Edisi #3 Januari 2014
SAPHARA
Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan
TAK BUAS LAGI LAUTKU TEBING SIUNG Surga di Yogyakarta
CIKONENG
Adu Bagong & Anjing
KAREUMBI
JATINANGOR
Wisata Alam & Konservasi
“Gak” Butuh Sawah
SAPHARA | 2
Salam Pemred
Daftar Isi Salam Pemred
3
Perjalanan Lokal
4
Desa
6
Lintas Kota
8
Laporan Utama
10
Wisata Budaya
18
Halaman
20
Acara
22
Tahun 2013 telah berakhir, namun ekploitasi alam seperti perdagangan sirip hiu, penjualan binatang secara ilegal, dan pengurangan ruang terbuka hijau dalam hal pembangunan yang dilakukan secara berlebihan masih kerap terjadi. Padahal, alam merupakan sumber daya yang paling berharga bagi manusia. Bukan hanya itu, ia nantinya menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita. Pada edisi kali ini, Saphara mencoba mengungkapkan berbagai eksploitasi alam yang terjadi di sekitar Explorer, khususnya di Indonesia. Semoga hal ini dapat menjadi “Eliksir� yang mampu mengurangi berbagai eksploitasi alam.
Foto Essay
24
Dimas Jarot Bayu, Pemimpin Redaksi.
Operasi
30
Kata Kita
32
Buah Pena
34
Refleksi
36
Etalase
38
Review
39 KLUB AKTIVIS PEGIAT DAN PEMERHATI ALAM FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN @kappafikom
SAPHARA Pemimpin Umum: Thaariq Basthun Natsi Pemimpin Redaksi: Dimas Jarot Bayu - Redaktur Opini: Ryan Hilman Redaktur Bahasa: Sri Oktika Amran - Redaktur Perjalanan: Dina Aqmarina Yanuary Redaktur Desa dan Budaya: M. Rifqy Fadil - Redaktur Acara dan Lingkungan: Alfath Aziz Redaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat Reporter: Olfi Fitri Hasanah, Tyas Dwi Pamungkas, Dhanang David Aritonang, Deando Dwi Permana, Hafiyyan, Nelly Yustika E.B. , Dwi Desilvani, Andhika Soeminta, Nadia Septriani, Mutiara Annisa, Istnaya Ulfathin, Dwy Anggraeni, Wini Selianti, Bonny Rizaldy Advertising: M. Hanif Izzatullah (08561610062) Email: fikomkappa@gmail.com Alamat Redaksi: Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
SAPHARA | 3
PERJALANAN LOKAL
Taman Buru Masigit-Kareumbi: Wisata Alam, Konservasi, dan Rusa Teks & Foto: Deando Dwi P. & Wini Selianti
STEGAL ALUN
ebagai satu-satunya taman buru di yang lahir atas perjanjian antara Balai regional Jawa-Bali dari 15 taman Besar Konservasi Sumber Daya Alam buru yang ada di Indonesia, (BBKSDA) dengan pihak Wanadri untuk Kawasan Konservasi Taman Buru Masigit pengelolaan TBMK. Darmanto, Wakil DiKareum-bi (TBMK) kini dapat menjadi rektur TBMK menjelaskan bahwa hiburan alam yang menarik bagi seluruh program tersebut turut melibatExplorer. Dengan menempuh perjalanan kan masyarakat di sekitar Kareumbi. selama dua jam dari Bandung “Sebagian besar pegawai yang menggunakan kendaraan bermotor, dipekerjakan di kawasan ini berasal dari pada kawasan di daerah Cicalengka, Desa Leuwiliyang. Selain dapat menguKabupaten Bandung ini Explorer dapat rus ladang, mereka juga dapat penghamelakukan aktivitas outbound di bumi silan tambahan dari bekerja di sini,” ujar perkemahan atauBayu rumah pohon di Yanuary Teks: Dimas Jarot & Dina Aqmarina Darmanto. tengah hutan pinus. Foto: Dimas Jarot Bayu Selain agar masyarakat mudah Explorer juga dapat melakukan mencari pekerjaan dari kawasan TBMK, aktivitas hiking yang telah direncanakan pria yang mulai mengelola TBMK sejak oleh pihak pengelola menuju kampung wisata Cigumentong atau menuju Curug 2009 ini juga menambahkan bahwa Sabuk dengan berjalan kaki. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lokal ini pula terdapat pula aktivitas bersepeda gu- ditujukan agar sedikit kemungkinan nung, bumi perkemahan, bersampan, masyarakat untuk merusak kawasan ataupun body board/tubing untuk konservasi dan bahkan ikut serta dalam proses pelestariannya. melengkapi kegiatan liburan Explorer. Pada kawasan TBMK terdapat Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan salah satu program yang pula program “Wali Pohon Masigittengah digalakkan dari keenam program Kareumbi” dan “Pemulihan Populasi
SAPHARA | 4
Buru dan Wisata Buru”. Program “Wali Pohon Masigit-Kareumbi” merupakan program penanaman dan penghutanan kembali dengan cara mengajak Explorer untuk melakukan pembibitan pohon. Dalam program ini, Explorer dapat membeli bibit seharga Rp50.000,per orang atau Rp100.000,- per komunitas dan menanamnya di areal konservasi dengan nama penanam dan garansi tiga tahun. Hanya saja, program penanaman ini hanya diadakan pada bulan November sampai Maret saat musim penghujan. Tapi, proses pemesanan dan pendaftaran Wali Pohon dapat dilakukan kapanpun karena sistem online yang sudah diterapkan pihak pengelola. Penanaman dan penghutanan kembali ini diadakan karena pihak pengelola melihat bahwa sekitar 750 Ha lahan yang berada di TBMK berada dalam kondisi kritis akibat penebangan. Pasalnya pada periode 1998 saat dikelola oleh PT Prima Multijasa Sarana, terjadi penebangan ilegal secara besar-
pemindahan tangan pengelolaan kawasan kepada Wanadri. Pada kawasan ini pula terdapat areal penangkaran rusa. Warman, Petugas Penjaga Penangkaran menjelaskan bahwa rusa yang ditangkarkan di wilayah TBMK ini dikembangbiakan untuk nantinya diburu atau sebagai makanan hewan karnivora di kebun binatang. Namun, hal ini belum dilakukan mengingat usia serta kuota rusa yang belum layak. “Saat ini rusa di sini masih tujuh ekor, nanti kalau sudah memenuhi kuota baru bisa diburu,” Ujar Warman. Program penangkaran dan perburuan rusa ini diadakan karena di-
rasa penting oleh pihak pengelola untuk direalisasikan mengingat hanya TBMK lah satu-satunya kawasan taman buru di regional Jawa-Bali dari 15 taman buru di Indonesia. Explorer dapat berkunjung melihat rusa yang ada dalam kawasan ini. Bahkan, Explore bisa pula ikut memberi makan rusa atau sekedar mengelus rusa yang ada di penangkaran ini. Bolehkah Rusa Diburu dan Diperdagangkan? Rusa merupakan hewan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan
Satwa Liar. Berdasarkan peraturan tersebut, bagi pelaku yang diketahui melanggar akan diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta. Lantas, bagaimana dengan perburuan dan perdagangan rusa yang dilakukan di TBMK? Ternyata hal tersebut tetap diperbolehkan mengingat rusa yang diburu dan diperdagangkan di kawasan TBMK merupakan rusa penangkaran. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar, rusa dibenarkan pemanfaatannya apabila merupakan rusa hasil penangkaran pada keturunan kedua, bukan rusa liar. Dengan kata lain, status dilindungi yang dimiliki oleh rusa hilang. Meski diperbolehkan, Darmanto menjelaskan bahwa tetap saja ada peraturan yang harus dipatuhi saat melakukan perburuan rusa di kawasan TBMK, misalnya membayar biaya perburuan, tidak menembak rusa yang masih bayi dan tidak menembak kaki rusa. “Bila ketahuan melanggar aturan t e rs e b u t , m a ka p e m b u r u a ka n dikenakan denda oleh pihak pengelola TBMK,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Wanadri. Syarat u ntu k melaku kan perburuan rusa di TBMK pun juga harus menjadi anggota Persatuan Penembak Indonesia (Perbakin) dan memiliki surat izin kepemilikan senjata pribadi. Hal ini serupa dengan syarat berburu yang dimiliki oleh Perbakin. Meki, anggota Persatuan Penembak Indonesia (Perbakin) sendiri menjelaskan bahwa tidak sembarang orang diperbolehkan untuk berburu. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan perburuan secara legal. “Kalau ingin berburu, harus mempunyai Kartu Tanda Anggota Perbakin dulu. Syarat mendapatkannya diantaranya harus memiliki izin kepemilikan untuk senjata pribadi, tergabung dalam anggota resmi klub Perbakin dengan memiliki sponsor anggota Perbakin minimal 5 tahun,” tuturnya.
SAPHARA | 5
DESA
Teks dan Foto: Nelly Yustika E.B.
JATINANGOR “GAK” BUTUH SAWAH Teks & Foto: Olfi Fitri Hasanah & Muhammad Rifqy Fadil
“Rumah indekos saya kan pakai pompa air, kedalaman sumurnya 15 meter yang merupakan kedalaman maksimal untuk kos-kosan biasa. Perhitungannya sih cukup untuk 24 kamar. Ternyata hanya cukup 14 kamar saja. Apalagi kemarau, susah dapat air. Katanya gara-gara air banyak diambil sama apartemen deket kosan saya di daerah Jalan Sayang,” ucap Ilman, Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang merupakan penghuni salah satu rumah kos yang terletak tidak jauh dari Apartemen paling besar di Jatinangor.
A
partemen tersebut hingga saat ini adalah satu-satunya apartemen yang telah berdiri tegak di Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Sebuah kawasan pendidikan di timur kota Bandung yang jaraknya hanya sekitar 7 km dari batas wilayah kota Bandung dengan Kabupaten Bandung. Nama Jatinangor sebagai nama kecamatan baru dipakai sejak lebih dari satu dekade yang lalu atau sekitar tahun 2000-an. Di masa penjajahan Belanda silam, Jatinangor merupakan hamparan perkebunan teh dan karet yang didirikan oleh Willem Abraham Baud pada tahun 1844. Perusahaan yang bernama Maatschappij tot Exploitatie der BaudLanden ini menguasai tanah seluas 962 hektar yang membentang seluruh Jatinangor hing ga kaki Gunung Manglayang , yang kini menjadi pembatas antara Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Bandung.
SAPHARA | 6
Kini, kawasan tersebut berubah menjadi sebuah kawasan pendidikan dimana berdiri beberapa institusi pendidikan tinggi, seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), Universitas Padjadjaran (Unpad), serta yang terakhir berdiri ialah Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berencana memindahkan sebagian besar kegiatan belajar mengajar dari kota Bandung ke Jatinangor. Dengan luas wilayah mencapai 26,2 Km², serta jumlah penduduk sebanyak 87.974 Jiwa (belum termasuk pendatang seperti maha-siswa, staff pengajar, dan pengusaha dari daerah lain), Laju Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Jatinangor termasuk tinggi secara relatif yaitu sebesar 2,04% per tahun (tahun 2007), melampaui rata rata Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten yang hanya sebesar 1,9 % per tahun. Berdasarkan data yang dirilis
oleh situs Kecamatan Jatinangor, pada Triwulan Kedua tahun 2009 tercatat sebagian besar wilayah jatinangor digunakan sebagai lahan pemukiman ataupun wilayah pengembangan kawasan pendidikan. Untuk wilayah pemukiman dan pengembangan kawasan pendidikan saja mencapai 1.217 ha atau 54,1% dari luas wilayah Kecamatan Jatinangor. Sedangkan sisanya berupa sawah dan kebun 615 ha atau seluas 27,3% luas wilayah, serta sisanya terdapat kolam 14 ha, Hutan akyat 273 Ha, Hutan Negara 130 Ha dan penggunaan lainnya 125,15 Ha. Ruang Terbuka Semakin Terdesak Semakin bertambahnya jumlah mahasiswa dari tahun ke tahun, mau tak mau membuat infrastruktur penunjang bagi mahasiswa menjadi hal yang logis. Merambahnya bangunan-bangunan permanen seperti rumah kos, apartemen, dan perumahan menjadikan daerah bagian di Kabupaten Sumedang
berkembang pesat dalam perekonomian. Penampakan kios-kios makanan, penyedia jasa cuci, serta penyewaan rumah kos di pinggiran jalan besar hingga gang kecil merupakan hal yang lazim ditemui. Dijadikannya Jatinangor sebagai kawasan pendidikan mendorong pula pesatnya pertumbuhan berbagai sektor. Apalagi ketika keberadaannya menggantikan fungsi ruang terbuka hijau termasuk lahan persawahan yang sebelumnya dengan mudah dapat ditemui.. Namun, hal ini kerap berimbas ke berbagai aspek lingkungan di Jatinangor. Prof. Dr. Udjianto Pawitro, M.Ars, staff pengajar Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Nasional, menjelaskan terkait impact dari berkembangnya wilayah Jatinangor, dari sebuah wilayah perkebunan hingga kini menjadi wilayah pendidikan dengan pembangunan yang pesat. “ Yang terjadi di wilayah Jatinangor dapat disebut sebagai fenomena pembangunan daerah Kampung Kota. Jumlah pendatang luar daerah meningkat, kebutuhan akan tempat tinggal pun mengalami hal yang sama,” ujarnya saat dihubungi (29/11) lalu. Ia melanjutkan, lahan-lahan d i m a nfa at ka n u nt u k m e m e n u h i permintaan kebutuhan hunian. Harga lahan akan meningkat, puncak akibatnya adalah pembangunan dikuasai oleh “Si Juragan” yang memiliki modal. Beberapa aspek yang harus diperhatikan seperti sosio-budaya, sosio-politik, dan sosio-ekonomi tidak lagi menjadi
pedoman. Namun, adanya pembangunan yang kurang memperhitungkan aspek-aspek tersebut dapat menyebabka n ket i d a ks e i m b a n ga n ko n d i s i lingkungan. “Seharusnya memang fenomena pembangunan kampung menjadi kota tersebut dapat dikontrol oleh pemerintah daerah yang berwenang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB),” tutup Udjianto saat dimintai komentar. Perlu Ada Perhatian Khusus Hal senada juga diungkapkan oleh Lioni Beatrix, Government Liaison Assistant International Organization for Migration (IOM) Bandung. Organisasi dunia yang bergerak dalam bidang transmigrasi bagi penduduk ini, melalui Lioni, mengatakan bahwa untuk kasus Jatinangor, dalam memberikan Izin Mendirikan Bangunan, pemerintah daerah harus sudah memperhitungkan seberapa solid tanah di lokasi tersebut layak didirikan bangunan. Termasuk soal makin potensi berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang secara perlahan tapi pasti mulai menggerogoti wilayah ini. Jawa Barat yang termasuk daerah rawan bencana menjadi pandangan lain dalam menyikapi pembangunan Jatinangor. “Dalam pembangunan itu ada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menjadi sebuah landasan. Selain itu, jika dikaitkan dengan potensi bencana, saya kira pemerintah daerah sudah memiliki kebijakan dalam mengeluarkan izin mendirikan bangunan,” singkatnya saat
menjawab pertanyaan via telepon seluler kepada Saphara awal Desember lalu. Banyaknya masalah terkait sosial dan lingkungan, seperti kasus dialirkannya limbah apartemen ke sumur-sumur milik warga, kualitas air yang dianggap mulai memburuk, jumlah RTH yang terus berkurang membuat awal Maret 2013 kemarin dikeluarkan Peraturan Bupati Nomor 12 tahun 2013. Salah satu isinya mengatur soal luas maksimum pemukiman serta luas minimum RTH. Untuk sisi utara Jatinangor misalnya, dipatok minimal 40 % luas wilayah harus terdapat daerah konservasi untuk resapan air. Menanggapi hal-hal tersebut, Wakil Bupati Sumedang sekaligus Pelaksana tugas Bupati Sumedang, H. Ade Irawan mengatakan, semua bangunan yang berdiri di Jatinangor telah mendapatkan izin pemerintah yang sebelumnya sudah dikaji dampak positif dan negatifnya. Pihaknya mengakui banyak hal yang diluar dugaan terjadi saat pembangunan di Jatinangor kebelakangan ini. “Kami terus membenahi terkait permasalahan-permasalahan tersebut. Tentunya hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk para mahasiswa yang tinggal di Jatinangor. Intinya, kami akan memulai pengkajian ulang dan penataan ulang Jatinangor, terutama soal tata ruang tersebut. Saya ingin Jatinangor jadi ikon Kabupaten Sumedang,”singkatnya kepada Saphara saat ditemui awal Desember lalu.
SAPHARA | 7
LINTAS KOTA
TEBING SIUNG
SURGA PEMANJAT TEBING DI YOGYAKARTA Teks: Tyas Dwi P. & Nelly Yustika E.B. Foto: Hafiyyan
Banyak yang mengatakan Yogyakarta adalah surga bagi pencinta budaya. Namun, sebenarnya masih ada surga lain yang tersimpan 70 km di selatan kota budaya ini. Surga itu bernama Tebing Siung, cocok untuk Explorer penikmat tebing alam dengan keindahan dan ratusan jalur yang dimilikinya.
B
eberapa waktu lalu Tim Saphara melakukan perjalanan ke Tebing Siung. Tim berangkat dari Bandung dengan menggunakan kereta malam Kahuripan tujuan Kediri yang berangkat dari Stasiun Padalarang. Setelah itu, tim turun di Stasiun Lempuyangan dan melanjutkan perjalanan pukul 09.30 WIB dari kota Yogyakarta dan tiba di Tebing Siung yang berlokasi di Kecamatan Tepus, Kabupaten Wonogiri pukul 12.20 WIB. Tidak ada kendaraan umum yang mampu mengakses tebing tersebut, jadi Explorer harus menyiapkan kendaraan jika ingin berkunjung ke sana. Berbeda dengan jenis batuan di tebing yang tersebar di Jawa Barat, jenis batuan tebing Pantai Siung adalah gamping. Jenis batuan ini terbentuk dari endapan laut dangkal dengan bahan utama material organik terumbu/cangkang hewan yang memiliki kalsium, kandungan kimia CaCo3 karena tektonisme
SAPHARA | 8
(pengangkatan). Tinggi tebing beragam, tapi tebing tertinggi di sini kurang lebih 15 meter. Tim Saphara menjajal beberapa jalur yang ada, dibuka dengan “Welcome to Siung” yang legendaris karena merupakan jalur pertama di tebing Siung. Jalur ini tidak tinggi, hanya tiga bolt. Namun tantangan langsung didapatkan karena di jalur ini terdapat overhang yang cukup menyulitkan. Cukup lama kami mengutakatik jalur ini dan berusaha melewati overhang. Bagi Explorer yang biasa “bermain” di tebing Jawa Barat seperti Citatah atau Gua Pawon, penyesuaian diri atas kontur harus dilakukan dengan cepat. Jenis batuan karang yang ada di semua jalur terasa mengiris kulit telapak tangan. Jalur selanjutnya yang tim jajal adalah sebuah jalur di blok D yang tak bernama. Lokasinya berada di rekahan dua tebing yang cukup sempit. Jalur ini
tak kalah menantangnya dengan “Welcome to Siung” karena terdapat belokan yang cukup tajam antar bolt. Dari semua jalur sebelumnya, jalur yang paling mudah dilalui terletak di Blok I. 1000 Jalur dan Polemiknya Saat ini diperkirakan ada 70 sampai 80 jalur permanen atau jalur sport dan beberapa jalur aid climbing (jalur yang tidak dipasangi pengaman hanger permanen) di Tebing Siung. Beberapa jalur yang ada di Tebing Siung ternyata termasuk dalam 1000 jalur yang dipasang oleh Tedi Ixdiana. “Dari 70-an jalur yang ada di Siung hampir 60 jalur tim kami yang membuatnya pada era 2001-2002,” ujar Tedi Ixdiana. Pembuatan jalur panjat di Tebing Siung termasuk dalam rangkaian ekspedisi pembuatan 1000 jalur panjat tebing untuk Indonesia. Dalam pembuatannya sendiri, menurut Tedi relatif ada yang sulit dan ada yang mudah.
Salah satu kesulitannya datang dari masyarakat di daerah Tebing Siung itu sendiri. Tedi menceritakan, awalnya ada beberapa penduduk yang kurang setuju dengan kedatangan mereka untuk membuat jalur pemanjatan di sana. Hal ini dikarenakan penduduk tersebut tidak tahu maksud atau tujuan dari pembuatan jalur tersebut. “Namun tim kami pada saat itu berupaya menyampaikan maksud dari pembuatan jalur kepada masyarakat setempat. Akhirnya bertahap mereka pun mengerti dan menyambut baik,” jelas salah satu pemanjat terbaik Indonesia ini. Lalu, bagaimana menurut ahli mengenai pemasangan alat panjat di tebing? Bombom Rachmat, salah satu dosen Fakultas Geologi Universitas Padjadjaran mengatakan kalau hanya sebatas memasang alat panjat di tebing tidak akan merusak tebing begitu saja. “Pemasangan alat pun hanya memiliki kedalaman 4 cm. Selama itu tidak merusak dan mengubah kestabilan tebing itu sendiri, ya tidak masalah,” ujar Bombom.
“ Berbeda dengan jenis batuan di tebing yang tersebar di Jawa Barat, jenis batuan tebing Pantai Siung adalah gamping
” Bombom juga menjelaskan, tidak ada tata cara khusus dalam memasang sebuah alat di tebing. Menurut Bombom, pemasangan alat di tebing menjadi pilihan terakhir para pamanjat bila di ketinggian tertentu sudah tidak ada rekahan tebing yang bisa digunakan lagi. Berkegiatan di alam menuntut kita untuk lebih arif dan bijak dalam menggunakannya. Jangan sampai kegiatan kita di alam bukan mengeksplorasi alam, tapi malah mengeksploitasi alam itu sendiri.
SAPHARA | 9
LAPORAN UTAMA
SAPHARA | 10
TAK BUAS LAGI LAUTKU Teks & Foto: Dhanang David Aritonang Dessy Indah W. Silitonga (Kontributor)
Hewan buas, musuh bagi para peselancar, perenang cepat, menakutkan, serta berdarah dingin, merupakan gambaran umum hiu, si predator laut di mata sebagian orang. Hiu yang menempati puncak rantai makanan seakan menjadi ancaman bagi hewanhewan laut lainnya. Namun, siapa sangka kini si predator laut semakin tidak berdaya, terbelit jala-jala manusia.
SAPHARA | 11
LAPORAN UTAMA
“Perdagangan hiu paling gencar terjadi di tahun 1998 sampai tahun 2000-an. Setelah kita sudah turun produksi ikan di laut dan krisis moneter sedang terjadi, nelayan mulai menangkap hiu untuk menutupi biaya melaut yang cukup besar di masanya,” ujar Alexander M. A. Khan, S.Pi, M.Si, selaku dosen Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Di dunia tercatat ada 1.044 spesies yang termasuk jenis hiu, 181 diantaranya tercatat dalam daftar terancam punah atau Red List milik International Union for Conservation of Nature (IUCN). Sementara 488 lainnya tidak memiliki data. Hiu diburu karena siripnya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sirip hiu tersebut diolah menjadi berbagai hidangan. Dalam kebudayaan Cina, sirip hiu menjadi sebuah barang yang mewah dan dapat diolah menjadi sup sirip hiu. Di luar negeri seperti di Jepang dan Taiwan, hiu ditangkap dan diperlakukan dengan cara yang tidak layak. Sirip hiu dipotong ketika hiu dalam keadaan
SAPHARA | 12
hidup dan hiu yang tanpa sirip tersebut dibuang kembali ke laut. Alhasil, hiu yang tanpa sirip tidak mampu berenang, berburu, maupun bertahan hidup hingga akhirnya mati tenggelam di dasar laut karena asfiksia akibat tekanan air laut yang tinggi. Di Indonesia, sejak tahun 1970, hiu sudah menjadi usaha sampingan nelayan dari usaha perikanan lainnya. Rata-rata nelayan menggunakan alat tangkap pancing rawai. Sedangkan tahun 1987 ketika harga sirip hiu berkembang cukup pesat, nelayan menjadikan hiu sebagai ikan komoditi utama untuk ditangkap dengan menggunakan alat tangkap seperti jaring insang apung (drift gill net), rawai permukaan (surface longline), rawai dasar (bottom longline) dan jaring hiu (dahulu dikenal sebagai jaring trawl). Pada tahun 1988 tercatat perdagangan sirip hiu di Indonesia sebesar 36.884 ton, dan tahun 2000 meningkat hampir dua kali lipat yaitu sebesar 68.336 ton. Oleh sebab itu, bisa dikatakan perdagangan sirip hiu paling massive terjadi awal tahun 2000 sekaligus menempatkan Indonesia
sebagai negara urutan teratas dalam pembantaian si predator laut ini. Indonesia termasuk dalam Coral Triangle di dunia. Selain Indonesia, negara seperti Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, Filipina, Kepulauan Salomon, Vietnam, dan Fiji masih menjadi bagian dari kawasan Coral Triangle tersebut. Coral Triangle adalah pusat kehidupan laut di dunia yang luas wilayahnya mencakup 6 juta kilometer persegi di beberapa kawasan laut di enam negara. Coral Triangle memiliki 76% spesies karang, 37% spesies ikan karang, dan spesies yang bernilai komersil seperti tuna, paus, lumba-lumba, pari, penyu, dan hiu yang menjadi predator utama mereka. (www.oseanografi.lipi.go.id. Oseana, Volume XXX, Nomor 1, 2005 : 1-8) Maka, kawasan Coral Triangle merupakan habitat utama hiu. Hiu berkembang biak dan mencari makan di sekitar karang di mana ikan-ikan kecil sebagai santapannya banyak terdapat di sana. Tak heran, kurang lebih 400 spesies hiu dari 1.044 spesies yang ada di dunia terdapat di Indonesia.
“
Hiu diburu karena siripnya yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sirip hiu tersebut diolah menjadi berbagai hidangan
” “ S e b e n a r nya ka re n a h i u merupakan hasil tangkap sampingan, tidak ada data-data yang pasti tentang berapa jumlah hiu yang diekspor maupun dikonsumsi oleh masyarakat. Hanya hasil tangkapan utama saja yang tercatat seperti tuna, cakalang, tenggiri, tongkol,” kata Alexander. Tamparan ombak, kerasnya benturan karang, dan tuntutan hidup yang semakin mencekik membuat nelayan semakin buas bahkan lebih buas daripada si predator laut itu sendiri. Kini, siapa yang tahu berapa jumlah mereka yang tersisa di lautan Nusantara. Semua masih menjadi misteri.
Akhir Cerita Predator Laut di Tangan Manusia Indramayu, Kabupaten yang terletak di Pantai Utara (Pantura), Jawa Barat, merupakan daerah yang memiliki armada nelayan terbesar di provinsi tersebut. Di balik kebesaran armada nelayannya, Indramayu ternyata menyimpan sebuah kisah pilu tentang si predator laut dan puluhan ribu nelayannya.
U
dara gersang khas daerah pesisir menemani perjalanan menuju ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong, Indramayu. Aktivitas rutin dan transaksi antar nelayan dengan para pengepul ikan sedang berlangsung pada saat itu. Berbagai hasil tangkapan seperti tongkol, tenggiri, dan cakalang menjadi komoditas utama para nelayan. Selain ikan-ikan yang menjadi komoditas utama nelayan, ternyata ada transaksi yang tidak lazim ditemui sebelumnya yaitu transaksi sirip hiu. Spesies hiu kepala martil (Sphyrna Lewini) merupakan jenis hiu yang siripnya paling banyak diperjualbelikan. Selain hiu kepala martil, ada pula hiu macan (Atelomycterus Marmoratus), dan hiu aron (Carcharhinus Amblyrhynchos) di TPI tersebut. Hiu-hiu berukuran 1-1,5 meter dikumpulkan ke dalam karung-karung hingga kemudian dijual kepada pengepul. Selain hiu dewasa, di tempat pelelangan tersebut juga menjual daging bayi hiu yang ukurannya masih 15-30cm. “Sirip-sirip ini akan dijual lagi ke daerah Jakarta karena permintaan terbanyak ada di sana. Harganya Rp25.000,00 per kilo jika belum diolah, namun jika sudah diolah bisa mencapai Rp1.500.000,00 per kilonya,” tutur Gunawan sebagai pengepul. Setibanya di daerah Jakarta, menurut Gunawan sirip-sirip tersebut akan diekspor lagi ke berbagai negara seperti Cina, Vietnam, dan Jepang. Meskipun hiu bukanlah komoditas utama, namun permintaan akan sirip hiu cukup besar karena harga jualnya yang sangat mahal. “Hiu-hiu ini tidak sengaja masuk ke jala kami. Sebenarnya jika hiu tersebut masuk ke jala kami, kami malah
rugi karena jala kami menjadi rusak. Hiu kan hewan agresif,” keluh Rusman, salah satu nelayan di TPI tersebut. Fakta lainnya mengatakan bahwa hiu-hiu tersebut sengaja ditangkap untuk memenuhi permintaan industri. Casim, mengaku sengaja menangkap hiu tersebut sebagai tangkapan utama. Ia mengaku adanya transaksi di tengah laut selain di TPI tersebut. Biasanya transaksi dengan orang-orang luar negeri seperti Singapura dan Filipina. Sekali berlayar, Casim dan rekan-rekannya bisa berada di laut satu hingga dua bulan lamanya. Cara menangkapnya, Casim menggunakan pancing rawai untuk menangkap hiu. Sistemnya ketika kapal berjalan, pancing dilempar dan hiu mengejar umpan yang ada di pancing tersebut. Casim bercerita keluh kesahnya sebagai nelayan. Ia harus menempuh perjalanan jauh selama berbulan-bulan hanya untuk mencari ikan dan harus terpisah dengan keluarganya di Indramayu. Resiko badai di laut yang menghantam kapal harus dilaluinya sebagai nelayan. S e b a ga i n e l ay a n , C a s i m mengaku tidak tahu mengenai populasi hiu yang terancam dan tidak pernah tahu kalau hiu adalah hewan yang dilindungi. Menurutnya belum ada sanksi tegas yang mengatur perdagangan sirip hiu ini. Namun ia tahu kalau di luar negeri sudah ada larangan tentang perdagangan sirip hiu yang membuat omzetnya menjadi menurun. “Kalau sekarang di Indramayu sudah mulai mengurangi. Alatnya pun sudah beda. Kita sekarang menggunakan jala nilon,” ujar Rusmadi selaku manajer TPI Karangsong. Sebelum menjadi manajer TPI, Rusmadi mengaku pernah menjadi
nelayan yang menangkap hiu sebagai komoditi utama. Dengan kapal ukuran 15GT (Gross Tonnage), Rusmadi berlayar hingga ke perbatasan Malaysia untuk menangkap hiu. Diakui Rusmadi, populasi hiu banyak di bulan November dan Desember karena banyaknya hiu yang melakukan migrasi. Sirip hiu harganya kini merosot karena di Cina sendiri sudah ada pelarangan. Proses pengolahan sirip hiu melewati beberapa tahap yaitu dijemur sampai kering, direbus, kulitnya dikupas, tulangnya dibuang, dan diambil seratseratnya yang berbentuk seperti bihun.
“ Sebagai nelayan, Casim mengaku tidak tahu mengenai populasi hiu yang terancam dan tidak pernah tahu kalau hiu adalah hewan yang dilindungi. ” “Jika dibandingkan dengan komoditas ikan yang lain, total penangkapan hiu tidak seberapa. Kalau di TPI Karangsong ada 80 ton ikan yang diturunkan dari kapal, paling hiunya hanya satu ton,” jelas Rusmadi. Jika dikalkulasikan dalam sebulan ada satu ton sirip hiu yang dikumpulkan dan dijual, maka omzetnya bisa mencapai 1,5 Milyar. Cukup untuk balik modal sekali berlayar yang menghabiskan total 400 juta rupiah itu.
SAPHARA | 13
LAPORAN UTAMA
NUSANTARA BELUM PEDULI PADA HIU “Yang menjadi urusan saya sekarang adalah bagaimana 39.000 nelayan di Indramayu bisa makan. Untuk perdagangan hiu sendiri belum ada kebijakan,” ucap Ir. H. Abdur Rosyid Hakim selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.
D
engan menggunakan pakaian santai di kediamannya, Abdur Rosyid menjelaskan bagaimana kepeduliannya terhadap keberlangsungan hidup nelayan-nelayan di Indramayu. Di matanya, Indramayu merupakan jantung perikanan di Jawa Barat karena hasil tangkapannya terbesar di provinsi tersebut. Ketika ditanya mengenai kebijakan serta peraturan perdagangan sirip hiu, Abdur Rosyid mengatakan, belum ada Perda yang mengatur perdagangan tersebut. Sosialisasi pun belum dilakukan dan pemahaman nelayan masih sebatas menangkap ikan dan menjualnya tanpa memikirkan dampak ekosistem. “Tidak ada kapal atau alat tangkap khusus yang digunakan untuk menangkap hiu. Jika ada, itu hanya usaha sampingan karena hiu bukan komoditas utama,” tutur Abdur Rosyid. Abdur Rosyid mengaku tidak masalah jika hiu diperjualbelikan selama hiu tersebut tidak sengaja tertangkap oleh nelayan. Ia menjelaskan di lautan ada yang disebut renewable resource. Renewable resource adalah sumber daya alam yang bisa diperbarui. Jika ikan ditangkap sesuai kebutuhan, maka populasinya akan stabil dan tingkat kepunahan bisa dihindari. Di Indramayu, tidak ada data pasti mengenai populasi hiu yang masih tersisa. Di Indonesia sudah menerapkan sistem Maximum Sustainable Yield (MSY) yang dihitung bukan dari per jenis ikan, namun dari luas wilayah penangkapan. MSY sendiri terdiri dari ikan wilayah pantai dan lepas pantai.
SAPHARA | 14
Sebenarnya sudah ada Perda yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap seperti pelarangan penggunaan pukat harimau dan bom untuk menangkap ikan. Namun kebijakan tersebut hanya berlaku untuk kelestarian terumbu karang, belum untuk hiu. “Nelayan kan butuh uang, dan mengeluarkan modal yang tidak sedikit untuk melaut. Hal itu yang tidak diketahui oleh LSM yang menyuarakan larangan untuk berdagang sirip hiu. Namun, jika LSM lebih mendominasi dan nelayan menjadi tidak bekerja, ya salah,” jelas Abdur Rosyid.
“ Di Indramayu, tidak ada data pasti mengenai populasi hiu yang masih tersisa ” Menurut Dr. Ir. Sriati, M.Si, dosen Fisheries Management and Population Dynamic di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran memang belum ada peraturan yang mengatur perdagangan sirip hiu ini. dari Peraturan Menteri (Permen) yang ada hanyalah peraturan perlindungan penuh terhadap Hiu Paus di Indonesia. “Pemerintah belum membuat peraturan yang mengatur regulasi perdagangan sirip hiu ini. Setiap nelayan sebenarnya diberikan surat izin penangkapan, namun jika ada hewan
yang dilindungi sengaja ditangkap, maka surat izin tersebut akan dicabut,” tutur Sriati. Sriati mengatakan bahwa baru ada Keputusan Menteri (Kepmen) mengenai Rencana Aksi Nasional Pencegahan Dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing tahun 2012-2016. Kepmen tersebut berisi pencegahan terhadap kegiatan melaut yang melanggar aturan seperti penangkapan ilegal, tidak ada laporan penangkapan, dan tidak ada regulasi penangkapan. Sementara, di Raja Ampat sudah terdapat Perda yang mengatur tentang penangkapan hiu spesies apapun. Hal tersebut tercatat dalam Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Larangan Penangkapan Hiu, Pari Manta, Jenis-Jenis Ikan Tertentu di Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat. Diakui Sriati bahwa Raja Ampat memiliki potensi pariwisata laut yang nilai ekonomisnya lebih tinggi dibanding perdagangan sirip hiu. Wajar saja, di sana pemerintahnya sangat peduli terhadap ekosistem laut. Majunya pariwisata di Raja Ampat akan menjadi pemasukan sendiri untuk keuangan daerah. Kenyataannya, masih banyak pemerintah baik pusat maupun daerah yang masih lalai dan kecolongan mengenai hal ini. Adanya polisi laut hanya sanggup melarang nelayan dari luar negeri untuk menangkap ikan di perairan Indonesia. Hal tersebut membantu ekosistem ikan laut khususnya hiu di Indonesia tidak dijarah oleh negara tetangga.
SAPHARA | 15
LAPORAN UTAMA
Kemampuan reproduksi yang rendah, pertumbuhan yang lambat, serta resiko kematian yang tinggi di setiap umur membuat hiu tidak dapat dieksploitasi secara sembarangan. Perlu adanya manajemen yang apik serta pengawasan yang ketat agar anak cucu kita kelak bisa melihat si predator laut ini berenang di laut.
Foto: Reza Rahmandito
SAPHARA | 16
Foto: Reza Rahmandito
“Tingkat permintaan industri tidak sebanding dengan tingkat reproduksi hiu. Perlu adanya penekanan permintaan di sini,” tutur Alexander M. A. Khan, S.Pi, M.Si, selaku dosen Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Alexander mengatakan bahwa prinsip ekonomi “di mana ada permintaan, di situ ada penawaran” berlaku dalam perdagangan sirip hiu ini. Jika masyarakat Indonesia bisa menahan diri untuk tidak mengonsumsi sirip hiu, maka produksi nelayan khususnya di Indramayu bisa berkurang. Masalah yang sedang dihadapi sekarang adalah ada beberapa nelayan yang tidak sengaja menangkap hiu dan minimnya informasi tentang angka populasi hiu tersebut. Sumber maupun jumlah produksi hiu yang masuk dalam perdagangan internasional sangat sulit terdeteksi. Publikasi tentang identifikasi hiu di Indramayu juga menyulitkan nelayan untuk mengenali jenis-jenis hiu yang hampir punah. “Dunia internasional sudah membentuk Shark Specialist Group (SSG) di tahun 1991 sebagai mediator untuk usaha konservasi hiu,” jelas Alexander. Menanggapi makin gencarnya konservasi hiu di dunia, pemerintah
Indonesia seperti Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), serta LIPI mulai concern terhadap konservasi hiu di negara ini. Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah Australia melakukan penelitian dan diharapkan dari kerjasama tersebut muncul sebuah rencana aksi untuk mengelola sumber daya hiu se-Indonesia.
“ Masyarakat harus ikut ambil bagian dalam kepedulian terhadap hiu ini ” Pemerintah sebenarnya sudah membuat program. Seperti sensus biota laut yang dilakukan oleh pusat penelitian Oseanografi LIPI, Institut Pertanian Bogor, Akuarium Air Tawar Taman Mini, serta pembudidayaan hiu gergaji di beberapa daerah. “Konservasi adalah masalah manajemen dan memerlukan waktu. Kepala Dinas Indramayu harusnya berpikir bahwa penangkapan hiu adalah fast money in the short term. Sampai berapa lama hiu tersebut dapat dieksploitasi untuk menampung kehidupan para nelayan,” ucap Riyanni Djangkaru, pendiri DiveMagz, serta pencetus
program SaveShark di Indonesia. Ketika ditemui di Seminar Jalanesia di Kampus Unpad Dipati Ukur, Bandung, Riyanni Djangkaru menuturkan bahwa tidak ada salahnya jika nelayan menangkap hiu untuk kebutuhannya sehari-hari. Namun, jika sudah masuk industri dan sirip hiu tersebut disalahgunakan melalui regulasi yang kacau, keserakahan, serta birokrasi yang rumit, maka semuanya akan kembali lagi kepada keuntungan pribadi. Terkadang orang sering berpikir jika ada kampanye yang dilakukan oleh LSM, seakan-akan LSM menghambat penghasilan nelayan yang menangkap hiu. Namun jika disadari sudah banyak kapal-kapal asing di tengah lautan yang siap untuk membeli sirip hiu dari nelayan kita. Sebuah kejahatan bisnis yang menakutkan. Selain ketegasan dari pemerintah, masyarakat harus ikut ambil bagian dalam kepedulian terhadap hiu ini. Tidak ada salahnya jika kepandaian ilmu yang dimiliki dapat berbanding lurus dengan kepedulian lingkungan yang sudah memberikan kehidupan sekarang, esok, dan seterusnya. Jangan sampai nantinya anak cucu kita tidak dapat merasakan buasnya laut Nusantara.
SAPHARA | 17
WISATA BUDAYA
ADU BAGONG,
PERGESERAN BUDAYA PEMUSNAHAN HAMA Teks & Foto: Dwy Anggraeni & Bonny Rizaldy
B
abi Hutan (Sus scrofa), atau yang akrab disebut Bagong oleh masyarakat Jawa Barat, adalah salah satu jenis hewan liar yang mudah ditemui di hutan-hutan yang terdapat di seluruh negeri ini. Jumlah bagong cukup banyak serta mudah ditemui di seluruh bagian negeri ini. Tetapi, binatang ini diangap sebagai salah satu organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan seharihari manusia, alias hama, sehingga seringkali merusak sawah dan perkebunan warga. Hal yang sama juga diamini masyarakat di Cikoneng, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dianggap kerap mengganggu perkebunan dan sawah milik warga, sejak beberapa dekade yang lalu muncul tradisi adu anjing dengan bagong, seperti yang terlihat pada Minggu, 8 Desember yang lalu. Kegiatan yang sudah mendarah daging sejak tahun 1960an tersebut telah menjadi tradisi bagi masyarakat Sunda setempat, dan secara umum oleh masyarakat Sunda di wilayah Bandung timur. Setiap akhir pekan di Cikoneng, Explorer akan dengan mudah mendengar suara menyalak anjinganjing petarung yang datang dari berbagai daerah, seperti Bandung, Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya. Kalau dihitung-hitung, setiap pekannya terdapat sekitar 40 ekor anjing petarung datang ke Cikoneng untuk “mengadu nasib� melawan para bagong. Secara historis, adu bagong dengan anjing ini awalnya bertujuan membunuh para bagong yang seringkali merusak tanaman di perkebunan dan sawah milik warga. Dan juga awalnya anjing-anjing yang diikutsertakan adalah anjing-anjing yang dipelihara oleh warga. Sekarang, tujuan dari permainan adu anjing dengan bagong telah bergeser, bukan lagi untuk saling membunuh, tetapi dikembangkan untuk melatih anjing agar lebih tangkas terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai lawan. Dan juga, anjing-anjing yang diikutsertakan bukan lagi jenis anjing kampung, tetapi kebanyakan anjing ras, yaitu anjing-anjing hasil biakan, seperti American Pit Bull Terrier misalnya, atau
SAPHARA | 18
lebih umum disebut anjing Pitbull. Biasanya, pemilik anjing tersebut menginginkan untuk melatih si anjing agar lebih tangkas terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai lawan. Bagong yang diadu dengan anjing pun kini tidak lagi dibiarkan sampai mati. Seiring berkembangnya zaman, bagong-bagong itu dipelihara di kandang. Apabila dalam prosesi permainan bagong terdapat luka-luka, maka pertandingan dihentikan serta bagong yang terluka ditarik masuk ke kandang diganti dengan bagong yang masih sehat. Teknis permainan ini pun dibuat cukup simple. Umumnya, setiap minggunya para pengelola kegiatan ini menyediakan tiga ekor bagong untuk diadu. Saat pengocokan nomor urut, pengelola mendapatkan 20 anjing pertama yang akan diadu dan saat itulah anjing dimasukkan satu persatu untuk melawan bagong
ini merupakan penyalur hobi bagi yang memiliki ketertarikan dalam kegiatan adu anjing dan bagong ini. Bagi warga setempat, permainan ini memberi-kan banyak dampak positif bagi mereka. Adu anjing dengan bagong dianggap memberikan warga seki-tar lapangan pekerjaan, seperti membuka usaha makan di wilayah permainan, membuka lapangan parkir yang bisa menjadi bahan pemasukan warga. Uang yang masuk dari lahan parkir nantinya akan dimasukkan ke dalam kas RW yang suatu saat dapat berguna untuk warga.
“ Sekarang, tujuan dari permainan adu anjing dengan bagong telah bergeser, bukan lagi untuk saling membunuh.
” Pro dan Kontra: Budaya vs Perikehewanan Tentang seni adu anjing dengan bagong ini, ada kritikan terkait dari International Animal Rescue (IAR). IAR beranggapan hal ini melanggar prinsip kesejahteraan satwa atau yang biasa disebut Animal Welfare. Adapun pengertian Animal Welfare ialah suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga berdampak ada peningkatan sistem psikologi dan fisiologi satwa.
yang sudah disiapkan. Batas lamanya anjing melawan bagong itu hanya gigitan selama 5 detik. Hal ini terus berlanjut sampai keadaan bagong mulai sangat melemah dan sudah terdapat banyak luka di badannya, lalu diganti dengan bagong yang lain Sempat ada kecurigaan potensi timbulnya perjudian dengan diadakan permainan ini. Tetapi ternyata kecurigaan tersebut tidak terbukti. Dalam permainan ini tidak ada unsur judi sama sekali. “Pengadu hanya perlu membayar Rp50.000,-. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk membeli bagong yang harganya berkisar Rp1.000.000,- per ekor dan upah kepada para pengelola kegiatan ini,” ujar Acu, salah seorang panitia permainan mingguan ini. Bagi masyarakat setempat, kegiatan ini memang sekadar hiburan. Untuk sebagian orang,
Hal tersebut juga berkaitan dengan Animal Rights atau Hak Asasi Hewan, yang ditafsirkan sebagai hak-hak dasar hewan untuk hidup layak serta bebas dari intervensi manusia. Hewan juga mempunyai hak mendapatkan perlindungan dan perlakuan baik oleh manusia seperti dalam perawatan, tempat tinggal, pengangkutan, pemanfaatan, cara pemotongan, juga cara euthanasia (suntik mati). “Tidak semua budaya bagus, tidak semua budaya bisa dihilangkan, tapi hal yang melanggar prinsip AW memang harus dihilangkan” tegas Indah Winarni, seorang Primatologist yang juga anggota IAR. Menurut dia, hal seperti ini kembali pada dasarnya kepekaan manusia terhadap satwa yang seharusnya dirawat dan diperlakukan secara layak. “Jika memang tidak bisa menghentikan budaya dan tradisi seperti ini, mencoba lah untuk tidak menonton pertunjukkan yang melanggar prinsipprinsip Hak Asasi Hewan tersebut,” pungkasnya menutup perbincangan singkat melalui telepon seluler saat dihubungi pertengahan Desember lalu.
SAPHARA | 19
HALAMAN Foto: M. Andika Putra
HARIMAU SUMATERA Asal : Pulau Sumatra Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan pasar gelap hewan ke luar negeri
ELANG Asal : Jawa, Sumatra, Kalimantan Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan sekitarnya
KUKANG Asal : Jawa Barat Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa
LUTUNG JAWA Asal : Jawa Timur Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan Sumatra
KERA EKOR PANJANG
Asal : Jawa Timur Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan Sumatra
SAPHARA | 20
NURI KEPALA HITAM Asal : Indonesia timur (Papua dan Maluku) Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa
KASTURI TERNATE Asal : Ternate, Papua Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa
KAKATUA PUTIH LUMBA - LUMBA Asal : Di seluruh perairan di Indonesia Bentuk eksploitasi : Dijadikan hewan sirkus Tempat tujuan eksploitasi : Arena atraksi Lumba - lumba
Asal : Maluku HIU Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan Asal : Di seluruh perairan di Indonesia Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa, Filipina Bentuk eksploitasi : Dijual siripnya Tempat tujuan eksploitasi : Pulau Jawa, Sumatra, Indonesia Timur
Foto: google.com
SAPHARA | 21
ACARA Kukumbang merupakan potensi utama yang menjadi daya tarik, karena
Himakova juga berhasil menemukan 64 jenis burung.
Seminar Nasional
Ekspedisi Himakova IPB Teks & Foto: Dwi Desilvani
Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), salah satu himpunan profesi di Institut Pertanian Bogor mengadakan kegiatan Seminar Hasil Ekspedisi Himakova. Seminar nasional yang dihadiri 302 orang ini diadakan pada Sabtu, 30 November 2013 lalu di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), kampus IPB Dramaga.
E
kspedisi tersebut ialah ekspedisi Rafflesia (Eksplorasi fauna flora dan ekowisata Indonesia) dan ekspedisi Surili (Studi konservasi lingkungan), yang memang dilakukan Himakova tiap tahunnya. Ekspedisi Rafflesia dilaksanakan di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti, Jawa Barat sedangkan Ekspedisi Surili dilaksanakan di Taman Nasional Manuela, Maluku. Ekspedisi Rafflesia yang dilaksanakan pada tanggal 23 Januari - 1 Februari 2013 itu mendapatkan hasil penemuan. Hasil penemuan tersebut adalah 13 jenis mamalia, 44 jenis burung dari 19 famili di camp selatan dan 47 jenis di camp utara, 21 jenis herpetofauna dari 8 famili (4 famili reptilia dan 4 famili amfibi), 75 jenis kupu-kupu dari 5 famili, dan Kelompok Pemerhati (KP) flora memperoleh hasil indeks keanekaragaman spesies (H') 3.854 (tergolong tinggi). Melalui Ekspedisi ini pula, KP Flora berhasil menemukan 49 bunga Rafflesia Patma Blume. baik berupa kenop (kuncup), mekar, maupun yang sudah membusuk. Penemuan ini merupakan catatan baru untuk Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dan ilmu botani. Selain data hasil dari flora dan fauna ada pula KP ekowisata yang memperoleh beberapa lokasi yang berpotensi untuk ekowisata, yaitu: Batu Kukumbang, Gua Landak dan Sodong Karnan, Gua Cisela, Gua Sodong Parat. Batu
SAPHARA | 22
sepanjang jalan menuju lokasi dapat dijumpai batu-batu yang mempunyai ketinggian hingga tiga meter dan terdapat bekas jejak kaki Prabu Kian Santang di salah satu batu. Lalu, Ekspedisi Surili dilakukan pada tanggal 22 Juli- 15 Agustus 2013, dengan tema “Memahami Perubahan Iklim dalam Konteks Keanekaragaman Hayati dan Pengetahuan Lokal di TN. Manusela, Maluku”. “Surili tahun ini istimewa terkait lokasi dan tema. Maluku adalah lokasi kegiatan Surili terjauh selama satu dekade (Surili 2013 merupakan Surili ke11) kegiatan Surili. Pemilihan perubahan iklim sebagai tema juga memberikan tantangan tersendiri, karena di Indonesia isu-isu perubahan iklim jarang dikaitkan dengan keanekaragaman hayati maupun kawasan konservasi,” ucap salah satu dosen DKSHE, Fakultas Kehutan IPB yang akrab dipanggil Bu Ina. Ekspedisi Surili mendapatkan hasil penemuan. Diantaranya KP flora berhasil menemukan 16 spesies tingkat pohon, 3 spesies tingkat tiang, 16 spesies tingkat pancang, dan 19 spesies tingkat semai, dan 3 spesies tumbuhan bawah. KP Mamalia berhasil menemukan 10 jenis mamalia, yang paling menarik adalah ditemukannya satwa khas wilayah peralihan, Kuskus belang (Spilocuscus maculatus) dan kuskus kelabu (Phalanger orientalis). KP burung
KP herpetofauna menemukan 18 jenis yang terdisi dari 5 jenis amfibi dari 4 famili dan 13 jenis reptil dari 6 famili. KP kupu-kupu yang berada di camp utara menemukan 43 jenis kupu-kupu dari 5 famili dan camp selatan menemukan 16 jenis dari 3 famili. Berdasarkan kajian etnobiologi (etno-botani dan etnozoologi) yang dilakukan oleh KP flora menunjukkan masyarakat memanfaatkan 33 jenis tumbuhan sebagai obat, 54 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan kontruksi bangunan, dan 13 jenis tumbuhan lain dikategorikan sebagai tumbuhan bermanfaat. Berdasarkan kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat, diketahui juga adanya sasi, yaitu berupa peraturan tidak tertulis di masyarakat yang turut menjaga kelestarian hasil hutan. Selanjutnya, KP gua, berhasil menemukan 12 gua yang tersebar di Resort Sawai-Maihulan dan Re s o r t Ka n i ke Ta m a n N a s i o n a l Manusela. Nah, Explorer, hasil penemuanpenemuan dari ekspedisi Himakova inilah yang dipublikasikan lewat seminar nasional ini. Diakui Agung Gunadi Andrian selaku ketua pelaksana seminar, publikasi penemuan hasil ekspedisi ini sangat penting karena harus diketahui teman-teman kampus dalam mengenal lingkungan.
Unjuk Gigi Riverboarder Dunia Teks: Olfi Fitri Hasanah
S
eluncur sungai atau Riverboarding kini tengah menjadi salah satu cabang olahraga ekstrim yang mencuri perhatian melalui diadakannya The First Riverboarding World Competition. Indonesian Riverboarding Association (IRA) dan Face Level Industries menggelar ke-juaraan dunia pertama tersebut di Sungai Citarum, daerah Bantar Caringin, Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat, 6-10 November 2013 lalu. Perhelatan diadakan sekaligus sebagai kampanye agar pemerintah serius membersihkan sungai yang disebut terkotor di dunia itu. "Ini yang pertama bisa kumpulkan riverboarder sedunia dari lima benua," kata Rahim Asik BS, ketua panitia acara. Ia mengharapkan acara tersebut dapat memajukan olahraga selancar sungai di Indonesia dan kondisi sungai Citarum. Tercatat ada 60 peselancar sungai dari 10 negara, seperti Indonesia, Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Afrika Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Mereka kebanyakan para pemegang gelar juara nasional selancar sungai di negaranya, termasuk peselancar legendaris. Ajang kali ini menggelar empat nomor, yaitu slalom, boardercross, freestyle surfing, dan endurocross
dengan total hadiah Rp 50 juta. Kejuaraan dunia pertama pada pengujung tahun 2013 ini menjadi pembuktian kemampuan para riverboarder dunia. Peserta asal Prancis menguasai lomba tersebut. Pada juara umum kategori lelaki, peselancar muda Bob Lataste menjadi kampiun dengan nilai 300. Juara umum kedua Gaultier Lebegue yang mengantongi nilai 210, sedangkan juara umum ketiga diperoleh Tristan Guyard dengan nilai 200. Semua peselancar asal Prancis itu merupakan juara sejumlah lomba riverboarding di negaranya. Di peringkat bawah, tercatat nama peselancar asal Indonesia yaitu Yudi Nurdiyanto di peringkat ke-4 dengan nilai 100, lalu Edi "Buaya" Haryanto di posisi ke-5 dengan nilai 75, dan Yvan Kopczynski dari Prancis di posisi ke-6 yang mengantongi nilai 50. Peselancar wanita asal Prancis pun menguasai jalannya lomba. Gelar juara umum pada posisi pertama diraih Marine Schmitt, kedua Adeline Hachet, dan juara umum ketiga Leonard Aude. Sama seperti rekan lelaki senegaranya, mereka menyapu bersih juara nomor slalom, boardercross, dan endurocross. Khusus Adeline Hatchet dan Marine Schmitt, mereka juga melengkapi pres-
tasinya dengan juara kedua dan ketiga di nomor gaya bebas (free style) di kategori wanita. "Slalom dan boardercross itu nomor favorit di Prancis, peselancar Indonesia dan negara lain masih sulit bersaing," kata tim ofisial dari kelompok Banyoo Woong, Tri Haryanto. Adapun peselancar sungai asal Indonesia, sebagai empunya hajat, secara mengejutkan berjaya di nomor gaya bebas (free style). Seluruh juara di nomor itu disapu bersih oleh Yudi Nurdiyanto sebagai juara pertama, Edi "Buaya" Haryanto juara kedua, dan Hermawan Sutanto di posisi ketiga. "Teknik peselancar kita di free style lebih bagus, menguasai medan, dan dapat banyak dukungan penonton," jelas Rahim. Indonesia juga menoreh juara umum di peselancar kategori junior. Melki Oktavian menjadi kampiun dengan nilai 300, Luki Hidayat di posisi kedua setelah mengumpulkan nilai 185, dan juara ketiga M. Ramdhan Rudiana dengan skor nilai 120. Tak lupa jargon yang selama 5 hari senantiasa digaungkan para lakon riverboarding di Citarum “Salam Sejajar!�.
SAPHARA | 23
Foto: Dimas E. Sembada
The First World Riverboarding Championship
FOTO ESSAY
Prolog: Foto-foto setelah ini akan sedikit menceritakan bagaimana kisah mereka dibantai. Lokasi: Tempat Pelelangan Ikan Karangsong, Indramayu.
FOTO ESSAY
Memakan sirip hiu, dulunya tradisi, kini menjadi industri. Atas dasar itu, hiu mulai dikupas habis.
FOTO ESSAY
Nantinya, sirip mereka akan dibawa ke tengkulak-tengkulak pengepul sirip hiu. Dengan harga Rp25 ribu per kilo, pengolah masakan sirip hiu mampu mendapat untung puluhan kali lipat.
SAPHARA | 28
Inilah akhir cerita si predator laut di tangan manusia. Kerasnya tamparan ombak dan tuntutan hidup yang semakin mencekik, membuat nelayan semakin buas, bahkan lebih buas dari si predator laut ini sendiri. Sekian. Foto: Dhanang David Aritonang
SAPHARA | 29
OPERASI
7
PRINCIPAL OF LEAVE NO TRACE Teks & Foto: Dimas Jarot Bayu
Dalam berkegiatan di alam bebas, alangkah baiknya bila kita mengikuti etika-etika yang ada. Seven principal of leave no trace merupakan prinsip etika yang lebih menekankan pada sikap dan kesadaran terhadap lingkungan dan sosial dibandingkan pada peraturan yang mengikat. Berikut ini adalah penjabaran prinsip tersebut:
SAPHARA | 30
1. Masterplan: Perencanaan dan persiapan yang matang. Travel and camp on durable surface: Tempat berkemah yang baik ditemu-
2. kan, bukan dibuat, berjalan pada jalur yang sudah ada. 3.
Dispose of waste properly: Kurangi penggunaan barang yang menimbulkan sampah.
4.
Leave what you find: Jangan membawa barang yang ditemukan di hutan seperti binatang atau tumbuhan, jangan melakukan vandalisme.
5.
Respect wildlife: Menghormati kehidupan alam dengan tidak merusaknya.
6.
Minimize campfire impacts: Menggunakan api unggun berdasarkan prinsipnya sehingga meminimalisir kebakaran.
7.
Be considerate of other visitors: Sopan santun saat melakukan perjalanan dan mematuhi adat istiadat yang berlaku di sebuah lokasi.
SAPHARA | 31
KATA KITA
“Jika saya diposisikan sebagai pebisnis dengan kondisi yang ada saat ini, saya mungkin akan setuju-setuju saja dengan eksploitasi tersebut. Sebab realistis saja, itu menguntungkan. Tetapi saat ini saya adalah seorang rakyat biasa, tentu saja saya menentang para pelaku eksploitasi tersebut,” Dezky Oka, Sekolah Bisnis Manajemen ITB
Di tahun 2013 banyak sekali eksploitasi hewan dan lingkungan yang terjadi di tanah air ini, Indonesia. Tentunya eksploitasi tersebut memberikan dampak negatif untuk kelangsungan hidup ekosistem. Lalu, apa kata mereka mengenai eksploitasi hewan dan lingkungan ini? Berikut Saphara merangkumnya dalam Kata Kita.
“Untuk kasus satwa langka, seperti pembasmian Orangutan karena dianggap hama, semestinya perlu disadari bahwa mereka juga ciptaan Tuhan. Terkadang manusia memang suka memikirkan diri sendiri. Semestinya mereka bisa bertindak lebih bijak, seperti jika ada satwa-satwa liar yang tergolong langka menyerang pemukiman, mengapa tidak ditangkap lalu dibius, atau diamankan terlebih dahulu. Hukum yang mengatur, saya rasa memang sudah ada tetapi pemerintah belum bersikap tegas,” Fikri Maulana, Aktivis BEM Unpad
Teks: Ariel Driantoro & Andhika Soeminta P
“Tindakan eksploitasi satwa dan lingkungan semestinya tidak dilakukan oleh manusia. Untuk eksploitasi satwa langka misalnya, perlu dibangun kesadaran kepada masyarakat bahwa satwa-satwa tersebut adalah makhluk yang perlu diproteksi keberadaannya,” Wiraditma Prananta, Hubungan Internasional Fisip Unpad
SAPHARA | 32
“Menurut saya perlu dibedakan antara eksploitasi hewan dan lingkungan sebatas untuk budaya, dan yang untuk kepentingan komersil. Misalnya, budaya perburuan ikan Hiu di Papua tentu tak mengganggu ekosistem tersebut. Tetapi yang justru berbahaya ialah eksploitasi massal. Pasti kita bisa membedakan mana yang bertujuan melestarikan kebudayaan, mana yang untuk keuntungan pribadi,” Aris Arianto, Jurnalistik Fikom Unpad
“Di Indonesia sendiri hukum pembalakan hutan sudah ada, tapi pelaksanaannya belum efektif. Padahal negara berkembang kayak Indonesia tingkat eksploitasi hutannya tinggi. Organisasi internasional yang fokus sama masalah ini ada WWF. Saya rasa perlu ada hukum internasional sendiri tentang illegal logging karena udah melibatkan banyak aktor dan bisa menyebabkan masalah global, climate change atau global warming contohnya. Sulit ditangani kalo negara cuma bertindak sendiri-sendiri,” Ziya Pranandia, Hubungan Internasional Fisip Unpad
“Masih melakukan eksploitasi hewan dan lingkungan, karena dengan alasan melestarikan budaya misalnya, menurut saya sudah sangat tidak relevan untuk saat ini. Misal untuk budaya berburu rusa untuk dikonsumsi, kalau sekarang kan sudah banyak daging-daging yang dikonsumsi secara masal seperti sapi, kambing, ayam, dan lain-lain. Mengapa masih melakukan eksploitasi terhadap hewan hewan yang dilindungi?” Nur Khansa Ranawati, Jurnalistik Fikom Unpad
“Untuk Eksploitasi Satwa Langka, ya pemerintah masih kurang tegas dan masih banyak oknumoknum yang memanfaatkan satwa langka untuk keuntungan pribadi. Jelas disini pemerintah harus tegas. Untuk eksploitasi lingkungan sendiri, itu sudah sangat basi. Banyak lembaga-lembaga berkedok aktivis pemerhati alam tapi tak lebih dari mengejar keuntungan semata, bukan karena hati yang bersih,” Mochamad Dwi, Teknologi Pangan FTIP Unpad
“Eksploitasi baik satwa langka maupun lingkungan telah benar-benar merugikan negara. Apalagi eksploitasi lingkungan seperti pembalakan liar, jelas-jelas hanya menguntungkan pengusaha saja. Dampak negatifnya ujung-ujungnya berimbas ke masyarakat tempatan. Pemerintah juga seolah acuh tak acuh. Untuk eksploitasi hewan misalnya, jika terus-terusan tak ada tindak tegas dari pemerintah, bisa-bisa makin banyak yang punah,” Yudhanto Dewo Giribowo, Agribisnis Faperta Unpad
Foto: Dok. Pribadi
SAPHARA | 33
BUAH PENA
Lebih Indah dari Diskon di Mall Oleh : Nadia Septriani
B
andung, kota yang sudah banyak memiliki perubahan. Bangunan sudah menjulang tinggi di sisi kota. Suara klakson mobil dan motor terdengar dimana-mana. Tapi masih asyik untuk dikunjungi. Para pelancong dengan plat nomor B, E, Z, dan lainnya sering datang ke Kota Kembang untuk berwisata. Entah wisata kuliner maupun wisata budaya. Sudah merupakan hal yang lumrah jika akhir minggu dipadati dengan kendaraan bermotor. Plat nomor polisi B yang paling mendominasi. Ya, mereka dari Jakarta yang mungkin datang ke Bandung untuk melepas penat dari hiruk pikuk Ibu Kota Negara Indonesia. Aku salah satunya, maksudku kami. Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke Bandung dengan tujuan mengeksplorasi kuliner di Bandung. Di jalan-jalan protokol Bandung banyak sekali yang menjual aneka jenis makanan. Uniknya, makanan disini seperti sebuah seni yang lezat di mata, dan lezat di mulut. Para seniman kuliner ini mampu menciptakan makanan yang mungkin orang-orang awam tidak pernah pikirkan. Risol pelangi, sale pisang dengan berbagai rasa, keripik singkong pedas dengan tingkat kepedasan yang bervariasi, dan masih banyak lagi. Tapi untuk wisata kuliner kali ini, kami akan mengeksplorasi makanan khas Bandung. Bajigur, batagor, karedok, es lilin, es goyobod, mie kocok, mie yamin, memikirkannya saja perutku langsung berbunyi keras. “Laper neng? Keras amat bunyinya hahaha,” celetuk Vira yang kemudian membuat semua orang di mobil ini tertawa. Oh Tuhan, aku malu. Kami sudah sampai. Aku tidak tahu pasti ini dimana. Sepanjang perjalanan mataku asyik melirik kota ini. Tapi yang aku tahu, di sini dingin, saking dinginnya setiap kali aku bernapas, aku mengeluarkan uap. Pintu mobil terbuka dari berbagai sisi, satu persatu dari kami turun. Selamat datang di..... “Lembang!” teriak Icha. “Ke kebun stroberi tante gue dulu ya. Kapan lagi coba makan stroberi langsung dari pohonnya.” “Gak jadi wisata kuliner bajigur blablabla?” ujar Diana. “Nanti malem aja. Nikmatin dulu nih stroberi fresh from the oven.” Ini, menakjubkan. Hanya gunung dan pepohonan sejauh mata memandang. Tuhan, ini lebih dari luar biasa. Tidak asyik jika memetik stroberi langung dari kebunnya tapi tidak foto-foto. Pose ini itu. Angle sana sini. Yap, langsung kami unggah ke instagram. Tak lama mengunggah, like berdatangan. Berbagai Comment terlihat. “Ini di mana?” “Seru banget!” “Mau dong dibawain.” Scroll scroll timeline. Terpaku pada satu foto dengan pemandangan lautan bintang. Ini Gunung Batu. Bandung? “Cha, cha!” teriakku keras. Icha tidak kunjung menengok. Kalau sudah begini, gak lain gak bukan, harus disenggol makhluk Tuhan yang satu ini. “Plis kesini. Ini di Bandung juga, di Gunung Batu katanya.” “Apaan, Lid? Apaan? Lihat dong lihat!” Satu persatu mulai berdatangan ke arahku, Diana, Oliv, Tiara, dan Sasa. Gadgetku yang satu ini ditarik paksa. Dioper kesana kemari. “Wah, ini keren banget! Kita harus kesini!” Oliv berkomentar. “Oh iya itu Gunung Batu, memang bisa liat lautan bintang sih disitu................” Icha menjelaskan ada apa saja di Gunung Batu, apa yang bisa dilihat dan dinikmati. Terdengar seru. .....
SAPHARA | 34
Dari Utara ke Selatan, macet sana sini, nyasar kesana kemari. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dingin. Hanya ini yang ada di pikiran dan yang kami rasa. “Ini dia, Gunung Batu, Wanita Jakarta. A good place to enjoy the night with a thousand stars. Eh tapi, mendaki dulu, baru bisa liat deh tuh lautan bintang,” ucap Icha pasrah. Mendaki gunung? Dengan outfit flat shoes, hot pants, tanpa jaket dengan udara sedingin ini? “Guys, gue anak mal. Bukan anak gunung. Ngerusak sepatu gue nih. Baru beli kemarin,” ujar Tiara dengan nada sebal. “Kita udah kesini ya guys. Balik lagi ke Lembang? Udah nyasar dan nanya sana-sini? Cuma buat liat 'Oke ini gunung batu'. Oke kita pulang. Mind taking my place and driving that car?” jawab Icha ketus. “Gak ada salahnya nyoba kan. Ini kan pilihan kita tadi guys,” jawab Diana. “Ya gue kira kan gak harus mendaki gunung seperti anak gunung. Gue kira langsung sampai ke atas gitu. Kalau tau gitu mah mending gausah kesini,” Tiara segera melanjutkan dengan nada kesal. “Gue di mobil aja deh.” “Gak jamin deh ya lo bakalan aman di dalam mobil. Kena rampok gue angkat tangan ya. Sampe mobil gue dirampok, lo yang ganti, Tir. Enak banget nyuruh kesana kemari giliran udah dianterin malah minta balik. Dikira gak capek apa bawa 6 cewe yang badannya pada kayak babon. Hargain gue kek.” Ini bukan suasana yang bagus. Icha yang sudah tampak lelah mengendarai mobil dari Jakarta ke Lembang lalu dari Lembang Utara ke Lembang Selatan dengan jalan yang berliku-liku mulai memuncak emosinya. “Hah, apaan? Babon? Idih sadar diri lo,” Tiara membalas dengan emosi. Ini benar-benar bukan suasana yang bagus. “Yaudah deh ya. Mending kita naik ke atas. Ada yang lagi kemah di atas kayaknya,” lanjutku. “Lidya bener. Plis ini bakalan seru kalau sudah naik ke atas. Lecet dikit tidak apa-apa lah. Sepatu rusak beli lagi. Jangan kaya orang susah deh. Beli sepatu tinggal beli. Kasian Icha juga kan udah bawa mobil,” Sasa melanjutkan. Sejenak kedua orang tadi mereda emosinya. Kami tetap memutuskan untuk pergi mendaki. Tidak tinggi sebenarnya tapi tetap saja ini namanya mendaki. Banyak bebatuan. Hanya suara jangkrik yang kami dengar. Ilalang menemani pendakian kami. Gunung Batu sebenarnya tidak tinggi, tapi medannya cukup membuat kami lecet di sekujur kaki dan lengan. Ditambah dengan udara dingin dan kami berpakaian seperti ini. Tiara dan Icha terus menyindir satu sama lain. Siapa yang tidak lelah mendengar itu. Aku, Diana, Oliv, dan Sasa terus memisahkan mereka, mencoba meredakan mereka. Hanya dibekali satu senter membuat kami sering terpeleset. Kotor sudah pasti. Keluhan sudah terdengar dimana-mana. Ini dia puncak Gunung Batu. Oh Tuhan. Ini surga dunia. Kami berenam hanya diam ternganga. Udara dingin sudah kami abaikan. Pemandangan ini lebih indah daripada diskon dan cuci gudang di mal. Kerlap-kerlip lampu Bandung ada di mata kami. Langit menyambut kami dengan kerlap-kerlip bintang. Lautan bintang dari Bandung dan langit menyatu. Ini lebih dari night with a thousand stars. Tiara dan Icha tertawa sejenak. Mereka terlihat bodoh dengan menatap satu sama lain. “Gue gak tau ternyata bayaran baju kotor, sepatu rusak, kaki lecet, rambut lepek, bau ketek dimana-mana, itu kayak gini.” Tiara sambil menunjuk kota Bandung di bawah kami. Kota Bandung terlihat kecil dari atas sini. “Indah banget. Sorry ya Cha yg tadi. Kaya anak kecil banget gue.” Kami berempat hanya tertawa mengingat kelakuan mereka 30 menit yang lalu. Mereka berdua pun ikut tertawa, mungkin malu dengan tingkahnya tadi. Tak lama kemudian udara dingin menyergap tubuh kami. Sebenarnya sudah daritadi, hanya saja kami tahan-tahan. Di ujung sana ada anak-anak pecinta alam. Bermaksud meminta sesuatu untuk menghangatkan tubuh kami. Entah berapa suhu yang ada di sini. Dinginnya membuat gigi kami bergetar. Dengan gaya yang jagger, anak-anak pecinta alam itu membuat kami takut. Mereka tampak tidak bersahabat. Setelah melihat keadaan kami yang seperti ini, salah satu dari mereka mengahampiri kami. Mungkin tahu kalau kami sudah kedinginan. Dengan hangat kami diajak untuk bergabung bersama mereka. Minuman hangat, jaket, sleeping bag, mereka menyambut kami dengan ramah. Badan Security tapi hati Hello Kitty, begitu anak gaul zaman sekarang menyebutnya. Ucapan terima kasih dan obrolan malam yang hangat menyertai kami berenam dan anak-anak pecinta alam tersebut. Kami diizinkan tidur di dalam tenda mereka. Malam terasa lebih mengagumkan. Malam ini jauh lebih indah dari apapun itu. Mulai dari pemandangannya hingga pengalamannya. Satu, buat menyegarkan mata itu tidak harus di mall dan menghabiskan banyak uang, uang orang tua. Dua, jangan pernah pakai hot pants ke gunung. Ya meski di film-film banyak terlihat orang-orang luar naik gunung dengan hot pants. Tiga, jangan pernah pakai flatshoes ke gunung, sepatu rusak sudah tentu dan kaki tentu pegal. Empat, jangan pernah menyerah sama keadaan yang belum dilewati, coba dulu. Kalau masih bisa berkeluh kesah, berarti masih bisa berusaha. Lima, awalnya aku mengira anak gunung itu brutal. Ternyata mereka baik dan hangat. Don't jugde the book by its cover, ever.
SAPHARA | 35
REFLEKSI
HIU,
SI SERAM YANG (MUNGKIN) AKAN TINGGAL KENANGAN Oleh: Herlina Agustin, MT Ketua Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad dan Anggota Dewan Penasihat Profauna
H
iu, hewan pemakan daging yang hidup di laut lepas. Dianggap sebagai pemangsa manusia yang berenang atau berselancar di laut, menghabiskan ikanikan milik nelayan, dan hewan bergigi tajam yang menakutkan. Namun sesungguhnya hewan laut yang ditakuti itu menjadi incaran nelayan pemburu di seluruh dunia. Mereka diburu untuk suatu menu masakan bernama sop hisit, menu yang dibuat untuk memuaskan selera manusia, sebagai spesies teratas dalam rantai makanan. Hiu, mamalia besar yang ditakuti manusia, yang telah hidup jutaan tahun lamanya melawan kepunahan di jaman dinosaurus, kini menghadapi suramnya masa depan. Diburu oleh manusia yang hanya mengejar siripnya saja. Sepertiga dari 468 jenis hiu diketahui menghadapi isu kepunahan. Perburuan hiu biasanya hanya dilakukan oleh kapal ikan minimal berukuran 10 ton. Mereka
SAPHARA | 36
umumnya menggunakan alat tangkap muroami, sejenis jaring besar yang dapat memerangkap segala jenis ikan, termasuk hiu. Jaring sejenis ini kini mulai dilarang oleh pemerintah, dan tentu saja menuai protes dari kalangan nelayan. Hiu yang ditangkap di Indonesia umumnya berjenis hiu kepala martil, hiu asap, dan hiu macan tutul. Yang terbesar dalam jenis ini adalah hiu kepala martil. Dalam sebuah penangkapan di Tanjung Pandan, Belitung, pernah ditangkap seekor hiu martil dengan berat 200 kilogram. Sekali lagi, dalam perburuan ikan hiu, yang paling banyak diincar hanyalah siripnya saja. Harga sirip hiu memang mahal. Harga sirip mentah sebelum diolah tergantung besarnya. Ukuran 6 cm hingga 14 cm dihargai Rp. 375.000,- sementara yang sudah diproses berharga Rp. 950.000 per kilogram. Semakin besar sirip hiu ini semakin mahal harganya. Harga paling mahal bisa menca-
pai Rp. 2.100.000 per kg untuk sirip hiu yang sudah dimasak berukuran 45 cm. Bayangkan berapa puluh ekor ikan hiu harus mati untuk siripnya karena dijual per kilogram. Harga dagingnya sendiri sangat murah. Untuk seekor hiu macan tutul dengan berat sekitar 20 hingga 25 kg tanpa sirip punggung, dada dan ekor hanya dihargai Rp 30.000,- Karena murahnya daging ikan hiu, maka banyak nelayan mengiris sirip hiu dalam kondisi hidup-hidup dan membuang tubuh hiu hidup tanpa sirip ini ke dalam laut. Mereka malas membawa tubuh hiu ke darat karena harganya dianggap tidak sebanding dengan energi yang mereka keluarkan untuk mengangkutnya. Bila sudah dimasak harga seporsi sirip hiu ( ingat seporsi itu adalah semangkuk kecil) dihargai sebesar Rp. 200.000,- hingga Rp. 350.000,- Sungguh suatu harga yang luar biasa untuk semangkuk kecil makanan yang mungkin tidak mem-
buat kenyang. Sementara dagingnya tidak berada di restoran itu tetapi lebih banyak dipakai sebagai umpan ikan lain. Sementara di Amerika Serikat, sop sirip hiu dihargai sebesar US$ 100,- per mangkok. Harap diingat, Amerika adalah penyantap sop hisit terbesar kedua setelah Asia. Mereka mengimpor-nya dari Hongkong, dan Hongkong merupakan tempat sirip ikan hiu terbesar dari Indonesia. Dan World Wildlife Fund menyatakan bahwa Indonesia adalah pengekspor sirip ikan hiu terbesar di dunia. Apakah sebagai pengekspor sirip ikan hiu, kemudian nelayan kita menjadi makmur? Jawabannya sudah jelas di depan mata kita. Tidak. Nelayan kita tidak menjadi makmur walaupun mereka mengeksplorasi hasil laut habis habisan. Mengapa? karena mereka kalah harga melawan pengepul ikan. Nelayan kini menjadi buruh bagi industri perikanan. Mereka hanya mencari ikan, semen-tara pengusaha menyediakan kapal, bahan bakar, logistik dan perlengkapan lainnya dalam menangkap ikan. Akibatnya mereka dibayar murah dalam penangkapan ikan, sementara sang penguasa meraup keuntungan yang sangat besar dalam perdagangan ikanikan eksotis termasuk hiu. Kementerian Kelautan Indonesia menyatakan bahwa setiap tahun nelayan Indonesia mengirimkan 73 juta sirip hiu ke seluruh dunia, sementara WWF menyatakan Indonesia menyum-
bangkan sebesar 100 juta sirip hiu. Jumlah yang sungguh luar biasa. Pada tahun 2010, Shark Conservation Act di Amerika serikat telah memberlakukan larangan bagi perburuan hiu. Sayangnya, aturan ini mengalami hambatan di beberapa negara bagian. Delapan negara bagian telah sepakat untuk melarang penjualan sirip ikan hiu. Termasuk melarang restoran-restoran memperdagangkan masakan sop hisit yang legendaris ini. Negara-negara itu adalah : California, Delaware, Hawaii, Illinois, Maryland, New York, Oregon dan Washington. Hal yang sama juga berlaku di negara pasifik seperti American Samoa, the Commonwealth of Northern Mariana Islands dan Guam. Negara bagian lain yang belum menyepakati undang-undang ini adalah Florida dan Texas, tempat banyak warga Amerika keturunan Cina masih menyediakan sop hisit dalam pesta perkawinan dan perayaan upacara tradisional lainnya. Di Indonesia, perburuan hiu masih belum masuk dalam kegiatan illegal. Namun tahun 2013 yang lalu, pada pertemuan 177 negara pendukung Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), di Thailand, perdagangan hiu lintas negara akan dilarang. Bahkan Hongkong sebagai negara pengimpor terbesar juga diminta untuk mulai mengurangi permintaan. Begitu pula Cina, negeri leluhur sop sirip hiu ini, bersepakat untuk tidak menyediakan sop hisit dalam menu kenegaraan. Indonesia termasuk yang sepakat dengan peraturan tersebut, dan Kementrian Kelautan akan membuat ratifikasi dari kesepakatan tersebut dalam bentuk Peraturan Menteri yang akan segera ditetapkan pada 2014. Masalahnya adalah bagai-
mana pengawasan peraturan ini akan diberlakukan? Garuda Indonesia, maskapai penerbangan terbesar di Indonesia telah menyatakan, tidak akan mengangkut ekspor produk ikan hiu dalam kargonya. Kebijakan ini berlaku efektif sejak Oktober 2013. Ini merupakan langkah awal yang harus diapresiasi, namun di pihak lain pemerintah perlu meningkatkan kewaspadaan akan terjadinya perdagangan hiu ilegal yang dilakukan di tengah laut. Bisa saja nelayan tidak membawa sirip hiu ke darat namun langsung bertransaksi dengan kapal lain di tengah laut yang susah dijangkau oleh pengamatan patroli laut. Hal semacam ini kerap terjadi dalam penyelundupan satwasatwa dilindungi yang semakin langka. Selain pemerintah, saatnya lah media massa dan media sosial memainkan peran yang besar dalam kampanye penyelamatan hiu ini. Binatang yang susah bereproduksi ini ( hanya beranak 2-3 tahun sekali) perlu mendapatkan perhatian khusus. Karena terbukti mereka memiliki pengaruh besar dalam menjaga kelangsungan hidup ekosistem di laut. Mitos-mitos bahwa hiu bisa menjadi obat kanker harus diluruskan, karena hiu sendiri diketahui dapat terserang bakteri dan virus yang menyerupai kanker. Selain itu ingatlah bahwa sirip hiu sesungguhnya tidak memiliki rasa apapun. Yang enak adalah kuah yang menjadi dasar dari sop tersebut, yang umumnya dibuat dari kaldu ayam. Media massa tidak boleh lagi menayangkan kelezatan masakan apapun jika masakan itu berasal dari produk hiu dan satwa dilindungi lainnya. Sebaliknya, media massa harus menjadi bagian terdepan dari perlindungan satwa dan kelestarian lingkungan hidup, agar ekosistem di bumi ini tetap terjaga.
SAPHARA | 37
ETALASE
Waterproof Case for Canon EOS 600D, Kiss X5, Rebel T3i Mau mengabadikan momen video saat diving, Snorkeling, surfing, dan berbagai kegiatan lainnya, tapi takut kamera rusak karena kemasukan air? Keep it Calm, Explorer! Sekarang ada Waterproof Case untuk Canon EOS 600D. Tahan air sampai kedalaman 50 meter. Terbuat dari polikarbonat, plastik ABS, Clear plate glass, Stainless Steel, dan karet EPDM, Waterproof Case ini tahan air sampai kedalaman 50 meter. Waterproof Case ini juga bisa melindungi kamera Explorer dari air, pasir, salju, dan goresan. Waterproof Case ini dibandrol dengan harga $398 atau sekitar Rp4.776.000,-. Wow! harga yang fantastis. Tertarik untuk membeli, Explorer?
Amphibian Waterproof Hard Case iPhone 4 Belum lengkap rasanya bila berkegiatan di alam bebas namun tak mendokumentasikan perjalanan. Explorer pasti banyak membawa berbagai macam gadget untuk mendokumentasikan setiap kegiatan, entah Kamera Digital, Kamera DSLR, hingga Smartphone yang multifungsi. Namun masih banyak pula kendala yang akan dialami Explorer, misalnya gadget yang dibawa ternyata tidak tahan air. Tapi tenang saja, bagi Explorer yang menggunakan iPhone 4, Proporta, Produsen casing ponsel, sudah mengeluarkan Amphibian Waterproof Hardcase for iPhone 4. Hard Case ini sudah diuji dan dijamin bakal tahan air sampai 3 meter. Explorer bisa mengambil foto dari bawah air namun tetap bisa membuat dan menerima panggilan saat ponsel memakai Hard Case . Hard Case ini Berbahan polikarbonat keras dan kulit silikon luar yang terlindung terhadap air, kotoran, dan pasir. Harga yang dibandrol oleh produsen Hard Case ini adalah $37,95 atau sekitar Rp455.400,-
Waterproof Marine Camera Housing Case For Canon EOS DSLR Hobi berkegiatan di air? Kali ini Dicapack berhasil meraih Korean Consumer Award to Best New Product pada tahun 2005 karena produknya, Waterproof Marine Camera Housing Case For Canon EOS DSLR, yang dijual dengan harga yang terjangkau. Camera Housing ini mampu bertahan hingga kedalaman 5 meter. Desainnya yang menarik dan simpel memudahkan Explorer berfoto dan mengambil video karena ada tali leher dan beratnya hanya 0,8 Pound. Camera Housing ini juga tahan terhadap berbagai cuaca. Dengan Camera Housing ini, lensa mampu memanjang hingga 3,7'' dan diameter 82mm. Camera Housing ini dibandrol dengan harga $88,95 atau sekitar Rp1.067.400,-
Foto: google.com
SAPHARA | 38
REVIEW dilakukan. Pasien diberikan anestesi lokal, sehinga tubuh bagian bawahnya tidak berasa. John melakukan pembedahan pada bagian lipatan antara paha dan betis. Sayangnya, tulang dan sendi pasien sudah menyatu bagaikan sepotong besi. Mau ditutup kembali, tetapi John kemudian merasa sangat prihatin. Pertimbangannya antara lain: pertama, keinginan pasien untuk sembuh tidak tercapai, dan kedua, John dan timnya merasa telah menyakiti pasien dengan proses pembedahan yang ternyata tidak menghasilkan. Dengan dua pertimbangan utama tersebut, John memutar akal untuk mengobati pasien. Ia pun meminta salah seorang perawat untuk meminjam obeng, pahat kayu, dan martil. Tujuannya, pemahatan akan berguna memberiTeks & Foto: Hafiyyan kan ruang-ruang agar sendi dan tulang dapat bergerak seperti umumnya. Puji syukur, operasi yang dipenuhi rasa Judul buku: improvisasi, intuisi, dan keinginan besar Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa sang dokter menyembuhkan pasiennya Penulis: dr. John Manangsang pun dapat berhasil. Enam minggu setePenerbit: Yayasan Obor, Jakarta lah perawatan, pasien mulai belajar Tahun terbit: 2007 (cetakan II) menginjakan kaki ke tanah. Dengan seTebal buku: 477 halaman mangat dan dukungan dari keluarga serta pihak puskesmas, sang bapakpun dapat kembali ke kampung halamannya. “Memahat sendi lutut dengan Selain 13 kisah yang menpahat kayu dan martil”, “Operasi Sesar cengangkan, masih ada pula petualangdengan Silet”, dan “Kasus Luka Tusuk an John dan timnya sebagai dokter terPanah” menjadi sebagian pengalaman bang. Hal ini dilakukan dalam rangka tak terlupakan bagi John Manangsang, pelaksanaan program “Puskesmas Kelidokter muda jebolan FKUI yang bertugas ling” ke semua desa di Kecamatan Manselama dua tahun di Puskesmas Tanah dobo. Perjalanan menjelajah rimba Merah Boven Digul,Kecamatan Man- berhari-hari meraka lakukan. Membuat dobo, Kabupaten Merauke, Papua. semur ayam hutan, mendirikan bifak, Pengalaman ini pun ia tuliskan dalam berjuang melawan serangan pacet bukunya pada BagianII: Kasus-kasus menjadi warna petualangan ini, disammedis sulit dalam dilema. ping misi utama memberikan pelayanan Seorang bapak setengah baya kesehatan. Sekumpulan kisah ini dari RT Mariam, sebuah RT dari Desa menghabiskan sekitar 50 halaman buku. Sokanggo yang dapat ditempuh Menurut Penulis, buku ini menggunakan perahu motor sekitar 4 memiliki banyak keunggulan. Pertama, jam melawan arus Sungai Digul datang John mampu memberikan gambaran ke Puskemas Tanah Merah. Dari peme- kondisi alam dan sosial-masyarakat riksaan, diketahui sang bapak menderita masyarakat pedalaman Digul melalui artrodesis (kekakuan sendi dalam istilah kacamata seorang ahli medis. Hal ini kedokteran) di bagian lutut kanan . Tidak tentu tidak akan sahabat Explorer temui ada jalan keluar selain operasi. Sang dalam buku perjalanan ataupun gambapak yang sangat menginginkan kaki- baran sosial-masyarakat umumnya. nya berfungsi normal pun diminta dr. Kedua, berbagai pendapat dari ahli John untuk mempersiapkan diri. kesehatan, ahli hukum, sastrawan, A wal April 1991, operasi budayawan Papua semakin menguatkan
Kisah Dokter di Pedalaman Papua
kualitas buku bagi pembaca. Dari sudut pandang ahli inilah sahabat Explorer juga dapat memberikan penilaian. Ketiga, John menuliskan dengan detail setiap kronologi kejadian yang ia alami. Contohnya, saat bercerita mengenai operasi sesar, maka ia menuliskan proses mulai dari adanya laporan, runtutan tindakan medis yang dilakukan, apa yang ia dan timnya rasakan, sampai pada tahap akhir kesembuhan pasien. Hal ini tentu membuat sahabat Explorer memiliki gambaran mengenai peristiwa yang terjadi. Keempat, terdapat fotofoto dokumentasi rekam medis ataupun perjalanan. Walaupun beberapa foto terlihat agak mengerikan (foto-foto operasi), tetapi hal ini penting sebagai penguat data dalam buku. Tiada gading yang tak retak. Ternyata ungkapan tersebut juga berlaku bagi buku ini. Walaupun karya indah John sangat bagus dan orisinil, tetapi terdapat beberapa kekurangan yang dapat mengganggu pembaca “bertualang” dengan kisah di dalam buku. Pertama, dalam 1 halaman, John sering hanya menggunakan 2 atau 3 pragraf. Malah ada 1 halaman hanya untuk menulis 1 paragraf. Hal ini dapat membuat sahabat Explorer lelah akibat struktur penulisan dalam paragraf yang kurang menarik. Kedua, gaya bercerita penulis buku yang kurang memikat. Hal ini menurut Penulis sangat wajar karena John memang bukan jebolan sekolah sastra ataupun komunikasi. Walaupun begitu, gaya bercerita John menjadi sangat khas. Buku yang mengantarkan John Manansang menjadi “Pemenang Peneliti Muda LIPI – TVRI bidang Sosial, Kebudayaan dan Kemanusiaan 1995 – 1996” ini cocok untuk semua sahabat Explorer yang tertarik pada dunia medis dan sosial-budaya. Kisah-kisah di dalamnya akan memberikan pengalaman dan wawasan baru bagi pembaca mengenai dua dunia tersebut. Karya ini pun cocok bagi sahabat Explorer yang tertarik dengan kehidupan di belantara Papua, yang menurut John tidak banyak berubah sejak 15 tahun semenjak pengabdiannya pada awal 1990-an. Jadi, apakah sahabat Explorer tertarik meyaksikan kisah seorang dokter di pedalaman Papua?
SAPHARA | 39