6 minute read
RANCAK BUDAYA
Ilustrasi oleh : Alfan Khoirul Huda
oleh Devid Anggi Septiana
Advertisement
Suara ayam berkokok sudah mulai terdengar, tapi masih terlalu petang untuk sang surya menampakkan diri. Biasanya orang-orang masih tertidur pada jam ini, tapi kali ini semua orang sudah memulai aktivitas yang selalu dilakukan di bulan suci.
Sahur.
Suara kentongan dan seruan warga bahkan sudah terdengar sejak setengah jam yang lalu guna membangunkan warga. Usaha mereka tidak sia-sia karena beberapa sudah mulai beranjak meninggalkan selimut nyaman mereka. Termasuk pemilik rumah sederhana dekat pos kamling. Ia adalah bu Sawi. Seorang ibu yang berumur sekitar 60-an tahun yang saat ini tinggal seorang diri. Tidak, ia bukan sebatang kara. Suaminya memang sudah meninggal sejak lama tapi ia masih memiliki anak. Akan tetapi, mereka tidak tinggal bersama bu Sawi lagi.
Di tengah dinginnya udara pagi, bu Sawi lantas beranjak dan mulai membuat menu wajib setiap sahur pertama di bulan puasa. Sayur lodeh dan teh hangat. Selalu seperti ini selama beliau berkeluarga. Namun, sahur pertama untuk tahun ini terasa sangat berbeda meskipun memakan menu yang sama. Iya, berbeda. Tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, selalu ada anaknya yang menemaninya. Kini ia hanya seorang diri.
Ia ingat dulu yang bangun pertama setelahnya adalah anak kedua. Dilanjut dengan anak pertama, kemudian yang ketiga. Ketiga anak pertama memang mudah dibangunkan. Meskipun, mereka semua laki-laki. Dan urutan terakhir adalah bungsu kembar. Iya, dua anak terakhir adalah perempuan yang kembar identik. Tapi, siapa sangka, meskipun perempuan mereka berdua sangat susah dibangunkan. Bahkan tidak jarang saat sahur bu Sawi mendudukkan mereka untuk menyuapi. Dan paginya, bungsu kembar akan marah karena merasa lapar akibat merasa tidak sahur. Sungguh lucu menurut bu Sawi maupun kakak-kakaknya. Mungkin karena mereka bungsu dan perempuan, jadi tidak heran jika disayang satu keluarga.
“Gimana kabar kalian semua, Nak?” gumam bu Sawi di tengah sahurnya yang sunyi. Sesunyi hatinya. Tapi sunyi itu tak berlangsung lama setelah sekelebat ingatan yang seolah menghantam pikiran.
Flashback “Bu, hari ini aku keluar ya,” pamit si bungsu pertama di sore itu. Dia bahkan sudah sangat rapi berdandan. Bu Sawi sampai keheranan. “Kamu mau kemana, Nak? Ini udah sore, lo,” Dikhawatirkan seperti itu, bukannya luluh, si bungsu malah merenggut tak suka. “Apa sih, Bu? Iya, emang udah sore terus kenapa? Aku ada janji ketemu temenku di kota,”
“Tapi, kan bisa besok, Nak. Kamu batalin ya. Bilang ke temenmu kalau besok aja,”
“Nggak mau. Udah deh, Bu. Nggak usah terlalu berlebihan, aku sudah besar,” ujar si bungsu pertama lalu berlalu begitu saja dengan buru-buru. Namun, belum sampai dia berjalan jauh dari pintu. Kembarannya memanggil. “Kamu mau kemana? Jangan bilang kamu mau menemui dia lagi?” tanya si bungsu kedua. “Emang kalau iya kenapa? Bukan urusan kamu kan?” “Aku kan udah berkali-kali bilang ke kamu kalau dia bukan anak baik-baik. Kamu lebih percaya dia daripada kembaranmu sendiri?”
“Aku percaya dia karena kamu nggak tahu apa-apa soal dia. Udah sana urusin aja Ibu. Aku buru-buru.” Si bungsu
kedua terus memanggilnya tapi tidak dipedulikan oleh bungsu pertama. Akhirnya, dia berlari ke rumah dan mencari kakak-kakaknya yang lain. Dia khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada kembarannya. Bu Sawi pun juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah anaknya pergi. “Bu, kakak-kakak belum ada yang pulang, ya?” “Belum, Nak. Mereka semua pada sibuk sama urusan sekolah. Apalagi, kakak pertamamu kerja juga,” jawab bu Sawi. Si bungsu kedua terlihat gusar. Kemudian dia berlari ke kamar untuk mengambil tas dan pamit pada bu Sawi jika dia ingin menyusul kembarannya. “Nggak. Bahaya, Nak. Kamu di rumah aja. Nunggu kakakmu yang lain pulang dulu. Biar mereka aja yang nyusul.” Si bungsu kedua malah makin tak tenang. Tapi, jika menceritakan pada bu Sawi tentang siapa yang ditemui kembarannya dia yakin, dia makin tak diperbolehkan pergi.
‘Aku harus pergi diam-diam,’ batin si bungsu kedua. Dan sesuai rencana, dia tadi berbohong pada bu Sawi jika tak jadi pergi. Tapi, saat bu Sawi pergi ke dapur untuk makan, dia langsung bergegas pergi ke kota. Kegelisahannya sudah tak dapat ia bendung lagi. Dia harus menyelamatkan kembarannya. ***
Langit sudah menggelap saat si bungsu kedua sampai di kota. Hal itu kian membuatnya makin tak tenang. Dia bingung harus mencari kembarannya ke mana lagi. Kakinya sudah lelah karena sudah mengitari hampir di segala penjuru kota. Tapi, langkahnya berhenti karena dia ingat satu lagi tempat yang paling memungkinkan dikunjungi kembarannya untuk menemui orang itu. Dia segera berlari menuju tempat itu, tak peduli kakinya yang sudah lecet.
Tepat sekali sesuai dugaan si bungsu kedua. Di depan matanya terlihat jelas ada kumpulan laki-laki urakan yang sedang tertawa bersama. Badannya menegang saat dia melihat kembarannya yang sekarang sedang terbujur tak berdaya bersandar pada dinding bagunan kosong di pinggir kota yang sepi itu. Tanpa rasa takut, dia kemudian berlari ke sana untuk menyelamatkan kembarannya.
“Wah, siapa nih? Oh, mau jemput kembarannya ya? Sini dong, main dulu sama kita.” Salah satu dari mereka mencoba menyentuh si bungsu kedua.
Bugh!
Sebuah tendangan dari si bungsu kedua tepat mengenai kaki laki-laki yang mencoba menyentuhnya tadi. Laki-laki tadi tak terima dan langsung mendorong bungsu kedua ke dinding sampai bungsu kedua mengaduh kesakitan.
“Tolong!”
“Percuma! Di sini nggak ada yang bakal dengar.” Dan yang terakhir terdengar saat itu adalah teriakan si bungsu kedua.
Isakan demi isakan kian terdengar di sahur sunyi itu. Sekelebat ingatan bu Sawi tadi adalah tentang anak kembar bungsunya yang sangat ia sayangi. Kini mereka berdua yang dulu tawanya paling menggema saat buka tiba sudah pergi untuk selamanya. Penyesalan selalu menyapa bu Sawi tiap saat. Menyesal karena dulu tak becus menjaga bungsu kembar.
Tiba-tiba suara telepon rumah berbunyi, bersamaan dengan suara imsak. Tangisnya kembali pecah saat mendengar suara anak sulungnya. Seperti obat di tengah kerinduan yang melanda. Anak-anaknya memang sudah punya keluarga masing-masing dan hidup di kota. Sebenarnya si sulung awalnya mengajak bu Sawi untuk ikut bersamanya karena akan sendirian di sini. Tapi, ditolak karena bu Sawi masih ingin menemani bungsu kembar jika mereka berkunjung. Meskipun sudah tiada, entah kenapa bu Sawi sering merasa bungsu kembar terkadang ada di dekatnya.
“Aku ini lagi di jalan, Bu. Nanti mungkin sekitar jam 8 pagi aku sampai. Kita mau ke sana, kan? Adik-adik juga lagi perjalanan ke rumah,” kata si sulung di seberang sana mengabari.
“Alhamdulillah, akhirnya kalian ke sini. Iya, kita ke sana bareng-bareng ya? Bungsu kembar pasti rindu dengan kalian,” ***
Daun-daun terlihat berguguran diterpa angin sepoi-sepoi. Tenang dan damai. Seolah menjadi penenang bagi seorang ibu dan anak-anak laki-lakinya yang kini menyusuri daerah pemakaman umum di desa mereka untuk menemui bungsu kembar tersayang. Mungkin sudah hampir setahun bu Sawi tidak mengunjungi mereka berdua. Bukannya enggan, tapi karena tiap akan ke sini, bu Sawi selalu menangis meraung-raung.
Kini, dengan ditemani ketiga anaknya, bu Sawi menjadi lebih tenang. Dan mungkin sekarang ia sudah bisa merelakan bungsu kembar seikhlasikhlasnya.
“Anakku, maafin Ibu ya belum bisa jadi Ibu yang baik untuk kalian. Maaf nggak bisa jagain kalian. Ibu sangat menyesal dan sedih. Tapi, kalau Ibu tetap sedih, kalian pasti juga sedih. Jadi, Ibu sekarang mencoba mengikhlaskan kalian. Kalian sering-sering nengokin Ibu ya? Biar Ibu nggak kesepian,” ucap bu Sawi disertai air mata yang terus mengalir. Para kakak bungsu kembar kemudian bergantian untuk mendoakan juga. Mereka akhirnya juga bisa menerima kepergian adiknya dengan ikhlas. Meskipun tetap ada air mata yang menetes. Tapi, tak ada lagi raut wajah kosong di wajah bu Sawi maupun ketiga anak laki-lakinya. Dan tanpa mereka sadari, bungsu kembar ada di sana, bersama mereka sejak mereka datang dengan senyum tulus.