MAJALAH SINERGIA EDISI-XXIII DESEMBER 2018 (FULL COLOUR)

Page 1



S A PA R E D A K S I

Jangan Salah Kaprah! Bukan Satu Soal, Masih Ada Soalsoal Lainnya!

“

“

Majalah Sinergia Volume XXIII mengangkat satu soal berkenanan dengan bagaimana bangsa ini, khususnya mahasiswa/pemuda melihat kedaulatan energi nasional, ditengah kesibukan politik berdemokrasi bangsa.

Entah apa yang membuat khalayak tersipu dengan perkembangan isu yang sedang hangat-hangatnya. Tahun politik menjadi sebuat makanan yang manis untuk disantap dengan segelas teh manis. Hanya, masyarakat pada cenderung fokus pada satu titik tersebut. Apa karena banyak memperoleh proyekproyek partai politik, tim pemenangan caleg/capres? Sungguh tak indah jadinya negeri ini terkooptasi dengan satu makanan, membuat mati sendi-sendi nasionalisme. Karena nasionalisme bukan hanya soal politik berdemokrasi! Bukan hanya sibuk urus kemenangan para caleg dan capres, tentu masih ada masalah-masalah di negara kita ini untuk diangkat menjadi diskursus baru. Tidak melulu soal kepentingan politik, tetapi kepentingan kedaulatan energi nasional. Padahal Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk keberlangsungan ketahanan energi nasional. Indonesa masih termasuk negara yang berkembang dan sedang mempersiapkan tahapan-tahapan membangun kedaulatan energi nasional. Jika hal ini tidak didorong oleh keinginan bersama, kedaulatan energi nasional kita tidak akan berjaya. Soal-soal itulah yang seharusnya juga dikembangkan oleh warga negara yang baik, ilmuan, politisi dan mahasiswa. Tidak akan mudah, paling tidak bangsa ini tidak terjebak pada satu problem sosial saja, dan ada yang perlu kita garap dan selesaikan bersama. Majalah Sinergia Volume XXIII mengangkat satu soal berkenanan dengan bagaimana bangsa ini, khususnya mahasiswa/pemuda melihat kedaulatan energi nasional, ditengah kesibukan politik berdemokrasi bangsa. Silahkan dinikmati para penikmat Sinergia, dan jangan lupa! Kritik dan saran anda yang membangun membuat kita terus berbenah diri, dan akan selalu memberi yang terbaik bagi penikmat Sinergia. Salam Literasi! Redaksi

MAJALAH SINERGIA Diterbitkan oleh LAPMI SINERGI Nomor SK Pengurus HMI Cabang Yogyakarta No. 11/KTPS/A/08/1418 Pimpinan Umum: Muchlas Jaelani | Sekretaris Umum: Hutri Rohmania | Bendahara Umum: Ubaydillah | Pemimpin Redaksi: Fahmi Mubarok | Redaktur: Ach. Faridatul Akbar, Apipuddin, Salim Shabir | Litbang: Rully M. Baba, Refan Adiyta, Fuad Fathul Madjid | Editor: Qodri Syahnaidi | Ilustrasi: Misye M. Paradistin, Adik Kecil | Layouter: Achmad Farid Akbar | Pimpinan Perusahaan: Faiz Rifqy AK | Promosi: Ikhsanuddin Muas, Dika Dwi Yurlita Email lapmisinergi@gmail.com

Instagram @lapmisinergijogja

Kantor Jl. Ampel, Papringan, Caturtunggal, DIY


DAFTAR ISI

7-9 | S E L A S A R LIPUTAN

JALAN TERJAL MENUJU KEDAULATAN ENERGI Fisikawan kelahiran Inggris Stephen Hawking pernah menulis bahwa “Perhaps in a few hundred years, we will have established human colonies amid the stars” (Mungkin dalam beberapa ratus tahun, kita akan membangun koloni manusia di tengah bintang-bintang).

3 5 - 3 8 | K O H AT I

KOHATI CABANG YOGYAKARTA: KORPS YANG BUKAN KALENG-KALENG! Ketika yang lain sibuk mencibir dan mencari kesalahan, mungkin segelintir orang-orang yang mengurusi KOHATI Cabang Yogyakarta tidak tinggal diam. Pastinya mereka mencari ide dan gagasan baru unruk keberlangsungan organisasi. Begitupun yang disampaikan Lusia Ega selaku Ketua Umum KOHATI Cabang Yogyakarta periode 2017-2018.

10-12 | W A W A N C A R A Elan Biantoro

23-24 | I N S P I R A S I Suvi Wahyudianto

DIONYSIAN: SENI YANG MELUKIS LUKA 14-16 | O P I N I Suhairi Ahmad

MAHASISWA DAN LITERASI ENERGI

17-18 | P E R S E P S I Asip Irama

HOMO KORUPTORENSIS

Sifat dasar homo koruptorensis ialah serakah, haus kekuasaan, dilingkupi hasrat materialistik dan sisi kemanusiaanya tumpul.

MAHASISWA UNTUK ENERGI BERDAULAT: DARI HABIT KE PRINSIP Kenyataan energi kita butuh kontribusi pemuda-pemuda, terutama yang memiliki ketertarikan dan juga awareness. Kesadaran bahwa ketahanan energi merupakan ketahanan strategis terhadap keberlangsungan suatu negara.

25-26 | PERSPEKTIF 21-22 | K O L O M Mashuri Masyhar

MEMBINCANG ENERGI, MELIRIK MAHASISWA

4

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

Faiz Rifqy

MAHASISWA, KETAHAN NASIONAL, DAN FILTERASI HATE SPEECH DI TAHUN POLITIK


SURAT PEMBACA

PENERBITAN SINERGIA

Salam kawan-kawan LAPMI Sinergi, saya dahulu sering menikmati Majalah Sinergi, tapi akhir-akhir ini jarang sekali membacanya kembali, sekedar saran; mungkin bisa diintensifkan penerbitan Majalah Sinergia. Agar penikmat Sinergia bisa membaca karya kawan-kawan LAPMI Sinergi. Semoga tetap konsisten menjadi lembaga pers yang murni dan independen. Luqmanul Hakim (Pembina Paguyuban Alumni Nurul Jadid Yogyakarta - PANJY)

JAWABAN:

Salam, terima kasih sudah menjadi penikmat Majalah Sinergia. Perhial media cetak (Majalah Sinergia) biasanya kita terbit satu tahun satu kali, untuk Buletin Sinergia terbit setiap satu bulan satu kali. Kami akan terus berbenah terkait waktu penerbitan, agar penikmat Sinergia bisa terus menerima informasi yang ringan dan kritis dari kami.

DISTRIBUSI MAJALAH

Sebagai mahasiswa yang haus akan pengetahuan, pastinya butuh asupan gizi yang produktif dari

bahan bacaan. Majalah Sinergia masih representatif sebagai media cetak karya mahasiswa memberi asupan yang baik bagi kaum intelegensia. Tetapi, distribusi produk (Majalah Sinergia) belum dilakukan secara maksimal. Sekedar saran, soal distribusi bisa dilakukan di LPM se DIY, sebagai ajang silaturrahmi pekerja jurnalistik. Semoga tetap jaya Sinergia. Yudhi Irawan (Ketua Umum HIMA D3 Fakultas Ekonomi UII 2018-2019)

yang mendalam. Saya berharap LAPMI Sinergi Yogyakarta bisa mempertahankan identitas dan karakternya. Jarang sekali mahasiswa-mahasiwa sekarang bebas berpikir dan independen, apalagi buah pikirannya dituangkan dalam sebuat tulisan yang edukatif dan berbobot. Terus berkatya, tetap ringan dan kritis! Ainun Fiki (Mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Pegiat Wacana Kontemporer)

JAWABAN:

Sudah barang tentu menjadi komitmen kami sebagai insan pers, memberikan informasi terbaik untuk publik. Dan terima kasih atas saran yang membangun, semoga LAPMI Sinergi tetap konsiten menjaga independensinya. Serta memberikan sumbangsih ide dan gagasan bagi khalayak ramai. Kami akan terus berbenah dan mengevaluasi seluruh kerja-kerja jurnalistik, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislamankeindonesiaanserta kode etik jurnalistik.

Perihal distribusi produk cetak dari LAPMI Sinergi, sudah merupakan tugas utama dari dunia pers, dan kami sudah mencanangkan hal itu. Terima kasih sudah memberikan kritik dan saran yang membangun. Semoga tetap jaya selalu!

MAJALAH EDUKATIF DAN BERBOBOT

Baru sekali membaca Majalah Sinergia, saya sangat tertarik dengan ide dan gagasan yang diangkat oleh teman-teman LAPMI Sinergi Yogyakarta. Muatan wacananya enak dibaca dan berbobot, memberi diskursus keilmuan

JAWABAN:

KIRIM TULISAN SINERGIA menerima tulisan dari pembaca dalam bentuk opini, esai, kolom, cerpen, dan resensi. Tulisan dikirim dalam bentuk attachments dengan subjek sesuai rubrik ke alamat surel lapmisinergi@gmail. com. Redaksi menyediakan bingkisan menarik untuk setiap tulisan yang dimuat. Pembaca juga bisa mengirimkan gambar ilustrasi ke surel yang sama.

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

5


EDITORIAL

MAHASISWA DAN UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL “Karena minyak dan gas sekarang semakin berkurang, maka kita harus bersiap melakukan perubahan, melakukan konservasi energi, gunakan batubara dan sumber energi terbarukan seperti sel surya� Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat (1977-1981)

P

erkembangan di bidang energi, khususnya semakin berkurangnya cadangan energi tak terbarukan di satu pihak dan tuntutan terhadap alternatif energi terbarukan di pihak lain, menjadi momentum yang sangat penting untuk melakukan kajian yang bersifat komprehensif terhadap kondisi yang akan dihadapi oleh Indonesia di masa depan. Dengan begitu, saat ini, Indonesia sudah tidak dapat bergantung lagi pada sumber energi konvensional semata. Cadangan minyak, gas, dan batubara diprediksikan akan habis dalam waktu yang cukup singkat, tidak lebih dari 50 tahun lagi. Krisis energi yang pernah terjadi dalam skala global pada 70-an bisa saja terulang kembali dan bahkan lebih besar dampaknya bagi negara seperti Indonesia. Karena itu, diharapkan agar Pemerintah dan seluruh komponen bangsa dapat bekerja sama mencari solusi mengatasi persoalan strategis berupa ancaman krisis energi yang mungkin akan dihadapi oleh bangsa ini. Salah satu fungsi Badan Intelijen Negara adalah memberikan pertimbangan bagi

6

pembuatan kebijakan nasional, termasuk di dalamnya kebijakan tentang kondisi energi nasional, sehingga dapat diambil langkahlangkah antisipasi berupa kebijakan strategis yang dapat dikembangkan bersama. Momentum untuk memberikan masukan bagi kebijakan energi nasional saat ini sangat tepat. Salah satu pertimbangan utamanya adalah adanya proyeksi bahwa pada 2025 bangsa Indonesia akan mengalami krisis energi apabila tidak melakukan kebijakan nasional yang tepat dan efektif. Kebijakan nasional yang dimaksud, bukan hanya melakukan eksplorasi dan eskploitasi sumber energi tak terbarukan atau konvensional, melainkan juga menemukan, mengelola, serta menggunakan energi terbarukan. Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan sosial dan kehidupan politik. Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

sebuah negara. Kajian tentang dinamika pergerakan mahasiswa merupakan suatu kajian yang terus bergulir dari masa ke masa. Sungguh suatu kenyataan baik dari perspektif sejarah maupun dalam konteks realita bahwa dinamika pergerakan mahasiswa telah memberikan fenomena yang berlangsung terusmenerus seolah tidak berujung. Gerakan mahasiswa telah memberikan sumbangsih yang luar biasa terhadap perubahan sosial yang ada di Indonesia. Sejarah mencatat gerakan mahasiswa bergreak secara dinamis dengan pasang surutnya. Hal ini terjadi bagaimana gerakan mahasiswa merespon tantangan zaman. Orientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran membuat mahasiswa peka dan peduli terhadap isu sosial. Dalam pada itu, gerakan mahasiswa mestinya mengambil posisi untuk mendorong terwujudnya tatanan stabilitas nasional melalui, salahsatunya, pemanfaatan agenda strategis ketahanan nasional energi, seperti minyak, listrik, dan gas. Kenyataan bahwa Indonesia tengah mengalami defisit energi 2025 harus menjadi kaca-pandang mahasiswa untuk mengawal ketahanan energi menuju kedaulatan negara. Bagaimanapun, kedaulatan energi juga memiliki pengaruh terhadap kedaulatan bidang lain: sosial, politik, ekonomi.


SELASAR

IKLAN

Dok. Pinterest

JALAN TERJAL MENUJU KEDAULATAN ENERGI Fisikawan kelahiran Inggris Stephen Hawking pernah menulis bahwa “Perhaps in a few hundred years, we will have established human colonies amid the stars� (Mungkin dalam beberapa ratus tahun, kita akan membangun koloni manusia di tengah bintang-bintang). Tulisan Hawking yang dimuat di Guardian 2016 tersebut menjadi alarm bagi umat manusia bahwa sebentar lagi kita akan menyongsong episode terakhir kehidupan di muka bumi.

H

awking berpendapat setidaknya ada lima hal yang dapat mendorong percepatan umat manusia menuju akhir sejarah atau kiamat. Pertama, pemanasan global akibat perubahan iklim yang ekstrem. Kedua, krisis pangan yang berdampak kelaparan dan konflik agraria. Ketiga, meningkatnya populasi manusia

yang berkonsekuensi pada semakin tingginya angka kemiskinan. Keempat, penyakit endemik yang sulit ditangani. Kelima, perang nuklir yang bisa memusnahkan secara massal populasi manusia. Salah satu di antara lima hal tersebut erat kaitannya dengan persoalan energi. Poin pertama misalnya, soal pemanasan global.

Global warming penyebab utamanya ialah penggunaan bahan bakar fosil berlebihan, seperti batu bara, minyak bumi dan gas bumi. Namun, terlepas dari persoalan tersebut, ketergantungan pada energi kovensional bukan saja mendorong manusia menuju akhir sejaranya, tetapi akan merunyamkan tatanan kehidupan

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

7


yang sedang berlangsung. Dengan demikian, menusia akan menanggung derita sebelum berada di ambang batas sejarahnya. Dalam konteks ini, pokok kajian yang urgen untuk terus didiskusikan yaitu ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Tiga item ini mempunyai titik perbedaan satu sama lain. Namun, selama ini sering dicampuradukkan sehingga tumpang-tindih secara definitif tidak bisa dihindari. Mengacu pada pendapat Sampe L Purba Alumnus dalam artikelnya berjudul Ketahanan, Kamandirian, atau Kadaulatan Energi (2016) mendefinisikan bahwa ketahanan energi didorong oleh empat indikator, yakni ketersediaan (availability), kemampuan untuk membeli (affordability), keterjangkauan energi bagi masyarakat (accessibility), dan ketersediaan pasokan energi dalam jangka panjang (sustainability). Adapun yang disebut sebagai kamandirian energi ialah kemampuan negara dan bangsa dalam memanfaatkan keanekaragaman energi secara bermartabat. Sedangkan, kedaulatan energi ialah kamampuan negara dalam menentukan kebijakan pengelolaan, ketersediaan, dan pengurusan energi sehingga mampu mencapai kemandirian serta ketahanan energi. Tujuan akhir kedaulatan energi ialah demi terciptanya kesejahteraan rakyat. Hal yang sama juga disebutkan oleh Elan Biantoro, Vice President Bidang Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK

8

Venezuela dan Nigeria sebagai negara pengekspor minyak dunia menjadi contoh bagi Indonesia batapa krisis energi tidak hanya melanda negara yang cadangan energinya minim. Negara dengan stok energi melimpah pun tidak bisa lepas dari jeratan krisis.

Migas). Menurutnya, kedaulatan suatu negara membutuhkan satu ketahanan khusus, salahsatunya adalah di sektor energi. “Sistem kemandirian suatu bangsa membutuhkan suatu unsur hingga mebuat negara itu hidup dinamis, yakni energi,” ungkap Elan kepada Tim Sinergia melalui sambungan telepon pada Sabtu (1/12/2018). Sementara itu, mewujudkan kedaulatan energi bukan perkara mudah, butuh “stimulus” ekstra dari berbagai komponen. Bahkan, kondisi energi nasional Indonesia masih diselimuti oleh bayangbayang kelangkaan. “Indonesia sendiri ketahanan energinya masih cukup rawan. BBM, misalnya. Jika kita ada problem sedikit saja, BBM kita hanya bisa bertahan 12 sampai 15 hari. Nah, stok bahan bakar kita hanya bertahan 15 hari. Aindaikan, misalnya, tiba-tiba ada bencana alam, atau dalam keadaan perang, baru 10 hari BBM kita sudah habis,” ungkap Elan. Pemerintah dan masyarakat harus sama-sama membangun sinergi. Pentingnya kedaulatan energi ini jauh hari telah disadari oleh pemerintah. Undang-Undang No. 30 tahun 2007 memberi mandat pada pemerintah untuk melakukan pengusaan dan pengaturan energi adalah sinyal positif dalam langkah menuju realisasi kedaulatan energi. Meski demikian, implementasinya di lapangan justru berkebalikan. Alih-alih menuju kedaulatan energi yang terjadi justru terjadi persoalan di dalam sistem energi kita. Dalam daftar Energy Sustainability Index Ranking yang dilakukan oleh World Energy Council, pada 2015 Indonesia berada di urutan ke 65,

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

turun drastis dari posisi 20 pada 2010 dan 47 pada 2011. Turunnya posisi Indonesia secara drastis membuktikan bahwa ada problem yang berimplikasi pada stabilitas kedaulatan energi di Indonesia.

BAYANG-BAYANG KRISIS ENERGI

Tingginya pertumbuhan ekonomi yang berandil besar dalam memacu kebutuhan akan energi dan tidak diiringi dengan pasokan mamadai karena menipisnya cadangan minyak serta gas bumi merupakan salah satu problem dalam mencapai kedaulatan energi. Lembaga konsultan Norwegia, Rystad Energy, dalam penelitiannya menemukan bahwa dengan intensitas produksi seperti saat ini, cadangan minyak dunia hanya akan bertahan 70 tahun lagi. Sedangkan, dalam minyak bumi, Indonesia sendiri mempunyai cadangan terbukti (proven reserved) 3,2 hingga 3,3 miliar barel. Angka itu hanya memenuhi 0,2 persen cadangan minyak bumi dunia. Di bidang gas, kondisinya sedikit lebih baik, yakni 1,5 persen dari cadangan gas dunia. Dalam beberapa tahun ke depan bayang-bayang krisis energi akan menghantui Indonesia. Jika tak ada upaya pencarian sumur baru, produksi minyak mentah Indonesia akan menyusut dari tahun ke tahun. SKK Migas memprediksi bahwa kondisi smeacam itu akan membuat produksi minyak mentah Indonesia dalam 3 hingga 5 tahun ke depan akan turun hingga 500.000 barel per hari (Setiawan, 2016). Venezuela dan Nigeria sebagai negara pengekspor minyak dunia menjadi contoh bagi Indonesia batapa krisis energi tidak hanya melanda negara yang cadangan energinya minim. Negara dengan stok energi melimpah pun tidak bisa lepas dari jeratan krisis. Venezuela adalah negara di mana ekspor minyak mentahnya mampu menopang 60 persen pendapatan negara. Meskipun sangat bergantung pada energi


yang dihasilkan tenaga air, namun kamarau panjang yang melanda negara itu membuatnya tidak mampu menyuplai kebutuhan listrik yang kian tinggi. Di samping itu, tidak adanya kebijakan strategis membuat perekonomian Venezuela jatuh seiring dengan anjloknya harga minyak dunia. Hal serupa juga terjadi di Negeria, yang mengandalkan ekspor dari sektor minyak mentah hingga 90 persen. Terorisme dan korupsi membuat Nigeria terjerembab dalam krisis energi. Melihat buramnya jejak rekam dua negara penghasil minyak mentah terbesar di dunia, Indonesia semestinya mencanangkan kedaulatan dan ketahanan energi agar bisa keluar dari bayangbayang krisis. Salah satu langkah yang harus ditempuh ialah mengoptimalkan peran Pertamina sebagai pemaian dalam bisnis hulu migas. Ini artinya Pertamina “harus” mampu mengakuisi blok asing. Namun, hal itu tidak segampang membalik telapak tangan. Dalam konteks ini, Pertamina akan dihadapkan dengan bisnis dengan resiko cukup besar, kendala teknologi, dan tingginya biaya. Oleh sebab itu, sinergi dari berbagai kalangan, seperti perusahaan swasta, Pemda hingga pemerintah pusat adalah prasyarat dalam merealisasikan kedaulatan energi. Di samping itu, diversifikasi bauran energi juga sangat signifikan, terutama untuk keluar dari krisis. Alternatif pengganti energi fosil adalah energi baru dan terbarukan (EBT), mulai dari panas bumi, tenaga surya, tenaga air, tenaga bayu, sampah, hingga nuklir. Indonesia menargetkan penggunaan EBT 23 persen dari total penyediaan energi pada 2025, sedangkan untuk listrik 25 persen. Sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah dan badan usaha milik negara untuk memenuhi target itu. Saat ini, misalnya, sudah 62 perusahaan swasta menandatangani kesepakatan dengan Perusahaan Listrik Negara untuk membangun

pembangkit listrik EBT. Dengan meminimalisir keterngantungan pada energi fosil akan memuluskan langkah Indonesia untuk keluar dari jebakan krisis. Bahkan, tidak hanya itu, Indonesia akan mampu menggapai kedaulatan dan ketahanan energi. Sebab, jika tidak demikian, bukan saja krisis yang membayangi, namun akan mempercepat prediksi Stephen Hawking soal episode akhir sejarah umat manusia.

KAMPANYE HEMAT ENERGI

Potensi krisis energi yang menimpa Indonesia menjadi concern semua pihak, bukan sekadar pemerintah. Bahkan begitu, mahasiswa dan kalangan muda dipercaya memiliki andil luar biasa untuk merawat ketersediaan energi nasional. Jauh-jauh hari, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selalu mengkampanyekan gerakan hemat energi. Kampanye itu berupa penghematan listrik sebanyak 10 persen selama setahun. Dengan begitu, penghematan tersebut bisa membangun pembangkit listrik dengan daya 2.000 megawatt dengan nilai Rp 18 triliun. Dalam beberapa studi, Indonesia menjadi negara dengan penggunaan energi paling boros di antara negara Asean lain. Berdasarkan data Asean Centre for Energy (ACE) tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat pemborosan energi listrik paling tinggi. Badan Pengakajian dan Penerapan Tekhnologi (BPPT) menjelaskan, intensitas pemborosan penggunaan energi di Indonesia bahkan empat kali lebih besar dibanding negara Jepang. Program hemat energi yang dimotori oleh pemerintah, satu sisi, memang efektif untuk menekan angka pemborosan pengguanaa energi. Hemat energi sejak dini bisa dilakukan dengan menggandeng pelajar dan kalangan muda. Hal tersebut paling mungkin dilakukan

mengingat - terutama bagi kalangan akademika - tidak semua jurusan universitas menempatkan porsi pembahasan tentang energi. “Bagi kalangan mahasiswa, terutama penggerak, yang paling mungkin dilakukan adalah kamapanye hemat energi. Tidak semua mahasiswa memiliki konsentrasi jurusan soal energi, tetapi bahasan soal kedaulatan energi memang mestinya jadi kajian setiap organ mahasiswa,” ungkap Ainul Amin (23), demisioner Ketua Rayon PMII UIN Sunan Kalijaga. Sementara itu, kajian soal energi tidak secara tertib masuk dalam ‘kurikulum’ kajian di setiap organisasi mahasiswa. Dari sejumlah oragan mahasiswa, hanya sedikit yang secara khusus memiliki perhatian pada kajian tentang energi. Menurut Shohibul Umam, aktivis HMI Komisariat Dakwah UIN Sunan Kalijaga, term energi seperti kurang seksi bagi kalangan penggerak. “Saya jarang melihat ada kelompok diskusi yang dimotori organisasi mahasiswa yang fokus mengulas soal energi. Bagaimana, misalnya, mencari alternatif energi yang terbarukan untuk menekan penggunaan energi komvensional. Jarang sekali jika tidak mau disebut tidak ada,” jelas dia. Disebutkan Elan, mahasiswa sebagai elan vital perjuangan selalu memiki alternatif yang bisa disumbangkan untuk kemasalahatan negara. Dalam sektor energi, misalnya, mahasiswa bisa mengkampanyekan hemat penggunaan energi. Inovasi mahasiswa, kata dia, mampu melahirkan produk energi yang terbarukan. “Untuk mewujudkan kedaulatan energi ansional, mahasiswa memang memiliki kontribusi luar biasa. kampanye hemat energi dan inovasi untuk menemukan energi yang terbarukan dan efisien. hal itu bisa dilakukan di semua lintas jurusan, tidak hanya jurusan yang fokus soal energi,” ungkapnya. (Jae/Fz)

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

9


WAWANCARA EKSKLUSIF

Elan Biantoro

MAHASISWA UNTUK ENERGI BERDAULAT: DARI HABIT KE PRINSIP

S

oal energi menjadi terma krusial untuk kemandirian suatu bangsa. Gejolak di sektor ini terasa luarbiasa. Masalah energi ialah masalah kedaulatan bangsa. Kedaulatan— yang memiliki rentang horizon luas dan panjang bahkan abadi— melebihi siklus dan periodisasi politik. Selain itu, kebijakan pengelolaan energi harus memiliki dimensi yang terintergrasi dengan tujuan bernegara, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Namun sayang, bahasan ihwal ini begitu ‘miskin’ di telinga mahasiswa. Redaksi SINERGIA berkesempatan mewawancara Elan Biantoro, Vice President Bidang Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), melalui sambungan telepon. Berikut wawancara Tim Sinergia dengan Elan Biantoro pada 1 Desember 2018.

10

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018


SINERGIA Vol. ke-23 akan membahas mahasiswa dan ketahanan energi nasional. Bagaimana ketahanan energi menurut Pak Elan? Negara memang butuh ketahanan, salah satunya adalah ketahanan energi. Sistem kedaulatan dan kemandirian suatu negara itu membutuhkan satu unsur yang membuat negara itu hidup dan dinamis, salah satunya adalah energi. Kebutuhan energi nya dia berapa? Potensi resourcesnya berapa? Sumber daya alam yang dimiliki berapa? Kemudian, apakah itu surplus atau defisit? Memang banyak negara yang tidak punya resources, seperti Jepang dan Korea. Tapi negara tersebut ketahanan energinya aman. Karena, mereka berhasil melakukan antisipasi supaya keperluan energinya tercukupi berdasarkan kondisi yang mereka miliki. Bisa impor, bisa trading dengan yang lain dengan model barter, dan lain sebagainya. Indonesia sendiri ketahanan energinya masih cukup rawan. BBM, misalnya. Jika kita ada problem sedikit saja, BBM kita hanya bisa bertahan 12 sampai 15 hari. Nah, stok bahan bakar kita hanya bertahan 15 hari. Aindaikan, misalnya, tiba-tiba ada bencana alam, atau dalam keadaan perang, baru 10 hari BBM kita sudah habis.Lalu pesawat tempur, tanktank, dan kendaraan berlapis baja tidak bisa operasi jika tidak ada energinya. Makanya, ketersediaan energi kita harus tetap kita jaga, supaya kehidupan bernegara kita bisa berlangsung aman. Apakah mahasiswa memiliki andil sama untuk mewujudkan kedaulatan energi nasional? Semua unsur negara itu pasti punya peran yang besar terhadap ketahanan energi. dari 100% energi nasional itu suplainya berasal dari migas hampir 70%. energi itu juga termasuk di dalamnya yakni

tenaga listrik, bahan bakar, bahan baku industri. Nah, 70% energi nasonal ditopang oleh migas, sekitar 25% ditopang batu bara dan air, sementara energi baru dan terbarukan itu hanya 5%. Itulah kenapa bahan bakar energi dari migas itu sangat dominan dan penting. lalu bagaimana peran kontribusi pemuda? Untuk optimalisasi ketahanan energi kita, semua lapisan masayarakat memiliki peran yang sama, utamanya ya pemuda. Misalnya dengan cara menghemat energi. Bagaimana caranya supaya kita hemat. Habit kita harus berprinsip: bagaimana energi kita itu dihemat. Apalagi, kebutuhan energi kita itu lumayan banyak. Kebutuhan bahan bakar minyak, misalnya, sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara, produkai kita hanya 780 ribu barel. Jadi hampir separuhnya kita harus impor. Lalu bagaimana jika separuh dari kebutuhan bahan bakar kita impor? Jika harga minyak global murah, kita akan distribusi dan jual ke masyarakat dengan harga murah. Rakyat kan tidak mungkin dibebani harga mahal. Tapi, begitu harga minyak dunai naik menjadi 80 dolar, 90 dolar, atau 100 dolar, satu liter bensin bisa jadi di atas Rp8.000-Rp9.000. Padahal, rakyat tidak sanggup harus membeli dengan angka itu, maka keluarlah subsidi dari negara. itu?

Lalu bagaimana mengatasi

Untuk mengatasi kebutuhan energi, kita mesti giat mencari sumber-sumber energi baru sesuai kebutuhan energi kita. Kalangan muda dan aktivis penggerak bisa melalui kampanye hemat energi, misalnya. Efisiensi energi sebenarnya sudah sedikit-sedikit dilakukan melalui pembangunan infrastruktur. Pemuda, apalagi kalangan aktivis, mesti menggerakan kampanye hemat energi.

Apalagi memiliki spirit menjadi motor penggerak untuk mengamankan ketahanan energi kita. Ada yang ahli di bidang oil and gas, ahli bidang ekonomi, ada yang jadi pejabat publik yang bisa mengawasi sistem dan tata kelolala untuk lebih efesien. Mereka, kalangan muda itu, ivestasi masa depan negara. Peranan itu tidak hanya dari kalangan-kalangan yang berpangkat tinggi, tapi pemuda mempunyai kontribusi besar. Mereka (pemuda) langsung turun ke masyarakat. Secara akademik, jurusan yang fokus soal mewujudkan kemandirian energi memang terbatas. Karena itu, tidak semua mahasiswa - terutama yang fokus akademiknya non-sains - yang mengerti tentang situasi energi kita. Bagaimana menurut Pak Elan? Sebetulnya begini, kegiatan industri migas dari hulu ke hilir pasti membutuhkan diaiplin ilmu beragam. Banyak sekali. Mulai dari disiplin ilmu perminyakan, geologi, geofisika. Kita juga butuh orang ahli displin ekonomi, bidang hukum, misalnya, yang membuat aturan-aturan. Ada lagi teknik sipil, elektro, teknik kimia. Lalu disiplin ilmu apa yang bisa didalami dari mata kuliah atau jurusan-jurusan universitas yang mendukung migas? Saya jawab: hampir semua. Bahkan, masalah disiplin ilmu agama pun, perlu. Karena, di dalam komunitas industri migas, landasan etisnya tetap nilai agama. bagaimana, misalnya, industri ini berjalan secara bermartabat. Semua elemen lintas disiplin kita butuhkan untuk kedaulatan energi kita. tetapi memang ada porsi-porsinya, ada area-areanya. Bagian komersialitas itu kita butuh orang-orang teknik industri, ekonomi, atau marketing. Jadi, jika kita bicara bidang perminyakan, tidak semata-mata orang perminyakan saja.

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

11


Kegiatan itu sebenernya menjadi salah satu yang ingin kita populerkan, bahwa industri migas itu milik semua orang. Termasuk pemuda dan mahasiswa di kampus. Karena selama ini, industri migas dianggap komunitas yang ekslusif, hanya milik para mafia-mafia saja, hanya milik pengusaha-pengusaha besar. Tetapi jika pemuda melek informasi terkait kegiatan migas, semua bisa jadi transparan. Tidak ada lagi yang ditelikung, tidak ada lagi orang yang dibodoh-bodohi. Dengan landasan itulah, kami mengadakan acara SKK Migas Goes to Campus, untuk everybody, terutama intelektual muda. Ini juga ssebagai agenda informasi dan promosi publik, terutama untuk kalangan pelajar. Sehingga, aoutput kampus bisa ikut andil mengawal atau bergabung dalam karier di perminyakan. hal ini menunjukan, kami (SKK Migas) sejak awal ingin transparan, ingin dikawal oleh masyarakat. Mahasiswa dan pemuda memiliki keunggulan yang luarbiasa: mereka cerdas, idealis. Karena itu, kita harus menangkap sesuatu dengan logika rasional.

“

Kenyataan energi kita butuh kontribusi pemuda-pemuda, terutama yang memiliki ketertarikan dan juga awareness. Kesadaran bahwa ketahanan energi merupakan ketahanan strategis terhadap keberlangsungan suatu negara.

“

Saya sering melihat ada program SKK Goes to Campus. Apa spirit dari program tersebut Pak? Hingga kini apa indikator pencapainnya?

-Elan Biantoro Vice President Bidang Perencanaan (SKK Migas) akan meningkatkan permintaan energi nasional. Bagaimana menurut Pak Elan? Membangun infrastruktur itu tidak hanya sekedar untuk membantu ketahan energi, tapi bahkan untuk urat nadi perekonomian nasional. Kita liat ekonomi China yang begitu melesat cepat, apa yang China lakukan? Awal-awal tahun 2000-an mereka membangun semua infrastruktur. Bikin jalan tol, dan lain-lain. Merak melakukan itu total, tak tanggungtanggung. Kita lihat sekarang seperti apa ekonomi China? Menjadi raksasa dunia yang paling yang baru.

Sejak kapan program itu, Pak? Sudah cukup lama. Kegiatan SKK Goes to Campus terselenggara sejak ada BP Migas. Kampanye kedaulatan energi melalui keliling kemana-mana, hingga ke Palu. Akhirnya, SKK Goes to Campus dipopulerkan semenjak tahun 2016. Tapi memang, sosialisasi ke kampus sejak ada BP Migas. Kita melakukan sosialisasi, atau kita sebut Kulaih Umum di kampus. Seperti sekarang kan kami pergi ke Lampung.

China lalu berubah menjadi raksasa ekonomi dunia. Tapi kan kita tahu China memiliki migas yang sangat sedikit dibanding dengan kebutuhan mereka. Namun ketahanan energi mereka luar biasa. Karena, infrastrukturnya mendukung untuk itu. Nah, Indonesia, infrastruktur kita tertinggal, dan sekarang kita mulai mengejar dengan kecepatan yang sangat taktis ya, di 4-5 tahun terakhir. Kita harus jaga seperti itu.

Pemerintah secara agresif telah membangun infrastruktur sejak 2015 hingga 2019. Tentu saja, usaha pemerintah, satu sisi, juga

Saran Pak Elan untuk kalangan muda-mahasiswa terutama soal peran mereka dalam mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional?

12

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

Mahasiswa dan pemuda adalah generasi penerus bangsa. Kadang memang kita disuguhkan kenyataan dengan rekam fakta yang kurang baik. Bahkan, kita cenderung berpikir instan, berpikir hanya untuk saat ini. Padahal, apa yang kita kerjakan sekarang pasti berdampak terhadap realitas faktual di masa mendatang, lima, sepuluh, dua puluh, bahkan seratus tahun ke depan. maka di situlah pemuda mempunyai peranan penting sebagai generasi penerus. Kenyataan energi kita, sebagaimana disebutkan di awal, butuh kontribusi pemudapemuda, terutama yang memiliki ketertarikan dan juga awareness. Kesadaran bahwa ketahanan energi merupakan ketahanan strategis terhadap keberlangsungan suatu negara. Secara prinsipil, kita memiliki tiga atau empat jenis ketahanan dalam sistem negara merdeka dan berdaulat. Pertama, pertahanan fisik, meliputi keamanan fisikal. kedua, ketahanan ekonomi. Supaya, misalnya, nilai tukar rupiah kita tidak flukuatif naik turun, defaluasi, inflasi rendah. hal semacam itu masuk variabel ketahanan ekonomi. Ketiga, ketahanan pangan. Masyarakat kita dijaga dengan hasil pertanian pangan kita yang baik yang didapatkan dari swasembada. kemudian keempat, ketahanan energi. Empat variabel ketahanan nasional tersebut sangat penting terhadap kedaulatan suatu negara. Nah, ketahanan energi harus kita jaga. Lalu, siapa yang mesti menjaga? Semua unsur dari lapaisan masyarakat punya obligasi moril dan intelektuil untuk itu, terutama unsur pemuda dan mahasiswa. Mereka harus memiliki peranan di situ. Artinya, pemuda yang mempunyai care atau awareness terhadap situasi energi nasional amat penting terhadap kedaulatan energi di masa depan.


EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

13


Ilustrasi: Google

OPINI

Suhairi Ahmad

MAHASISWA DAN LITERASI ENERGI

L

ampu-lampu kota menyala terang dan gemerlap cahayanya menyinari rumah-rumah sampai di pelosok desa. Aliran listrik memenuhi setiap sudut ruang dan berbagai macam kegiatan bisa digelar. Mulai dari ladang yang mengandalkan kincir air, sampai gedung industri yang memproduksi berbagai macam kebutuhan. 14

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

Berkat kecukupan energi tersebut, semua kebutuhan bisa tercukupi. Mulai dari pangan, sandang, hingga papan. Bila kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) terjadi, semua proses produksi hingga distribusi bisa tersendat dan bahkan tidak beroperasi lagi.


Minyak bumi menempati urutan teratas sebagai energi yang tidak terbarukan dan dikonsumsi oleh khalayak luas. Konsumsi tersebut bisa dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap BBM untuk kebutuhan sehari-hari. Dari bahan bakar di industri rumahan sampai di prabrik besar. Namun, kebutuhan tersebut tidak sesuai dengan persediaan yang ada. Oleh sebab itu, urgensi untuk membincangkan energi baru adalah keniscayaan. Pada 28-29 November lalu, PT Pertamina (Persero) kembali menghadirkan Pertamina Energy Forum (PEF) untuk kelima kalinya. Forum yang bertajuk Unleashing Domestic Resources for Energy Security ini adalah sarana pemerintah dan masyarakat untuk mendiskusikan berbagai hal terkait kebutuhan energi nasional. Selain itu, melaui forum tersebut, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati berharap agar semua pihak menilik kembali kekayaan alam di Indonesia yang berlimpah.

ANCAMAN KETERBATASAN ENERGI

Pada 2010, Dewan Energi Dunia merilis laporan ketahanan energi dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-29. Namun setahun kemudian, Indonesia merosot di peringkat 47 dan benarbenar merosot jauh pada 2014 di peringkat 69 dari 129 negara. Penyebab utama adalah minimnya ketersediaan sumber energi fosil di tengah kebutuhan yang melimpah. Bahkan, sejak awal tahun 2015, pemerintah resmi mencabut subsidi premium. Dan, sejak itu harga premium tidak pernah stabil dan bergantung dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Anggapan pemerintah bahwa subsidi BBM kerap tidak tepat sasaran. Karena kebijakan tersebut, hampir semua harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Ketidakstabilan tersebut bahkan

membuat beberapa POM Bensin untuk tidak lagi menyediakan BBM jenis premium. Mau tidak mau, masyarakat harus menggunakan pertalite sebagai pengganti premium. Fakta membuktikan bahwa pemerintah belum mampu secara maksimal memenuhi standar ketahanan energi. Seperti yang dirumuskan oleh International Energy Agency (IEA) sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga terjangkau. Untuk mengatasi kelangkaan, pemerintah melakukan inovasi dengan mempercepat implementasi Crude Palm Oil (CPO) yang berasal dari kelapa sawit. Bahan yang dinamakan B30 ini akan menjadi campuran bahan bakar solar dan akan ditetapkan pada 2020. Namun, hal bahan tersebut punya kelemahan. B30 membuat penggunaan bahan bakar 2% lebih besar dan menurunkan daya kendaraan sampai 3%. Selain itu, perkebunan kelapa sawit masih menuia perdebatan karena banyaknya kasus perampasan lahan di berbagai daerah. Selain kelapa sawit, alternatif lain untuk bahan membuat bioenergi lebih beragam. Bioenergi bisa diperoleh dari hasil pertanian atau limbah dari tanaman agraris. Pada 2010, menurut Frauke Urban dan Tom Mitchel, di dunia sudah dibangun 35 gigawatt pembangkit listrik bioenergi dan seperlimanya ada di Amerika Serikat. Dan, bahan tersebut lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan kelapa sawit. Keberagaman alam di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Nicke Widyawati adalah modal yang sangat besar untuk menciptakan energi alternatif yang terbarukan.

PERLU PERAN MAHASISWA

Konsep ketahanan energi selain kemandirian, juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan. Beragam peristiwa

seperti kasus Lumpur Lapindo sudah cukup bahwa untuk mengelola energi tidak bisa main-main, apalagi jika harus mengorbankan hidup banyak orang. Karenanya, literasi energi bisa dikatakan merupakan terobosan agar semua pihak bisa memperoleh manfaat atas alam yang ditempatinya. Mengacu pada UndangUndang No. 30 Tahun 2007 menyatakan bahwa pengelolaan energi harus atas asas kemanfaatan, rasionalitas, dan efesiensi. Selain itu, dalam proses tersebut harus mempunya visi keadilan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta punya visi keberlanjutan. Dan, yang paling penting menjaga agar lingkungan hidup bisa terus lestari. Keselarasan tersebut diharapkan dapat menjadi pasokan energi bisa terjaga dengan baik. Undang-undang di atas menjadi dasar bagi semua warga negara, termasuk mahasiswa, untuk mengawal segala kebijakan terkait ketahanan energi. Jika suatu saat di lapangan terjadi pelanggaran atas pasal tersebut, mahasiswa punya kewajiban untuk memperingatkan pemangku kebijakan. Itulah yang disebut aksi protes. Dalam demokrasi liberal, mahasiswa adalah entitas intelektual sekaligus kaum menengah. Walaupun begitu, mahasiswa adalah rakyat itu sendiri yang menyuarakan kepentingan dirinya. Oleh sebab itu, suara mahasiswa adalah suara rakyat yang tidak membuatnya terpisah dari kepentingan rakyat. Selain aksi-aksi sosial, mahasiswa perlu melakukan kajian secara serius soal ketahanan energi. Mulai dari riset sains agar bahan baku yang beraneka ragam itu dapat dimanfaatkan dengan baik. Serta tidak melupakan riset-riset sosial dan partisipatoris agar inovasi tersebut tidak mengorbankan kerugian secara sosial. Dua rumpun keilmuan tersebut harus berjalan seriring agar tidak terjadi bentrok dan berbeda kepentingan.

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

15


Mahasiswa sebagai kalangan yang terdidik secara formal memiliki peran memberikan literasi energi kepada masyarakat. Proses literasi tersebut adalah sarana dialog antara kepentingan pemerintah dan kebutuhan masyarakat yang seringkali bersebrangan. Proses pembangunan tidak bisa selalu bersifat vertikal dan seringkali disikapi dengan aksi protes kepada pemerintah. Rakyat harus mandiri secara kolektif mengelola energi yang dibutuhkannya. Oleh sebab itu, Multitude, konsep yang dirumuskan oleh Meichael Hard dan Antonio Negri, bisa menjadi tawaran konsep alternatif. Mutitude adalah konsep pengorganisiran politik dengan keragaman entitas dan bergerak melalui jaringan. Dalam konsep

16

ini, mahasiswa hanya sebagai salah satu entitas dan harus mampu berkolaborasi dengan beragam segmen gerakan rakyat lainnya. Lalu, secara bersama menghimpun pengetahuan dan kekuatan secara kolektif. Konsep ini berfungsi agar semua elemen bisa terlibat dalam perorganisiran tanpa satu pun kelompok merasa lebih mewakili daripada yang lain. Mahasiswa harus berkolaborasi dalam gerakan sosial tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai ‘orang kampus’ dengan tradisi ilmiahnya. Pada tataran itu, kampus adalah mimbar akademik yang menjadi laboratorium bagi mahasiswa. Semua perspektif harus diuji sebagai pengetahuan ilmiah dan tidak hanya sekadar bahan edukasi, melainkan

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

untuk kepentingan publik yang berkeadilan. Tidak berlebihan, sebagai bagian dari kampus, tugas mahasiwa tidak hanya sekadar menyelesaikan tugas akademik. Ia adalah bagian dari rakyat yang memiliki privilege dibandingkan dengan entitas yang lain. Oleh karena itu, melalui literasi energi, mahasiswa bisa terjun sesuai kapasitasnya dan melakukan proses edukasi, baik untuk masyarakat maupun pemerintah. Dan, kekhawatiran kesewangwenangan bisa diminimalisir, baik yang berasal dari mahasiswa sendiri maupun yang datang dari pemerintah—yang seringkali serampangan mengambil kebijakan. Sekian.


PERSEPSI

Dok. Sinergia

ASIP IRAMA

HOMO KORUPTORENSIS

S

ejarawan Israel Yuval Noah Harari dalam Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) menggambarkan sosok homo sapiens sebagai makhluk bijaksana. Ia adalah spesies terakhir yang diyakini menjadi nenek moyang manusia. Sapiens dibekali kecerdasan kognitif lebih

ketimbang genus homo lain. Ini yang jadi alasan mengapa sapiens mampu menguasai dunia dan menundukkan homo neanderthalensis. Padahal, sapiens secara fisikal lebih rapuh ketimbang neandhertal dan berbagai genus homo lain. Revolusi kognitif

mengantarkan sapiens menjadi ‘sang penguasa’. Mengatasi dan malampaui keterbatasan fisiknya. Ini artinya, otak memiliki jangkauan pengaruh yang lebih dominan ketimbang otot. Melalui revolusi kognitif, sapiens diberkahi kreativitas sehingga mereka melakukan inovasi di berbagai

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

17


bidang. Hanya sapiens yang aktif dalam dunia politik. Mereka mendirikan kerajaan dan negara. Tetapi, di saat bersamaan, mereka turut serta menghancurkannya. Paradoks dalam diri sapiens adalah keniscayaan. Mereka tidak selamanya menjadi manusia bijaksana. Sebab, mereka bisa tersaruk ke dalam kebiadaban. Tatkala itu yang terjadi, sapiens kemudian berubah predikat. Filsuf Inggris Thomas Hobbes menyebut salah satunya sebagai homo homini lupus, yaitu manusia yang menjadi srigala pada sesamanya. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelandang segerombolan manusia yang menjadi ‘serigala’ pada sesamanya. Mereka adalah 41 anggota DPRD Kota Malang. Sebelumnya, KPK juga menyeret Menteri Sosial Idrus Marham karena diduga korupsi. Mereka adalah genus turunan homo homini lupus, yakni homo koruptorensis (manusia koruptor). Sifat dasar homo koruptorensis ialah serakah, haus kekuasaan, dilingkupi hasrat materialistik dan sisi kemanusiaanya tumpul. Alam hidup homo koruptorensis berada di sekitar kekuasaan. Sehingga, tidak heran, jika penulis cum sejarawan Inggris Lord Acton mengatakan “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Menjelang tahun politik 2019 bangsa ini akan diuji apakah dukungan elektoral yang diberi rakyat berimplikasi positif pada terciptanya tatanan demokrasi atau justru sebaliknya. Esensi pemilu bukan sekadar momen kontestasi untuk menentukan pemimpin. Lebih dari itu, pemilu adalah titik balik untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif. Sayangnya, sebelum kontestasi digelar, ada 12 calon anggota legislatif yang masuk dalam gerombolan homo koruptorensis diloloskan Bawaslu untuk maju di Pileg 2019. Padahal, mereka pernah terlibat korupsi yang notabene tergolong kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

18

MERAPUHKAN DEMOKRASI

Ditangkapnya 41 anggota DPRD Kota Malang mengindikasikan betapa politisi kita tidak mempunyai rasa malu. Ada di antara mereka masih menebar senyum di depan kamera, seperti tidak ada apa-apa. Meminjam bahasa Bennedict Anderson (19362015) bahwa para elite politik kita sedang mengalami krisis rasa malu politik. Seolah tak ada rasa cemas yang menghantam dirinya. Begitulah tipikal homo kuruptorensis. Selalu mengamini perilaku jahat. Padahal, perbuatan mereka telah melanggar kesopanan dan kepantasan laku politik. Apa yang dipertontonkan mereka merupakan gerakan kolektif untuk merapuhkan demokrasi. Dalam sistem demokrasi, korupsi tidak mungkin dilakukan secara individual dan berada di luar struktur ekonomi-politik (Masdar Hilmy, 2017). Kendatipun terdapat politisi bersih, pada akhirnya, dengan tekanan stuktur yang kotor ia akan diseret dalam lingkaran korupsi. Fenomena di Kabupaten Malang memberi gambaran secara terang betapa korupsi telah menjadi sindrom sistemik dalam stuktur ekonomi-politik. Secara tidak langsung, homo kuruptorensis telah membangun kerajaannya dengan menjadi penumpang gelap demokrasi. Korban dari mata rantai korupsi yang dilakukan secara ‘berjamaah’ itu adalah rakyat. Pelan tapi pasti rakyat akan merasakan bahwa struktur yang dibangun di atas pondasi demokrasi tidak memberikan konstribusi dan perubahan secara positif. Dalam konteks ini, rakyat bagi koruptor bukan lagi menjadi entitas yang luhur karena mereka sering dilecehkan, dizalimi, dan dikhianati. Padahal, dalam sistem demokrasi, kedudukan tertinggi berada di tangan rakyat. Korupsi dengan demikian dapat menghambat pembangunan infrastruktur dan membuat pelayan publik berjalan tidak maksimal.

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

Demokrasi memang tidak bisa beriringan secara sinergis dengan korupsi. Tetapi, pada kenyataannya, demokrasi di Indonesia dijalankan secara prosedural tanpa masuk pada dimensi substantifnya. Demokrasi hanya dijalankan sebagai momentum lima tahunan. Hal itu bukanlah jaminan untuk mengikis perilaku korup para elite. Karena, pemilu hanya dijadikan sebagai instrumen para aktor yang korup untuk merebut pos-pos kekuasaan secara kotor, baik dengan penggunaan politik uang (money politic) maupun dengan memanipulasi perolehan suara. Sedangkan, demokrasi substantif tidak berhenti sebatas pada gebyar pesta demokrasi. Demokrasi substantif perlu dicapai dengan cara melepaskan kepentingan individu dan kelompok demi kemaslahatan bersama. Penegakan hukum secara adil, transparansi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat adalah dimensi demokrasi substantif yang perlu dicapai. Tanpa itu semua, demokrasi selamanya tidak akan mampu meloloskan sistem ekonomi-politik bangsa ini dari jeratan kebobrokan moral. Pemilu 2019 sebenarnya menjadi momentum berharga bagi kita untuk menghentikan homo koruptorensis kembali berkuasa. Kita perlu mengetahui jejak rekam para calon anggota legilatif secara detail agar tidak gampang terpedaya dan terpesona janji manis mereka. Dukungan elektoral yang kita berikan harus benar-benar tertuju pada calon yang tidak pernah terendus tindakan amoral. Sebab, di tangan kitalah arah demokrasi ditentukan.

*)Alumnus Ilmu Hukum Universitas Bung Karno; Caleg DPRD Provinsi Jawa Timur.


KOLOM

Dok. Pinterest

AFRIZAL QOSIM SHOLEH

MIMPI SI KANJAT DAN KEDUALATAN ENERGI KITA

K

anjat baru lulus dari sebuah kampus yang menjadikannya seorang insinyur. Ia anak dari pemborong gula di desa. Semasa kuliah, naluri penderes gula kental melekat di benak Kanjat. Betapa runyam nasib petani di desa, ia resapi sembari berujar “aku ini dididik dan dijadikan insinyur oleh para petani gula yang menyetorkan hasil menderes gula di rumahku.� Hingga mendekati masa tugas akhir, Kanjat mulai serius mempelajari diversitas petani gula. Dalam penelitian tugas akhirnya, Kanjat menggagas pembaruan alat produksi bagi penderes di desa. Setelah berkonsultasi dengan dosennya, Kanjat bersikeras untuk merealisasikan pembuatan alat pengolah gula Jawa secara massal. Gagasan itu dirangsang oleh pemandangan kepayahan penderes

gula di desa dalam mengelola hasil buminya. Seharian mereka mendaras, memanjat lima sampai sepuluh pohon aren yang memakan waktu hampir paruh hari, belum lagi menguras tenaga dan waktu guna mengolah air nira menjadi gula. Kanjat lalu beritikad dengan bernawaitu mempermudah dan memperlancar produksi hasil bumi di desa kelahirannya tersebut. Sayangnya impian itu terbentur oleh kebutuhan funding yang tidak sedikit. Kebutuhan alat yang sulit di dapat dengan nominal harga yang sulit dijangkau tentu menjadi batu sandungan Kanjat. Selain cibiran orangtua maupun tetanggatetangganya, yang mengejek “Jauh-jauh dikuliahkan di kota, jadi insinyur, tapi kembali ke desa hanya untuk membuat alat produksi gula.� Meskipun demikian, Kanjat tetap bersikukuh mempertahankan

impiannya tersebut hingga sampai pada titik dia merasa kalah. Dan impian itu tetap hanya terpatri dalam imajinasinya sendiri. Gagal. Secarik cerita Kanjat yang tertuang dalam novel Bekisar Merah karangan Ahmad Tohari tersebut merupakan cerminan pemuda dengan kedaulatan inovasi atas dirinya sendiri namun terpasung oleh kemandirian energi atas bangsanya sendiri. Usaha yang mulanya menjadi distribusi kemakmuran yang ada di benaknya, kini tertimbun oleh elite pemerintah yang membisu. Kebijakan pemerintah yang jamak bersifat oportunis itu sering menohok ke rakyat dan memihak ke pemodal. Dalam banyak kasus, pemerintah relatif lebih fleksibel terhadap pemodal yang sudi menjelentrehkan dana guna merealisasikan misi pemodal, investor/kapitalis dengan sedikit

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

19


memberi peluang kepada kreasi dan ide dalam negeri. Masih dalam “Bekisar Merah”, Desa Karangsoga—latar yang diambil Tohari—setelah PLN mengaliri listrik di sana, beberapa sumber mata pencaharian penduduk desa tersebut; Kelapa, berangsung-angsur ditebang sebab dianggap menghalangi dan mempersulit penyaluran kabel listrik di pelosok-pelosok desa. Penebangan ini, meskipun mendapatkan uang ganti rugi, masyarakat tetap merasakan kehilangan. Ia tidak bisa menggantikan cerita-cerita dan kearifan lokal yang tersimpan di sebatang pohon kelapa tersebut. Sebagai mata pencaharian utama yang pertama kali mereka lihat dan dalami sejak kecil, tetiba perlahan hilang digantikan oleh tiang-tiang listrik yang membawa cerah neon lampu, namun menggelapkan masa depan petani gula di Karangsoga. Karangsoga dan Kanjat memberi nilai citra kedaulatan energi bagi masyarakat akar di pedesaan. Dari dulu hingga kini, platform kasus itu seolah mentradisi. Adapun secara terminologi ketahanan energi ialah ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per-kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energy untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi, serta bertahan untuk jangka panjang (sustainability). Dari definisi tersebut kita menemukan kedaulatan bangsa, namun kenyataannya kedaulatan energi justru menjadi serum pemantik— dan tak terbendung—bagi politik elite belaka. Menurut studi Indonesia Energi Outlook (2010) periode 2010-2030, permintaan energi secara kolektif akan tumbuh ratarata 5,6 % per tahun. Pada 2030 diperkirakan pangsa permintaan energy akan didominasi sektor

20

industri (49%), diikuti transportasi (29%), rumah tangga (15%), komersial (4%), serta pertanian, konstruksi, dan pertambangan (3%). Dan parahnya, studi tersebut mengatakan semua nominal tersebut dapat tercapai jika mendatangkan investor. Kendatipun investor telah berkorespondensi dengan negara, namun kedatangan mereka, bagi kita, tetap belum melegakan dada kemerdekaan Indonesia. Sultang Agung (1613-1645) menolak kedatangan Voc yang merayu Mataram untuk menerima kerjasama ekonomi. Namun Sultan Agung melawan. Ia menolak mentah-mentah gagasan kompeni. Voc menganggap Mataram lemah sehingga mudah diperbudak seperti Jayakarta. Dengan dalih tersebut, Raja Jawa itu menggelorakan perlawanan terhadap para kompeni, menyerbu mereka ke Batavia sembari menggelorakan “mukti atau mati!”. Perlawanan ini, menjadi perlawanan yang terus didaras hingga Indonesia merdeka secara konstitusional dari Hindia-Belanda, juga menegaskan kesejatian seorang ksatria yang mempertahankan kerajaannya di tengah imperialisme yang menggempur nusantara kala itu. Kemudian, paska krisis finansial 2008 terlihat berdampak pada stabilitas ekonomi di tingkat global. Tidak hanya berdampak pada lahirnya inisiatif dalam membuat energi terbarukan (renewel energy) akan tetapi hal ini juga berdampak pada merembaknya fenomena global baru yang disebut dengan perampasan tanah secara luar biasa (massive land grabbing). Yaitu sebuah model pengambilalihan hak kepemilikan tanah di negara-negara miskin atau berkembang oleh perusahaanperusahaan multinasional. Proses ‘perampasan’ kepemilikan tanah dan segala sumber daya alam di dalamnya kemudian mengesankan jika pembangunan di Indonesia merupakan ‘pembangunan

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

titipan’. Terlepas dari fasilitas yang diberikan kepada penyedia lahan berupa kemudahan dalam transaksi bilateral dan pelunasan hutanghutang negara, kedaulatan energi tetaplah segaris dengan kedaulatan bangsa. Kedaulatan energi adalah kedaulatan bangsa. Ia memiliki rentang horizon yang jauh dan panjang, tidak sesingkat periodesasi politik di bangsa ini. Sedangkan Geertz dalam studinya di Mojokuto merekam dalam The Social History of an Indonesian Town (1965) jika tergusurnya petani dari lahan mereka merupakan proses dari proletarisasi dalam kehidupan desa dan membengkaknya kelas petani tidak bertanah bukan merupakan fenomena baru. Penggusuran massal dengan dalih pembangunan, nilainya tidak lebih dari pembangunan yang cacat budaya. Yuval Noah Harari meyakini jika kedigdayaan imperium berakibat pada pemasungan keanekaragaman manusia. Semua digebyah-uyah dalam roda mesin produksi. Imperialisme kemudian berkamuflase menjadi ‘perdagangan virtual’. Investor asing berebutan menanam saham di negara-negara maju dan berkembang yang kemudian dikenal sebagai perang tanah. Kasus seperti ini sudah terjadi dalam kasus reklamasi di Jakarta, penggusuran petani di Temon Kulon Progo, Petani Kendeng, dan lain sebagainya. Ala kulli hal, bumi yang kian keropos ini, dalam sekejap enggan menerima hajat manusia serakah, eksploitatif, yang bertambah jumlahnya secara signifikan. Jumlah yang bertambah itu hanya bisa ditampung oleh hajat dari sekelumit orang, siapa lagi kalau bukan elite, pemodal/kapitalis. Lantas, pembangunan lebih memihak kepada politik aseng, yang menguntungkan pihak elite, daripada menyejahterakan rakyat kecil. Seperti protes masyarakat nelayan di Muara Angke dan masyarakat petani di Kendeng maupun Temon, Kulon Progo.


KOLOM

Dok. Sinergia

Mashuri Masyhar

MEMBINCANG ENERGI, MELIRIK MAHASISWA “Pinjam motormu, dong”, demikian kata Adi. Mahasiswa semester akhir ini memang sedang sibuk. Bolak-balik kampus dalam rangka perbaikan tugas akhir. Termasuk hari ini. Pagi betul dia membangunkanku. “Ada di atas meja, tuh,” kutimpali sahutanya. Dengan setengah mengantuk, aku bertanya, “mau kemana?” “Mau kemana lagi. Ketemu pembimbinglah,” “Oh. Ok. Jangan lupa isi bahan bakar, yah. Takutnya sudah habis,” aku tanggapi jawabannya, sambil menarik selimut dan mencoba lanjut tidur. “ Ok, sip” dia berlalu meninggalkanku. ***

Hari ini, tepat pukul 10.00 aku terjaga. Sambil memperbaiki letak duduk di tempat tidur, aku megusap layar ponsel pintar. Sembari memperhatikan beberapa laporan terbaru dari akun social media, saya juga melihat sejumlah berita dari media online. Di antara banyak berita, beberapa menarik perhatianku. Salah satunya terkait ancaman kelangkaan energy terutama berasal dari fosil di tahun 2025. Tidak tanggung-tanggung, bahkan media selevel New York Times pernah merilis infomasi serupa. Sontak aku cari kabar sejenis untuk bahan perbandingan. Memang betul. Risiko kelangkaan makin menghantui beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, India, dan Tiongkok.

Meskipun saat ini, negara Paman Sam adalah pemakai energy fosil terbesar, bahkan menyentuh angka seperempat kebutuhan dunia setiap harinya, ancaman kelangkaan energy cepat atau lambat juga akan dirasakan oleh negara-negara lain juga. Tidak terkecuali Indonesia. Satu sisi, jika kita mengacu pada data Dewan Energi Dunia, Indonesia dalam beberapa tahun belakangan memang merosot aspek ketahanan energinya. Dari urutan 29 di tahun 2010 turun hingga posisi 69 dari 129 negara di tahun 2014 (sumber: Kompas). Artinya apa, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang bisa lebih cepat merasakan ancaman kelangkaan energy. Padahal, Indonesia sebagai negara tropis seharusnya bisa

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

21


menjadi supermarket sumber energy terbarukan. Dan bukan melulu mengekplorasi bahan bakar bersumber dari fosil. Bukankah di negara ini panas bumi melimpah. Atau, sinar mentari lebih banyak di sini. Belum lagi kita bicara soal kandungan air tumpah ruah. Entah itu air laut atau air tawar. Bukankah ini bisa jadi alternative sumber energy untuk menjawab ancaman kelangkaan energy? Tentu pertanyaan demi pertanyaan tidak berhenti sampai disitu. Meski info dari Dewan Energi Dunia tadi cenderung pada jenis energy tidak terbarukan (berasal dari fosil), seharusnya ini bisa jadi bahan perhatian bersama. Terutama berkaitan dengan banyaknya pilihan sumber energy (terbarukan) untuk Indonesia. Meskipun di saat bersamaan belum banyak regulasi terkait memaksimalkan pemanfaatan energy terbarukan disini. Namun menurutku tetap harus jadi prioritas. Mendadak teringat dengan Adi. Seingatku, dia mahasiswa jurusan Teknik Elektro. Jika tidak keliru, konsentrasi keilmuannya pada arus kuat. “Sederhananya, saya itu belajar soal listrik,” suatu ketika pernah dia jelaskan. Akupun membuka beberapa folder berkas ketikan Adi pada komputerku. Tidak jarang memang dia sering mengomputerkan tugas akhir di kamarku. Entah itu bertujuan untuk mencetak hasil ketik atau sekedar menyimpannya. “Biar lebih aman file, makin banyak tempat penyimpanannya semakin bagus, Mas,” begitu katanya saat itu. Kuperiksalah beberapa berkas berkaitan dengan ketahanan energy. Tujuannya hanya untuk melihat sejauh mana mahasiswa hari ini memahami dan mengikuti perkembangan isu terkini. Terutama jika berhubungan dengan ketahanan energy. Satu persatu berkas hasil ketikanya kuperiksa. Mulai dari tugas kuliah hingga beberapa esay. Secara umum tidak

22

banyak yang berbicara secara spesifik terkait ketahanan energy. Kebanyakan lebih menjurus pada bidang listrik. “Mungkin jurusannya tidak spesifik membahas persoalan energy,” begitu aku membatin. Akhirnya kuteruskan dengan berselancar di dunia maya dengan bantuan mesin pencari. Kugunakan kata kunci: kurikulum universitas terkait ketahanan energy. Ternyata betul. Ketahanan energy masuk dalam kurikulum jurusan teknik industry untuk universitas pada umumnya. Sekalipun (dosen) pembahas berasal dari Badan Intelejen Negara atau Badan Tenaga Nuklir Nasional. Padahal, ihwal energy sebenarnya tidak melulu berhubungan langsung dengan teknik saja. Dalam keseharian manusia juga berhubungan dengan energy. Meskipun energy tersebut digunakan dan/atau berpindah antara bentuk satu ke bentuk lainnya. Sekali lagi hukum kekekalan energy acuannya. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Demikian Newton berkata. Kita kembali pada soal ketahanan energy. Bagiku, ketahanan energy sebuah negara adalah sebuah persoalan serius. Tingkat keseriusannya hingga berhubungan dengan tingkat ketahanan dan pertahanan. Terlebih lagi jika negara tersebut masih tergolong berkembang. Analoginya, jika negara tergolong maju saja ketar-ketir terhadap ancaman ini, kenapa kita (Indonesia) masih bersikap biasa saja ? Setidaknya bisa dimulai dari Universitas. Tentu saja ada hubungannya dengan penjabaran tridarma perguruan tinggi. Meski saya tidak tahu berapa banyak universitas mulai konsentrasi pada ancaman ketahanan energy, namun pembahasannya bisa dimulai pada mahasiswa. Lagi-lagi tanpa bermaksud menjadikan trio jargon (agent of change, social control, dan iron stock) mahasiswa sebagai

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

pembenaran, tetap saja bahaya menipisnya energy cepat atau lambat akan terjadi. Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati. Jika ditelusuri lebih jauh, ada tiga kondisi yang menjadikan masalah ketahanan energy niscaya bisa dicegah untuk jadi masalah disini. Pertama, keamanan pasokan (Security Supply) sumber energy terbarukan terjamin di Indonesia. Bukankah sebagai negara tropis berlimpahnya panas bumi, cahaya mentari, dan pasokan air sudah menjelaskan banyak hal. Dan, faktanya, untuk tahun 2014 saja dari 100 persen penggunaan energy secara global, baru sekitar 22,8 % saja bersumber dari energy terbarukan. Angka tersebut jika dipecah, terbesar berasal dari tenaga air (16,6 %) kemudian disusul tenaga angin (3,1 %), berikutnya berurut bio massa, panas bumi, dan lain-lain. Kedua, aspek ekonomis ketersediaan (Economy Supply) untuk konteks Indonesia tidak diragukan. Ketiga, energy terbarukan yang tumpah ruah di Indonesia tentu saja sangat rendah emisi (Low Emission). Selain ketiga hal di atas, pemanfaatan energy terbarukan bisa juga sebagai jawaban dari kondisi global yang mengancam. Harapan ini tentu harus diikuti dengan meningkatkan minat dan keinginan dari mahasiswa tadi untuk sekedar menjadikan masalah energy ini salah satu pokok bahasan disela-sela diskusi mereka. Sekonyong-konyong seorang kawan dunia maya membagikan sebuah berita. Menariknya berita tersebut berisi keluhan pihak BUMN penyedia listrik pada maraknya penggunaan panel tenaga surya tingkat rumah tangga belakangan ini. Agak miris tentu saja. Tugas mahasiswa semakin berat. *)Alumnus HMI Universitas Hasanudin Makassar.


INSPIRASI

Dok. Sinergia

Suvi Wahyudianto (tengah) saat menerima penghargaan UOB POY 2018

SUVI WAHYUDIANTO

DIONYSIAN: SENI YANG MELUKIS LUKA Keinginan menjadi seniman tumbuh dalam diri Suvi Wahyudianto sejak duduk di bangku sekolah dasar. Peraih penghargaan United Overseas Bank (UOB) Southeast Asian Painting of the Year 2018 itu masih ingat betul bahwa pada masa kecilnya pernah mematrikan cita-cita sebagai seniman di dalam buku tulisnya.

S

uvi mengakui bahwa sejak kecil memang suka melukis. Ayahnya adalah inspirator yang telah memperkenalkan Suvi pada seni rupa. Fokusnya pada dunia seni semakin ia mantapkan ketika melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Pendidikan

Muchlas J Samorano Seni Univeritas Negeri Surabaya (UNESA). Ketertarikan pada seni bukan sekadar untuk menuntaskan kegemerannya. Lebih dari itu, seni bagi Suvi adalah jalan hidup. “Seni adalah alat atau cara bagaimana saya hidup dan memahami

kehidupan. Memahami realitas yang terjadi di sekeliling saya,� ujarnya. Setiap lika-liku kehidupan yang ia lalui baik selama di Madura, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, hingga Lampung menajadi inspirasi dalam karya-karyanya. Dalam berkarya Suvi selalu menginternalisasi realitas eksternal yang terjadi di luar dirinya. Dengan seperti itu, ia akan membaca ulang setiap detail peristiwa sehingga bisa termanifestasikan dalam bentuk karya. Sebagai orang Madura, Suvi memaknai identitas kemaduraannya bukan sekadar ruang fisik-spasial. Dalam artian, ketika ia berbicara tentang dirinya, secara otomatis telah berbicara

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

23


SUVI WAHYUDIANTO Lahir : Bangkalan, 28 April 1992 Pendidikan: - SDN Pakes 2 - SMPN 1 Konang - SMAN 1 Blega - S1 Pendidikan Seni Rupa UNESA Organisasi: - Komunitas Seni Rupa Serbuk Kayu Surabaya - Rokateater Yogyakarta - Ketua Umum DPM FBS UNESA - Kader HMI Cabang Surabaya Penghargaan: - Finalis Young Artist Art Award - Best Painting Seni Rupa UNESA - Finalis Surabaya Art Award - Winner UOB Painting of the Year Indonesia - Winner UOB Painting of the Year Asia Tenggara

tentang Madura. Identitas itu akan terus melekat kemapun kita pergi. Membicarakan identitas menurut Suvi adalah pintu masuk berbicara kemanusiaan. “Selain saya sebagai Madura, saya juga sebagai manusia. Dengan demikian, berarti kita semua sama,” ujar Suvi. Karyanya yang bertajuk Homo Sapirin merupakan gambaran betapa sensitivitas sosial dan nuansa kemaduraan begitu kental terasa. Di dalam karya itu, Suvi mengambil ikon karapan sapi sebagai salah satu instrumen bekerjanya relasi kuasa antara kiai dan blater (sebutan jago di Madura). Karapan sapi yang semestinya sebagai ajang pesta kultural mulai bergeser maknanya menjadi medan pertarungan politik demi meraih kekuasaan. Dari situlah Suvi melakukan gugatan dan kritik terhadap khazanah lokalitasnya. Sebab, dimensi lokalitas tidak selamanya indah dan selalu menghadirkan nostaligia. “Saya tidak terjebak dalam beutifikasi khazanah kultural dan kebudayaan yang ada di Madura. Justru, karya saya banyak menggugat realitas yang terjadi di Madura,” ujar Suvi. Melalui Homo Sapirin Suvi secara eksplisit hendak menyampaikan pesan bahwa kepentingan politik dapat mengubah tradisi yang luhur menjadi banal. Pada titik inilah seni menemukan signifikansinya, yakni sebagai pesan (massage).

24

Paling tidak, seperti yang diakui Suvi, pesan itu dapat menggugah kesadaran dirinya, lebih-lebih bermanfaat pada orang lain.

SEMANGAT DYONYSIAN

Dalam The Birth of Tragedy, Nietzsche mengemukakan dua gagasan kunci dalam seni yang diambilnya dari semangat arkais Yunani, yakni apollonian dan dyonisian. Apollonian mencerminkan kekuatan, keindahan, dan keharmonisan. Hasil seni yang diwarnai semangat apollononian cendrung gigantis, indah, mapan, dan penuh keteraturan. Kongkretnya seperti patung-patung besar pada zaman Yunani. Sementara itu, jalan kesenian yang Suvi tempuh tidak bersumber dari semangat itu. Dalam berkarya ia justru lebih cocok memilih semangat dyonysian. Sebab, semangat itu selalu mencerminkan ironi, kecemasan, melankolia, dan gugatan terhadap kemapanan. Dari sanalah, ia meyakini bahwa hidup tidak selamanya penuh keindahan. Tragedi bisa saja datang menghantam diri kita, menimbulkan rasa sakit dan meyisakan noktah hitam dalam sejarah umat manusia. Karyanya berjudul “Angs’t” yang baru didapuk sebagai juara United Overseas Bank (UOB) Southeast Asian Painting of the

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

Foto: Sinergia

Year 2018 membuktikan bahwa Suvi mantap mengusung semangat dyonysian. Dalam bahasa Inggris yang diserap dari bahasa Jerman, “Angs’t” berarti ketakutan atau kecemasan. Trauma masa lalu akibat tragedi merupakan titik kisar di mana karya ini diciptakan. Sebagai orang Madura, masa kecil Suvi dihadapkan dengan tragedi yang melibatkan suku Madura dan Dayak di Sampit Kalimantan Tengah, pada Februari 2.000 dengan menewaskan 500 orang. “Saya punya sahabat ketika mengungsi pulang ke Madura. Ia penuh dengan luka. Saya ingat betul ada bekas luka sayat di lengannya. Kemudian di kupingnya. Luka-luka itu terus saya ingat sebagai tanda. Bahwa luka adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh perang,” ujar Suvi. “Angs’t” menggunakan pigmen, resin, plat besi, kawat, dan plastik sebagai unsur materialnya. Plastik sengaja ditonjolkan sebagai simbol bungkus terluar, mirip dengan kulit sebagai bagian terluar dari struktur tubuh manusia. Konflik dan perang kerap terjadi di atas permukaan kulit, padahal di bawah kulit semua manusia sama, hanya berupa daging-daging yang memerah. Melalui luka dan sejarah tinggalan perang, kita tahu bahwa dalam setiap konflik yang teradi hanya meyisakan luka dan sisa hangus. Dalam diri manusia tersimpan insting primordial untuk saling menyakiti. “‘Angs’t’ adalah otokritik bagi masyarakat yang merayakan perang dan konflik. Dalam karya ini saya mengajak untuk melakukan refleksi bersama, mempertanyakan ulang diri kita sebagai manusia. Melalui “Angs’t”, saya ingin membangkitkan kembali bagaimana empati harus bekerja dengan melihat sebilah luka tersayat,” ungkap Suvi. Di samping itu, karena kesenian adalah jalan hidup yang ditempuhnya, kedepan Suvi akan terus selalu berkarya. Sebab ia sendiri mayakini bahwa karya terbaik adalah karya yang akan terus ia buat.***


PERSPEKTIF

Faiz Rifqy Dok. Kompas

MAHASISWA, KETAHAN NASIONAL, DAN FILTERASI HATE SPEECH DI TAHUN POLITIK

L

embaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pernah merumuskan pada 1983 tentang Ketahanan Nasional, isinya kurang lebih begini: Ketahan Nasional adalah suatu kondisi dinamik suatu bangsa yang didalamnya berisi keuletan dan ketangguhan yang betujuan untuk menghadapi ancaman, hambatan serta gangguan yang datang dari dalam dan luar. Maka dari itu aspek alamiah, aspek sosial dan SDM-nya sendiri harus bersinergi untuk mengantisipasi hempasan badai yang datangnya tak disangka-

sangka. Untuk konteks Nusantara, salah satu ancaman serius yang datang dari dalam adalah politik “Pecah Belah” atau dalam istilah politisnya adalah devide et impera. Politik pecah belah atau adu domba ini bertujuan untuk mempertahankan pengaruh, merebut pengaruh bahkan menggiring opini publik untuk masuk dalam perangkap-perangkap yang telah dipikirkan masak-masak sang pelaku. Meski problem ini tergolong klasik dan penangannya telah berkelanjutan, tapi jika hal ini

tetap dibiarkan maka bukan tidak mungkin Indonesia juga memiliki wajah suram seperti Suriah, Afganistan ataupun Palestina. Ketahanan Nasional (National Resilience) semakin diuji ketika suatu negara “Akan” atau bahkan “Tengah” melaksanakan Pilpres dan Pilkada. Maka, Indonesia sedang terancam karena tengah berada pada pusaran itu, yakni pada momentum Pilkada 2018 dan Pilpres 2019. Ancaman sangat serius belakangan yang kerap terjadi adalah penyebaran kebencian (Hate Speech) dan Hoaks—kabar bohong,

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

25


26

(vie bonne) (Alain Badiou). Hoaks dan Hate Speech sebagai lambing absennya kesanggupan menarasikan dirinya (soi) dan yang lian (l’autrui) dengan penuh tanggung jawab. Maka ketika Konfusius (1551479 SM), tokoh China terbesar itu ditanya “apakah yang seharusnya pertama kali dilakukan elit negara?, ia menjawab; “Luruskan kata-kata!” Orang yang bertanya tadi heran, “Mengapa, tuan guru?” Konfisius menjawab, “Jika kata-kata tidak lurus, apa yang akan dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan; jika apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksudkan apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat.”

Mahasiswa juga harus menyalurkan sebuah pandangan kepada masyarakat, yakni perlunya penyadaran bahwa sebuah ideologi dan fanatisme tertentu yang berlebihan akan berisiko melahirkan benih-benih perpecahan atau embrio konflik yang sangat kontra-produktif bagi kelangsungan kehidupan sosial masyarakat terutama soal Ketahanan Nasional.

adu domba, fitnah, dan provokasi— melalui media sosial atau media mainstream sekalipun. Meski aparatur pemerintah terutama Polri telah lakukan berbagai tindakan, tapi tetap saja penyebaran ujaran kebencian, politik pecah belah dan hoaks belum memperlihatkan tanda-tanda surut. Menurut berbagai data, pada 2017 Polri menangani sebanyak 3.325 kasus ujaran kebencian. Dan angka itu meningkat tajam 44,99 % dibandingakan dengan tahun 2016 yang hanya berjumlah 1.829 kasus. Kasus ujaran kebencian ini terutama terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik figur, tokoh, atau masyarakatmasyarakat terntentu (Azyumardi Azra, Kompas, 15 Maret 2018). Dan masih menurut Azyumardi Azra; Bisa dipastikan kasus hoaks jauh lebih banyak lagi di tahun 2018. Karena di tahun sebelumnya saja pada awal 2017, ada sekira 800.000 situs penyebar hoaks di dunia maya khususnya Medsos. Dan ini ini bisa dipastikan meningkat tajam pada tahun 2018. Dalam kasus yang sempat meresahkan masyarakat beberapa waktu lalu adalah “Penganiayaan Terhadap Ulama” atau kasus Hoaks yang diumbar manja oleh Ratna Sarumpaet. Tujuannya apa?, yakni pemutarbalikkan fakta, penghasutan, dan provokasi terkait isu suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Para penyebar hoaks dan penyebaran kebencian ini memang sangat licin ketika ladang garapan mereka media sosial. Apalagi masyarakat kita yang sangat mudah diprovokasi, kurang melek literasi, sangat mudah menjustifikasi bahkan balik menganggap kebenaran asli sebagai anomali. Jika diumpamakan kurang lebih, “yang benar-benar kiai tidak ditaati, malah yang abalabal diikuti”. Maka di titik inilah kemudian mesin hoaks bekerja. Menurut Paul Ricoeur, Hoaks dan Hate Speech bekerja menghindar dari alur kebenaran (verite), dari “ada”, “kejadian”, dan hidup baik

Dalam konteks ini kemudian mahasiswa diharapkan membuminguskan Hoaks, Hate Speech dan Divide Et Impera yang tentu mengancam Ketahanan Nasional Indonesia. Diantaranya adalah memiliki literasi digital, atau lebih jauh lagi memiliki literasi digital kritis yang benar-benar memadai. Di era masyarakat digital ini, masyarakat memang makin ahli dalam menggunakan teknologi informasi, akan tetapi hal itu bukan jaminan kita telah melek

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

media dan memiliki literasi kritis terhadapnya. Mahasiswa diharapkan menyalurkan pemahaman-pemahaman melek literasi kepada masyarakat yang baru atau bahkan pemain lawas dalam hal menggandrungi medsos atau teknologi informasi. Betapa tidak, lihat saja Riset Daily Social.id (13/09/18) misalnya, menunjukkan saluran terbanyak penyebar berita hoaks dijumpai di medsos: Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sayangnya, 44,19% responden tidak piawai mendeteksi berita hoaks dan 51,03% responden berdiam diri serta tidak percaya dengan informasi ketika menerima hoaks. Sementara 72% memiliki kecendrungan membagikan informasi yang mereka anggap penting dan dari 73% responden yang membaca seluruh informasi hanya sekitar setengah (55%) yang selalu memverifikasi keakuratan (fact check). Mahasiswa juga harus menyalurkan sebuah pandangan kepada masyarakat, yakni perlunya penyadaran bahwa sebuah ideologi dan fanatisme tertentu yang berlebihan akan berisiko melahirkan benih-benih perpecahan atau embrio konflik yang sangat kontra-produktif bagi kelangsungan kehidupan sosial masyarakat terutama soal Ketahanan Nasional. Selain itu, gerakan politik mahasiswa di kampus-kampus juga bisa berperan aktif sebagai suara pembenaran dan kontrol sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara menuju kesejahteraan. Gerakan mahasiswa diharapkan mengambil posisi untuk mendorong terwujudnya tatanan stabilitas nasional melalui berbagai hal, salah satunya kampanye anti hoaks atau pemanfaatan agenda strategis Ketahanan Nasional energi, seperti minyak, listrik, dan gas. Karena kita ketahui Indonesia tengah mengalami defisit energi pada tahun 2025, dan mahasiswa harus mengawal ketahanan energi untuk kedaulatan negara.


POJOK JOGJA

Dok. Istimewa

Desa Wisata Tembi Yogyakarta

kepercayaan masyarakat bahwa berkunjung ke Desa Tembi akan mendapat kemuliaan bak keluarga raja, masih saja survive.

S

ebagai daerah yang masyhur dikenal corong kebudayaan Nusantara, Yogyakarta menampilkan seabrek obyek wisata khas juga elegan. Tidak sekedar destinasi populer seperti lokasi rekreasi di kota, khazanah kekayaan alam dan ragam kearifan budaya di desa-desa nyaris lebih diminati, baik oleh wisatawan domestik bahkan mancanegara. Seperti di Desa Tembi, sebelah selatan kota Yogyakarta, yang menyimpan berlaksa potensi kerajinan dan homestay. Menilik jejak historis Desa Tembi, tentu saja tidak mungkin lekang dari kesaksian mitlogis masyarakat Jogja: bahwa Tembi pada mulanya adalah dusun yang ditempati abdi dalem katemben yang bertugas menyusui anak dan kerabat raja. Tersebab oleh ini,

desa yang berjarak sekitar 15 kilo dari pusat kota ini disebut “Tembi”. Bahkan hingga kini, kepercayaan masyarakat bahwa berkunjung ke Desa Tembi akan mendapat kemuliaan bak keluarga raja, masih saja survive. Bertolah dari itu, Desa Wisata Tembi dipadati pengunjung tidak pada alasan mitologis semata, bahkan lebih dari itu, Tembi memang desa menawan dengan beragam fasilitas yang menyenangkan untuk aktifitas rekreatif maupun menyemai kearifan lokal dan budayanya. Kampung Tembi adalah salah satu kawasan GMT (Gabusan-MandingTembi) di Kabupaten Bantul yang diresmikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Agustus 2007. Meski begitu, kekayaan alam dan lokalitasnya tidak sengaja

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

27


membatik topeng kayu, kerajinan ringan seperti tempat pensil dan tisu, membuat keramik, dan telah sungging wayang. Disediakan juga paket wisata kuliner tradisional, seperti membuat Tempe Dede dan Sagon. Juga, wisata keliling kawasan GMT dengan becak, andong, dan kereta mini; naik sepeda ontel dan shopping: art shop Batik & Kerajinan. Ada pula paket wisata khas desa, seperti bertani dan cocok tanam. Tak luput, paket outbound dengan konsep one day activity yang menyenangkan dengan beragam kegiatan outing. Semua paket wisata ini tetap fleksibel dan bisa digambungkan dengan bentuk wisata seharian. Selanjutnya, Dewi Tembi juga memiliki satu destinasi wisata yang tak kalah menarik: Tembi House Culture atau Tembi Rumah Budaya. Rumah Budaya Tembi memang khusus menampilkan beberapa aktifitas budaya dan koleksi tradisional khas desa. Koleksi yang variatif yang ditampilkan di Rumah Budaya Tembi antara lain: peralatan tradisional Jawa seperti tungku, keris, gamelan, batik, dan bajak. Rumah Budaya Tembi juga menyediakan perpustakaan yang memuat naskah hingga 5000 eks. Selain itu, bangunan ini dilengkapi dengan ruang pameran, meeting room, tempat penginapan, kolam renang, dan pendopo lengkap

Dok. Istimewa

28

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

dengan satu set gamelan. Banyak kegiatan budaya yang berlangsung di Tembi Rumah Budaya ini, seperti kegiatan sastra dan seni. Tak ketinggalan, koleksi foto jaman dulu, poster kuno, hingga sepeda jadul tetap terpampang menghiasi ornamen estetis bangunan ini. Sebab ini juga, barangkali, Dewi Tembi dinobatkan sebagai juara 1 lomba Desa Wisata Kabupaten Bantul. Dewi Tembi memang menawan. Bila tak percaya, datang dan singgahlah (*).

“

Desa Wisata Tembi, atau dikenal dengan Dewi Tembi, adalah lokasi wisata basis desa yang digagas oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata karena dua keunggulan utama: pusat kerajinan dan homestay. Terletak di Jl. Parangtritis Km. 8,5 Sewon Bantul, 300 meter dari kampus ISI dan berjarak tempuh sekitar 16 menit dari Malioboro.

“

dibangun sebagai lokasi wisata tourism, tetapi murni terbentuk dari laku sosial dan budaya masyaakat setempat. Tembi, oleh sebab itu, adalah lokasi wisata desa yang ramah, kaya, dan smart. Desa Wisata Tembi, atau dikenal dengan Dewi Tembi, adalah lokasi wisata basis desa yang digagas oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata karena dua keunggulan utama: pusat kerajinan dan homestay. Terletak di Jl. Parangtritis Km. 8,5 Sewon Bantul, 300 meter dari kampus ISI dan berjarak tempuh sekitar 16 menit dari Malioboro. Dewi Tembi dilengkapi dengan beragam fasilitas unggul seperti front office, homestay, dan areal yang cukup luas sehingga memudahkan wisatawan untuk bermain, event pelatihan, dan sosialisasi dengan warga Tembi yang ramah. Rumah homestay siap huni di desa berpenduduk 911 jiwa ini sangat memadai, sekitar 38 rumah. Sebagaimana lokasi istirah di wisata basis desa, homestay Tembi dilengkapi fasilitas standar khas desa dengan cottage yang meski murah, tapi tetap akan menyuguhkan pengalaman berdarma wisata yang menyenangkan. Selain itu, paket wisata pembuatan kerajinan tetap menjadi nilai tawar Dewi Tembi. Ada banyak kegiatan pada paket ini, seperti membatik kain,


POJOK JOGJA

Dok. Istimewa

Pesona Desa Wisata Bleberan Gunung Kidul

D

.I. Yogyakarta memang provinsi paling kecil wilayahnya di Jawa. Tapi jangan dikira, di bagian timur privinsi ini, tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul, tersimpan berpuluh ragam wisata basis desa yang tak kalah unik tinimbang daerah lain. Eksotisme alam di Gunung Kidul ini bahkan mengubur kesan bahwa Gunung Kidul hanyalah daerah dengan tanah kapur nan tandus. Buktinya, di Kec. Playen Gunung Kidul, terdapat destinasi wisata basis desa yang oleh pemerintah DIY tahun ini didaku sebagai Desa Wisata nomor wahid se-provinsi DIY. Adalah Bleberan, sebuah desa berjarak sekitar 8 kilometer ke arah barat dari Wonosari, atau 45 kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Desa ini populer dengan dua objek wisata alamnya, yaitu Sri Gethuk waterfall dan Goa Rancang Kencono. Kedua objek wisata ini berjarak tidak terlalu jauh, dan bisa juga ditempuh dengan tracking. Sejak 2009, Desa Wisata ini mulai ramai dikunjungi pelancong dari dalam maupun luar negeri.

Polesan khas alamnya yang luarbiasa akan menambah kesan ‘hijau’ yang membikin tenang pikiran. Tak heran, keasrian Sri Gethuk waterfall dengan aliran air dari tebing setinggi 50 meter itu sempat jadi lokasi syuting film lokal hingga Hollywood Beyond Skyline besutan Liam o’Donnel. Managemen wisata di Desa Bleberan sudah mulai mumpuni. Hingga kini, tidak hanya kedua obyek wisata andalan itu (Sri Gethuk waterfall dan Goa Rancang Kencono) yang menjadi destinasi unggul, tetapi juga mulai dikembangkan dengan saran outbound, bumi kemah, dan kolam pemancingan. Meski begitu, body refting tetap menjadi kegiatan paling menantang dengan menyusuri Sungai Oyo menggunakan kelengkapan pelampung pada tubuh. Ada juga yang menggunakan gethek atau sampan. Pesoana historis juga melingkupi beberapa objek wisata di Bleberan, seperti di Gua Rancang Kencono. Konon, seperti juga disebut dalam buku sejarah Mozaik Pustaka Budaya yogyakarta, Goa Rancang Kencono adalah lokasi

berkumpulnya lasakar Mataram dalam gerilya mengusir Belanda sekaligus untuk membentuk skema strategi. Makanya, Rancang itu berarti perencanaan, sementara Kencono berarti mulia. Selain itu, berbagai permainan dan kesenian tradisional juga banyak ditampilkan di Desa Bleberan ini, seperti wayang, gamelan, dan lainnya. Desa Bleberan juga menimpang berpuluh situs purbakala sebagai cagar budaya Nusantara yang dilindungi. Situs purbakala ini terletak tidak jauh dari Sri Gethuk waterfall, bernama “Situs Bleberan”. Situs Bleberan yang menempati sebidang tanah 1.146m2 ini terdapat 57 benda cagar budaya: 28 Menhir, 1 buah Kepala Menhir, 28 Peti Kubur Batu, 2 Patok Peti Kubur. Semuanya itu adalah peninggalan sejarah manusia purba yang hidup sekitar 700.000 tahun lampau. Desa Wisata Bleberan memang kaya dengan keindahan alamnya yang tidak sekedar alamiah dan ilmiah, tetapi juga sarat sejarah.(*)

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

29


RESENSI FILM

Sejarah dan Spirit Kemanusiaan Judul : Tengkorak Pemain : Yusron Fuadi, Eka Nusa Pertiwi, Guh S Mana Produser : Wikan Sakarinto, Sigit Priyanta, Eka Nusa Pertiwi, Anindita Suryarasmi, Munandar Aji Sutradara : Yusron Fuadi Penulis : Yusron Fuadi Produksi : Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada Durasi : 130 menit Tanyang : 18 Oktober 2018 Peresensi : Fahmi Mubarok

S

esekali kita juga harus melihat karya film lokal yang tentunya tidak kalah saing dengan film-film ternama pada umumnya. Tengkorak, film karya dosen dan mahasiswa Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada (UGM) ini mampu menjadi nominasi Best Film untuk kategori Science Fiction, Fantasy dan Thriller dalam Festival Film Cinequest di Sanjose, California, Amerika Serikat. Film yang hadir dengan latar kota budaya Yogyakarta ini mampu membuat gebrakan dengan menawarkan jalan cerita yang unik yaitu tentang sebuah penelitian situs purbakala. Dalam film ini juga di ceritakan bahwa sudah ribuan tahun umat manusia bertempat tinggal di muka bumi. Namu sudah selama ribuan tahun pula manusia menguasai bumi dan memanipulasi alam demi kepuasan, kenikmatan dan kenyamanan hidup. Diawali dengan ditayangkannya berita panas di layar kaca maupun di media cetak tentang kehadiran sebuah penemuan fosil. Yogyakarta

30

khususnya, sebuah fosil tengkorak yang diperkirakan berusia lebih dari 170 ribu tahun ditemukan setelah gempa Yogyakarta pada tahun 2006. Konflik muncul ketika terdapat dua kubu yang saling kontra pemikiran, antara ilmuan atas dasar penelitian dan kalangan tradisionalis-agamis yang menurutnya hal itu merupakan suatu yang tabu dan tidak baik untuk usik. Namun di sisi lain muncul gadis yang sedang magang di balai penelitian bukit tengkorak, dengan rasa penasarannya ia mencoba untuk membongkar dan mengenalkan kepada dunia situs purbakala yang sengaja ditutuptutupi selama ini. Inti cerita film tengkorak yaitu ingin membangkitkan spirit kemanusiaan rediscovering humanity kepada penikmat layar kaca. Selain itu juga menjadi potret unik atas peradaban masyarakat dunia bahkan Indonesia di era penuh teknologi seperti sekarang ini. Menarik untuk ditonton

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

film Sci-Fi asli Indonesia dengan mengangkat budaya lokal DI.Yogyakarta, baik dialek maupun latarnya. Cerita yang diangkat kembali menyadarkan akan sejarah yang ada sekaligus memberikan pandangan universal tentang kemanusiaan. Tidak hanya itu, perlu juga untuk diapresiasi, walaupun hanya dengan biaya produksi yang terbilang minimalis, semua pihak yang bersangkutan mampu menghadirkan film lokal namun kelas internasional. Tidak ada sesuatu yang tak bercelah, begitupula dengan film ini. Sejumlah penonton menilai, masih terdapat banyak kekurangan yang perlu menjadi bahan evaluasi, diantaranya ialah kurang jelasnya alur cerita sehingga membingungkan penonton terutama munculnya raksasa diakhir film. Dari sisi yang lain, melihat latar belakang pemain yang banyak tidak memiliki keahlian dalam berakting, masih banyak terlihat kekurangan dalam artikulasi terlebih lagi dalam hal pemeranan.


PUSTAK A

Kapitalisme: Awal Mula Krisis Ekologi Judul : Lingkungan Hidup dan Kapitalisme Penulis : Fred Magdoff, John Bellamy Foster Penerbit : Marjin Kiri Cetakan : I, Agustus 2018 Tebal : 188 hlm. ISBN : 978-979-1260-80-0 Peresensi : Ikhsanuddin Muaz

D

unia telah sampai pada krisis ekologi yang cukup kronis. Buktinya, setiap dekade bumi menjadi lebih panas dari sebelumnya—pemanasan global kian tak terkendali. Menengok 131 tahun sejak pencatatan pemanasan global, tercatat pada tahun 2010 dan 2005 adalah tahun-tahun terpanas di muka bumi. Sebutlah temuan Dewan Arktik sebagai bukti yang memroyeksikan kenaikan permukaan air laut pada abad ini mencapai lebih dari satu setengah meter sebagai akibat fenomena tersebut. Tentu krisis ekologi dan kekacauan tersebut dapat dibaca dari pelbagai perspektif dan faktor. Misalnya, iklim. Dalam buku ini, kita akan dibawa pada pengantar: bagaimana kapitalisme menyeret dunia ke dalam kerusakan ekologis—lingkungan— yang membuat iklim menjadi

kacau. Buku yang mulanya lahir dari artikel di Monthly Review edisi Maret 2010 ini, membaca kemerosotan tersebut berkaitan erat dengan perkembangan teknologi di dunia industri (red: kapitalisme). Bagaimana tidak, terkait perkembangan teknologi, misal, kapitalisme bisa dikatakan jauh dari ruang netral. Artinya, kapitalisme cenderung memilih teknologi yang memaksimalkan usahanya: asupan sumberdaya dan energi; memperbesar laba atau akumulasi; menggenjot ekonomi, hingga “meminimalisir” pengeluaran. Bukti konkret dan penyederhanaan atas realita tersebut antara lain terangkum dalam ketergantungan industri pada bahan bakar fosil, bahan kimia sintetis beracun (khususnya dalam industri petrokimia), dan pemanfaatan energi nuklir besar-besaran. ***

Dalam buku setebal 188 halaman ini, menarik kiranya menggaris bawahi, “Penipisan sumber daya alam yang terbatas akan menihilkan kemungkinan bagi generasi mendatang untuk menggunakannya” (hlm. 74). Betapapun itu, perlu diingat kapitalisme dalam industri selalu dalam taraf kompetitif dan eksploitatif. Melihat hal tersebut dampak jangka panjang dari eksploitasi akan amat terasa, terkhusus dalam hal penggunaan sumber daya alam yang terbatas. Sebab, atmosfir bisnis yang penuh persaingan menuntut hal praktis seperti pertimbangan operasi jangka pendek karena bagaimana pun investor dan spekulan enggan menunggu laba kelewat lama. Kenyataan tersebut mengingatkan saya pada pernyataan Fredrich Engles, “Kemenangan pada saat pertama membawa hasil-hasil yang kita inginkan,

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

31


KAPITALISME HIJAU

Ketika tren “gaya hidup hijau” melejit, korporasi pun berlomba menampilkan kepeduliannya terhadap lingkungan—sebagai tanggung jawab sosial. Atau bisa dikatakan seperti model pengelolaan berkelanjutan. Hal tersebut sepintas tampak seperti perbuatan mulia. Namun, barangkali buku yang terbit pertama kali di Amerika Serikat ini, lahir membawa perspektif dan skeptisisme baru menanggapi “kapitalisme hijau” tersebut.

32

Desa adalah khazanah peradaban Nusantara. Bahasan soal desa sampai kini masih intens, kompleks, dan tak pernah habis digali. Pembangunan desa, misalnya.

tetapi pada saat kedua dan ketiga dampak-dampak berbeda yang tak terduga terlalu sering menghapus yang pertama.” Buktinya, cadangan minyak mentah—yang digunakan untuk pertumbuhan ekonomi— diketahui akan menyusut dalam 50 tahun ke depan, dan proyeksi kelangkaan sumber daya, “Cadangan fosfor diketahui akan habis pada abad ini. Artinya, kita baru saja menghabiskan cadangan sumberdaya di alam tanpa memikirkan generasi selanjutnya. (hlm. 76). Pun terjadi pada sumber daya terbarukan, alih-alih berjumlah banyak, eksploitasi besar-besaran terjadi melebihi seberapa kapasitas alam mampu untuk “memperbarui”. Tidak jauh berbeda, hal tersebut juga berakibat krisis, bahkan kepunahan. Contohnya yang terjadi dalam beberapa kasus: penggunaan pukat harimau dan racun ikan; penyedotan air tanah besar-besaran, hingga pembabatan hutan dengan dalih kemajuan infrastruktur. Melihat realitas di atas, dalam hemat saya, barangkali—jika menyampingkan efek lainnya— resesi industri menyimpan banyak dampak positif yang sama besarnya, yaitu: mulai dari menurunnya angka urbanisasi dan CO2, hingga percepatan pemulihan lingkungan hidup. Tetapi apakah hal tersebut dapat terjadi, sedangkan dunia kian kapital dan eksplorasi untuk eksploitasi masif dilakukan.

Pada 22 April 1999, Sir Browne, menerima penghargaan, Individual Enivromental Leadership dari UN. Direktur Utama “Beyond Petroleum” (BP) itu, menggalakkan tanggung jawab sosial perusahaan kepada lingkungan. Melalui sebuah iklan, Browne menggemborkan, “Prinsip kehati-hatian, agar bisnis tak memasuki aktivitas ekonomi yang mungkin merusak lingkungan.” (hlm. 120) Menyadari lewat apa yang terjadi dalam praktik, buku ini berpendapat bahwa iklan tersebut adalah “propaganda” semata, dan apa yang dikerjakan Browne dan BP hanyalah greenwashing (kamuflase hijau). Maksudnya, aktivitas kapitalistik yang dibungkus seolaholah peduli lingkungan. Betapa tidak, kendati berslogan “Beyond Petrolium” dan hendak melampaui minyak bumi, perusahaan ini malah terus mengeksploitasi minyak bumi bahkan di daerah yang rawan, seperti di lingkaran Arktik. Buku bersampul gambar cerobong asap ini, mengajak kita terus mengawasi korporasi, sekalipun berbalut slogan “peduli lingkungan”. Sebab, setinggi apa pun seseorang dalam perusahan, ia tetaplah karyawan bagi investor, tidak terkecuali Browne, ia memikul tanggung jawab yang

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

lebih besar kepada para pemegang saham. Pun, jika Browne lebih mengejar kepentingan lingkungan, kata ekonom Milton Friedman, ia tidak bermoral di hadapan para tuannya—pemodal. Oleh karenanya, kecurigaan perlu berada di tempat yang tepat, sebab di dunia ini lebih banyak pelintiran dari pada substansi yang nyata. Barang tentu, hal itu adalah dampak dari prinsip kapitalisme. Di mana dalam ideologi tersebut— seperti tertulis dalam buku ini— adalah budaya yang mementingkan diri sendiri dan ketamakan yang mengakibatkan berjaraknya manusia dengan alam. Kata Adam Smith, Bukan karena kemurahan hati, tukang bir, tukang daging kita bisa mendapatkan makan. Melainkan mereka mengejar kepentingan dirinya sendiri. Kita bisa bayangkan, kerja kolektif beralih menuju kerja individual yang egois, kompetitif, dan tidak sehat. Lalu apa akibatnya? Tentu, sebuah eksploitasi alam yang tidak sehat pula. Sistem semacam itu akan terus berkembang dengan tumbuhnya ketamakan individu-individu yang ada di dalamnya. Sehingga kesehatan alam pun terus-menerus tergerus karena sumberdaya habis dikeruk. Barangkali sebuah kesadaran palsu bahwa sekarang kita dapat hidup nyaman di tengah kapitalisme global. Namun, siapa sangka akibat opium bernama “nyaman” itulah tersembunyi jalan menuju kehancuran alam. Kiranya saya perlu mengutip sepenggal saran subtil dalam buku ini: “Penting bagi kita untuk memutus diri dari sistem yang didasari akumulasi kapital yang terus-menerus dan pertumbuhan ekonomi (baca: keserakahan) tanpa akhir.” Lantas sebuah pertanyaan singkat akan dijawab panjang lebar dalam buku ini, “Apakah di tengah kekacauan perubahan iklim global adalah hasil kerja kapitalisme?”.


CERPEN

ACHMAD FARIDATUL AKBAR

MENYAMBUT KEMATIAN

Dok. Pinterest

K

usumo sudah lama menunggu kematiannya. Di dipan beranda rumah ketika waktu senja, dia duduk seorang diri. Melamun membayangkan istrinya. Sudah dari pagi dia duduk di dipan tersebut. Dia berharap ada burung alap-alap datang ke rumahnya.

Keberadaan burung itu menjadi pertanda akan adanya kematian. Seperti orang-orang kampung sini yang akan mati, burung itu datang mengitari rumah atau hinggap di dekat rumah si korban. Kusumo memiliki kedua kaki dan tangan yang lumpuh. Telinganya tak lagi normal.

Mulutnya bisu. Penyakit-penyakit itu membuatnya tak dapat berbuat apa-apa. Dia bosan dengan rasa sakit. Semenjak istrinya meninggal empat puluh hari yang lalu, dia selalu meminta Yunus, anak satu-satunya, sebelum berangkat kerja agar membawanya ke dipan

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

33


beranda rumah. Tujuannya tiada lain untuk menyambut kedatangan burung alap-alap mengitari rumah, atau hinggap di pohon samping rumah. Dia menyembunyikan hal itu pada anaknya. Ketika ditanya, mengapa meminta dibawa keluar, dia hanya menjawab agar tidak bosan di dalam rumah. Setelah istrinya meninggal, ia memang selalu merenung, memikirkan hidupnya yang tak ada untung. Rasa-rasanya ingin bunuh diri. Tapi dengan cara apa? Bagaimana dia bisa membunuh dirinya sendiri? Pikirannya sungguh sumpek. Emosionalnya membuncah. Kematian yang ditunggunya tak kunjung datang. Andai kedua tangan, kedua kaki dan mulutnya normal, sudah pasti dia akan meluapkan emosi dengan melakukan apa saja yang dia bisa. Andai tuhan memberinya tawaran antara sembuh dan mati, sudah pasti dia akan memilih mati. Kini, Yunus belum juga pulang. Biasanya sehabis asar sudah di rumah, kemudian membawa ayahnya masuk ke dalam rumah. Tapi kali ini, sampai hari hampir petang, sampai azan magrib akan berkumandang, ia tak juga pulang. Pak RT, yang rumahnya paling dekat dengan Kusumo, sudah menawarkan untuk mambawanya masuk ke rumah. Namun dia menolak. Dia tidak mau dibawa masuk kalau bukan anaknya sendiri yang membawanya. Kini, hari sudah petang. Azan magrib berkumandang. Dari jalan depan rumah Pak RT, seseorang dengan langkah kaki tergesa menuju rumah Kusumo. Dia adalah si Komar, kawan Yunus. “Anakmu tabrakan, Pak! Sekarang dia di rumah sakit,” terang Komar tanpa salam dan permisi.

34

Dia tahu, jika memberi salam adalah sedikit kesabaran dan alasan, pun, paling-paling Kusumo tak kenapa dia terus hidup. Dia juga menjawab. iri, kematian yang ditunggu-tunggu Kusumo tak begitu paham justru berpihak kepada seseorang semua perkataan Komar. Namun, yang tak mengharapkannya. dengan jelas ia mendengar kata Selesai pembacaan Yasin tabrakan. dan tahlil, jenazah diangkat ke “Siapa yang tabrakan?” keranda untuk kemudian dibawa ke tanyanya. kuburan. Iring-iringan pentakziah “Yunus! Anak Bapak.” mengantar jenazah Yunus. “Yunus?” Sedangkan Kusumo tetap duduk, “Iya, Yunus.” bersedih diri di rumah. Dia tak bisa Kusumo terdiam. Dia mengantar ke kuburan. Dia hanya melengoskan wajahnya yang tetiba duduk dengan kesedihan yang berubah sayu. menolak usai. “Tuhan kok enggak adil,” Kusumo duduk bersama keluhnya pelan, sampai Komar tak Sukico, kawan menarik becaknya mendengarnya. dulu. Sukico sengaja tak ikut “Ayo kita ke rumah sakit mengantar ke kuburan. Ia sekarang, Pak. Tunggu di sini. Kita menemani kawannya satu ini, berangkat pakai mobilku,” kata sesekali mencoba menghiburnya. Komar membuyarkan pikiranNamun beberapa kali berbicara, pikirannya. Dia lalu bergegas pergi. Kusumo menjawab seperlunya saja. Ketika Komar berjalan sudah Akhirnya mereka pun saling diam. agak jauh, di pohon mangga Di tengah diam mereka yang samping rumah, terlihat burung cukup lama, di sebuah pohon alap-alap nangkring di dahan mangga samping rumah, burung pohon itu. Matanya yang tajam, alap-alap baru saja hinggap pada menjurus ke arah Kusumo dahan pohon. Burung yang satu yang berona murung. Sebentar ini memiliki sorot mata lebih tajam kemudian, burung keluang hinggap dari yang kemarin. Sorot mata di ranting pohon yang sama. burung itu mengarah ke Kusumo, sebelum akhirnya mengalihkan * pandangannya ke Sukico. ~ Beberapa hari yang lalu, terdengar siaran kematian dari toa masjid dan langgar desa. Kusumo nelangsa mendengar siaran tersebut. Di saat-saat itulah dia Yogyakarta, 27 Oktober 2018 berpikir, kapan akan mati. Di harihari lain ketika siaran kematian terdengar samar di telinganya, dia semakin merana. Dan tentu akan semakin khusyuk menyambut kematian di dipan beranda rumah. Kini giliran anaknya yang meninggal. Jenazah Yunus berada tepat di depannya. Lantunan bacaan Surah Yasin dan tahlil melarutkan kesedihan. Dia sedih karena Yunus

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018


KO H AT I

Dok. Sinergia

KOHATI CABANG YOGYAKARTA: KORPS YANG BUKAN KALENG-KALENG!

T

erkesan otoritarian membaca dan mendengar kata dalam redaksi judul diatas. Tanpa mengurangi subtansi yang ideologis, pemaknaan itu lepas dari makna yang berdiri secara utuh, tetapi pemaknaan yang sebenarnya berkaitan dengan redaksi setelahnya. Memaknainya tidak sesulit kita memaknai Al-Qur’an dengan segala

macam metodologinya, dengan ilmu alat; nahwu dan sorrof sebagai pondasi agar tidak salah kaprah menfasirkan berbagai diskursus kehidupan yang telah diatur didalamnya, katakankanlah diktum tertulis Sang Kausa Prima. Sulit sekali, tetapi kesulitan itu akan menjadi mudah dengan menjalankan segala konteks (perintah) yang termaktub didalam

teks. Sendirinya pengalaman dan intuisi itu akan menjalar dan mengikuti kemana arah yang akan dituju. Hal-hal demikian juga terasa pada nuansa yang dibangun pada tataran rumah yang disebut KOHATI Cabang Yogyakarta, mengapa demikian? Karena menjalankan satu roda dengan beberapa manusia yang notabenenya berbeda pandangan,

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

35


perlu penyatuan framing terhadap satu tujuan yang hendak dicapai.

AWALI DARI YANG SEDERHANA Awal mulanya KOHATI Cabang Yogyakarta mengeluarkan tagline re-branding KOHATI Cabang Yogyakarta, tagline itu disampaiakan oleh Atik Dinarty Ari (Mantan Sekretaris Umum KOHATI Cabang Yogyakarta). Tanpa retorika yang panjang, tagline tersebut sebagai pemantik dan alat untuk mengembalikan kepercayaan serta minat HMI-Wati untuk belajar dan konsen pada diskursus keperempuanan. Keberhasilan yang nampak tentunya masih belum tenar di mata dan di telinga khalayak, tetapi juga ada yang mengakuinya. Keberlanjutan amanah itu terus dijalankan, pada kepemimpinan Lusia Ega dkk, sedikit mengambil gerakan baru dalam membawa arus organisasi. Hujatan dan hinaan pasti dirasakan pada periodesasi tersebut, ketangkasan dan tepisan Lusia dkk membuat serangan jatuh diterpa angin lalu lalang. Maksud hati bukan menaikkan pamor kepengurusan era Lusia dkk, tetapi perlu kita telisik, baiknya saja, jangan yang burukburuk, buruk-buruk yang selalu menghantui pikiran pada netizen. Bukan berarti pro rezim atau

36

Ketika yang lain sibuk mencibir dan mencari kesalahan, mungkin segelintir orang-orang yang mengurusi KOHATI Cabang Yogyakarta tidak tinggal diam. Pastinya mereka mencari ide dan gagasan baru unruk keberlangsungan organisasi.

tumpul pisau analisis, terlalu naif jika semua kesalahan harus kita buka dikhalayak, ada baiknya kita mengambil pelajaran baik dari sebuah perjalanan. Kembali pada kisah heroik Lusia dkk, mungkin terlalu meninggi, kisah perjalanan saja, yang sedikit ringan tetapi menggoda hati untuk menikmati, dan mempelajarinya. Lusia terpanggil secara pribadi untuk memperbaiki dan memajukan KOHATI Cabang Yogyakarta. Dia berkeyakinan, jika organisasi ini diisi oleh orang-orang yang ingin berjuang dan memperbaiki KOHATI, maka keniscayaan itu bisa dicapai secara bersama. Singkat waktu, Lusia memberanikan diri untuk mendedikasikan dirinya untuk KOHATI Cabang Yogyakarta selama satu periode. “Saya berkeyakinan orangorang yang mau berjuang dan mengabdi pasti bisa memperoleh hasil yang baik, apalagi memperbaiki KOHATI Cabang Yogyakarta,” tangkas Lusia. Lusia dengan lantang dan menegaskan bahwa satu periode bisa memberikan gebrakan baru untuk KOHATI Cabang Yogyakarta. Ketika dia ditanya soal tujuan awal, Lusia menyampaikan kegelisahan yang sedang menghantui dirinya dan dia merasa terpanggil untuk memperbaiki dan memberikan

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

manfaat untuk KOHATI Cabang Yogyakarta satu tahun kedepan. “Siapa lagi kalau bukan kita, dan kapan lagi kita bisa melakukan perubahan, kalau bukan sekarang,” tegas lusia kepada Redaksi Sinergia, Selasa (4/12/2018). Ketika yang lain sibuk mencibir dan mencari kesalahan, mungkin segelintir orangorang yang mengurusi KOHATI Cabang Yogyakarta tidak tinggal diam. Pastinya mereka mencari ide dan gagasan baru unruk keberlangsungan organisasi. Begitupun yang disampaikan Lusia Ega selaku Ketua Umum KOHATI Cabang Yogyakarta periode 20172018. Lusia menjelaskan betapa rumitnya mengatur dan mebagi waktu, agar dapat menjalankan semua aktivitas, terutama amanah organisasi. Hal tersebut juga menjadi sedikit kesulitan untuk menjaga semangat para pengurus, yang disibukkan dengan urusan pribadinya; baik akademis, bertahan hidup, dll. Tetapi, bukan menjadi suatu alasan untuk terus menjalankan kegiatan dan amanah, semua urusan bisa berjalan jika tidak harus ada yang dikorbankan. “Kenapa harus ada yang dilepas atau dikorbankan kalau masih bisa berjalan beriringan, kesibukan apapun itu bisa dijalankan, asalkan ada kemauan, itu yang menjadi prinsip kita bersama,” tutur Lusia. Beberapa program yang menjadi gebrakan baru KOHATI Cabang Yogyakarta; Panggung Demokrasi “Perempuan Melawan Korupsi,” Sayembara Menulis “Perempuan Menulis Perempuan,” Lapak Perpustakaan Jalanan, Bakti Sosial, Sekolah KOHATI, Diskusi Lintas Organisasi bersama


Rifka Annisa, membuat buku “Perempuan Menulis Perempuan” berbentuk bunga rampai.

HMI CABANG YOGYAKARTA ATAU KOHATI? Perempuan asal Jawa Timur itu menyangkal rumor yang beredar tentang kinerja pengurus KOHATI Cabang Yogyakarta 2017-2018 menutupi boboroknya kinerja kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta 2017-2018. Pandangan umum banyak mencibir kinerja kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta dibawah kepemimpinan Elfi Suharni, dan itupun disangkal oleh Lusia Ega. “Tidak, itu tidak benar, KOHATI ini bagian dari HMI Cabang Yogyakarta, jadi KOHATI baik bukan berati pengurus HMI Cabang buruk, tetapi kita satu kestuan, dan harus bersinergi, apalagi kita berbicara soal tanggung

jawab,” jelas Lusia. Tentu tidak adil jika ada diskriminasi pandangan publik, dalam hal ini KOHATI Cabang Yogyakarta bekerja dibalik layar, lantas kenapa HMI Cabang yang memperoleh buahnya? Biar khalayak yang menilai, yang jelas selama periodesasi berlangsung, yang nampak dipermukaan KOHATI Cabang Yogyakarta, inipun diamini oleh beberapa kader-kader dari beberapa cabang diluar HMI Cabang Yogyakarta. Serapi apapun disembunyikan, bakal kecium juga, cukuplah diera ini saja, jangan lagi! Tidak sehat untuk perkaderan! Semogapun, spirit dari punggawa KOHATI Cabang Yogyakarta terus terilhami oleh generasi HMI-Wati berikutnya. Harapan era Lusia dkk semangat harus tetap dijaga, dan bukan lagi bicara soal mau atau tidak mau, ataupun suka dan tidak suka, melainkan apa yang

diberikan kepada KOHATI selama satu periode kedepan, terutama gebrakan-gebrakan yang ideologis, subtansial dan terus menjadi wadah intelektual bagi kaum perempuan.

BIBIT BARU, SEMANGAT BARU Tepat tanggal 24 November 2018 KOHATI Cabang Yogyakarta mempurnakan kepengurusan lama dan menyerahkan tampuk kebijaksanaan kepada bibit-bibit baru HMI-Wati. Musyawarah KOHATI (MUSKOH) sekaligus peluncuran buku “Perempuan Menulis Perempuan” berbentuk bunga rampai karya kader-kader HMI-Wati KOHATI Cabang Yogyakarta dan Dialog Interaktif. MUSKOH menghasilkan keputusan bersama mengamanahkan Siti Masyithoh Maisarah sebagai nahkoda baru KOHATI Cabang Yogyakarta periode 2018-2019. Sebagai kader

Dok. Sinergia

EDISI-XXIII DESEMBER 2018 | SINERGIA |

37


HMI-Wati menjadi awal sejarah baru bagi dirinya, perempuan yang pernah mengawali proses berHMInya selama dua periode kepengurusan di HMI Komisariat Saintek UIN Sunan Kalijga. Tepat bulan Mei 2018, Sarah tidak berada di struktural HMI hingga terpilihnya dia sebagai Formateur/ Ketua Umum KOHATI Cabang Yogyakarta. “Amanah baru ini merupakan tantangan dengan level lanjut dari proses-proses ber-HMI saya selama ini dan mengemban amanah dengan tingkat yang lebih tinggi adalah tantangan tersendiri,” tutur Sarah kepada Redaksi Sinergia, Kamis (6/12/2018). Sarah menuturkan beberapa hal terkait visi dan misi selama satu periode kedepan, yaitu menjadikan KOHATI Cabang Yogyakarta sebagai Laboratorium Hidup bagi HMI-wati. Tiga hal yang dia tekankan dalam pencapaian visi dan misinya, yakni: Mengembalikan khittah perjuangan KOHATI melalui penanaman kembali nilai-nilai keislaman; Melanggengkan gerakan keperempuanan dalam menghadapi problema klasik yang tak kunjung usai; Mengaktualisasikan HMI-wati dalam meningkatkan sumberdaya masyarakat. “Untuk mempertahankan arah juang KOHATI Cabang Yogyakarta, tiga poin ini menjadi acuan dalam mencapai target internal maupun eksternal,” tutur Sarah. Sarah juga menyampaikan visi dan misinya bukanlah sesuatu yang dipatenkan, melainkan tolak ukur dalam menjalankan roda

38

kepengurusan KOHATI Cabang satu periode ke depan. Pun jajaran pengurus KOHATI yang akan menghidupkan arah perjuangan ini, sehingga program kedepan tidak terlepas dari pemikiran setiap pengurus untuk mencapai visi dan misi bersama. Bertanya soal harapan dan pesan Lusia Ega selaku Demisioner Ketua Umum KOHATI Cabang Yogyakarta, Sarah mengamini, dan penyataan senada yang dia sampaikan. “Sudah terpikirkan untuk dibawa ke arah mana, tetapi, sekalipun permasalahan internal sudah dirasa cukup pada periode lalu, tidaklah bisa dicukupkan dan dianggap selesai,” jawab Sarah. “Bagaimanapun juga keberhasilan internal adalah salah satu kunci tercapainya target-target eksternal, jadi, program-program subtantif ini dicapai secara internal dan eksternal,” tambah Sarah. Ketua Umum KOHATI Komisariat Saintek UIN Sunan Kalijaga 2016-2017 ini juga menyampaiakn personil-personil yang terlibat dalam kepengurusan satu periode ke depan adalah HMI-wati Cabang Yogyakarta yang direkomendasikan oleh komisariat, dan didiskusikan bersama dua mide formateur serta diputuskan oleh formateur selaku personil yang akan menjalankan roda kepengurusan nantinya. Sarah juga mempertegas kepengurusan yang baru ini juga memiliki relevansi dengan kepengurusan sebelumnya dan akan saling bersinergi. “Periode kepengurusan merupakan lanjutan perjuangan periode sebelumnya, maka periode

| SINERGIA | EDISI-XXIII DESEMBER 2018

selanjutnya akan mempertahankan dan meningkatkan perjuangan KOHATI Cabang Yogyakarta yang telah dibangun,” tutur Sarah. Sarah menyampaikan pesan kepada seluruh anggota KOHATI Cabang Yogyakarta bahwa temanteman merupakan perempuanperempuan terpilih dalam himpunan ini, yang bertahan untuk berjuang. “Setiap proses yang kita lalui selama ber-HMI, merupakan seni memperkuat diri. Jadilah pribadi yang kuat karena HMI, dan sadarlah untuk terus menjaga Himpunan ini dengan semua pengalaman (kognitif, afektif maupun psikomotor) yang kalian dapatkan di HMI. Jadikan sebagai bekal kekuatan dimanapun dan kapanpun itu, bawalah misi HMI,” jelas Sarah. Menjadi kekuatan yang utuh jika terdapat satu titik yang mampu dituju secara bersama. Dengan berbagai hal, yang sesuai dengan kemampuan, keterampilan dan potensi yang dimiliki. KOHATI sebagai wadah bagi perempuanperempuan yang terhimpun di HMI, manfaatkan wadah tersebut sebagai ajang pembelajaran dan pengabdian, bukan untuk alat memperoleh kekuasaan apalagi lupa terhadap janji dan amanah organisasi, sungguh mirisnya organisasi ini apalagi sang pendiri, dimanalah hari nurani, kalau bukan kita semua sama-sama intropeksi. Maka bukanlah kaleng-kaleng, melainkan insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah subhanahu wata ala. (Faiz Rifqy)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.