9 minute read

LAPORAN UTAMA

Next Article
SEPUTAR KAMPUS

SEPUTAR KAMPUS

Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda

Membangun Ketahanan Kampus dari Intoleransi dan Radikalisme

Advertisement

Sikap intoleran dan radikalisme ialah salah satu momok yang menghantui keberlangsungan kehidupan di perguruan tinggi. Menurut survei Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2020), sekitar 30% mahasiswa Indonesia memiliki tingkat toleransi beragama yang rendah. Lantas, bagaimana tanggapan para pakar Universitas Negeri Malang (UM) mengenai intoleransi dan radikalisme yang menjamur di lingkungan kampus? Apa saja upaya yang dilakukan UM dalam membangun ketahanan kampus dari intoleransi dan radikalisme? Berikut ulasannya.

Akar Intoleransi dan Radikalisme di Lingkungan Kampus

Radikalisme merupakan bahaya laten yang berpotensi menimbulkan sikap intoleran. Pangkal bertumbuhnya radikalisme berasal dari berbagai macam faktor. Menilik kembali peristiwa sejarah yang ada, radikalisme dapat bermotif kesenjangan ekonomi, seperti halnya kasus kerusuhan pribumi dengan etnis Tionghoa pada 1998 silam. Radikalisme juga dapat terjadi akibat pertentangan ideologi politik, layaknya polemik Pilpres 2019 lalu.

Drs. Slamet Sujud Purnawan Jati, M. Hum. selaku Kepala Pusat Pengkajian Pancasila (P2P) UM menuturkan bahwa radikalisme sejatinya merupakan gerakan antiPancasila, gerakan yang ingin mengubah Pancasila dengan cara-cara yang keras tanpa mentoleransi perbedaan. Menurut Bapak Sujud, peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa sering kali digempur berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. “Faktor internal yang mengancam, contohnya rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila, tidak adanya kesadaran dalam mengimplementasikan Pancasila, serta kesenjangan sosial dan ekonomi. Sedangkan, faktor eksternalnya ialah infiltrasi ideologi transnasional seperti kapitalisme, khilafah, liberalisme, dan sebagainya, termasuk radikalisme,” terang Bapak Sujud.

Bapak Sujud juga menjelaskan bahwa radikalisme sendiri dapat muncul akibat perbedaan ideologi, faktor teologi (misalnya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat suci), anggapan bahwa pemerintahan yang ada bersifat otoriter, serta rasa tidak suka akan perbedaan yang masuk akibat globalisasi. “Ciri-ciri orang sudah terpapar radikalisme mudah dideteksi, misalnya membenci dan selalu memojokkan pemerintah, tidak mau menyanyikan lagu kebangsaan, tidak mau menghormati bendera merah putih, atau tidak suka mempelajari pelajaran atau mata kuliah Pancasila,” jelas Bapak Sujud.

Lingkungan perguruan tinggi adalah salah satu aset unggul karena mampu mencetak sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Akan tetapi, perguruan tinggi juga menjadi salah satu target bagi oknum-oknum intoleran dan radikal dalam menyebarkan pahampaham yang mereka anut. Terlebih lagi, berkembangnya teknologi yang membuat persebaran informasi lebih cepat dapat membuat radikalisme mampu merebak secara kilat. Menurut Bapak Sujud, kalangan mahasiswa ialah sasaran empuk bagi kaum yang ingin menyuntikkan paham radikalisme. “Mahasiswa masih ingin mencari jati diri dan ingin mengenal sesuatu yang baru. Mahasiswa juga mudah untuk dipengaruhi, terutama mereka yang merasa tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya. Pelaku penyebar paham radikalisme akan ‘merangkul’ mereka supaya mereka merasa diperhatikan dan diterima, dan akhirnya mengajak mereka bergabung dengan kelompok mereka,” tutur Kepala P2P yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS) ini.

Prof. Dr. Yusuf Hanafi, S.Ag., M.Fil.I. memberikan sudut pandang lain terkait radikalisme, yakni radikalisme bukanlah sebuah gerakan sosial, tetapi wacana dan

aksi yang berakar dari ideologi. Menurut beliau, ada tiga hal besar yang menjadi ancaman terhadap harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, adanya kecenderungan berideologi yang mudah menghakimi. Dalam konteks beragama Islam, contoh dari sikap mudah menghakimi ialah mengecap tradisi beragama yang ada dengan sebutan kafir, bidah, sesat, dan lain sebagainya, serta sering kali menggunakan ayat-ayat suci untuk menguatkan argumen. Kedua, mentalitas beragama yang dogmatis, berujung memaksakan kehendak orang lain supaya sesuai dengan apa yang diyakini. Ketiga, kecenderungan umum yang beroposisi brutal terhadap pemerintah, sehingga selalu menyalahkan atau menentang apa pun yang dilakukan pemerintah.

Usaha UM Membangun Ketahanan Kampus dari Intoleransi dan Radikalisme

Membangun ketahanan kampus harus diawali dengan sinergi membangun kedaulatan dalam masing-masing individu. Menurut Prof. Dr. Hariyono, M.Pd. selaku Wakil Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila Republik Indonesia (BPIP RI), belajar dalam mengenal diri sendiri penting dalam proses membangun benteng pertahanan terhadap intoleransi dan radikalisme. “Sivitas kampus UM perlu memahami bahwa belajar bukan sekadar penghidupan, tetapi untuk kehidupan,” tegas Bapak Hariyono yang juga merupakan Guru Besar UM.

Salah satu misi UM ialah menjadi perguruan tingi yang unggul dalam hal pembelajaran. Demi mewujudkan impian tersebut, UM terus berusaha untuk memperbaiki kurikulum yang diterapkan supaya mahasiswa dapat berpikiran terbuka. “Salah satu syarat menjadi manusia unggul ialah open-minded, tidak alergi terhadap ide-ide baru dan sesuatu yang berbeda, selama hal tersebut memiliki argumen yang secara empiris dan logis dapat dipertanggungjawabkan. Apabila mahasiswa sudah open-minded, maka mereka akan siap menerima realitas yang ada, termasuk perbedaan,” kata Bapak Hariyono.

Sistem pembelajaran yang ada seyogianya bukan sekadar proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis dan terbuka. Menurut Bapak Hariyono, kurang terbukanya cara berpikir merupakan tantangan terbesar dalam menghadapi intoleransi dan radikalisme. Mindset yang kurang terbuka tidak hanya terdapat pada orang-orang yang belum terdidik. Nyatanya, banyak kalangan berpendidikan tinggi yang sangat meyakini ide-ide tertentu secara maksimal dan tidak siap menerima pandangan serta cara-cara baru.

Untuk menghadapi pola berpikir yang sempit, inovasi belajar di UM bukan sekadar menemukan metode belajar sesuai perkembangan zaman, tetapi juga membangun roh belajar yang merdeka bagi kehidupan. Jika semangat belajar tersebut berhasil ditanamkan, maka mahasiswa akan terdidik dengan tanggung jawab moral membangun peradaban manusia yang lebih baik di masa depan, tanpa mengandalkan kekerasan dan mau menerima perbedaan. Kurikulum pembelajaran juga harus mempertimbangkan cara untuk mengembangkan kapasitas belajar, karena sejatinya belajar adalah proses yang dilakukan sepanjang hayat.

Sejalan dengan pendapat Bapak Hariyono, Bapak Sujud juga menegaskan bahwa pendidikan penting untuk menangkal intoleransi dan radikalisme di lingkup perguruan tinggi. Pengetahuan, keterampilan, dan kecerdasan yang diperoleh mahasiswa mesti dibungkus dengan sikap religius dan sikap sosial yang terpuji. Mahasiswa juga hendaknya dibekali pemahaman terhadap ideologiideologi yang ada di dunia supaya bisa membandingkan nilai-nilai mana yang perlu diadopsi ataupun dihindari dari berbagai ideologi yang ada. Dalam praktiknya, UM memasukkan mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Agama dalam kurikulum sebagai perisai mahasiswa dalam menghadapi ancaman intoleransi dan radikalisme.

“Pendidikan memberikan pengetahuan yang benar. Jika pengetahuan yang diterima benar, maka diperoleh pemahaman yang benar. Jika pemahaman benar, maka akan mempengaruhi cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini perlu dukungan para pengajar yang sudah dibekali dengan cukup,” kata Bapak Sujud.

Penguatan ideologi Pancasila juga signifikan dalam menghalau pahampaham radikal. Pancasila tidak hanya sekadar dihafalkan, tetapi nilai-nilainya perlu diterapkan dalam kehidupan. Selain melalui mata kuliah Pendidikan Pancasila, penguatan ideologi Pancasila juga dapat diperoleh melalui kegiatan akademis di luar kelas. P2P UM sebagai ujung tombak UM membangun ketahanan kampus secara rutin telah menggelar sarasehan, diskusi, maupun seminar Pancasila tiap tahunnya. Beberapa waktu belakangan (11/03), UM juga bekerja sama dengan BPIP RI dalam melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) “Advokasi Pencegahan Radikalisme” sebagai upaya mengantisipasi bahaya radikalisme dan ekstremisme di lingkup perguruan tinggi.

Pentingnya Moderasi Beragama dalam Membasmi Intoleransi dan Radikalisme

Dalam memerangi intoleransi dan radikalisme, penting untuk membuat moderatisme sebagai arus utama pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan penjelasan Bapak Yusuf Hanafi, moderatisme artinya menekankan keseimbangan dan sikap tengah, sehingga bisa menghindarkan diri, baik segi sikap, pemahaman, maupun perilaku dari paham ekstrem. “Kita perlu mewaspadai radikalisme berlatar belakang agama yang tengah marak, dan ketahanan kampus dari ideologi radikal adalah bagaimana kita mengarus-utamakan moderasi beragama,” ucap beliau. Menurut Bapak Yusuf, ada empat indikator yang perlu ditekankan dalam moderasi beragama untuk membangun ketahanan kampus dari intoleransi dan radikalisme. Pertama, menumbuhkan komitmen kebangsaan. Berbicara mengenai komitmen kebangsaan, warga negara Indonesia tentunya harus berpegang teguh terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat Indonesia mesti memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, menerima bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang homogen, melainkan heterogen. Kedua, memupuk toleransi, karena toleransi merupakan salah satu ajaran dalam agama mana pun. Penting untuk mengarifi perbedaan tanpa kehilangan jati diri. Soal keyakinan boleh berbeda, tetapi perbedaan keyakinan tidak menghalangi sinergi dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, menanamkan anti-radikalisme dan anti-kekerasan. Dalam menghadapi situasi

seperti penistaan agama, tidak boleh ada anarkisme dalam menegakkan keadilan. Keempat, bersikap akomodatif terhadap budaya lokal yang tidak bertentangan dengan agama. Budaya gotong royong misalnya, hal tersebut tidak bertentangan dengan norma agama mana pun, justru sangat sejalan. Eksistensi upacara-upacara keagamaan yang tidak merugikan (misalnya budaya slametan di Jawa) hendaknya juga dihormati oleh pemeluk agama mana pun.

Keutamaan moderasi beragama juga disampaikan oleh Bapak Hariyono. Beliau menjelaskan bahwa peran manusia sebagai warga negara dan umat beragama berbeda, tetapi saling terkait. Posisi sebagai umat beragama dan warga negara sering kali tidak dipahami dalam konteks yang sewajarnya, sehingga muncul tafsir bahwa seseorang menjadi pemeluk agama tertentu tanpa menjadi seorang warga negara. Akibatnya, ada yang memaksakan keyakinan agama kepada orang lain.

Bapak Hariyono menjelaskan, Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang menciptakan manusia dengan agama yang berbeda-beda, tetapi Tuhan justru memberikan manusia mempunyai kebebasan memilih keyakinannya, dan pilihan tersebut nantinya yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Keberagaman adalah suatu keniscayaan, maka manusia harus memahami bahwa apa yang diyakini benar tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Dalam beragama pun ada kebebasan memilih aliran, misalnya kebebasan memilih mazhab dalam Islam. Di kampus juga ada kebebasan dalam memilih bidang studi yang hendak dipelajari. Hendaknya tiap individu tidak meremehkan individu lain dengan keyakinan yang berbeda, atau yang mempelajari bidang ilmu berbeda. “Bila seseorang telah menerapkan moderasi beragama, maka dia akan sadar bahwa perbedaan ada untuk saling melengkapi,” tutur beliau.

PKKMB sebagai Perisai Mahasiswa Baru Hadapi Intoleransi dan Radikalisme

Mendekati tahun ajaran baru, pelaku gerakan radikalisme tentu telah merencanakan strategi khusus untuk menginjeksikan paham radikal kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa yang baru menginjak dunia perkuliahan. Salah satu upaya membentengi mahasiswa baru dari intoleransi dan radikalisme yang dilakukan UM ialah melalui Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB).

“PKKMB tidak hanya mengenalkan kampus kepada mahasiswa, tetapi juga memberikan wawasan kebangsaan dan Pancasila. Inilah salah satu upaya UM agar mahasiswa baru mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang ketahanan kampus, supaya mereka tidak disantap oknum radikal,” jelas Bapak Sujud.

Dalam pelaksanaan PKKMB, mahasiswa baru akan mendapatkan materi tentang anti-radikalisme. Di samping itu, ada pula tambahan materi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengenai bahaya terorisme yang disampaikan langsung oleh profesional. Status mahasiswa yang sudah tidak bergantung pada guru menjadikan mereka lebih bebas dalam bertindak. PKKMB berperan untuk membekali mahasiswa baru dalam mempertanggungjawabkan kebebasan mereka. “Jangan sampai kebebasan membuat mereka menjadi intoleran, yang berujung tidak bisa memberikan respek terhadap orang lain,” harap Bapak Hariyono.

Pancasila sebagai Jimat Penangkal Intoleransi dan Radikalisme

Fungsi Pancasila sebagai dasar negara, pedoman hidup, ideologi, kepribadian, jiwa, falsafah, perjanjian luhur, sumber dari segala sumber hukum, cita-cita, dan tujuan bangsa Indonesia tidak dapat diotak-atik ataupun diganggu gugat. Sejarah membuktikan bahwa Pancasila dapat mengalahkan semua masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bapak Sujud membagikan langkahlangkah dalam menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menyelesaikan permasalahan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Langkah pertama adalah penyuasanaan, yakni membangun suasana kondusif di masyarakat dengan berpedoman terhadap Pancasila. Kedua, pembiasaan (habituasi), yaitu membangun kebiasaan positif berlandaskan Pancasila. Ketiga, apresiasi atau pemberian penghargaan kepada orang-orang yang telah mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Bagi mereka yang telanjur terpapar nilai radikal, langkah apresiasi adalah dengan merangkul dan membimbing mereka tanpa memusuhi. Kelima, peneladanan; setiap komponen bangsa harus bisa menjadi role model pengamalan Pancasila.

Menurut Bapak Yusuf, melawan intoleransi dan radikalisme mirip dengan melawan Covid-19, yakni sesuatu yang tidak kasat mata tetapi berbahaya. Oleh karena itu, supaya sivitas UM tidak terjangkit virus radikalisme, perlu adanya proteksi dengan moderasi. Jika dikaitkan dengan konteks Islam, moderatisme adalah wajah agama yang sejati, ajaran tuhan lewat para nabi. Ironisnya, radikalisme sering kali mengatasnamakan agama. Kaum-kaum yang menyerukan radikalisme dengan membawa agama sejatinya keliru dalam melakukan penafsiran dan reinterpretasi terhadap ajaran agama. Dengan moderasi beragama dan Pancasila, Bapak Yusuf berharap intoleransi dan radikalisme dapat dilawan. “Semakin moderat, kita makin Indonesia. Kian cintai negeri, jimat kita adalah Pancasila dan NKRI,” pungkas beliau.

Izam/Zahirah

Penyampaian Materi Antiradikalisme oleh Prof. Yusuf

This article is from: