DARI REDAKSI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera dari kru Sinergia, Alhamdulillah kami sampaikan atas segala nikmat dan rahmat Tuhan yang maha kasih, karena kasihnya kita dapat menjalani hidup dengan nikmat Islam dan iman. Shalawat dan salam semoga tetap terhaturkan kepada suritauladan ummat Islam Muhammad SAW yang menjadi pioner tegaknya agama Islam. Terimakasih atas kerja keras kru sinergia dan seluruh alumni yang meluangkan waktunya dan bahkan memprioritaskan terbitnya buletin Sinergia ini, akhirnya buletin ini dapat muncul dihadapan pembaca pada bulan Oktober 2016 dengan sedemikian rupa. Kru Sinergia mohon maaf jika didalam buletin bulanan ini masih terdapat banyak kesalahan yang tidak disengaja baik berupa tulisan ataupun yang lainnnya, namun yang jelas kami berusaha untuk menyajikan segala hal yang laik untuk dibaca dan berani menampilkan sudut pandang berbeda. Pembaca yang berbahagia, pada terbitan buletin edisi ini kami menyajikan tema yang mungkin sudah sering terlintas dibenak pembaca atau mungkin terjadi di sekitar kita yaitu pergaulan bebas antar sesama jenis, baik itu lesbiyan, gay, biseksual, dan transgender. Peristiwa ini kerap booming hingga menjadi pusat perhatian masyarakat khususnya di Indonesia yang notabene berlatar belakang agama sehingga terkesan mendiskriminasi golongan yang mereka sebut dengan kaum LGBT. Pada terbitan ke-2 ini kru akan mengangkat dan membahas tuntas hal tersebut namun dengan kacamata yang berbeda, dan tentunya juga akan mengahasilkan hipotesis yang tidak sama dan mungkin vis-a-vis dengan hipotesis awal yang cenderung diskriminatif. Penulis akan mengajak anda untuk berpikir luas, tidak mengikuti arus dengan pola pikir yang berbeda. Pada edisi ini juga, kami telah mewawancarai secara khusus narasumber yang berkecimpung dalam dunia tersebut, yang menurut kami menarik untuk dipelajari dan diambil nilai-nilai positif dari kisah hidupnya. Pembaca yang baik, Kru mengangkat tema kontroversial ini “Pro LGBT� dengan maksud di samping untuk memberikan gambaran terhadap para pembaca seputar kehidupan kaum LGBT juga untuk memberikan kerangka berpikir yang pas dalam menanggapai fenomena ini yang kian hari terasa semakin menjamur di masyarakat luas. Sebelum kami akhiri, pesan redaksi untuk selalu positive thingking akan segala hal, karena berawal dari hal itu akan memunculkan suatu yang juga positif pada akhirnya. Dan akhirnya kami segenap kru meminta maaf apabila nantinya ada kekeliruan atau ada hal-hal yang kurang berkenan di hati sinergias. Kru mengharap kritik dan saran sebagai evaluasi dan tolok ukur edisi buletin yang selanjutnya. Untuk itu kami sarankan untuk tidak melewatkan sepatah katapun karena sesuai dengan tagline Sinergia itu sendiri: ringan dan kritis. Selamat membaca. Wassalamualaikum Wr. Wb. Redaksi
Ringan dan kritis | Halaman 2
Buletin Sinergia terbit setiap bulan sekali sejak 9 September 1996.
Kru Sinergia Pemimpin Umum Hengki Afrinata Sekretaris Umum Fitri Nurachmawati Bendahara Umum Laily Novika Pemimpin Redaksi Wira Prakasa Nurdia Sekretaris Redaksi Fahmi Mubarok Anggota Redaksi Azmi Syahid Hakim Ruli Arisandi Muhammad Baba Redaksi Online Mano Sasha Saleh Layouter Samsudin Pemimpin Penelitian dan Pengembangan Waode Yaumil Saleh Sekretaris Penelitian dan Pengembangan Muchlas Jaelani Anggota Penelitian dan Pengembangan Achmad Dwi Putra Hidayat Pemimpin Perusahaan Subaidi Sekretaris Perusahaan Dimas Ponco Wibowo Anggota Perusahaan Zidni Huda Asih Shidiqi Kantor Redaksi Graha SINERGI, Sapen GK1/513, Gondokusuman, Demangan, Yogyakarta Kode Pos : 55221 Website : www.Sinergianews.com Twitter : @Sinergianews Facebook : Lapmi Sinergi Yogyakarta E-mail : Lapmisinergi@gmail.com Redaksi menerima surat pembaca yang menanggapi hal-hal yang menyangkut dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, olahraga, lingkungan dan budaya, serta tanggapan atas terbitan SINERGI sebelumnya. Tulisan maksimal 2000 kata, dikirim ke email SINERGI. Redaksi berhak mengubah tulisan sepanjang tidak mengurangi isi dan maknanya.
EDITORIAL Pandang Mereka Sebagai Manusia
A
Tak ada perasaan yang salah dan keliru jika kita membela mereka sebagai manusia, atau membela atas dasar kemanusiaan.
da pepatah Arab yang berbunyi, “Kita cenderung membenci apa-apa yang tidak kita kenali”. Meskipun lahir di moncong peradaban Arab, kalimat ini pun juga pernah dikutip menjadi dialog singkat dalam magnum opusnya Zack Snyder: Batman v superman. Kala itu, petuah di atas nampak meluncur deras dari mulut seorang Ibu kepada anaknya si Superman yang ketika itu nampak begitu muram lagi masygul. Kira-kira maksud dari petuah di atas adalah kita cenderung hebat berasumsi, namun tak mahir dalam mengobservasi. Lebih-lebih kita juga sering menggunakan insting dalam merespons sesuatu yang nampak tak sesuai dengan perspektif kebanyakan orang. Dalam konteks lain, pepatah tersebut nampak sangat relevan dengan kondisi sosial-masyarakat kita, khususnya dalam memandang isu yang beberapa bulan lalu sempat mengemuka ke publik dan menjadi sorotan, yakni lesbian, gay, biseksual dan transgender atau akrab disingkat LGBT. Saya yakin Anda akan berpretensi ketika mendengar istilah tersebut. Atau bahkan Anda mungkin akan merasa jijik ataupun marah karena mungkin saja itu tidak sesuai
dengan cara pandang Anda. Anda mungkin juga akan berpikir jika orang yang berada di bawah golongan tersebut adalah orang yang punya kecenderungan kondisi kestabilan kejiwaan yang akut. Tapi pernahkah Anda berpikir keluar dari mainstream umum yang cenderung mengintimidasi mereka? Dan memulai observasi dari pertanyaan mendasar: Bukankah mereka manusia? Romo Magnis Suseno pernah membuat satu ulasan menarik mengenai LGBT, dari sudut pandang filosofis. Ia memberi keterangan yang cukup singkat namun cukup jelas pesannya. Jika kita mempercayai adanya teori penciptaan, maka LGBT juga masuk bagian integral dari proses penciptaan tersebut. Sehingga tak ada masalah terkait dengan hal tersebut. Memang begitu banyak penolakan kepada kaum LGBT yang berangkat dari argumen agama. Tetapi apakah wajar jika ada sekelompok yang mengaku beragama tersebut mencaci mereka dengan umpatan-umpatan kasar? Bukankah unsur fundamen dalam ajaran agama adalah –meminjam adagium Haidar Bagir- cinta kasih? Bisa diambil kesimpulan kejadian pengintimidasian terhadap kaum LGBT atas dasar ag-
ama itu merupakan sebuah sikap paradoks. Tak bisakah kita menanggalkan sejenak segala “atribut” yang cenderung mendiskreditkan kaum LGBT, dan mulai berpikiran secara jernih dengan memandang mereka sebagai manusia yang sudah sepatutnya dihargai dan diberikan kebebasan secara penuh atas hak-hak privacy mereka? Sering sekali kita mendengar adagium, “Memanusiakan Manusia”, namun kita cenderung abai melaksanakannya khususnya dalam kasus LGBT. Tak ada perasaan yang salah dan keliru jika kita membela mereka sebagai manusia, atau membela atas dasar kemanusiaan. Mereka berhak untuk hidup bebas, terutama dari ketakutan, kekerasan dan perlakuan yang diskriminatif. Dalam prinsip dasar HAM, hak untuk berekspresi, berkumpul dan berpendapat dilindungi oleh negara, LGBT adalah bagian integral dalam konteks tersebut. Sehingga atas dasar apapun, tak akan mengurangi hak dasar yang melekat di diri mereka.
Redaksi
SURAT PEMBACA Sinergi adalah salah satu tempat berproses saya saat mahasiswa. Berawal dari hobi membaca dan menulis, sinergi ruang yang tepat untuk mengenal Jurnalistik. Dulu kami magang di Antara dan Berbas Yogya. Dari jurnalistik saya mengenal apa itu informasi dan bagaimana menjadi sarana untuk menghibur dan memberi pendidikan ke masyarakat yang lebih luas. Terimakasih Sinergi LAPMI HMI Yogyakarta. Chamad Hojin - Redaktur News MNC Group Saya sangat mengapresiasi pada teman-teman Sinergi yang hingga saat ini masih tetap konsisten untuk tetap menerbitkan Buletin/ Majalah SINERGIA, itu menunjukkan bahwa kegiatan jurnalistik masih berjalan. Saya mengharapkan rubrik ke-HMI-an beri space lebih banyak lagi supaya kita tetap update berita ataupun kegiatan terakhir yang sedang atau yang akan di lakuka HMI saat ini (pengurus besar, Cabang, dan Komisariat). Semoga kru Sinergi tetap semangat dan terus berkarya. Salam pers mahasiswa !!!. Fitriani Nasution - Pengurus HMI Cabang
Majalah dan buletin Sinergi sangat menarik dibaca. Topik yang dipublikasikan sangat up to date dan menarik untuk ditelurusuri. Yah.... sukses selalu buat sinergi. Tetap semangat dan tetap vitalkan isu-isu kekinian. So, dengan menulis dunia berada dalam genggaman tangan. Lelaki Hujan - Pembaca Saya kagum dan bangga atas terbitnya Buletin Sinergi ini. Di tengah lesunya industri penerbitan dan menurunnya minat baca masyarakat karena gemburan media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dll) yang kini menjadi gaya hidup anak muda, mereka terus eksis dengan karya-karya jurnalistiknya yang kritis dan inovatif. Ini menunjukan bahwa Sinergi masih terus menjaga visi besarnya mencerdaskan masyarakat dan umat. Konten dan isu-isu yang diangkat selalu menarik karena disajikan dengan data komperehensif. Itulah salah satu kelebihan dan daya tarik Sinergi. Teruslah berkarya dan semoga bermanfaat buat kita semua. Zamaahsari A. Ramzah - Staf DPR RI Fraksi Golkar Ringan dan kritis | Halaman 3
SELASAR dok.Istimewa
M
Saya Tak Ingin Dibenci
usik mengalun mendayu. Suasana tak terlalu riuh. Namun sesekali gelak tawa di meja lain mengundang sorotan beberapa mata yang lainnya. Terdengar lirih suara sesapan kopi dan air panas yang mengalir dari ceruk sebuah teko berbahan tanah liat. Aroma kopi menyeruak menusuk hidung, seperti disengajakan keluar dari rongga dinding anyaman bambu sebuah dapur kecil nan sederhana, mungkin bermaksud menggoda pelanggan. Di sisi sebelah kiri, terdapat satu ruas jalan beraspal hitam lurus, sedang di sebelah kanan nampak hamparan sawah berwarna hijau tua, nyaris tanpa ujung. Selasa, 04 Oktober 2016, pukul 16.35, seorang pengguna sepeda motor berwarna hitam-merah seperti memecah suasana syahdu tersebut. Ia terlihat kikuk. Tapi tak jua beranjak dari tunggangannya. Ia masih membiarkan suara motornya menyala, beberapa pelanggan memandang ke arahnya, laiknya memberi isyarat untuknya agar segera mematikan kendaraannya. Tak berselang lama, ia lalu turun dan berjalan ke arah kami. “Itu dia orangnya”, seru Fahmi. Namanya Iis, (tentu bukan nama sebenarnya), perempuan berusia 21 tahun. Ringan dan kritis | Halaman 4
Perawakannya agak kurus, tinggi, matanya sayu, kulitnya kuning langsat, rambutnya pendek setengah leher. Ketika itu ia mengenakan jaket berukuran besar hip-hop berwarna hitam abu-abu, dan celana Levi’s ketat biru dongker. “Beginilah gaya saya”, ucapnya sembari melempar senyum, seolah menjawab tatapan kosong kami terhadapnya. Ia mengaku kesal jika orang terdekatnya mengomentari penampilannya. Ia lebih suka tampil apa adanya. Natural. Gaya berpakaiannya tersebut sebenarnya cukup ditentang oleh kedua orang tuanya, terutama Ibunya. Tapi karena ngeyel, perlahan Ibunya mulai mengerti, meski sesekali Ibunya tak tahan jua untuk mengomeli penampilannya. “Ya, begini, Mas, saya ini beda sama anak perempuan lain,
Ibu saya sering nyinyir soal penampilan, tapi saya bilang, inilah saya, toh Ibu dulunya juga tomboy kok”. Ujar Iis menunduk, sembari mencatat menu minuman pesanannya, rambutnya tergerai ke bawah dan beberapa helai nampak tersangkut di ujung bibirnya. Iis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia menghabiskan masa kecilnya di sebuah dusun di daerah Klaten. Tradisi keagamaan di keluarganya ketat, bahkan Ibunya sering membatasi pergaulannya. Hobi lamanya adalah bermain gundu, dan
dok.Istimewa
SELASAR ia juga menyukai warna biru. Meski Ibunya memiliki perhatian ekstra-khusus kepadanya, namun ia mengaku sejak kecil justru dekat dengan Ayahnya. Kini Iis sudah menempuh semester akhir di salah satu kampus Islam di Yogyakarta. “Nek di Jogja saya lebih bebas, Mas daripada di rumah, ya meski disuruh pulang seminggu sekali, tapi ya lumayanlah” ujar Iis sambil mengusap rambutnya ke arah belakang. Iis memang lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya yang juga seorang perempuan. Ia seringkali mengajak pacarnya ke kos-kosan, meski ia juga tak jarang mengajaknya keliling berjalan-jalan berkeliling kota. Di Jogja, ia merasa lebih bebas dibanding di rumahnya. Di rumah ia selalui dicurigai, terutama ketika mengajak teman sebayanya yang juga perempuan. Pernah suatu ketika ia mengajak dua orang temannya ke rumah selepas menghadiri pengajian di sebuah masjid tak jauh dari kediamannya. Sesampainya di rumah, tidak seperti biasanya, kali itu ia tak mendapat sambutan hangat dari kedua orang tuanya, terutama Ibunya. Ibunya bahkan memasang air muka sinis seolah penuh curiga kepada anak sulungnya tersebut. Menyadari respons penolakan itu, Iis lantas mencari-cari alasan untuk mengeluarkan kedua temannya. “Saya sering tidak enak, Mas, terutama pada teman-teman sebaya. Ada yang bilang orang tua saya itu tidak ramah. Padahal kenyataannya tidak seperti itu”. Tandasnya. Semenjak kejadian tersebut, ia tak pernah lagi mengajak teman-temannya berkunjung ke rumah, bahkan hanya untuk sekadar menjemput dirinya di depan rumah ketika hendak berangkat bersama-sama ke masjid. Percakapan kami terhenti sejenak ketika pelayan kafe mengantarkan kopi pesanannya. Ia spontan membuka bungkusan taburan coklat dan menuangkannya ke kopi tersebut, lalu perlahan mengaduknya. Kelentingan gelas kaca dan sendok terdengar beradu. “Sebetulnya yang di Jogja ini mantan saya, Mas, pacar itu saat ini kuliah di Palu”. Gumamnya, seraya menyeruput kopi panas. sebetulnya kesal dengan sikap pacarnya yang pencemburu, tiap kali teman-teman perempuannya berkumpul ia selalu jadi sasaran amuk kekasihnya itu. “Siasatnya diam-diam Mas”, akunya. Iis dan pacarnya termasuk bernasib baik. Kekasihnya tersebut ternyata pernah mengungkap identitas orientasi seksualnya
kepada Ibunya. Awalnya terkejut, mengetahui anak perempuannya ternyata seorang lesbian. Namun setelah itu, Ibunya perlahan menerima realita kalau mereka berpacaran. Bahkan si Ibu belakangan sering menghubungi Iis menanyakan kabar dirinya dan kondisi hubungan mereka. Meski begitu, hubungan keduanya belum diketahui sang Ayah. Maklum, Ayah kekasih Iis adalah seorang ulama yang cukup dipandang di daerahnya, si Ibu tak berani berterus terang. “Ayah pacar saya pernah jatuh sakit dan dirujuk untuk dirawat di rumah sakit Jogja, saat itu perasaan saya campur aduk, Mas. Antara senang atau sedih. Sedih Karena Ayahnya sakit, tapi di sisi lain ada senangnya Karena pacar saya dan keluarganya juga ikut. Nah, di situ kita sering ketemu, Mas. Jelasnya sumringah. Sepanjang rawat inap, Iis dan kekasihnya sering mencuri waktu untuk berkeluyuran melepas hasrat rindu yang menggebu. Keduanya sering beralasan untuk keluar membeli makan kepada Ayahnya, izin tersebut dimanfaatkan oleh keduanya untuk berkeliling kota dan mengunjungi tempat wisata. “Foto-foto, Mas kita di Candi Ratu Boko. Foto saya sama dia banyak diupload di Facebook, senang-senang kita, Mas”. Pada akhir 2015 silam di Indonesia, ada beberapa gerakan maraton yang mendukung kebebasan berekspresi secara massal, terutama penghargaan atas hak-hak kesetaraan seksual: LGBT. Gerakan ini tidak hanya berupa kampanye aktif secara praktis di lapangan, namun juga melalui media sosial. Sekitar satu pekan tagar #supportequality menghiasi trending topic di media sosial, terutama laman Twitter. Isu substansial yang dibawa adalah penghargaan terhadap hak-hak dasar individu. Tetapi gerakan tersebut bukan tanpa perlawanan. Beberapa organisasi berbasis keagamaan pun juga melakukan hal yang sama. Di dunia maya mereka juga mengcounter pesan-pesan kesetaraan dengan membuat tagar tandingan, yang lebih banyak bermuatan kebencian dan caci-maki terhadap LGBT. Benturan kedua gerakan ini bahkan sudah mencapai klimaks. Tepatnya pada tanggal 23/02/2016 di Yogyakarta, kelompok pro dan anti-lgbt terlibat bentrok yang mengakibatkan 12 korban luka-luka dan satu orang dilarikan ke rumah sakit (BBC. com). Tak sampai di situ, beberapa selebaran pamflet dan spanduk besar berisi penolakan terhadap LGBT juga terlihat meng-
hiasi di beberapa sudut kota Yogyakarta. “Saya tau kok, Mas, jika tak ada yang mau menerima saya sebagai manusia tulen”. Iis nampak merenung sambil memandangi gelas dengan tatapan kosong. Ia mendakwa gerakan yang mengatasnamakan anti-LGBT itu tidak mengerti apa-apa perasaan orang yang dengan kecenderungan ketertarikan terhadap sesama jenis. Tekanan sosial terhadap ia –terutama- tidak menghasilkan efek apa-apa selain pressure secara psikologis. Iis bercerita, suatu waktu ia pernah disindir oleh Ustadz di dusunnya lantaran penampilannya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Ditambah lagi, Ustadz tersebut menggunakan ayat-ayat untuk menakuti dirinya, yang secara tidak langsung mengatakan kepadanya bahwa tindakannya tersebut salah dan akan dilaknat kelak di hadapan Tuhan. Sepulangnya, ia menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya, ia bahkan berkali-kali mempertanyakan keadilan Tuhan mengapa ia diciptakan begitu “berbeda”. Namun ia segera tersadar, ia meyakini Tuhan pasti mampu bersikap adil terhadap semua makhluk ciptaanya, termasuk juga dirinya. Ia juga yakin jika Tuhan tak hanya menciptakan sesuatu yang hitam dan putih saja, pasti ada beragam warna yang diciptakan Tuhan termasuk warna-warni lainnya. “Saya yakin kondisi saya normal, Mas. Tuhan itu pasti adil kok”, selorohnya, bergelora Di lain pihak, Dr.Ryu Hasan, spesialis Neurosains, ketika dihubungi dan dimintai keterangan secara medis mengenai LGBT, ia mengatakan kalau LGBT itu normal-normal saja. “LGBT itu normal, Mas, itu bukan penyakit. Sah saja dalam dunia medis” selorohnya. Iis berharap suatu saat nanti Indonesia meratifikasi Undang-Undang kesetaraan hak terhadap LGBT, persis seperti di beberapa negara yang terlebih dahulu melegalkan hal tersebut. Ia mencintai kekasihnya dengan sepenuh hati, dan punya angan-angan untuk menikah serta hidup bersama dengannya. Ketika ditanya soal anak, ia menjawab singkat: “Ya adopsi dong, Mas”, ujarnya tertawa mendengus.
Wira Prakasa Nurdia
Ringan dan kritis | Halaman 5
PERSEPSI
T
Reaksi Berlebihan Terhadap LGBT
iga tahun silam, ia beserta temanteman sekelasnya, berkesempatan untuk mewawancarai salah satu pengurus Pesantren Waria di Yogyakarta, yang terletak di kawasan Barat Malioboro. Kunjungan ke pesantren tersebut adalah dalam rangka memenuhi mata kuliah akhir semester yang nantinya akan diujikan dalam bentuk karya jurnalistik per-kelompok. Singkat cerita, ia ditinggalkan dari rombongan hingga akhirnya telat, sialnya lagi, ia ternyata tidak mengetahui persis lokasi pesantren tersebut. Ia kesulitan menemukan letak pesantren, yang letaknya ternyata di sebuah gang kecil di sudut jalan. Setelah beberapa kali berputar-putar dan kebingungan, ia akhirnya menemukan Pesantren Waria yang terletak tak jauh dari pusat keramaian kota Jogja tersebut. Sesampainya di sana, kesan pertamanya adalah rasa prihatin, kondisi bangunan Pesantren Waria tersebut tidak seperti pesantren pada umumnya, yang memiliki halaman luas dan bangunan megah serta fasilitas lengkap untuk menunjang para santrinya. Dalam Pesantren itu mereka hanya menemukan sebuah rumah kecil yang berdempetan dengan rumah warga lainnya, tidak ada pekarangan rumah selain gang kecil, dalam pesantren tersebut pun, tidak kalah suram dengan kondisi eksteriornya, kondisinya cukup gelap karena hanya diberikan penerangan dengan lampu lima watt berwarna kuning temaram, tempat mereka duduk bukanlah ruang tamu, akan tetapi ruang kegiatan sehari-hari untuk menjahit yang disulap menjadi ruang tamu “dadakan” karena memang rumah tersebut nampaknya tidak didesain untuk menampung orang dalam jumlah yang banyak. Dalam kesempatan itu teman saya memberanikan diri untuk memulai percakapan secara “formal”, belum sempat bertanya, beliau yang enggan menyebutkan namanya tersebut dengan secepat kilat menyanggah, dengan mimik senyum, beliau menawarkan kami untuk minum terlebih dahulu. Teman saya yang kebetulan berada di barisan depan pun langsung menghadap ke belakang memandangi wajah teman-temannya, seraya mendongakkan dagu tanda untuk bertanya. Di barisan sebelah pojok dekat pintu, seorang teman Ringan dan kritis | Halaman 6
langsung menjawab, “Tak perlu repot-repot Mas”. “Eh, maaf, Mbak, kita terlalu banyak ini”. Tanggapan salah satu temannya tadi seketika mengundang gelak tawa yang lainnya, teman saya yang berdekatan dengannya hanya senyum karena takut menyinggung perasaan si empunya rumah. Setelah suasana agak cair, teman saya kemudian menanyakan soal tanggapan masyarakat terhadap pesantren tersebut secara umum, maupun seputar aktivitas mereka sehari-hari sebagai seorang waria. Ia kemudian perlahan menjawab seraya menghela nafas, “Kami tau ini terlalu berisiko, apalagi menggunakan agama sebagai tameng, tetapi mau bagaimana lagi? Kami memang seperti ini”, ujarnya lirih. Setelah pertanyaan pertama, penjelasan beliau selebihnya kemudian tak lebih dari sekadar “pengakuan dosa” akibat dari pilihan orientasi seksualitasnya. Tetapi yang teman saya tangkap dari percakapan tersebut bukanlah mengenai disorientasi seksualnya, melainkan semangat untuk menjalani hidup di tengah masyarakat yang merasa “jijik” dengan fisik dan kecenderungan seksual mereka. Tergerus Fenomena LGBT Tiga tahun silam mungkin histeria terhadap fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) tidak seramai sekarang ini. Baru-baru ini, pesantren tersebut ternyata sudah ditutup dan dibubarkan, lantaran diancam berkali-kali oleh oknum beragama yang ketakutan virus disorientasi seksual tersebut menyebar ke mana-mana (BBC.com 28/02/2016). Memang benar, pascalegalitas LGBT di seluruh wilayah bagian Amerika Serikat empat belas bulan silam, Indonesia juga negara yang tidak lepas dari perdebatan mengenai boleh-tidaknya kaum LGBT tersebut mengemukakan hak-haknya. Pro-kontra tersebut sebenarnya hanya menarik perdebatan dalam ruang lingkup atau tabir yang lebih besar lagi, lebih kompleks. Pada pihak yang tidak sepakat dengan fenomena tersebut misalnya, berlindung di bawah retorika agama dan kesehatan mental. Pada isu agama, sebenarnya sandaran ini sepenuhnya lemah, dalam artian masyarakat tidak bisa sepenuhnya merujuk
pada opini masyarakat Muslim di Indonesia secara legitimate. Mengapa demikian? Dalam kasus LGBT, terjadi pengkutuban pendapat atau perbedaan dalam menyikapi isu tersebut. Intelektual Muslim seperti Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie dan Musdah Mulia adalah salah tiga di antaranya yang menerima LGBT sebagai satu-kesatuan di dalam Islam. Kedua, dari perspektif medis atau kesehatan, Dokter Ryu Hasan, yang juga ahli Neurologi (saraf) mengatakan bahwa LGBT bukanlah penyakit dan bukan juga gangguan mental, dengan catatan, kecuali orang yang bersangkutan merasa tidak nyaman dengan kondisinya tersebut, baru kemudian bisa dikatakan sebagai gangguan. Selama ia merasa nyaman, fenomena tersebut bukanlah dikategorikan sebagai gangguan atau penyimpangan kejiwaan (BBC.com 28/02/2016). Yang ingin penulis sampaikan pada artikel kali ini adalah LGBT mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan eksistensinya di negara ini, Mengapa? Berkaca pada pengalaman teman saya yang menanyakan secara langsung kepada salah seorang waria, hal demikian cukup membuka mata penulis bahwa kecenderungan perbedaan orientasi seksual tersebut benar dan nyata adanya di tengah masyarakat. Tak usahlah kita mengatakan bahwa LGBT merupakan proxy war atau konspirasi asing yang –salah satunya- sengaja ingin mendesakralisasi kehidupan beragama di Indonesia, lebih-lebih ada yang menyatakan bahwa LGBT adalah bukan bagian kebudayaan masyarakat. Benarkah demikian? Coba tanyakan ke teman Anda yang sedikit ngondek secara personal, tanyakan, apakah mereka bagian atau agen dari rekayasa penghancuran Indonesia oleh asing?
Waode Yaumil Saleh
PERSEPSI
U
Jeruk “Boleh” Kok Minum Jeruk
saha yang paling susah adalah memutus kebiasaan. Karena— boleh percaya atau tidak—yang lumrah kadang dianggap benar. Skema persepsi, ide, dan tindakan seseorang—yang oleh Pierre Bourdieu disebut Habitus—kadang menyempitkan ide lain yang tampak baru dan berlainan. Albert Camus di bab akhir Le Mythe de Sisyphe, misalnya, boleh membayangkan Sisifus bahagia. Tetapi, orang lain akan menganggap Sisifus sebagai tokoh yang terkutuk dan merana, dengan secara berulang harus mendorong batu ke puncak gunung yang pada akhirnya bergulir jatuh kembali. Kamus coba memutus siklus: bahwa yang sia-sia juga bahagia. Tapi, yakin, semua orang menolaknya! Begitulah, kira-kira. Karena tidak semua orang menyenangi yang lazim. Belum luntur di ingatan, kelompok mahasiswa SGRC (Support Group and Resource on Sexuality) UI yang diteriaki banyak pihak karena membuka konseling gratis untuk para penyandang LGBT UI. Pada waktu itu, nyaris semua warga UI menolak keras aktivitas SGRC. Bahkan, rektor menjustifikasi bahwa SGRC bukan organ resmi yang diakui UI. LGBT tidak secara leksikal dimaknai sekadar ‘aktivitas kelamin’ an sich. LGBT sebenarnya bukanlah ihwal anyar, ia telah hadir bersejajar dengan sejarah seksualitas manusia. Tetapi, LGBT memuncak—terutama di Indonesia—karena pergesekan paham dari para heteronormativisme. Banyak dimensi yang coba diungkap untuk “membunuh” ide homoseksual—sesuatu yang populer untuk menyebut ketertarikan kepada sesama jenis. Praktik seksualitas tak lazim ini hadir tidak hanya dalam bentuk afirmasi identitas, tetapi juga berbentuk perjuangan, sehingga atas dasar ini pula, ia banyak dijumpai dalam bentuk gerakan. Berbagai kalangan yang mengusik model seksualitas tak lazim ini kemudian direspon secara dialogis sampai frontal. Gerakan ini sebenarnya adalah “pertarungan” antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Masih kental di ingatan, respon literatif Tom Boellstorff yang mendukung perkawinan dua lesbian tahun 1981 di Jakarta Selatan. Dalam The
Gay Archipelago, Sexuality and Nation in Indonesia, Tom menyebut kedua gay itu sebagai “pahlawan” minoritas yang mesti diakui oleh masyarakat Indonesia. Pasca itu, yang justru membuat kajian ini menarik, pembelaan terhadap kaum gay—sebagai istilah generik yang menyangkut beberapa variasinya: homoseksual, transgender—tidak hanya dilakukan oleh masyarakat luar, tetapi juga oleh banyak orang Indonesia. Ini berarti, sengkarut paham LGBT tidak menarik kesimpulan final, namun dialektis. Hingga kini. Wujud Histeria Secara genealogis, LGBT populer di masyarakat Barat (Amerika Serikat) jauh sebelum tahun 1988. Sebelumnya, kisaran 1972, homoseksual dianggap sebagai gangguan kejiwaan. Hipotesa ini tidak lahir nir-data, tapi berpatokan pada buku panduan Gangguan Jiwa versi Amerika Serikat, The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), dan versi WHO, International Classification of Diseases (ICD). Tetapi dalam perkembangannya, banyak peneliti yang justru menyebut LGBT bukan penyimpangan seksual, bukan gangguan kejiwaan. Biolog Alfred Kinsey (1950), misalnya, menilai bahwa homoseksual bukan hanya terdapat secara alami pada manusia, tetapi juga binatang. Alhasil, sejak 1973, The American Psychiatric Association menetapkan homoseksual tidak lagi digolongkan sebagai gangguan mental. Pada 17 Mei 1990, WHO juga memberikan pernyataan serupa. Bahkan, pada 1993, Indonesia mencabut pernyataan bahwa homoseksual sebagai gangguan kejiwaan, tertulis di Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III. Pada wilayah ini, tampak jelas, stigma miring masyarakat yang menyudutkan LGBT, sangat tidak beralasan. Tersebab LGBT bukanlah model hubungan seksualitas yang samasekali bukan gangguan mental—sebagaimana disebutkan pada fakta literer dokumen di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk turut melindungi, diakui, dan memiliki hak untuk aman, sehat, dan sebagainya. Selama ini, penolakan yang santer justru atas dasar sentimen religiositas. Beberapa teks agama
dibentang secara frontal untuk “membunuh” masyarakat yang non-heteroseksual. Alasannya, karena negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim, maka LGBT mesti diberangus karena menentang ajaran Islam. Para penganut agama “ekstrem” pasti jumawa dengan “pledoi” ini. Tapi, pasti ada seseorang dengan paham keagamaan moderat-progresif yang akan menolak pernyataan itu: asal tidak bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Problem LGBT, bila ditelaah, adalah problem histeria. Histeria atas isu LGBT kemudian direspons secara ekstrem dengan dorongan kebencian yang meluap. Bila kajian LGBT hanya didasarkan pada alasan “dosa”, kiranya kurang tepat. Alasan Muslim mayoritas nampak klise. Mayoritas, meski di negara demokratis, kadang selalu menumpulkan ekspresi minoritas. Memang, mayoritas unggul secara kuantitas, tetapi mereka akan menumpulkan prinsip substantif: multikulturalitas. Alasan Self-Centered mereka jelas tak diterima di tengah masyarakat pelangi. Kita melihat, sentimen atas LGBT sebagai bagian dari histeria massa. Alasan penolakan, -oleh pemberitaan-, tidak didasarkan pada data dan fakta yang objektif, tetapi—seperti kaum ortodoks—melalui justifikasi ke-aku-an pahamnya. Perdebatan soal LGBT akan membuka dimensi baru. Tetapi, yang paling penting, LGBT bukan urusan salah atau benar, ini menyangkut prinsip humanitas sebagai bagian intrinsik teks wahyu. Kajian LGBT juga harus objektif dan rasional, tidak kedap berdasarkan perspektif ke-aku-an. Pemerintah juga harus merespons isu ini berdasarkan data-fakta objektif, bukan propaganda histeria. Kebijakan untuk melindungi non-heteroseksual ini didesak untuk dilakukan. Pikiran kita harus terus dijaga untuk menolak lupa: bukankan tokoh kaliber Leonardo da Vinci dan Jodie Foster, dll, telah menampakkan posisinya di mata publik internasional, kenapa Indonesia tidak?***
Muchlas Jaelani
Ringan dan kritis | Halaman 7
SASTRA Jalan Terbaik Untukku
A
lkisah, ada seorang wanita cantik yang baik hatinya telah menginjak usia dewasa yang membuatnya semakin bebas menentukan arah dan tujuan hidupnya seputar hal materi dan spiritual sebut saja wanita itu dengan nama “Any Brancher” seorang wanita yang hidup dan besar dari latar belakang orang yang kaya raya ibunya adalah seorang psikiater dan ayahnya adalah seorang pemuka agama tak heran jika Any sangat paham dengan ilmu-ilmu psikologi dan juga agama. Semenjak ia dewasa, ia selalu melakukan interaksi dengan teman-temannya bahkan Any selalu menghabiskan uangnya hanya untuk mentraktir semua teman-temannya untuk makan di sebuah restoran ternama. Semakin ia fokus dalam sebuah pergaulan yang terbilang “Bebas” ia telah mengenal apa itu cinta yang ia dapatkan dari pengalaman teman-temannya yang pernah menjalin sebuah hubungan, melalui pengalaman dan cerita temannya, Any sangat ingin memiliki arti cinta dalam perjalanan hidupnya seperti apa itu cinta dan bagaimana rasanya? Salah satu teman Any yang bernama Ticha mengajaknya kesebuah tempat hiburan malam dan mempertemukannya oleh banyak lelaki ditempat tersebut. Banyak pria yang memuji dan mengoda Any yang cantik jelita itu, akan tetapi Any merasa gelisah karena tidak terbiasa bahkan tidak pernah digoda sebelumnya oleh banyak laki-laki. Ticha menjelaskan kepada Any bahwa semua temannya tersebut adalah orang yang baik dan menyukai sosok dari Any, setelah mendengar nasihat dari Ticha tersebut pikiran Any semakin terbuka dan ia mulai berani menanggapi respons dari banyak lelaki yang mengodanya tersebut. Ada satu pria yang membuat perasaan hati Any merasa tersentuh, Pria tersebut adalah “Jobs” yang tidak lain adalah mantan kekasih dari Ticha, Jauh lebih dalam Jobs mendekati Any akhirnya Any merasa jatuh cinta terhadap Jobs, Any mulai menanyakan pribadi Jobs kepada Ticha mulai dari seputar kehidupannya, pengalaman menjalin hubungan dengan Jobs dan sifat kepribadian lainnya seputar Jobs. Ticha bercerita bahwa Jobs adalah lelaki Ringan dan kritis | Halaman 8
yang baik dan sangat perhatian oleh wanita, Ticha menjelaskan kenapa hubungannya harus berakhir dengan Jobs dikarenakan hubungannya tidak direstui oleh orang tuanya, setelah mendengar kesaksian dari Ticha akhirnya Any memutuskan untuk merespon balik pendekatan yang dilakukan oleh Jobs mereka berdua akhirnya melakukan sebuah dinner bersama disebuah kafe ternama, Komunikasi mereka mulai terjalin baik. Setelah melakukan berbagai pendekatan akhirnya Jobs menyatakan cinta terhadap Any dan Any menerima pernyataan cinta dari Jobs, akhirnya mereka berdua menjalin hubungan dengan sangat baik dan romantis. Any yang memang masih lugu terhadap sebuah hubungan perasaan dengan mudahnya digoda oleh Jobs seketika Jobs mengeluarkan kata-kata manisnya yang membuat Any semakin jatuh cinta terhadap Jobs. Singkat cerita Jobs mulai melakukan reaksi seksualnya terhadap Any mulai dari memegang tangan, mencium pipi bahkan hingga melakukan “Kissing.” Jobs berkata bahwa apa yang dilakukannya tersebut adalah karena ia sangat mencintai Any sehingga membuat Any percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Jobs tersebut. Semakin dalam mereka berdua menikmati hasrat seksualnya maka semakin jauh pula apa yang mereka lakukan mereka mulai berani melakukan sebuah hubungan badan yang akhirnya merampas sebuah kegadisan Any, setelah puas melakukan hubungan badan dengan Any perilaku Jobs mulai tidak jelas. Jobs yang awalnya sangat merespon dan memperhatikan kehidupan Any kini semakin tidak peduli dan acuh tak acuh, Any yang mulai menyadari kelakuan Jobs tersebut akhirnya mengambil sebuah tindakan dengan menanyakan langsung kepada Jobs mengapa ia bertindak seperti itu lalu Jobs menjawab dengan sebuah kalimat yang sangat menyakitkan hati dan perasaan Any , Jobs berkata bahwa “Hubungan seksual itu sudah biasa, jadi kamu tidak perlu memusingkannya. Aku hanya sibuk bekerja akhir-akhir ini,” mendengar alasannya tersebut Any merasa tenang kembali namun sebuah kejadian
luar biasa menimpa Any, Jobs menghilang dengan tiba-tiba semua kontak yang dimiliki oleh Jobs tidak dapat dihubungi oleh Any bahkan sampai ia menunggu kabar Jobs hingga beberapa tahun lamanya namun Jobs tidak memberinya kabar. Any merasa resah, kecewa dan sangat menyesal pikirannya kacau bahkan ia menjadi stress hingga sudah tidak percaya lagi dalam sebuah hubungan cinta. Any mulai menutup diri terhadap laki-laki, baginya pengalaman terhadap Jobs sangat menyakitkan dan ia tidak mau mengulangi pengalaman pahitnya tersebut. Setelah itu Any mulai menjalin interaksi kepada Ticha dan menceritakan semua kepada Ticha, Ticha yang mendengar hal tersebut sangat terkejut dan mulai merespon serta mendengarkan curhatan Any sejak kejadian itu mereka berdua semakin dekat dan semakin erat dalam menceritakan sebuah emosional diri tak segan ia mereka berinteraksi seksual seperti mencium kening dan mencium bibir, sungguh tak lazim memang tapi mereka merasa semua apa yang telah dilakukan tersebut dapat menghilangkan beban pikiran dan masalah. Jauh lebih dalam lagi mereka mulai berperilaku seperti orang yang kelainan seksual mereka berdua menjalin hubungan tak lain menggunakan alat bantu seks demi memuaskan balas dendam masa lalunya terdapat laki-laki. Ibu dan ayahnya yang mengetahui hal tersebut langsung marah dan mengusir Any dari rumah, akan tetapi Any tidak merasa keberatan dengan hal tersebut, baginya hanya dengan mencintai sesama jenis ia sudah terhindar dari perasaan sakit hatinya terhadap laki-laki dan Ticha kini dianggap sebagai penolong dan kekasih sejatinya yang selalu hadir di setiap langkah hidupnya, sangat mengelikan sekali namun itulah realita “Seseorang yang sudah tidak mempercayai lawan jenisnya karena disakiti dan memilih sebagai lesbian demi mendapatkan keselarasan hidup.”
Dimas Ponco Wibowo
ESAI Kisah Miris di Balik Kentalnya Kehidupan Santri
T
erinspirasi dari buku karya Syarifuddin yang berjudul “Mairil: Sepenggal Kisah Biru Pesantren” dan pengalaman hidup nyantri. “Setuju” sebagai kata penyepakat tulisan yang ia gambarkan dari pikiran dan kenyataan yang ada. Kisah kasih sepasang manusia yang kebetulan punya ketertarikan sejenis atau masuk dalam kategori jamak disebut Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Mayoritas usia puberitas dengan kondisi psikologis yang over aktif di masa nyantri, serta merupakan kasih yang lahir karena terbiasa yang sangat memengaruhi apa yang disebut sebagai budaya Mairil dalam buku tulisan Syarifuddin. Seperti dalam istilah Jawa “witing tresno jalaran songgko kulino” yang berarti cinta tumbuh karena terbiasa, namun itu kan sejenis. (Mboh..... pikirku gak teko...). Namun, siapa yang mengira di balik kentalnya nuansa religius yang ada di pesantren ternyata menyimpan cerita-cerita miris yang paradoks. Pesantren yang biasanya merupakan tempat untuk menimba ilmu agama, justru menjadi awal pintu kasih sesama jenis, sebagai tempat pelampiasan libido para santri. Istilah budaya Mairil seperti kata Syarifuddin sudah begitu familiar di kalangan para santri. Bahkan ada beberapa sebutan lain yang mungkin saat ini ditabukan, contohnya istilah Badhi’ yang asal muasalnya adalah bahasa Arab, jika diterjemahkan secara harfiah adalah keindahan. Namun “dalam kamus” para santri Badhi’ adalah seseorang yang dianggap tampan atau cantik, kulitnya mulus kuning langsat, dan masuk dalam kriteria menarik serta dapat merangsang libido. Biasanya istilah-istilah tersebut berbeda di setiap pesantren. Ada juga yang mengatakan bahwa hubungan sejenis tersebut dengan sebutan “Mokang”. Istilah ini lebih kepada metode teknis untuk berhubungan intim sesama jenis. Entah bagaimana praktiknya. Sekilas mengetahui dari orang yang berpengalaman, metode “Mokang” berasal dari kata “Pokang” yang secara literal berarti “paha”. Mereka menganggap celah pada paha yang terapit laiknya kemaluan per-
empuan. Objek tersebutlah yang dijadikan “bahan pelampiasan nafsu” untuk beronani. Hubungan sejenis yang dilakukan biasanya tak dilakukan atas dasar suka sama suka, melainkan secara sembunyi-sembunyi ataupun paksaan. Awalnya korban tak akan sadar bahwa telah digunakan sebagai pelampiasan libido temannya. Mereka baru sadar, adanya kejanggalan terhadap dirinya saat bangun tidur. Hasrat dan libido yang kuat untuk berhubungan sangat sulit terdeteksi secara transparan. Umumnya para pelaku melakukannya secara diam-diam, bahkan mengorganisir tindakan tersebut. Apa lacur, sulitlah mereka untuk dideteksi. Umumnya yang menjadi korban adalah seorang dengan tipe wajah baby face, tampan atau cantik, kulitnya mulus, imut dan kebanyakan santri baru. Santri senior cenderung menjadi pelaku seks sesama jenis. Bahkan kekerasan sering terjadi dalam perebutan santri baru yang dianggap memenuhi standar. Bisa dibilang si korban sangat diistimewakan oleh para pelaku. Dengan perlakuan bak raja dan ratu, mulai dari memberikan uang saku, mencucikan pakaian si korban, mengerjakan PR menjadi semacam kamuflase untuk mengelabui korban. Pernah suatu kejadian di salah satu pesantren kenamaan di sebuah daerah, ada seorang santri baru yang secara fisik masuk sebagai kategori ideal bagi para santri senior. Banyak santri senior yang mengidamkan untuk berhubungan intim dengannya. Sehingga si santri baru sangat diistimewakan. Bahkan dia hidup di pesantren dengan manjanya. Uang saku disediakan, baju dicucikan, tugas dikerjakan yang pada awalnya seperti biasa. Hal ini berkelanjutan pada periode selanjutnya oleh korban awal. Setelah para santri senior yang sebelumnya sering dijadikan objek, namun pada periode penerimaan santri baru selanjutnya si korban akan menjadi pelaku dan mencari korban di bawahnya. Laiknya rantai seks yang terus berkaitan dan tanpa ujung. Sebenarnya mereka normal secara orientasi seksual. Hanya saja akibat kondisi so-
siologis para santri akibat peraturan yang ketat, terpisahnya antara pondok putra dan putri, kurangnya intensitas pertemuan dengan lawan jenis menjadi alasan yang kompleks untuk melakukan seks secara sejenis. Dari penelitian Syarifuddin penulis buku Mairil, perilaku tersebut hanya bersifat sementara yaitu hanya saat menjadi santri. Namun setelah lulus bisa saja kecenderungan tersebut melekat dan berkelanjutan. Laiknya sebuah keluarga pada umumnya, mereka semua berkeluarga dan mempunyai anak. Karena orang yang melakukan itu hanya iseng bukan tergolong homoseksual (bagi kaum laki-laki) atau lesbian (bagi kaum wanita). Mereka melakukan perilaku seks itu hanya sekadar menyalurkan libido seksualnya yang memuncak karena tak ada pelampiasan lain selain berhubungan sejenis. Jadi untuk menjurus kepada LGBT stadium lanjut kemungkinan sangat sedikit lah. Tapi kejadian seperti ini bisa diasumsikan sebagai kecenderungan orientasi seks sementara. Kecuali mereka yang tidak bisa move on dari kecenderungan tersebut sehingga penyaki nyeleneh itu berlanjut setelah lulus (tersenyum sedih). Hal inilah yang harus diubah dari budaya Mairil yang terjadi di pesantren. Titik solusinya adalah pengekangan terhadap peraturan atas pertemuan santri dan santriwati dapat dilonggarkan, namun tetap mengikat. Karena benar adanya jika peraturan intensitas pertemuan yang memaksa cenderung akan memancing hal-hal seperti penyimpangan tersebut akibat masa puberitas saat nyantri tidak terpenuhi. Sejatinya peningkatan intensitas pertemuan dengan lawan jenis di pesantren namun tetap mengikat dapat meminimalisir kuatnya libido secara psikologis para santri agar tak melakukan yang disebut budaya mairil.
Firmansyah Putra Pimred LAPMI Sumenep
Ringan dan kritis | Halaman 9
RESENSI Sosok Wanita Tangguh Ibu Wakil Presiden
Tittle Production Director Producers Writers Actors
M
au tahu bagaimana rasanya dimadu? Ya, film Athirah berkisah tentang getirnya hidup seorang wanita yang merawat sembilan anak dengan kondisi sebagai seorang istri yang dimadu (poligami) oleh suaminya dan terdapat juga elemen budaya khas adat Bugis di Makassar. Athirah adalah film drama keluarga Indonesia diproduksi oleh Miles Films yang disutradarai oleh Riri Riza, sutradara yang banyak menginspirasi melalui berbagai filmnya salah satu filmnya yang- menginspirasi dan termasyhur adalah Laskar Pelangi. Pada mulanya Athirah adalah sebuah film biografi yang diadabtasi dari novel berjudul sama karya Alberthiene Endah yang memotret suatu periode kehidupan nyata keluarga Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla. Film ini bukanlah kisah dari tokoh penting atau pahlawan Indonesia, namun hanya sebuah film yang menceritakan sebuah kisah di- Makassar tentang seorang Ibu dari Wakil Presiden kita. Ada banyak kisah inspiratif dan edukatif yang dapat kita serap dari pemeran utama dalam film ini. Bagaimana tidak, tokoh utama Athirah sendiri menceritakan tentang latar kehidupan seorang wanita didalam bersosial-masyarakat yang berbeda dengan kondisi wanita saat ini, dimana kondisi wanita saat ini mendadak alay lewat media sosial dengan mengekspos persoalan keluarga di jejaring sosial media, sedangkan yang digambarkan oleh tokoh Athirah sendiri menggambarkan tentang wanita tangguh dan memiliki kehormatan sesuai kodratnya dengan menyelesaikan permasalahan keluarga melalui hal positif. Maka, Ringan dan kritis | Halaman 10
: Athirah : Miles Film : Riri Riza : Mira Lesmana : Salman Aristo, Riri Riza : Cut Mini, Christoffer Nelwan, Indah Permatasari, Tika Bravani, Jajang C Noer, Arman Dewarti
film Athirah sendiri sangat cocok bagi para wanita yang memiliki kehormatan sejati meskipun cintanya telah dikhianati, wanita yang dapat mengubah rasa pahit empedu sebuah kehidupan menjadi semanis gula. Cerita Athirah dibuka dengan potret sebuah keluarga bahagia pada tahun 1950 an, waktu disaat Indonesia baru beberapa tahun menikmati kemerdekaan. Athirah bersama suami, Haji Kalla alias Puang Aji dan anak-anaknya hijrah dari Bone ke Makassar untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka mengawali kehidupan di Makassar dengan membangun bisnis bersama dari nol hingga akhirnya menjadi saudagar yang sukses. Kehidupan rumah tangga Athirah dan Puang Aji berjalan dengan bahagia dan dikaruniai banyak anak, salah satunya adalah Jusuf Kalla alias Ucu. Namun siapa sangka, cobaan datang tepat di puncak kesuksesan mereka. Sang suami yang jadi saudagar terpandang, diam-diam terpesona dengan wanita lain dan akhirnya memilih untuk hidup berpoligami. Disaat seperti inilah Athirah menunjukkan kehormatan sejati sebagai seorang wanita meskipun cintanya dikhianati, dia tidak mellow dan hanyut dalam kesedihan. Athirah sadar, poligami adalah hak seorang lelaki termasuk suaminya sendiri. Tapi itu bukan alasan untuk jadi wanita tak berdaya, Athirah dengan segala perjuangannya berusaha mengubah rasa getir menjadi semanis gula di depan anak-anaknya. Kekuatan ini bermula dari diskusi Athirah dengan ibunya, Mak Kerah yang kemudian menghadiahi Athirah dengan sarung sutra pemberian mertuanya, saat itu Mak Ker-
ah pun bertutur bahwa dirinya pun dahulu adalah istri keempat dari ayah Athirah. Athirah memutuskan untuk mengisi waktu luangnya dengan memiliki bisnis sendiri, jika sebelumnya dia hanya membantu sang suami menjalankan sebagian bisnis mereka, kini dia memilih untuk melebarkan sayap dengan berdagang sarung sutra. Sedikit demi sedikit, Athirah dapat menabung keuntungan penjualannya dengan membeli emas dan menyimpannya di bawah kolong ranjangnya. Ketika perekonomian Indonesia tak menentu pada masa itu, tabungan emas inilah yang menyelamatkan usaha Puang Aji dari kebangkrutan. Tanpa emas-emas Athirah, mungkin kita tak bisa melihat perusahaan warisan Haji Kalla seperti sekarang ini. Cerita ini menunjukan kepada setiap ibu yang berdedikasi kepada keluarga di luar sana bahwa tidak bisa melawan bukan berarti berhenti berjuang, diam tidak melulu harus resort ke lemah, justru kekuatan tercipta dari keheningan yang lama di hati akibat terluka, seperti hati Athirah. In a way, apa yang diperlihatkan di film ini punya kontras mengerikan dengan how woman portrayed their fight today. Kini nama Athirah diabadikan pada nama sekolah milik “Yayasan Kalla”, sesuai impian Ibu Athirah yang ingin membuka sekolah agar bisa mendidik anak-anak bangsa ini. Sekarang di Makassar siapa yang tidak kenal dengan Sekolah bertaraf internasional “Athirah” mulai dari tingkat TK hingga SMA.
Achmad dwi putra
LENSA
Minggu (9/10/2016), SOSLEM LAPMI Sinergi pada Lk 1 HMI Komisariat FEBI Pondok Pesantren Darul Ulum, Potorono, Bantul.
Minggu (9/10/2016), Penyerahan Sertifikat dari Panitia kepada Pemimpin Umum Lapmi Sinergi Lk 1 HMI Komisariat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jl. Wonosari km 8 Potorono, Bantul.
Minggu,(25/9/2016), RAKER Pengurus Lapmi Sinergi periode 2016/2017.
Selasa (20/9/2016), foto bersama setelah UPRADING LITBANG oleh Fitriani Nasution
Ringan dan kritis | Halaman 11
ig: @ummah_production ini isinya jilbab yang ku jual @ummah_konveksi ini isinya galeri contoh baju-baju ataupun jilbab pesanan org yg pernah dibikin
alamat : Sonopakis lor, Rt 04, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Dekat Universitas PGRI Yogyakarta CP : 089665600464 Menerima pesanan jilbab dan gamis. menerima jasa jahit jilbab, gamis, mukena, dan busana muslim lainnya. Siap bekerjasama dalam bidang produksi bagi pengusaha busana muslim.