2 minute read
Merancang Tanggung Jawab
Penulis: Gevin Timotius
Merancang dalam konteks kota organik memiliki tantangannya tersendiri, seperti Bandung. Tata kota semula terobok oleh penggunaan yang semakin berbeda pada zaman ini. Yanuar Pratama Firdaus, principal architect dari Aaksen Responsible Aarchitecture, merasakan tantangan tersebut saat merancang dan membangun Norhouse yang berada di dalam gang dekat Jalan Pahlawan, Bandung. Karena penanganan tapak yang baik, Norhouse mendapatkan Good Design Award 2019 di Jepang bulan Oktober kemarin. Pandangan Yanuar mengenai isu tersebut yang ia tuangkan dalam desain menarik perhatian Kommunars untuk menyambangi kantornya dan berbincang.
Advertisement
Bagaimana tanggapan bapak terhadap peralihan fungsi dari bangunan rumah di kota-kota Indonesia yang semakin beragam? Apakah kita sebagai perancang harus mendikte fungsi bangunan tersebut?
Dalam sebuah kota yang sangat organik, pasti tidak lepas dari keputusan politik. Namun saat kita batasi (kota) jadi kota hunian, fungsinya pasti akan berubah jika terdapat masalah dan potensi. Dengan model bisnis teknologi sekarang seperti GOJEK, GO-FOOD, Grab Kitchen, rumah biasa bisa jadi dapur bisnis dan ojek online bisa antre sampai ratusan orang di rumah itu. Kita tidak bisa melawan bagaimana orang lain menggunakan ruang sesuai dengan apa yang kita pandang ideal. Jaman sudah berubah. Harapan saya untuk kotakota baru nantinya itu lebih flexible terhadap fungsi-fungsi seperti ini. Lalu bagaimana bapak merancang Nor house yang terletak di tengah-tengah kota yang berantakan? Apa yang membuat Norhouse memenangkan Good Design Award?
Norhouse adalah rumah tanpa akses. Hanya terdapat satu pintu saja. Untuk mencapai rumahnya pun harus masuk ke gang terlebih dahulu. Penghuninya pun tidak bisa parkir kendaraannya di rumah. Ojek online pun ribet. Kebetulan tapak Norhouse itu warisan tanah keluarga yang berbentuk L di paling ujung gang dan tidak terpikirkan bahwa tanah itu akan dibangun rumah oleh tuan tanahnya, mungkin kalau mau dibangun pun kos-kosan saja. Jadi karena klien lebih memilih tinggal di tengah kota, maka dibangunlah Norhouse ini dengan segala kesulitannya dengan arsitektur prefabrikasi.
Sumber: KIE
Lalu bagaimana Norhouse mendapatkan Good Design Award? Apa yang mengunggulkan Norhouse dalam seri rancangannya?
Kemarin bisa dapat Good Design Award karena memecahkan permasalahan, itu saja. Good design tidak berbicara tentang desain bagus atau jelek, tapi apakah desain itu bermanfaat untuk sekitar, minimal bagi penghuni. Jika peraturan rumah di kota adalah 70% dari tapak terbangun dan 30% sisanya ruang terbuka, saya balik jadi 30% terbangun dan 70% terbuka. Anak-anak klien bisa les memanah, olahraga, main air sore-sore di rumah. Meskipun dengan bujet terbatas, di gang, kita bisa membuat mereka setidaknya tidak merasa hidup di gang.
Apa tanggapan Bapak terhadap kualitas hidup di gang-gang? Apakah tinggal di kos-kosan dan apartemen di tengah kota organik ini ideal?
Kalau kita berbicara tentang kualitas hidup di gang seperti di Bukit Indah, Bukit Jarian, kos-kosannya tidak dapat udara terbuka (kecuali yang sudah dirancang arsitek yang mengerti pencahayaan dan ventilasi). Kita tau bagaimana mahasiswa yang kos di situ dengan bujet terbatas begitu menghargai cahaya matahari. Sebuah kemewahan untuk hidup di kota dengan pencahayaan alami, udara, backyard, yang itu semua adalah Karunia Allah. Sebuah landed house dengan luas 36 meter persegi bisa dibilang rumah miskin, tapi kalau apartemen dengan luas yang sama luar bisa mahal. Kita harus menghadapi kalo hidup di megapolitan itu tidak ada tanah. Kalau teman-teman punya tanah, nikmatilah.