewater. Adapun kayak berkembang menjadi banyak jenis. Di antaranya beserta penjelasan secara singkat: • Sit-on Kayaks: Bentuknya yang tidak menutup kaki, bebas dari beban yang tidak perlu, dan tidak dapat terisi air membuat jenis kayak ini cocok untuk pemula. Tersedia untuk satu dan dua penumpang. • General Purpose Kayaks : Biasanya memiliki panjang 3m dan lebar 60cm dan terbuat dari plastik. Dek-nya menutup kaki dan lubangnya dapat ditutup dengan spraydeck. • Touring Kayaks: Panjangnya sekitar 4m, terkadang lebih. Sangat stabil dan mudah untuk didayung dengan lurus. Memiliki jenis dek tertutup namun kokpit yang luas dan tidak sulit untuk keluar darinya. • Sea Kayaks: N ormalnya memiliki panjang di atas 4,5m. Banyak menggunakan bahan plastik namun lebih umum dijumpai yang berbahan fibreglass. Kurang cocok untuk pemula karena kurang stabil dan lebih sulit dikendalikan dibanding jenis lainnya. • Racing/Fast Touring Kayaks: Umumnya memiliki panjang 4,5m dengan bentuk rendah dan sempit. Bagian belakangnya lebih lebar dari yang di depan. Tidak cocok untuk pemula karena mudah goyah. • Whitewater Kayaks: Ukurannya cukup pendek, yaitu kurang dari 3m dan memiliki ujung yang bulat. Biasanya terbuat dari plastik dan cukup cocok untuk pemula, namun harganya relatif mahal dan memiliki banyak fitur yang hanya digunakan di jeram. Sangat stabil dan juga mudah untuk dibelokkan, namun beberapa orang mungkin kesulitan untuk mendayung dengan lurus. • Whitewater Playboats: S angat pendek (2,5m) dan memiliki bagian bawah yang rata serta ujung yang tipis. Sangat stabil namun cukup sulit untuk pemula mendayung dengan lurus serta cenderung sulit untuk keluar dan masuk. • Slalom Kayaks: T erbuat dari fibreglass dan memiliki panjang 4m. Memiliki ujung sangat lancip dan cukup stabil. Tidak terlalu sulit untuk pemula asalkan tidak memiliki berat yang terlalu ringan. Jenis-jenis kayak di atas belumlah mencakup semuanya. Apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini, sangat memungkinkan penemuan serta variasi baru di dunia kayak. Namun dengan mengetahui sedikit sejarah awalnya, kita dapat memahami bahwa perkembangan kayak maupun kano tak lepas dari upaya untuk memenuhi kebutuhan pemakainya. Jadi sebagai pegiat olahraga alam bebas kita dapat lebih bijak menentukan jenis alat yang kita gunakan sesuai dengan keperluan yang kita miliki. © Devon Divine / Unsplash

12

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


Oleh: Julia/Ukesma UGM

Aktivitas anak muda yang sekarang ini banyak diminati adalah travelling. Jalan-jalan keliling suatu daerah di mana mereka bisa merasakan kepuasan tersendiri sesuai minatnya masing-masing. Petualangan memang mengasyikkan dan menantang jiwa anak muda. Namun, ada hal penting yang sangat jarang dipikirkan dalam travelling, yaitu faktor resiko atau keselamatan selama perjalanan. Resiko keselamatan selama perjalanan pastinya banyak, salah satunya adalah hipotermia. Sebagian besar orang pasti sudah mengetahui apa itu hipotermia, tapi kali ini akan dibahas kembali dengan lebih pasti tentang apa itu hipotermia, penyebab, konsepsi yang salah, dan penanganannya yang tepat. Tubuh manusia berfungsi sedemikian rupa sehingga tubuh bekerja optimum pada suhu tertentu dan dapat memproduksi panasnya sendiri. Namun, terdapat faktor-faktor lingkungan yang tidak mendukung suhu tubuh tetap pada kondisi normal. Suhu tubuh normal manusia berkisar 37 °C. Jika seseorang suhu tubuhnya <35 °C, ia akan mengalami suatu keadaan gawat medis yang disebut sebagai hipotermia. Kondisi tersebut dapat terjadi karena tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada tubuh dapat memproduksi panasnya sendiri. Suhu tubuh yang berada di bawah angka 35 °C membuat organ-organ tubuh tidak dapat bekerja dengan normal. Jantung, sistem saraf, dan organ lainnya tidak dapat bekerja dengan baik sehingga dapat menghentikan organ tubuh untuk bekerja. Mengigil adalah tanda awal seseorang mengalami hipotermia karena mengigil adalah respon otomatis tubuh untuk menghangatkan dirinya. Setelah itu ada pula gejala lain seperti: mumbling (berbicara tidak jelas), pernapasan lambat, denyut nadi lemah, dan gerakan melemah. Bahkan penderita dapat mengalami kebingungan pada dirinya hingga kehilangan kesadaran. Hipotermia dapat terjadi pada siapa saja yang terpapar langsung dengan suhu dingin secara lama dan tidak berpakaian dengan tepat. Kondisi demikian biasanya dialami saat mendaki gunung ataupun berada di tempat yang bersuhu dingin. Solusi agar orang tidak mengalami hipotermia adalah dengan mengembalikan suhu tubuhnya pada angka normal—suhu tubuh dinaikkan. Namun, penanganan dalam menaikkan suhu tubuh harus dilakukan dengan benar agar penderita tidak mengalami hal yang lebih parah atau bahkan berakhir kematian sebab terdapat kesalahpahaman dalam cara penanganan hipotermia yang salah. Berikut adalah beberapa kesalahan yang sering dilakukan dan tindakan yang harus dilakukan:

1. Skin to skin dengan lawan jenis – Pada dasarnya tubuh manusia yang hangat bisa menjadi alternatif untuk menghangatkan penderita yang terkena hipotermia. Namun, konsep skin to skin ini sering kali menyeleweng dari kebenarannya. Skin to skin yang dimaksud bukan berarti bersetubuh, di mana orang akan berpikir hal tersebut dapat memacu tubuh memproduksi panas. Bersetubuh justru membuat energi seseorang terpakai yang tadinya bisa untuk memproduksi panas dari dalam. Skin to skin yang dimaksud adalah berpelukan biasa dan dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah atau juga bisa dengan sesama jenis. 2. Kontak langsung dengan sumber panas – tindakan tersebut sangat berbahaya karena akan membuat saraf pada kulit kaget, membuat kulit rusak, dan mengacaukan denyut jantung. Ada baiknya penghangatan dilakukan dengan suatu pelindung supaya tidak berkontak langsung dengan kulit. 3. Minuman beralkohol – Walaupun minuman beralkohol dapat membuat suhu tubuh naik, bukan berarti hal tersebut dapat digunakan untuk menaikan suhu tubuh seseorang yang mengalami hipotermia. Berilah minuman yang manis, hangat, tidak beralhokol, dan tidak berkafein. 4. Memijat/menggosok telapak tangan dan kaki penderita – Kaki dan tangan memiliki kulit yang sensitif terhadap suhu dan dapat memicu darah yang dingin menuju jantung, paru, atau otak. Area pada tubuh yang baik menjadi pusat sumber penghangat adalah bagian leher, dada, atau pangkal paha.

Kemudian, hal paling penting yang harus dilakukan adalah dengan menjauhkan penderita dari sumber dingin atau mengondisikan tubuhnya supaya hangat dengan cara sebagai berikut: a. Ganti pakaian yang basah pada tubuh penderita lalu gunakan pakaian yang hangat dan kering. b .Selimuti tubuh penderita atau berikan penutup pada tubuhnya secara berlapis-lapis. Kalau kondisi memungkinkan, posisikan badan secara horizontal pada punggung dengan alas yang hangat dan kering c. Tutupi bagian kepala dan leher untuk menahan panas keluar d. Be gentle, yaitu tangani penderita dengan lembut dan minimalkan gerakannya. Gerakan yang kuat atau berlebihan akan memancing serangan jantung. e. Perhatikan pernapasannya karena seseorang yang mengalami hipotermia memuliki kecenderungan kesulitan bernapas. Pada saat travelling, perhatikan pula faktor cuaca dan pakaian. Jangan lupa juga untuk menyiapkan hal-hal sederhana ataupun pengetahuan untuk bisa memberikan pertolongan pertama pada orang lain maupun diri sendiri. Ingat selalu faktor keselamatan, kenyamanan, dan cuaca supaya kegiatan tidak terhambat dan travelling menjadi moment yang menyenangkan!

PENGETAHUAN

13

sains

© Matthew Henry / Unsplash

Perjalanan dan Hipotermia


opini

P

enting sekali untuk lebih menyadari bahwa bumi bukan milik kita. Bumi adalah pinjaman dari cucu-cicit, generasi setelah kita. Seperti halnya mengasuh anak, tentu kita ingin mengusahakan sebaik dan semaksimal mungkin untuk hidupnya yang lebih baik kelak. Kita bertanggung jawab penuh atas apa yang kita lakukan hari ini karena berdampak pada kehidupan selanjutnya.

Belajar Lebih Sadar

Pertama kalinya berada dalam lingkungan yang hidup lebih bersinergi dengan alam adalah saat saya bergabung di Milas. Sebuah perkumpulan yang membawa misi untuk membangun kesadaran tentang hidup bertanggung jawab melalui kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya, seperti resto vegetarian, program pendidikan, sosial, dan lingkungan. Semenjak bergabung di Milas, bahan baku produksi menjadi fokus perhatian saya karena saat itu dipercaya untuk mengelola resto. Saya dibuat takjub atas bahan-bahan yang ada di dalamnya. Dari mulai memastikan bahan didapat secara alami, tidak menggunakan pupuk kimiawi, penggunaan alat masak yang tidak berbahaya, sampai pada cara pencucian yang benar. Semua itu dilakukan demi melancarkan visi menuju dunia yang lebih baik dan masa depan yang berkelanjutan.

Akhirnya saya beralih memilih bahan-bahan yang alami, tidak pabrikan, tidak berbahan plastik. Salah satunya menggunakan loofah/gambas sebagai pengganti spons mencuci piring dan lerak ebagai pengganti sabun untuk mencuci. Pada kenyataannya tentu ada kelemahan, bahannya tidak awet dan tidak selalu ada. Sama halnya dengan berharap bulan muncul terus setiap malam. Inilah istimewanya, inilah alam, yang tidak berdusta demi memenuhi keinginan manusia. Pohon lerak dan gambas itu hidup, seperti saya yang bangun di pagi hari, bekerja, lalu mengantuk dan beristirahat. Ia tahu waktu, tahu diri, tahu sekali kalau dia bukan yang utama di Bumi ini. Ada waktu bagi semua makhluk untuk memberi ke semesta, tapi ada waktu baginya untuk berdiam di dalam rumahnya sambil membiarkan tubuhnya beristirahat dan nantinya memberi kembali. Bukankah alam itu guru besar kita? Yang mengajarkan untuk sabar menanti musim, kreatif mencipta, dan berhemat demi sesuatu yang sangat perlu?

Secara tidak langsung, saya menjadi semakin memperhatikan lingkungan terdekat. Ya, pelan-pelan saya jadi mulai sadar atas apaapa yang saya konsumsi. Belajar lagi dan mencari tahu proses hulu – hilir sebuah produk. Melihat lebih dekat proses sumber pangan sampai siap tersaji di meja makan. Bekerja sama dengan produsen makanan dalam proses produksinya, hingga memengaruhi beberapa produsen untuk mengubah bahan baku produksi menjadi lebih alami dan ramah lingkungan. Menghindari MSG, pengawet, pewarna makanan, produk GMO, makanan beku, dan makanan / minuman instan. Menghindari penggunaan minyak kelapa sawit karena prosesnya yang merusak lingkungan. Berkomitmen untuk menggunakan produk lokal, sampai pada pengelolaan sampah yang dihasilkan. Dari perjalanan mencari pengetahuan itulah saya berkesimpulan bahwa: “We are connected to the whole world. Our actions today impact everyone.” Setelahnya, saya memutuskan untuk mengubah pola konsumsi. Mengompos bahan-bahan organik, sangat meminimalisasi sampah, berkomitmen untuk menanam sendiri bahan pangan sebanyak mungkin untuk dikonsumsi dengan menyulap taman belakang rumah menjadi kebun “siap masak”, memantau limbah penggunaan sekali pakai dan mengurangi konsumsi produk jika memungkinkan. Saya memutuskan untuk tidak mengotori Bumi sebisa mungkin.

14

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020

Oleh: Ayu Purbasari

Saya jadi ingat paradigma yang seperti sudah mengakar di lingkungan masyarakat kita, nilai kesuksesan hanya diukur dari akumulasi kapital, kepemilikan pribadi atas sesuatu. Kita dituntut untuk terus menerus mendapat materi sebanyak-banyaknya, bahkan institusi pendidikan kita pun mencetak kita menjadi pribadi yang siap “bersaing”, berkompetisi untuk menang. Saya membayangkan jika semua orang bersepakat demikian, kehidupan di bumi tentu akan menuntun kita ke arah bencana. Bagaimana kita bisa menyediakan bagi 9 miliar orang di Bumi ini kebutuhan dasar pangan, papan, sandang, kesehatan, air, dan pendidikan? Kenyataannya, perlu kita pahami bahwa hubungan mendasar antara manusia dan bumi harus diubah. Dengan kata lain, penting untuk memutus diri dari sistem yang didasari oleh motif akumulasi kapital terus-menerus. Seperti halnya mahasiswa pencinta alam yang seringkali melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan selalu menyiratkan berjuta tanda tanya. Kita bisa tahu kapan harus memulai perjalanan dan menyusun rencana di atasnya. Tetapi, kita tak akan pernah bisa pastikan akan terjadi apa selama perjalanan nanti. Dengan demikian, ambillah langkah-langkah kecil dalam hidup keseharian guna melindungi planet ini. Selamat bertumbuh. Selamat berpikir dan selamat belajar.


sains

Gas Metana Sapi Oleh: Fahmi Arsyad

© Helena Lopes / Unsplash

Tanin merupakan zat aktif yang banyak terdapat pada tanaman untuk menghambat produksi metan pada ternak ruminansia, seperti daun jati (Tectona grandis), kaliandra (Calliandra calothyrsus), dan mahoni (Swietenia mahagoni). Tanaman tersebut diolah supaya mudah digunakan dan diberikan pada ternak.

S

api merupakan hewan ruminansia dengan sistem pencernaan poligastrik. Sapi memiliki rumen, dimana di dalamnya terdapat mikroorganisme yang memecah selulosa pada dinding sel tumbuhan sehingga nutrien dalam tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme sapi. Dalam proses pemecahan selulosa, di dalam rumen terjadi fermentasi yang menghasilkan gas metana. Gas metana inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab pemanasan global. Gas metana adalah gas yang dampaknya terhadap pemanasan global lebih besar dibanding gas karbondioksida. Human Society International (2014) menyatakan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun, metana memiliki angka GWP (Global Warming Potential) setidaknya 25 kali lipat dibanding karbondioksida. Artinya, gas metana yang dihasilkan oleh kegiatan hasil peternakan memiliki dampak yang lebih signifikan dibanding gas karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Sektor peternakan sendiri berkontribusi sebanyak 35%-40% dari total keseluruhan gas metana secara global. Diperkirakan setiap tahun ada 86 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pencernaan hewan ternak. Produksi gas metana tidak hanya berasal dari metabolisme sapi, gas metana dapat berasal dari aktivitas yang lain seperti distribusi ternak, distribusi pakan, daging dan produk olahan. Sebenarnya sudah banyak industri peternakan yang berusaha untuk mengurangi produksi gas metan pada ternak baik secara integrated farming system maupun sistem industri yang berbasis lingkungan. Dalam hal ini UGM juga tidak mau ketinggalan untuk menyumbang ide terkait pengurangan gas metana yang dihasilkan dari aktivitas usaha peternakan. Melalui teknologi Natural Methane Reducing dari dedaunan yang mengandung kandungan tanin adalah sebuah metode yang digagas dan sudah dipraktikkan oleh Laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan UGM dan yang menjadi koordinator program ini adalah Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiaiti, S.U. IPU.

Melalui program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) yang didanai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti), Lies beserta timnya mencoba mengembangkan Teknologi Tepat Guna (TTG) yang mudah untuk diadopsi oleh peternak. Lies memaparkan pengembangan teknologi NMR telah dilakukan pada Kelompok Wanita Tani Gama Ngudi Lestari yang berada di Desa Banyusoco, Playen, Gunungkidul. Kelompok wanita tani tersebut diajarkan untuk mengolah teknologi NMR dari berbagai tanaman potensial yang tersedia hingga cara pemanfaatannya pada ternak. Kelompok tersebut juga diberi bantuan mesin penghalus (grinder) dedaunan guna memudahkan dalam pembuatan produk NMR. Pengembangan juga telah dilakukan pada Kelompok Ternak Sedyo Rukun yang berada di daerah peri-urban di Desa Bercak, Berbah, Sleman. “Permasalahan daerah peri-urban di situ yaitu kesediaan lahan untuk hijauan makanan ternak (HMT) yang terbatas sehingga membuat peternak memberikan pakan dari sisa pertanian yang cenderung memiliki kualitas rendah. Alhasil, kondisi tersebut membuat produksi metan akan meningkat,” ungkap Lies. Solusi lain adalah melalui pelatihan pembuatan pakan fermentasi completed feed yang menggunakan bahan utama berupa jerami padi. Fermentasi ini berfungsi untuk memudahkan peternak dalam menyediakan pakan berkualitas dengan kandungan nutrien sesuai pada ternak sekaligus sebagai upaya menurunkan produksi gas metan. Narto, Ketua Kelompok Ternak Sedyo Rukun, menuturkan pelatihan fermentasi completed feed dan teknologi suplemen pakan NMR dapat membantu peternak dalam menyediakan pakan yang baik untuk ternak. “Terutama di musim kemarau seperti sekarang yang menyebabkan HMT sulit dicari,” keluhnya. Prof. Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc. IPU., salah satu anggota tim program, menambahkan bahwa manajemen pakan yang baik oleh peternak menjadi kunci keberhasilan usaha peternakan. Indikatornya, menurut Zaenal, dilihat dari peningkatan produktivitas ternak maupun cemaran lingkungan yang dihasilkan. “Adanya transfer teknologi diharapkan memiliki andil untuk mendidik peternak supaya berperan dalam mengupayakan peternakan ramah lingkungan,” pungkasnya.

PENGETAHUAN

15


Tulisan oleh Rachmat Willy Adam Foto oleh Sholeh Firmansyah

Tidak bisa hilang pandangan orang awam mengenai orang timur yang berwatak keras. Meskipun aku tidak banyak menjalin pertemanan dengan orang timur, tetapi yang kutahu, stereotip tidak selalu benar. Sebab pada ekspedisi kali inilah aku bisa membuktikan bahwa anggapan itu salah, dan aku sangat mensyukurinya.

16

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020


Sekelebat Cerita tentang Negeri Cantik di Kaki Gunung Binaia

17


Pemandangan indah di Desa Sowalihu, rumah dengan posisi ketinggian tertinggi di Negeri Piliana

Perjalanan menelusuri hutan untuk mencari keindahan Air Terjun Kohua di Negeri Piliana

18

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


Ya,

orang timur yang ku jumpai di Makassar, Ambon, Masohi, Tehoru, hingga Piliana amatlah bersahabat. Bahkan di tanah mereka sendiri, mereka jarang sekali berbicara keras dan kasar apabila tidak diperlukan, layaknya penduduk-penduduk di Jogja tempat aku berdomisili. Aku, bersama Alam, Fahmi, Kresna, Evan, Alfira, Eni, Mike, Deswita, Sholeh, Toto, Sita, dan Nabila tergabung bersama dalam tim ekspedisi Mapagama, UGM Research Expedition II dengan tema “Binaia dalam Tradisi dan Modernisasi” yang berlokasi di Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. “Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang!” Seru Bang William di Kantor Balai Taman Nasional Manusela. Bang William merupakan pengurus Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) di Taman Nasional Manusela yang merupakan salah satu orang yang menjadi narahubung kami dalam persiapan pralapangan sebelumnya. Awalnya kami mengira Bang William ini adalah orang yang sangat kaku dan tegas, namun saat berjumpa langsung, betapa hebatnya ia mencairkan suasana dengan keluwesannya. “Dari mana saja kalian?” Tanya Bang William kepada kami. Kami pun menjelaskan bahwa perjalanan kami memakan waktu yang panjang, dimulai dari Bandara Adisutjipto Yogyakarta, kami mengalami delay penerbangan hampir 1 jam, lalu kami harus transit di Makassar selama 8 jam. Setelah itu, kami masih membutuhkan satu hari lagi untuk memenuhi kebutuhan logistik dan menunggu jadwal kapal cepat yang akan berangkat keesokan harinya. Belum lagi ternyata perjalanan kapal cepat dari Amahai hingga bersandar labuhnya di Masohi membutuhkan waktu sehingga hari sudah terlewat siang dan kami tiba sesudah jam kantor usai. Oleh sebab itu, kami semua terlambat dan beruntung Bang William sudah tahu bagaimana kondisi untuk mencapai Masohi. Selagi Simaksi diurus, kami melakukan presentasi kepada jajaran pengurus Balai Taman Nasional Manusela mengenai kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan di Negeri Piliana dan kawasan Taman Nasional Manusela. Kegiatan yang kami rencanakan cukup banyak, di antaranya adalah penelitian, pendakian gunung, dan penelusuran gua. Ketika mempresentasikan topik yang akan kami bawa, ternyata jajaran pengurus Balai Taman Nasional sangat tertarik dengan kegiatan kami sehingga kami juga diajak membantu untuk melakukan penelitian mereka tentang keadaan di Negeri Piliana. Kami baru tahu, bahwa ternyata kelompok kami adalah yang pertama kali melakukan penelitian di sana. “Bang, ini ada yang salah namanya,” kata Evan saat memeriksa simaksi yang diberikan Bang William. Ternyata namaku yang seharusnya tercantum Rachmat Willy Adam ditulis menjadi Erwin Effendi, S.H., M.H. yang merupakan nama pegawai Disdukcasip Kota Bekasi yang tertera di surat keterangan pengganti KTP milikku. Ya, aku masih memakai surat keterangan pengganti KTP karena aku tidak sempat untuk mengurusnya. Beruntung Bang William menoleransi, sebab menurutnya kehilangan KTP bukan berarti kehilangan identitas. Bang William menjawab, “Ya sudah tidak apa, yang penting sudah izin to? Tidak apa-apa. Sampaikan saja nanti ke Bapa raja di sana. Oke?” Aku pun menerima saja karena itu bukan masalah besar bagiku.

Setelah simaksi selesai dibuat, kami pun berfoto dan berpamitan untuk langsung bertolak ke Negeri Piliana menggunakan kendaraan yang sudah kami pesan sebelumnya. Di perjalanan, kami dititipkan untuk memberikan salinan simaksi ke kantor seksi dan kantor resor taman nasional, ditambah untuk puskesmas dan Polsek Tehoru. Kami yang memang berencana tidak terlalu terburu-buru akhirnya menyempatkan diri untuk berbelanja keperluan tim dan pribadi yang kurang untuk dibawa ke Negeri Piliana, namun kegiatan belanja ini memakan waktu cukup lama, sehingga waktu kami tiba di kantor seksi dan kantor resor sudah menjelang malam. Perjalanan pun menjadi terasa lebih sulit ditambah medan akses jalan menuju Negeri Piliana yang ternyata tidak cukup ramah terhadap mobil yang kami tumpangi. Aku yang sebenarnya tidak percaya jalur tersebut dapat dilewati mobil sejenis Avanza seperti mobil yang kami gunakan ini menyaksikan sendiri susah payahnya sopir yang mengendarai mobilnya itu menerjang rintangan. Dugaanku pun terbukti, trek tersebut memakan korban. Salah satu kendaraan yang kami tumpangi mengalami bengkok di rangka rodanya saat di perjalanan sehingga terpaksa kembali. Beruntung, kami yang terkendala dengan transportasi di perjalanan ini merasa tertolong karena dari pihak taman nasional datang membantu dengan kendaraan yang cukup mumpuni menerjang trek terjal tersebut. Awalnya aku mengira Negeri Piliana adalah desa yang masih primitif serta kaya akan budaya dan adat istiadat. Namun setelah kulihat langsung, desa ini tidaklah tertinggal, desa ini sudah menerima modernisasi dan tetap memiliki adat istiadat, dilihat dari adanya upacara adat yang diselenggarakan saat sebelum pendakian Gunung Binaia oleh para pendaki yang datang. Aku pun merasa tema “Binaia dalam Tradisi dan Modernisasi” memang cocok di ekspedisi kali ini. Negeri Piliana merupakan batasan penelitian kami dalam bidang abiotik, biotik, dan kultur. Hal pertama yang kami lakukan di sini adalah observasi untuk mengenal desa dan beramah-tamah dengan warga sembari sedikit mensosialisasikan tujuan kedatangan kami. Kesan pertamaku terhadap masyarakat Piliana adalah “waw!” layaknya yang biasa dilontarkan oleh Bapa Samjar, salah satu warga yang sangat dekat dan akrab dengan kami. Ia juga yang menemani teman-teman tim gunung hutan mendaki Gunung Binaia. Masyarakat Piliana sangatlah ramah, sangat terbuka, dan sangat baik. Bagaimana tidak, di rumah tempat kami tinggal saja kami selalu dilayani dan banyak dibantu, disediakan makan, dan dianggap seperti anak sendiri. Kami pun sangat senang bermain dengan anak-anak dari Mama Melda yang bernama Wati, Apong, Eki, dan Engel. Mereka sangat jenaka, sedikit nakal, tetapi pintar. Hari-hari kami banyak dihabiskan dengan mereka, termasuk dalam kegiatan penelitian kami. Mereka banyak membantu kami menemani observasi, mencari rumah, mencari narasumber, dan tentunya sembari bermain-main. Kami begitu terbantu dengan kehadiran mereka dan mereka pun senang dengan kehadiran kami. Kebetulan juga, mereka sedang libur sekolah, oleh sebab itulah mereka selalu menemani kami ke sana ke mari.

MANUSELA

19


Perjalanan panjang menuju titik mulut gua ditemani oleh anak-anak tangguh dan bapa adat Negeri Piliana.

20

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


MANUSELA

21


Tim sedang berbincang sekaligus melakukan wawancara penelitian dengan penduduk setempat.

22

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


MANUSELA

23


Kami melakukan penelitian selama 2 minggu lamanya dan yang tidak diduga adalah kegiatan kami berlangsung lebih cepat dari yang ditargetkan, yaitu selama 3 minggu. Aku mengakui semangatku di awal kegiatan masih cukup besar dan sempat mencapai jenuh di pertengahan dan kembali bersemangat ketika menyadari hanya tinggal sedikit tambahan data lagi. Di kegiatan ekspedisi kali ini, aku berperan sebagai seksi konsumsi. Aku yang pertama kali menjadi seksi konsumsi sebenarnya masih merasa ragu dengan diriku sendiri akan tanggung jawab mengurusi segala keperluan makan dan minum tim, apalagi saat tahu pentingnya pemenuhan gizi tim. Aku harus menyesuaikan skenario yang telah dibuat dengan situasi dan kondisi di lapangan dan di permulaan kegiatan aku kebingungan serta sering kali terlupa mengurusi konsumsi. Aku baru menyadari secara penuh bagaimana tugas dan fungsi seksi konsumsi setelah beberapa minggu berjuang mencoba memahami sambil praktik langsung di kegiatan ini. Itu pun berkat hasil evaluasi dan rekomendasi harian yang isinya merupakan keluh kesah tim akan hasil kerja seksi konsumsi. Di kegiatan ini juga, aku berperan sebagai koordinator penelitian kultur. Aku mengoordinisasi dua penelitian dengan topik berjudul Kerentanan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Miskin Sekitar Hutan di Negeri Piliana serta Sistem Kepemimpinan dan Adat di Negeri Piliana. Topik yang kami angkat ini sebenarnya termasuk dalam golongan yang ringan, tetapi sedikit rumit dan tidak mudah dalam pengerjaannya. Terbukti di salah satu topik ini, kami masih harus konsultasi dengan dosen pembimbing di tengah-tengah kegiatan penelitian. 24

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020

Toto sedang melakukan pengukuran di Danau Ninivala untuk melengkapi data penelitian analisis geosite dan geomorphosite (kiri). Alam, Eni, dan Alfira sedang menunggu komunikasi dengan tim gunung yang sedang turun dari Gunung Binaiya (kanan)

Selain melakukan penelitian, kami juga belajar hal-hal baru yang tidak jauh dari kegiatan-kegiatan alam. Kami menjadi lebih dekat dengan warga sambil membantu kegiatan mereka, seperti memasak bersama sembari mengobrol, kemudian pergi ke kebun. Kami semakin memperkaya pengetahuan kami tentang bagaimana mengolah sagu secara langsung. Kendala dan hambatan selama kegiatan kami di Negeri Piliana tidaklah sedikit. Namun, hal itu merupakan tantangan yang harus kami nikmati di sana. Kami yang merupakan peneliti muda amatir ini merasa banyak diajari oleh mereka, seperti halnya mereka seakan-akan mengerti kebutuhan kami dalam kegiatan penelitian. Kami yang terkendala dalam pertanyaan usia kepada responden sangat terbantu oleh Bapak Yoris yang baru saja mengurusi pemilihan umum kepala daerah dengan meminjamkan dokumen-dokumen yang ia punya. Masyarakat Negeri Piliana terbilang sulit mengingat atau bahkan lupa dengan tanggal kelahiran dan umur mereka sendiri, ada yang harus melihat KTP, ada pula yang masih belum memiliki KTP sehingga ia hanya menerka-nerka usianya. Lucunya, dari beberapa responden banyak yang salah memberikan informasi mengenai usia mereka setelah dicocokkan dengan data yang diberikan oleh Bapa Yoris.


Suka duka kami dalam penelitian sangatlah beragam. Tim penelitian lain harus pergi ke air terjun, tebing, dan sungai yang aksesnya sangat sulit, tidak terjangkau alat transporasi, dan ada beberapa yang seharusnya menggunakan pengaman. Di lain sisi, air terjun, tebing, dan sungai yang mereka datangi, menyimpan keindahan alam yang begitu mempesona. Air Terjun Kohua, memiliki air yang berwarna jernih kebiruan, dengan debitnya yang besar dan deras, serta suara gemuruhnya yang mendamaikan suasana. Suara air terjun ini sangat keras walaupun tidak terlalu tinggi. Kemudian Tebing Makariki, kondisinya hampir menyerupai Air Terjun Kohua di mana akses menuju lokasi terbilang cukup sulit dan tidak terjangkau transportasi. Tebing ini merupakan tebing dengan struktur batuan gamping yang terdapat di tepi Sungai Makariki yang terlihat sangat kokoh dan indah. Selanjutnya, tepat di tempat tebing itu berada terdapat Sungai Makariki juga termasuk dalam objek penelitian. Sungai ini sama halnya juga dengan Air Terjun Kohua, memiliki air yang berwarna jernih kebiruan dengan arus yang sedikit deras karena debit airnya yang tinggi. Hal yang paling unik di Negeri Piliana adalah adalah Mata Air Ninifala. Mengapa kami menyebutnya unik? Dari awal kami datang, warga Piliana sudah langsung menyarankan kami untuk singgah di Kali Jodoh, sebutan lain untuk Mata Air Ninifala itu sendiri. Air di mata air tersebut berwarna jernih kebiruan, dengan debit air yang melimpah dan berasal dari aliran sungai bawah tanah yang meluap ke permukaan. Warna air yang putih kebiruan ini ditimbulkan oleh adanya zat asam karbonat atau H2CO3 yang berasal dari pelarutan kapur di sungai bawah tanah. Kami dengan

anak-anak Negeri Piliana sangat sering bermain bersama di Kali Jodoh ini. Asal-usul nama Kali Jodoh itu sendiri adalah karena adanya sepasang pohon yang tumbuh di tengah-tengah mata air selebar kurang lebih dua belas meter tersebut. Pohon tersebut dipercaya sebagai simbol jodoh atau pasangan, yang mana apabila ada seseorang yang mandi di sana dengan harapan mendapat jodoh, maka akan dikabulkan. Kemudian judul penelitian kami yang lain adalah Struktur Konstruksi Rumah Adat dan Sistem Kepemimpinan dan Adat Negeri Piliana. Kendala yang kami alami sedikit menggelikan karena narasumber kami, Bapa Weynand Latumutuani yang menjabat sebagai ketua adat adalah orang yang pendengarannya sedikit terganggu, sehingga terkadang dalam suatu wawancara, kerap terjadi kesalahpahaman dan kita seperti harus berbicara langsung di telinga beliau. Walaupun terkesan tidak sopan, ia memang mempersilakan, bahkan memintanya langsung agar kami melakukannya. Hal yang unik dari penelitian yang berhubungan dengan adat ialah keharusan kami untuk mengunyah sirih pinang. Konon bila suatu adat dibicarakan, ada leluhur mereka yang ikut menghadiri perbincangan tersebut dan pendatang dari luar tidaklah diperbolehkan membicarakan adat Piliana yang dikenal dengan sebutan “Alifuru�. Oleh sebab itulah, kami diwajibkan mengunyah sirih pinang hingga mulut kami memerah sebagai pertanda kami adalah bagian dari masyarakat Piliana.

MANUSELA

25


Setelah bergelut dengan kegiatan penelitian, kami masih melanjutkan dengan agenda pendakian gunung dan penelusuran gua. Aku tergabung dalam tim penelusuran gua sebagai koordinator lapangan dan seksi survei dan perizinan. Di agenda teknis ini, aku berperan menjadi time keeper teman-teman penelusuran gua dalam kegiatan teknis dan manajemen. Aku yang sebelum-sebelumnya pernah menjadi koordinator lapangan, merasa tugas ini tidak akan sulit. Namun, kendala tetap saja terjadi. Aku yang terbilang sebagai orang yang kurang tegas ini sedikit kesulitan dalam mengotrol tim penelusuran gua kali ini. Sebagai pengganti ketidaktegasanku, aku mencoba suatu alternatif dengan cara pengambilan keputusan dengan kesepakatan tim bersama. Jadi, skenario yang telah ku buat sebelumnya banyak mengalami intervensi kesepakatan tim dan penyesuaian situasi dan kondisi di lapangan.

sempat memetakannya karena kondisi gua yang sempit dan hanya bisa memuat satu orang, bahkan itu saja masih terasa sulit untuk melakukan rigging. Tim yang tidak semuanya sempat mengeksplorasi gua ini sedikit merasa kecewa karena lokasi gua yang jauh dan melewati hutan dengan perjalanan yang cukup panjang.

Selama kegiatan penelusuran gua, aku banyak berekspektasi gua-gua yang besar dan dalam, sehingga persiapan kami pun menjadi cukup merepotkan karena harus membawa logistik yang berat dan banyak. Di gua yang pertama, perjalanan terasa berat di awal dan bertambah berat ketika pulang ke Piliana. Kami membutuhkan waktu yang lebih lama dari keberangkatan kami karena beban yang berat ditambah trek yang menanjak. Mungkin inilah konsekuensi untuk kami yang kurang dalam melakukan latihan fisik.

Hari berikutnya, kami berhasil mengeksplorasi, memetakan, dan mendokumentasikan dua Gua Wana. Kami pulang lebih cepat dari yang direncanakan sebelumnya dan langsung membereskan logistik dan peralatan yang kami gunakan.

Di penelusuran gua yang berikutnya juga tidak kalah merepotkannya. Kami yang terbiasa dengan mengeksplorasi gua dengan membawa kendaraan, kali ini harus menembus hutan belantara dengan jalur yang menanjak. Kami seperti merasa kegiatan kami ini menyerupai kegiatan gunung hutan. Bedanya, kami mencari gua, sedangkan mereka mencari puncak. Pada kegiatan eksplorasi gua ini, kami memiliki target menemukan minimal tiga gua tambahan sebagai arsip Mapagama, lalu kami juga memiliki target dua gua untuk dieksplorasi, serta satu gua untuk dipetakan. Beruntungnya, kali ini kami berhasil menemukan lima titik gua baru dan satu titik hasil pembenaran plotting yang kami dapat sebelumnya melalui survei. Kami juga berhasil mengeksplorasi empat gua dan memetakan tiga gua. Gua yang pertama kami eksplorasi adalah Gua Niyape. Gua ini memiliki kedalaman sekitar 30 meter dari permukaan tanah. Di gua ini, aku bersama tim penelusuran gua yang terdiri dari Alfira, Evan, Kresna, dan Eni mendokumentasikan endokarst dan memetakannya. Kami berlima turun dengan Fahmi menjadi tim darat di atas sebagai team rescue. Kami mengeksplorasi Gua Niyape sekitar kurang lebih tiga jam. Belum termasuk dengan waktu untuk rigging dan cleaning. Dalam lapangan teknis penelusuran gua ini, sempat terjadi waktu vakum sebanyak 2 hari. Hari pertama adalah karena miskoordinasi transportasi yang tidak kunjung datang. Akhirnya hari itu digunakan tim untuk mengolah data hasil pemetaan di Gua Niyape kemarin. Esoknya, kami melanjukan kegiatan eksplorasi menuju Gua Rusa. Sebenarnya gua ini belum memiliki nama, namun kami menyebutnya demikian karena di dalamnya terdapat rusa yang telah menjadi rangka. Berdasarkan informasi Bapa Yoris, rusa tersebut merupakan hewan buruan yang saat diburu terjatuh ke dalam gua. Dinding gua yang tajam bisa jadi penyebab rusa itu mati karena terluka dan tidak bisa kembali ke permukaan. Di Gua Rusa ini, kami tidak 26

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020

Di hari berikutnya, terjadi lagi vakum dalam tim penelusuran gua. Waktu tersebut dimanfaatkan tim untuk melakukan survei ke Gua Wana bersama Bapa Yoris. Tim survei ini terdiri dari aku dan Kresna. Kami bersama Bapa Yoris dan kedua putranya, Eki dan Engel menyusuri kebun miliknya mencari mulut Gua Wana. Beruntung kami menemukan empat mulut gua dan berhasil kami tandai dalam GPS. Ada dua gua yang berjarak cukup dekat dan merupakan target eksplorasi, lalu dua gua lain yang kami sisakan untuk kami cantumkan datanya saja.

Sebelum kami pulang dari Piliana, kami melakukan sosialisasi hasil penelitian kami kepada warga. Di hari pelaksanan sosialisasi tersebut, awalnya kami agak ragu karena kehadiran warga yang sedikit. Namun setelah beberapa saat, akhirnya warga datang meramaikannya. Momen ini terasa berkesan sebab kami bisa turut memberikan manfaat kembali kepada masyarakat Pilian. Kami yang juga masih belajar dalam melakukan penelitian merasa tersanjung karena warga sangat terbuka dan menerima, bahkan berterima kasih atas hasil yang telah diberikan kepada mereka. Tidak terasa, hari itu juga merupakan hari terakhir kami berada di Negeri Piliana. Hal yang sangat berat untuk kami lakukan adalah berpamitan. Kami sudah merasa seperti di rumah sendiri, bersama orang yang sudah menganggap kami keluarga. Kami sebenarnya juga berat meninggalkan mereka, sudah terlalu banyak hal yang mereka lakukan untuk membantu dan memfasilitasi kami selama di Piliana ini. Saat itu, rasanya ingin tinggal menetap saja di sana bersama Mama Melda, Bapak Yoris, dan anak-anak mereka yang sudah seperti adik kami sendiri. Hari itu, kami dilepas warga Piliana berangkat menuju Masohi menggunakan mobil. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 4 jam sampai di SMAN 1 Masohi, tempat kami singgah sementara menunggu hari kami melakukan audiensi untuk menyampaiakan hasil kegiatan kepada Balai Taman Nasional Manusela. Sebelumnya, pihak taman nasional sempat memberikan kabar untuk melakukan audiensi di hari Sabtu, namun karena terjadi miscommunication, maka audiensi baru dilakukan di hari Selasa. Karena waktu kami di Masohi cukup lama dan tidak ada agenda terkait kegiatan, maka di hari minggu, kami memutuskan untuk melakukan penyegaran pikiran dengan berlibur ke Pantai Ora di Sawai, Pulau Seram bagian utara. Di sana, kami menikmati indahnya lautan dan kenampakan alam berupa tebing yang indah. Pantai di sana memiliki pasir putih dan ombak yang tenang jika dibandingkan dengan pantai-pantai yang biasa kami jumpai di daerah Gunungkidul.


Tim tengah melakukan penelusuran gua yang terdapat di Negeri Piliana

Kami menghabiskan waktu cukup lama di sana, ada yang berenang, snorkeling, main pasir, dan ada yang hanya tidur santai menikmati pemandangan. Kebanyakan dari kami sibuk mengambil foto untuk dipamerkan dan memperkaya feed di Instagram.

oleh mereka sembari menunggu tanggal kepulangan kami menggunakan pesawat yang tiketnya sudah dipesan untuk tanggal 26 Juli 2018. Kami menghabiskan waktu yang cukup lama dengan mereka, dari mulai mengobrol, berbagi pengalaman, bahkan sembari diajak berbelanja oleh-oleh.

Keesokan harinya, kami melakukan sosialisasi mengenai kampus UGM kepada siswa-siswi SMAN 1 Masohi. Agenda ini adalah balas budi kami kepada pihak sekolah yang telah memfasilitasi kami dengan memberi tempat tinggal sementara di Masohi.

Dari semua pengalaman di atas, hal utama yang kupelajari adalah tentang stereotip masayarakat terhadap orangorang timur Indonesia. Mereka tidaklah seperti yang kita duga selama ini. Bagiku, mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Solidaritas mereka sangat tinggi, bahkan mereka menganggap semua orang adalah saudara; satu darah Indonesia, kata salah seorang dari mereka. Dan dengan pengalaman yang sudah kupunya inilah, awal dari keinginanku untuk kembali mengeksplorasi tanah timur ini kembali, dengan persiapan dan kondisi yang lebih baik, serta lebih matang dari sebelumnya.

Di hari berikutnya, barulah kami melakukan audiensi hasil dengan Balai Taman Nasional Manusela. Presentasi kami sudah cukup memuaskan untuk pihak taman nasional dan mereka pun berterima kasih atas kerja sama yang telah kami lakukan dalam bidang penelitian. Maklum, belum banyak penelitian yang dilakukan dan bekerja sama dengan Taman Nasional Manusela ini, dan hal tersebut sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Di hari yang sama setelah melakukan audiensi dan penyerahan tanda terima kasih berupa plakat kepada pihak taman nasional, kami pergi bertolak ke Ambon dan singgah di Universitas Pattimura. Di sana kami mengunjungi temanteman dari Mahupala (Fakultas Hukum) dan Mafispala (Fakultas Fisip). Kami banyak diakomodasi dan difasilitasi

MANUSELA

27



mengasah

nyali mengarungi

asahan


oleh Hafidz Wibowo foto oleh Rais Kun

Lutfi

ternyata terjebak di sebuah hole. Ia sempat lolos, namun setelah berenang di Jeram Big Bend, Lutfi kembali terkena hole lalu terbawa arus bawah sungai dan menghilang selama beberapa menit.

30

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


S

etelah segala persiapan yang menguras tenaga, waktu, dan biaya, pada 28 Agustus 2018 tim advance Gladimadya dan Try Out UGM International Expedition V “Toya Toba� berangkat ke Bandara Adisutjipto dengan berbekal nasi telur yang dibeli di sebuah warmindo di daerah Sendowo untuk bekal makan malam. Awal mulanya memang tidak mudah. Dimulai sejak pembentukan tim, latihan basah, latihan fisik, try out, manajemen, hingga presentasi yang telah dilalui, ada capai, canda, dan cerita di baliknya. Tim ini terdiri dari 4 orang angkatan Bara Cempaka, yaitu Nugie, Burhan, Hafidz, dan Unggul; 4 orang angkatan Ambu Udan, yaitu Kun, Laily, Suryo, dan Lutfi; dan Demus dari angkatan Sajan 16 serta Irfan dari angkatan Kabut Alas sebagai pendamping. Komposisi tim yang bisa dibilang saik dan keren karena wangun, santai, asik, tetapi cangkeman. Tim advance yang berangkat terlebih dahulu terdiri dari Nugie sebagai seksi transport, Hafidz sebagai seksi survei dan perizinan, dan Irfan sebagai pendamping. Kami berangkat sore itu dengan pesawat langsung ke Bandara Kualanamu mengenakan PDL Mapagama serta carier dan daypack. Setelah pesawat landing di tempat tujuan, kami menuju pickup point dan beristirahat sebentar untuk menyantap makan malam yang dibawa dari Jogja. Rencana awal, kami akan menaiki bus DAMRI menuju Asahan, namun setelah Hafidz menghubungi saudaranya yang tinggal di Medan, kami disarankan untuk menunggu travel yang sudah dipesankan untuk menjemput kami ke Aek Kanopan. Perjalanan cukup panjang dan melelahkan melintasi Jalan Lintas Sumatra sehingga sepanjang perjalanan digunakan untuk tidur. Sesampainya di rumah Mas Sundoro, saudara Hafidz, kami bersih-bersih dan bersiap untuk istirahat. Keesokan harinya kami bersiap-siap berangkat dari Aek Kanopan menuju Meranti Timur, tepatnya ke basecamp Asahan Rafting. Kami sangat bersyukur karena untuk menuju ke sana kami diantarkan langsung oleh Mas Sundoro. Di sela perjalanan, kami menyempatkan untuk mengurus perizinan ke Polsek Puloraja dan puskesmas terdekat ke Asahan. Di antara jalan menuju basecamp, kami disuguhkan dengan pemandangan perbukitan dan Sungai Asahan yang sangat mengagumkan. Terlihat dari kejauhan jeramnya meyakinkan kami bahwa tempat yang kami pilih untuk berkegiatan merupakan tempat yang tepat. Setelah sedikit bingung mengikuti peta dan bertanya ke warga, akhirnya sampailah kami di basecamp Asahan River Rafting, sebuah rumah pondokan sekaligus warung makan berwarna hijau yang dimiliki oleh keluarga dari marga Simatupang. Di sana kami disambut sangat baik oleh temanteman dari Asahan. Siang itu, kami melakukan survei jeram dan data penelitian ditemani Bang Syahrul dan river warrior lainnya. Di sore hari, kami juga menyempatkan untuk ikut latihan dan turun ke sungai sekitar belakang rumah.

Di lain tempat, tim besar berangkat menyusul dari Bandara Adisutjipto, transit di Bandara Halim Perdanakusuma, dan melanjutkan terbang ke Bandara Kualanamu. Setelah tiba di Kualanamu, mereka berniat untuk makan malam, tetapi sialnya Lutfi lupa untuk membawa nasi bungkus yang telah dibeli di Yogyakarta. Tujuh nasi bungkus yang seharusnya dibawa tertinggal dan akhirnya menjadi santapan orang-orang di sekretariat sehingga mereka terpaksa membeli lagi makanan yang ada di sekitar bandara. Mereka kemudian beristirahat di bandara hingga subuh. Setelah bangun, mereka melanjutkan perjalanan ke Stasiun Lubuk Pakam menuju ke Stasiun Kisaran yang nantinya akan dilanjutkan dengan bus menuju Puloraja lalu dilanjutkan lagi dengan angkutan menuju Parihatean. Sementara itu, tim advance melanjutkan melakukan pengambilan data dengan mengobrol di basecamp. Pukul 14.20, akhirnya tim besar sampai di basecamp Asahan dan bertemu tim advance. Kegiatan sore dilanjukan dengan menelusuri dan scouting sungai hingga diakhiri dengan mandi di air terjun. Pukul 19.00 kami makan malam lalu dilanjutkan evaluasi, briefing, dan istirahat. Kami bangun keesokan harinya dan langsung ngopi sambil menunggu sarapan. Kegiatan hari ini kami akan dibagi menjadi tiga tim. Tim Demus, Suryo, Irfan, Hafidz, dan Lutfi pergi ke middle section untuk scouting jeram; tim Kun, Burhan, dan Unggul menuju upper section untuk mencari spot video dan sketsa jeram; sedangkan tim Laily dan Nugie melakukan wawancara guna mencari data penelitian. Pukul 18.00, seluruh tim sudah kembali ke basecamp dilanjutkan mandi, makan malam, evaluasi, briefing, dan istirahat. Keesokan paginya setelah bersiap-siap, pukul 10.00 kami berangkat ke start pengarungan. Trip pertama terdiri dari dua perahu tanpa kayak dengan satu perahu berisi Lutfi, Kun, Suryo, Laily, Unggul, Nugie, dan Burhan; serta satu perahu guide. Pukul 11.45, tim telah selesai pengarungan trip pertama dengan aman dan lancar. Pukul 12.15, trip kedua dengan tim yang beranggotakan Laily, Kun, Suryo, Hafiz, Unggul, dan Nugie berada di satu perahu dengan satu perahu lainnya yang diisi dengan Demus dan Burhan sebagai rescue. Pengarungan hari pertama di upper section dimulai dari school run rapid dan finish di Hula Huli. Pada pengarungan hari kedua, perahu yang berisi anggota Mapagama mengalami sedikit trouble dan perahu flip di Jeram Tiger Shark. Tim berhasil melakukan rescue beberapa anggota ke atas perahu, sedangkan Hafidz berhasil berenang ke pinggir sungai lalu naik ke jalan dan menuju ke basecamp untuk memberi kabar bahwa perahu kami mengalami trouble. Di sisi lain, Lutfi ternyata terjebak di sebuah hole. Ia sempat lolos, namun setelah berenang di Jeram Big Bend, Lutfi kembali terkena hole lalu terbawa arus bawah sungai dan menghilang selama beberapa menit. Akhirnya ia muncul kembali ke permukaan di Jeram Simatupang dalam kondisi setengah sadar sehingga harus diselamatkan ke darat. Pukul 14.35, tim kembali ke basecamp dan langsung makan siang.

ASAHAN

31


32

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020

ASAHAN


Keadaan jasmani tim sehat semua kecuali Lutfi yang mengalami luka dan memar. Keadaan mental tim sedikit terguncang setelah kejadian tadi. Malam harinya, kami melakukan evaluasi dan briefing. Kegiatan selanjutnya makan malam dan mengobrol bersama temanteman guide sembari melakukan mental-healing. Keesokan harinya, kami kembali mengarungi upper section dan lower section. Pengarungan dimulai setelah dzuhur pukul 13.00. Kami memulai pengarungan di upper section dengan komposisi orang di perahu satu yang terdiri dari Laily, Irfan, Burhan, Unggul, dan Kun serta perahu dua yang terdiri dari Demus, Nugie, Suryo, dan Hafidz dengan didampingi guide. Trip pertama selesai pukul 14.30 dan langsung dilanjutkan makan siang. Pukul 15.30, kami melanjutkan pengarungan trip kedua di lower section start point Batu Mamak dengan komposisi sama. Di trip kedua, posisi skipper diambil alih oleh angkatan Bara Cempaka di tengah pengarungan. Pukul 18.00 kami telah selesai melakukan pengarungan dan tiba di basecamp pada pukul 19.00. Setelah makan malam, kami melakukan evaluasi dan briefing untuk improvisasi kegiatan pengarungan hari esoknya. Berdasarkan hasil dari evaluasi dan briefing malam sebelumnya, kami memutuskan untuk menambah hari pengarungan yang awalnya direncanakan selesai pada hari ini menjadi satu hari lagi tambahan pengarungan untuk balas dendam di upper section. Keesokan harinya, kami kembali mengarungi upper section menemani Demus yang meng-

gunakan kayak sebab kayak tersebut baru saja tiba hari ini. Pukul 15.00 akhirnya pengarungan terakhir di sungai asahan upper section telah berakhir dengan aman dan lancar tanpa masalah. Agenda dilanjutkan dengan istirahat dan mandi. Setelah makan malam kami melakukan pesta perpisahan sambil berbincang-bincang dan bertukar ilmu dengan teman-teman operator dan ibu pemilik rumah dan warung. Kami melanjutkan kegiatan pada esok hari untuk menuju ke Sekretariat Kompas USU. Setelah menunggu lama akhirnya angkot yang telah dipesan datang pada pukul 10.00. Kami berangkat menuju Porsea dilanjutkan dengan bus menuju ke Medan dan berhenti sebentar di Siantar untuk mengembalikan kayak. Sesampainya di Sekretariat Kompas USU, kami bercengkerama dengan mereka lalu dilanjutkan jalan-jalan mengitari kota Medan. Keesokan harinya, sesudah melakukan packing kami segera menuju Bandara Kualanamu. Pesawat kami berangkat pukul 12.00 dan mendarat di Jogja dengan selamat pada pukul 15.00.

Perahu yang digunakan oleh tim tampak menghilang dibalik ganasnya jeram Rizal Nurdin, salah satu jeram yang lebar dan dipenuhi ombak tinggi di sungai Asahan (kiri). Demus menerjang wave yang tinggi di jeram Simatupang 1. Jeram ini biasanya digunakan oleh rafter setempat untuk mulai melakukan pengarungan separuh sungai (kanan).

ASAHAN

33


Tim dan rafter setempat berfoto bersama di area finish lower section Sungai Asahan. Tempat ini juga menjadi tempat wisata untuk orang awam dan warga setempat untuk mandi di pinggir sungai.

34

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


ASAHAN

35


U GM R ESEARCH E XPEDITION 3

36

Si Datuk Belang Sumatera

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


Apa itu UGM Research Expedition (URE)? URE itu ekspedisi dari Mapagama yang awalnya terinspirasi dari pemikiran bahwa kepencintaalaman juga dapat berguna buat masyarakat. URE juga bertujuan untuk memfasilitasi

AYYAS AL-FARUQ

Ketua Pelaksana

UGM Research Expedition 3

anggota-anggota Mapagama di bidang akademik. Kegiatan ini mencoba menggambarkan mahasiswa sebagai sivitas akademik, bukan hanya sekadar penggiat kegiatan alam bebas. Tema apa yang diangkat dalam URE 3? URE 3 berangkat dari rencana strategis Mapagama dan saya sendiri yang menginisiasi dari awal untuk mengajukan diri sebagai ketua tim URE 3. Jika saya tidak mengambil tugas akhir dari kegiatan Mapagama, saya berpikir bahwa ke-Mapagamaan ku kurang berguna untuk bidang akademikku. Lalu saya bersama Dewan Ekspedisi menggali terus tentang harimau sumatera, dan ini sangat relevan dengan kegiatan kami sebagai pencinta alam. Harimau sumatera adalah salah satu dari tiga

Apa Alasan pemilihan lokasi tersebut? Sebenarnya ada banyak daerah yang memiliki budaya yang kuat dan berkaitan dengan harimau, tetapi sudah semakin terkikis karena penjumpaan dengan harimau juga semakin susah. Kami dapat informasi bahwa ada sebuah sanggar yang memiliki tarian tentang harimau dan pastinya ada informasi terkait hal tersebut. Untuk Rimbang Baling sendiri kami punya link dari senior dan juga di Rimbang Baling juga masih memiliki populasi harimau. Dan alasan lainnya juga karena jarak antara kedua tempat ini tidak terlalu jauh. Siapa saja yang berkontribusi di URE 3?

harimau Indonesia yang masih bertahan dan di sini kami

Anggota internal Mapagama. Kami punya tim peniliti,

berusaha untuk menggugah masyarakat untuk mengangkat

dokumenter, dan dana usaha. Di tim peneliti sendiri dibagi lagi

nama Indonesia lewat satwa endemik dan juga kami sebagai

menjadi dua yakni biotik dan kultur. Di tim biotik ada saya, dari

pencinta alam dapat turut andil untuk kegiatan konservasi

Kesehatan Hewan, Adam dari Fakultas Biologi dan Septi dari

Kapan URE 3 dilaksanakan? Bulan Juli untuk kegiatan lapangan dan persiapan dari bulan Februari hingga Juni. Di bulan Juli sendiri mulai dari tanggal 1-31 Juli artinya sebulan penuh. Jadi, kami punya rencana output juga yakni tulisan karena penelitian yang diharapkan mampu berguna untuk skripsi dan tugas akhir teman-teman nantinya dan juga film dokumenter. Ada juga yang kami

Kesehatan Hewan. Tim dokumenter ada Fauzi yang akan ikut dengan tim biotik dan tim kultur. Lalu ada Mayang dari Filsafat dan juga Yoga dari Sejarah, sedangkan tim dokumenternya ada Nugi dan Hanggara. Kemudian ada tim dana usaha yang bekerja keras dibalik layar menyiapkan pendanaan kita, yaitu Sign, Municha, dan Erika. Mengapa memilih objek Harimau Sumatera?

rencakan untuk mengadakan seminar di awal tahun 2020 yang

Pertama berangkat dari akademik, dan kedua, karena ini akan

akan mengundang pembicara-pembicara yang berkompeten

menjadi gambaran berhasil atau tidaknya Indonesia dalam

di bidangnya, misalnya pihak konservasi hewan dan ahli-ahli

konservasi. Jadi, melihat dua saudaranya yang sebelumnya

budaya yang berkaitan dengan harimau.

punah itu karena keterlambatan tindakan konservasi.

Dimana lokasi penelitian URE 3? URE 3 memiliki dua lokasi. Harapannya dengan dua lokasi ini dapat menjadi lebih optimal karena jika hanya satu lokasi dan ada dua penilitian takutnya di satu lokasi itu tidak semua anggota tim unggul di dua penilitian itu. Dua penilitian ini adalah biotik dan kultur. Untuk biotik lokasinya ada di Suaka

Sekarang, harimau adalah salah satu dari berbagai macam makhluk hidup, entah itu hewan atau tumbuhan, yang terancam punah. Karena kami tahu bahwa harimau adalah hewan yang terancam punah maka dari itu kami merasa harus turut andil untuk menjaga kelestariannya. Bagaimana gambaran dari pelaksanaan URE 3?

Margasatwa Rimbang Baling di Riau dan kultur di Sungai

Jadi untuk pelaksanaannya sendiri kami berangkat dari Jogja

penuh, Provinsi Jambi. Kami dapat Tarian Ngagah Harimau

ke Jakarta, kemudian bertolak ke Sumatera karena tiket mahal.

yang masih menjaga budaya yang berkaitan dengan harimau.

Untuk keduanya kami anggarkan satu bulan di lokasi yang

Kalau dulu dipakai untuk upacara ketika ada harimau yang

mana nanti penelitiannya masing-masing dua minggu dengan

mati entah dibunuh atau karena faktor alam. Budaya juga bisa

masing-masing cara penelitiannya. Dan satu minggu lainnya

menjadi alasan yang kuat untuk konservasi karena jika harimau

untuk cadangan dan 5 hari untuk tambahan dokumentasi serta

habis maka budaya yang berkaitan juga akan hilang.

2 hari perjalanan. 37


U GM R ESEARCH E XPEDITION 4 Mengawal Gambut Kapuas Hulu

Pe rjalanan panjang

38

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


MENYUSUR I

Kalima

ntan

SENTARUM

39


Keberangkatan tim menggunakan speedboat (sarana transportasi utama baik untuk warga maupun staff TN), foto diambil pada hari pertama tim menuju Hutan Kerinung. Akibat musim kemarau, kondisi TNDS menjadi kering sehingga akses speedboat yang seharusnya udah dibatasi anakan-anakan Sungai Tawang yang mengering. Foto: Demetria Alika

40

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020


Ada

dua periode waktu yang penuh misteri, dinanti-nanti, atau dibenci serta disuka secara sekaligus di kehidupan manusia. Waktu tersebut adalah waktu di mana kita dilahirkan dan di mana kita meninggalkan dunia. Tapi bagi kami, jumlah itu masih kurang, karena ada satu lagi periode di mana kami merasakan debar yang sangat hebat, saat di mana pusing kami terangkat dan diganti dengan pusing yang lain, periode yang membingungkan sekaligus melegakan. Periode yang kami sebut barusan adalah saat di mana kami akan berangkat menuju Danau Sentarum untuk menjadi bagian dari tim UGM Research Expedition IV. Pagi masih belum benar-benar pagi ketika kami diantar menuju bandara. Pada waktu itu, jarum jam baru saja tergelincir menuju tanggal 2 September 2019. Di sepertiga malam ini jalanan Jogja masih sangat lengang, riuh serta sesak kota ini menepi dan memberi kami aspal yang sepi. Walaupun sepi, bukan berarti kami tidak melihat adanya manusia di kota ini. Di waktu yang mustajab dan biasa digunakan untuk bertahajud, Pasar Demangan sudah terang dan terlihat aktivitas jual beli di dalamnya. Kuli panggul sudah bersedia di depan pagar pasar, pedagang sudah menata dagangan, dan kaki lima sudah menyandarkan gerobaknya. Tak sedikit dari kami yang kagum dengan orang-orang ini karena mereka mampu menyempurnakan tahajudnya dengan mencari nafkah untuk keluarganya. Saat kami tiba di bandara, ternyata ada penumpukan kendaraan karena bandara ditutup. Kami sempat berpikir hari itu bandara berhenti beroperasi. Setelah bertanya ke antrian kendaraan di depan, ternyata kami yang terlalu pagi tiba di bandara. Melihat kondisi seperti itu, mau tidak mau kami harus menunggu bandara ini untuk bangun dan melakukan rutinitasnya seperti biasa. Beruntung, tidak beberapa lama bandara dibuka dan kami langsung menuju ke terminal B. Sungguh, perjalanan yang diawali oleh banyak keberuntungan. Semula, kami mengira akan berangkat hanya ditemani Mas Rizal dan Hanif saja, meskipun hari belum pagi betul ternyata teman-teman yang lain juga turut serta mengiring keberangkatan kami. Lorong bandara yang biasanya lega untuk tempat berlalu-lalang manusia dan troli serasa penuh oleh kawan-kawan dari Mapagama. Terus terang ini hal yang mengejutkan, meskipun kami sendiri sudah memprediksikannya. Dengan jumlah personil dari anggota Mapagama yang tidak mencapai separuh, praktis URE IV ini dibimbing dengan penuh dan disayang dengan utuh oleh Mapagama. Kami berangkat dengan komposisi tim dari latar belakang ilmu yang berbeda. Sehingga jujur berat sekali untuk mengonsolidasikan kerja kami. Padahal, URE kali ini kami membawa topik penelitian tentang serangga dan tentang pengindraan jauh. Sudah jelas hal tersebut tidaklah menjadi penghalang bagi kami karena jauh-jauh hari sebelum berangkat, kami telah memperkuat kemampuan penelitian lewat rapat dan belajar bersama.

Tulisan oleh Kresna Muharram

Sekitar pukul sembilan pagi, kami sudah tiba di Bandara Pangsuma Putussibau. Kondisi suhu yang panas dan matahari yang terik adalah hal yang pertama kali menyambut kedatangan kami. Sulit menggambarkan kondisi suhu di sana kecuali kalian pernah mengunjungi daerah Kalimantan. Yang jelas, saat kalian menyebut kondisi suhu panas di daerah Jawa, maka percayalah itu sama dengan dingin di Putussibau. Setelah berlari kecil dari runaway menuju bandara demi menghindari panas yang menyengat, kami segera mengambil bagasi dalam antrian yang ada di konveyor. Tas-tas berat kami langsung kami angkut ke troli dan membawanya keluar sembari menunggu jemputan dari pihak taman nasional. Beruntung, ternyata kehadiran kami sudah ditunggu oleh salah satu pegawai Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) bernama Bang Zul. Barang-barang pun langsung kami angkut ke dalam pickup strada merah yang dibawa Bang Zul waktu itu. Bang Zul adalah pegawai yang ramah dan sangat baik. Awal kehadiran kami di Putussibau, Bang Zul mengajak kami berkeliling Putussibau dan mengajak kami makan ke rumah makan enak yang berada di sana. Pada siang hari sekitar pukul dua, kami telah tiba di Balai Besar TNBKDS. Kami sangat terpukau dengan foto tumbuhan dan hewan yang ada di dalam gedung tersebut. Tidak beberapa lama lagi kami akan melihat hewan tersebut dengan mata kepala kami langsung. Pada presentasi itu juga diputuskan jika kami akan berangkat pada hari esok lusa atau tanggal 4 November 2019. Kami berangkat sekitar pukul sebelas di siang hari. Kami berangkat dengan strada hitam satu kabin berwarna merah, persis seperti mobil pickup patroli kepolisian, hanya saja kursinya dipasang berhadap-hadapan dan tidak saling memunggungi. Karena hanya kendaraan tersebut yang akan mengantarkan kami, otomatis tubuh kamilah yang harus menyesuikan dengan kondisi kendaraan tersebut. Dengan ruang yang tidak seberapa besar, sudah jelas ada sebagian dari kami yang duduk dengan kaki mengangkat, ada yang duduk dengan mengganjal tas agar tidak rubuh, bahkan ada juga yang tidak mendapat tempat duduk hingga harus berdiri di pintu belakang pickup yang terbuka. Perjalanan dari Putussibau menuju Semitau memakan waktu sekitar enam jam. Rasanya perjalanan ini seperti telah melewati berbagai kabupaten saja, padahal Semitau dan Putussibau masih berada di Kabupaten Kapuas Hulu. Perjalanan ini bisa menjadi panjang dan terasa lama karena kondisi lalu lintas yang kami lewati sangat bervariasi. Dengan posisi yang berhadap-hadapan dan bau tubuh yang menguar dari keringat karena kepanasan, sudah tentu mual dan rasa ingin muntah menjadi satu-satunya rasa yang bisa kami bagi. Di jam-jam awal perjalanan, kami masih bisa bercanda di dalam pickup ini. Namun, semua sirna setelah kelokan demi kelokan terlewati.

SENTARUM

41


Tim nampak menikmati perjalan dari rumah dinas di Samitau menuju Suhaid untuk menaiki speedboat ke Resort Tekenang. Tim berdesakkan satu sama lain dengan barang-barang bawaan karena limitnya tempat. Fotografer terpaksa duduk di pintu bak karena tidak mencukupi, namun tim tetap menikmati perjalan sambil bersenda gurau. Foto: Demetria Alika

Perjalanan menuju Semitau ini melewati banyak sekali sungai. Sungai yang menghalang ini tidak terlalu besar karena kondisi saat itu masih kering, tetapi yang membuat kondisi tidak nyaman adalah saat melewati jembatan. Jembatan tersebut hanya untuk satu arah, terbuat dari kayu, dan ditopang juga dengan tiang kayu. Alhasil, ketika mobil tiba di pangkal jembatan, mobil perlu melambat sebentar karena ada transisi dari aspal ke batu bertanah. Transisi ini yang membuat guncangan cukup keras pada mobil serta kepala kami sehingga membuat perasaan ingin muntah seketika. Akhirnya, seperti yang sudah dapat diduga, salah satu dari kami pun tumbang juga. Gracia mengambil plastik di dry bag P3k dan mengeluarkan semua isi yang ada di perutnya. Bau muntah pun menyebar dengan cepat, ditambah dengan kondisi angin yang berputar-putar di dalam kabin. Rasa mual semakin menyebar, beranak-pinak dan menemukan ruangnya di kepala kami yang juga berputar-putar karena perjalanan ini. Bertahan dengan kondisi seperti ini dengan perjalanan yang panjang tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Beruntung, pada akhirnya tidak ada lagi korban yang jatuh karena masing-masing dari kami berhasil membangun sugesti seperti “perjalanan ini tinggal lima menit lagi” atau “perjalanan ini tinggal sebentar”.

42

TELUSUR ‡ FEBRUARI 2020

Sekitar pukul empat sore akhirnya kami tiba di Semitau. Semitau adalah salah satu kecamatan di daerah Kapuas Hulu dan letak ibukota kecamatannya bersebelahan dengan sungai Kapuas. Akses perjalanan di sini dibangun di atas aspal yang masih bagus dan tidak ada yang berlubang. Pemukiman di sini saling berhadap-hadapan linier mengikuti arah sungai Kapuas. Rumah demi rumah kami lewati hingga kemudian kami berhenti di depan SPTN VI (Seksi Pegelolaan Taman Nasional VI). Di sana kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak dan disarankan untuk melakukan presentasi juga. Pada presentasi itu juga kami langsung diberi masukan untuk arah kegiatan yang lebih baik dan juga siapa yang akan membantu kami ketika di sana. Bahkan, nanti ketika keberangkatan menuju ke tengah danau, koordinasi juga ternyata diputuskan dari kantor ini. Setelah melakukan presentasi, kami akan berangkat pada pukul sepuluh pagi. Tidak banyak yang kami lakukan di kantor tersebut selepas kami presentasi, karena selanjutnya kami langsung di antar ke rumah dinas untuk para pegawai. Kami sempat merasa sungkan karena menginap di rumah dinas pegawai dengan jumlah kami yang cukup banyak apalagi ditambah dengan tas besar-besar yang kami bawa. Beruntung, ternyata rumah dinas untuk pegawai ini ada dua dan letaknya berhadap-hadapan.


Malam hari di sini sangat tenang. Kondisi jalanan pada pukul tujuh malam sudah sangat lengang dan agak remang-remang. Namun, sepertinya kehadiran kami telah memecah keheningan Semitau. Kami yang baru saja selesai mandi, masih belum lekas memakai pakaian. Hal ini disebabkan karena suhu yang sangat panas dan gerah. Kami tidak sempat memeriksa suhu di termometer, tetapi berkat suhu seperti ini membuat kami berteriak-teriak dan mengutuki keadaan. Terhitung sejak hari ini, kami telah berada di Kalimantan selama tiga hari dan kami akan berangkat untuk mencapai tempat tujuan kami hanya dalam enam jam lagi. Tujuan pada perjalanan kali ini adalah Resor Tekenang. Resor Tekenang adalah resor yang berada di tengah danau dan satu-satunya akses menuju ke sana adalah dengan menggunakan sepit (sebutan perahu untuk penduduk). Pukul sepuluh kami pun sudah siap diantarkan lagi oleh Bang Rudi menuju dermaga tempat sepit kami bersandar. Saat tiba di Dermaga Suhaid kami sudah ditunggu oleh Bapak Irawan dan pengemudi sepit kami Bang Zaenal. Dalam perjalanan ini kami disediakan dua sepit yang cukup untuk mengangkut logistik yang kami bawa serta personil sekitar 12 orang. Saat di sepit kami juga berkenalan dengan Mas Yofan yang bertugas sepagai PEH di Resor Tengkidap. Pada saat kaki kami menapak di sepit itulah terakhir kalinya kami melihat kendaraan motor dan jalanan aspal, yang lalu digantikan oleh raungan sepit serta aliran Sungai Tawang. Untuk mencapai Resor Tekenang di kondisi kemarau, kami perlu waktu sekitar enam jam perjalanan dari Suhaid. Menurut penuturan dari Mas Yofan, apabila musim hujan maka perjalanan bisa berlangsung lebih cepat. Hal ini disebabkan karena muka air danau yang meningkat apabila musim penghujan tiba. Memang, di saat musim sedang panas-panasnya seperti bulan September kemarin, kondisi air benar-benar hanya terkonsentrasi di kawasan Sungai Tawang. Bahkan karena hal tersebut, kami sempat mempertanyakan apakah kami sudah berada di kawasan Danau Sentarum atau belum, sebab kondisi benar-benar kering dan hanya menyisakan sungai dan padang kering. Sesuai literatur, Danau Sentarum adalah kawasan yang sangat vital keberadaannya bagi kawasan yang berada dari sekitar hulu hingga hilir Sungai Kapuas. Hal ini disebabkan apabila musim kemarau, air di dalam danau akan terkuras untuk mengisi sungai-sungai yang berada di kawasan yang lebih rendah. Sementara itu, bila musim penghujan tiba, Danau Sentarum akan berfungsi sebagai wadah penampung agar tidak menimbulkan bencana air bah di daerah hilir. Jika kemarin kami berpusing-pusing di dalam pick up, maka hari ini kami berama-ramai dirajam oleh ultraviolet matahari. Dengan panas seperti ini, rasanya matahari tepat berada sejengkal di atas kepala. Apalagi dengan kondisi sepit yang terbuka, teriknya sinar matahari bukan berasal langsung dari atas saja, tetapi kami juga dihajar panas dari bawah. Gelombang air serta permukaan sungai yang luas ini saling memantulkan sinar kembali ke atas termasuk juga ke arah kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk menghalau panas itu dari atas sepit. Satu-satunya pilihan yang bisa kami ambil adalah menunggu hingga sepit ini tiba di tujuan.

Arah aliran Sungai Tawang tidak selalu memanjang lurus. Sungai Tawang memiliki kondisi yang elevasinya tidak terlalu tinggi dan banyak sekali kelokan. Dengan kondisi demikian selalu banyak kejutan yang bisa kami temui di tiap kelokannya. Di belokan tertentu kadang kami menemukan pohon kayu tinggi besar yang kami belum ketahui namanya. Kadang juga kami menemukan mamalia lucu seperti makaka atau burung yang jarang kami lihat seperti bangau. Kadang juga kami menemukan pemukiman penduduk. Di kawasan pemukiman tepi sungai inilah kami sering salah menerka bahwa itu adalah Resor Tekenang. Hal ini dikarenakan saat kami melakukan survei sebelum berangkat, kami menemukan informasi bahwa kawasan pemukiman yang cukup padat penduduk hanya berada di Resor Tekenang. Padahal, di setiap tikungan besar dan di setiap aliran sungai melebar, maka pasti tempat itu akan ada kawasan penduduk di atasnya. Sejauh kami melakukan perjalanan menuju Resor Tekenang, kami menemukan kawasan pemukiman yang justru punya lebih banyak rumah daripada di Resor Tekenang sendiri. Di jalur Sungai Tawang sendiri bahkan ada pemukiman yang telah ada kawasan listriknya yaitu di Resor Tengkidap. Sebenarnya kami tidak terlalu kaget dengan adanya pemukiman rumah karena di daerah asal kami di Yogyakarta sudah tentu ada puluhan ribu pemukiman penduduk. Yang membuat unik adalah pemukiman penduduk ini terdiri dari rumah-rumah yang pondasinya bukan tanah melainkan air. Ada juga rumah yang berpondasikan tanah tetapi ditopang oleh tiang tinggi-tinggi sehingga terlihat sangat mencolok dari permukaan sungai. Rumah yang mengapung di atas air ini disebut oleh penduduknya sebagai lanting. Rumah-rumah ini dikonstruksi dari kayu-kayu hutan yang sangat mudah untuk diambil. Sebelum kami tiba di Resor Tekenang, ada salah satu kawasan yang terdiri dari pemukiman penduduk yang sangat besar bernama Pengembung. Tempat ini kelak akan sering kami kunjungi baik sebelum berangkat ke tempat penelitian dan saat pulang. Tempat ini ternyata juga sering dikunjungi oleh masyarakat di Resor Tekenang untuk melakukan sholat jumat dan memenuhi kebutuhan. Di daerah Pengembung ini juga dengan kemajemukan masyarakatnya, maka kita akan melihat banyak hal yang unik. Hal yang unik itu seperti pohon pisang yang ditanam di atas sungai, masjid di atas tiang kayu dan rumah-rumah yang bentuknya seperti perahu. Daerah Pengembung ini selain menjadi tempat memenuhi kebutuhan konsumsi kami juga sebagai penanda bahwa Resor Tekenang sudah dekat. Perlu sekitar 20 menit perjalanan dari Pengembung untuk menuju Resor Tekenang. Kira-kira saat jam menunjukkan pukul tiga sore lah saat di mana kami tiba pertama kali di Resor Tekenang. Resor Tekenang adalah resor yang unik dan ikonik. Dari tepi sungai di Resor Tekenang, akan terlihat Bukit Tekenang yang menjulang tinggi. Selain itu, terlihat juga perahu wisata besar yang dikemudikan oleh salah satu tokoh di Resor Tekenang bernama Bapak Sam. Resor Tekenang juga menjadi istimewa karena menjadi satu-satunya tempat yang memiliki sumber mata air sendiri. Jadi, jika di pemukiman penduduk yang lain masyarakatnya minum dan mandi dengan SENTARUM

43


air Sungai Tawang, maka warga di sini bisa mandi dengan air langsung dari mata air yang dialirkan dengan pipa. Oleh sebab itu, tak jarang warga dari luar Resor Tekenang mengambil air minum di mata air ini, hanya saja karena biaya perjalanan menggunakan sepit yang mahal maka hal tersebut jarang terlihat. Kami menyandarkan perahu kami di sebuah dermaga yang terbuat dari floating bridge berwarna oranye. Dari sini, kami tinggal mengambil langkah setapak yang sudah ada untuk bisa menuju kantor resor. Sama seperti rumah-rumah yang ada di kawasan Danau Sentarum, posisi kantor Resor Danau Tekenang juga berada tinggi menjauh dari tanah. Jadi, untuk bisa menuju ke kantor, kami harus menapaki tangga yang cukup tinggi dan membuat lelah. Hal yang paling menyebalkan juga, jumlah tas yang kami bawa tidak mampu untuk kami angkut sekali perjalanan saja. Jadi, saat kami sudah tiba di muka kantor, kami harus memutar untuk mengambil barang kami yang tersisa di atas sepit. Kantor Resor Tekenang terhubung dengan dermaga dan jalur menuju puncak bukit dengan jalan yang terbuat dari kayu. Di dekat kantor terdapat bangunan homestay, floating house, dan pondok kecil untuk beristirahat. Jika terus meniti jalan, maka walking board ini memanjang jauh hampir mengelilingi sekujur Bukit Tekenang, hanya saja di awal tiba kami sudah sangat kelelahan dan ingin sekali istirahat. Kami masuk di kantor Resor Tekenang dan meletakkan 44

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020

tas kami di ruang depan kantor. Di ruang ini tidak terlalu banyak perabotan kecuali kursi dan meja TV. Kami sempat heran juga bagaimana bisa ada TV padahal resor ini tidak seperti di Resor Tengkidap yang ada kabel listriknya. Belum hilang keheranan kami, ternyata TV tersebut bisa menyala dan bahkan ada DVD player juga. Ada juga kabel rol berderet banyak yang bisa menghubungkan banyak piranti elektronik. Kamar tidur di kantor ini cukup banyak terdiri dari tiga bilik dan ada juga tambahan satu dapur serta satu kamar mandi. Pemandangan depan, belakang, dan samping resor ini sama-sama menarik dan menakjubkan untuk disaksikan kapanpun. Hanya saja, pemandangan dari utara kantor resor yang paling menakjubkan, karena menampilkan pemandangan Sungai Tawang. Usut punya usut, ternyata listrik yang mengalir di resor ini berasal dari sel surya. Jika mendongak ke atap kantor resor, maka akan terlihat beberapa lembar panel surya yang dipasang di sana. Namun kata Bang Zaenal, kemampuan panel surya tersebut hanya efektif ketika siang hari, jadi ketika hari sudah malam maka genset akan dinyalakan. Hal ini terbukti dengan sepanjang kami di sana, listrik di daerah Resor Tekenang ini memang tidak pernah padam. Kekhawatiran ponsel kami mati dan tidak bisa menghubungi orang tersayang pun surut sedikit demi sedikit. Dengan adanya listrik, meskipun hari sudah beranjak malam Resor Tekenang masih terang benderang. Malam pertama kami di sini digunakan untuk memproyeksikan tentang rencana yang kami lakukan di hari esok. Bagaima-


Mobilisasi tim dari flying basecamp menuju titik koordinat yang sudah ditentukan untuk pengambilan data.Kabut asap yang nampak diyakini tim berasal dari kebakaran lokal yang bertempatan tidak jauh dari lokasi tim berada. (Saat itu tim tidak tahu bahwa sedang terjadi karhutla besar-besaran di Riau dan Kalimantan Timur). Selama penelitian yang berlangsung dua minggu lamanya tim selalu ditemani asap kabut. Foto: Fariz Ardianto

na tidak, kami sudah berada di tengah-tengah Danau Sentarum. Di tempat di mana kaki kami berpijak inilah tempat yang menjadi objek penelitian kami. Sudah sejak beberapa bulan lalu, Mapagama menggaungkan tempat ini sehingga pasti akan ada ribuan orang yang menunggu kabar baik terkait apapun yang kami lakukan di sini. Oleh karena itu, gagal bukanlah pilihan ketika kami sudah berada di sini. Untuk meminimalisasi kegagalan itu, akhirnya ditetapkan bahwa esok adalah waktu untuk melakukan survei lokasi terlebih dahulu. Survei ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kondisi sekitar tempat penelitian. Kami sudah merencanakan tempat penelitian jauh-jauh hari dan telah menemukan lokasi penelitian yang akan kami tuju bernama Hutan Kerinung. Dengan survei yang dilakukan, maka kami akan mendapat banyak wawasan yang diperlukan untuk keberangkatan pada esok lusa. Kami juga ingin mengetahui seberapa jauh jarak untuk menuju ke sana, logistik apa yang diperlukan selama di sana, mencari tempat bermalam, dan yang paling penting yaitu kami perlu memastikan apakah di sana ada gambut atau tidak. Tidak seluruh anggota kami melakukan survei. Sisa anggota yang tetap berada di resor adalah Kresna, Kolet, Ilham dan Dimi. Karena bertepatan dengan hari jumat, tim yang tinggal di resor ini juga diajak oleh warga sekitar untuk

melakukan ibadah sholat jumat bersama warga. Kondisi Resor Tekenang yang tidak memiliki masjid menjadikan kami bersama-sama berangkat dengan sepit yang dimiliki oleh TN. Kami melakukan ibadah jumat di masjid yang ada di Pengembung. Sekitar pukul empat sore teman-teman yang melakukan survei telah kembali dari Hutan Tekenang. Dengan pulangnya mereka, maka pada malam harinya kami merencanakan untuk kegiatan yang akan dilakukan pada keesokan harinya. Dari informasi yang bisa didapat di Hutan Tekenang, kami semua bersyukur karena terdapat gambut di Hutan Tekenang. Hanya saja akses untuk menuju ke sana perlu berjalan sangat jauh. Ditambah lagi tidak ada air bersih di sana. Sehingga, selain berjalan jauh, kami perlu berjalan dengan membawa air bergalon-galon. Setelah mengetahui bahwa di sana ada gambut. Otomatis kami sudah bisa menentukan logistik apa yang akan dibawa nanti. Jika sebelumnya pada waktu observasi kami hanya membawa beberapa meter bor gambut, maka untuk besok di lapangan kami akan membawa keseluruhan bor gambut yang sepanjang dua puluh meter jika disambung semuanya. Untuk penelitian biotik, kami membawa semua alat yang terdiri dari sweep net, meter roll, vial, alkohol, dan lain-lain. Di esok harinya juga, kami akan berangkat dengan membawa semua personil kami untuk menuju ke sana. Tidak ada anggota tim yang tersisa di Resor Tekenang, kami harus melakukan ini bersama-sama dan serius. SENTARUM

45


Kondisi tim saat pertama kali menuju Resort Tekenang dari Suhaid. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 2-3 jam lamanya. Saat itu kondisi pada tengah hari sedang panas-panasnya sehingga selama perjalanan tim hanya dapat tertunduk menghindari teriknya matahari [Kiri]. Saat ini tim sudah menyelesaikan pengambilan data minggu pertama dan sedang menuju kembali ke Resort Tekenang. Logistik tim sudah terdapat di speedboat namun tim tetap harus berjalan kaki sampai ke muara anakan sungai akibat sungai terlalu dangkal untuk menampung bobot tim, apabila dipaksakan baling-baling mesin speedboat akan tersangkut pukat-pukat milik warga (pukat: jaring untuk menangkap ikan). Pada musim hujan area yang dipijak tim seharusnya terendam air semuanya [Kanan]. Foto oleh: Demetria Alika

46

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020


SENTARUM

47


Dari keputusan yang telah dirapatkan, untuk keberangkatan penelitian pada esok hari kami akan diberangkatkan dengan dua sepit persis seperti saat kami berangkat ke Tekenang. Kami juga akan berangkat menuju Hutan Kerinung dengan diantar oleh Bapak Sam dan Bang Zaenal. Lalu untuk logistik kami besok di sana, ternyata kami dipinjamkan dua galon air yang sudah diisi penuh oleh Bapak Sam dan sudah berada di atas sepit. Untuk hari esok juga, kami dijadwalkan untuk berangkat pada pukul delapan pagi. Oleh sebab itu, baik mandi, makan dan packing, semua dijadwalkan harus sudah selesai sebelum waktu itu. Keesokan harinya, tepat pada tanggal 7 September 2019, kami bangun sekitar jam lima pagi untuk bersiap berangkat ke Hutan Kerinung. Di tanggal ini, sesuai jadwal koordinator lapangan, kami akan berangkat untuk melakukan penelitian. Logistik sudah tertata rapi, dan masing-masing dari kami tinggal mandi dan melakukan sarapan. Saat kami masih sarapan, ternyata Bapak Sam menawarkan untuk meminjamkan panel surya yang berada di perahunya untuk keperluan pencahayaan di sana. Bang Aswan juga meminjamkan gerobaknya untuk mengangkut logistik kami. Tepat pukul delapan pagi kami berangkat menuju Hutan Kerinung. Sebelum berangkat, kami dibacakan doa oleh Bapak Sam demi keselamatan kami di sana. Target yang harus dicapai pada minggu pertama ini adalah kami harus mendapat 18 belas titik pengamatan dari 36 titik pengamatan. Jadi, perjalanan pagi hari ini tidak dilakukan dengan pulang pergi pada satu hari, tetapi menunggu sampai semua titik pengamatan tercapai. Sekitar 15 menit perjalanan, kami telah sampai di Pengembung. Di Pengembung ini, kami singgah sejenak untuk mengambil gerobak dan membeli keperluan konsumsi. Untuk keperluan konsumsi, kios yang berada di Pengembung ini agak lebih besar dan lebih lengkap dari yang ada di Tekenang. Kios ini juga tidak terletak di lanting warga. Jadi, karena kios ini berada di rumah tapak, maka kami harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Tangga untuk menuju rumah-rumah yang ada di Pengembung ini lebih tinggi sedikit dari tangga menuju Kantor Resor Tekenang serta lebih curam, jadi kami agak sedikit kecapaian untuk menuju ke sana. Tidak ada juga pegangan untuk mengamankan pijakan di tangga tersebut, salah langkah atau hilang keseimbangan sedikit saja akan berarti fatal bagi kami semua. Setelah puas berbelanja dan kebutuhan logistik tim telah terpenuhi, kami semua bersiap-siap untuk berangkat kembali. Tidak ada jalur memutar di hari ini, kami semua harus berangkat ke Hutan Kerinung dan menetap sampai target penelitian kami tercapai. Sepit berjalan dengan perlahan tapi pasti melewati pemukiman-pemukiman warga. Kadang sepit kami juga perlu melakukan manuver guna menghindari adanya pukat yang dipasang warga di sepanjang Sungai Tawang. Dengan perlahan, akhirnya kami tiba juga di persimpangan untuk menuju Hutan Kerinung. Sepit masuk dengan sangat lambat di tempat ini. Sepit dilajukan dengan lambat untuk mengetahui pukat dan mampu menghindarinya. Putaran motor dapat merusak pukat bila motor melintasi pukat-pukat yang dipasang oleh warga. Karena memang, sepanjang sungai kecil ini, posisi pukat sangat banyak dan 48

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020

ada di sepanjang sungai kecil ini. Bang Zaenal juga memaklumkan hal ini, karena memang saat surut inilah saat yang tepat untuk panen ikan. Dengan ikan yang terperangkap di sungai-sungai kecil maka akan memudahkan lokasi untuk pemasangan pukat. Perjalanan terus kami lanjutkan dengan pukat. Setelah berkendara cukup jauh, ternyata sungai kian waktu kian menyempit. Setelah dipaksa untuk menghindari pukat, kini kesulitan yang kami temui adalah kami harus mengemudikan sepit di sungai yang cukup dalam. Sekali kami salah mengambil sisi sungai, maka sepit dapat menyangkut di daerah yang tidak dalam. Mengeluarkan sepit ini jika sudah menyangkut akan sangat sulit. Dengan lumpur yang menyelimuti dasar sungai, seperti lubang hitam, terperosok di sini akan membutuhkan banyak energi untuk menariknya kembali. Ternyata, tidak sampai tepi Hutan Kerinung, perjalanan menggunakan sepit harus dihentikan. Sepit sudah tidak bisa melaju lebih jauh lagi. Jika memaksa, maka apabila dasar sepit sudah menyentuh dasar sungai, maka akan sangat sulit sekali untuk mengembalikan lagi ke sungai yang dalam. Karena memang perubahan kedalaman sungai di Danau Sentarum bisa sangat cepat apapun musimnya. Banyak terlihat lanting-lanting yang tersangkut di tanah karena sudah tidak ada air yang mampu menopangnya berdiri. Di sisi lain, di musim yang lain, kami pernah mendengar kabar bahwa pernah ada orang melakukan perjalanan menggunakan motor ketika danau sedang kering, lalu hujan mengguyur sebentar dan orang tersebut tidak bisa pulang karena danau sudah terbentuk. Kami tertahan sekitar dua kilometer dari Hutan Kerinung. Kata teman-teman yang melakukan observasi, mereka menganggap kondisi sungai mengalami penyurutan lagi. Karena saat mereka melakukan observasi kemarin, mereka mampu menuju titik yang lebih jauh dari hari ini. Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki sembari membawa logistik kami. Pilihan lain untuk tetap menggunakan jalur air sudah tidak bisa dipakai lagi. Bahkan ide agar logistik tetap di sepit dan penumpangnya dipaksa berjalan pun sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan. Akhirnya semua logistik pun kami angkat menuju tepian sungai. Matahari sungguh sangat terik pada waktu itu. Dengan kondisi demikian, kami masih harus mengangkut bolak-balik mengangkut barang kami untuk dipindahkan ke tepian. Belum juga sampai Hutan Kerinung, kami sudah sangat kehausan. Memindahkan barang-barang ini membuat peluh dan keringat kami berjatuhan. Satu persatu kami angkat barang kami, hingga tersisa galon air dan gerobak. Barang yang berat ini kami usung bersama-sama karena benda ini sungguh sangat berat.


Setelah semua barang berada di tepian, akhirnya kami pun kelelahan. Kondisi di tepian dan di permukaan sungai juga sama saja. Tidak ada pohon besar yang bisa menaungi tempat kami beristirahat. Pada waktu itu kami benar-benar dimandikan oleh sinar matahari yang memancar tanpa halangan. Bang Zaenal, Bang Aswan, atau Bapak Sam, mereka semua sama-sama dipancari oleh sinar matahari dan merasakan panasnya. Agar tidak sampai mendidih, kami harus segera melakukan perjalanan. Selain panas, hal yang menganggu ketika berada di tengah danau yang kering ini adalah keheningan yang diciptakan. Berhektar-hektar lahan sejauh mata memandang hanyalah seperti kolom kosong yang fitri. Sepandangan mata, sungguh hanya kekosongan yang bisa dilihat. Baru ketika mata sedikit menyipit maka akan terlihat sisi pinggir danau yang dipenuhi tanaman. Kata Bang Zaenal, tempat di mana kami menepi sekarang jika musim penghujan tiba maka akan terbentuk sebuah danau. Jadi, secara teori kami sekarang berada di dasar dari danau yang kering. Dengan berada di tengah danau yang kering ini praktis tidak ada

Salah satu sampel serangga yang berhasil ditangkap oleh tim biotik. Serangga terdapat di dalam vial yang kemudian akan diidentifikasi jenisnya [Atas]. Grace selaku Ketua peneliti keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut yang berbeda-beda sedang mengamati sampel serangga yang berhasil didapatkan. Alat yang membantunya merupakan sweep net yang digunakan untuk menangkap serangga pada titik pengambilan data. Baju kuning yang dikenakannya juga disengajai dengan maksud untuk menangkap perhatian serangga karena warnanya yang cerah [Kiri]. Foto: Demetria Alika

seseorang pun yang mau kemari sehingga tempat ini menjadi sangat hening. Keheningan yang diciptakan karena tidak adanya makhluk hidup itu menjadikan tempat ini seperti kamar gema. Di keheningan ini akan sangat menyakitkan di telinga jika tidak mendengar sedikit suara saja. Bahkan angin juga tidak ingin membuat sedikit keributan di tempat ini. Satu-satunya yang bisa mengisi ruang kesepian ini hanya suara bising dalam telinga yang membuat pusing. Oleh sebab itu, kami sering menggeserkan kaki hanya untuk membuat suara-suara. Kondisi sangat tidak nyaman ini yang membuat kami segera berkemas. SENTARUM

49


Di perjalanan pertama menuju Kerinung, banyak hal yang sebenarnya tidak sesuai standar jika dibandingkan dengan manusia biasa. Karena kami menjadwalkan untuk seminggu di sini, maka banyak sekali barang bawaan yang kami bawa menuju Kerinung. Saking banyaknya, masing-masing dari kami minimal harus membawa dua tas. Jumlah tersebut juga masih kurang, ada juga tambahan logistik yang menjadi tanggung jawab masing-masing orang seperti P3K kit, bor gambut, dan alat penelitian.

Karena kami sampai di Hutan Kerinung pada sore hari, maka kami disarankan untuk tidak melanjutkan penelitian mengingat kondisi yang berbahaya apabila hari sudah gelap. Akhirnya kami baru bisa berangkat pada keesokan harinya pada tanggal 8 September 2019. Kami bermalam dengan mendirikan tenda dan memasang hammock di pohon-pohon yang ada di tepian. Karena kami kelelahan, kami pun tidur dengan sangat pulas, bersiap untuk keberangkatan besok ke titik pengamatan.

Saat punggung dan dada kami sudah penuh oleh tas, beruntung kami membawa gerobak kemari. Galon-galon berisi air memang tidak bisa kami angkut sendiri dengan tangan. Bang Zaenal lah yang membantu kami untuk mendorong gerobak berisi air itu. Perjalanan dua kilometer menuju ke tempat perkemahan kami sungguh sangat berat, tapi masih kalah berat dibandingkan Bang Zaenal karena masih harus mendorong gerobak sekaligus melewati selokan-selokan kecil.

Tim mencapai titik terakhir pada tanggal 17 September 2019. Setelah itu tim beristirahat di Resor Tekenang hingga tanggal 19 September 2019. Sisa tanggal selanjutnya digunakan untuk perjalanan pulang dan mengurus keperluan SATS-DN di kantor BKSDA Kalimantan Barat yang terletak di Pontianak. Tim menyelesaikan ekspedisi pada tanggal 27 September 2019 dan sampai di Yogyakarta pada pukul 21.00 WIB.

Sekitar satu jam berjalan kaki, kami semua telah sampai di batas Hutan Kerinung. Kami mendirikan tenda dan bermalam di pinggir hutan. Kata Bang Aswan kami dipilihkan tempat di pinggir hutan guna menjaga diri dari hewan-hewan buas. Beruang madu adalah salah satu hewan buas yang berada di sana. Bila beruang itu mendekat menuju tempat kami bermalam maka kami tinggal berlari menuju ke tengah danau.

50

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020

Seluruh personil tim lapangan berfoto di Hutan Kerinung pada hari terakhir penelitian sebagai memento. Anggota terdiri dari (kiri-kanan) M. Khalid Arrasyid, Fariz Ardianto, Fahrudin Raharja, Mas Yoffan Ramadhan (PEH TNDS), Demetria Alika Putri, Bang Aswan (Tenaga Kontrak TNBKDS), Gracia Melsiana, Mas Endra Wresni (PEH TNBK), Faizal Mustofa, M Ismail Hamsyah, dan Kresna Muharram.


BIOTIK

Keanekaragaman Serangga Pada Tingkat Kematangan Gambut Berbeda. Tujuan: Mengetahui sebaran tingkat kematangan gambut; dan mengetahui keanekaragaman serangga pada tingkat kematangan gambut berbeda.

Data utama yang diambil di lapangan adalah keanekaragaman serangga dan sebaran tingkat kematangan gambut. Tim berhasil mengidentifikasi hingga 11 ordo atau 85 famili dan juga telah menemukan 2043 individu. Selanjutnya tim akan mengidentifikasi hingga kelas spesies dengan bantuan dari laboratorium. Diambil juga data pendukung yaitu analisis vegetasi dan burung. Di analisis vegetasi, ditemukan 941 individu baik dari tingkat semai, tiang, pancang, dan pohon di titik plot pada masing-masing titik pengamatan. Hasil pengamatan burung juga telah menemukan 182 individu dengan rincian jenis burung teridentifikasi ada 35 individu dan sisanya belum diidentifikasi.

ABIOTIK

Pemetaan Distribusi Spasial Stok Karbon Lahan Gambut Tropis Menggunakan Machine Learning Berbasis Data Pengindraan Jauh Resolusi Menengah. Tujuan: Mengkaji akurasi metode machine learning berbasis data penginderaan jauh dalam memetakan distribusi spasial stok karbon lahan gambut tropis; dan memetakan distribusi spasial stok karbon di lahan gambut tropis menggunakan model machine learning berbasis data penginderaan jauh dan data lapangan.

Dari hasil pengamatan di Hutan Kerinung, tim telah menemukan hasil sebagai berikut: 36 titik sampel dengan rentang kedalaman 0.2–9.29 m dan melakukan pengeboran sebanyak 236 kali, 3 tingkat kematangan (Fibrik, Hemik, & Saprik) ditemukan dari keseluruhan titik, dan pengambilan 12 sampel tanah untuk pengukuran nilai bulk density serta 8 sampel tanah untuk pengukuran nilai carbon content. Kedalaman gambut yang ditemukan berkisar dari 0 cm hingga 926 cm. Diambil juga data pendukung yaitu foto tajuk tanaman pada titiktitik pengamatan.

SENTARUM

51


opini

DILEMA PARIWISATA DI KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNG MERAPI Oleh: Rachmat Willy Adam

S

aat ini, pariwisata telah mendatangkan beberapa perubahan di berbagai daerah di berbagai macam penjuru Indonesia, dan satu hal yang pasti perubahan tersebut terdapat di Pulau Jawa. Pariwisata sudah seperti menjadi sesuatu yang dapat beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi suatu daerah. Seluruh penjuru di Indonesia seakan-akan selalu memiliki potensi pariwisata. Hampir semua kegiatan manusia yang merupakan satu-satunya spesies yang melakukan perjalanan wisata seperti berekreasi digolongkan sebagai kegiatan pariwisata. Bagaimana tidak, pengertian pariwisata yang kini dipahami oleh mayoritas pelaku wisata yakni adalah segala macam aktivitas manusia di luar lingkungan tempat tinggalnya untuk melakukan suatu hal untuk bersenang-senang, keperluan pendidikan, bisnis, maupun kesehatan, yang dilakukan secara sukarela dan atas keinginan sendiri, dilakukan lebih dari 24 jam , dan kurang dari satu tahun(UNWTO). Dari pengertian tersebut, maka dapat dinyatakan segala aktivitas rekreasi tidak dapat dinyatakan sebagai pariwisata, dan pariwisata juga tidak hanya mencakup kegiatan rekreasi saja 1. Jeep Lava Tour Sebagai Primadona Wisata Jajahan Lahar Merapi . Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki salah satu landmark alami yang cukup melegenda, yakni Gunung Merapi. Pada hampir satu dekade terakhir ini, terdapat beberapa perbedaan yang cukup signifikan terkait kegiatan ekonomi yang berasal dari sektor pariwisata di lereng gunung berapi ini. Letusan Merapi yang disinyalir meniscayakan berkah terhadap lahan sekitarnya ternyata tidak hanya menyuburkan tanahnya, tetapi juga menyuburkan aktivitas pariwisata yang mendatangkan manfaat ekonomi. Terbukti dengan maraknya akomodasi dan atraksi wisata yang ditawarkan. Jeep Lava Tour salah satunya. Berawal dari keterbatasan aksesibilitas yang memadai, masyarakat merintis usaha ojek wisata menggunakan motor trail, namun seiring perkembangan waktu akhirnya mulai banyak yang beralih ke mobil jeep karena bisa membawa lebih banyak penumpang dan memiliki sensasi yang berbeda dan lebih menantang. Kegiatan pariwisata di lereng Gunung Merapi ini akhirnya dilirik dan didukung oleh pemerintah dan pengurusannya diserahkan langsung kepada warga untuk dimanfaatkan sebagai kegiatan ekonomi. 2. Dari sapi hibah presiden SBY di masa itu, sampai ratusan jip berkuasa. Hingga pada saat tulisan ini dibuat, pariwisata masih menjadi sektor andalan masyarakat penyintas bencara erupsi di tahun 2010 silam. Selain tingginya permintaan, sediaan mobil jip untuk kebutuhan wisata ekstrim ini juga dapat dikatakan besar. Terdata sebanyak 500 lebih jumlah mobil jip yang kini beroperasi di kawasan ini dengan dinaungi oleh 29 komunitas jeep yang terbagi di lereng selatan Merapi bagian Cangkringan

dan Kaliurang. Menurut Kotir alias Bambang, Ketua Asosiasi Jeep Wisata Lereng Merapi (AJWLM), pemilik jeep yang beroperasi di kawasan Merapi, seluruhnya merupakan milik masyarakat setempat tanpa kecuali. Hal itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat yang berdampak langsung ke perekonomian mereka. Untuk supir atau driver yang sekaligus merangkap sebagai pemandu, masih diperbolehkan berasal dari masyarakat luar. Awal mulanya, presiden SBY yang kala itu menjabat memberikan satu ekor sapi untuk satu kepala keluarga guna menggantikan ternak mereka yang mati karena erupsi. Seiring berjalannya waktu, warga mulai menjual sapi untuk membeli motor trail. Kemudian dari motor trail bertambah ojek motor karena adanya pembangunan jalan dengan swadaya masyarakat. Sampai pada saat mobil jip menjadi pemeran utamanya, motor trail dan ojek kian berkurang. Hal itu berbanding lurus dengan sepadannya penghasilan dari jip ketimbang modal yang dibutuhkan. 3. Nasib masyarakat atas campur tangan pemerintah. Tidak semua pelaku wisata di lereng merapi memiliki kapasitas dan kemampuan tenaga yang sama. Para wanita dan golongan tua yang masih butuh untuk mencari nafkah tentu saja tidak ingin tertinggal peradaban. Mereka kerap bergelut di bagian gerbang masuk dan warung-warung yang tersebar di beberapa titik. Pariwisata diharapkan dapat memberikan dampak yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat. Bahkan terdapat komunitas fotografer yang beranggotakan pemuda-pemuda setempat. Akan tetapi, tidak semua hal dikatakan memiliki dampak yang seimbang terhadap tingkat pendapatan. Perlu diperhatikan bahwa retribusi yang wisatawan bayarkan di pintu masuk sepenuhnya

Foto latar oleh Dwi Oblo 52

TELUSUR ‥ FEBRUARI 2020


merupakan hak masyarakat yang merupakan hasil inisiatif atas pembangunan pariwisata di kawasan rawan bencana tersebut. Birokrasi tidaklah semudah yang dibayangkan. Hak masyarakat yang tidak seberapa itu masih dimanfaatkan oleh dinas pariwisata sebagai ladang uang. Dikatakan ladang karena pengelolaannya sangat tidak transparan, tidak hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada dukuh dan desa, begitulah yang disampaikan Eko (34) sebagai salah satu pendiri komunitas jip GMTC. Pembagian 4:6 tersebut dikatakan sulit dalam penyampaian kesepakatannya. Pasalnya, masyarakat diharuskan untuk menyetor keseluruhannya terlebih dahulu, barulah setelah itu mereka mengembalikan 6/10 bagiannya. Belum lagi adanya keterlambatan pengembalian yang pernah mencapai 3 bulan lamanya yang membuat masyarakat sengsara. 4. Oknum Penyebar Berita Pungli. Trisno (42) dari komunitas Jeep 86 MJTC menyatakan bahwa seluruh operasional kegiatan wisata dimulai pukul 07.00 pagi dan semuanya murni usaha milik warga selama hal tersebut berada di dalam kawasan yang dibatasi oleh pintu retribusi, baik jeep, motor trail, warung, homestay, dan ojek. Beberapa tahun belakangan terdapat oknum yang memberikan pernyataan bahwa di kawasan lereng Merapi terdapat pungli yang mengharuskan wisatawan membayarkan sejumlah uang kepada petugas sebanyak Rp30.000,00. Nyatanya, hal tersebut merupakan ojek wisata yang ditawarkan di batas kendaraan wisatawan. Wisatawan memang diharuskan memarkirkan kendaraannya di lokasi tertentu dan tidak diperkenankan untuk naik hingga Bunker Kaliadem, meskipun tidak ada aturan tertulisnya. Wisatawan dipersilakan untuk memarkirkan kendaraannya di batas tersebut dan memiliki opsi berupa jalan kaki, menggunakan ojek wisata, menyewa motor trail, dan jeep untuk sekaligus lava tour. Semuanya bertujuan sama, yakni kesejahteraan masyarakat. Banyak wisatawan tidak menyadari itu dan ngeyel sehingga terkadang tidak dibawa susah oleh pengelola. Mereka dipersilakan memilih salah satu opsi tersebut atau pulang. Alih-alih percaya, hal tersebut dikatakan pungli oleh oknum ngeyel dengan dalih bahwa mereka bukan petugas resmi dari pemerintah sehingga tidak pantas untuk dipercaya. Satu fakta yang menarik bahwa wisatawan dapat membawa kendaraannya masuk gratis dari mulai pintu retribusi hingga Bunker Kaliadem sebelum pukul 6 pagi. Pak Trisno menyampaikan bahwa mereka paham mahasiswa memiliki keterbatasan ekonomi dan masyarakat tentunya tidak bisa piket selama 24 jam. Oleh sebab itulah, pengelola memberi kelonggaran dengan membuat jam kerja. Ia menyatakan bahwa dalam kesempatan sebelum jam 6 pagi tersebut merupakan peluang bagi mahasiswa yang rajin bangun pagi untuk dapat menikmati matahari terbit di Kaliadem

dengan cuma-cuma. Alangkah sangat tidak etis bila kalangan mahasiswa yang menjadi oknum penyebar berita pungli di kawasan ini. 5. Mimpi Bersama Seluruh Masyarakat. Banyak hal yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat penyintas bencana erupsi ini. Harapan itu antara lain ialah diturunkannya status Merapi yang tidak kunjung reda dalam hampir 2 tahun ini. Hal tersebut dirasa cukup membantu dalam meningkatkan minat wisatawan untuk berkunjung, terutama dari tingkat keamanan dan risiko yang ada. Kemudian pembangunan aksesibilitas di daerah tempat tinggal mereka. Masih terdapat jalan yang rusak dan tidak diperhatikan oleh pemerintah walaupun di luar kawasan rawan bencana yang memang diatur untuk tidak dibangun. Namun di luar batas tersebut? Tentunya harus tetap dibangun. Temuan lain di lapangan yakni adanya ketidakmerataan sebaran wisatawan dan ketimpangan jumlah kunjungan di lereng selatan bagian barat (Kaliurang) dan timur (Cangkringan). Kawasan timur cenderung lebih ramai karena atraksi utama lebih banyak dilakukan di daerah tersebut. Sebelum bencara erupsi melanda kawasan tersebut, kawasan barat cukup ramai akibat adanya objek wisata seperti Tlogo Putri dan Gua Jepang. Belum lagi ditambah villa-villa dan wisma yang tersebar di sepanjang jalan. Kini kawasan tersebut sepi dan tidak sebanding ramainya dengan kawasan timur. Maka dari itu strategi pemerataan sebaran wisatawan sangat diperlukan. Baik oleh pengelola maupun pemerintah, keduanya harus saling berusaha. Dibutuhkan kesadaran dari berbagai pihak, baik pengelola, masyarakat, pemerintah, dan juga wisatawan. Semuanya adalah unsur penting, pengelola dan pemerintah haruslah bisa membuat pemerataan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Kemudian masyarakat juga harus banyak belajar bahwa tanpa kemandirian dan mengikuti arus perubahan zaman mereka tidak dapat membuat dirinya sendiri sejahtera. Lalu yang terakhir adalah dari sisi wisatawan, perlu diingat bahwa terdapat pepatah yang menyatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Janganlah menjadi wisatawan yang mendatangkan kerugian bagi masyarakat setempat tanpa tahu permasalahannya. Jadilah wisatawan cerdas dan juga turut mengerti keadaan masyarakat yang ada.

53




TelusuR JIWA DALAM SETIAP PERJALANAN

MAHASISWA PENCINTA ALAM UNIVERSITAS GADJAH MADA 2020


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.