KEMERDEKAAN YANG BUKAN BENDA MATI: TELUSUR 73 TAHUN INDONESIA
EMOSI, BUNYI DAN KEHIDUPAN
SINERGIA
Ringan dan Kritis
KaSAK-KUSUK JELANG PLENO 1 HMI CABANG YOGYAKARTA
Edisi Agustus 2018
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 1
SAPA REDAKSI
B
ergelut di dunia pers atau kewartawanan tidaklah semudah apa yang terbayangkan di dalam pikiran. Banyak hal yang harus dipersiapkan; mengolah data, investigasi dan merangkai katya yang mudah dan renyah untuk dinikmati para pembaca. Cukup lama Buletin Sinergia tidak muncul batang hidungnya. Bukan perkara alibi personal yang harus dikedepankan. Melainkan seberapa besar komitmen yang perlu kita pertanggung jawabkan, dan itu tidak mudah. Redaksi berupaya untuk menata dan memperbaiki segala kebutuhan terutama dalam administrasi keredaksian. Dan redaksi mengedepankan kebutuhan para pembaca setia Buletin Sinergia dengan menghadirkan sebuah karya. Karya yang tidak begitu membutuhkan apresiasi tetapi menarik untuk digandrungi. Buletin Sinergia Edisi Agustus 2018 ini sedikit banyak menyoroti berbagai ragam persoalan yang harus kita pahami secara bersama. Alangkah lebih baiknya jika sama-sama ingin memperbaiki atau berbenah diri. Karena perbaikan dan intropeksi adalah jalan terakhir sebagai satu-satunya obat yang paling mujarab. Jika salah paham dalam mengartikulasikan sebuah realitas yang sedang terjadi, maka pertanyakanlah pada sanubari yang paling dalam. Apa sebenarnya yang kita cari, dan apa yang perlu dilakukan untuk mengubah realitas sosial yang riskan akan persoalan. HMI Cabang Yogyakarta juga merupakan objek yang menjadi sorotan Buletin Sinergia. Banyak hal yang menjadi diskursus saat ini, saat HMI menjadi gawang terakhir bangsa dan negara tercinta. Lantas bagaimana seharusnya, jika Yogyakarta sebagai rahim dan barometer perkaderan HMI masih lesu dan kurang bergairah mengisi jembatan emas kemerdekaan Indonesia? Semua akan diulas di dalam Buletin Sinergia Edisi Agustus 2018. Selanjutnya, lesu dan letih kami terasa terobati dengan hadirnyanya Buletin Sinergia di tangan pembaca. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh elemen yang turut membantu dan memberikan dorongan penuh. Dan kami membuka kritik dan saran yang membangun, untuk penerbitan selanjutnya yang lebih berkualitas. Akhirnya, semoga yang kami sajikan ini berguna bagi pembaca. 2 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
DIterbitkan Oleh LAPMI SINERGI dengan Nomer SK Pengurus HMI Cabang Yogyakarta No. 11/KTPS/A/08/1418
PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) SINERGI HMI Cabang Yogyakarta PEMIMPIN UMUM: Muchlas Jaelani SEKRETARIS UMUM: Hutri Rohmania BENDAHARA UMUM: Ubaydillah PEMIMPIN REDAKSI: Fahmi Mubarok REDAKTUR: Ach. Faridatul Akbar, Apipuddin, Salim Shabir PEMIMPIN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN: Rully M. Baba PENELITIAN: Refan Aditya, Fuad Fathul Madjid EDITOR: Randi Siswanto, Qodri Syahnaidi ILUSTRATOR: Misye M. Paradistin, Shabir Sidiq LAYOUTER: Achmad Fuad Fahmi Azizi PEMIMPIN PERUSAHAAN: Faiz Rifqy AK PROMOSI DAN KOMUNIKASI: Ikhsanuddin Muas, Dika Dwi Yurlita
DAFTAR ISI
7 PERSEPSI
Ulama: Kekuatan Elektoral dan Garansi Politik Abu-Abu
12 PERSEPSI
Kemerdekaan yang Bukan Benda Mati: Telusur 73 Tahun Indonesia
15 SELASAR
Gulen Effect dan HMI Cabang Yogyakarta yang Setengah ‘Lampu Merah’
18 SELASAR
Gagal Gelar LK II, HMI Cabang Yogyakarta La Yamutu Wa La Yahya?
21 ESAI
Sastra Lokal dan Tantangan Multilingualisme
23 PERSPEKTIF
Emosi, Bunyi dan Kehidupan
2 SAPA REDAKSI 3 DAFTAR ISI 4 SURAT PEMBACA 5 SINERGIPEDIA Mahasiswa Baru, Hijau-Hitam, Kampus Putih
25 KOLOM
Sesat Pikir Reforma Agraria Jokowi
27 PUSTAKA
Menyoal Nasib Terjemahan Kucing dan Tikus Günter Grass
30 CERPEN
Tuhan Sedang Tidur Ketika Kampung Kami Digusur
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 3
SURAT PEMBACA MASA DEPAN HMI CABANG YOGYAKARTA Sebagai kader HMI saya merasa bertanya-tanya gerakan teman-teman HMI Cabang Yogyakarta. Dalam sejarah HMI Cabang Yogyakarta sangatlah memiliki peranan penting dalam tatanan pembangunan bangsa. Tetapi, seiring bejalannya waktu, saya merasakan HMI Cabang Yogyakarta tidak memiliki semangat untuk memberikan kontribusinya mencetak kader-kader HMI berkualitas. Saya berharap HMI Cabang Yogyakarta tidak terjebak pada perosoalan politik pragmatis atau kepentingan kelompok, bukankah kita sama-sama memiliki kepentingan bersama. Tetapi HMI Cabang Yogyakarta masih stagnan dalam permasalahannya. Semoga HMI Cabang Yogyakarta lebih progresif-revolusioner. Nur Muhammad Kader HMI Cabang Yogyakarta Jawaban: Terima kasih banyak atas saran dan kritikan yang diberikan untuk HMI Cabang Yogyakarta, perihal kritik dan saran untuk HMI Cabang Yogyakarta bisa melalui official akun milik HMI Cabang Yogyakarta. APLIKASI BERBASIS ANDROID SINERGIA Saya sudah lama menjadi pembaca Sinergia. Ulasan dan topik yang diangkat selalu menarik dan tidak terlalu berat untuk berbagai kalangan, tetapi tetap berisi dan kritis. Alangkah lebih baiknya meningkatkan media jaringan yang terintegrasi dengan membuat Aplikasi Sin4 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
ergia. Selain media cetak Sinergia juga memiliki aplikasi berbasis android yang bisa dipergunakan khalayak ramai. Terima kasih. Achmad Al Azmi Kader HMI Cabang Malang, Mahasiswa Universitas Islam Malang Jawaban: Perihal aplikasi berbasis android akan menjadi pembahasan diinternal kami, terima kasih sudah menjadi pembaca setia Sinergia. Selanjutnya akan kami usahakan untuk optimasi jaringan media sosial Sinergia. PENAMBAHAN RUBRIK RINGAN Salam sahabat. Kalau boleh memberikan saran, Sinergia perbanyak tulisan-tulisan ringan, seperti cerpen, puisi, syair. Karena minat masyarakat juga bukan hanya berita tentang sosial, pendidikan, politik, ekonomi dan budaya. Tetapi masyarakat juga membutuhkan tulisan yang menjernihkan pikiran. Terima kasih sahabat. Anggita Suryaningtyas Mahasiswi Universitas Trisakti Jakarta, Pemerhati Ekonomi Rakyat Desa Jawaban: Terima kasih atas saran yang baik, kami akan selalu mengevaluasi dan menampung segala bentuk aspirasi dari pembaca. Perihal rubrik ringan redaksi akan berupaya menambah rubrik-rubrik yang santai dan asik untuk dinikmati.
SINERGIPEDIA
FOTO: RANDI SISWANTO
Ajaran baru jadi momentum berharga bagi setiap organisasi ekstra kampus untuk mengenalkan bendera kelompoknya, tak kecuali untuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan dalil regenerasi, sejumlah organisasi ekstra kampus mulai pasang kuda-kuda. Ada banyak instrumen yang ditampilkan untuk hajat tahunan ini, tapi yang paling mujarab adalah membuka Bimbingan Tes (Bimtes) dan Try Out.
K
ampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta selalu ramai digandrungi calon mahasiswa tiap tahun. Meski yang diterima hanya sekira 3.000, na-
mun antusiasme untuk masuk di kampus putih itu bisa tiga kali lipat. Jalur penerimaan mahasiswa baru memang beragam. Ada yang melalui tes nasional pemerin-
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 5
Suasana BIMTES HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga 2018
MAHASISWA BARU, HIJAU-HITAM, KAMPUS PUTIH
tah (SBMPTN, UMPTKIN, Bidik Misi), ada juga yang melalui jalur tes tulis mandiri. Jalur terakhir itu ‘lahan’ HMI untuk menggaet sebanyak-banyaknya calon kader. Berdasarkan Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bernomor 143.1 Tahun 2018, ada 1556 mahasiswa atau mahasiswi yang dinyatakan lulus tes tulis mandiri. Melalui pelatihan dan bimbingan teknis, HMI mulai mengenalkan tidak hanya kisi-kisi soal tes mandiri, tetapi juga background, ideologi, dan bendera organisasi. Bahkan, pembimbing yang memantik peserta Bimtes tersebut biasanya dari kalangan kader atau alumni HMI. Di lingkungan UIN, Kordinator Komisariat (Korkom) menjadi penanggungjawab sekaligus penyelenggara Bimtes. Dalam agenda akbar tersebut, HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga membuka kuota 150 peserta
SINERGIPEDIA saja, tetapi karena membludaknya permintaan, HMI Korkom menambah kuotanya menjadi 250 peserta, jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah acara Bimtes. Acara tersebut diselenggarakan pada tanggal 20-22 Juli 2018 di Sekretariat HMI Cabang Yogyakarta, Gedung Pusat Kebudayaan Lafran Pane, Jl. Sidikan No.71, Sorosutan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama tiga hari acara berlangsung, para calon mahasiswa baru mendapatkan modul, co card, pin, stiker, makan, block note dan penginapan (bagi yang belum punya, red.) hanya dengan kontribusi Rp. 50.000. Ketua Panitia Kegiatan Bimbingan Tes dan Try Out, Dzakiyah Frahma, mengungkapkan bahwa panitia penyelenggara menargetkan dari 250 orang pendaftar, ada sekitar 50% yang lulus masuk ke UIN. Berkaca pada tahun-tahun sebelunya, pihaknya optimis bisa mencapai angka tersebut. Dalam Bimtes dan Try Out yang diadakan oleh HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga ini, para calon Maba akan mendapatkan materi seputar Tes Potensi Akademik (TPA) dan Dirosah Islamiyyah. Menurut Dzakiyah, demikian dia akrab disapa, materi dan soalsoal tersebut dirumuskan oleh tim yang terdiri dari kader-kader terbaik di lingkungan UIN Sunan Kalijaga dengan mengacu pada soal ujian seleksi masuk perguruan tinggi setempat tahun sebel6 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
“ PANITIA PENYELENGGARA MENARGETKAN DARI 250 ORANG PENDAFTAR, ADA SEKITAR 50% YANG LULUS MASUK KE UIN. ~ Dzakiyah
umnya serta kisi-kisi yang disebarkan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) kepada seluruh organisasi ekstra yang membuka pendaftara Bimtes dan Try Out. “Kami punya tim khusus yang dibentuk oleh pengurus HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga yang khusus membuat modul, soal, dan mengkonsep acara ini. Dan saya yakin melihat soal-soal tahun kemarin, dan dari kisi-kisi soal dari DEMA yang diberikan ke seluruh organisasi. Ini memang spekulasi. Tapi soal-soal TPA dan Dirosah Islamiyyah kan tidak jauh-jauh dari sebelumnya. Jadi
kami tidak dapat bocoran dari pihak kampus,” tuturnya di tengah kesibukannya mengurungi acara Bimtes. Dzakiyah menuturkan, tujuan diadakannya Bimtes dan Try Out ini adalah untuk memudahkan para calon Mahasiswa baru dalam menjalani tes nanti dan agar mereka memiliki teman dalam menjalani tes itu. Namun pihaknya juga tidak memungkiri adanya tujuan untuk merekrut kader baru lewat kegiatan ini. Oleh karenanya, di akhir kegiatan Bimtes dan Try Out juga diperkenalkan materi-materi ke-HMIan. (Jae/Ikhsan)
PERSEPSI Mahfud MD saat menjadi khotib seusai Sholat Idul Adha 1439 H di Stadion Kridosono
ULAMA: KEKUATAN ELEKTORAL DAN GARANSI POLITIK ABU-ABU Oleh Muchlas Jaelani
FOTO: FAIZ RIFQY AK
D
eklarasi secara de facto dan de jure pasangan calon presiden dan wakil presiden telah usai. Gejolak politik membungkus drama keterpilihan masing-masing. Dramaturgi ini, secara sosio-politis, memiliki efek kontinyu yang biasnya terus dirasakan publik hari ini. Setidaknya, diskurus soal keterpilihan figur cawapares dari masing-masing kubu terus
hangat dengan sejumlah polemik dan elegi. Puzzle kini sudah lengkap. Pasangan capres-cawapres masing -masing telah selesai mendaftar secara resmi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski demikian, teka-teki cawapres hingga kini terus menyisakan unsur konfliktual. Arena gelanggan pada Pilpres 2019 adalah bukan kontestasi Prabowo dan Jokowi, melainkan pertarungan antara
Sandiaga dan Ma’ruf Amin. Keterpilihan kedua cawapres tersebut begitu dramatis dan kontroversial. Sandiaga dan Ma’ruf Amin menjadi pertanda kuatnya desakan kompromistis partai politik. Kompromi elite partai koalisi tentu mempertimbangkan figur andalan sebagai basis kekuatan partai akar rumput di Pemilu 2019 mendatang. Kompromi elite beberapa pekan terakhir mnejadi headline tidak hanya di media konvensiaonal, tetapi juga di pikiran publik. Polarisasi opini publik terbangun karena komoditas koalisi tersebut. Masalanya, kompromi koalisi menjadi prasyarat keterwakilan sebagaimana disebut dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan 20 persen atau 25 persen suara sah nasional. Bila dianalisis, sebagaimana disebutkan Burhanuddin Muhtadi dalam Tanding Ulang Dua Jagoan di Kompas (Selasa/14/8/2018), setidaknya ada tiga keuntungan yangs yang coba diperhitungkan parpol koalisi dalam Pilpres 2019 ini. Pertama, down-ballot effect atau coattail effect. Sebagaimana diketahui, Pilpres dan Pileg dilaksanakan secara bersamaan di Pemilu 2019. Karena itu, suara partai ditentuakan oleh basis elektoral paket capres-cawapres. Praktisnya, jika kepuasan publik kepada Jokowi tinggi, maka suara PDI Perjaungan juga akan meningkat, begitu juga dengan Prabowo dan Gerindra. Atas alasan eletoral partai itu, masing-masing elite koalisi men-
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 7
PERSEPSI awarkan figur partainya untuk bertaruh mampu mengangkat suara partai di Pemilu 2019 mendatang. Ribut-ribut koalisi memang karena alasan politik ekor jas (coattail effect) demiki kemenangan partai di Pemilu 2019. Kedua, keuntungan politis bergabungnya partai ke barisan koalisi Jokowi adalah demi posisi kabinet, power sharing. Enam barisan partai pro-Jokowi setidaknya memiliki keinginan power sharing untuk posisi kabinet. Pasalnya, rilis sejumlah survei masih menempatkan Jokowi sebagai primadona pilihan publik Indonesia. Berbeda dengan koalisi pro-Prabowo. Masing-masing partai keukeuh menawarkan kadernya untuk diangkat menjadi cawapres Prabowo Subianto. PKS, PAn, dan Demokrat bersikeras menampilakn figur unggulan masing-masing dengan sejumlah kriteria dan keunggulan politisnya. Usaha untuk dipidang tersebut yang membuat konstelasi koalisi tersu bergejolak bahkan hingga kini. Muncul isu soal mahar yang membaut geger barisan koalisi Prabowo. Semua itu, secara ekonomi-politik, adalah dinamika negosiasi untuk suara partai demi Pemilu 2019 dan 2024. Ijtima Ulama Jilid II Nyaris tanpa disangka, Jokowi baru saja mendapuk Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden mendampinginya. Pendukung Jokowi memasang kuda-kuda menyentil 8 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
lawan politik dalam pemilihan presiden 2019. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu bahkan melancarkan manuver dengan menyindir koalisi partai pro-Prabowo yang justru abai mendengarkan rekomendasi sebuah kelompok politik bernama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama yang termaktub dalam Ijtima Ulama. Prabowo, dengan sejumlah hirup-pikuk dan kasak-kusuk koalisi, akhirnya menggandeng mantan Wakil Gubernur DKI, Sandiaga Uno, sebagai cawapresnya untuk bertarung menandingi Jokowi-Ma’ruf. Sebel-
umnya, rekomendasi Ijtima Ulama 212 menyodorkan Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera, atau Abdul Somad Batubara, ustaz populer dari Riau, sebagai calon wakil presiden Prabowo. Prabowo, dengan perhitungan matematika politiknya, tak mengindahkan rekomendasi Ijtima Ulama. Pilihan ‘sulit’ Prabowo tersebut membuat sejumlah elite GNPF belum menentukan dukungan dan berencana bakal menggelar Ijtima Ulama Jilid II menyikapi dinamika politik Pilpres 2019. Sebagaimana maf-
FOTO: WWW.GOOGLE.COM
PERSEPSI
hum, narasi didukung ulama menguat mendekati pendaftaran capres dan cawapres sejak 4 Agustus lalu. Komitmen politis GNPF Ulama pada akhir Juli 2018 berindikasi pada isu dukungan “ulama” sebagai instrumen kandidat wakil presiden. Prabowo, yang berkoalisi dengan PKS dan Partai Amanat Nasional (PAN), disebut-sebut mendapat dukungan dari GNPF, kekuatan mobilisasi politik yang muncul sejak Pilkada DKI Jakarta. Itjima Ulama menjadi peluru PKS untuk menyorongkan kadernya kepada Prabowo. Konstelasi poli-
tik di atas hingga kini membuat kelompok “ulama” sebagai rujukan otoritas dalam GNPF belum menentukan sikap politiknya: apakah akan mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga atau berpindah ke Jokowi-Ma’ruf. Meski demikian, klaim dukungan masing-masing kubu mulai bermunculan. Terpilihnya Ma’ruf Amin makin mudah bagi kubu Jokowi untuk mengakomodir isu tersebut. Secara praktis, Ma’ruf menggambarkan bagaimana politik agama Islam dipakai dalam Pilpres 2019. Politik Islam, Islam Politik
Narasi kronologis di atas mendedahkan bangunan politik Ulama ke dalam satu barisan praktis elektoral. Suara ulama menjadi instrumen yang akan ‘terjual laku’ pada Pilpres 2019 mendatang. Ijtima Ulama yang diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) sebelumnya telah menghasilkan rekomendasi - yakni semacam konsesnsus politik para ulama - untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pilpres 2019. Afirmasi politik ini tercetus melalui kesepakatan ualama yang didasarkan pada sejumlah hal, terutama jelang pendaftaran capres-cawapres bulan ini. Secara metodologis, Ijtima Ulama merupakan musyawarah mufakat untuk menentukan figur politik penantang incumbent. GNPF-Ulama sebagai lokomotor terselenggaranya konsesnsus tersebut merupakan representasi daripada barisan ‘sipil-Islam’ penantang petahana. Hal tersebut memang mudah terbaca sejak organisasi tersebut terbentuk atasnama GNPF-MUI pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab tetap menjadi sosok par exellent barisan tersebut. Bahkan, Ijtima Ulama didasarkan pada rekomendasi ‘jarak jauh’ Rizieq Shihab. Narasi yang ditampilkan melalui keputusan politik tersebut adalah bentuk populisme Islam yang memang disusun secara berulang. Konfigurasi politik kalangan Islam telah mewedarkan kemamSINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 9
PERSEPSI
10 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
Agama, pada konteks ini, tidak lagi hadir sebagai ‘ijazah’ amaliah keluhuran individu, tetapi berubah menjadi genderang konflik sosial. A.N. Wilson dalam Against Religion: Why We Should Try to Live Without It, menjelaskan bahwa agama seringkali menjadi penyebab daripada konflik sosial, yakni ketika berada pada suasana ekstrim dan fanatik, sehingga agama bisa membawa manusia terjebak kepada situasi untuk saling “menganiaya sesamanya”. Lain daripada itu, Ijtima Ulama yang kini mulai menjadi diskursus politik terbaru menawarkan sebuah
FOTO: WWW.GOOGLE.COM
puan elektoral mereka pasca reformasi, terutama terpilihnya Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada kontestasi DKI Jakarta 2017 lalu. Hal tersebut tampaknya yang akan diulang pada Pemilu 2019 mendatang. Persinggungan kalangan elite agama terhadap konstelasi praksis politik jelang perhelatan demokrasi dikhawatirkan akan makin meruncingkan politik identitas melalui sentimen keagamaan. Ijtima Ulama, secara substansial, dimaksudkan sebagai konstruksi untuk membentuk ‘identitas politik’ demi menentukan arah-pijak pilihan konstitusiaonal. Meski demikian, Ijtima Ulama mungkin saja ditunggangi prototype politik identitas yang justru dibentuk sebagai instrumen untuk mengendalikan kepentingan tertentu. Pada soal terakhir tersebut, agama kemudian menjadi komoditas politik yang ditunggangi kepentingan parsial tertentu.
wahana perlawanan kepada elite penguasa melalui background populisme. Cas Mudde (2007) melihat populisme sebagai ideologi yang menempatkan masyarakat secara biner dan terpolarisasi, antara kelompok yang homogen dan antogonis. Adapun yang homogen direpresentasikan oleh rakyat sementara yang antagonis direpresentasikan oleh elite. Dengan demkian, bagi Mudde, politik seyogyanya harus diekspresikan berdasakan pada kehendek umum (general will) rakyat. Perangkat utama yang diusung oleh populisme adalah moralitas, sementara musuh utamanya adalah pluralisme dan elitisme. Ijtima Ulama adalah bentuk kritik kalangan Islam-politik terhadap kenyataan sosial, budaya, ekonomi masyarakat. Pada titik ini, Ijtima Ulama melihat capaian kebijakan negara telah mecederai, melukai, dan menyakiti kepentingan rakyat secara umum dan kepentingan Muslim secara khusus. Ijtima Ulama
PERSEPSI telah memanfaatkan problem tersebut untuk memantik simpati publik agar bersama-sama melakukan perlawanan terhadap elite. Hal tersebut tampak berhasil pada Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin dengan memanfaatkan mobilisasi psikologis pemilih Muslim. Momentum politik dengan melibatkan isu agama dan ras mulai terlihat, hingga pada saat bersamaan, kecenderungan hubungan antara agama dan politik mulai tampak destruktif. Jelang Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, aksi protes dari kalangan Islam dengan nama ‘Aksi Bela Islam’ terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan melibatkan massa puluhan ribu hingga jutaan digelar sebanyak tiga kali. Aksi tersebut sebagai respon atas ucapan kontroversial Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, yang disebut menista agama terkait pidato kedinasan di Kepulauan Seribu. Aksi protes kepada Ahok tersebut dilakukan oleh kaum Muslim pada 17 Okto-
ber 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016. Aliansi kelompok Islam waktu itu yang memprotes perkataan Ahok karena dinilai menista Islam adalah antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), dan puluhan organisasi Islam lain. Secara mengejutkan, Anies-Sandi keluar sebagai pemenang dengan mengalahkan petahana Ahok-Djarot. Demikian ini sebagai bukti bahwa politik identitas dengan terus memproduksi sentimen agama tetap menjadi senjata utama strategi politik tertentu. Meski, bungksu yang kemudian disematkan adalah isu populisme dan pembelaan kalangan wong cilik. Tentu saja, hal tersebut bisa terulang di Pemilu 2019 mendatang. Ijtima Ulama telah menjadi momentum politik untuk mengakomodir suara elektoral untuk mengganti penguasa, dengan
“
IJTIMA ULAMA ADALAH BENTUK KRITIK KALANGAN ISLAM-POLITIK TERHADAP KENYATAAN SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI MASYARAKAT.
terutama membawa isu populsime. Islam populis, sebagaimana disebutkan dalam riset Vedi Hadiz dalam Islamic Populism in Indonesia nad Middle East, 2007, menyebutkan bahwa meningkatnya populisme Islam karena mayoritas mereka merasa sedikit sekali mendapat ‘jatah’ kebijakan ekonomi-politik dan berada di arus pinggir kekuasaan. Karena itu, Ijtima Ulama memiliki efek domino. Satu sisi bisa menjadi wahana perlawanan kalangan populis Islam terhadap kebijakan petahana yang tidak mampu mengakomodir kepentongan mereka. Sisi lain, Ijtima Ulama hanya mungkin menjadi komoditas politik kepentingan kalangan sepihak. Bagaimanapun, Ijtima Ulama merupakan ikhtiar baik demokrasi untuk saling menempatkan komposisi kekuasaan politik dalam satu kompetisi sehat. Semoga saja. SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 11
PERSEPSI
S
udah 73 tahun Indonesia merdeka. Kemerdekaan yang jatuh tiap 17 Agustus itu disambut dengan penuh gegap-gempita oleh masyarakat. Berbagai even dan lomba diselenggarakan, mulai dari lari karung, pecah periuk hingga panjat pinang. Alhasil, senyum kegembiraan terpancar dari dalam diri masyarakat. Meskipun, pada kenyataannya, terkadang mereka
12 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
KEMERDEKAAN YANG BUKAN BENDA MATI: TELUSUR 73 TAHUN INDONESIA sedang berkalang dengan himpitan persoalan yang datang tanpa jeda. Suka cita menyambut hari kemerdekaan merupakan usaha refektif atas peristiwa 73 tahun silam, 17 Agustus 1945, yang menandakan bahwa negeri ini terlepas dari jeratan kolonial-
isme. Betapa gembiranya masyarakat, ketika mereka mampu memukul mundur para kolonial asing untuk pulang ke negerinya sendiri. Dengan demikian, kedaulatan negeri ini sejak peristiwa agung tersebut dipikul oleh bangsa Indonesia sendiri. Ti-
PERSEPSI
FOTO: SINERGIA
Upacara HUT RI ke 73 di salah satu Daerah Gunungkidul
dak lagi diperintah dan dituntut tunduk pada kolonial. 73 tahun adalah bentangan masa yang begitu lama. Kemerdekaan yang kita dambakan seolah hanya berkobar di awal, namun dari tahun ke tahun justru semakin redup. Persoalannya, bukan terletak pada senyapnya upacara serimonial menyambut 17 Agustus, melainkan tumpulnya penghayatan akan makna kemerdekaan. Seolah-olah kemerdekaan hanya sekadar peristiwa yang muncul seperti muk-
jizat. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari pertaruhan nasib yang diperjuangkan. Ia bukan peristiwa yang hanya ditunggu kedatangannya, layaknya Estragon dan Vladimir yang tanpa usaha sama sekali dalam menunggu kedatangan Godot. Barangkali, usaha pemuda mendesak Bung Karno dan Bung Hatta di Renglasdengklok untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia memendam misi luhur, yakni, ingin menegaskan bahwa kemerdekaan yang dicapai bukanlah pemberian, melainkan konsekuensi dari perjuangan. Pada dimensi itulah, kemerdekaan mengandaikan suatu imaji yang perlu diperjuangkan. Soekarno mengemukakan bahwa “Merdeka hanyalah jembatan. Walaupun jembatan emas di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis�. Kemerdekaan yang telah dicapai, dengan demikian hany-
alah sebuah pintu untuk menyusuri labirin kebangsaan kita. Indonesia, kata Bung Karno, pada dasarnya telah terbebas dari imperialisme yang overheersen (memerintah), tetapi imprealisme yang beheersen masih bergelayut dalam narasi kehidupan kebangsaan kita. Ini artinya meskipun kemerdekaan telah dicapai Indonesia, tidak lantas menjadikan bangsa ini sepenuhnya merdeka dari segala macam persoalan. Persoalan-persoalan kebangsaan datang tanpa henti tatkala kebobrokan moralitas melanda para pemangku kebijakan dan sejumlah kalangan elite politisi. Pekik suara “merdeka atau mati� kian hari seolah kian parau. Merdeka pada saat ini, bukan hanya terkungkung dalam makna kovensionalnya, yakni terbebas dari penjajahan bangsa luar, melainkan terciptanya tatanan kehidupan yang mampu meluruhkan segala hal, yang membuat diri ini merasa terjerat olehnya. Kemerdekaan bukanlah prestasi yang berhasil diraih oleh pejuang bangsa ini sekali seumur hidup. Ia bukanlah benda mati yang bisa dibiarkan sesuai kehendak alam. Kendati demikian, ahir-ahir ini, alih-alih merawat, menjaga dan menumbuhkembangkan kemerdekaan yang terjadi justru mendesak etos kemerdekaan hingga ke tubir titik nadir. Insan-insan merdeka sebagai predikat yang layak disematkan pada mereka yang telah mencapai kemerdekaan belakangan semakin menipis dan berkurang. Jeratan SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 13
PERSEPSI yang mengekang kemerdekaan pada mereka datang dari berbagai arah. Baik dari arah vertikal-struktural maupun dari arah horizontal. Jeratan dari arah vertikal berupa kebijakan yang tidak berorientasi pada kesejahteraan sehingga menyebabkan penderitaan bagi rakyat akar rumput. Sementara, jeratan dari arah horizontal berupa radikalisasi identitas, sehingga berimplikasi pada tersulutnya konflik sosial. Dua persoalan tersebut terasa sangat sulit lenyap dari negeri ini. Tetapi, pada titimangsa inilah penghayatan dan aktualisasi makna kemerdekaan menjadi penting ketika persoalan datang bergelombang. Menghadirkan kembali etos para pejuang yang tidak patah semangat untuk mencapai kemerdekaan adalah hal yang begitu mendesak untuk dilakukan pada hari ini. Kemerdekaan dengan demikian adalah proses. Ia bukanlah titik. Ia bukanlah pencapaian akhir. Butuh perjuangan terus-menerus untuk mengga-
“
KEMERDEKAAN ADALAH SESUATU YANG HARUS DIPERJUANGKAN TANPA HENTI.
14 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
pai, menjaga dan merawatnya. Menganggap kemerdekaan sebagai prestasi akhir hanya menunjukkan suatu kepandiran. Inilah yang dipertontonkan oleh segelintir orang, yang oportunistik, pragmatis dan hedonis. Jiwa mereka sebenarnya tidak merdeka karena terkepung oleh kecemasan dan kegelisahan. Mereka gelisah misalnya tatkala tidak mendapat kesempatan menggarong uang rakyat dan gelisah saat kehilangan kesempatan untuk menguasai. Watak seperti itu jika dibiarkan akan menjadi sindrom yang bisa merapuhkan sendi-sendi kebangsaan kita. Karena mereka yang telah dirasuki watak tersebut akan terjatuh pada pandangan yang menggap orang lain adalah adalah musuh, sehingga rasa kepedulian terhadap sesama menguap dalam diri mereka. Berangkat dari hal tersebut, maka benar apa yang dikemukan oleh Yudi Latif bahwa semenjak reformasi bergulir, kemerdekaan sebagai “hak negatif” mengalami surplus, se-
mentara kemerdekaan sebagai “hak positif” mengalami defisit. Kemerdekaan sebagai “hak negatif” menunjukkan keterlepasan dari sikap represif dan kesewenang-wenangan penguasan. Sedangkan, kemerdekaan sebagai “hak positif” menunjuk pada terlepasnya mental koruptif, hedonis, dan segala bentuk mental warisan kolonial. Selama mentalitas tersebut masih tertanam, selama itu pula mencapai “sama rasa, sama rata” hanya sekadar ilusi. Oleh sebab itu, penting kiranya mengingat pesan Putu Wijaya dalam cerpennya yang berjudul Merdeka: “Merdeka, apa kamu kira Merdeka itu nikmat? Apa kamu kira Merdeka itu berarti bebas dari kesialan? Apa kamu kira Merdeka berarti kamu akan mendadak jadi kaya dan bahagia?” Dengan demikian, kemerdekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan tanpa henti. Sehingga, kita bisa dengan lantang mengatakan, sekali merdeka tetap merdeka. (Ahd/Nauf/ Jae).
SELASAR
FOTO: SINERGIA
GULEN EFFECT DAN HMI CABANG YOGYAKARTA YANG SETENGAH ‘LAMPU MERAH’
K
epengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta menjadi polemik yang terus dipergunjingkan beberapa pekan terakhir. Apa pasal? HMI Cabang Yogyakarta yang dinahkodai Elfi Suharni dinilai tidak mampu mengemban amanah kepengurusan karena beberapa indikasi. Salah satunya, HMI Cabang Yogyakarta disebut terlalu eksklusif. Polemik tersebut
lahir terutama setalah viralnya tulisan atasnama Fethullah Gulen di portal sinergianews. com yang tayang pada 29 Juli 2018. Tulisan bertajuk “Miskin Ide dan Nalar Buntu HMI Cabang Jogja” lalu memantik diskursus soal kinerja HMI Cabang Yogyakarta periode kepengurusan Elfi Suharni. Sontak, tulisan tersebut kemudian menjadi jembatan untuk menghidupkan diskusi yang nyaris ‘lemah’ di HMI Yog-
Pembacaan Ikrar Pelantikan Pengurus HMI Cabang Yogyakarta Periode 2017-2018 di Taman Budaya Yogyakarta
yakarta. Namun demikian, Fetuhullah Gulen yang kemudian diketahui adalah nama samaran rupanya juga menjadi perdebatan. Gulen, dalam dua tulisan yang diterima redaksi (tulisan pertama dimuat pada 29 Juli 2018, tulisan kedua berjudul “Bagaimana Seorang Terpelajar Lakukan Hal Sebusuk Ini: Tanggapan atas Tanggapan Elfi Suharni” dimuat pada 02 Agustus 2018), mengatasnamakan kader HMI Cabang Yogyakarta dalam kolom identitas yang diterima redaksi sinergianews.com. Elfi, waktu itu, menyebut bahwa Fethullah Gulen bukan kader HMI Cabang Yogyakarta karena tidak ada dalam catatan database HMI Yogyakarta. Pada 29 Juli, Gulen mengirim tulisan ke email redaksi dengan nama akun surel Platon Greece. Nama akun
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 15
SELASAR “KALAU GA ADA GURUNYA, MAU BAGAIMANA? MASA MAU BERJALAN SENDIRI.” ~Ujar Elfi
yang sama juga diterima redaksi pada 31 Juli dan 1 Agustus 2018. Namun demikian, Gulen kemudian memiliki kontribusi berharga sebagai kontrol sosial-akademik terhadap kepengurusan Elfi. Setidaknya, ada beberapa perubahan yang kemudian dilakukan oleh Elfi dan pengurus cabang yang lain pasca polemik tersebut. Gulen Effect dan Beberapa Soal Untuk diketahui, tulisan atasnama Fethullah Gulen tayang di portal Sinergianews selama tiga kali: tulisan pertama yang tayang pada 29 Agustus 2018 berjudul “Miskin Ide dan Nalar Buntu HMI Cabang Yogyakarta”; kedua pada 31 Juli 2018 berjudul “Politik Gerbong dan Krisis Kepemimpinan HMI Cabang Yogyakarta”; tulisan ketiga dimuat pada 02 Agustus 2018 dengan judul “Bagaimana Seorang Terpelajar Lakukan Hal Sebusuk Ini”.Ketiga tulisan tersebut dikirim ke surel redaksi dengan nama akun email Platon Greece. Tulisan pertama, Gulen menyebut bahwa kepengurusan HMI Yogyakarta masa Elfi Suharni tampak stagnan dan eksklusif. Hal tersebut, lanjut Gulen, dibuk16 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
tikan setidaknya dengan beberapa hal. Pertama, HMI masa Elfi disebut tidak mampu mengembangkan nalar perkaderan sebagaimana menjadi tagline-nya saat terpilih menjadi Ketum HMI Cabang Yogyakarta. Kegiatan-kegaitan yang dikembangkan Elfi tidak mampu merangsang pengembangan ideologis dan akdemis kader HMI Cabang Yogyakarta. Karena itu, Elfi dinilai belum mampu merumuskan dalam bentuk praktis tagline perkaderan yang diemmbannya sejak dilantik pada 19 Agustus 2017 lalu. “Terpilihnya Elfi Suharni sebagai ketua umum HMI Cabang Yogyakarta dengan maksud menjadikan HMI Cabang Yogyakarta sebagai kiblat perkaderan. Nyatanya tak lain juga bahwa visi tersebut hanya sebagai slogan yang terlupakan pasca dilantik sebagai ketua umum. Sebelas bulan terakhir tak pernah ada kontroversi yang kemudian dikembangkan menjadi rumusan untuk memfungsikan nalar kader HMI, juga tidak ada
kegiatan-kegiatan yang dapat menstimulasi kader untuk berpikir kritis,” demikian tulis Gulen. Meski demikian, menurut Elfi, HMI Cabang Yogyakarta sudah berusaha melaksanakan platform perkaderan melalui Senior Course (SC). SC dilaksanakan di awal mengingat minimnya pendidik. Elfi kemudian menganalogikan dengan seorang guru. “Kalau ga ada gurunya, mau bagaimana? Masa mau berjalan sendiri,” ujar Elfi, Jumat (17/8/2018). Selanjutnya, kata Elfi, HMI Cabang Yogyakarta juga telah mengadakan Latihan Kader Kohati (LKK) yang disebutnya sebagai inti dari perkaderan. Namun, saat ditanya bukankah SC menjadi concern BPL dan LKK adalah agenda Kohati, Elfi mengatakan bahwa semuanya memerlukan managemen, sehigga tidak terjadi bentrok kegaitan. Crew Sinergi kemudian membandingkan dengan masa kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta sebelumnya, Syarifuddin El-Aziziy, yang berha-
SELASAR sil melaksanakan kegaitan LK II tanpa bentrok BPL dan Kohati. “Ini kan belum satu tahun, iya kan?. Kita belum Pleno 1. LK II itu gak jadi, waktu di Rapat Harian kita mau LKK dulu atau LK II dulu, dijawab LKK. Lalu ngalah lah PA, LK II setelah LKK. Pasca LKK, itu kan sudah masuk Romadhon dan lain-lain. Rencana ini setelah Pleno 1, langsung LK II. Terus masalahnya di mana?” jawab Elfi. Kedua, menurut Gulen, rapat Harian (Rahar) HMI Cabang Yogyakarta disebutnya hanya menjadi bumbu pelengkap yang diagendakan karena urusan Kongres PB HMI dan Musda Badko Jateng-DIY. Bahkan, aspirasi yang hendak dibawa HMI Cabang Yogyakarta ke Kongres dan Musda tidak pernah diketahui rumusannya. Meski demikian, menurut Elfi, kritik dalam tulisan Gulen tidak sepenuhnya benar. Rapat harian (Rahar) yang ditulis Gulen tampak eksklusif karena hanya diselenggarakan terkait Kongres PB HMI dan Musda Badko Jateng-
DIY, ditampik Elfi. “Sebenarnya tidak benar juga dikatakan Raharnya cuma bahas Musda dan Kongres. Setiap Rahar Lapmi Sinergi juga diundang terus kok,” ujar Elfi, Senin (30/7/2018) lalu, dikutip dari sinergianews.com. Saat dikonfirmasi ulang oleh Crew Sinergi, Elfi tidak banyak membahas soal tulisan Gulen. Bahkan, dirinya justru menyoal terkait anonimitas atau keawanamaan nama Gulen yang diketahui bukan nama asli. Menurut Efli, tulisan Gulen menjadi gejolak di internal HMI Cabang Yogyakarta. “Ada benernya, ada enggaknya. Karena yang disayangkan, identitasnya disembunyikan. Ini bisa menimbulkan gejolak di dalam, terlepas dari isinya benar atau tidak. itu ya, bisa disalahgunakan. Ini nanti diekspos ke luar sama oknum, nanti dijadikan bahan. Itu kemarin kritikan dari pimpinanpimpinan komisariat,” ungkap Elfi, Jumat (17/8/2018). “Karena mereka merasa usaha mereka sia-sia akibat satu tu-
“
KARENA YANG DISAYANGKAN, IDENTITASNYA DISEMBUNYIKAN.
lisan. Kan kemarin bertubi-tubi langsung viral. Itu aja sih yang disayangkan. Kecuali kalau jelas siapa orangnya, gak jelas dia kader HMI,” imbuh Mantan Pengurus KOHATI Cabang Yogyakarta itu. Ketiga, Gulen menyoal terkait struktur kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta yang disebutnya terlalu ‘gemuk’. Gemuknya struktur disebabkan karena hutang suara atas terpilihnya Elfi. Sehingga, untuk mengakomudir pendukungnya, Elfi membuat sebanyak 10 Bidang. Sekretaris Umum HMI Cabang Yogyakarta, Indra Sanjaya, menampik bahwa dibentuknya 10 Bidang struktur karena kepentingan akomodir suara loyalis pada saat Konferensi Cabang terpilihnya Elfi Suharni. Menurut Sanjaya, 10 Bidang tersebut dibentuk dengan menyesuaikan visi dan misi Elfi Suharni. “Itu kan turunan visi dan missi Ketum. Mungkin ketika Ketum (Elfi Suharni) mengkaji visi misinya butuh 10 bidang itu, ya dimasukan di situ sesuai kebutuhan. Periode lalu hampir sama, kurang lebih segitu sama,” ungkap Sanjaya, Jumat, (17/8/2018). (Jae/ Randi) SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 17
SELASAR
Tampak lama Kantor HMI Cabang Yogyakarta yang jarang ditempati
H
impunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta terus menjadi sorotan akhir-akhir ini. Bukan tanpa sebeb, HMI Yogyakarta yang dikomandoi Elfi Suharni
18 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
atasnama Fethullah Gulen yang getol mengkritik kepengurusan Elfi sontak jadi buah bibir kader HMI Cabang Yogyakarta. Gulen melalui tiga tulisannya yang dimuat di sinergianews.com seolah menjadi angin segar untuk menghidupkan diskurus ilmiah. Bahkan, tulisan Gulen secara substansial menjadi kontrol terhadap HMI Cabang Yogyakarta. Sejak tulisan Gulen pada 29 Juli 2018 lalu, polemik
FOTO: SINERGIA
Gagal Gelar LK II, HMI Yogyakarta LaYamutu Wa LaYahya?
hingga kini belum juga melaksanakan kegiatan wajibnya, yakni Latihan Kader II. Bahkan, Pleno 1 yang secara prosedural-konstitusional mestinya dilaksanakan minimal 1 semester kepengurusan, yakni 6 bulan pertama sejak dilantik, justru terabai hingga nyaris satu tahun. Sebelumnya, kritik kepada kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta terus dilancarkan oleh sejumlah kader. Bahkan, tulisan di portal Sinergianews
SELASAR soal gagalnya HMI Cabang Yogyakarta melaksanakan sejumlah kegiatannya terus disuarakan. Bahkan, tagline Elfi Suharni untuk menjadikan HMI Cabang Yogyakarta sebagai kiblat perkaderan yang disebutnya saat dilantik pada 19 Agustus 2017 lalu tidak begitu jelas juntrungnya. Kendala Pleno 1 Menurut Elfi, molornya Pleno 1 disebabkan karena kendala waktu. Pasalnya, kata dia, 6 bulan kepengurusan Elfi disibukkan dengan kegiatan eksternal-dan internal lain, seperti Kongres PB HMIdan Latihan Kader Kohati (LKK). “Jadi, 6 bulanya kan jatuh pada masa-masa kita kongres ya, setelah itu lkk, dan apa lagi ya. Nah masalah itu (pleno satu) udah di bawa di rapat harian, beberapa kali rapat harian tapi tidak di setujui-setujui,” ungkap Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta, Elfi Suharni, saat dikonfirmasi oleh Crew Sinergia, Jumat (17/8/2018). Elfi menyebutkan, setelah kegiatan LKK, pembahasan soal Pleno 1 sudah dibawa ke
Rapat Harian (Rahar). Namun demikian, peserta Rahar mengaku belum siap hingga mengulur-ulur waktu. Bahkan, kata Elfi, saat pembentukan SC, mereka tidak ada yang bersedia. “Pada gak ada yang bersedia, mengaku sibuk ini sibuk itu dari peserta yang ikut Rapat Harian itu. Besoknya gitu lagi. Abis itu temen saya bilangi Pleno pada gak siap semua, katanya bulan depan. Minta di beri waktu untuk menyelsaikan program kerja. Tapi waktu itu (pelaksanaan program kerja) sudah habis, kita kan dibatasi waktu. Terus, habis itu kita sepakati kan, saya ajukan bulan depan banyak yang gak setuju,” ungkap Elfi. Selain hal tersebut, Elfi menjelaskan, dibentuknya Rapat Pimpinan (Rapim) dengan delegasi dari Komisariat-komisariat yang ada di bawah naungan HMI Cabang Yogyakarta adalah untuk mengungkapkan aspirasi dan kontrol. Elfi sendiri mengaku sudah berusaha untuk mempercepat digelarnya Pleno 1 demi tidak memangkas regenerasi. Namun, masalahn-
ya, LPJ kegiatan, seperti LKK dan SC, masih belum terkumpul. Sehingga, mengadakan Pleno 1 tanpa LPJ kegiatan juga khawatir menjadi cacat organisasi. “Nah, temen-temen tanya, apa masalahnya di Cabang? Kami sendiri sudah semaksimal mungkin mengadakan pleno satu. Tapi kalau kita maksa mengadakan Pleno 1, sementara LPJ belum selesai,” ujar dia. “Tentu komisariat gak menerima, gimana ini kepengurusan kok gak ada LPJnya. Tapi Komisariat pengenya cepat Pleno 1. Tapi, kita sudah berusaha (mengadakan pleno),” imbuh Elfi. Saat Rapim, Elfi mengaku sudah menyampaikan kepada delegasi Komisariat terkait kemungkinan segera digelarnya Pleno 1. Menurut dia, ada dua opsi. “Kemungkinan pertama, kita menunggu sampai LPJnya siap, hingga semua nya siap, terus kita adakan Pleno 1. Namun kuensekuensi bisa saja terlambat,” katanya. Opsi kedua, lanjut Elfi, mengadakan Pleno 1 secepatnya dengan LPJ seadanya. Elfi mengaku sudah berusaha dengan kontak-kontak terus. Jika Komisariat menerima ada pengurus yang tidak membuat LPJ, kita adakan Pleno 1. “Tapi dengan komitmen kan. Segerakan Pleno, tapi nanti di Pleno ada Bidang yang gak mengumpulkan LPJ, misalnya, diskorsing, suruh hadirkan orangnya. Itu kan gak produktif akhirnya. Kita sama aja mendzolimi akhirnya. Karena itu, mending kita isi kegiatan menjelang LPJ Bidang selesai,” terang Elfi. SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 19
SELASAR “Tapi kalau temen-temen maunya lengkap, ya beri waktu. Tapi saya juga gak bisa jamin, dengan waktu yang sudah ditentukan untuk mengahdirkan lengkap semuanya. Karena ini kan urusan personnya. Saya terus mengusahakan meski saya belum bisa menjamin,” imbuh Elfi.
20 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
Pleno 1, Elfi hanya meminta untuk mendoakan. “Berdoa aja diberi kesempatan kepada temen-temen, setelah selesai Pleno kita mengadakan LK II. Tapi jika temen- temen minta di Pleno saya diturunkan, ya gak jadi LK II. Atau LK II tetap diadakan dengan ketua yang baru. Di Pleno 1 mau diadakan Konfercab, gak ada LK II, itu udah maunya Komisariat,” pungkas dia. Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Umum HMI Cabang Yogyakarta, Indra Sanjaya, menyebutkan bahwa kemungkinan LK II akan diputuskan di Sidang Pleno 1 yang akan digelar 1 September 2018 ini. Menurut
dia, pihaknya akan meminta kesempatan untuk tetap melaksanakan LK II. “Kalau kemauan ada, setelah pleno ya. Setelah Rapim kan direkomendasikan Pleno 1 segera. Mereka berpikir akan dibawa lagi di Pleno melaksanakan LK II. Saya minta kesempatan mengadakan LK II di Pleno sebelum periode ini berakhir,” kata alumni UMY itu. “Kita kan butuh temen-temen komisariat melaksanakan LK II. Ketika teman2 komisariat tidak mendukung LK II, ya tidak akan terlaksana, karena penggerak LK II kan komisariat, panitia juga dari komisariat,” pungkas Indra. (Jae/Faiz)
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
LK II Tunggu Keputusan Pleno Program ‘wajib’ HMI Cabang Yogyakarta memang adalah melaksanakan Latihan Kader (LK) II. Hingga satu tahun kepengurusan Elfi Suharni, program wajib tersebut belum juga terlaksana. Menurut Elfi, tidak terlaksananya LK II disebabkan dengan kesibukan kegaitan lain, seperti LKK dan SC. “Ini kan belum satu tahun, iya kan?. Kita belum Pleno 1. LK II itu gak jadi, waktu di Rapat Harian kita mau LKK dulu atau LK II dulu, dijawab LKK. Lalu ngalah lah PA, LK II setelah LKK. Pasca LKK, itu kan sudah masuk Romadhon dan lain-lain. Rencana ini setelah Pleno 1, langsung LK II. Terus masalahnya di mana?” jawab Elfi. Meski demikian, menurut Elfi, dirinya sudah komunikasikan sejak awal terkait LK II yang belum terlaksana itu. “Sampai saat ini kita belum LK II, tapi kita sudak rencanakan sejak awal dan sudah koordinasikan dengan Ketum Komisariat. Kita komitmen, sebelum selesai kepengurusan, kita akan melaksanakan LK II,” terang dia. Saat disinggung soal kemungkinan diadakan LK II pasca
ESAI
SASTRA LOKAL DAN TANTANGAN MULTILIGUALISME Oleh Faiz Rifqy AK
FOTO: AKTUAL
ia-siaan. Sebagaimana jamak dipahami, sastra merupakan respon kreatif seseorang yang coba diungkap melalui kecakapan refleksi atas kenyataan riil. Dengan maksud lain, sastra juga memiliki kecenderungan estetis untuk memasukkan nilainilai lokal/subkultur dalam satu rampai kajiannya. Sebab, sastra sejatinya adalah miniatur ‘bangunan kecil’ yang disusun dari ‘bangunan besar’ kehidupan (univers). Karenanya, berjibun peristiwa dihadirkan melalui refleksi dan ketajaman kreasi sebagai gambaran dari banyak dimensi ‘bangunan be-
BUKU-BUKU SASTRA LOKAL DI INDONESIA
L
okalitas sastra sampai kini tetap menjadi tranding topik pada banyak kajian sastra mutakhir. Lokalitas adalah bentuk dari identitas ke-Indonesiaan. Karenanya, membangkitkan spirit sastra lokal dipercaya sebagai basis penguatan identitas keragaman budaya bangsa. Tentu, secara de facto, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak dimensi corak keragaman budaya lokal akibat dari kemajemukan etnis, suku, dan ras. Memisahkan kesastraan Indonesia dengan ciri lokalitasnya hanyalah sebuah kes-
sar’ kehidupan itu, termasuk menyangkut kenyataan multikultur. Jejak perkembangan sastra lokal di Indonesia diimbuhi oleh banyak polemik, terutama ihwal dominasi gerakan ‘sastra arus utama’ yang digawangi oleh (salah satunya) Balai Pustaka. Waktu itu, terdapat dikotomi yang berusaha memisahkan antara ‘sastra arus utama’ dengan ‘sastra marginal’. Sastra marginal, dalam hal ini, adalah tipologi sastra ‘arus bawah’ yang berbeda paham secara ideologis dengan Balai Pustaka, termasuk soal penggunaan bahasa Melayu. Mafhum dipahami, Balai Pustaka sejak berdirinya memang berkesan sebagai ‘agen ideologis’ kolonial. Maman S. Mahayana dalam satu tulisannya menyebut, bahwa Balai Pustaka sengaja membenturkan stereotipe ‘timur’—yang memiliki ragam lokalitas yang eksotis, tradisional, komunal—dengan stereotipe ‘barat’ yang memang memiliki tipe ciri yang paradoks: modern, individual, dan bertekhnologi. Banyak ditemukan karya sastra terbitan Balai Pustaka yang seolah memarjinalkan ‘timur’ atas superioritas ‘barat’. Produk karya sastra di luar Balai Pustaka tentu tidak begitu. Meski, keberadaan susastra macam ini seolah dibiarkan begitu saja, dicemooh dan dan diklaim sebagai ‘bacaan liar’, dan dituding sebagai ‘roman picisan’. Inilah wilayah sastra dikotomis tempoe doeloe yang—sebagaimana hakikat sastra bersifat abadi dan historis—melumut dan tak bisa
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 21
ESAI ESAI dilupakan dalam khazanah sastra Indonesia modern sekarang. Tantangan multilingualisme Nusantara adalah bentangan wilayah geografis yang memiliki ciri keragaman budaya, multikultur. Kenyataan kemajemukan ini ditandai oleh (di antaranya) berbeda-bedanya corak etnis, suku, dan ras di masing-masing wilayah. Makanya, pautan antara sastra dan lokalitas sebenarnya terletak pada ghirah dan spirit untuk mengangkat nilai tradisi “kedaerahan” ke dalam karya sastra—sebagaimana dilkukan oleh sastrawan era 1980-an, seperti Dongeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi. Dengan begitu berarti, lokalitas—menyitir bahasanya Maman S. Mahayana—adalah “ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan ideologi yang merepresentasi kehidupan manusia dan kebudayaan”. Atas dasar ini, karya sastra tidak sekadar menjadi teks yang kaku dengan menempel coral lokalitas sebagai latar-suasana an sich, tetapi sebagai karya yang hidup oleh tafsir yang kaya dan pemaknaan yang luas atas warna lokal masing-masing pembaca. Inilah sebenarnya esensi lokalitas: memasukkan local wisdom kedaerahan dengan solid tanpa melupakan nilai sosial-budaya sebagai pertimbangan penafsiran pembaca. Lokalitas selalu bersifat dinamis, lentur, dan licin, sehingga akan melahirkan rimbun penafsiran yang kompleks pula 22 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
dari respon imajinatif pembaca. Atas dasar ini pula, mulitilingualisme (istilah dalam karya sastra yang menunjukkan penggunaan terhadap lebih dari satu bahasa, pen.) menjadi tantangan sastra lokal. Pasalnya, banyak pengarang memandang unik dengan memasukkan bahasa khas kedaerahan non-Indonesia ke dalam teks sastra. Hal ini banyak ditemukan terutama dalam cerpen Sri Sumarah-nya Umar Kayam atau Roman Burung-Burung Manyar-nya Y.B. Mangunwijaya. Hasanuddin (1989) menganggap gejala multilingualisme adalah “tumpang-tindih penggunaan bahasa” yang sangat mungkin mengganggu kelancaran tafsir pembaca, apalagi yang memiliki basis lokal yang berbeda. Kadang, sastra dipandang sempit oleh publik tidak hanya kerena jumudnya pengarang untuk memasukkan prinsip lokalitas dalam karyanya, tetapi juga karena unsur lokalitas itu sendiri, yakni penggunaan bahasa khas yang ribet dipahami khalayak.
Namun begitu, sastra multilingualistik sebenarnya juga menyagkut kebebasan kreatif pengarang untuk mengnalkan keragaman lokal. Makanya, untuk secara provokatif melarang hal itu adalah ‘dosa’ dalam sastra. Ia juga menjadi akibat dari prinsip lokalitas sastra, di mana bahasa tetap dipercaya sebagai medium utama. Mestinya, hal itu menjadi pemantik bagi setiap pembaca untuk melebarkan akar penafsirannya melalui pengenalan terhadap bahasa subkultur yang berbeda. Selain itu, multilungualisme dalam teks sastra berfungsi memadukan beragam corak bahasa lokal, dengan berusaha menghilangkan akar primordialisme dan saling jemawa masing-masing daerah. Sebab, seperti diungkap Maman, bahwa ”lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki medan tafsir yang tidak pernah selesai”.
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
PERSPEKTIF
PERSPEKTIF
EMOSI, BUNYI DAN KEHIDUPAN
B
Oleh Taufiq A Prayogo, Dokter Muda di Universitas Indonesia (UI), Jakarta.
ahasa apa yang akan digunakan manusia, jika semenjak dilahirkan ia tak diajarkan dan diperdengarkan bahasa apa pun? Apakah si manusia akan menggunakan bahasa Ibrani, Suryani, Urdu, Arab dan lain-lain, yang notabene Tuhan gunakan ketika mengucap titahnya kepada sang Nabi? Apakah ada bahasa “Tuhan�? Apakah Sang Tuhan akan mengintervensi manu-
sia soal bahasa? Pada abad ke 16, Raja Henry, sang penguasa Sisilia dibuat penasaran oleh pertanyaan itu. Akhirnya, ia mengeluarkan perintah kepada para ilmuan untuk meneliti perkara tersebut. Beberapa ilmuan utusan sang raja mengambil belasan bayi yang baru lahir untuk diteliti. Bayibayi tersebut dibawa ke laboratorium kedap suara; tak boleh diajak bicara, dan tak boleh
juga diperdengarkan bahasa. Ibu si bayi hanya diperkenankan merawat: memberi makan, memandikan, dan menggantikan baju. Di ruangan itu, suara adalah sesuatu yang haram dilahirkan. Setelah beberapa tahun, apa yang terjadi? Semua bayi-bayi itu mati, tanpa sisa. Apa alasannya? Padahal si bayi tidak kekurangan makanan, tidak kekurangan nutrisi, mereka pun tinggal di lingkungan yang sehat dan tidak kumuh. Para ilmuan menjelaslan bahwa bunyi adalah faktor vital pada manusia, khususnya pada saat mereka masih bayi. Proses belajar mendengar bunyi pada bayi SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 23
PERSPEKTIF
“TANGISAN ANAK TAK AKAN MEMBUAT MEREKA TERLUKA, JUSTRU MENGGENDONG ANAK YANG SEDANG MENANGIS HANYA AKAN MEMBUAT MEREKA LEMAH DAN MANJA.�
24 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
lis. Bisa juga karena bayi lahir dengan berat badan yang rendah atau lahir dengan kondisi bayi tidak menangis (asfiksia) Dugaan Lain Dalam Homo-Deus2, Harari menjelaskan bahwa baru di tahun 1950 dan 1960-an, konsensus ahli baru mengetahui tentang pentingnya kebutuhan emosional. Jauh sebelum itu, di tahun 1920, John Watson, suatu otoritas perawatan anak popular masih beranggapan bahwa tangisan anak tak akan membuat mereka terluka. Menurutnya, justru menggendong anak yang sedang menangis hanya akan membuat mereka lemah dan manja.
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
sangat penting dan tak bisa dipandang remeh, pasalnya, hal tersebut sangat memengaruhi tumbuh kembang, baik itu perkembangan embriologi, anatomi tubuh, neurologi dan tentu saja audiologi. Pada bayi yang mengalami gangguan pendengaran, biasanya mereka mengalami pula keterbelakangan mental, gangguan emosional dan gangguan wicara. Kemahiran manusia dalam berbahasa dan berbicara tak akan bisa didapat bila input sensorik audiotorik dan motorik pada otak tidak dalam keadaan normal. Namun, apakah mungkin tidak diperdengarkannya suara dan bahasa menjadi sebab belasan bayi menjadi tuli dan mati? Secara teori, hal tersebut tak mungkin terjadi. Sebab kedokteran modern1 telah mengklasifikasikan penyebab terjadinya gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Antara lain, gangguan pada masa kehamilan dan kekurangan zat gizi atau infeksi bakteri dan virus seperti rubella, herpes dan sifi-
Untuk membantah teori tersebut, seorang pakar dalam bidang psikolog, Harry Harlow, memisahkan beberapa induk kera dengan anaknya. Si anak kera malang tersebut dibawa ke sebuah ruang isolasi untuk memilih induk baru untuknya. Bukan dari jenis spesies yang sama, calon induk anak kera tersebut terbuat dari logam dengan dilengkapi dot berisi susu yang gurih dan calon induk yang lain berupa boneka kera terbuat dari bulu nan lembut. Tak butuh waktu lama bagi si kera untuk menentukan mana calon induk baru untuknya. Hampir semua dari monyet tersebut memilih boneka dengan bulu yang lembut walau tanpa susu. Harry Harlow berhasil membuktikan bahwa, makhluk bernyawa tak bisa hidup hanya dengan makanan, mereka butuh ikatan emosional. Tragisnya, si kera mengalami stres luar biasa dikarenakan sang induk tiruan berbulu mereka tak merespon segala gerak dan teriakan. Tak lama kemudian, mereka mati semua.
KOLOM
FOTO: FAIZ RIFQY AK
SESAT PIKIR REFORMA AGRARIA JOKOWI
R
Oleh Ikhsanuddin Muas
eforma agraria, program unggulan Presiden Joko Widodo sejak empat tahun lalu, nyatanya hanya pseudo, pura-pura. Baru-baru ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengajukan pinjaman $200 juta AS kepada Bank Dunia. Permohonan suntikan dana itu disebut untuk akselerasi reforma agraria. “On Map Program” memang menjadi proyek pemerintah di sektor agraria, sejak Jokowi terpilih pada 2014 lalu. Kepala Perwakilan Bank Dunia
untuk Indonesia dan Timor-Leste, Rodrigo A. Chaves, menjelaskan, Bank Dunia secara prinsip menyetujui “One Map Program” Jokowi. Dengan kata lain, Bank Dunia menyetujuai pengajuan pinjaman hutang tersebut. “One Map Program akan mempercepat upaya pemerintah di sektor agraria melalui pemetaan partisipatif, layanan informasi tanah elektronik, dan pendaftaran tanah yang sistematis dan lengkap,” kata Chaves, merujuk Antara, Sabtu (21/7/2018). Meski demikian, hutang besar tersebut rupanya bukan semata untuk reforama agraria, sebagaimana sering SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 25
KOLOM disebutkan Jokowi dan pihak Istamerupakan penataan struktur agrarna, tetapi hanya untuk program satu ia akibat ketimpangan penguasaan peta (on map program), pendaftaran struktur agraria nasional. Ketimpantanah sistematias lengkap (PTSL), dan gan tersebut terlihat dari sengsaranya layanan informasi tanah elektronik. rakyat khususnya petani, buruh tani, Konsorsium Pembaruan Agraria masyarakat adat, karena tidak memili(KPA) menyebutkan bahwa pemerinki tanah atau bertanah sempit, sementah telah menyuguhkan informasi kelitara segelintir badan usaha skala besar ru kepada masyarakat. Pasalnya, reformenguasai tanah maha luas. ma agraria bertentangan, bahkan Reforma agraria juga harus berselisih, dengan semanditujukan untuk menyelegat reforma agraria. saikan konflik agraria KPA mendedahyang berkepankan bahwa utang jangan, dengan bukan sebagai mengedepankan REFORMA AGRARIA proses akselerpemulihan hak MERUPAKAN PENATAasi dan percemasyarakat AN STRUKTUR AGRARpatan reforma atas tanah dan IA AKIBAT KETIMPAagraria. sumber-sumber NGAN PENGUASAAN Program ekonominya. STRUKTUR AGRARIA sertifikasi tanah Karena itu, NASIONAL. yang terus didenKPA mendesak gungkan pemerinpemerintah untuk tah, menurut catatan segera membatalKPA, bukan poyek akkan hutang kepada Bank selerasi reforma agraria. SertiDunia terkait one map profikat tanah atau land titling hanya bengram. Selain itu, pemerintah wajib tuk pelayanan publik kepada pemilik merealisasikan janji reforma agraria tanah yang tak bersertifikat. Reforma melalui program redistribusi tanah keagraria bukan sekadar bagi-bagi sertpada rakyat yang berhak. ifikat tanah, apalagi dilakukan secara Pemerintah juga mendukung separsial. cara utuh dan sistematis dengan proSekjen KPA, Dewi Kartika, gram-program lainnya pasca redistrimenyebutkan, dalam khazanah ilmu busi. Sehingga, tanah-tanah tersebut pengetahuan dan praktik di seluruh bisa produktif dan menjadi jalan dunia, reforma Agraria atau Agraria untuk kesejahteraan dan keadilan soReform bukanlah program pendaftsial. Langkah Pemerintah Indonesia aran tanah, sertifikasi tanah, dan pemdengan berhutang kepada Bank Dunia buatan peta. adalah bentuk liberlaisasi tanah. Menurut Kartika, reforma Agraria
“
26 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
PUSTAKA
G
MENYOAL NASIB TERJEMAHAN KUCING DAN TIKUS GÜNTER GRASS
ünter Grass meninggal dunia pada 2015 karena penyakit infeksi paru-paru. Enam belas tahun setelah ia mendapat hadiah Nobel Sastra pada 1999. Penyakit pneumonia ini mengakhiri hidupnya di usianya ke-87 tahun. Tentu setelah menulis banyak buku, memahat banyak patung, dan kerja kebudayaan lainnya. Meminjam bahasa Eka Kurniawan dalam tulisannya Günter Grass, Obituari (2015), Grass merupakan orang yang luas keterampilan senin-
ya dan unik watak kesusastraannya. Ia yang lahir di Danzig, Polandia, 16 Oktober 1927, tidak hanya menulis sastra, ia juga mengerjakan pekerjaan seni seperti pemahat patung, melukis, dan desain grafis. Tidak ayal, ia selalu melakukan kegiatan tersebut dengan bergantian. Tentu, setelah ia melanjutkan sekolah di Akademi Seni Dusseldorf, dengan jurusan pahat dan grafis, tepatnya setelah usai Perang Dunia II (1948-1952). Grass menjadi penulis terkeSINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 27
PUSTAKA
Judul : Kucing danTikus Penulis : Günter Gras Penerjemah : Noor Cholis Penerbit : Basabasi Cetakan : Januari 2018 Tebal : 212 Halaman ISBN : 978-602-6651-71-6 Presensi : M. Muafiqul Khalid nal setelah ia menetap di Jerman pada 1954. Setelah menikahi Anna Schwarz, penari balet asal Swiss, ia menggetarkan kesusastraan di Jerman bahkan seluruh dunia. Novelnya yang berjudul Genderang Kaleng (Die Blechtrommel), yang dikerjakan di Paris di usia ke-32, menyodorkan lelucon perang dengan menciptakan tokoh cebol yang bernama Oskar Matzerath. Sejak itu, ia dikenal sebagai penulis yang memasukkan unsur-unsur surealis yang langka. Seperti penyataan Sigit Susanto dalam tulisannya Radikalsme Grass dan Sastra Kita (2010), ia meramu tema-tema perang, kehancuran setelah perang, perpacahan dan penyatuan Jerman, hingga peristiwa politik lainnya. Dengan bahasa puitis, ia berani mendobrak hal tabu dalam masyarakat. Keberaniannya tersebut pernah ia katakan dengan tegas “Karena saya tidak takut hidup, maka saya masuk Sozialdemokratische Partei Deutschland (SPD).” Dengan keberanian yang tiada duanya, sastra ia gunakan sebagai senjata politik. Sebab itu, yang dikenal dengan sebutan Trilogi Danzig adalah noval-novelnya sebagai sikap politik 28 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
kepada pemerintahan Jerman di masa kekuasaan Hitler. Diantaranya Genderang Kaleng (Die Blechtrommel), Kucing dan Tikus (Katz und Maus), dan Tahun Anjing (Hundejahre). Grass menulis novel dengan gaya piqarasque, sebuah tradisi yang berkembang di Sepanyol, Inggris, dan mungkin beberapa di Amerika. Pada titik ini, saya sepakat dengan yang dikatan Eka Kurniawan, dengan menggunakan alusi dari fabel, karya-karyanya kerap riang, kekanakkanakan, bahkan ringan. Meski terkadang humor-humornya tampak gelap dan menyeramkan. Juga yang menarik dari Grass adalah sikap tegasnya ketika masuk ke barisan tentara Nazi. Setelah novelnya yang berjudul “Menguliti Bawang (Beim Häuten der Zwiebel)”, terbit pada 2006, sebuah pengakuan ideologisnya yang menyulut polemik berkepanjangan. Namun ia, dengan tagas menjawab, dalam buku “Perbincangan dengan Günter Grass (Gespräche mit Günter Grass)”, ia menolak dua hal dalam hidupnya; pertama, tentang agama Kristen, dan kedua tentang ideologi marxisme. Grass menolak kedua hal tersebut karena meyakini, keduanya tidak akan menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan masyarakat. Ia menyatakan, meski orang banyak membaca Injil, mereka tidak akan mampu menjawab kehiduapan. Begitu juga dengan ideologi Marxis: tidak akan bisa menawarkan solusi bagi kehidupan yang bergejolak ini. Demikian juga dengan Kucing dan Tikus, yang termasuk ke dalam bagian Trilogi Danzig, ia tetap menggunakan fabel sebagai propaganda politik yang unik. Pembaca akan dih-
PUSTAKA
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
adapkan dengan kejutan-kejutan yang tidak pernah ditemukan dalam cerita fabel sebelumnya. Menyoal Terjemahan Sayangnya, ia mati karena penyakit infeksi paru-paru. Ketegasannya dalam berpolitik dengan menggunakan sastra sebagai media, kini tinggal kenangan. Namun ia akan tetap hidup sebagai penulis besar hingga sekarang. Beberapa sikap dan caranya (mungkin) dapat ditiru bagi penulis sastra di Indonesia saat ini. Dengan begitu, sastra tidak tercerabut dari politik dan dari realitas masyarakat. Tampaknya, gejala infeksi paru-paru yang membunuh Grass menjangkiti saya—sebagai analogi—persis ketika sedang membaca buku Kucing dan Tikus (Katz und Maus). Terjemahan Noor Cholis, diterbitkan Basabasi pada Januari 2018. Artinya, buku ini perlu dikoreksi ulang. Sejauh demi kebaikan dan masa depan kesusastraan Indonesia, bagi saya penting untuk dievaluasi lagi. Sederhananya, buku Kucing dan Tikus (2018) terjemahan Noor Cholis ini sulit untuk dipahami. Banyak kemungkinan yang perlu dijadikan pertimbangan. Pertama, karena terjemahannya yang kurang baik; kedua, karena editor buku ini (seolah) tidak berperan sama sekali. Di dalam buku ini akan banyak ditemukan tipo, kalimat tanpa spasi, dan pragraf panjang yang tidak bisa dimengerti. Inilah yang membuat saya meminjam analogi penyakit pneumonia ketika sedang menyelesaikan buku setebal 212 halaman ini. Masalah tipo, saya sedikit menoleransi, terkait dengan terjemahan yang tidak bisa dipahami, bagi saya mutlak ada kesalahan. Wajib
untuk diperbaiki sebelum diproduksi. Masalah seperti ini perlu diperhatikan dengan serius. Pasalnya, ini berkaitan langsung dengan pengonsumsi alias pembaca yang beragam. Misalnya saya, sejauh ini masih bergantung terhadap buku terjemahan, bukan buku asli dan bahasa asalnya. Jika terjemahannya sudah bermasalah, pembaca tidak akan mendapatkan keluasan dan keunikan Grass selain kerugian yang nyata. Karena itulah saya harus mengatakan dengan jujur, “saya tidak kuat untuk menyelesaikan buku ini.� Sekurang-kurangnya, saya sudah membaca hingga halaman 128. Kemudian saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya. Demam rasanya! Namun, semoga saja saya tidak benar-benar sakit, agar bisa menunggu dan membaca lagi buku terjemahan Grass yang lain.
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 29
CERPEN
Oleh Daruz Armedian
arangkali Tuhan sedang tidur ketika kampung kami digusur, Rengganis. Tapi, Tuhan tidak pernah tidur, katamu. Tuhan selalu dapat melihat siapa pun dan apa pun meskipun dalam gelap dalam pengap dalam tempat sempit dalam tempat lebar dan dalam kondisi bagaimana saja. Tetapi, kenapa Tuhan membiarkan kampung kami dihancurkan? Kamu hanya menggelengkan kepala. Aku tahu, kamu pasti kebingungan menjawab pertanyaanku. Kamu diam. Kalau dalam hitungan waktu, diammu sudah memakan waktu selama lima menit. Di sekitar lima menit itu, kamu melemparkan pandangan ke arah reruntuhan bangunan, ke arah di mana kepedihan diturunkan dan kebahagiaan diluluhlantakkan. Tuhan hanya membiarkan mereka mer-
30 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
usak kampung kami, katamu ragu-ragu. Di matamu, di dalam kesedihan itu, aku melihatmu seperti bayang-bayang yang ingin cepat menghilang dan berhenti membahas tentang hal ini. Rengganis, berarti Tuhan berhenti menjadi penyelamat yang baik, sehingga kampung ini, kampung yang berpuluh-puluh tahun kami huni, digusur dengan cara yang tidak manusiawi dan Ia membiarkannya begitu saja. Kamu menatapku tajam. Apa kamu kaget? Tolong jangan tuduh aku sedang mempermainkan nama Tuhan (dan mempermainkan Tuhan itu sendiri). Aku hanya meragukan semua kekuasaannya. Aku pernah menjadi ateis, Rengganis. Aku pernah tidak mempercayai Tuhan sama sekali. Jangankan kekuasaannya, kehadirannya saja
ILUSTRASI: WWW.GOOGLE.COM
B
TUHAN SEDANG TIDUR KETIKA KAMPUNG KAMI DIGUSUR
CERPEN aku tak pernah meyakininya. Aku berjalan seorang diri. Aku hidup karena kebetulan. Orangtuaku lahir juga karena kebetulan. Semua itu hukum alam. Lalu, seseorang sepertimu ini yang membuatku percaya kalau Tuhan itu ada. Aku percaya kamu diciptakan bukan karena kebetulan. Kamu cantik dan baik. Itu jelas bukan kebetulan dari penciptaan. Kamu dibentuk sebegitu rupa untuk membuatku tertarik mengenalimu. Tolong jangan membual, kamu memotong perkataanku. Sungguh, aku tidak sedang membual. Di negara ini pembual yang menarik dan bisa dianggap panutan hanya Ajo Sidi dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya AA Navis dan Warto Kemplung dalam novel Dawuk (Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu) karya Mahfud Ikhwan. Kenapa masalahnya sampai ke arah fiksi? Aku tahu fiksi dan kenyataan hari ini hampir tidak bisa dibedakan. Ini kisah nyata yang melebihi imajinasi sebuah fiksi: ada koruptor tertangkap dan dimejahijaukan dan ia tiba-tiba tidak bisa bicara ketika hakim memberi pertanyaan-pertanyaan. Kalau aku jadi redaktur koran, ada seorang mengirimkan sebuah cerpen yang bercerita tentang hal itu, aku akan menolaknya karena cerpen itu jelas-jelas cacat logika. Hanya orang tolol yang bisa mengarang cerita seperti itu. Ini juga: ada orang yang sudah diberi nikmat berupa harta yang berlebih, eh, mereka malah masih butuh menggusur tanah orang lain. Ini kan kegilaannya sudah melampaui fiksi. Kamu hanya bersikap bodoh, bengong seperti kaleng terbuka dan tidak ada isinya. Aku jadi ingat sebuah kaleng menyedihkan dalam novel O karangan Eka Kurniawan. Bagaimana, Rengganis? Bagaimana jika Tuhan sebenarnya benar-benar tidur atau berhenti menjadi penyelamat yang baik ketika kampung kami digusur? Kamu tetap tidak bisa membalas perkataanku itu.
Kamu mengamatiku, yang mungkin saja, menjadi orang paling aneh yang kamu kenali. Kamu mau jadi ateis lagi? Itu pertanyaan yang konyol. Sekarang aku sudah percaya adanya Tuhan. Tetapi, ya, tetapi, aku masih meragukan kekuasaannya.Lalu, kamu menukasku dengan pernyataan yang menggelikan: kamu seperti mahasiswa Filsafat yang baru. Kamu tak ubahnya mereka, golongan yang selalu mempermasalahkan Tuhan, tidak peduli ilmunya masih cetek. Mereka menulis nama Nietzsche saja masih salah. Sudah begitu masih sombong dan teriak-teriak: Tuhan telah mati, Tuhan telah mati. Jangankan menulis nama filsuf dari Jerman itu, mereka saja tidak tahu perbedaan ‘di’ untuk kata kerja dan kata ‘di’ untuk selain kata kerja. Entah kenapa aku malah tertawa. Aku masih butuh waktu untuk meneruskan ceritaku. Bagaimanapun, cerita yang tanpa tanda petik untuk menunjukkan ‘dialog’ itu sangat membingungkan. Dan, yang pasti, dialog-dialog itu susah dibedakan. Antara tokoh satu dengan tokoh yang lain, dialognya seperti sama-sama kepunyaanku. Bukan kepunyaan mereka. Aku seperti bicara dengan diriku sendiri. Dan, bukan hanya itu saja yang membuatku kebingungan untuk meneruskannya. Aku tidak tahu apakah Si-orang-yang-awalnya-ateis itu akan kujadikan ateis kembali, atau malah menjadi orang yang sangat sholeh. Ini perkara yang rumit. Oh, ya, Rengganis adalah mahasiswi di UIN Sunan Kalijaga, yang kebetulan rumahnya ada di Kulon Progo, dan kalau diperjelas lagi, ia bertempat tinggal di kampung yang, aduh, aku bingung mau menyebutkannya, hmmm, itu, kampung yang sebentar lagi akan dibangun bandara. Tetapi, ia ke kampung halaman hanya sekali seminggu. Sedangkan Si-orangyang-awalnya-ateis itu sudah lulus kuliah dan memutuskan untuk menetap di Kulon SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 31
CERPEN Progo. Tempat tinggalnya sama seperti Rengganis. Hanya, dalam hal pekerjaan, mereka amat berbeda. Si-orang-yang-awalnya-ateis memutuskan untuk berkebun di sana. Menanam cabe dan sayur-mayur lainnya. Perlu diketahui, tanah di kampung yang ia tinggali itu sangat subur dan ateis atau bukan, itu tidak mempengaruhi banyak tidaknya rezeki yang ia peroleh. Ya, sudah, lanjut saja perbincangan kalian, Rengganis! Kenapa kamu tak pernah memikirkan mahasiswa-mahasiswa yang seolah-olah membantu kita tapi akhirnya tetap nol hasilnya? Bagaimana kamu bisa mengatakan hal itu, Rengganis? Ya, tentu saja aku bisa mengatakan hal itu. Mahasiswa-mahasiswa itu pura-pura melakukan perlawanan. Koar-koar sana-sini, menulis sana-sini mengenai perlawanan, tetapi buktinya mana? Mereka tetap kalah, dan aku yakin sekarang mereka melupakan perlawanannya sendiri, dan lihat sekarang, kampung kami tetap digusur. Aku yakin mereka sekarang sedang asyik nongkrong di warung kopi, main gaplek, sekak, atau menyanyikan lagu Iwan Fals dan Marginal sambil ketawa-ketawa. Kau harus tahu kalau perlawanan itu selamanya. Bukan kok sekarang melawan dan besoknya sudah lupa. Astaga, Rengganis. Kamu keterlaluan. Kita hargai dulu perlawanan mereka, yang walaupun cuma sementara. Oke, taruhlah jika sekarang mereka sedang asyik nongkrong di warung kopi, main gaplek, sekak, atau menyanyikan lagi Iwan Fals dan Marginal sambil ketawa-ketawa, tetapi bukannya mereka juga pernah mengumpulkan dana untuk membantu kita? Setidaknya itu yang bisa kita banggakan dari mereka. Atau, mereka juga berusaha ikut membantu kita untuk menolak para penggusur itu. Kau harus tahu, mereka juga kena semprot aparat yang bajingan itu. Mereka juga di32 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018
tangkap. Aku kenal akrab sama mereka. Tukang Kebun, aku paham maksudmu. Oke, aku setuju hal itu. Rengganis, perlawanan, sekecil apa pun, tetaplah perlawanan. Aku lebih suka kepada mereka yang membantu kami secara langsung, mereka turun ke jalan, mereka tahu tangis dan duka kami. Aku lebih suka dengan mereka yang seperti itu ketimbang yang bisanya cuma nyinyir, palingan nanti juga gagal, palingan nanti juga sia-sia, palingan nanti bla bla bla. Itu mahasiswa yang bodoh! Mereka dididik menggunakan dengkul, bukan dengan otak. Kesenangan diri sendiri yang dicari. Mereka yang dididik dengan dengkul ini biasanya tidak hanya tunduk pada Tuhan, tetapi siapa saja, asalkan dia mendapat puji-pujian karena itu. Mereka juga tunduk pada dosen agar nilainya A+. Kepala mereka rela diinjak-injak oleh kesewenang-wenangan dosen. Mereka menggadaikan jati dirinya. Ternyata, jiwa perlawananmu masih ada, ya. Terima kasih, Rengganis. Tetapi, aku hanya Si-orang-yang-awalnya-ateis yang menjadi Tukang Kebun dalam cerita karangan orang malas. Orang ini hanya menuliskan cerita yang berisi perdebatan kita mengenai Tuhan, penggusuran, mahasiswa dan lain-lain. Dia hanya duduk ongkang-ongkang tanpa melihat kenyataan. Dia tipe mahasiswa yang kerjaannya cuma ke perpustakaan, membaca buku di ruangan ber-AC, atau kalau tidak begitu ya rapat singkat untuk membuat bulletin yang berisi wacana-wacana perlawanan. Sungguh, jika ia percaya Tuhan, orang seperti ini akan dilaknat oleh-Nya dan akan dimasukkan ke neraka yang apinya tidak pernah padam. Bangsat. Stop. Cukup sampai di sini ceritanya. Ia sudah mulai melawan pengarangnya. Dasar tokoh cerita tidak tahu diri![] *Mahasiswa semi-non-aktif Filsafat UIN Sunan Kalijaga.
SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018 - 33
34 - SINERGIA EDISI AGUSTUS 2018