3 minute read

0PINI

Next Article
PROFIL

PROFIL

Rapuhnya Kesehatan Mental Remaja

Oleh: Nurul Laili Rohmatin

Advertisement

Kesehatan mental pada remaja akhir-akhir ini menjadi sorotan oleh masyarakat umum di Indonesia. Pasalnya, kesehatan mental pada remaja memiliki pengaruh besar terhadap jumlah kasus kematian yang terus melonjak setiap tahun. Pada tahun 2018, Riskesdas (riset kesehatan dasar) menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang timbul pada remaja usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari total jumlah keseluruhan penduduk Indonesia atau sekitar 11 juta orang. Pada remaja yang menduduki usia 15 hingga 24 tahun, tingkat risiko gangguan kesehatan mental adalah sebesar 6,2%. Tingkat kecemasan yang tinggi dapat menyebabkan munculnya depresi berat dalam diri seseorang. Hal tersebut mengakibatkan remaja cenderung untuk menyakiti diri sendiri (selfharm) hingga bunuh diri. Terdapat kurang lebih sebesar 80–90% kasus bunuh diri yang diakibatkan oleh pengaruh rendahnya kesehatan mental pada remaja. Kasus bunuh diri di Indonesia bisa mencapai 10.000 atau setara dengan setiap satu jam terdapat kasus bunuh diri.

Menurut ahli suicidologies, 4,2% remaja dengan kategori status sebagai siswa maupun mahasiswa memiliki niatan untuk bunuh diri sebesar 6,9%. Sementara itu, 3% lainya sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri. Depresi pada remaja dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yakni akibat tekanan dalam bidang pendidikan, terjadinya perundungan (bullying), adanya faktor keluarga, atau adanya permasalahan ekonomi. Selain itu, penelitian yang dirilis oleh divisi psikiater anak dan remaja, Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia berhasil memetakan tingkat keresahan mental pada usia remaja yang berstatus mahasiswa pada periode transisi 16 hingga 24 tahun dari seluruh Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 95,4% dari mereka pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety) dan 88% pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia ini. Sementara itu, keseluruhan data responden menggambarkan bahwa sebanyak 96,4% remaja kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.

Dampak tersebut timbul pada remaja yang memasuki fase ini karena adanya faktor lingkungan baru, lingkaran pertemanan yang semakin luas, adanya tuntutan pendidikan dan karier yang semakin menantang, perbedaan budaya, hingga berbagai masalah yang selalu muncul. Riset yang dilakukan oleh Psikiater UI menujukan masih banyak remaja yang memilih untuk melampiaskan kecemasan dalam dirinya dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4%) atau bahkan menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup (57,8%).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental menentukan tingkat risiko kematian akibat bunuh diri pada remaja. Untuk merespons hal ini, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan tersebut. Dilansir dari website resmi Universitas Indonesia, ada langkah-langkah yang perlu diwujudkan untuk mengatasi permasalahan ini, yaitu dengan upaya assessment yang berdasarkan pada indikator keluarga sehat, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa, edukasi yang dimulai sejak jenjang sekolah dasar, penyediaan obat, serta pelayanan kesehatan jiwa yang layak bagi kelompok disabilitas. Semua upaya ini harus dilakukan secara konsisten dan terus dikuatkan oleh semua elemen masyarakat, sehingga kasus diskriminasi seperti pemasungan dapat dicegah. Akan tetapi, upaya tersebut belum dijalankan secara penuh oleh pemerintah, sehingga dapat mengakibatkan dampak jangka panjang.

Permasalahan dan upaya yang telah dilakukan belum dapat mengatasi dan mengurangi tingkat pengaruh kesehatan mental pada remaja. Sejatinya, permasalahan terkait kesehatan mental pada remaja dapat diatasi dengan upaya penyembuhan yang berasal dari dalam diri sendiri atau dikenal dengan sebutan self-healing atau penyembuhan diri sendiri. Self-healing merupakan hal yang sangat mungkin dilakukan oleh setiap orang. Agata Paskarista, S. Psi., M, Psi., CPS, seorang Mental Health Educator dan founder LOSTIDN, mengartikan self-healing sebagai proses penyembuhan luka batin atau mental yang diakibatkan oleh berbagai hal. Perasaan kecemasan dan luka batin dapat berasal dari perasaan sedih yang mendalam, merasa gagal, cemas, hingga yang mengarah pada kondisi depresi. Adapun tujuan ketika remaja menerapkan self-healing ini, yakni agar seseorang bisa memahami diri sendiri, menerima ketidaksempurnaan, serta membentuk pikiran positif tentang apa yang terjadi dalam hidup. Selain penyembuhan melalui upaya self-healing, adapun penyembuhan dari dalam diri lainnya, yakni self-love, self-acceptance, dan self-compassion.

Penulis adalah Kontributor Majalah Komunikasi UM

Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

This article is from: