8 minute read

RANCAK BUDAYA

Next Article
WISATA

WISATA

ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

oleh Shella Novianti

Advertisement

Api dan Nasib Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

Di belakang rumahnya, Sita punya segalanya; ribuan kubik pasir putih yang menggelitik kaki, bau amis lautan, pepohonan nyiur yang berbuah sepanjang tahun, dan debur ombak serta buih-buih putihnya yang tak pernah habis. Satu-satunya yang tak pernah ia miliki baik dulu maupun sekarang barangkali cuma harapan.

Pada usianya yang kesebelas atau sekitar itu, Sita sadar bahwa desa pesisir miskin tempatnya dilahirkan ini tak akan sanggup membawanya ke masa depan yang terang. Sesuatu yang terasa seperti nyanyian terumbu karang memberitahunya bahwa ia cuma akan mengulangi nasib orang tuanya. Nasib kakek dan neneknya, pakde dan budenya, paklik dan buliknya, sepupusepupunya, tetangga-tetangganya. Ia hanya akan menamatkan sekolah sampai SMP, sebab gedung SMA negeri terlalu jauh dan ia tak punya uang untuk membayar uang pangkal SMA swasta yang konon katanya punya dua ratus perangkat komputer dan lebih dekat sekitar dua kilometer itu.

Itu pun kalau ia beruntung bisa benarbenar punya ijazah SMP. Sebab, beberapa temannya putus sekolah pada kelas dua untuk membantu mengurus tambak orang tua, mengurus adik yang masih terlalu kecil untuk ditinggal di rumah sendirian, mengurus ayah yang mulai renta dan sakit-sakitan. Nyatanya, Sita memang dua kali lebih beruntung dibandingkan teman-teman sebayanya. Selain berhasil menyematkan namanya pada selembar ijazah SMP, ia juga berhasil menikahi lakilaki yang dicintainya.

Sita tak tahu rasanya tertunduk meratapi sepasang sandalnya sendiri pada hari lamaran. Ia tak tahu rasanya menjalani pernikahan yang diputuskan orang lain, berbakti kepada suami yang dipilihkan orang lain, memasak dan mencucikan baju seseorang yang selamanya akan membuatnya teringat pada perasaan tak berdaya, tak punya suara, dan tak punya pilihan pada hari lamaran itu.

Sita punya segalanya; ribuan kubik pasir putih yang menggelitik kaki, bau amis lautan, pepohonan nyiur yang berbuah sepanjang tahun, debur ombak serta buihbuih putihnya yang tak pernah habis, dan seorang suami yang amat dicintainya. Suami Sita yang juga tak pernah mencicipi bangku SMA itu bernama Ramadhani. Orang-orang memanggilnya Rama, dan Sita pikir itu cocok sebab nyatanya Ramadhani memang tak lahir pada bulan Ramadhan.

Rama lahir pada pertengahan bulan kedua kalender Jawa, saat bulan yang bulat sempurna bertengger gagah di langit. Berdasarkan hitungan Jawa, tanggal lahir itu pas dengan milik Sita. Oleh sebab itu, mereka diperbolehkan menikah. Meski, Rama melamarnya nyaris dengan tangang kosong setahun yang lalu.

Sita memang sudah tergila-gila dengan Rama sejak mereka masih kanak-kanak. Sehingga, meski Rama juga tak sanggup membawanya ke masa depan, Sita tetap merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia, atau paling tidak di desa pesisir miskin itu.

Dari kecil, Rama memang sudah

memesona dengan caranya sendiri. Selalu saja ada sesuatu yang membuatnya terlihat paling mencolok di antara teman-teman sebayanya. Lelaki itu suka diperhatikan. Ia tak perlu berpikir dua kali untuk memanjat ke panggung pentas seni tujuh belas Agustusan dan menampilkan bakat apa pun yang dimilikinya. Rama juga cakap di bidang atletik, sehingga selalu dikirim sebagai perwakilan kelas tiap sekolah menyelanggarakan lomba kecil-kecilan. Di pertandingan sepak bola, ia mencetak gol. Di perlombaan balap karung, ia menjadi yang paling gesit.

Rama juga pandai berenang. Semua anak di desa ini tak ada yang tak pandai berenang, tapi Rama seperti berdiri pada tingkatan yang berbeda dan sulit dijangkau anak-anak lainnya. Ia berenang dengan teknik yang entah diperolehnya dari mana. Ia memiliki paru-paru yang sanggup membuatnya menahan napas begitu lama di bawah air.

Di desa ini, tak banyak teman sebaya mereka. Oleh sebab itu, bocah laki-laki dan perempuan cenderung berbaur dan memainkan permainan apapun yang disepakati. Kadang-kadang bocah lakilaki ikut membuat kue pasir, kali lainnya bocah-bocah perempuan ikut menendangnendang bola rotan. Lingkaran mereka— Sita dan Rama—selalu beririsan. Tapi, justru karena sudah terlalu dekat, Rama tak pernah benar-benar menganggap Sita sebagai perempuan yang menarik. Bahkan, hingga mereka lulus SMP dan berpisah.

Rama menjadi satu dari sedikit laki-laki yang pergi merantau sebab ia tahu desa ini menyembunyikan luka dan tangisan. Ia membaca duka itu dari ikan-ikan yang bersembunyi makin jauh di kedalaman dan sulit diraih jala para nelayan, dari batubatu tajam jalanan yang telah berulang kali menggulingkan mobil bak terbuka milik para tengkulak, dari sampah-sampah yang menggenangi belakang rumah mereka— yang makin hari makin banyak, entah dikirim dari mana.

Sita menyimpan patah hatinya sendirian. Ia berduka dalam sunyi. Di ruang-ruang kedap, ia mendoakan supaya Rama yang konon bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah Bank selalu dilindungi. Sementara ia sendiri kembali ke dapur, membersihkan dan menggarami ikan, menjemurnya, lalu membawanya ke tengkulak ketika keluarganya sudah tak punya beras untuk ditanak. Ia kembali kepada satu-satunya nasib yang ia ketahui.

Sita kira ia tak akan pernah bertemu Rama lagi. Sebab, seperti perantau pendahulunya, Rama akan pulang satu kali saja untuk memboyong keluarganya yang tinggal tersisa seorang ibu ke kota. Sita tak tahu apakah seseorang bisa patah hati dua kali untuk orang yang sama, tetapi ia menyiapkan dirinya akan datangnya hari itu.

Namun, belum sampai setahun, Rama pulang untuk menguburkan ibunya yang meninggal karena serangan jantung dan tak pernah kembali ke kota lagi. Ia bertahan di pesisir yang menyimpan tangis ini demi kenangan masa kecilnya. Satu-satunya fase terang di hidupnya yang kini dijalin oleh serangkaian kemuraman.

Rama kembali ke lautan. Ia bergabung dengan kapal Pak Hasan yang sering berlayar berhari-hari. Lagi-lagi, Sita memerhatikan kulit Rama yang jadi semakin legam dan rambutnya yang kini memanjang dengan potongan tak rata dari kejauhan.

Bertahun-tahun kemudian, pada satu malam Minggu, Rama tiba-tiba bertamu ke rumahnya. Lelaki itu membantu Sita membedah perut ikan dan mengeluarkan isinya. Di dapur berdinding bambu itu, Rama menyanyikan lagu-lagu yang dulu dibawakannya di pentas seni sekolah tak habis-habis.

Barulah ketika hendak pamit, lelaki itu berkata, “Mulai sekarang, malam minggumu buat saya saja, ya?”

Dibandingkan dengan kotoran ikan yang basin, menghabiskan malam minggu bersama Rama tentu lebih menyenangkan. Maka, Sita mengangguk tanpa berpikir.

Setelah menikah, mereka terbiasa bersama setiap malam bersama-sama. Malam-malam yang tak selalu sehangat malam Minggu. Malam-malam yang lebih sering dingin, sepi, muram, dan tanpa harapan.

Tapi, malam kali ini terasa berbeda sebab mereka tak berbagi suasana yang sama. Rama tertidur dengan senyum bertengger di wajah setelah mendapat bonus upah dari juragan Ngadiman. Sementara Sita bahkan tak sanggup memejamkan mata tanpa mengilas balik bayangan kemeja lusuh Rama yang tercoret lipstik merah tua. Secercah warna yang terang-terangan bukan miliknya.

Nyaris tengah malam, Sita menyelinap keluar dari pelukan Rama. Ia bergegas ke belakang rumahnya demi menemukan angin yang tenang dan seonggok bara api sisa pembakaran sampah. Dua hari lalu, Rama ikut ke kota bersama rombongan juragan Ngadiman—tengkulak terkaya di desa ini. Selain memiliki rumah paling besar di seantero desa, konon juragan Ngadiman juga punya dua lapak ikan di pasar induk, satu toko material, dan seorang istri simpanan yang disembunyikan di sebuah indekos.

Dua bulan setelah menikah, atas permintaan Sita yang enggan ditinggal melaut berhari-hari, Rama berhenti menjadi anak buah Pak Hasan. Sebagai gantinya, suaminya kemudian ikut rombongan tengkulak juragan Ngadiman yang memasok ikan-ikan ke kota tiap tiga hari sekali. Keputusan yang Sita kira begitu tepat dan romantis itu kini terasa salah. Ia diliputi sesal, sebab nyatanya mendoakan keselamatan Rama di tengah lautan sana terasa lebih ringan daripada mengharapkan suaminya itu imun dari godaan belantara kota.

Setidaknya, Sita tahu alam akan melembutkan badainya demi seorang istri yang seumur hidupnya mengabdikan diri kepada pesisir, yang tak keberatan lahir dan mati di desa yang sama, yang tak mengimpikan rumah, mobil, fasilitas, bahkan terang lampu-lampu di luar jangkauannya. Sementara kehidupan

kota adalah adalah rimba raya yang asing dan tak ia kenali. Sita tak tahu bagaimana membujuknya supaya menyembunyikan gadis-gadis ayu nan berpendidikan dari pandangan Rama.

Pintu belakang rumah mereka—rumah peninggalan ibu Rama--berderik. Suaminya memanggil dengan suara serak. Kedua matanya berlumuran kantuk.

“Cari apa, Ta?”

Sita ingin mengatakan sedang mencari kepercayaannya kepada Rama yang tersapu ombak. Ia ingin membicarakan soal kemeja yang ternoda lipstik. Tapi, keraguan menyumbat tenggorokannya. Bagaimana bila Rama membenarkan dugaannya? Bagaimana bila dugaannya benar tetapi Rama berbohong dan mengelak? Bagaimana bila dugaannya keliru dan Rama berbalik membencinya?

“Rama, baik di sini atau di kota sana, enggak ada perempuan lain, ‘kan?” Pada akhirnya itu saja yang sanggup Sita katakan. Pertanyaan yang terdengar polos, pasif, tak lebih dari rajukan seorang istri yang cemas ditinggal sendirian. Sementara kelebatan warna merah tua di atas kemeja lusuh Rama terpuruk lagi di sudut kepalanya, dimatikan, terlupakan. Sebelah tangan Rama menjangkau bahu Sita. Ia bawa istrinya itu kembali ke rumah, ke kamar mereka, ke pelukannya.

“Hanya ada kamu, Sita. Ayo tidur lagi!”

Sita mengangguk. Akan tetapi, sebelum sepenuhnya larut ke dalam lingkaran tangan Rama yang posesif tadi, ia masih sempat melihat semerbak bunga api yang diterbangkan angin. Dan, dalam detikdetik singkat itu, ia ingin sekali mendorong suaminya yang masih limbung oleh kantuk ke dalam bara api.

Rama, suamiku, terjunlah ke dalam api. Bila memang tidak ada perempuan lain, ia tidak akan membakarmu. Ia akan melunakkan dirinya untuk seorang suami yang setia.

Sebab lidah bisa berbohong dan sekumpulan lelaki hidung belang di lingkaran pekerjaannya pasti akan melindungi Rama. Maka, Sita kira, cuma itu satu-satunya cara untuk membuktikan kesetiaan Rama kepadanya. Seperti Dewi Sita yang mengorbankan hidupnya demi membuktikan kesuciannya kepada Sri Rama dan segenap rakyat Ayodhya.

Meski, pada kenyataannya, Dewi Sita adalah korban penculikan yang pergi bukan atas kehendaknya sendiri. Meski, tak sedetik pun waktu yang ia lewati di Taman Asoka berlalu tanpa sosok Sri Rama memenuhi kepalanya. Dan, ketika pada akhirnya Rahwana berhasil menyelamatkannya, ia pulang hampir-hampir dengan tubuh yang cuma tersisa tulang terbungkus kulit.

Ah, bahkan Dewi Sita pun tak mempertanyakan kesetiaan Sri Rama dalam masa penculikannya. Tak seorang pun di Ayodhya meragukan kesetiaan Sri Rama. Meski, tak seperti Dewi Sita yang dikekang Rahwana dan tak sanggup menginjak sejengkal pun tanah di luar Taman Asoka, Sri Rama memiliki seluruh kebebasannya selama Dewi Sita tak ada di sisinya.

Sita, si perempuan pesisir ini, tentu tak bisa menggugat kesetiaan Rama apalagi memintanya menceburkan diri ke dalam kobaran api. Tak akan ada yang mempercayainya, tak akan ada yang berdiri di sampingnya. Sebab menjaga kesucian adalah tugasnya, sebagai seorang istri, sebagai seorang perempuan. Sementara tugas suaminya adalah menghidupi diri mereka, entah dengan melaut atau bepergian ke kota. Istri yang berani mempertanyakan kesucian suaminya yang rela berhari-hari tak pulang demi mencari nafkah, hanya akan dianggap tak tahu diuntung. Istri seperti itu lah yang seharusnya menceburkan diri ke dalam kobaran api.

“Ta, kamu percaya saya, kan? Kamu harus percaya saya.”

“Iya, aku percaya kamu.”

Sita mencamkan kata-kata itu berkalikali kepada dirinya sendiri. Bahwa ia mempercayai Rama. Bahwa noda merah tua di kemeja lusuh suaminya bukan lipstik perempuan kota, tapi darah ikan tuna yang tubuhnya robek tersangkut jala. Namun, semakin Sita berusaha mematri keyakinan itu di hatinya, perasaan itu juga terasa makin kuat. Sebentuk perasaan yang baru pertama kali ini ia dapatkan. Perasaan tak berdaya, tak punya suara, dan tak punya pilihan seperti seorang gadis yang tertunduk memandangi sepasang sandal pada hari lamarannya.

Penulis adalah kontributor Majalah Komunikasi UM

This article is from: