![](https://assets.isu.pub/document-structure/210226132335-0df5b9327c306b5e94b63b563bdde5dd/v1/f24d604f6c980eb504170e6c3603a963.jpg?width=720&quality=85%2C50)
3 minute read
Pemira UM 2020,
Tantangan Penegakan Prinsip Jurdil
ilustrasi oleh : Nur Aviatul Adaniyah
Advertisement
Pemilu Raya (Pemira) UM adalah pesta demokrasi prestisius yang diadakan setiap tahun untuk memilih ketua dan wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) serta senator Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) di tingkat universitas. Di tingkat fakultas, Pemira dilaksanakan untuk memilih ketua dan wakil ketua BEM Fakultas, senator Dewan Mahasiswa Fakultas (DMF), dan ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Pada tanggal (15/12/2020), Komisi Pemilihan Umum (KPU) UM telah berhasil melaksanakan Pemira. Tentunya pelaksanaan Pemira tahun 2020 menuntut upaya pelaksanaan yang ekstra karena pertama kalinya berlangsung dalam situasi pandemi. Proses Pemira UM tahun 2020 pada dasarnya berjalan lancar. Namun, seusai pelaksanaannya, muncul gugatan terhadap proses dan hasil Pemira UM tahun 2020. Penyebabnya, persyaratan untuk calon wakil ketua BEM dan senator DPM yang ditetapkan KPU bertentangan dengan Peraturan Rektor No. 43 Tahun 2020 sehingga para ketua Dewan Mahasiswa Fakultas (DMF) se-UM menggugatnya ke Majelis Kemahasiswaan UM agar membatalkan hasil Pemira di tingkat Universitas dan mengagendakan Pemira Ulang.
Staf Ahli Wakil Rektor (WR) 3, Hendra Susanto, Ph.D mengungkapkan bahwa gugatan para ketua DMF tersebut berisikan koreksi atas persyaratan yang ditetapkan KPU tidak sejalan dengan Peraturan Rektor sehingga merampas hak konstitusional caloncalon yang gugur dan tidak dapat bersaing dalam Pemira UM tahun 2020. Gugatan tersebut diterima dan ditindaklanjuti oleh pihak rektorat melalui WR 3 UM, Dr. Mu’arifin, M.Pd., selaku Ketua Majelis Kemahasiswaan. Setelah dua kali proses mediasi antara DMF dan KPU mengalami kebuntuan (deadlock), Majelis Kemahasiswaan memutuskan perlunya Pemira ulang karena adanya temuan penyimpangan KPU yang melukai prinsip kejujuran dan keadilan (jurdil). ”Kami telah menerbitkan
Surat Keputusan terkait Pemira Ulang yang akan diselenggarakan pada 27 Januari 2021. Kewenangan pelaksanaannya ada di KPU dan Panwas baru yang beranggotakan KPU dan Panwas lama ditambah dengan perwakilan masing-masing fakultas,” ujar WR 3.
Dr. Mu’arifin menambahkan, sebelum Pemira diselenggarakan, KPU telah diberikan amanah agar Pemira dijadikan media berdemokrasi yang objektif, jujur, dan adil. Selain itu, KPU juga telah diingatkan agar menjalankan Pemira sesuai dengan regulasi (Peratuan Rektor). “Saya telah memberikan peringatan agar menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran dalam setiap Pemira. Semuanya harus mengacu kepada Peraturan Rektor,” tegasnya. Kurangnya kecakapan KPU dalam menjalankan tugas terbukti dengan tidak adanya konsistensi terhadap timeline yang telah dibuatnya sendiri. WR 3 mengatakan bahwa timeline yang telah dibuat KPU sudah sangat baik, lebih baik dari Pemira sebelumnya tetapi tidak dijalankan dengan alasan yang tidak wajar. “Kami telah melihat jadwal yang dibuat KPU. Pada tanggal 22 Januari 2021 siang, kami melakukan rapat dan rencananya pada sore hari nanti akan dilaksanakan verifikasi oleh KPU terkait calon yang memenuhi syarat Pemira, tapi entah kenapa tidak dilakukan. Ternyata ada gugatan kembali sehingga verifikasi belum bisa dilaksanakan. Padahal pihak PTIK telah menunggu,” terangnya.
Sampai pada tanggal (26/1) lalu, pukul 16.00 WIB, belum juga ada verifikasi. Terpaksa pihak rektorat melalui WR 3 menerbitkan surat pernyataan bahwa Pemira tidak bisa dilaksanakan. Sangat disayangkan perilaku KPU yang tidak mencerminkan keadilan merusak semarak Pemira yang dinantikan oleh berbagai pihak. Dirasa sudah ada kekosongan bangku kepengurusan BEM dan DPM di depan mata dan tidak bisa dipastikan sampai kapan akan diselenggarakan ulang Pemira untuk mengisi kekosongan tersebut. Kekosongan dalam bangku BEM dan DPM tidak memiliki pengaruh bagi kehidupan kampus yang sedang berjalan maju saat ini.
Kejanggalan pada setiap pelaksanaan Pemira diungkapkan oleh salah satu mahasiswa sastra karena setiap calon pengurus organisasi mahasiswa (Ormawa) meminta Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sebagai bukti telah mengikuti voting. Penarikan KTM tersebut tidak ada dalam peraturan rektor atau peraturan yang lainnya tetapi dijalankan oleh calon pengurus Ormawa. Hal tersebut telah menyalahi peraturan dan tidak ada tindakan untuk menanggapinya. Selain itu, terhitung hanya 1/6 dari jumlah mahasiswa atau hanya sekitar 3000 mahasiswa yang berpartisipasi. Menurut penuturan Staf WR 3 angka tersebut sangat sedikit. Untuk memancing peningkatan partisipasi dalam Pemira, mahasiswa yang mengikuti Ormawa, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif hendaknya meningkatkan kinerja dengan kerja nyata bukan hanya orasi untuk mengembalikan kepercayaan dan meningkatkan partisipasi mahasiswa untuk mengikuti voting dalam Pemira. ”Untuk bisa mengetahui dan meningkatkan kinerja Ormawa, kami telah membuat kontrak kerja sama untuk menilai keberhasilan Ormawa dalam menjalankan tugas yang diemban dan untuk mengembalikan tingkat kepercayaan mahasiswa terkait Ormawa,” ujarnya. Berlian