6 minute read
occupying > modernism: Melawan Ad Hoc
occupying > modernism:
Melawan Ad Hoc
Advertisement
Arsitektur modern telah mengajarkan kita bagaimana merancang dan menggunakan arsitektur sesuai dengan fungsi yang dituju, atau dalam kata lain yiatu ad hoc (bahasa latin yang artinya ‘untuk ini’). Namun saat ruangruang modernis itu diberikan kepada masyarakat Indonesia, ruang-ruang tersebut malah dipergunakan dengan cara yang berbeda. Fungsionalisme di artikan ulang oleh para pengguna ruang. Fenomena ini dirangkum dalam sebuah pameran yang bertajuk occupying > modernism di Kopi Manyar Bintaro 24 Oktober – 15 November 2019 kemarin silam. Pameran aristektur ini merupakan hasil kolaborasi dari Cecil Mariani, Alvin Tjitrowirjo, Hikmat Darmawan dan Goenawan Mohamad, dikurasi oleh Setiadi Sopandi & Avianti Armand, serta Desain Tata Pamer dan Grafis oleh FFFAAARRR dan Gema Semesta.
Penulis: Gevin Timotius
Nyala warna biru kobalt dari kursi-kursi plastik yang berserakan di pameran langsung mengingatkan akan tenda makan pinggir jalan, gerobak mie yang sedang didorong di tengah jalan raya, acara nikahan ditengah-tengah gang, dan fenomena penggunaan ruang lainnya yang identik dengan Indonesia. Dinding-dinding Kopi Manyar diramaikan oleh dosir mengenai obyek arsitektur di Jakarta menjelaskan tajuk occupying > modernism dalam perspektif yang berbeda-beda. Selain pameran, occupying > modernism juga memiliki rangkaian acara ekstrakurikuler “Spontan Desain” yang diselenggarakan oleh Unconditional Design, Gema Semesta, FFFAAARRR, dan Ouaui Project. Lokakarya tersebut menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses perancangan spontan dengan benda-benda bekas beragam dalam waktu yang singkat, meniru bagaimana masyarakat awam menemukan solusi desain yang tidak konvensional.
Intepretasi tajuk oleh FFFAAARRR dan Gema Semesta sebagai desainer pameran yang dituangkan dalam instalasi serta pandangan mengenai isu dalam konteks kawasan perkuliahan dipaparkan dalam wawancara berikut.
Apa yang melatari FFFAAARRR dan Gema Semesta dalam mengkonsep “occupying > modernism”?
FFFAAARRR: Proses mengkonsepkan presentasi visual dari konten pameran ini kental dengan diskusi bersama gemasemesta.co dengan arahan dari tim kurator. Poin terpenting sebenarnya terletak di titel “occupying > modernism”, dimana pengaruh occupying dinotasikan memiliki nilai dan pengaruh yang lebih besar. Ada cerita tentang disruption yang tidak merespon order arsitektur modern. Kemudian hal ini kami translasikan bersama lebih jauh menjadi tata ruang, tata pamer objek, dan atribut pelengkap lainnya.
Gema Semesta: Sama dengan FFFAAARRR, prosesnya diawali dengan diskusi, brainstorming, dan sebenarnya yang membuat lebih menarik, kita tidak tahu bentuk pamerannya akan seperti apa. Kita tidak tahu akan mengkolaborasikan desain yang kita pelajari dengan informal design. Proses desainnya pun cukup seru. Kita keliling Jakarta untuk mendapatkan feel yang mau dicapai, ke tempat fotokopi dan sekitar, juga berdiskusi dengan masyarakat luar.
Apa pengaruh terbesar menurut FFFAAARRR dan Gema terhadap terjadinya fenomena occupying?
F: Kebiasaan dan budaya setempat yang sudah turun menurun. Sebenarnya cara menduduki ruang ini pastinya erat juga kaitannya dengan kelas ekonomi, asal tempat, tingkat pendidikan, dan seterusnya. Tidak ada satu model occupancy yang pasti. Namun kami merasa model menduduki yang kami tampilkan di pameran ini adalah model yang paling bisa relate dengan semua kelas di Indonesia karena hadir kasat mata di keseharian kita.
G: Pengaruh terbesar sepertinya karena budaya, kebiasaan, dan sifat dasar masyarakat Indonesia.
F: Sepertinya spesifik pengaruh desain tidak juga, tapi lebih ke merangsang munculnya fungsi-fungsi baru yang merespon kebutuhan populasi dari universitas masingmasing. Apakah dari bahasan kami, menurut FFFAAARRR dan Gema Semesta, universitas juga turut menyumbang pengaruh desain tertentu terhadap ruang-ruang informal tersebut? Contohnya UNPAR terhadap Ciumbuleuit atau UNPAD terhadap Dipatiukur, atau mungkin contoh lain tertentu yang FFFAAARRR dan Gema ketahui?
Tapi kita sebenarnya jadi berfikir kembali: Apakah kafe dan toko percetakan itu masuk kategori ruang-ruang informal? Ataukah bentuk-bentuk yang lebih “berantakan” saja yang informal, seperti layaknya pangkalan ojek di pojok parkiran kafe atau warung tenda depan percetakan yang muncul malam hari? Rasanya hal ini bisa jadi diskusi tersendiri yang menarik.
G: Munculnya karena hubungan antara kebutuhan universitas dan daerah sekitar itu sendiri.
Wawancara dengan Gema Semesta
Kami tertarik bagaimana signage tersebut turut menandakan fungsi ruang yang terjadi (misal signage canon, pecel lele, coffee shop), seberapa besar sih pengaruhnya untuk mengidentitaskan ruang tersebut?
Sign itu fungsinya sebagai wadah informasi/komunikasi dan penanda. Pengaruh signage cukup besar untuk ruang, untuk memberikan arah kepada orang-orang yang belum familiar dengan ruang baru yang mereka datangi.
Jika dikaji menurut teori Robert Venturi dalam buku “Learning from Las Vegas”: Big sign – little building vs. building is a sign, bagaimana semiotika bermain dalam ruangruang informal ini?
Sebenarnya saya tidak terlalu familiar dengan teori ini. Tapi kalau kembali ke pemikiran saya dan apa yang saya pelajari. Bisa berangkat lagi ke maksud dan tujuan masing-masing.
“BIG SIGN LITTLE BUILDING” - sign sebagai fungsi. “BUILDING IS A SIGN” - fungsi sign tidak diperlukan karena bangunan tersebut sudah cukup kuat.
Dan kalau kembali lagi ke teori desain. Cukup 1 hal saja yang kuat, mau bangunannya atau sign nya.
Jika ruang-ruang informal tersebut tidak dipenuhi oleh signage-signage khas mereka itu, akan jadi seperti apa? Perlukah penanda tersebut sebenarnya?
Semua sign pasti dimaksudkan sebagai penanda. Namun beberapa sign membentuk ciri dan karakter ruang itu sendiri, jadi fungsi kedua mereka bisa juga sebagai dekorasi.
Bagaimana penyikapan orang Indonesia sendiri terhadap signage-signage tersebut? Apakah terdapat timbal balik dari pembuat dan pengguna penanda dalam menghasilkan keseluruhan estetika signage di Indonesia?
Memang cara komunikasi sign paling mudah untuk sifat orang Indonesia adalah, membuat sign itu sejelas mungkin; dari segi posisi, warna, dan skala nya.
Yang menarik, walau sudah ada signsign formal yang diciptakan secara harmonis dengan ruang. Terkadang tetap saja butuh secondary sign yang sifatnya informal. Tidak bisa dipungkiri, seperti nya lebih komunikatif untuk masyarakat Indonesia kebanyakan.
Sebagai seorang desainer grafis, bagaimana tanggapan terhadap estetika signage pada ruang-ruang informal tersebut?
Menjadi suatu warna, ciri, dan karakter tersendiri. Sesuatu yang tidak mungkin ditemukan di negara-negara maju. Saya sih tidak keberatan, menurut saya itu budaya dan karakter di Indonesia yang menarik.
Namun alangkah lebih baiknya bila bisa dikembangkan dan dipelajari mana yang berfungsi dan tidak.
Wawancara dengan FFFAAARRR
Apakah tiap-tiap ruang informal tersebut dapat mempunyai gaya desainnya sendiri yang berciri khas?
Rasanya untuk konteks ruang informal sekitar universitas, tanpa kita sadari ciri khas sudah terbentuk dengan sendirinya. Kami tidak terlalu familiar dengan lingkungan Bandung, tapi kalau di sekitar Jakarta, sangat signifikan perbedaan lingkungan dan ruang-ruang yang terbentuk di sekitar UI Depok dengan UPH Karawaci misalnya. Tapi kalau gaya desain sepertinya tidak ada ya, soalnya informalitas itu bisa lari jadi liar sekali.
Ruangnya kalau dilihat pasti fungsional, karena merupakan ruang yang menanggapi kebutuhan dari universitasnya. Tapi karena terjadi secara tidak terencana dalam desainnya, bagaimana pola arsitektur yang terjadi? Apa malah ada hal menarik tersendiri yang lahir?
Variabel penentunya banyak sekali jadi rasanya tidak ada pola arsitektur yang khusus, karena bisa saja kedepannya terjadi perubahan yang tidak bisa ditebak. Seperti UI Depok yang rasanya sekarang “naik kelas”, dengan adanya Starbucks di dalam kompleks UI dan apartemen-apartemen baru di sekitar Margonda. Malah hal-hal semacam ini jadi mengurangi ruang-ruang informal yang tadinya ada di sekitar Stasiun UI, dengan dalih “perapihan”. Hal ini mungkin terkait pergeseran demografi mahasiswa di UI juga. Perubahan pola ini bisa panjang sekali diskusinya!
Sebagai arsitek, bagaimana pandangan FFFAAARRR terhadap fenomena ruang-ruang informal tersebut? Bagaimana tanggapan terhadap ruang tersebut yang berada menyempil atau mengalihfungsikan ruang yang sudah ada?
Ilmu kita memang mengajarkan sesuatu yang serba terencana dan terdesain. Namun pada akhirnya arsitektur itu memang tidak bisa dilihat sebagai benda yang objektif. Contohnya, satu kamar kos yang sama bisa jadi sangat berbeda berbeda saat dihuni dua orang dengan latar belakang dan jurusan berbeda. Kejutan-kejutan itu hal yang lumrah dalam dunia desain dan harusnya bisa dilihat sebagai hal yang sangat menarik di arsitektur.
Warga Jl. Gunung Kencana, Ciumbuleuit yang bekerja sebagai penjaga indekos dan pemilik warung, para penduduk tetap Ciumbuleuit.
Mahasiswa yang berkuliah di UNPAR, para penduduk temporer Ciumbuleuit.