S A PA R E D A K S I
Bukan Gagal Paham, Tapi Gagal Fakta!
“
“
Majalah Sinergia Volume XXII mengangkat kecerobohan Hanum Rais, dengan sengaja menyandingkan sosok pahlawan nasional dengan Ratna Sarumpaet. Kebohongan itu perlu kita soal, kita sorot dan kita kritik.
Banyak sekali peribahasa yang menungkapkan realita. Bukan peribahasa yang bual akan fakta. Jangan heran, era yang semakin canggih seharusnya semakin mudah, malah menjadi sulit. Akibat bualan yang dilakukan terhadap fakta. Nyatanya, baru kemarin sosok yang dikenal kalangan muda, penulis cantik jelita, berulah terhadap fakta. Apakah iya, yang disampaikan membuat dirinya banyak dibully oleh banyak warga. Akibat dari menyandingkan sosok pahlawan nasional (Cut Nyak Dien dan RA Kartini) dengan Ratna. Ratna Sarumpaet yang baru saja mengakui kesalahannya, atas pemberian informasi palsu tentang dirinya terhadap khalayak ramai. Terbukti, teknologi yang seharusnya membangun beradaban, malahan berbalik menjadi adab yang tak beradab. Terlalu mudah Hanum Rais menyimpulkan pernyataannya. Sedangkan jasa pahlawan yang ia seret-seret tidak sebanding dengan kelakuan Ratna Sarumpaet. Seenaknya berdendang, pahlawan kita yang meradang! Atas dasar itu, Majalah Sinergia Volume XXII mengangkat kecerobohan Hanum Rais, dengan sengaja menyandingkan sosok pahlawan nasional dengan Ratna Sarumpaet. Kebohongan itu perlu kita soal, kita sorot dan kita kritik. Bukan karena gaulnya era yang serba teknologi, lantas semua hal dikritisi tanpa memberi solusi. Bukan hanya perihal hoaksnya Hanum Rais, ada banya bahasan yang kami suguhkan untuk penikmat Sinergia. Agar tidak gagal terhadap fakta, mari dibuka dan dibaca. Redaksi
MAJALAH SINERGIA Diterbitkan oleh LAPMI SINERGI Nomor SK Pengurus HMI Cabang Yogyakarta No. 11/KTPS/A/08/1418 Pimpinan Umum: Muchlas Jaelani | Sekretaris Umum: Hutri Rohmania | Bendahara Umum: Ubaydillah | Pemimpin Redaksi: Fahmi Mubarok | Redaktur: Ach. Faridatul Akbar, Apipuddin, Salim Shabir | Litbang: Rully M. Baba, Refan Adiyta, Fuad Fathul Madjid | Editor: Qodri Syahnaidi | Ilustrasi: Misye M. Paradistin, Adik Kecil | Layouter: Achmad Farid Akbar | Pimpinan Perusahaan: Faiz Rifqy AK | Promosi: Ikhsanuddin Muas, Dika Dwi Yurlita Email lapmisinergi@gmail.com
Instagram @lapmisinergijogja
Kantor Jl. Ampel, Papringan, Caturtunggal, DIY
DAFTAR ISI
8-11 | S E L A S A R DRAMA QUEEN:
HANUM RAIS SENANG KARTINI-CUT NYAK DIEN MERADANG?
“Saat ini saya bersama Bunda Ratna Sarum paet, saya bisa merasakan, beliau buat saya adalah Cut Nyak Dien masa kini, Kartini masa kini adalah Bunda Ratna Sarumpaet” -Hanum Rais.
19-22 | P E R S E P S I 90 TAHUN SUMPAH PEMUDA:
MEREMAJAKAN BAHASA PERSATUAN INDONESIA Sketsa biografis dan perjalanan bangsa Indonesia yang penuh dengan kobaran semangat patriotis itu digerakkan oleh kaum muda. Itulah masa—yang dalam istilah Takaishi Siraishi di- sebut—”zaman bergerak”. Kaum muda yang “marah” meman- tapkan tekad melalui pledoi heroik: penjajah harus pulang, jika tidak mau, akan dipaksa hingga darah penghabisan. Pada saat yang sama bahasa Indonesia juga menjadi instrumen perlawanan terhadap koloni
39-41 | P O J O K J O G J A
PENTINGSARI: LABORATORIUM WISATA ASIA 42-44 | P U S T A K A Faiz Rifqy
27-29 | I N S P I R A S I Asep Irama
KARENA JURNALISME BUKAN MONOPOLI WARTAWAN 16-18 | O P I N I Bernando J. Sujibto
HOAKS ITU BERNAMA HANUM
12-15 | W A W A N C A R A Cania Citta Irlanie
BENDUNG HOAX DENGAN PERKUAT LITERASI INFORMASI 30-38 | P E R S P E K T I F Muhammad Shofa
HANUM RAIS DAN KEDANGKALAN PENGETAHUAN SEJARAH
4
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
PEMUDA DESA TELADAN MILENIAL INDONESIA 23-26 | K O L O M Fandrik Ahmad
HOAKS DAN DRAMA PROPAGANDA RATNA SARUMPAET Keteladanan kiprah perempuan, Cut Nyak Dien dan RA Kartini, dalam sejarah ke merdekaan menjadi sumbang oleh anomali historiografi fiktif dari seorang Hanum.
SURAT PEMBACA
INVESTIGASI LANGSUNG Saya pembaca setia Sinergia, kontenkontennya ringan dan enak dibaca. Masukan untuk Sinergia, tambah rubrikasi yang mengulas investigasi langsung. Ini merupakan muatan rubrik yang cukup subtansial, dan kaya akan data. Semoga Sinergia se makin ringan dan kritis! Ach. Fuad Fahmi Az (Kader HMI Cabang Malang Komisariat AlTsawrah UNISMA)
JAWABAN: Terima kasih atas saran yang mem ba ngun. Perihal aplikasi rubrikasi in ves tigasi langsung akan menjadi pembahasan diinternal kami, terima kasih sudah menjadi pembaca setia Sinergia.
INFORMASI DAERAH Ada baiknya Sinergia menyoroti per soalan-persoalan yang ada didaerah. Agar tidak hanya fokus pada satu titik tempat saja. Jarang sekali pers mahasiswa melakukan itu. Semoga Sinergia bisa menginiasiasi! Arieny Fitriya Nurhidayati (Editor Argumentasi.com, Aktif di Komunitas Literasi Perempuan Jember Selatan)
JAWABAN: Perihal informasi daerah sudah men jadi agenda pembahasan re dak si. Ter bitan volume selanjutnya akan kamu upayakan. Terima kasih atas sarannya.
TOKOH MUDA MENGINSPIRASI Salam kawan. Menarik kalau Siner
gia menambah satu rubrik yang me ngulas anak muda yang menginspi ra si. Mulai dari prestasi-pres tasi dan gaya hidupnya. Saya kira akan banyak memotivasi kalangan muda saat ini. Bravo Sinergia! Frangky Dwi Damai (Direktur Uta ma LAPMI Cabang Singaraja, Bali)
JAWABAN: Terima kasih atas saran yang cemer lang. Kami akan rapatkan diinternal mengenai rubrik tokoh muda yang menginspirasi. Jangan bosan-bosan menjadi penikmat Sinergia!
CHANNEL YOUTUBE SINERGIA Saya penikmat Sinergia sejak lama. Saya suka dengan ide dan gagasan yang diangkat oleh redaksi Sinergia. Alangkah lebih baiknya, bukan ha nya membuat produk media cetak saja, tetapi menambah produk audio visual (channel youtube). Akan lebih menarik jika itu bisa dikembangkan. Semoga terus memberikan informa si yang baik untuk khalayak ramai. Terima kasih. Yonk Baskoro (Alumni Politeknik API Yogyakarta, sekarang tinggal di Washington, D.C., USA)
LAPMI SINERGI GARDA TERDEPAN Hal yang saya tunggu-tunggu ketika Majalah Sinergia hendak terbit. Konten yang diangkat selalu kontrofersial. Semoga Sinergia khususnya LAPMI SINERGI sukses dengan karya-karya yang sangat menarik untuk dinikmati, serta menjadi garda terdepan untuk LAPMI se Indonesia. Salam Literasi! Ariyanto (Direktur Utama LAPMI Cabang Pontianak)
JAWABAN: Terima kasih atas saran dan doanya. Semoga Allah SWT mengijabahkan segala keinginan dan harapan kita semua, khususnya LAPMI se Indonesia.
TRAINING JURNALISTIK Selain karya-karyanya, LAPMI SINERGI dikenal dengan gebrakan intelektual. Saran saya, Training Jurnalistik LAPMI lebih diintenskan kembali, agar kader-kader banyak berminat untuk belajar jurnalistik. Maju terus LAPMI SINERGI! Alfi Abdillah Ramadhani (Kader HMI Cabang Yogyakarta)
JAWABAN:
JAWABAN: Terima kasih telah memberikan saran dan menjadi penikmat Sinergia. Perihal produk audio visual (youtube) sudah ada rencana untuk memulai, sekaligus hal ini akan kami jadikan rekomendasi.
Terima kasih atas kritik dan saran yang sangat membangun. Perihal training Jurnalistik akan menjadi pembahasan diinternal kami. Karena training jurnalistik merupakan pintu pertama kader HMI belajar jurnalistik bersama LAPMI. Semoga kita dapat bersinergi untuk kemajuan LAPMI kedepannya.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
5
EDITORIAL
HANUM RAIS BERDENDANG, CUT NYAK DIENRA KARTINI MERADANG Hanum Rais telah menyampaikan presenden buruk demokrasi. Bagaimana tidak, putri Amin Rais itu menyampaikan drama ‘kesedihan’ dalam sebentuk video yang menyebut Ratna Sarumpat - seorang naif yang kini tengah dikurung di jeruji besi - sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini.
H
anum Salsabiela Rais menyebut Ratna Sarumpaet (RS) sebagai Cut Nyak Din dan Kartini masa kini. Perumpaan yang justru meluruhkan keluhuran laku dua srikandi bangsa Indonesia itu. Jika ditilik lebih jauh, tindakan Hanum sejatinya merupakan upaya mengglorifikasi drama kebohongan RS. Jika Hanum lebih mengedepankan keadaban, ia akan melakukan verifikasi. Sayang sekali ia menanggalkan konsep tabayun
6
dan berada di garda depan dalam parade hoaks RS. Hanum Rais telah menyampaikan presenden buruk demokrasi. Bagaimana tidak, putri Amin Rais itu menyampaikan drama ‘kesedihan’ dalam sebentuk video yang menyebut Ratna Sarumpat - seorang naif yang kini tengah dikurung di jeruji besi - sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini. Tanpa pertimbangan historis yang matang, Hanum Rais telah memaksa
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
menyeragamkan jasa heroik Pahlawan Nasional RI dengan si pembuat hoaks terbaik hari ini, Ratna Sarumpaet. Tentu saja, hal tersebut merupakan bentuk kedangkalan persepsi yang ditampilkan melalui pemujaan secara berlebihan kepada kalangan oposisi. Bahkan, parade drama Hanum -meski video tersebut sudah lenyap dari akun Twitter miliknya- menunjukkan kesempitan perspektif sejarah. Bahkan, ayahandanya, Amien Rais, justru mengamini laku memalukan itu. Padalah, sepanjang karir literasinya, perempuan kelahiran Yogyakarta, 12 April 1982 ini memiliki rekam kecerdasan naratif yang diakui banyak orang. Fiksi yang ditukisnya bahkan hingga kini digandrungi oleh pembaca
roman hingga bahkan difilmkan. Kemampuan menulis fiksi Hanum Rais memang luar biasa. Meski demikian, bukankan fiksi yang ditulis Hanum selama ini sekadar rekaan, un-faktual, dan ilusi, sebagaimana laku dirinya saat berdrama menyebut Bunda Ratna dan Bunda Neno adalah Cut Nyak Dien dan Kartini masa kini? Pernyataan Hanum, bagaimanapun, telah memangkas kerja intelektualnya selama ini. Hanum bukan lagi sebagai seorang penulis narasi andal yang terjebak (bahkan bersama-sama) pada kebohongan konspiratif yang memalukan. Hanum, meski dirinya menghapus video drama dan denga cepat meminta maaf, telah dicatat oleh publik sebagai pembuat naskah kebohongan yang fasih untuk mendiskreditkan sebuat pemerintahan solid. Hanum telah memecah-belah keadaban bangsa Indonesia. Ayahanda Hanum Rais, Amien Rais, memang banyak dirasakan publik sebagai pribadi yang berubah dari insan itelektual menjadi insan kontroversial. Bahkan, Amien Rais tak jarang menyebut ilustrasi tak pantas soal model kepemimpinan pemerintah. Intelektualitas Amien Rais seketika terendus dan berubah menjadi politik oportunitik.
Background kecendiakawanan Amien Rais juga memudar seiring banyak pernyataan non-ilmiahnya yang bukan saja tidak akademis, tetapi juga partisan. Hanum Rais tampaknya memiliki “kebohongan genetik� yang diturunkan dari Amien Rais. Sebagain figur pengarang, Hanum Rais juga telah membuat gejolak luar biasa yang bisa saja menjerumuskan Bangsa Indonesia ke dalam konflik horizontal luar biasa, melalui drama kebohongan Ratna Sarumpaet. Ratna memang sudah dipenjara, tetapi ingatan publik tentang Hanum Rais akan terus membekas. Hanum tidak seperti dicitrakan dalam banyak kisal novel dan filmnya, jauh dari itu, Hanum adalah pribadi yang naif menyetarakan figur pahlawan emansipasi dengan tersangka kasus kejahatan hukum. Upaya menyamakan RS dengan Cut Nyak Dhien dan Kartini menunjulkan bahwa Hanum kurang paham sejarah. Bahkan, ia telah melucuti keluhuran dua srikandi bangsa Indonesia. Betapa tidak, Cut Nyak Dhien adalah pahlawan yang begitu dihormati karena perang gerilyanya mengusir penjajah dari Indoneia. Begitu pun dengan Kartini, ia menjadi simbol gerakan emansipasi karena keberanianya
dalam berupaya untuk memupus kultur patriarkhal yang mengakar kuat pada masa itu. Dalam satu fragmen historis, ketika suami keduanya gugur, Cut Nyak Dhien memimpin sebagian pasukan kecil berperang di hutan. Usianya sudah renta, matanya mulai lamur, dan badannya terkena encok. Tetapi, dia tak mudah menyerah pada Belanda. Bahkan, Belanda pun sangat berhati-hati terhadapnya. Belanda tahu, setelah Teuku Umar gugur, dialah api pembakar semangat rakyat Aceh. Sementara Kartini memilih berjuang di jalan literasi. Meski tidak terlibat kontak fisik, perjuangannya sangat progresif. Goresan tintanya menjadi inspirasi perjuangan perempuan yang tak lekang oleh waktu. Pada tahun 1899, surat Kartini merujuk tentang kerumitan adat Jawa yang menata tata laku yang menurutnya berlebihan. Terdapat pembedaan perlakuan yang Kartini rasakan dalan naungan keningratan keluarganya. Para adik Kartini harus berjalan merangkak saat melewatinya. Sembah dalam setiap kalimat maupun pertemuan menjadi hal yang tak boleh absen dari adik-adik Kartini di hadapannya.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
7
SELASAR
MEMORI PUBLIK AKAN TERUS MENGINGAT DRAMA HANUM
A
wal Oktober 2018, jagat politik nasional diguncang kabar penganiayaan seorang aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, yang juga merupakan salah satu tim pemenangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. Kabar itu sontak membuat sejumlah kalangan beraksi. Mereka menyatakan sikap, mengutuk, bahkan menyebut tindakan itu merupakan bentuk represifitas. Ketua Umum Partai Gerindra didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fandi Zon dan Politikus PAN Amien Rais, merespons kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet dengan menggelar konferensi pers di kediamannya, Jalan Kartanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (2/10/2018). Dalam keterangannya, Prabowo Subianto mengaku prihatin, kaget, dan kecewa atas dugaan
8
penganiayaan tersebut. Pada kesempatan lain, putri Amien Rais, Hanum Salsabila Rais, melalui akun Instagramnya @hanumrais pada pada Selasa (2/10/2018) mengunggah video yang menunjukkan dirinya sedang berjalan dengan Ratna Sarumpaet. “Saat ini saya bersama Bunda Ratna Sarumpaet, saya bisa merasakan, beliau buat saya adalah Cut Nyak Dien masa kini, Kartini masa kini adalah Bunda Ratna Sarumpaet dan mungkin Bunda Neno Warisman,� ucapnya sambil terisak. Pernyataan sikap yang terkesan reaksioner itu kemudian menjadi senjata makan tuan. Penyebabnya karena Ratna mengaku bahwa dirinya telah melakukan kebohongan publik. Ia tidak benarbenar dianiaya. Lebam di mukanya disebabkan karena ia melakukan operasi plastik.
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Menanggapi pernyataan Hanum, peneliti di Institute HumakInd and Political Studies, Ahmad Naufel, menyebutkan bahwa Hanum telah melakukan glorikasi kebohongan. Upaya menyamakan Ratna dengan sosok Cut Nyak Dien dan Kartini baginya adalah tindakan berlebihan. Menurutnya, komparasi itu tidak tepat, Ratna dan Cut Nyak Dien bagaikan bumi dan langit. Glorifikasi kebohongan, menurut Ahmad Naufel, adalah tindakan untuk meluhurkan kebohongan. Menjelang Pilpres 2019, tindakan demikian banyak ditemukan. Ahmad Naufel menerangkan bahwa bentuk glorifikasi hoaks dapat dilihat dari sejauh mana seseorang mengimajinasikan serta melakukan fantasi yang tidak sesuai dengan fakta sehingga kebohongan itu seolah-olah luhur dan bisa
diamini. Merujuk apa yang disebut Naufel, maka Hanum Salsabiela Rais termasuk orang yang telah melakukan upaya demikian. Ada banyak cara, tambah Naufel, untuk melakukan tindakan demikian, seperti berdrama laiknya aktris atau melalui tulisan yang begitu mengagung-agungkan sesuatu. Padahal, imbuhnya, hal itu melenceng jauh dari fakta yang ada. “Wajar jika publik, utamanya nitizen akan menilai tangisan Hanum bagian dari drama. Itu konsekuensi yang harus ditanggung,” ujarnya. Terkait dengan drama, sosiolog Erwing Goffman dalam bukunya The Presentational of Self in Everyday Life mengistilahkannya dengan “dramaturgi”. Menurut Goffman, di dalam konsep dramaturgi terdapat dua bagian, yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Di panggung depan, seseorang memainkan peran yang bukan asli. Penuh kepalsuan. Sedangkan, di panggung belakang kita akan melihat kesungguhan. Di sini watak asli seseorang bisa ditemukan. Di samping itu, Ahmad Naufel menilai bahwa kesaksian Hanum bisa ditafsirkan secara politis. Sebab, menurutnya, Hanum adalah anak politisi kawakan, Amien Rais, yang notabene berada di barisan pendukung Prabowo-Sandi. “Bisa jadi, reaksi Hanum yang seperti itu mempunyai tendensi politis. Setidaknya, agar rakyat semakin tidak respect pada pemerintah,” Tetapi, Ahmad Naufel juga tidak menyangsikan ada kemungkinan lain yang melatari Hanum melakukan reaksi seperti itu. Dia mengatakan bahwa ketidak
hati-hatian dan mengedepankan emosi dalam menyatakan sikap bisa jadi sebagai titik picunya. Jika demikian, imbuh Naufel, Hanum tidak menyadari bahwa saat ini adalah tahun politik sehingga satu kesalahan saja bisa membuat dirinya tercoreng. Soal Hanum menjadi korban hoaks Ratna Sarumpaet memang tidak bisa dinafikan. Ini jelas terlihat pasca Ratna Sarumpaet mengakui bahwa dirinya telah melakukan kebohongan. Sebagai respons atas pengakuan itu, Hanum melalui akun Twitternya @hanumrais pada Rabu (3/10) meminta maaf. «Memohon maaf adalah ajaran besar dalam Islam ketika kita berbuat keliru. Saya secara pribadi mohon maaf atas kecerobohan dlm mengunggah berita meski telah bertabayyun pada ibu Ratna S langsung, hingga pada akhirnya yang bersangkutan telah mengaku berbohong. #KebohonganRatna,» ujarnya. Kendati demikian, Pegiat Literasi di Komunitas Kutub M. Ali Tsabit menyayangkan kesaksian Hanum. Menurutnya, meskipun Hanum telah menyatakan permohonan maaf, memori publik akan terus mengingat bahwa dia adalah sosok yang gampang termakan isu hoaks. Padahal, imbuh Tsabit, Hanum adalah pegiat literasi, ia penulis andal, banyak buku yang ditulisnya, sehingga sudah sepantasnya ia melakukan verifikasi terlebih dahulu dalam menyikapi dugaan kasus penganiayaan yang masih belum jelas. Pandangan Tsabit itu cukup beralasan karena bagaimanapun sebagai penulis Hanum harus
memberikan contoh pentingnya melakukan verifikasi. “Pada era media sosial ini ada banyak sekali informasi bohong yang tersebar. Para pegiat literasi perlu memberi contoh bagaimana seharusnya menyikapi hal itu,” ujar Tsabit. Di sisi lain, Tsabit juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan Hanum adalah contoh dari sebagian kecil masyatakat yang hidup di era pasca-kebenaran (post-truth). Pada tahun 2016, kata pasca-kebenaran (post-truth) oleh Kamus Oxford dinominasikan sebagai word of the year. Istilah ini mengemuka untuk merespons referendum Brexit dan kampanye Donald Trump, di mana objektif memiliki pengaruh yang lebih lemah daripada argumen emosional dan kepercayaan personal” (Flood, 2016). Dengan berpijak pada pemahaman di atas, sebenarnya tanggapan Hanum atas dugaan penganiayaan Ratna lebih mengedepankan dimensi emosional. Sehingga, menurut Tsabit, ketika Hanum bertindak demikian, ia pada dasarnya terjebak dalam kebohongan yang dibuat Ratna, karena ia hanya menggunakan pandangan emosional dan melupakan pandangan objektif. Di samping menyangkan tindakan Hanum, Tsabit juga menambahkan agar masyarakat tidak gampang percaya pada informasi yang tersebar di dunia maya. “Saat ini siapa pun bisa jadi ‘wartawan’, tapi tentu saja informasi yang dibuat tidak melalui etika jurnalisme sehingga kita perlu selalu berhati-hati,” kata M. Ali Tsabit.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
9
SELASAR
Ilustrasi: Sinergia
DR AMA QUEEN:
HANUM RAIS SENANG KARTINI-CUT NYAK DIEN MERADANG? “Saat ini saya bersama Bunda Ratna Sarumpaet, saya bisa merasakan, beliau buat saya adalah Cut Nyak Dien masa kini, Kartini masa kini adalah Bunda Ratna Sarumpaet” -Hanum Rais.
H
anum Rais mengucapkan kalimat satir itu dengan nada sedih sembari sesenggukan, seolah ia benar-benar tengah merangkul RA Kartini atau Cut Nyak Dien yang bangkit kembali dari kuburnya. Putri mantan ketua MPR (Amin Rais) itu berbicara lewat akun Instagramnya,
10
@hanumrais, pada Selasa (03/10). Akibat tindak heroisme berlebihan itu, membuat rakyat marah karena bisa-bisanya menyamakan Ratna Sarumpaet dengan pahlawan dari tanah Jepara dan Serambi Mekah. “Tindakan Hanum dengan manyamakan RS dengan Cut Nyak
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Dien sama saja merendahkan derajat pahlawan nasional asal Aceh yang sangat dihormati di sana,” sahut salah satu aktivis perempuan Aceh, Asiah Uzia. Ia menambahkan, Hanum harus menghayati perjuangan besar yang telah dilakukan Cut Nyak Dien untuk kemerdekaan RI, sehingga tidak dengan mudah mempolitasi hanya untuk kepentingan politis sesaat. Tidak hanya itu, berkat drama yang dilakukan Hanum itu kemudian membuat Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf mengirim
buku sejarah tentang Cut Nyak Dien dan RA Kartini untuk putri Amien Rais tersebut. Tujuannya apa?, “ya agar Hanum mengerti betul siapa Cut Nyak Dien dan Kartini. Agar kedepannya takkan ada lagi pahalawan nasional yang kehormatannya diturunkan hanya untuk persoalan politik elektoral,” kata Hasto Kristiyanto (Sekretaris TKN Jokowi-Ma’ruf). Meski Hanum telah meminta maaf, tapi tidak semudah itu luka hati rakyat langsung sembuh, karena bobot luka terkadung parah. Apa yang dilakukan Hanum semakin memperkeruh langit Indonesia yang kini tengah dilanda mendung hitam oleh tensi politik yang semakin memanas sejak sejak satu purnama lalu genderang perang kampanye politik resmi ditabuh. Kisah Hanum adalah bagian dari rentetan kisah sebelumnya, yakni ketika Kartini dan Cut Nyak Dien masa kini idolanya adalah penyebar kebohongan. Ratna Sarumpaet mengaku dianiaya oleh tiga orang tak dikenal di Bandara Husein Sasranegara, Bandung, pada 21 September 2018. Ceritanya, Ratna baru saja mengantar seorang tamu asing yang akan naik pesawat dari Bandung ke Jakarta. Ketika pulang, taksi yang ditumpanginya distop oleh orang tak dikenal dan ia pun dipukuli di dalam mobil. Foto-foto wajah Ratna Sarumpaet beredar cepat di sosial media dan media lainnya, dengan keadaan babak belur. Setelah jagat heboh, baru ia mengakuinya kalau hal itu hanya hoaks dan sebenarnya ia baru saja operasi wajah. Sontak saja publik shock dan merasa dibohongi.
Tidak bisa dimungkiri, kalau RS kini disebut-sebut sebagai pencipta hoaks terbaik tahun 2018, karena ia berhasil membuat banyak orang percaya soal berita penganiayaan yang sebenarnya adalah hoaks. Perlu diketahui, dampak hoaks tidaklah ringan, khususnya di tahun poltik. Taruhannya adalah akal sehat dan proses demokrasi itu sendiri. Dari Hanum hingga RS, keduanya adalah aktor utama drama Queen 2018. Mereka adalah ratu drama yang hidupnya dipenuhi dengan hal-hal yang didramtisir. Seorang aktor drama Queen itu mengeskploitisasi orang lain. Cenderung menipu. Ia mengangkat fakta tidak dengan benar, tapi dipresentasikan berlebihan. Ia tidak proporsional. yang baik diredam dan yang buruk didramatisir. Dan yang lebih buruk lagi, kita menjadi cengeng dan rapuh.
HOAKS ADALAH EPEDEMI Dalam buku Hannah Arendt, Wahrheit und Luge in der Politik— Kebenaran dan Kebohongan Politik (1971), menjabarkan bahwa kebenaran sulit menjadi kriteria politik karena politik memang tidak berkenaan dengan kebernaran, tetapi dengan naluri mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Jadi memang di mana-mana politik memang tak bisa terpisahkan dari kebohongan. Arendt menambahkan, politik itu bergerak sedemikian rupa sehingga berhasil mendepak jauhjauh kebenaran. Politik menjadi sekadar upaya mempertahankan kekuasaan yang malah cenderung
jadi permainan. Berangkat dari itu, tentu hal ini kemudian bukan menjadi pembenaran kalau kebohongan dilegalkan dalam politik. Adagium “Who get What, When, How” sebenarnya hanya sentilan bahwa tidak ada pembenaran kalau cara untuk mendapat sesuatu dalam politik harus menghalalkan segala cara. Politik kebohongan dalam politik adalah epidemi irasionalitas. Epidemi ini ditandai dengan hilangnya penalaran-penalaran yang rasional dan pudarnya kesadaran atas pentingnya proses verifikasi sebelum sampai pada suatu konklusi: orang serba gresagrusu, terburu-buru, spontan, instan dan tanpa memikirikan kebenaran dan kepantasan yang melandasinya. Hoaks atau politik kebohongan adalah sejenis penyakit yang tak hanya menyerang satu-dua orang, tetapi menjangkiti banyak orang tak pandang bulu. Di dunia ini memang ada orang pernah membunuh, orang mencuri, orang berselingkuh, dan yang tidak melakukan ketiganya lebih banyak. Tetapi tak pernah ada orang yang tak berdusta atau berbohong, semua pasti pernah berbohong. Tapi kan bohong itu penyakit membahayakan, yang kalau dipelihara akan membuat dunia semakin sesak. Maka, kata novelis dan esais Jean Paul, bohong adalah kanker ganas di bibir hati terdalam manusia. Kata penyair Heinrich Heine, kebohongan bahkan bisa menyelip ke dalam ciuman dan kepura-puraan, membuat kepurapuraan dan penipuan menjadi nikmat dan manis. (mj/fz/iks)
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
11
WAWANCARA EKSKLUSIF
Hariqo Wibawa Satria
HOAKS ITU SEPERTI SETAN YANG TERUS MENGGODA Foto: Sinergia
H
oaks, atau berita bohong, bukan barang baru di jagad kehidupan manusia. Ia terus diproduksi berulang, dengan model dan kepentingan yang beragam. Telah banyak cara dilakukan, melalui regulasi hingga sabotase. Tetapi, hoaks masih saja menjadi andalan sensaional kalangan tertentu untuk memuluskan muslihat mereka. Dengan situasi di mana masyarakat Indonesia tidak melek literasi, hoaks justru tumbuh subur di sana. Redaksi Majalah Sinergia berkesempatan untuk mewawancara Hariqo Wibawa Satria, Direktur Eksekutif Komunikonten , Institute Media Sosial dan Diplomasi, melalui sambungan surat elektronik.
12
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Sebagai generasi milenial, bagaimana Anda menanggapi fenomena hoaks yang semakin marak di tahun politik? Hoax sudah lama ada, setiap hari kita temui ada hoax di bidang kesehatan, hoax dari para buzzer produsen makanan dan minuman, dll. Internet, hp, laptop membuat hoax mudah diproduksi dan disebarkan. Tidak hanya di
Salah satu yang sedang viral adalah hoaks yang dilakukan Ratna Sarumpaet, apakah Ratna mempunyai maksud politik? Saya dengar langsung penjelasan Pak Mahfud MD dalam sebuah pertemuan, di situ saya menyimpulkan sejauh ini tidak ada maksud politik. Soal maksud politik tugas polisi membuktikan. Sebelum dipecat dari timses, Ratna ada di kubu Prabowo-Sandi (PS), lawan politiknya dari kubu Jokowi-Maruf (JM) mengatakan hoax Ratna ini bermaksud politik. Yang saya lihat sekarang, kubu JM mempertahankan kasus hoax Ratna agar terus dibicarakan, lalu dibalas oleh kubu PS dengan mengungkit hoax yang diciptakan kubu JM.
“
Uang yang kita peroleh dari memproduksi kebohongan haram. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan konten.
“
Indonesia, di seluruh dunia banyak yang tidak siap menghadapi sisi buruk kemajuan teknologi, meskipun internet sudah ada sejak 1969 di Amerika dan sejak 1993 di Indonesia. Alquran dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sudah lama memerintahkan agar setiap kita meneliti pembawa berita dan berita itu sendiri. Sudah ada UU ITE, banyak kampanye anti hoax, literasi media, dll. Bagi yang punya waktu luang dan kuota mudah melakukannya, namun bagaimana dengan mereka yang bekerja sebagai supir, dokter, perawat, pilot, pramusaji dan masyarakat kebanyakan yang punya sedikit waktu memastikan kebenaran sebuah informasi. Karenanya upanya memberantas hoax harus dilakukan setiap kita, hukum produsen hoax. Pemerintah juga harus tegas kepada pengusaha media sosial, bukan semata kepada pengguna medsos.
-Hariqo Wibawa Satria (Direktur Eksekutif Komunikonten)
Tujuan keduanya sama yaitu menurunkan elektabilitas lawan. Bagaimana tanggapan Anda mengenai pernyataan Hanum yang menyamakan Ratna sebagai sosok Kartini dan Cut Nyak Dien masa kini? Posisi Hanum meyakini bahwa RS dianianya, sehingga Hamun mengatakan Ratna sebagai Cut Nyak Dien masa kini. Apalagi melihat rekam jejak Ratna Sarumpaet yang sejak zaman orde baru hingga reformasi selalu jadi oposisi. Setelah ia tahu bahwa RS berbohong Hanum minta maaf dan kecewa berat dengan RS. Saya dan Anda awam dan banyak sekali politisi awam soal penyebab bengkak atau lebabnya muka seseorang. Namun, harusnya mereka lebih teliti, karena di hp mereka ada nomor dokter, polisi, psikolog, psikiater yang bisa diminta tolong mengecek, sebelum memutuskan menggunggah di medsos apalagi konferensi pers. Di sini penting juga setiap organisasi tim sukses merekrut anggota tim dari latar belakang berbeda seperti dokter, psikiater, psikolog, dan lainlain. Apa pesan dan saran Anda menanggai isu hoaks yang
kemungkinan akan semakin banyak pada tahun politik ini? Tegur baik-baik, jika ada teman kita atau siapa pun yang mengirim hoax, fitnah di grup whatsapp dan medsos. Jangan kita diam, kalau kita diam maka dia merasa benar. Kalau kita diam artinya kita membiarkan dia salah dan kesalahannya bisa meruntuhkan pondasi NKRI ini. Atau kirim pesan pribadi yang ke yang bersangkutan, ini salah satu yang selama ini saya lakukan sampai sekarang. Niatkan tulus kita sama-sama melawan hoax. Anggap semua orang itu saudara kandung kita, yang kita tidak ingin mereka dihujat orang karena memproduksi atau menyebar hoax. Untuk pemerintah, rangkul semua pihak, berikan contoh dengan pengelolaan website dan medsos yang baik. Pastikan akunakun medsos pemerintah dan website pemerintah isinya tidak ada yang hoax. Ini tidak hanya pemerintah pusat tapi juga daerah. Kemudian tegas kepada pengusaha media sosial. Pengusaha medsos ini untungnya besar sekali, namun upaya mereka melawan hoax belum benar-benar serius. Untung para konsultan seperti saya, jangan pernah kita mau diminta memproduksi konten bohong. Uang yang kita peroleh dari memproduksi kebohongan haram. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan konten. Hidup ini maksimal 100 tahun setelah itu akan meninggal dunia. Hoax itu seperti setan, ia setiap hari menggoda kita. Karena kita harus hati-hati, jangan karena pendidikan kita tinggi kita tidak waspada.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
13
WAWANCARA EKSKLUSIF Cania Citta Irlanie
BENDUNG HOAX DENGAN PERKUAT LITERASI INFORMASI
M
enurut Alexis de Toqcueville (2013), di negara demokrasi, setiap generasi adalah manusia baru. Ge nerasi ba ru ini pun mengisi kekosongan gerakan po litik Indonesia pasca-Orde Baru. Generasi milenial adalah satu- satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tum buh berbarengan de ngan ber kembangnya teknologi. Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama pada perubahan iklim, hingga kebija kan pelayanan kesehatan. Me reka menggunakan media sosial dan internet untuk berkomuni kasi yang selangkah lebih maju dari generasi sebelumnya. Tetapi, yang justru jadi soal, melek me dia kalangan milenial tersebut tidak dibarengan dengan kerja literasi yang matang. Akibatnya, banyak sekali konflik maya yang hadir gara-gara berita bo hong, provokasi, dan agitasi. Re dak si Majalah Sinergia berkesampatan mewawancara Cania Citta Ir lanie, Head of Content GeoLive ID melalui pesan surat elektronik. Sebagai generasi melenial bagaimana Anda menanggapi hoax semakin marak ditahun politik?
| SINEGIA 14 Foto: Instagram
| EDISI-XXII OKTOBER 2018
Sebenarnya tidak ada hubunganya sama generasi apa pun. Tapi, menurut saya hoax itu mengenai literasi informasi. Jadi kemampuan orang untuk, bukan hanya menerima informasi saja tetapi menguji-bandingkan dan baru menilai kualitas dari sebuah informasi. Saya pikir hoax akan terus ada, bukan cuma pada wilayah politik saja, ada juga hoax di dunia medis yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Tapi, masyarakat kita masih saja mengikutinya. Hal itu berasal dari kebiasaan mempercayai sesuatu tanpa bukti. Media sosial adalah hal paling besar yang memenuhi masifnya hate speech atau ujaran kebencian, bagaimana Anda melihat hal itu? Sebanarnya bukan sosial medianya yang membuat ini semua jadi massif. Dari dulu kita melakukan komunikasi tetapi belum tentu dari dulu kita tidak melakukan provokasi atau hoax. Media sosial membuat informasi lebih mudah masif dan lebih mudah dindistribusikan. Perkembangan teknologi sebenarnya kurang relevan jika dijadikan center diskursus. Jadi bukan media sosialnya yang dipersalahkan. Pertanyaanya, kenapa masyarakat dari zaman ke zamam perkembangan imunitasnya terhadap kebohongan tidak signifikan. Padahal, dengan media sosial dan teknologi yang semakin maju, memudahkan klarifikasi atas informasi yang salah atau tidak benar sehingga validitasnya lebih cepat teruji. Jadi pertanyaan tersebut bukan sibuk membicarakan soal media social karena ia hanya tools atau alat. Sama dengan dulu, ketika
kita menggunakan surat, sekarang bisa pakai twitter. Tidak esensial mendiskusiakan alat tersebut. Sebab, dari zaman ke zaman sudah banyak hoax atau kebohongan. Menurut saya salah satunya kita tidak melakukan usaha untuk membangun imunitas di dalam pikiran masyarakat terhadap informasi tidak berkualitas. Usaha semacam itu bisa dilakukan oleh para pendidik dan penyelenggara pendidikan. Jika tidak melakukan upaya semacam itu, sampai kapan pun masayakat akan begitu-begitu saja, gampang menerima hoaks dan menyebarkan hate spech. Bagaimana Anda memandang praktik literasi kalangan milenial hari ini mengaca pada persebaran hoax yang semakin marak? Di sini ada bias, seakan akan media sosial ini milik melenial padahal media sosial itu milik zaman. Seperti zaman dulu, orang pakai telepon dan surat, sekarang menggunakan twitter. Jadi itu tidak relevan dipakai untuk menjadi variable analisis melenialnya. Contohnya, kasus kebohongan Ratna Sarumapaet. Apakah dia melenial? Tentu saja bukan. Dan yang mengkonfirmasi hoax Ratna itu Prabawo Subianto, bukan melenial juga. Barangkali pendengar mereka bukan melenial. Menurut saya tidak relevan hoax dihubungkan dengan melenial. Pada umumnya masyarakat memang terbiasa nyaman mempercayai infromasi tanpa bukti, tidak skeptis, dan tidak kritis dan sebagainya. Kita harus meningktkan literasi dengan membaca. Milenial yang literasinya rendah berarti karena kurang baca. Tapi, saya pikir tidak hanya berhenti di situ
saja. Aktivitas membaca secara intens, namun tidak diiringi proses berpikir secara skeptis dan kritis tidak akan berpengaruh terhadap cara memproses informasi. Kurang relevan membicarakan maraknya hoax dan memaknai literasi sebatas membaca banyak buku yang banyak. Jumlah pemilih milenial pada Pilpres 2019 cukup besar, apakah jumlah ini banyak berpengaruh terhadap kenyataan maya hari ini? Mungkin saja iya, tapi saya tidak meneliti langsung. Hanya saja, kandidat yang bertarung memang mencoba untuk mendulang suara dari pemilih melenial. Pengaruhnya dunia maya untuk membranding kandididat yang ada. Barangkali seperti Sandi dengan postislamisme dan penampilan Jokowi di opening Asian Games. Intinya ada simbol-simbol melenial yang cukup marak digemborkan oleh kandidiat yang sedang berkontestasi. Apa yang harus dilakukan, terutama kalangan milenial untuk memblokade persebaran hoax, agitasi, dan provokasi? Memiliki literasi infromasi yang cukup sehingga tidak mempercayai informasi yang salah, yang tidak berbasis fakta. Untuk memblokade itu (baca: hoax, agitasi, provokasi) perlu membangun imunitas publik dari informasi yang tidak berkualitas. Caranya dimulai dari diri sendiri dengan mempunyai literasi informasi yang kuat sehingga membentuk paradigma berpikir yang benar. Kemudian di ruang publik perlu melakukan usaha-usaha edukasi meningkatkan literasi informasi di tengah masyarakat.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
15
OPINI
BERNANDO J. SUJIBTO
HOAKS BERNAMA HANUM
S
eorang fisikawan terkemuka asal Amerika Alan Sokal menerbitkan sebuah artikel berjudul Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity di jurnal Social Text pada 1996. Jurnal
16
di bidang ilmu sosial dan humaniora—khususnya berfokus mempuplikasikan kajian seputar cultural studies dan postmodern— ini dieditori oleh orang-orang hebat, termasuk Fredric Jameson dan sosiolog muda waktu itu, Andrew Ross. Sebagai ilmuwan
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
dan tokoh fisika terkemuka, tulisan Alan Sokal tentang quantum gravity dan konstruksi sosial dan linguistik itu membuat publik intelektual Amerika khususnya terkesima. Keterkisamaan mereka akhirnya terpupus ketika di tahun yang sama artikel itu terbit, Sokal
Ilustrasi: Sinergia
mengaku lewat majalah Lingua Franca dengan mengatakan bahwa artikel tersebut hoax. Publik geger. Sosiolog Andrew Ross akhirnya diganjar The Ig Nobel Prize, sebuah hadiah parodi Nobel yang diberikan kepada sosok yang dinilai telah berhasil membuat orangorang tertawa, dan lalu membuat mereka berpikir. Sementara Jameson, sosok yang sudah sangat disegani dan telah menjadi salah satu intelektual terkemuka dunia saat itu, relatif tidak mendapatkan ejekan-ejekan langsung. Tetapi, kegaduhan dan kelucuan sempat
menampar muka intelektual dan akademik Amerika, khususnya lembaga yang berkaitan dengan jurnal tersebut. Sekitar akhir 2017, mahasiswa asal Indonesia di Technische Universiteit Delft Belanda Dwi Hartanto berhasil membuat rakyat Indonesia terkejut. Prestasi-prestasi yang diklaim melalui pengakuan dan tertera di CV-nya kemudan dikonfirmasi sebagai kebohongan sehingga rencana penganugerahan dari Keduataan Belanda dicabut dan pihak kampus sendiri di Belanda
ikut memnatau dan memberikan perhatian serius kepada Dwi. Saya tertarik mengangkat dua nama di atas sebagai bahan refleksi tulisan ini, yang nanti akan sampai kepada gejala hoaks yang sudah sangat masif dipraktikkan oleh kita. Bagi saya, dua contoh di atas adalah tipikal hoaks yang berbeda, yang bisa dilihat dari intensi dan sikap masing-masing. Dwi Hartanto harus terperosok ke dalam labirin hoaks yang berkembang di masyarakat kita, termasuk yang paling fenomenal seperti kasus hoaks yang diciptakan Ratna Sarumpaet (RS) dan memapar komplotannya, misalnya Dahnil Anzar Simanjuntak, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Hanum Salsabiela Rais. Di antara empat sosok yang terpapar dan “menikmati” hoaks RS, nama Hanum berperan sangat ikonik dalam konteks gelombang post-truth, yaitu istilah untuk proses memproduksi informasi dan pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan emosi. Nezar Patria, editor-in-chief harian Jakarta Post, seperti dikutip dalam Geotimes.co.id, menyatakan bahwa post-truth adalah kondisi yang terjadi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik. Saracen, sebagai sindikat terstruktur, menjadi contoh paling tepat diperkenalkan di sini. Hanum berhasil memakai hoaks RS dengan mengocok emosi yang akhirnya menjadi dan sentiment di publik, dengan beragam pernyataannya di aku media sosial pribadinya, mulai memanipulasi dirinya seolah-olah “dokter yang mengerti kulit” hingga cara dia
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
17
mewek-mewek bawang Bombay di samping RS. Sebagai selebriti wanita yang banyak penggemarnya, Hanum harus diakui sudah berhasil mengaduk emosi mereka. Dalam dictionary.cambridge. org, hoaks diartikan sebagai a plan to deceive someone, such as telling the police there is a bomb somewhere when there is not one, or a trick. “Sebuah rencana untuk menipu seseorang” adalah kata kunci yang harus dipahami tentangnya: dia direncanakan yang oleh karenanya sangat mungkin berjejaring dan bahkan terstruktur (Saracen contoh paling gamblang). Sebagai sebuah jejaring, aktor dan agen-agen dalam kelompok tersebut saling menguatkan satu sama lain untuk mencapai tujuannya, contohnya bisa dilihat narasi dan framing yang dibangun oleh Dahnil, Fahri, Fadli Zon, dan Hanum. Sebagai “komplotan” dalam sebuah jaringan, tujuan pragmatisnya sama: mengutuk dan menjelek-jelekkan pemerintah! Secara sosiologis, salah satu pendekatan teori jaringan bisa dibaca dalam dua ciri, subjektif dan objektif. Secara subjektif, meminjam istilah Mark Mizruchi, Hanum telah melakukan upaya hohesi, yaitu mengaitkan kepentingan individu sebagai kepentingan kelompok. Tujuan akhir dari cara Hanum, jika dibaca dalam kepentingan objektif kelompok, adalah demi terciptanya solidaritas kelompok/jaringan yang dipandang sebagai tujuan (Ritzer & Goodman, 2004). Seperti juga Dahnil Anzar Simanjuntak, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Hanum adalah aktor dari satu jaringan di mana “habitus” mereka sudah terbentuk. Hanum pada akhirnya
18
memang merasa tertipu oleh hoaks RS, tetapi poin saya tidak menyasar ke situ karena peristiwa minta maaf adalah konklusi dari proses soiologis yang sudah final dan tidak butuh dianalisa. Yang bermasalah, dan kemudian melumpuhkan Hanum, adalah “tekanan” struktur jaringan di mana Hanum berada. “Habitus” jaringan memaksa Hanum menjadi manusia yang kehilangan identitas (yang sempat melekat dan di-branding oleh dirinnya). Ia menjadi ceroboh, bodoh dan lucu! Secara gamblang jaringan tersebut terbentuk dengan tujuan, pertama, untuk pentingan politik elektoral, antara massa pendukung Jokowi dan Prabowo. Mereka yang tersandra hoaks Sarumpeat adalah jaringan Prabowo. Kedua, kepentingan ideologis antara nasionalis dan Islamis (selain Fadli Zon yang berdiri di dua kaki). Dahnil, Fahri, dan Hanum secara mudah bisa dilingkari dalam satu batas sebagai Islamis dengan beragam variannya. Menariknya, di tengah kompleksitas demikian, Hanum dan aktor lain seperti Danhil tiba-tiba terperosok ke dalam struktur jaringan parsial, bukan constituted system of dispositions, mengutip Pierre Bourdieu, di mana pemikiran, persepsi, ekspresi dan aksi menjadi landasan tindakan sosial. Saya katakan struktur parsial karena di dalamnya tidak ada aspek yang memungkinkan struktur sosial durable (bersama waktu dan tahan lama). Manusia jenis seperti ini cenderung menjadi bunglon yang bisa dipesan dan memakai segala cara untuk melacurkan tindakan sosial mereka.
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa hoaks dibikin dengan adanya tujuan. Kesamaan tujuan membuat aktor berkelompok dalam satu sarang, bernama jejaring. Apa yang dilakukan RS harus dipahami sebagai tindakan jejaring kelompok karena secara sadar, Prabowo sendiri ikut merayakan pesta hoaks tersebut. Segencar-gencarnya Dahnil, Fahri, Fadli, dan Hanum mengisolasi hoaks RS sebagai seorang diri, studi ilmu sosial akan mengatakan hal yang berbeda di mana celah jejaring mereka sudah tampak. RS berbeda dengan Sokal dan Dwi. Sokal dan Dwi murni tindakan personal yang tujuannya untuk apa yang disusunnya sendiri. Sokal melakukannya sebagai intrik untuk para intelektual—khususnya ilmuwan sosial—yang saat itu begitu getol mengangkat studi tentang cultural studies dengan pemikiran postmodern yang diorkestrasi oleh kelompok kiri. Pengakuannya dalam majalah Lingua Franca menunjukkan itu. Tujuan Sokal jelas, melakukan hoaks untuk “membongkar” kritik baru bagi cultural studies waktu itu. Sokal paham betul risiko dan tanggung jawabnya sehingga ia langsung memberikan pernyataan dalam waktu dekat artikel itu dipublikasikan, sebelum ada orang lain tahu. Sokal tidak mau mendiamkan kebohongan yang dibikinnya. Ia bongkar sendiri. RS, Hanum dan aktor yang lain berbeda. Sebagai sindikat, mereka sibuk meminta maaf ketika sudah terbongkar! *)Bernando J. Sujibto, pengajar sosiologi dan peneliti Turki
PERSEPSI
90 TAHUN SUMPAH PEMUDA:
MEREMAJAKAN BAHASA PERSATUAN INDONESIA OLEH: MUCHLAS JAELANI
Ilustrasi: Linikini.id
B
erdasar kajian sosiohistoris diputuskannya bahasa IndonesiaMelayu sebagai bahasa persatuan merupakan upaya pe- negaskan identitas bangsa Indonesia. Dalam Burung-Burung Rantau (1992) YB Mangunwijaya mendedahkan istilah “pasca- Indonesia” untuk memotret kenyataan sosial masyarakat Indonesia di kancah dunia. Identitas
“pasca-Indonesia” dalam novel itu telah memajang prestasi kultural melalui bahasa. Keter- hubungan antara bahasa dan bangsa ini juga galib disebutkan Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah jauh-jauh hari. Dengan begitu bahasa menempati urutan wahid untuk me- negukuhkan identitas bangsa. Dalam tilikan kritis Amartya Zen
(2016) identitas akan melahirkan gelora heroisme dan semangat protektif yang menyala-nyala pada diri dan akal mereka. Iden- titas akan selalu berkelindan dalam setiap pribadi meski kadang dengan desain yang paradoksal: diamini sekaligus dicerca, dipuji tapi dihujat, ditolak tapi diam-diam disukai. Pada titimangsa tertentu identitas merupakan kebanggaan
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
19
revolusioner tersebut mengalami suatu perubahan. Bahasa memiliki sifat yang dinamis, tidak kedap, tidak final. Tergelarnya era globalisasi bukan sekadar men- jadi indikator yang bisa memancing potensi perubahan dalam bidang ekonomi, politik, atau budaya, melainkan juga pada terma bahasa. Memang, globalisasi mensyaratkan sikap reseptif ter- hadap berbagai bahasa yang datang dari luar. Seturut dengan itu, globalisasi bersanding dengan merebak- nya saluran budaya pop. Budaya pop hakikatnya merupakan implikasi dari budaya industri. Produk budaya pop dilipatganda- kan dan didistribusikan secara masif agar bisa dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat. Dalam budaya pop kuantitas men- jadi tolok ukur. Para pencipta budaya pop cenderung acuh pada kualitas karena target mereka ialah pasar dan kuntungan ekono- mis yang melimpah. Akibatnya, budaya pop sering dianggap sebagai budaya rendahan, remeh, dan kampungan. Fenomena yang tak bisa dilepaskan dari munculnya budaya pop ialah perilaku alay. Kata alay sebenarnya singkatan dari anak layangan. Istilah ini menunjuk pada gaya hidup yang kampungan dan yang berlebihan. Istilah ini
FENOMENA ALAY Setelah beberapa dekade berlalu, tentu bahasa IndonesiaMelayu yang menyimpan etos
20
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
“
relevan, tidak hanya karena alay begitu dekat dengan kalangan muda, melainkan juga sekaligus menjadi identitas penutur anyar. Fenomena perilaku alay anak muda di Indonesia ini setali tiga uang dengan Jajemon di Filipina, Redneck di Amerika Serikat, Bogan di Australia, Truzzi di Italia, Prool di Jerman, atau Zef di Amerika Latin. Di Indonesia fenomena itu “meledak” di media sekira tahun 2008 ketika seorang anak SMP berhasil menciptakan anak alay menjadi topik dengan rating tertinggi di twitter. Dalam aspek bahasa, khususnya bahasa tulis alay mengacu pada kegandrungan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabung- kan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat kata secara berlebihan. Dalam gaya bicara mereka berbicara dengan intonasi dan gaya yang berlebihan (Zulkaidah: 2015). Setidaknya, dalam kajian lebih detail fenomena tersebut muncul dari fitur SMS (short massage service) atau pesan pendek di telpon genggam. Kenyataan ini masih terus berlangsung hing- ga saat ini. Bahasa alay ini dibuat bisa dengan cara menambahkan huruf yang tidak semestinya atau justru menguranginya, seperti kata aku menjadi aquwh atau aq. Pada sisi
Sketsa biografis dan perjalanan bangsa Indonesia yang penuh dengan kobaran semangat patriotis itu digerakkan oleh kaum muda. Itulah masa—yang dalam istilah Takaishi Siraishi di- sebut—”zaman bergerak”. Kaum muda yang “marah” meman- tapkan tekad melalui pledoi heroik: penjajah harus pulang, jika tidak mau, akan dipaksa hingga darah penghabisan. Pada saat yang sama bahasa Indonesia juga menjadi instrumen perlawanan terhadap koloni
“
yang tidak boleh sobek. Sejarah mencatat, identitas bahasa Indonesia menjadi marka pemisah antara yang terjajah dan si penjajah. Dari sinilah, genderang perlawanan terhadap Belanda berdentum begitu nyaring. Kaum pribumi pada fase itu telah terkondisikan dalam satu identitas yang sama, yakni bahasa Indonesia. Situasi tersebut sekaligus menjadi jawaban atas politik pecah belah (devide et impera) yang dijalankan Belanda dan kroninya. Sketsa biografis dan perjalanan bangsa Indonesia yang penuh dengan kobaran semangat patriotis itu digerakkan oleh kaum muda. Itulah masa—yang dalam istilah Takaishi Siraishi di- sebut—”zaman bergerak”. Kaum muda yang “marah” meman- tapkan tekad melalui pledoi heroik: penjajah harus pulang, jika tidak mau, akan dipaksa hingga darah penghabisan. Pada saat yang sama bahasa Indonesia juga menjadi instrumen perlawanan terhadap koloni. Salah satu sebab digunakannya bahasa Melayu ialah etos revolusioner dan antielitisme sebagai dimensi paling subtil yang terkandung di dalamnya. Atas dasar tersebut Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) menjadi momen patriotik pemuda Indonesia yang menahbiskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Meski pada saat itu bahasa Belanda secara ajeg digunakan oleh kaum kolonial di mimbar-mimbar akademik, para pemuda dengan tegas menolak menerimanya.
PENYEDAP RASA Bahasa ialah komunikasi sebagaimana kebudayaan juga hidup bersanding dengan kemunikasi. Dengan begitu, bahasa juga bagian penting dari kebudayaan—yang tentu bersifat dinamis dan kontinyu. Bahasa Indonesia berdasarkan kajian historis berkembang sesuai dengan konteks sosial dan politik. Bahkan terkadang, bahasa hadir sebagai instrumen politik pe- nguasa untuk mempertahankan singgasana. Potret bahasa Indo- nesia setelah 88 tahun melambari kehidupan berbangsa dan ber- negara menuai beragam perspektif. Koheren, pemuda justru
“
mengaktualisasikan kembali spirit Sumpah Pemuda dengan melakukan sumpah yang kedua: menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan perlawanan
“
yang berbeda bahasa alay juga dapat dilihat dari variasi angka, huruf kecil, dengan huruf kapital yang tidak jelas tujuannya misalnya kata sakit menjadi atit dan cAkiDz atau seperti ungkapan 4ku ciNT4 K4moe maksudnya aku cinta kamu. Munculnya bahasa alay di kalangan remaja merupakan alarm lunturnya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk tulis ataupun tutur. Ironisnya, bahasa seperti ini sangat sulit dibendung mengingat saat ini media sosial begitu memanja tumbuhnya kronik-kronik modern yang kadang nye- leneh, seperti bahasa alay. Di samping itu suburnya bahasa alay juga menjadi penanda munculnya bahasa gaul. Keduanya se- benarnya nyaris berjalin seimbang, hanya model penulisan yang menjadi titik pembeda. Bahasa gaul cenderung lebih tertata. Akan tetapi, dua entitas tersebut termasuk rumpun bahasa slang.
masih terkurung dalam krisis iden- titas. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pengakuan dan ruang aktualisasi untuk menemukan identitasnya. Munculnya fenomena bahasa gaul terutama dilakukan dari dan oleh kalangan muda. Pada tataran tertentu fenomena tersebut menjadi dasar degradasi semantik kebahasaan. Jika dulu pemuda terlibat dalam pembakuan bahasa Indonesia-Melayu sebagai bahasa persatuan, saat ini mereka berandil besar menyebarluaskan bahasa gaul, bahasa non khas yang keluar dari kaidah asal. Dua fenomena tersebut memiliki konsekuensi logis. Namun, ada kalangan yang menganggap menyebarnya bahasa gaul sebagai kemunduran dan merusak tatanan bahasa yang telah baku. Sebagian yang lain, menerimanya dengan berdasar pada asumsi kreativitas dalam berbahasa. Tren ragam bahasa gaul seperti jayus, baper, kepo, gajebo atau woles akan sulit dipahami maksudnya. Pada akhir 1970-an, bahasa prokem atau bahasa gaul meledak popularitasnya seiring dengan lahirnya novel Ali Topan
Anak Jalanan karya Teguh Esha. Mun- culnya kalimat Nyokap-bokap lo mau kemokan ‘Ibu bapakmu mau ke mana’ menjadi episentrum lahirnya bahasa gaul saat ini. Sekira akhir 1980-an hingga 1990-an bahasa gaul mulai mengadopsi istilah-istilah yang digunakan waria, semisal ember (memang). Belakangan ini bahasa gaul ditandai dengan meringkas dan memangkas kata-kata. Seperti gaje (tidak/gak jelas), atau baper (terbawa perasaan). Di samping itu, juga ada yang mencomot bahasa asing dan disingkat, semisal “OTW” singkatan dari on the way ‘di jalan’; kepo singkatan dari kata knowing every particular object ‘orang yang serba ingin tahu detail dari sesuatu’. Setidaknya, ada beberapa faktor yang menyebabkan bahasa gaul bisa berkembang begitu spektakuler. Pertama, munculnya kelas menengah muda baru. Dalam analisisnya H.W. Dick (1985) kelas menengah muda baru di Indonesia cenderung bertindak sebagai suatu “kelas konsumen”. Jika barang konsumsi tidak terjangkau, penggunaan bahasa merupakan komoditas yang gratis dan bahasalah yang dipungut mereka untuk masuk dalam kelas tersebut. Sementara itu, gaya hidup mereka oleh Dick disebut bercorak borjuis. Mayoritas bahasa gaul digunakan oleh mereka yang telah mampu berjalan sesuai dengan gaya hidup yang sedang berkembang. Sangat jarang ada seorang pemuda yang kolot, tradisional, dan kampungan menggunakan bahasabahasa gaul dalam berkomunikasi. Kedua, pesatnya perkembangan budaya pop. Televisi sebagai
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
21
sokoguru budaya pop menjadi wahana bersemainya bahasa gaul. Transformasi yang dilakukan televisi mampu menkonstruksi kesadaran dan menghipnotis anak muda untuk menggunakan bahasabahasa gaul. Seperti istilah Idi Subandi Ibrahim, seorang pakar ilmu komunikasi, bahasa gaul memang hanya sebatas “penyedap� masa remaja. Akan tetapi, jika terusmenerus dipraktikkan hingga dewasa akan berdampak tidak baik karena bahasa menggambarkan paradigma berfikir. Bila tidak ada proteksi yang jelas, dikhawatirkan akan melahirkan generasi yang gampang menyederhanakan persoalan. Tentu, kita tidak menginginkan mun- culnya ungkapan “berbahasa satu, bahasa bingung�. Mengingat begitu masifnya perkembangan bahasa slang, yang penting dilakukan oleh kalangan anak muda ialah me- neguhkan kembali bahasa Indonesia-Melayu dan mengguna- kannya secara baik dan benar agar identitas keindonesiaan tak terkoyak. Setidaknya rejuvenasi bahasa
22
Indonesia bisa dilakukan dengan menelaah beberapa hal. Pertama, RUU Kebudayaan yang baru digadang mesti juga menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan secara visioner. Draf akademik yang dicantumkan dalam RUU ini tidak secara detail dan komprehensif menelaah problem dan solusi kebahasaan. Kedua, superioritas budaya pop juga harus dibarengi dengan produksi buku sastra yang berterima. Selain itu, ada penambahan jam ajar bahasa Indonesia di institusi pendidikan. Tentu saja, prinsip melek literasi juga harus disuntikkan pada kalangan muda hari ini. Selain menumbuhkan minat baca, kalangan muda juga harus diinternalisasikan pengajaran kebahasaan yang maksimal. Ketiga, meminimalkan kecendrungan penggunaan bahasa asing, terutama dalam pelayanan publik. Masyarakat mesti diajarkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya di lembaga formal, tetapi juga pada setiap aktivitasnya. Mengu- kuhkan dan menyemarakkan Taman Baca Masyarakat (TBM) dengan tidak
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
hanya menyediakan bahan baca dan inventarisasi buku, tetapi juga menyelipkan kursus informal tentang kaidah bahasa Indonesia. Tentu saja usaha ini tidak sekadar usaha sambil lalu yang dikerjakan satu pihak, tetapi juga kontinyu dan konsisten yang disemangati oleh semua pihak, terutama pemerintah dan stakeholder lain. Bahasa Indonesia mesti kembali menjadi bahasa persatuan dan bahasa perlawanan. Tentu saja musuh masyarakat digital tidak lagi gencatan senjata dan pedang, tetapi meneguh- kan prinsip santun dan egaliter yang juga tercantum lekat dalam struktur dan nilai bahasa Indonesia. Mendudukkan kembali bahasa Indonesia dalam segala laku sosial masyarakat merupakan ikhtiar penting. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengusung, mengaktualisasikan kembali spirit Sumpah Pemuda dengan melakukan sumpah yang kedua: menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan perlawanan.
Sumber: detik.com
KOLOM
FANDRIK AHMAD
HOAKS DAN DRAMA PROPAGANDA RATNA SARUMPAET
R
atna Sarumpaet menyita perhatian publik di tengah musibah gempa dan tsunami yang melanda Palu-Donggala. Kepada media, ia mengaku telah dianiaya oleh sejumlah orang tak dikenal. Padahal diketahui baru saja melakukan operasi plastik. Kepada media pula, ia mengaku dan mengungkap segala kebohongannya serta menyatakan diri sebagai pencipta hoaks terbaik. Sebagaimana dikutip di detik.com, atas kejadian itu, Ratna meminta masyarakat untuk belajar tidak memikirkan hal-hal yang tidak penting. Drama kebohongan tentang penganiayaan itu berhasil menyeret sejumlah elite politisi di negeri ini, sebut saja ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto dan dewan kehormatan Partai Amanat Nasional Amien Rais. Bahkan, Hanum Salsabila Rais, anak kedua Amien Rais, menyebut Ratna
sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini. Ada dua hal yang mesti menjadi catatan besar dari peristiwa tersebut. Pertama, kabar bohong alias hoaks (hoax) bukan sekadar persoalan memikirkan hal-hal penting dan tidak penting. Hoaks kini menjadi wabah nasional dan rentan menimbulkan konflik sosial di berbagai lintas bidang. Penyebar hoaks adalah pelaku kejahatan dunia maya. Status Ratna yang kini sebagai narapidana menjadi ironi betapa persoalan ‘tidak penting’ dapat menjebloskan seseorang ke dalam jeruji besi. Kedua, kecacatan memahami preseden sejarah. Keteladanan kiprah perempuan, Cut Nyak Dien dan RA Kartini, dalam sejarah kemerdekaan menjadi sumbang oleh anomali historiografi fiktif dari seorang Hanum. Bagaimana mungkin dua srikandi Nusantara disejajarkan dengan pencipta hoaks
terbaik di negeri ini. Pernyataan itu sama saja merendahkan derajat kedua Pahlawan Nasional itu. Sampai di sini tampak Ratna dan Hanum seolah hendak memperagakan drama kolosal dengan narasi kosong. Mereka berbagi peran sebagai aktris dan sutradara. Latar belakang keduanya memang kelop. Selain sebagai aktivis sosial, Ratna adalah seniman yang banyak menggeluti dunia panggung teater. Sementara Hanum adalah pengarang fiksi potensial. Ia memiliki cukup banyak karya, termasuk novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang sudah diangkat ke layar lebar.
LADANG HOAKS Perkembangan teknologi secara tidak langsung turut mempengaruhi perilaku sosial masyarakat. Media sosial sebagai bagian dari inovasi teknologi memberikan ruang yang sangat
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
23
luas. Seseorang dengan mudah menyuarakan gagasan dan aspirasi yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa terdengar. Ahmed Al-Seikh, mantan kepala editor Al-Jazeera Arabic, mengatakan bahwa media sosial turut berperan mendorong perubahan politik sebuah negara. Presiden Jokowi, pada rapat terbatas terkait dengan perkembangan media sosial di kantor Kepresidenan (2016) memaparkan, pengguna internet di Indonesia berjumlah 132,7 juta atau 52% dari total jumlah penduduk. Dari jumlah pengguna internet di atas, 129,2 juta memiliki akun media sosial yang aktif. Hasil survey Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel, 2017) menunjukkan bahwa penyebaran tertinggi hoaks melalui media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya. Media sosial menanamkan suatu keyakinan tentang realitas sosial untuk menggiring opini dan menyebarkan ujaran kebencian. Dengan karakteristik semacam itu, media sosial menjadi ladang empuk para penyebar hoaks untuk tujuan tertentu. Media sosial mampu menghadirkan suara-suara individu yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media mainstream. Pada momen tertentu, seperti pilkada dan isu SARA, hoaks berbentuk ujaran kebencian bisa dengan mudah membludak dan menjadi konsumsi publik. Di sinilah kemudian perlunya daya pikir analisis kritis masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh kontenkonten yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
24
POLITIK DRAMATURGI Deddy Mulyana, guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjajaran Bandung, mengatakan bahwa faktor utama hoaks berkembang sangat cepat adalah karakter masyarakat yang tidak biasa berbeda pendapat dan berdemokrasi secara sehat. Mereka suka berkumpul dan bercerita hal-hal yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Selain itu, masyarakat digital juga lebih senang membahas tentang seksualitas, kekerasan, drama, intrik, dan misteri. Politik adalah bidang yang memiliki komponen-komponen tersebut. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Mastel bahwa politik adalah isu utama yang dimainkan oleh penyebar hoaks. Drama propaganda Ratna, beserta orang-orang yang terjebak masuk dalam lingkaran hoaks yang dibuatnya, juga tidak lepas dari politik. Diketahui bahwa ia merupakan tim pemenangan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Tersiarnya kabar penganiayaan itu membuat sejumlah politisi turut berkomentar: mengutuk, menuntut, dan menyebarkan informasi tanpa mengecek bukti kebenarannya. Bahkan Prabowo, sebagaimana dikutip dalam laman kompas. com, secara lugas dan lantang menuding ada motif politik di balik penganiayaan terhadap tim pemenangnya itu. Gabrielle Bardall, aktivis gender dari International
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Foundation for Electoral System menyatakan, penggunaan diskursus kekerasan terhadap kandidat dan aktivis politik dalam konteks elektoral merupakan bentuk strategi dalam menyerang lawan politik. Tetapi, alih-alih menyerang lawan dengan diskursus kekerasan, malah justru terjerumus ke dalam statement yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tentu, ini menjadi sebuah blunder. Munculnya aktor seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Fadli Zon, dan Amien Rais, diakui atau tidak, semakin memeriahkan dinamika politik menjelang pilpres 2019. Ditambah dengan pernyataan Hanum yang menyebut Ratna sebagai Cut Nyak Dien dan Kartini masa kini membuat media sosial lebih semarak oleh berbagai macam kritik. Erving Goffman dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life menyajikan teori dramaturgi, yaitu suatu teori yang mengibaratkan politik sebagai panggung sandiwara yang berjarak terhadap realitas. Apa yang diperankan atau ditampilkan oleh seseorang di atas panggung identik dengan motif tertentu. Penonton hanya dapat menyimpulkan kualitas dari pertunjukan yang terpampang di depan layar. Oleh karena itu, mari nikmati panggung sandiwara ini. Sebagai penonton yang baik, selama pertunjukan, dilarang berisik![]
*) Fandrik Ahmad, cerpenis dan jurnalis.
KOLOM
RUSYDIE ANWAR
SI MUKA HITAM DI HARI KIAMAT SEBUAH TINJAUAN ISLAM TENTANG HOAX
Ali bin Abi Thalib misalnya pernah berkata bahwa dirinya lebih memilih terjatuh dari langit daripada harus melakukan kebohongan, apalagi kebohongan yang mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya.
S
angat menarik mencermati berita seputar kabar bohong atau hoax yang dilakukan oleh tokoh aktivis sosial, Ratna Sarumpaet dan juga orang-orang yang ikut menyebarkan kabar bohong tersebut, seperti halnya Hanum Rais dan lain-lain. Tanpa bermaksud melakukan diskriminasi gender terhadap keduanya, namun fakta kehebohan akibat kabar bohong yang dilakukan oleh tokoh wanita ternyata juga pernah terjadi beberapa abad sebelum datangnya Islam. Bahkan Alquran sampai mengabadikannya untuk menjadi pelajaran bagi manusia. Dalam Alquran, terdapat sebuah surat bernama Surat Yusuf yang di dalamnya mengisahkan adanya muslihat sekaligus kabar bohong yang dilakukan oleh Zulaikha yang berstatus sebagai ‘Ibu Kepala Negara’ Mesir ketika itu. Dikisahkan bahwa Zulaikha
yang tertarik pada Yusuf suatu ketika mengajak Nabi Yusuf melakukan perbuatan tidak terpuji di kamarnya. Namun karena Nabi Yusuf menolak dan bermaksud pergi, Zulaikha mencoba mengejar dan menarik baju Yusuf dari belakang. Di saat yang bersamaan muncullah suami Zulaikha di depan pintu memergoki mereka berdua. Dalam situasi seperti itu, Zulaikha mencoba memberikan kabar bohong (hoax) kepada suaminya di mana kabar bohong tersebut diabadikan dalam Alquran, “Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduaduanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. Wanita itu berkata: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (QS. Yusuf [12] : 25).
Mendengar ucapan Zulaikha, Nabi Yusuf membela diri sebagaimana firman Allah Swt, “Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)…” (QS. Yusuf [12] : 26). Seandainya Allah Swt tidak menunjukkan kuasa-Nya dengan menjadikan seorang bayi dapat berbicara dan menunjukkan jalan keluar untuk mengetahui siapa yang benar dalam masalah tersebut, kemungkinan suami Zulaikha akan lebih mempercayai ucapan yang dikatakan oleh istrinya. Kabar bohong atau hoax juga pernah terjadi dan menimpa diri Nabi Saw. Dalam Surat An-Nur Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” (QS. An-Nur [24]: 11). Ayat di atas berkenaan dengan kabar bohong yang disebarkan oleh orang-orang munafik yang menyebut Aisyah, istri Nabi
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
25
Saw, telah berselingkuh dengan sahabat Nabi sendiri, Shafwan bin Mu’aththal. Peristiwa itu terjadi pada bulan Sya’ban tahun ke-5 Hijriah pasca umat Islam melakukan peperangan dengan Bani Mushtaliq yang diikuti oleh orang-orang munafik. Dalam peperangan tersebut, Aisyah juga terlibat. Ketika rombongan pasukan Muslim hendak kembali ke Madinah, Aisyah merasa kalungnya hilang dan untuk itu ia mencoba mencarinya sehingga membuatnya tertinggal dari rombongan. Pada saat itulah Shafwan bin Mu’aththal lewat. Mengetahui Aisyah tertinggal dari rombongan, Shafwan mempersilahkan Aisyah mengendarai untanya dan dia sendiri menuntun unta tersebut di depannya, membawa Aisyah ke Madinah. Kejadian ini kemudian oleh orang-orang munafik digunakan untuk membuat dan menyebarkan berita bohong tentang istri Nabi di mana kabar itu sempat menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam waktu itu. Dari peristiwa ini pula muncul istilah hadítsu al-ifki atau hoax di dalam Islam. Dalam Islam, berbohong atau menyebarkan berita atau kabar bohong merupakan perbuatan yang sangat dicela. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat-ayat di dalam Alquran yang berisi kecaman Allah Swt terhadap orang-orang yang menyebarkan kebohongan. Salah satu kecaman Alquran terhadap orang yang melakukan kebohongan adalah dengan menyebut mereka sebagai orang-orang yang kelak di akhirat mukanya menjadi hitam, (QS. Az-Zumar [39]: 60), lebih dari
26
sekadar perbuatan dzalim (QS. AsShaf [61]: 7), kata-kata yang buruk (QS. Al-Kahfi [18]: 5), dosa yang nyata (QS. An-Nisa [4]: 50), dan sebagainya. Walau demikian, Alquran tidak sekadar mengecam orang yang telah melakukan kebohongan terhadap orang lain. Namun Alquran juga mengecam dan sekaligus mengancam orang-orang yang terlibat menyebarkan berita kebohongan yang dilakukan oleh seseorang sehingga kebohongan itu makin tersebar secara luas. “… Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” (QS. An-Nur [24]: 11). Demikian firman Allah Swt terkait orang yang telah turut menyebarkan kebohongan yang dilakukan orang lain. Pentingnya bersikap jujur dalam Islam juga tersirat dalam sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh para Nabi dan Rasul sebagai penyampai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah Swt kepada mereka. Salah satunya adalah sifat shidq atau jujur. Di dalam hadis, tidak sedikit riwayat yang menjelaskan bagaimana Nabi Saw menekankan pentingnya berkata jujur. Salah satu riwayat yang populer adalah tentang tanda-tanda munafik, yaitu janji yang tidak ditepati, amanah yang dikhianati dan perkataan yang dusta. Bahkan mengingat pentingnya kejujuran ini, terdapat sebuah riwayat di mana pada suatu ketika Rasulullah Saw berkata, “Maukah engkau aku beritahukan tiga dosa terbesar? (yaitu) Menyekutukan Allah, durhaka terhadap kedua orang tua dan kesaksian dusta atau
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
ucapan dusta,”. Abdurrahman bin Abu Barkah dalam riwayatnya menyebutkan bahwa Nabi Saw mengatakan hal itu sambil bersandar, lalu duduk dan terus mengulang-ulang nasihat tersebut sampai-sampai sahabat berharap agar beliau berhenti melakukan itu atau diam (HR. Muslim). Peringatan Nabi Saw, terutama kepada sahabat-sahabatnya akan pentingnya berkata jujur benarbenar dijalankan dengan penuh kesungguhan. Ali bin Abi Thalib misalnya pernah berkata bahwa dirinya lebih memilih terjatuh dari langit daripada harus melakukan kebohongan, apalagi kebohongan yang mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya. Mengingat demikian tegasnya Islam menyikapi masalah-masalah kebohongan, hoax atau hadítsu al-ifki serta banyaknya perintah dan motivasi untuk senantiasa berkata jujur, maka sungguh disayangkan apabila sebagian umat Islam saat ini justru menjadikan hoax seakanakan sebagai sebuah keharusan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Berdasarkan riwayat Imam Muslim dari Ummu Kultsum binti Uqbah, kebohongan yang masih bisa ditolelir dalam Islam hanya menyangkut tiga situasi, yaitu kebohongan atau dusta dalam peperangan, dusta yang dilakukan untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai serta dusta seorang suami-istri dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga mereka untuk mencapai kebahagiaan bersama. Artinya, di luar tiga situasi tersebut, kebohongan atau hoax yang dilakukan dan disebarkan oleh siapapun adalah perbuatan dosa dan tercela. Wallahu A’lam.
INSPIRASI
ASEP IRAMA, PEMUDA DESA TELADAN MILENIAL INDONESIA Asep Irama merupakan pemuda kelahiran Pulau Giliraja, Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur pada 27 Maret 1994. Asep sudah ditinggal ayahnya sejak masih duduk di bangku kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Asep bercerita, masa kecilnya berbeda anak lain seusianya. Pasalnya sehabis pulang sekolah, ia harus membantu ibunya untuk mengambil air dan pakan sapi. Sehingga ia nyaris tidak punya waktu untuk bermain bersama teman sebayanya. Foto: Sinergia
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
27
“
“
Pilihan politik saya sejak awal saya niatkan untuk mengabdi dan bermamfaat bagi semua. —Asep Irama
A
sep lahir dari keluarga sederhana, sehingga membuatnya menjadi pribadi yang pekerja keras. Pendidikan MI dan MTs ia tamatkan di kampung halamannya. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA 1 Annuqayah, Guluk-Guluk sekaligus nyambi mondok di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan. Disinilah petualangan intelektualnya dimulai. Sekalipun dengan keterbatasan ekonomi, Asep mengambil sikap berani untuk menempa intelektualnya di pesantren. Asep mulai berkenalan dengan beragam bacaan ilmiah yang disediakan oleh perpustakaan pesantren. Ia mulai membiasakan diri untuk membaca guna menambah perbendaharaan pengetahuannya. Dalam perjalannannya, Asep bersama tiga sahabat lainnya diantaranya Mohammad Kayyis AR, Muchlas Jaelani dan Imam Rohmatulloh membentuk kelompok diskusi terbatas yang konsen membahas isu-isu politik kontemporer berdasarkan fakta empiris dan pengetahuan ideologis. Minat Asep terhadap politik sudah muncul sejak ia duduk di bangku SMA. Terbukti Asep pernah terlibat sebagai tim pemenangan calon Ketua OSIS di sekolahnya. Selain itu bersama tiga sahabatnya yang lain, Asep
28
membentuk Forum Peduli Masyarakat Kepulauan (FPMK). Forum ini lahir atas dasar keprihatinan Asep terhadap kondisi dan situasi masyarakat kepulauan yang menurutnya termarjinalkan dibandingkan masyarakat daratan. Maklumlah, Asep menghabiskan masa kecilnya di kepulauan, sehingga ia tahu betul bagaimana kehidupan masyarakat kepulauan yang aksesnya lebih terbatas dibandingkan masyarakat daratan. Melalui FPMK, Asep merencanakan kegiatan eduatif yang akan dilaksanakan di tempat kelahirannya. Tapi sayang, karena keterbatasan anggaran, rencana yang digagas Asep tidak bisa dilaksanakan. Tapi paling tidak, inilah cikal-bakal dalam pembentukan karakter Asep sebagai pemuda yang pekerja keras. Selama tiga tahun menempuh pendidikan di pesantren, Asep keluar dari Pondok Pesantren Annuqayah pada tahun 2013 dan berencana untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Jakarta. “Tekad dan keinginan saya hanya ingin kuliah di Jakarta. Padahal tidak mudah masuk ibu kota, selain cost (biaya) hidup mahal, saya juga tidak punya teman yang bisa menuntun saya di Jakarta. Tetapi apapun resikonya, saya tetap harus kuliah ke Jakarta,” kata Asep. Berbekal uang Rp5 juta, Asep berangkat ke Jakarta. Bahkan Asep
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
juga sudah meminta pertimbangan kepada sahabat dekatnya seperti Mohammad Kayyis, Muchlas Jaelani dan Imam Rohmatulloh tentang keinginannya untuk melanjutkan studi di Jakarta. “Karena mereka bertiga sahabat saya yang sekalipun tidak punya hubungan darah, tapi kita lebih dari saudara. Akhirnya mereka mengiyakan keinginan saya dan men-support melalui doa. Lalu saya beranikan diri untuk menginjakkan kaki di Jakarta,” Asep melanjutkan ceritanya. Sekitar pertengahan bulan Oktober 2013, Asep berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studi di Universitas Bung Karno (UBK). Namun sesampainya di ibu kota, Asep tidak tahu dia mau tinggal dimana. Selain tidak punya
Milenial (HAM) Indonesia, sebuah organisasi kepemudaan (OKP) yang menjadi wadah untuk menumbuhkan ruang-ruang dialog di kalangan pemuda.
KERJA KERAS DAN ISTIQAMAH BERDOA
Foto: Sinergia
teman dan baru kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta, Asep kebingungan. Akhirnya ia selama beberapa hari di Jakarta berkeliling dari tempat lainnya, karena masih tidak mengetahui seluk beluk wilayah ibu kota.
MENEMPA DIRI DI HIRUK PIKUK JAKARTA Masa-masa sulit ketika masuk Jakarta, menjadi awal petualangan Asep untuk menempa diri di tengah kerasnya kehidupan ibu kota. Asep kemudian inten bersilaturrahmi ke berbagai tokoh. Asep juga mulai membangun jaringan dengan bergaul bersama siapapun. Inilah cikal bakal Asep dalam menaklukkan kerasnya kehidupan ibu kota.
“Saya ke Jakarta, karena saya ingin merubah garis nasib keluarga agar lebih baik. Karena saya berasal dari keluarga yang miskin dan tidak berpendidikan. Itulah yang mendorong saya untuk berani ke Jakarta. Sejak awal saya juga menyadari bahwa resiko dan kesulitan hidup harus saya hadapi di ibu kota,” kata Asep. Tetapi berkat perjuangan dan keuletan yang ia lakukan, Asep bisa membiayai sendiri uang kuliahnya dan berbagai kebutuhan hidup selama di ibu kota. Apapun ia lakukan untuk sekedar menyambung nafas di tengah hiruk pikuk metropolitan. Selama di Jakarta, Asep menjadi salah satu inisiator berdirinya Front Pemuda Madura (FPM) dan Himpunan Aktivis
Asep berpesan, selama keinginan dan mimpi dibarengi dengan kerja keras dan membiasakan diri untuk berdoa, Allah SWT akan selalu mempermudah jalan. Sejatinya kata Asep, keberhasilan milik mereka yang pekerja keras dan selalu meminta kepada Allah SWT dalam setiap butiran doa. “Keberhasilan dan kesuksesan bukan milik anak orang kaya, tapi keberhasilan milik mereka yang pekerja keras dan istiqamah dalam berdoa kepada Allah SWT. Situasi dan keterbatasan harus menjadi cambuk untuk membuat hidup lebih baik,” ujar Asep. Secara mengejutkan, Asep yang baru genap berusia 24 tahun tiba-tiba mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD Jawa Timur di Pemilu 2019 mendatang. Asep beralasan, dirinya sengaja maju karena ingin berkontribusi terhadap bangsa dan negara. “Kita perlu anak-anak muda yang cerdas, peduli dan berpihak dalam dunia politik. Karena kita yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ke depan. Selain itu, jalur politik merupakan langkah solutif dalam berkontribusi terhadap bangsa. Tetapi pilihan politik saya sejak awal saya niatkan untuk mengabdi dan bermamfaat bagi semua,” pesan Asep.
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
29
PERSPEKTIF
FITRIANA HADI
HANUM RAIS YANG MEMITOSKAN KARTINI DAN CUT NYAK DIEN Dengan ekspresi sedih dan sedikit marah, Hanum Rais merangkul Ratna Sarumpaet yang wajahnya bengkak di beberapa bagian karena dipukuli orang tak dikenal. Ia menyatakan, Ratna dan Neno Warisman adalah sosok Kartini dan Cut Nyak Dien masa kini.
P
adahal, sudah sejak lama Kartini disangsikan gelar kepahlawanannya sebab kontribusinya bagi bangsa “hanyalah” surat-surat kepada sahabat penanya—beberapa bahkan orang Belanda. Kartini dianggap sosok pemimpi yang di akhir perjuangannya justru tunduk pada budaya patriarki. Tidak seperti Cut Nyak Dien, sosok yang selalu dijadikan antitesis perjuangan Kartini itu turun langsung ke medan perang untuk melawan para Kaphe Ulanda, Belanda Kafir. Aksinya jadi lebih heroik karena pada akhirnya ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, jauh dari tanah kelahirannya yang diperjuangkan mati-matian, jauh dari kuburan kedua mantan suaminya yang turut memimpin
30
perang; Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar. Hanum menyatukan sosok Kartini dan Cut Nyak Dien dalam satu wacana di mana keduanya ada di posisi yang setara. Rasanya, tidak begitu sulit untuk melihat aksi Hanum tersebut berkaitan dengan posisinya sebagai pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam kontestasi Pilpres 2019.
KARTINI SEBAGAI ALAT POLITIK Dalam Jejak Langkah (1985) karya Pramoedya Ananta Toer, Gadis Jepara—sosok Kartini—yang semasa hidupnya terkungkung feodalisme Jawa berbalas surat dengan kawan-kawannya dari berbagai kebangsaan, termasuk Belanda. Ketika ia meninggal, Van Aberon, seorang Ethiek—golongan
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
liberal Nederland—membukukan surat-suratnya yang kemudian diberi judul De Zonnige Toekomst (hari esok yang cerah). Buku yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Prancis tersebut menuai banyak pujian. Kalangan menengah Belanda terutama golongan Ethiek menganggap pikiran-pikiran maju di dalamnya adalah hasil dari didikan Eropa. Yang menarik dalam novel Pram tersebut, lawan politik golongan Ethiek menanggapi penerbitan buku ini berkaitan dengan ambisi Van Aberon untuk naik ke istana Rijswijk.
Ilustrasi: Sinergia
Sementara itu, Kartini berubah citra di masa kemerdekaan. Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011) menjelaskan, legitimasi Kartini sebagai Ibu Bangsa merupakan upaya pelekatan ideologi “ibuisme” oleh negara. Ideologi tersebut mengonstruksi bahwa peran perempuan, mulai dari ranah domestik bahkan nasional dilakukannya tanpa menuntut imbalan apapun. Dengan itu, seorang perempuan dibuat tidak bisa eksis terhadap dirinya sendiri
tanpa dikaitkan dengan suami, anak, keluarga, bahkan negara dan bangsa. Hal tersebut dapat dilihat di masa Orde Baru ketika perayaan Hari Kartini selalu menekankan narasi emansipasi perempuan tanpa melewati “kodratnya”. Anak-anak yang memakai kebaya turut serta dalam lomba memasak, peragawati, dan lainnya yang bersifat feminin. Lewat kegiatan ini, perempuan dijinakkan: ia bernilai hanya ketika menjadi sosok yang “membangun” keluarga dalam ranah domestik. Penjinakan dan penginternalisasian
ideologi ibuisme tersebut semakin terstruktur lewat pembentukan organisasi khusus perempuan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Dharma Wanita, di mana para petingginya dipilih berdasarkan pangkat atau jabatan suaminya di institusi negara. Oleh Hanum Rais, sosok Kartini kembali dijadikan alat politik dengan upaya menciptakan “panteon” pahlawan wanita. Wildan Sena Utama (2017) menyatakan, gelar kepahlawanan digagas oleh Presiden Sukarno demi mengatasi
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
31
pemberontakan daerah yang terjadi di berbagai tempat pada rentang 1957-1958. Karenanya, Sukarno merasa Indonesia membutuhkan “panteon” yang merepresentasikan gerakan nasional. Hal tersebut mewujud dalam sederetan nama tokoh pahlawan yang sebagian besar berasal dari abad 19 hingga pertengahan abad 20. Kartini dan Cut Nyak Dien sendiri diangkat sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1964. Bersama Cut Nyak Meutia, ketiganya menjadi pahlawan nasional perempuan pertama yang dicanangkan. Hanum seakan ingin bilang bahwa terdapat “panteon” sosok pergerakan perempuan modern dalam koalisi pendukung Prabowo dan Sandiaga. Drama penganiayaan terhadap Ratna yang sejak lama terlibat di berbagai aksi kritik terhadap pemerintah menjadikannya sosok ideal sebagai tragic hero demokrasi. Sejarah berulang: Marsinah, Wiji Thukul, Munir, dan kini Ratna Sarumpaet. Strategi penciptaan “panteon” ini bisa saja berhasil, jika Ratna tidak membuat konferensi pers dan mengonfirmasi ceritanya sebagai hoaks belaka.
MITOS DAN PENDANGKALAN KARAKTER Selain sebagai strategi politik yang gagal total, pernyataan Hanum semakin memperjelas bagaimana perempuan “hebat” yang pantas disebut Kartini atau Cut Nyak Dien masa kini hanya mereka yang berani masuk di gelanggang dunia maskulin. Perempuan-perempuan yang masih bergelut dalam ranah domestik seolah dianggap belum
32
emansipatif dan masih berkubang di kolam lumpur patriarki. Jika diperhatikan, media massa di Hari Kartini banyak mengulas sosok-sosok perempuan inspiratif yang sukses dalam bidang yang digelutinya secara profesional. Mulai dari supir bus kota, polisi, direktur sebuah perusahaan, dan lain-lain. Representasi yang ditampilkan cenderung berasal dari kalangan menengah ke atas. Bagaimana dengan perempuanperempuan desa yang hidupnya sebagai petani seperti ibu-ibu Kendeng? Atau, perempuanperempuan yang menolak NYIA di Kulon Progo? Akses bagi perempuan, entah pendidikan, kesehatan, keadilan hukum, dan lainnya yang tidak merata membuat tidak semua perempuan dapat menikmati emansipasi yang Kartini citacitakan. Ia sendiri telah lama menyadari ketimpangan akses tersebut sehingga salah satu impiannya adalah menciptakan sekolah untuk anak-anak pribumi, terutama perempuan, agar bisa lepas dari kungkungan kemiskinan dan kebodohan. Sekolah itu akhirnya dibangun ketika Kartini sudah meninggal—meski yang dapat menikmatinya hanyalah anak-anak dari keluarga priyayi karena biaya bulanannya mencapai f. 2. Sementara itu, Cut Nyak Dien tidak membeda-bedakan siapapun. Ia mengomandoi entah laki-laki dan perempuan demi mempertahankan Tanah Aceh. Bagi rakyat Aceh kala itu, mati di medan perang adalah mati syahid. Karena itu, tidak jelas seperti apa sosok Ratna yang
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
ingin disamakan Hanum dengan Kartini maupun Cut Nyak Dien. Kedua pahlawan tersebut berjuang dengan motivasi yang berbeda: Cut Nyak Dien karena ingin mempertahankan Tanah Aceh dan membalas dendam atas kematian suaminya, sementara Kartini karena kesadarannya akan kuasa feodalisme Jawa dan imperialisme Belanda. Cut Nyak Dien sama sekali tidak mau berkompromi dengan Belanda, sementara Kartini bersahabat pena dengan beberapa tokoh Belanda untuk bertukar pikiran. Hanum Rais menjadi blunder saat menganggap Ratna Sarumpaet yang berkalikali menyebarkan hoaks adalah gabungan dari kedua pahlawan yang pada beberapa hal sangat bertolak belakang ini. Selain bluder, tindakan Hanum menciptakan apa yang disebut Pramoedya Ananta Toer sebagai “sosok mitos” atas Kartini maupun Cut Nyak Dien. Orang awam melihat penggambaran kedua tokoh itu dalam diri Ratna, sehingga pengetahuan mereka tentang kedua pahlawan ini semakin berkurang dan “palsu”, sementara di saat yang bersamaan masyarakat semakin mendewa-dewakan keduanya. Secara tidak langsung, Hanum telah melakukan pendangkalan pribadi terhadap Kartini, Cut Nyak Dien, bahkan Ratna Sarumpaet sendiri dengan menggeneralisasi karakter ketiganya. Kebohongan Ratna akhirnya memang terungkap, tetapi wacana yang sudah dilemparkan ke publik tidak bisa ditarik lagi.
*) Fitriana Hadi, penulis dan editor.
PERSPEKTIF
MUHAMMAD SHOFA
HANUM RAIS DAN KEDANGKALAN PENGETAHUAN SEJARAH
M
enjijikkan dan memalukan! Mungkin kata itulah yang tepat untuk menggambarkan dan memberikan penilaian atas pertunjukan drama kebohongan yang dimainkan oleh Ratna Sarumpaet. Situasi panggung politik nasional seketika gaduh atas beredarnya foto Ratna Sarumpaet dengan wajah bak babak belur. Oposisi rezim pun kemudian turut juga bermain, berupaya menggoreng opini publik untuk turut mengecam atas drama berbalut dusta itu. Media sosial, yang menjadi media alternatif untuk menyampaikan segala kritik, saran, dan sumpah serapah menjadi riuh seketika. Tudingan pun sudah mulai mengarah ke penguasa yang dianggap tidak mampu mengelola negara dan menganggap negara tidak hadir atas kejadian itu. Oposisi makin menjadi-jadi melakukan upaya politik praktis tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi atas fakta yang sebenarnya terjadi. Konferensi pers dilakukan. Video berdurasi sekitar satu menit disebarkan. Dengan wajah berurai air mata, perempuan bernama Hanum Rais itu berkata bahwa korban yang mengalami penganiayaan ibarat Kartini dan Cut Nyak Dien di era modern. Sedang ‘sang korban’ yang ada di sampingnya, dengan wajah tak berdosa, berdiri mematung. Diam. Tak berkata apa-apa. Mungkin ia berpikir bahwa drama yang sedang dimainkannya akan memantik emosi dan amarah publik hingga menghasilkan hujatan dan cacian pada negara. Tak berselang lama, drama itu mencapai klimaks. Terbongkar oleh pihak kepolisian yang berupaya keras mencari bukti-bukti nyata adanya penganiayaan. Simpati publik yang awalnya mengalir, kemudian berbalik arah menjadi bumerang
Ilustrasi: Sinergia
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
33
bagi para pemain drama picisan itu saat Ratna Sarumpaet mengakui drama penganiayaannya. Inilah dusta terbesar dalam sejarah politik tanah air yang mampu menyedot perhatian publik. Selain menjijikkan dan memalukan, pengibaratan Hanum Rais pada Ratna Sarumpaet yang disamakan dengan Kartini dan Cut Nyak Dien, menimbulkan masalah baru. Bagaimana mungkin, dua perempuan yang memiliki jasa besar pada tanah air disamakan dengan sosok pemain drama yang sangat lihai memainkan emosi publik dengan selimut kebohongannya. Kartini dan Cut Nyak Dien sumbangsihnya pada bangsa dan negara sangatlah jelas. Tak pantas dan tak elok kiranya jika Ratna Sarumpaet disetarakan dengan kedua perempuan pahlawan nasional itu. Kartini, meski dengan senjata pena miliknya, ia mampu mengajak perempuan Indonesia untuk bangkit dan keluar dari cengkeraman budaya patriarkhi yang mengungkung kaumnya. Cita-citanya adalah diberikannya hak-hak kaum perempuan di bidang pendidikan. Gagasan pendidikan bagi kaum perempuan ini tidak pernah mendapat prioritas pemerintah, ditambah pengaruh para Bupati yang memiliki pemikiran konservatif dan para pejabat kolonial yang skeptis. (Ricklefs : 2001, 331) Meskipun begitu, Kartini tak patah arang. Semangatnya malah makin berlipat-lipat untuk mengeluarkan kaum perempuan dari lubang kegelapan menuju pada pencerahan. Lihat saja bagaimana besarnya keinginannya itu dalam
34
surat yang dikirimkannya pada Nyonya N.van Kol, Agustus 1901. Dalam suratnya itu Kartini menulis, “Aduhai, ingin sekali, benarbenar saya ingin mendapatkan kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan otak muda, mendidik perempuan untuk masa depan, yang dengan baik akan dapat mengembangkannya dan menyebarkannya lagi. Suatu rahmat yang besar sekali bagi masyarakat Bumi Putera, apabila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk perempuan itu sendiri dengan amat sangat kami inginkan mereka mendapatkan pengajaran dan pendidikan, yang bagi mereka merupakan rahmat yang besar�. Lihatlah. Bacalah secara perlahan-lahan kalimat yang tertera dalam surat Kartini itu. Di sana, ada semangat yang tinggi dan menggebu-gebu, serta tekad yang kuat sekuat baja, untuk mewujudkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan. Lewat tulisan-tulisannya yang terangkum dalam buku Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), generasi zaman now bisa mengetahui gagasan dan pemikiran Kartini yang sudah melampaui zamannya. Membaca surat-surat Kartini dengan Nona E.H. Zeehandelaar, Nyonya R.M. Abendanon Mandri dan Nyonya N.van Koll, membuat kita tersadar bahwa Kartini tak hanya konde dan kebaya. Apalagi disertai dengan melakukan perawatan wajah lewat operasi plastik atau penggunaan bulu mata yang terkadang malah memberatkan mata penggunanya demi hanya terlihat seksi dan
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
menawan. Tidak. Kartini tidak seperti itu. Kartini adalah pikiran dan gagasan. Kartini, kata Katrin Bandel, bukanlah sebuah ikon, tapi ia adalah manusia dengan segala kompleksitasnya. Membaca dan menyigi gagasan dan pemikiran Kartini yang ada dalam buku itu, adalah membaca suasana batin Kartini yang tak menentu dan meledak-ledak. Lalu bagaimana dengan Cut Nyak Dien? Heroik! Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kisah hidupnya. Perempuan yang dijuluki sebagai ‘Ratu Jihad dari Aceh’ ini semangatnya begitu tinggi kala memimpin perlawanan terhadap kolonialisme di Tanah Rencong, Aceh. Berkat perlawanan yang berada di bawah komando dirinya, kolonialis Belanda merasa kewalahan mencari jalan untuk meluaskan cengkeraman kekuasaannya. Bagaimana tidak, selama 20 tahun lamanya ia bersama Teuku Umar memimpin perang gerilya rakyat Aceh. Masuk dan keluar hutan adalah hidup yang dijalani demi membebaskan rakyatnya menuju pada cita-cita dan harapan tentang arti sebuah kemerdekaan. Mungkin kita, sebagai generasi muda bangsa ini memiliki sebuah pertanyaan yang menyembul dalam benak. Apa sebenarnya yang menjadi pegangan dari sosok satu ini hingga mampu memiliki karakter yang begitu teguh dan kokoh laksana batu karang? Muchtarudin Ibrahim dalam buku yang berjudul Cut Nyak Dien, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1996, mengatakan, bahwa pegangan hidup Cut Nyak Dien adalah agama.
Tindakan Cut Nyak Dien jelas menunjukkan adanya persatuan kata dan perbuatan sehingga tidaklah heran bila banyak rakyat, ulama’ dan para tokoh Aceh sangat menyenanginya. Hidupnya pun sangatlah sederhana, tidak pernah terlintas dalam angan-angannya untuk hidup senang seperti kaum bangsawan lainnya. Sungguh keduanya, Kartini dan Cut Nyak Dien, pribadi yang menarik bukan? Tak heran bila atas jasa dan perjuangannya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional kepada keduanya. Pemberian gelar kepahlawanan itu mungkin tak dapat membalas semua pengorbanan yang telah diberikan bagi negara. Namun setidaknya sebagai generasi penerus bangsa kita tentu masih ingat dengan slogan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Penghargaan terhadap pahlawan juga dapat berupa pembuatan museum yang merangkum segala hal yang berkaitan dengan perjuangan dan sumbangan pahlawan tersebut. Tak hanya itu saja. Mungkin hanya di Indonesia ada taman makam yang dikhususkan bagi para pahlawan. Bicara soal taman makam pahlawan ini, penulis jadi teringat dengan pidato Sukarno pada Peringatan Hari Pahlawan dan Pemberian Tanda Jasa Bintang Maha Putra III kepada Almarhum Robert Wolter Mongisidi di Istana Negara Jakarta, 10 November 1965. Dalam kesempatan tersebut, Sukarno bercerita saat menemani Madame Widjaja Laksmi Pandit, adik dari tokoh terkemuka gerakan kemerdekaan India, Almarhum Jawaharlal Nehru, yang sedang
berkunjung ke Indonesia. Diajaknya tamu dari negara tempat di mana film-film Bollywood itu diproduksi berkeliling ke berbagai tempat di tanah air. Bandung, Sala,Bali, Yogya dan lain-lainnya. Pada tiap-tiap tempat yang dibawa itu, Laksmi Pandit melihat adanya taman-taman makam pahlawan. Ia menangis berurai air mata. Sambil terisak ia berkata, “hal yang demikian ini, di India kami tidak mempunyainya, taman makam pahlawan. Such thing we have not in India. Tapi di sini, di Indonesia ini, ada di manamana�,katanya penuh keharuan. Tak hanya itu, perempuan kelahiran Allahabad India pada 18 Agustus 1900 itu, juga menyatakan kekagumannya kala mendengar perkataan Sukarno tentang adanya taman makan pahlawan di Tabanan Bali dengan kuburan hampir 1000 jasad para pahlawan yang dikubur di sana. Atas pengalaman yang mengesankan selama perjalanan ke Indonesia itu, Laksmi Pandit sampai pada sebuah kesimpulan yes, Indonesia has achieved its independence with sacrifices and with struggle. With sacrifices and with struggle. Dari uraian di atas tadi, selintas dapat ditangkap sebuah kesimpulan, betapa gegabah dan sembrononya Hanum Rais menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Kartini dan Cut Nyak Dien. Baik perbedaan itu dari karakter, pemikiran, sikap dan tindakan. Di sini, tampak kedangkalan pengetahuan sejarah Hanum Rais. Atau mungkin, ia sudah ditutupi oleh hasrat kuasa hingga membuatnya buta dan rela melakukan apa saja demi sebuah kekuasaan.
Hanum Rais mungkin alpa bahwa Kartini dengan pena dan tulisannya, dapat menghantarkan kaum perempuan Indonesia ke pintu gerbang ilmu pengetahuan. Sedangkan Ratna Sarumpaet malah sebaliknya. Dengan kemampuan aktingnya, ia mampu mengelabui, mengecoh dan membohongi rakyat Indonesia dengan drama dustanya. Hanum Rais mungkin juga tidak membaca beberapa buku tentang Cut Nyak Dien yang digambarkan sebagai sosok yang memegang teguh agama, satunya kata dan perbuatan, serta bergaya hidup sederhana. Bagaimana dengan Ratna? Pembaca tentu sudah mempunyai jawabannya. Penulis pun hanya mesem-mesem saja saat mengetahui kalau Tim Jokowi mengirimkan buku sejarah SMP untuk Hanum Rais, dan penulis berharap sekali buku itu dibaca tuntas. Terakhir, sebagai penutup dari tulisan ini, agar tidak selalu terpapar oleh informasi bohong atau hoax, penulis menyarankan kepada pembaca agar selalu Op Jullie post! Verlist jullie kluts niet, verliest jullie kop niet!!! Siap siaga! Jangan kehilangan akal, jangan kehilangan akal! Apalagi menjelang Pemilu 2019 nanti, akan banyak parodi pengibaratan caprescawapres dengan para pendiri bangsa. Maka, tetaplah siap siaga! Jangan kehilangan akal, jangan kehilangan akal! Demikian, dan terima kasih. Wassalam!
*) Muhammad Shofa, Direktur Utama Bakornas LAPMI PB HMI Periode 2016-2018
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
35
PERSPEKTIF
AHMAD NAUFAL
SESAT PIKIR HANUM RAIS Kran demokrasi (kebebasan bersuara, berpendapat) yang terbuka lebar berkat gerakan reformasi pada tahun 1998 itu kini telah tercemari oleh drama kesedihan Hanum Rais melalui unggahan videonya terkait hoax penganiayaan Ratna Sarumpaet. Dalam video tersebut, dengan tangis kesedihan ia menyebut Ratna Sarumpaet sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini. Statemen yang sama sekali tidak berdasar dan menodai kesucian demokrasi.
P
ernyataan tersebut lahir karena empatinya terhadap Ratna Sarumpaet yang mengaku dianiaya sejumlah preman sehingga mukanya bonyok. Betapa pun tingginya empati itu, tetapi menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Cut Nyak Dien dan RA Kartini adalah sesat pikir. Bagaimana tidak, seorang nenek tua yang tidak jelas kontribusinya terhadap pembangunan bangsa ini tiba-tiba
36
disamakan dengan kedua pahlawan nasional yang dengan gagah berani mempersembahkan darah dan hidupnya untuk kemerdekaan rakyat Indonesia dan emansipasi kaum perempuan. Cut Nyak Dien adalah perempuan pejuang berdarah aceh yang gigih, tangguh dan pemberani melawan penjajahan Belanda. Di usianya yang sudah lanjut, beliau masih mampu mencabut rencong dan terus berjuang melawan
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
pasukan Belanda. Dengan perang gerilyanya, beliau mampu membuat panik pasukan Belanda. Meski kondisi fisik sudah renta dan kesehatannya menurun, tetapi pertempuran tetap ia lakukan. Dan hingga pada akhirnya ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa. Dan RA Kartini adalah perempuan yang gigih memperjaungkan emansipasi wanita. Menurutnya, wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta keseteraan hukum. Wanita tidak boleh dipandang sebagai mahkluk nomer dua di mata kaum laki-laki. Dia bergiat di bidang literasi. Rajin membaca dan menulis di surat-surat kabar. Citacita mulianya adalah ingin meliahat kaum perempuan menikmati pendidikan sebagaimana kaum laki-laki. Sehingga ia terus
memperjuangkannya hingga akhir hayatnya. Sedangkan Ratna Sarumpaet adalah perempuan yang kontribusinya terhadap bangsa ini tidak jelas, kecuali kegetolannya mengkritik pemerintah bersama kelompok oposisi, yang sedikit pun tidak memberikan solusi konstruktif terhadap persoalan yang melilit bangsa belakangan ini. Dia tidak lebih kecuali sebagai seorang wanita yang di masa tuanya hanya disibukkan dengan persoalan kosmetik dan pikirannya disesaki tentang bagaimana mempercantik kulitnya yang sudah mulai keriput dan menua. Sehingga tidak heran ketika dia melakukan operasi plastik dan mendramatisasi bekas operasinya sebagai bekas pengeroyokan sejumlah preman. Entah lah, apa yang sedang terlintas dalam pikirannya. Tetapi pada akhirnya ia mengakui, bahwa kabar pemukulan terhadap dirinya adalah cerita bohong yang dibikinnya sendiri. Maka tidak heran ketika dia menyebut dirinya pencipta hoaks terbaik. Sekali lagi saya tegaskan di sini, bahwa prestasinya tidak lebih hanya sebagai pembohong kelas wahid. Usaha menyamakan dirinya dengan kedua pahlawan nasional, Cut Nyak Dien dan R.A Kartini sebagaimana dilakukan Hanum Rais, selain sebagai sesat pikir, juga sebagai kedangkalan intelektualitas dan menciderai integritas dirinya sebagai seorang intelektual dan penulis handal paling masyhur. Pernyataan Hanum Rais di sini disebut sesat pikir material berjenis ‘argumentum ad populum’
(argumen demi rakyat). Dalam terminologi Logika, Jan Hendrik Rapar menyebut sesat pikir (fallacy) sebagai kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak shahih dengan melanggar ketentuanketentuan logika. Argumen semacam ini dilemparkan ke muka publik untuk menghasut massa, rakyat atau kelompok untuk membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakanginya demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh dukungan dan simpati massa atas tragedi yang menimpa Ratna Sarumpaet yang akhirnya mengaku berbohong itu. Sedangkan dalam kajian Balaghah, menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Cut Nyak Dien dan R.A Kartini adalah sesuatu yag fatal karena ketidakterpenuhan syarat dalam tasybih (perumpamaan), yaitu tidak adanya wajah syabah (kesamaan sifat) antara Ratna Sarumpaet sebagai musyabbah (yang diserupakan) dengan Cut Nyak Dien dan RA Kartini sebagai musyabbah bih (yang diserupai). Ratna Sarumpaet di sini sebagai pencipta hoaks terbaik, sedangkan Cut Nyak Dien dan RA Kartini sebagai pahlawan nasional yang sama-sama berjuang melawan penjajahan.
DORONGAN DAN KEPENTINGAN POLITIK Sesat pikir ala Hanum Rais tidak lahir dari ruang kosong, tetapi ada sesuatu yang melatarinya.
Menurut analisa saya, dan tentu Anda juga boleh menganalisanya dari sudut pandang yang Anda suka, bahwa ihwal menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Cut Nyak Dien dan RA Kartini disebabkan adanya dorongan dan kepentingan politik yang ingin dicapai. Tentang dorongan politik, sebagaimana kita mafhum, bahwa Hanum Rais dan Ratna Sarumpaet berada dalam satu firqah (kelompok) politik, yaitu sebagai kelompok oposisi atau penantang petahana dalam kontestasi pilpres 2019 mendatang. Jadi dia ingin menyampaikan kepada publik, bahwa Ratna Sarumpaet adalah salah satu perempuan kritis, pejuang dan peduli akan kepentingan rakyat kecil yang hari ini menjadi korban premanisme sebab kekeritisan dan daya juangnya yang tinggi dalam membela hak-hak rakyat. Penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet adalah salah satu usaha untuk membungkam suara kelompok oposisi. Dan untuk menguatkan statemennya, lantas Hanum Rais menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Cut Nyak Dien dan RA Kartini dengan menyebutnya sebagai Cut Nyak Dien dan RA Kartini masa kini. Sebuah pernyataan yang cacat ditinjau dari aspek mana pun. Asal Anda tahu, menjadi pahlawan itu tak semudah yang diucapkan Hanum Rais. Sebab, syarat pertama dan penghabisan menjadi pahlawan adalah berbuat bukan untuk kepentingan diri sendiri (Mahbub Djunaidi, Kolom Demi Kolom; Humor-Humor Bernas
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
37
Sang Maestro: 2018). Apa yang dilakukan Ratna Sarumpaet selama ini bertolak punggung dengan pernyataan Sang Maestro Mahbub Djunaidi di atas. Dan saya berani menyatakan, nyaris tindak tanduk Ratna Sarumpaet selama ini bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk memenuhi kepentingan dan syahwat politiknya yang bersembunyi di balik nama agung ‘rakyat’. Sedangkan kepentingan politiknya adalah kepentingan politik pilpres 2019 mendatang. Tentu sebagai kelompok oposisi atau penantang petahana, Hanum
Rais tidak akan melewatkan kesempatan emas ini sebagai modal besar untuk menarik simpati publik dan meraup suara pemilih sebanyak mungkin untuk memenangkan pasangan capres-cawapres yang didukungnya. Alhamdulillah, drama hoaks Ratna Sarumpaet tersebut cepat terbongkar. Jika tidak, tragedi memalukan ini akan menjadi topik yang paling seksi untuk diolah dan digoreng oleh Hanum Rais beserta antek-anteknya dan kemungkinan besar akan memicu gelombang aksi demonstrasi akbar menjelang pilpres 2019. Sungguh akan menjadi tontonan menarik bagi masyarakat
kita yang melarat ini. Akibat syahwat menggebu Hanum Rais dalam membela dan bahkan menyamakan Ratna Sarumpaet dengan Cut Nyak Dien dan RA Kartini, integritasnyalah kemudian menjadi taruhannya. Ketika Ratna Sarumpaet ketahuan berbohong, maka seketika itu pulalah integritasnya sebagai dokter gigi, intelektual, penulis dan tentu public figure runtuh. Nyaris tak tarsisa.
*) Ahmad Naufal, aktivis HMI Sumenep, Jawa Timur.
SEGENAP REDAKSI
LAPMI SINERGI YOGYAKARTA MENGUCAPKAN
Selamat & Sukses Atas Dilantiknya Pengurus Bakornas LAPMI PB HMI 38
Periode 2018-2020
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
POJOK JOGJA
Pentingsari:
Laboratorium Wisata Asia
“
Desa adalah khazanah peradaban Nusantara. Bahasan soal desa sampai kini masih intens, kompleks, dan tak pernah habis digali. Pembangunan desa, misalnya.
D
esa adalah khazanah
peradaban Nusantara. Bahasan soal desa sampai kini masih intens, kompleks, dan tak pernah habis digali. Pembangunan desa, misalnya, terus menjadi concern pembangunan hampir di setiap periode pemerintahan Tanah Air. Tak ayal, Soetardjo (1965) menyebut “desa” dengan analogi menarik: “Republik Kecil”. Betul memang, Indonesia secara geogfrafis adalah gugusan pulau yang terbagi menjadi 74 ribu desa yang dihuni oleh lebih 65 persen masyarakatnya. Pembangunan desa tetap menjadi prioritas pemerintah. Bukan hanya karena kuantitas dominatif desa yang menempati hampir sepertiga kawasan di
Indonesia, tetapi desa, dengan beragam sektor tradisionalistik dan dimensi alamiahnya, menjadi brand position pemangunan nasional. Pembentukan kementerian baru, yakni Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi sebagai integrasi dari tiga domain kementerian—Kementerian Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Pemberdayaan Desa), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi—menjadi bukti konkret, bahwa desa adalah obyek pembangunan nomor wahid. *** Salah satu bentuk pembangunan desa ialah mengembangkan desa wisata. Sebagaimana jamak dipahami, tren
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
39
“
wisata menjadi poros fenomena global. Kondisi ini, sebagaimana juga disebut oleh Faidlal Rahman, berpaut-likat dengan peningkatan konsumsi komoditas wisatawan dan perkembangan tekhnologi yang begitu pesat, terutama transportasi dan informasi. Sehingga, sangat banyak negara-negara di Indoensia yang menempatkan domain pembangunan pada sektor yang begitu menggiurkan finansial ini: pariwisata. Promosi wisata, pada perkembangan berikutnya, lebih mengedepankan profesionalitas dan keunikan khas (uniqueness and quality). Desain tempattempat wiasata kemudian disulap sedemikian rupa untuk mengejawantah konstruksi global itu: khas dan lokalistik. Pandangan macam ini yang melatar belakangi lahirnya desa-desa wisata (village tourism) di Indonesia. Karena secara mendasar, sift paradigm wisatawan dalam negeri dan mancanegara mulai memilih wisata jenis ini daripada yang konvensional. Pengelolaan desa wisata mesti menjadi perhatian serius masyarakat. Setidaknya, model destinasi wisata desa harus memenuhi bebera kriteria: (1) tidak bertentangan dengan adat dan tradisi; (2) pembangunan fisik sebagai pemicu kualitas, dengan catatan, tidak menghilangkan sarana lokalitasnya; (3) memperhatikan unsur kelokalan dan keaslian, seperti dalam arsiteksur, pola lanskap, serta material bangunan; (4) berwawasan lingkungan dan bervisi memberdayakan masyarakat. Desa Pentingsari, Kabupaten Sleman,
40
DIY adalah contohnya.
EKSOTISME PENTINGSARI Pentingsari, sebuah desa di Kabupaten Sleman, DIY, yang popular dengan eksotisme alamnya, dikenal paling masyhur hingga ke mancanegara. Letak geografisnya yang menawan—di kawasan bawah lereng Merapi—menjadi nilai plus Desa Wisata nomor wahid DIY ini. Pentingsari menyajikan beragam destinasi wisata yang berhasil mengikat minat pengunjung dalam dan ataupun luar negeri. Pada 15 Mei 2008, desa ini ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sebagai desa dengan beragam objek wisata, Pentingsari beberapa kali menyabet penghargaan dari swasta ataupun pemerintah. Salah satunya, Desa Wisata Pentingsari mendapat penghargaan tingkat dunia dari UNWTO PBB atas keberhasilannya pada sektor managemen dan tata kelola berdasar kaidah Kode Etik Kepariwisataan Dunia. Desa Wisata ini terletak di Dusun Pentingsari, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Pentingsari kawasan desa seluas 103 ha ini adalah dataran tinggi dengan lanskap yang berbentuk semenanjung: sebelah barat terdapat lembah Kali Kuning, sebelah timur terdapat Kali Pawon, sebelah selatan terdapat lembah berupa Gua Ledok, dan sebelah utara adalah dataran yang dapat berhubung langsung dengan tanah di sekitar Umbulharjo hingga ke lereng Merapi. Desa Wisata Pentingsari
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
menawarkan seabrek keistimewaan wisata yang dihimpun menjadi dua kategori: wisata alam dan wisata sejarah. Selain itu, trecking tetap menjadi aktivitas wisata yang paling digemari pengunjung, yakni berjalan mengelilingi Desa Pentingsari. Khazanah kekayaan alam Pentingsari menjadi wahana rekreasi tradisonal yang mampu membuat tenang dan menghilangkan penat. Saat trecking, pengunjung bisa melihat hamparan hijau padi, kebun salak, dan lembah Sungai Kuning dan Pawon. Selain itu, wisatawan juga disuguhi pemandangan asri dari semenanjung: sebuah perkebunan coklat, kopi, dan cengkeh, dan selaksa pohon buahbuahan, seperti salak, durian, manggis, dan pepaya. Semua khazanah ini dikemas dengan managemen yang begitu natural dan berbasis kemasyarakatan. Misalnya, aktivitas outbound yang sekarang menjadi tren wisata populer, terutama sebagai media meningkatkan teamwork, pelatihan leadership, atau sekadar laku rekreasi, banyak dijumpai di Pentingsari. Letaknya yang berdekatan dengan Gunung Merapi menambah kesejekuan dan keaslian alamnya. Desa Wisata Pentingsari bahkan memiliki fasilitas dan akomodasi yang sangat lengkap. Homestay, misalnya, untuk kapasitas 400 orang, Camping Ground, Rute Tracking (berjalan keliling desa), Rute Cycling (bersepeda di area pedesaan); fasilitas outbound untuk perusahaan dan sekolah; Joglo untuk wahana studi Gamelan dan membatik; bangunan peninggalan bersejarah, seperti Gua, water
“
Desa adalah khazanah peradaban Nusantara. Bahasan soal desa sampai kini masih intens, kompleks, dan tak pernah habis digali. Pembangunan desa, misalnya.
“
fall; serta sehamparan tanaman, perkebunan, dan peternakan yang lengkap. Khazanah kekayaan alam dan budaya yang dikemas menjadi destinasi wisata di Pentingsari bisa diruntun sebagai berikut: (1) Pancuran Suci Sendangsari. Aspek mitologis lokasi yang dipercaya sebagai tempat bertemunya Dewi Nawang Wulan dengan Joko Tarub ini dipercaya dapat menyembuhkan beragam penyakit; (2) Luweng. Luweng adalah bukti perjuangan Pangeran Diponegoro dalam mengusir penjajahan Belanda di Yogyakarta; (3) Rumah Joglo yang mafhum digunakan sebagai tempat pentas seni, diklat, dan pelatihan— seperti Gamelan dan membatik; (4) Batu Dakon sebagai tempat mengatur strategi waktu penjajahan Belanda; (5) Jalur Tracking. Dalam banyak keterangan, Wisata Desa Pentingsari dibangun atas 3 variabel utama: keunikan alamnya, sistem kerja/managemen wisata, serta pemberdayaan (civility) masyarakat. Ketiga komponen utama ini, pada tahap praktisnya, dinilai sebagai
keberhasilan prospektifitas Desa Wisata Tanah Air. Bagaimanapun, apa yang disebut Desa Wisata oleh Inskeep (1991) sebagai small group of tourism stay in or near traditional, often remote village and learn abaut village life and the local environment justru menemukan juntrungnya di Pentingsari. Desa Wisata Pentingsari menawarkan tidak hanya kekayaan alam dan peninggalan sejarah yang memang menjadi minat khusus wisatawan, tetapi juga aspek sosial-
budaya dengan mengenalkan realitas kehidupan, fenomena kebudayaan, dan khazanah sosial lainnya. Komponen umum Desa Wisata—yakni atraksi-akomodasi, fasilitas, pengembangan umum, dan aktivitas wisata—memang tersedia lengkap di Pentingsari ini. Profesionalitas pengelolaan wahana wisata oleh masyarakat sendiri menjadi bukti konkret efektifitas pemberdayaan. Di luar itu, aksesibilatas dan paket wisata yang disediakan oleh managemen pengelola sudah begitu bagus, dengan terutama mengandalkan sektor natural (alam), sosal-budaya (tour budaya dan sejarah), serta kreasi wisata lain seperti outbound dan tracking. Pentingsari tidak pernah sepi pengunjung. Wisatawan mancanegara banyak menyebutnya sebagai “laboratorium wisata Asia” dengan beragam keunikan dan kekhasannya. Bila Anda belum pernah berkunjung, segeralah.. Selain itu, hal krusial yang penting juga diperhatikan adalah soal kesiapan dan profesionalitas masyarakat sebagai komponen utama pengelolaan lokasi wisata. Bagaimanapun, desa wisata lebih sebagai usaha untuk—selain mengembangkan devisa pendapatan daerah— memberdayakan masyarakat dari kemiskinan struktural, seperti yang disebut Michael Lipton (1980). Pengawalan dan pendampingan dari pihak profesional tidak semata untuk menguatkan teknis pengelolaan, tetapi untuk terus membangun prinsip-prinsip wisata yang berkelanjutan (sustainabel tourism). Begitu.***
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
41
PUSTAK A
Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal ISBN Peresensi
K
: Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan : Rusdi Mathari : Mojok : Juli 2018 : 257 halaman : 978-602-1318-64-5 : Faiz Rifqy
eberadaan media sosial membuat masyarakat mengalami overload informasi. Banjir informasi ini akhirnya menjadi berkah sekaligus masalah. Di mana berita dapat ditemukan dan diakses secara cuma-cuma oleh siapa dan dari mana saja. Maka, tidak mengherankan jika pada akhirnya terjadi jebolnya tanggul filter informasi yang mengakibatkan; tersebarnya berita hoaks; menurunnya rasa percaya terhadap media arus utama; sampai konstruk kegemaran masyarakat pada konsumsi berita yang sifatnya homogen. Meminjam kalimat dari Wisnu
42
Prastetya dalam pengantar buku ini, media adalah ikhtiar merawat jurnalisme. Maka, buku berjudul Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan diposisikan sebagai sebuah gagasan kritik-autokritik Rusdi Mathari terhadap realitas jurnalisme kita saat ini, sekaligus respon dari kecenderungan media kita (tanpa mengeneralisasikan) yang enggan melakukan kritik diri dan akhirnya justru melumat kewibawaan dan tradisi baik jurnalisme itu sendiri. Buku ini berisi kumpulan esai yang diambil dari status Facebook, catatan di blog, materi pelatihan jurnalistik, serta liputan Rusdi ketika bekerja di media.
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
Di era demokrasi seperti sekarang, kritik terhadap jurnalisme tidak melulu berkutat pada akurasi berita. Banyak aspek lain yang menunjang, seperti pembacaan mendalam dan melihat apa yang tersembunyi di balik berita. Seperti dalam buku ini, Rusdi melayangkan kritik hingga ke fungsi imperatif media. Sebab, kerja-kerja jurnalistik berperan sebagai “watchdog� bagi jalannya perpolitikan suatu negara; sebagai alat pemantau, bahkan, jurnalisme dikatakan menjadi pelengkap dalam tatanan Trias Politica dan menjadi pilar keempat tegaknya negara demokrasi. Dalam buku ini, kritik Rusdi tidak hanya mengarah untuk
media lokal atau nasional, sebab, tidak jarang ia menohok media yang lingkupnya global. Melalui esai berjudul “Wartawan dan Kebohongan”, Rusdi menanggapi fenomena tersebut dengan mengangkat skandal, yang salah satunya menimpa Cooke, reporter The Washington Post. Cooke menulis artikel berjudul “Dunia Jimmy” yang sempat dipublikasikan tahun 1980. “Dunia Jimmy” mengisahkan seorang anak kulit hitam yang kecanduan heroin. Cooke menggambarkan Jimmy sebagai anak umur 8 tahun yang tumbuh di sudut kota Washington DC mengalami hidup yang memprihatinkan: di umurnya yang
masih kanak-kanak, tangan Jimmy sudah dipenuhi bekas tusukan jarum suntik (narkoba). Tak ayal sehari setelah artikel “Dunia Jimmy” dipublikasikan, redaksi The Washington Post dibanjiri telepon dari pembaca yang simpati kepada Jimmy—mulai dari meminta alamat, hingga permintaaan agar redaksi The Washington Post membuka identitas anak dalam artikel “Dunia Jimmy”. Tetapi, setelah ditelisik lebih lanjut ternyata artikel “Dunia Jimmy” hanyalah karangan Cooke semata. Cooke tidak pernah bertemu dengan Jimmy. Cooke mengaku, terpaksa mengarang kisah “Dunia Jimmy” karena redakturnya selalu
mendesaknya untuk menghasilkan sesuatu. (hlm.23) Hal serupa juga sempat terjadi di jagad jurnalisme tanah air, seperti saat pemuatan dua berita Jawa Pos, tentang keluarga Dr. Azhari, warga negara Malaysia yang disebut-sebut sebagai tersangka teroris. Kejadian di atas hanya salah satu peristiwa ironis dalam jurnalisme yang disinggung Rusdi ketika menemukan banyak berita bermuatan fiksi. Sehingga dalam buku ini beberapa kali Rusdi menegaskan bahwa “wartawan dan kebohongan adalah dua senyawa yang tidak boleh bersatu”. Dalam dimensi yang lain, buku ini ditunjang dengan pengalaman Rusdi yang telah 25 tahun lebih bergulat di ranah praktis dunia media dan jurnalisme. Sehingga tulisan dalam buku setebal 257 halaman ini tajam dalam mengajukan refleksi dan pembacaan situasi. Sebagai jurnalis, Rusdi mampu memberikan perspektif kepada publik bagaimana seorang jurnalis memandang media dan jurnalisme dengan kritis.
PERAN MEDIA ALTERNATIF Kini, media massa memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat. Setelah atau sebelum Bill Kovack melakukan manuver dan gebrakan di Amerika melalui jalan jurnalistik, jurnalisme telah lama menjadi sarana penyambung lidah rakyat. Ihwal tersebut ditambah dengan feomena ledakan
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
43
informasi di era digital ini, di mana informasi dapat diperoleh hanya dengan hitungan menit, bahkan detik. Hal tersebut ditunjang dengan maraknya media sosial (daring) yang berarti menciptakan ruang komunikasi yang lebih luas. Sehingga semakin luas ruang komunikasi yang tercipta, semakin besar pula kesadaran akan kebutuhan informasi yang mendorong munculnya beragam media pemberitaan. Saat media arus utama atau media mainstream masih bertendensi pada rating, untungrugi, dan politik media dengan keberpihakan pada pemilik modal, maka tidak mengherankan jika pada suatu waktu, masyarakat yang hendak menumbuhkan hasrat kritisnya mulai meninggalkan media mainstream. Karena, konglomerasi berita tidak cukup terangkum dalam satu pemberitaan suatu media; karena satu berita tidak akan mencakup banyak sisi yang tidak tampak dari berita tersebut. Ambil contoh, ketika rezim Orde Baru menguasai seluruh siaran televisi di Indonesia. Berita yang hegemonik memengaruhi pandangan masyarakat kita dalam menanggapi suatu isu, semua serba homogen. Kemudian sebagai reaksi muncullah koran yang berbeda dalam mengupas isu seperti Tempo atau berbagai kegiatan jurnalisme di ranah kampus saat media besar seperti Kompas memilih jalur aman. Rusdi Mathari dalam bukunya juga tak jarang menanggapi perihal media alternatif. Salah satunya ketika Rusdi mengangkat kisah yang terjadi di Mesir: tetang seorang pengguna blog bernama Wael Abbas. Pada saat itu Mesir
44
sedang bergejolak. Menurut Wael, situasi Mesir menjelang pemilu banyak diwarnai aksi protes dan demonstrasi menentang kekuasaan Husni Mubarak. Pemerintahan represif rezim Mubarak membuat banyak warga Mesir menghendaki kehidupan sosial politik yang baru. Tetapi, sayangnya, menurut Wael, tidak ada media Mesir dari media arus utama memberitakan gelombang protes tersebut. Wael berpendapat, terdapat hak orang dalam pemberitaan itu. Maka, Wael dan beberapa blogger Mesir yang lain memutuskan melakukan kerja jurnalistik dan mengambil peran arus media utama di Mesir yang ketakutan untuk memberitakannya lebih awal (hlm. 62). Dalam waktu singkat publikasi Wael melalui blog miliknya mendapat respon dari masyarakat, pihak oposisi, dan media mainstream di Mesir pada akhirnya banyak menggunakan foto dan video Wael di halaman pertama media mereka. Tak tanggung-tanggung, upaya Wael diapresiasi oleh Pusat Wartawan Internasional (ICJ) sebagai wartawan yang telah membawa perubahan. Pengakuan tersebut ditandai dengan pemberian Knight International Journalism Award kepada Wael. Dan, barangkali di dunia ini masih banyak Wael Abbas yang belum kita temukan—aktivis media yang bergerak dengan idealisme tinggi guna mewujudkan dan menyuguhkan jurnalisme yang mewakili rakyat dan bermartabat.
IKHTIAR Kiranya buku ini adalah ikhtiar Rusdi dalam menanggapi
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
problem jurnalisme saat ini. Terkhusus, kritik terhadap media dan jurnalisme di Indonesia yang notabene masih sangat jarang. Media di Indonesia cenderung antikritik. Akibatnya, hilanglah evaluasi dan refleksi diri dalam tubuh media tersebut. Padahal, problem jurnalisme kian lama kian beragam. Seperti dalam “Hoax, Para Monyet dan Wartawan”, misalnya. Rusdi menanggapi problem dan kecenderungan wartawan yang tidak pandai berkaca. Dalam artian, mereka sering mencibir pihak yang sering menyebarkan informasi palsu. Tetapi, dalam kerja kejurnalistikan, mereka tidak jarang memungut informasi dari sumber tidak jelas. Lain halnya dalam “Sumber Berita”, Rusdi menanggapi perihal roh suatu berita— wawancara sebagai sumber berita, meski kredibilatas sumber memang bukan segalanya. Sebab, masih ada yang lebih penting seperti akurasi dan verisfikasi. Maka dalam tulisan tersebut, Rusdi beberapa kali menyentil wartawan yang seringkali mengenyampingkan verifikasi dan akurasi. Sebagai buku “Kritik”, barangkali pegiat media dan masyarakat perlu membacanya. Atau paling tidak memahami permasalahan jurnalisme yang kian kompleks. Sebab, sudut pandang pembaca (baca: masyarakat) yang kritis secara langsung atau tidak juga akan memengaruhi pola pemberitaan media terkait. Sebab, mau tidak mau industri media selalu bergantung pada segmentasi pasar yang dituju.W
CERPEN
IKHSANUDIN MUAS
Sumber Ilustrasi: Pinterest.co.
Negeri yang Hilang
A
ku berharap suatu saat kelak, semua yang terjadi di masa saat ini, berubah menjadi masa yang lebih baik di masa mendatang. Tak ada lagi tangis kelaparan. Semua bentuk kekerasan dan kekejaman semoga berakhir. Ini adalah doaku suatu malam dingin musim kemarau, diringi suara perut yang berdendang.
Peperangan telah melululantakan kebahagiaan kami. Menghancurkan segala impian kami dengan letupan-letupan mortilmortil yang berasal dari neraka. Desing peluru, jeritan terdengar. Setiap hari malaikat maut tak hentihentinya pembayarkan tugasnya. Seandainya ada sebuah alat untuk bisa melihat masa depan, ingin tahu masa mendatang seperti apa nasib
kami. Apakah kita bisa bertahan? Atau mungkin kami sudah binasa? Bayangan kami seperti nasib bangunan-bangunan di kota kami yang berkeping-keping akibat peperangan. Kota yang indah. Kota yang selalu menghidupkan harapan untuk kami, untuk saat ini tidak ada lagi. Keindahannya pun berangsuransur memudar. Sungai Hendegran sebagai poros keindahan di kota
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
45
kami kini telah meredup seiring dengan adanya peralihan fungsi sebagai pertambangan emas. Tak ada lagi perahu-perahu yang mengelilingi taman kota. Tak ada lagi angsa-angsa yang memadu kasih. Tak ada ikan-ikan yang biasanya menyambut roti para pengunjung. Ketegangan ini telah berlangsung bertahun-tahun, ketika perang saudara pecah. Sekarang perang dimulai lagi setelah beberapa tahun yang diadakan gencatan senjata. “Kapan peperangan ini akan berakhir? tanyaku pada ibuku. “Entahlah, kami yang ada di tenda pengungsian belum tahu, perang saudara ini akan berakhir. Padahal kata kakekmu, dulu hubungan antar negeri seberang dengan negeri kita baik-baik saja. Tak ada pertikaian. Tak ada saling berseteru di antara keduanya,” tutur Ibu dengan mata berlinang, tak kuasa menahan keadaan seperti ini. Aku melihat orang-orang di pengungsian. Mereka tampak seperti orang yang kehilangan asa. Banyak bocah yang menangis kehilangan anggota keluarganya. Tangisan itulah yang menjadikan tempat ini sesak akan kesedihan. Gegetiran hidup semakin terasa nyata, bila melihat korbankorban berbaring di atas tikar. Kesakitan-kesakitan seakan menghimpun kesedihan yang tak dapat ditanggung seorang diri. Apa kabar ayahku? Apakah ayahku masih hidup? Atau bernasib sama dengan pejuang-pejuang lainnya? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu sesak dalam pikiranku. Tak ada khawatiran melebihi anggota
46
keluarga dalam perjuangan di medan perang. Aku selalu berharap malaikat tidak menjabut nyawa ayahku dalam medan perang. Maka di malam musim kemarau ini, ketika orang-orang sibuk dengan mimpi-mimpi mereka masing-masing, aku selalu bertanya kepada Tuhan, apakah negeriku bisa kembali seperti semula. Seperti dulu kala ketika anak-anak riang, berlari ke sana ke sini di padang rumput, dikelilingi pohon-pohon pinus. Bermain sampan di sungai Hendegran di kala sore hari, menikmati senja keemasan. Tetapi aku rasa, Tuhan tak akan mengembalikan kotakku seperti semula. Meskipun Tuhan berkuasa atas segalanya. Tuhan juga tahu jika kota kami dihancurkan. Tuhan juga tahu jika perang ini tetap berlangsung, padahal Tuhan tahu jika ia tidak suka dengan kerusakan. Mengapa Tuhan tak menjawab pertanyaanku? Aku seperti berbicara sendiri, padahal aku meluapkan segera kegelisah dan kesedihan kepada Tuhan, tetapi Tuhan tidak menjawab. *** Hari ketiga peperang, sudah tak terhitung lagi jumlahnya prajurit yang gugur. Masing-masing kerajaan telah banyak kehilangan kekuatan. Seorang ahli siasat telah mempersiapkan strategi jitu untuk peperangan hari ke empat. Semua pemimpin angkatan militer kerajaan berkumpul membahas taktik untuk peperangan besok. Rush sebagai panglima perang memimpin jalannya rapat. Sementara para perwira dan beberapa orang ahli perang
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
tengah berpikir selang perang ke empat. Banyak prajurit mengerang kesakitan. Banyak pula mereka yang sekarat. Ia tampak sibuk dengan pikirannya. Ia memikirkan bagaimana cara membuat jebakan, karena banyak pasukannya yang gugur pada hari pertama dan kedua. “Kita harus mengambil alih jalannya perang esok. Tempatkan pasukan panah kebelakang, sedangkan pasukan tombak, kita tempatkan ke sisi depan. Ledakan mortil-mortil itu bersamaan dengan anak panah menuju arah musuh.” Seorang ahli siasat, sekaligus panglima perang memberikan pengarahan. Tampak gagah, berjenggot, tinggi besar. Rush adalah seorang panglima perang yang disegani di wilayah Martasa. Wilayah yang terdiri beberapa negeri. Wilayah ini dihubungkan oleh Sungai Hendegran yang telah menjadi saksi lahirnya negerinegeri di wilayah itu. Peradaban lahir sana. Semua ilmu pertanian, kedokteran, hasil tambang dan lain sebagainya turut menjadi saksi kejayaan. Dulu kala, ketika Raja Robertozo masih menduduki singgasana, rakyat makmur, tentram dan damai. Tetapi setelah negeri Martasa dibagi menjadi dua kerajaan. Kecemasan itu timbul sampai pada titik di mana kehancuran terlihat. Dua pangeran dari dua permaisuri pada akhirnya berebut kekuasaan. Di pihak pengeran Arcadio yang sekarang menduduki sebagai raja Rumansia menuntut haknya atas nama keadilan dengan segala cara.
Termasuk tak memberi kesepakatan atas perang ini berlangsung di mana. Akibatnya kota utama negeri Ginari menjadi hancur. Itulah penyebab kehancuran negeri Ginari. Sementara raja Carles diungsikan ke negeri sahabat. Kota Khayalan digulung mendung tebal. Kami tidak tahu jika suatu hari ketika kami pulang dari pengungsian, kota kami telah berubah menjadi kepingankepingan reruntuhan. Atau mungkin ayah tak kembali. Perang selalu menyengsarakan. Perang itu selalu kejam, dan perang itu selalu memisahkan kami dari orang-orang yang kami sayangi. Kemungkinankemungkinan itu sepertinya sangat nyata, bila mana ada kabar dari medan perang yang selalu memberi kabar tak baik. Jantungku terasa berdetak menggedor-nggedor dada. Ulu hati rasa nyeri. Mata memanas setiap mendengar kabar pahit. Seorang prajurit membawa kabar, bahwa pasukan musuh telah memasuki kota. Itu artinya pasukan pasukan yang dipimpin oleh panglima Rush terdesak. Kemungkinan besar mereka akan bertahan. Aku ingat ayahku pernah berkata, menyerang adalah cara bertahan yang terbaik. Ayah berjanji, akan kembali dengan keutuhan negeri ini. “Jika ayah tidak kembali bagaimana?” ucapku, sebelum pamit ayah pergi berkumpul dengan prajurit yang lain. “Jika ayah tidak kembali, maka ayah telah gugur dan tidak kembali. Namun yang harus kau tahu, tidak ada alasan untuk tidak mengobarkan nyawa demi
negeri. Jika kelak kau besar, jadilah orang yang memiliki cinta kepada tanah air.” Ia memelukku. Memeluk adikku. Memeluk ibuku. Memeluk segala kenangan yang terlewati. Kemudian naik ke pelana kuda. Kuda itu meringik. Ayah melambaikan tangan. Aku pun demikian. Tubuh ayah dan kudanya semakin mengecil dari kejauhan. *** Seperti malam yang sudahsudah, hampir terlewati dengan musim kesedihan. Malam sudah hampir melampaui batas waktu. Aku masih menunggu jawaban dari Tuhan, sekaligus meminta kepada Tuhan, perang hari ke empat untuk membantu para prajurit untuk bisa memenangkan peperangan. Aku selalu bangun di kala dini hari, tujuannya adalah supaya tidak ada yang mengusik ketenanganku untuk berdialog dengan Tuhan. Aku lihat masih ada bintang. Aku juga melihat rembulan masih ada di malam ini. Tak ada mendung menggulung langit. Malam ini terasa lebih lengang dari pada malam-malam sebelumnya, hanya saja suara ayam jantan sesekali berkokok. Setelah melewati beberapa waktu, waktu fajar tiba. Orang-orang di pengungsian beberapa bangkit dari tidurnya. Ibu menghampiriku. “Apa kau tidak tidur dari semalam,” tanya ibu. “Tidur sebentar. Aku terjaga untuk meminta jawaban dari Tuhan,” ucapku. “Jawaban tentang apa?” “Tentang semua ini. Tentang mengapa peperangan ini terjadi. Aku berharap semua kembali
seperti semula.” Fajar mulai menyingsing. Aku dan orang-orang diberi roti gandum yang dikirim dari istana. Aku menatap ke arah utara di mana peperangan itu dilaksanakan. Menurut kabar, perang hari ke empat akan berlangsung pagi ini setelah matahari merangkak naik. Prajurit istana menyampaikan hal ini dan memohon bantuan doa dari rakyat Ginari. Tetapi itu sebuah hal yang sulit, karena sebagian besar kekuatan bala tentara Ginari sedikit demi sedikit berkurang. Sementara dari pihak musuh banyak bantuan dari negeri-negeri seberang. Ringikan kuda terdengar dari kejauhan. Seorang prajurit menuruni bukit, terus mendekat ke perkemahan pengungsian. Selang beberapa waktu, seorang prajurit tergopoh-gopoh datang ke tenda pengungsian. Prajurit mengikat kudanya di samping tenda. Aku menduga dua orang prajurit itu pasti hendak memberi kabar dari medan perang. Sepertinya itu prajurit musuh. Semua orang menyambut kedua prajurit itu. Orang-orang tampak tegang. Berita baik atau buruk. Orang-orang keluar dari tenda, berkumpul di depan tenda. Salah satu prajurit itu memberi kabar bahwa perang sudah berakhir. Musuh sudah menduduki istana. Negeri Ginari telah runtuh. Raja baru sudah lahir. Prajurit itu juga menyampaikan pesan dari sang raja, bahwa yakinkah akan ada perubahan yang akan membawa bangsa ini jauh lebih baik. (*)
EDISI-XXII OKTOBER 2018 | SINERGIA |
47
E M A N S I PA S I
PEREMPUAN PERADABAN
A
pakah masih terjadi perdebatan siapa yang paling layak menjadi manusia yang di anak emaskan oleh Tuhan? Jawabannya jelas antara laki-laki dan perempuan, bukan? Lebih jauh lagi siapa yang akan siap menjadi aktor utama dalam revolusi industry 4.0 nanti? Bagaimanakan bentuk metaformosa perempuan dan laki-laki dalam menggeluti dunia yang penuh dengan tanda tanya ini? Menariknya, metafora dan dualisme yang dibangun atas laki-laki dan perempuan; aktifpasif, teknis-non teknis, telah diargumentasikan oleh Mary Wollstonecraft. Ia berargumen bahwa jika laki-laki disimpan dalam sangkar yang sama seperti perempuan dikurung, laki-laki pun akan mengembangkan sifat yang sama seperti perempuan. Mary pada waktu itu mengkritik karya Emile karya Jean-Jacques Rousseau yang menggambarkan perkembangan rasionalitas sebagai tujuan pendidikan yang paling penting bagi laki-laki, tetapi tidak bagi perempuan. Pemikiran Rousseau ini mengandaikan bahwa murid perempuan yang ideal adalah yang menyibukkan diri dengan musik, kesenian, fiksi, puisi sembari mengasah keterampilannya melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (Tong, 1998:19). Hal ini memperlihatkan bagaimana pola pikir dan konstruksi sosial telah
48
lama dibangun. Pembedaan caracara pengasuhan dan pendidikan yang membuat perempuan terpinggirkan dari pendidikan, pendidikan teknologi khususnya (Pratiwi, 2016:11). Sebuah pradigma lama mengenal kalimat “Aku hanya seorang perempuan” konotasi yang menggambarkan setrereotipan akan perempuan. Dengan berbagai upayah kaum feminis menjadi control penuh akan perkembangan perempuan, hal demikian dapat dilihat ketika tahun 1960-an, dalam ilmu antropologi muncul teori tentang homosapiens modern yang disebut “Man The Hunter”. Teori tersebut beranjak dari klaim peradaban bahwa berburu dianggap sebagai pusat pekembangan manusia dan kerjasama sosial, laki-laki lebih dominan dalam berburu sehingga dianggap lebih bertanggung jawab pada kemajuan sosial dan umat manusia. Teori tersebut dikiritk oleh Ruth Hubbard dengan melontarkan pertanyaan, “Apakah hanya manusia laki-laki yang berevolusi?”. Di tahun 1970an para antropolog perempuan dengan pengaruh pemikiran feminisme memunculkan teori “Women Gatherer”, yang artinya perempuan telah berkontribusi terhadap persediaan makanan umat manusia dengan mengumpulkan tanaman, kacang-kacangan dan biji-bijian. Para antropolog tersebut
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018
mengklaim bahwa menyediakan makanan dari tumbuh-tumbuhan lebih penting daripada melakukan perburuan besar-besaran (Dusek, 2006). Contoh simple bahwa sejak 2002, Indonesia secara bertahap menerapkan kuota gender. Indonesia sekarang memiliki beberapa set kuota gender untuk kandidat pemilu yang diatur di bawah peraturan perundangundangan yang mengatur soal partai politik dan pemilu: Partai politik didorong agar 30% dari dewan pengurus partai (baik tingkat nasional maupun daerah) adalah perempuan. Partai politik harus mengisi setidaknya 30% dari daftar kandidat dengan kandidat perempuan. Faktanya pada pemilu 2014 perempuan hanya bisa merebut 17% kursi, hal demikian juga dijelaskan oleh perwakilan laki-laki yang menyebutkan alasan tidak tercapainya kuota perempuan disebabkan oleh minat perempuan yang sedikit dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Dilema ini semakin membuktikan bahwa perempuan masih belum terbebas dengan belenggu biologis yang mengikat pada tubuh mereka. *) Alifi Tria Susanti, Ketua Umum HMI Cabang Jember Komisariat Lumajang Periode 2017-2018.
50
| SINEGIA | EDISI-XXII OKTOBER 2018