
4 minute read
Manajemen Emosi dalam Komunikasi Virtual di Era Pandemi Covid-19
oleh Amanatul Haqqil Ibad
Advertisement
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masih menjadi sorotan di Indonesia. Tercatat pada laman website covid19.go.id, 278.722 orang positif Covid-19 per 28 September 2020. Berbagai aktivitas yang sempat dapat dilakukan secara langsung kurang lebih selama tiga bulan terhitung sejak akhir Mei hingga September 2020, kini harus kembali dilakukan secara online. Hal ini secara otomatis berdampak pada komunikasi yang juga harus dilakukan dengan perantara media tertentu. Komunikasi secara online yang juga dikenal dengan komunikasi virtual ini menjadi konsekuensi yang merata bagi hampir seluruh lapisan masyarakat. Alih-alih menjadi solusi di masa pandemi, komunikasi virtual membawa bumerang tersendiri bagi para komunikator dan komunikannya. Keluar dari masa adaptasi untuk lebih mengenal teknologi, masyarakat diresahkan dengan ambiguitas dan salah tangkap dalam aktivitas komunikasi virtual. Berperan pentingnya gerak tubuh, kontak mata, tinggi rendahnya suara, jarak tubuh, dan lain sebagainya dalam komunikasi secara langsung, mengakibatkan munculnya keterbatasan tersendiri dalam komunikasi virtual. Terlebih, hal ini terjadi dalam komunikasi virtual asinkron atau yang dilakukan secara tidak serempak. Pengirim pesan dengan penerima pesan tidak berada di waktu yang sama melalui pesan pasif atau yang diartikan penulis sebagai pesan yang tidak dapat diketahui bagaimana mimik wajah komunikator dan komunikannya, gesturnya, tatapan matanya, tinggi rendahnya suara, dan lain sebagainya. Tentu komunikasi virtual asinkron secara pasif tersebut akan jauh lebih berpeluang mengakibatkan miskomunikasi dibandingkan dengan komunikasi virtual sinkron (secara serempak) seperti halnya video call. Meskipun secara definisi dan fungsi, miskomunikasi dalam komunikasi virtual dapat diperkecil dengan memanfaatkan video call, pada kenyataannya aplikasi atau ruang virtual yang memfasilitasi video call juga memiliki kekurangan yang mempengaruhi pertimbangan masyarakat secara signifikan. Adapun kekurangan yang dimaksud adalah besarnya kuota yang dibutuhkan untuk mengakses aplikasi khusus video call. Semakin besar kuota yang dibutuhkan maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini menjadi pertimbangan yang mempengaruhi masyarakat sehingga tidak menggunakan aplikasi video call dalam komunikasi virtual secara rutin dan terus-menerus. Berdasarkan survei singkat yang dilakukan melalui penyebaran angket online, tercatat bahwa 45 dari 46 responden menggunakan WhatsApp dan satu lainnya menggunakan Telegram dalam berkomunikasi secara virtual. Hal ini menunjukkan bahwa WhatsApp merupakan media terbaik yang telah dipertimbangkan dari berbagai sisi untuk menunjang komunikasi di era pandemi seperti saat ini. Sebesar 88,9% dari seluruh responden menyatakan bahwa pernah mendapati kesulitan ketika berkomunikasi secara virtual. Adapun dari sejumlah 88,9% atau sebanyak 40 responden, memiliki masalah utama dalam mengartikan maksud/intonasi/ekspresi dari pesan yang diterima, dibuktikan dengan 26 responden di antaranya yang menyatakan hal tersebut. Hal ini mengartikan bahwa tidak ada tatap muka langsung di antara komunikan dan sangat memungkinkan dilakukan di waktu yang berbeda. Fenomena ini akan mengakibatkan rawan kesalahpahaman antara komunikator dan komunikan. Begitu pula yang terjadi pada sembilan responden lainnya yang menyatakan bahwa mereka mendapati masalah ketika hendak menyampaikan maksud/intonasi/ekspresi dari pesan yang akan dikirimkan, sedangkan sisanya menyatakan bahwa mereka mengalami masalah terkait cara menanggapi/mengatur emosi dan tanggapan atas simbol/pesan yang diterima. Tiga masalah tersebut merupakan masalah lumrah yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi tiap-tiap individu. Adapun ketiga masalah yang terjadi tersebut, bersesuaian dengan yang disebutkan oleh Fiske dalam bukunya yang berjudul Cultural and Communication Studies (dalam Ane, 2020) meliputi pentransmisian secara akurat terhadap bahasa simbol, baik ketika menerima atau menyampaikan pesan dan pengaruh makna pesan terhadap tingkah laku komunikator serta komunikannya. Apabila bahasa simbol atau pesan tidak dapat ditransmisikan dengan baik maka akan rawan menyebabkan kesalahpahaman atau miskomunikasi sebagaimana disinggung sebelumnya. Apabila terjadi miskomunikasi, tentu akan sangat mungkin mempengaruhi sikap atau tingkah komunikator dan komunikan. Terbatasnya ruang dan jarak yang terjadi saat ini, seakan memaksa masyarakat sebagai pihak komunikator sekaligus komunikan untuk mengartikan pesan secara sepihak. Apa yang telah dipahami dalam satu kali membaca pesan akan langsung mempengaruhi sikap yang diambil untuk mengirimkan balasan pesan sesuai perspektif awal. Perlu manajemen yang baik bagi seseorang untuk dapat mengolah pesan yang diterima sebelum mengirimkan kembali balasan pesannya. Seorang komunikan juga perlu memikirkan kembali tentang berbagai kemungkinan yang mendasari lawan komunikasinya menyampaikan suatu pesan. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan manajemen emosi yang baik dalam menjalani aktivitas komunikasi secara virtual. Memanajemen emosi berarti berupaya untuk mengatur dan mengendalikan reaksi, baik yang berupa perasaan diri maupun suatu aksi. Ketika tersimpulkan suatu makna negatif dari pesan yang diterima, seseorang yang mampu memanajemen emosinya akan berpikir dua kali sebelum menjawab. Hal ini terkait dengan kemungkinan alasan yang melatarbelakangi komunikator dalam mengirimkan pesan atau bentuk menghindari kemarahan dalam menanggapi pesan. Selain berpikir ulang sebelum menjawab, bentuk memanajemen emosi lainnya adalah dengan memberikan jeda waktu agar pikiran tidak menggebu-gebu untuk menginstruksikan diri meluapkan kemarahan. Sebab, apabila yang terjadi merupakan suatu kesalahpahaman, interaksi berikutnya sangat memungkinkan runyam dan tidak menemui solusi yang dibutuhkan. Adapun seseorang yang telah memiliki manajemen emosi yang baik, dapat menanggapi pesan secara cepat dan tidak berlandaskan kemarahan apabila pesan yang diterimanya bermakna negatif atau memang mengundang kemarahan. Memanajemen emosi memang suatu yang penting untuk diterapkan dan dibiasakan dalam komunikasi virtual karena di dalamnya, intensitas terjadi salah paham dapat dikategorikan tinggi. Terlebih masa pandemi masih berlangsung dan sangat mungkin lebih lama dari yang diprediksikan. Penting diperhatikan dalam hal ini untuk memiliki manajemen emosi yang baik selama menerapkan komunikasi virtual, satu-satunya solusi komunikasi di masa pandemi. Penulis adalah mahasiswa Jurusan Matematika dan Juara 3 Kompetisi Penulisan Opini majalah Komunikasi