Rancak Budaya
ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda
oleh Shella Novianti
Api dan Nasib Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda
D
i belakang rumahnya, Sita punya segalanya; ribuan kubik pasir putih yang menggelitik kaki, bau amis lautan, pepohonan nyiur yang berbuah sepanjang tahun, dan debur ombak serta buih-buih putihnya yang tak pernah habis. Satu-satunya yang tak pernah ia miliki baik dulu maupun sekarang barangkali cuma harapan. Pada usianya yang kesebelas atau sekitar itu, Sita sadar bahwa desa pesisir miskin tempatnya dilahirkan ini tak akan sanggup membawanya ke masa depan yang terang. Sesuatu yang terasa seperti nyanyian terumbu karang memberitahunya bahwa ia cuma akan mengulangi nasib orang tuanya. Nasib kakek dan neneknya, pakde dan budenya, paklik dan buliknya, sepupusepupunya, tetangga-tetangganya. Ia hanya akan menamatkan sekolah sampai SMP, sebab gedung SMA negeri terlalu jauh dan ia tak punya uang untuk membayar uang pangkal SMA swasta yang konon katanya punya dua ratus perangkat komputer dan lebih dekat sekitar dua kilometer itu.
Itu pun kalau ia beruntung bisa benarbenar punya ijazah SMP. Sebab, beberapa temannya putus sekolah pada kelas dua untuk membantu mengurus tambak orang tua, mengurus adik yang masih terlalu kecil untuk ditinggal di rumah sendirian, mengurus ayah yang mulai renta dan sakit-sakitan. Nyatanya, Sita memang dua kali lebih beruntung dibandingkan teman-teman sebayanya. Selain berhasil menyematkan namanya pada selembar ijazah SMP, ia juga berhasil menikahi lakilaki yang dicintainya. Sita tak tahu rasanya tertunduk meratapi sepasang sandalnya sendiri pada hari lamaran. Ia tak tahu rasanya menjalani pernikahan yang diputuskan orang lain, berbakti kepada suami yang dipilihkan orang lain, memasak dan mencucikan baju seseorang yang selamanya akan membuatnya teringat pada perasaan tak berdaya, tak punya suara, dan tak punya pilihan pada hari lamaran itu. Sita punya segalanya; ribuan kubik pasir putih yang menggelitik kaki, bau amis lautan, pepohonan nyiur yang berbuah
sepanjang tahun, debur ombak serta buihbuih putihnya yang tak pernah habis, dan seorang suami yang amat dicintainya. Suami Sita yang juga tak pernah mencicipi bangku SMA itu bernama Ramadhani. Orang-orang memanggilnya Rama, dan Sita pikir itu cocok sebab nyatanya Ramadhani memang tak lahir pada bulan Ramadhan. Rama lahir pada pertengahan bulan kedua kalender Jawa, saat bulan yang bulat sempurna bertengger gagah di langit. Berdasarkan hitungan Jawa, tanggal lahir itu pas dengan milik Sita. Oleh sebab itu, mereka diperbolehkan menikah. Meski, Rama melamarnya nyaris dengan tangang kosong setahun yang lalu. Sita memang sudah tergila-gila dengan Rama sejak mereka masih kanak-kanak. Sehingga, meski Rama juga tak sanggup membawanya ke masa depan, Sita tetap merasa menjadi perempuan paling bahagia di dunia, atau paling tidak di desa pesisir miskin itu. Dari
kecil,
Rama
memang
sudah
Tahun 44 Mei - Juni 2022 |
33