Didaktika 1
Didaktika 2
Sapa Redaksi
M
omentum Pemilihan Umum 2014 sukses merebut perhatian segenap warga Indonesia. Mereka bersuka cita, mendukung calon pemimpin idaman masing-masing. Ada yang bersahaja, tak jarang pula yang konfrontatif. Menyerang, meledek bahkan memfitnah, semua pernah dilakukan tiaptiap kubu dalam Pemilu kali ini. Saking asyiknya pada perayaan pergantian pemimpin, Indonesia seakan lupa akan masalah-masalah yang tertinggal kemudian memberi celah pada pemimpin lama untuk melenggang tanpa beban. Untuk itu kami hadir, dengan suguhan yang kembali mengingatkan pembaca sekalian bahwa Indonesia ternyata belum beranjak. Pada rubrik Laporan Utama, kami membahas soal Bidikmisi yang selalu jadi alat narsis Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai cara strategis dalam memeratakan akses pendidikan tinggi. Namun, empat tahun berjalan program beasiswa ini justru menampakkan gejala-gejala yang menyusahkan mahasiswa penerimanya. Mulai dari keterlambatan uang turun hingga silang sengkarut antarkementerian yang mengelolanya. Sedangkan, rubrik Laporan Khusus kami isi dengan tema monopoli media televisi yang tidak berhenti sejak rezim Soeharto berkuasa. Hingga kini, media televisi dimiliki oleh segelintir pihak. Memanfaatkan frekuensi milik publik demi keuntungan pribadi. Tidak jarang siaran yang diberikan membuat masyarakat bodoh dan merenggut hak mereka untuk mendapatkan siaran publik yang bermanfaat. Kemudian pada rubrik Suplemen, kami menghadirkan laporan mengenai perkembangan fesyen perempuan muslim di Indonesia yang sedang melejit. Sementara untuk rubrik Seni Budaya, pembaca dapat menikmati seluk beluk Kampung Laweyan sebagai aikon kota bisnis di Indonesia sejak masa prakemerdekaan. Selain itu, berita teranyar dari dalam kampus pun tak lupa kami berikan. Mulai dari pengelolaan parkir UNJ yang kini ditangani pihak swasta, Pemilihan Rektor 2014, sampai karya-karya mahasiswa yang mendunia. Semuanya dapat pembaca nikmati dalam majalah DIDAKTIKA edisi kali ini. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca. Terima kasih. Kami selalu menerima kiriman saran dan kritik untuk senantiasa menjaga agar kami tetap berupaya menghadirkan bacaan yang layak untuk pembaca sekalian. Salam
.
Kulit Depan: Alfa Rifky Jamal Kulit Belakang : Adi Sundoro (Asun)
Didaktika 3
Didaktika 4
Surat Pembaca Mahasiswa: Kebingungan atau Sedang Mencari Identitas?
M
aha adalah ucapan untuk menginterpretasikan sebuah keagungan, ketinggian derajat dan kebesaran. Sudah selayaknya kata Maha sebagai awalan mahasiswa memberikan interpretasi-interpretasi tersebut dalam hal berkarya. Bukan hanya sebagai status yang memberikan prestise tetapi kita harus pula memberikan contoh konkret perilaku dan sikap sebagai mahasiswa untuk mengupayakan tujuan tri dharma perguruan tinggi sebagai identitas kolektif. Sebagai mahasiswa sudah seharusnya kita mencintai buku dan menulis untuk menggambarkan dan mengabarkan dengan imu-ilmu yang sudah kita pelajari. Sebagai upaya meningkatkan intelektualitas dalam memberikan gagasan-gagasan untuk memberikan solusi untuk menjawab persoalan negeri. Sebaliknya bukan kehadirannya menjadi persoalan Negeri. Namun, nampaknya kini mahasiswa abai memperhatikan itu. Arus modernitas dan budaya konsumerisme telah meleburkan Identitas mahasiswa untuk melupakan rasa peka terhadap situasi sosialnya. Bahkan, sikap peduli pun sudah harus diukur seberapa banyak timbal balik yang sudah kita dapatkan. Perilaku terpola tersebut sudah menjadi budaya bagi mahasiswa saat ini dan secara terus menerus diproduksi. Bukan hanya itu identitas baru bagi mahasiswa telah menjadi rujukan alternatif dalam menanamkan budaya baru bagi mahasiswa di saat budaya lama kian terkikis. Bisa kita lihat gejala
tersebut di ruang-ruang organisasi yang minim manusia, mereka takut aktivitas organisasi dapat menganggu kuliah lantaran mereka ingin lulus cepat kemudian mencari kerja, karena itu definisi populer mahasiswa saat ini. Mereka ingin selalu ada di tahap posisi “aman.� Akhirnya, organisasi kampus hanya di anggap sebagai ruang ekskul semata bukan muatan wajib sebagai identitas mahasiswa “aktivis.� Tidak sedikit mahasiswa membentuk beragam komunitas baru untuk mencari identitas mereka, namun sangat disayangkan komunitas baru yang mereka bentuk tidak menghadirkan ide-ide segar di ranah pengetahuan. Komunitas-komunitas baru mereka hanya menciptakan bentuk-bentuk euforia akibat kejenuhan mereka di ruang kelas. Kejenuhan mereka di ruang kelas tidak lagi di fungsikan atau diaktualisasikan dalam ruang organisasi. Semoga di tahun politik ini tidak hanya pemimpin yang berubah, identitas mahasiswa pun mesti harus berubah untuk menjujung tinggi kultur akademik dan tri dharma perguruan tinggi. Saya mendoakan semoga mahasiswa sadar untuk kembali ke identitas lama mereka yang sangat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia. Semoga
.
Rizki Pujianto, Ketua Lembaga Kajian Mahasiswa (LKM)
UANG KULIAH TINGGI (ukt)
S
aya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) angkatan 2012. Pada tahun tersebut merupakan kali pertama diberlakukannya sistem bayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Awalnya, orang tua saya mengira uang kuliah di UNJ turun tahun itu. Tapi ketika tahu bahwa itu adalah sistem UKT, ada raut kekecewan yang terlintas. Bagaimana tidak, kami harus membayar uang kuliah dengan besaran yang sama tiap semesternya. Kesalnya, ternyata pemberlakuan UKT baru diresmikan oleh Mendikbud pada tahun 2013. Dan saat saya menjadi maba UNJ menerobos untuk menerapkan sistem UKT lebih dulu, padahal Mendikbud baru sekadar memberikan surat edaran. Alhasil jadilah sistem yang karut marut, UKT yang seharusnya diiringi dengan uang Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Nasional pun tidak turun karena memang belum sahnya kebijakan tersebut. Belum lagi ketidak jelasan asal-usul UKT tiap semesternya. Ada satu hal yang masih sangat jelas teringat di benak saya, dulu saat bertanya ke BAAK mengenai biaya kuliah, mereka yang di loket menjelaskan UKT adalah Uang Kuliah Tunggal, jadi tidak ada pungutan apapun lagi selama melaksanakan perkuliahan. Setidaknya hal itu cukup melegakan. Namun, belum lama kuliah
di UNJ tepatnya pada semester dua, ketika melakukan study tour tugas akhir mata kuliah Ilmu Alamiah Dasar, hal itu terpatahkan, kami harus membayar biaya kuliah di luar UKT. Saat itu mungkin masih baik-baik saja karena nominalnya masih terjangkau, namun tetap saja itu saya anggap pelanggaran. Namun, ketika kabar recana Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang memakan biaya hingga Rp 3,5 juta langsung terucap dari kepala program studi, saya merasa cukup jengkel dan terbohongi. UKT yang selama ini bertujuan untuk mengatisipasi adanya pungutan liar nyatanya tak berpengaruh sama sekali. Bahkan ketika ditanyakan menyoal mahasiswa yang tidak mampu pun, jawabannya cukup ringkas: ini sudah program jurusan. Lalu, mana program universitas yang mengatakan dengan UKT kami tidak dipungut biaya apapun? Belum lagi dengan enaknya pihak kampus mengatakan bahwa mahasiswa angkatan 2012 belum UKT. Lalu yang kami bayar selama empat semester ini biaya apa? Uang Kuliah Tinggikah? Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2012 Nama ada pada redaksi
Didaktika 5
Didaktika 6 Ilustrasi Alfa Rifky Jamal
Beranda
P
BANTUAN YANG MENYUSAHKAN
emerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) nampak mulai memberikan perhatian kepada rakyat miskin untuk bisa berkuliah. Hal tersebut dijewantahkan dengan mengadakan program Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi (Bidikmisi) pada 2010. Program Bidikmisi merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh sebagai program kerja kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Seperti diketahui, tingkat kemiskinan rakyat Indonesia masih tinggi. Dari keluarga miskin itu tidak semuanya mampu membukukan prestasi dalam pendidikannya. Namun, bagi mereka yang berprestasi sudah barang tentu memiliki masalah utama yakni keuangan untuk melanjutkan pendidikan. Oleh sebab itu, melalui program Bidikmisi ini diharapkan mampu memberi solusi pada mereka yang terkendala masalah finansial. Sesuai semboyan yang tertera pada logo Bidikmisi “Menggapai asa memutus mata rantai kemiskinan”, Bidikmisi merupakan harapan bagi mereka yang terkendala secara finansial untuk melanjutkan pendidikan. Program ini juga menunjukkan kepedulian pemerintah dengan masalah kesenjangan sosial dalam berpendidikan antara masyarakat ekonomi kelas atas dan masyarakat kelas bawah. Sehingga tidak ada lagi orang yang memandang masyarakat dari tingkat ekonominya. Pendidikan secara merata dapat diberikan dan dinikmati oleh semua anak Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 bahwa hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak sepenuhnya dijamin oleh pemerintah. Pendidikan merupakan alat utama untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini juga terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dengan mendapatkan tujuan dari pendidikan dalam pasal tersebut, akan lebih mudah bagi kaum terdidik untuk membangun bangsa. Karena itu, jaminan hak berpendidikan menjadi prioritas utama untuk diberikan kepada setiap warga negara. Bidikmisi sebagai salah satu solusi atas jaminan berpendidikan warga negara dari rakyat miskin diharap bisa jadi strategi tepat yang diluncurkan pemerintah. Setiap mahasiswa mendapatkan total dana sebesar Rp enam juta tiap semesternya. Dana tersebut dialokasikan untuk daftar ulang, biaya makan, tempat tinggal dan biaya pengembangan akademik
mahasiswa yang berlaku selama empat tahun masa kuliah. Tak hanya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Pada 2011 lalu, Dikti juga memberikan anggaran dana Bidikmisi untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada 2012, terdapat dualisme pengelolaan dalam Bidikmisi yaitu antara Kemendikbud dan Kementrian Agama (Kemenag). Pengelolaan Bidikmisi PTN tetap dikelola oleh Kemendikbud. Sedangkan untuk PTAIN dialihkan pengelolaannya kepada Kemenag. Awalnya, Kemenag hanya mengelola pencairan dana Bidikmisi PTAIN mahasiswa angkatan 2012. Angkatan sebelumnya tetap berada pada Kemendikbud. Namun, kini seluruh angkatan mahasiswa Bidikmisi PTAIN dari 2010, 2011, dan 2012 pengelolaannya berada di Kemenag. Ketika peralihan pengelolaan dari Kemendikbud kepada Kemenag untuk mahasiswa Bidikmisi PTAIN angkatan 2012, terjadi beberapa masalah terkait dengan pencairannya. Keterlambatan pencairan hanya masalah awalnya. Masalah berlanjut lagi dengan masalah kedua yaitu dana yang didapatkan tidak sesuai dengan yang seharusnya. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang didapatkan hanya Rp 4,25 juta. Keadaan makin diperparah dengan pergantian bank pengelola dari Bank Negara Indonesia (BNI) ke Bank Mandiri pada 2013. Sebab, pergantian bank membutuhkan waktu tak kurang dari tiga bulan untuk pendataan dan pemberkasan ulang. Pascapencairan dana Bidikmisi dari Kemenag terakhir pada Desember 2013, hingga saat ini dana untuk semester genap tak juga diturunkan. Kejadian seperti ini jelas menjadi sumber keresahan penerima Bidikmisi. Mereka terus diminta untuk menunggu tanpa ada kepastian kapan hak mereka akan diberikan. Bahkan tak jarang tercipta isu-isu waktu cairnya dana yang sebentar lagi, namun kenyataannya hanya kebohongan belaka. Dalam proses perkuliahan hal-hal semacam ini jelas sangat mengganggu. Mereka yang sudah benar-benar tidak punya uang mau tidak mau pikirannya sudah tidak lagi fokus pada kuliah yang harusnya dijalani. Mereka cenderung berpikir bagaimana agar bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perantauan. Sebagai mahasiswa miskin jelas tidak mungkin bagi mereka mengharapkan kiriman dari orang tua. Akhirnya yang terjadi kuliah bukan lagi prioritas. Sebab, ada yang lebih penting yaitu kebutuhan hidup dari makan sampai tempat tinggal. Akhirnya, banyak yang memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Hal tersebut menyebabkan mahasiswa Bidikmisi sulit menjadi mahasiswa yang unggul dalam keilmuannya. Namun, pemerintah tetap menuntut mahasiswa dengan perolehan indeks prestasi yang telah disyaratkan. Jelas terjadi ketidakseimbangan antara hak yang harus didapat dengan kewajiban yang dibebankan. Menyikapi ini pemerintah mestinya benar-benar membuktikan komitmen, keseriusan dan kesanggupan dalam menjalankan tugas
.
Didaktika 7
LAPORAN UTAMA
HARAPAN PALSU UNTUK SI MISKIN
Alih-alih membantu meringankan beban hidup, Bidikmisi justru membawa mahasiswa pada jerat hutang. Oleh Binar Murgati Pardini Ilustrasi Taufik Hidayat
H
ingga saat ini, pendidikan masih diyakini sebagai pintu utama menuju kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sayangnya, di Indonesia persoalan pemerataan akses pendidikan belum juga terselesaikan. Terbukti, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, pada jenjang usia 7-12 tahun, 98,36% anak mampu meng-
enyam pendidikan. Untuk rentang usia 1315 dan 16-18 berturut-turut 90,68% dan 63,48%. Sedangkan pada usia 19-24 tahun ketercapaian pendidikan oleh masyarakat hanya 19,97%. Data tersebut membuktikan, sangat sedikit masyarakat yang mampu menjangkau pendidikan tinggi. Biaya yang mahal sampai saat ini masih jadi biang keladi yang sulit diatasi. Pemerintah sendiri tak punya banyak inovasi untuk menanganinya kecuali memperbanyak program beasiswa. Salah satunya
pada 2010, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengucurkan Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi (Bidikmisi). Bedanya dengan yang lain, Bidikmisi memberikan tunjangan komprehensif bukan saja uang kuliah tapi juga biaya hidup bagi mahasiswa selama empat tahun. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso mengatakan, peluncuran Bidikmisi merupakan wujud keberpihakan pemerintah pada masyarakat miskin. “Agar potensi-potensi yang ada di Indonesia tidak hilang begitu saja,” ujarnya. Oleh karena itu, Bidikmisi dirancang dalam anggaran yang besar. Pada 2014, kucuran dana sebesar Rp 1,4 triliun siap didistribusikan kepada 147.000 mahasiswa penerima Bidikmisi untuk periode MaretAgustus. Tiap semester, masing-masing dapat jatah Rp 2,4 juta untuk membayar kuliah dan Rp 3,6 juta disediakan untuk membiayai hidup. Sejumlah uang tersebut tentu saja dirasa cukup bagi para penerima Bidikmisi yang berasal dari keluarga berekonomi lemah. Sayangnya, pencairan beasiswa itu tiap semester tak luput dari persoalan keterlambatan. Novi Setiani, mahasiswi angkatan 2010 Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahu betul bagaimana sejak awal diluncurkan program beasiswa ini sudah bermasalah. “Waktu semester pertama turun (dana Bidikmisi-Red) tiga bulan sekali. Ketika semester dua, uang baru turun di bulan ke enam tapi dengan dana hanya untuk tiga bulan yakni Rp 1,8 juta,” katanya kepada DIDAKTIKA. Keterlambatan di periode awal peluncuran beasiswa ini benar tidak mengganggu Kemendikbud. Mereka justru percaya diri dengan menambah kuota penerima pada tahun berikutnya. Sebanyak 25.000 orang dari 117 Perguruan Tinggi Penyelenggara mendapat jatah Bidikmisi 2011. Namun, masalah dana yang telat datang lebih sering lagi terjadi. “Uang pertama turun di bulan kelima, tapi hanya sebesar
Didaktika 8
Rp 1,8 juta. Kemudian baru turun lagi di akhir semester dua,” tutur Oktya Yudha Perwira, mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan 2011, Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Biar tidak pernah datang tepat waktu, Bidikmisi tetap jadi sandaran utama bagi beberapa mahasiswa. Salah satunya Permadi, mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 2011. Bagaimana tidak, mahasiswa asal Ciamis itu sudah harus berpisah dengan orang tuanya sejak masuk kuliah di UPI, Bandung. Bukan memilih untuk tinggal di rumah kost, ia justru tinggal di Masjid di permukiman warga di sekitar kampusnya. Bagi permadi, selain meringankan biaya hidup, cara hidupnya itu juga dapat membuatnya lebih bisa melakukan pengabdian sosial. Permadi menafkahi hidupnya dengan berjualan donat dan plakat keliling kampus. Sebab, biaya hidup Bidikmisi yang ia andalkan kerap datang tak tepat waktu. Ia yang aktif sebagai pengurus Forum Komunikasi Mahasiswa Penerima Bidikmisi UPI tahu betul mengenai persoalan tersebut. Posisinya sebagai Ketua Divisi Advokasi membuatnya jadi penampung utama keluhan dari sejumlah mahasiswa penerima Bidikmisi. “Banyak keluhan masuk, karena keterlambatan. Paling parah waktu tahun 2013, Bidikmisi telat hingga empat bulan,” kata Permadi. Untuk menanggulangi keterlambatan pada 2013, pihak kemahasiswaan UPI pun memberikan jaminan peminjaman uang dari Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Masjid Al Furqon UPI, lembaga pengelola dana hasil zakat, infaq dan sedekah dari jemaah masjid. Sebanyak 130 mahasiswa diberikan pinjaman mulai dari Rp 600.000 hingga Rp dua juta. Saat itu, total uang yang dipinjamkan oleh BMT Al Furqon mencapai Rp 90 juta, karena berasal dari lembaga yang memang ditujukan untuk kegiatan sosial, pinjaman tersebut diberikan tanpa bunga. Sedang untuk pengembalian, mahasiswa dapat mencicil semampunya. Sementara UIN Syarif Hidayatullah
Foto: Istimewa
Djoko Santoso
bersedia membantu mahasiswanya yang kelimpungan karena belum dapat kiriman beasiswa dari pemerintah. Kampus ini memberlakukan sistem validasi hutang pada saat pembayaran uang kuliah. “Melalui sistem ini, para penerima Bidikmisi dianggap sudah membayar kuliah, jadi mereka bisa tetap mengisi Kartu Rencana Studi,” ujar staf keuangan UIN Syarif Hidayatullah. “Nanti saat uang sudah cair, mereka akan bayar piutang ke kampus.” Lain lagi dengan Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada, kedua perguruan tinggi ini menanggung tidak hanya uang kuliah tapi juga biaya hidup dari Bidikmisi yang absen hingga berbulan-bulan. Upaya cepat tanggap semacam ini memang tidak didapat dari semua kampus. Sebut saja UNJ yang bergeming di saat keterlambatan Bidikmisi mendera mahasiswanya. Maka, tidak heran jika hidup Ahmad Zulfiyan, mahasiswa Jurusan Ekonomi Administrasi UNJ 2013 tidak pernah tenang. Mahasiswa rantau asal Jawa Timur ini tidak pernah lepas dari hutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. “Kalau Bidikmisi belum turun, saya memang harus susah payah pinjam sana-sini. Nanti kalau sudah turun baru dilunasi,” akunya pada DIDAKTIKA. Oleh karena
itu, ketika uang Bidikmisi telah turun pun dalam sekejap uang itu habis begitu saja untuk melunasi tumpukan hutang. Mantan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UNJ Fakhrudin Arbach mengatakan, keterlambatan terjadi karena urusan administrasi yang tersendat. “Banyak mahasiswa yang belum tanda tangan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) sehingga membuat terhambatnya pembuatan Surat Keputusan (SK) penerima,” kata Fakhrudin. Sementara, di tingkatan kementerian, masalah administrasi ternyata masih juga hadir dan memberi dampak besar bagi mahasiswa. Anggaran Bidikmisi 2013 telat diberikan karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memblokir Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA) Dikti 2013 terkait beasiswa. “Masalah terjadi saat pembuatan DIPA 2013, waktu itu terhambat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),” tutur Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi Ditjen Dikti Edi Siswanto. Ia mengakui, saat itu Kemendikbud memang tidak kunjung menyerahkan persetujuan dari Komisi X DPR-RI mengenai DIPA 2013. Persetujuan Komisi X atas DIPA Kemendikbud pada 2013 baru didapat setelah berbulan-bulan diajukan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pun menyesali keterlambatan tersebut. “Keterlambatan semacam itu tidak akan terjadi lagi ke depannya, mengingat pengelolaanya pun sudah diubah,” tuturnya ketika ditemui DIDAKTIKA selepas acara peresmian Gedung IDB I dan II UNJ. Namun, penyesalan Menteri Mohammad Nuh nampak tidak berarti saat persoalan yang sama kembali terjadi pada 2014. Di UNJ, para penerima Bidikmisi terpaksa gigit jari karena biaya hidup dari Januari – Maretnya tak kunjung datang. “Bidikmisi belum turun dari Januari dan baru cair bulan April. Padahal sudah harus bayar Kuliah Kerja Lapangan (KKL) sebesar Rp 1,8 juta,” gerutu Bunga mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNJ 2011
.
Didaktika 9
LAPORAN UTAMA
SENGKARUT PENGELOLAAN BIDIK MISI Keterlambatan penyaluran dana beasiswa terjadi hingga berlarut. Bagaimana sebenarnya ia dikelola? Oleh Virdika Rizky Utama
C
Foto: Istimewa
atatan keterlambatan penyaluran dana Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi (Bidikmisi) periode 2010-2014 tidak pernah kosong. Padahal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus menambah jumlah Perguruan Tinggi (PT), mahasiswa penerima, serta anggaran dana program ini tiap tahunnya. Tercatat, pemerintah menggelontorkan uang sebesar Rp 1,4 Triliun untuk program Bidikmisi 2014.
Illah Sailah
Menurut Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Illah Sailah hasil evaluasi Kemendikbud pada September 2012 menunjukkan, keterlambatan tersebut terjadi di setiap kampus penerima Bidikmisi. Anehnya, antarkampus punya durasi telat yang berbeda. “Ini agak aneh, jika penyaluran dana kepada mahasiswa terlambat, harusnya serempak di semua kampus,” ujar Illah Sailah. Ambil langkah cepat, Kemendikbud mengubah pola pengelolaan dana
Bidikmisi. Sistem terpusat jadi pilihan. Uang beasiswa tidak didistribusikan kepada kampus melalui rekening rektor, melainkan langsung dikirim ke mahasiswa. “Semua rencana itu dimaksudkan agar memudahkan kita untuk mengatur dan mengontrol dana Bidikmisi sesuai dengan transparansi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” tegas Illah kepada DIDAKTIKA saat ditemui di kantornya. Ada dugaan, saat dana Bidikmisi disimpan terlebih dahulu di rekening rektor, terjadi pengendapan untuk melipatgandakan dana tersebut. Terlebih, menurut Dirjen Dikti Djoko Santoso uang yang dikirim ke rekening rektor disimpan dalam bentuk giro. Jenis tabungan tersebut punya nilai suku bunga yang lebih tinggi dibanding tabungan biasa. Untuk itu, perlu pula siasat pengintegrasian bank pengelola, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 81 Tahun 2012. Penentuan bank pengelola pun dilaksanakan dalam waktu singkat. Hanya berselang dua bulan dari evaluasi, pencarian kandidat bank pengelola dana Bidikmisi digelar. Selanjutnya, diadakan rapat penentuan bank penyalur Bidikmisi pada 7 Desember 2012. Dipimpin oleh Endang Giriwati S., rapat ini diikuti oleh dua bank, yakni Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dalam rapat yang berlangsung selama sembilan jam ini, dibahas seluruh mekanisme perpindahan nomor rekening, penyaluran uang hingga managerial risk. “Dalam rapat itu kami melakukan Fit and Proper Test, kepada dua bank tersebut bagaimana penyaluran akan dilaksanakan oleh bank,” terang Illah. Ia juga menekankan kriteria utama bagi bank yang akan menjadi calon pengelola adalah mereka tidak diperkenankan memotong uang mahasiswa berapapun besarnya. Kriteria tersebut disanggupi oleh
kedua bank. “Bank Mandiri berani untuk menalangi biaya pencairan dana penerima bidik misi dan menggratiskan biaya admisnistrasi tiap bulannya,” ujar Government Relationship Management Bank Mandiri Abdul Rachman. Kesediaan itulah yang kemudian membawa Bank Mandiri sebagai pengelola dana Bidikmisi yang sah sejak akhir 2012. Di awal pengesahannya sebagai pengelola tunggal dana Bidikmisi, komitmen Bank Mandiri diuji. Ia mesti memberikan dana talangan untuk keterlambatan Bidikmisi yang terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jawa Timur. “Untuk periode awal 2013, kami memberikan talangan sebesar Rp 3,6 juta permahasiswa,” lanjut Abdul Rachman. Sayangnya, bersamaan dengan itu catatan keterlambatan terus bertambah. Sebagaimana diungkapkan Andiani Putri Utami, mahasiswa Jurusan Kedokteran 2013, Universitas Andalas (Unand), “di Unand dana Bidikmisi masih telat, baru turun setelah empat atau lima bulan sekali.” Sementara berdasarkan data Litbang KOMPAS, selama 2013 terdapat 5.490 mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang mesti menunggu jatah beasiswanya selama enam bulan. Bahkan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Bidikmisi tidak hadir hingga 10 bulan. Sejak 2013, urusan dana Bidikmisi di PTAIN memang bukan lagi tanggung jawab Kemendikbud. Pengelolaannya diserahkan kepada Kementerian Agama (Kemenag) yang secara organisasi menaungi PTAIN. Bukan hanya untuk tahun itu, melainkan mahasiswa angkatan 2010, 2011 dan 2012 yang awalnya dapat aliran dana dari Kemendikbud, kini ikut dilimpahkan ke Kemenag. Secara teknis, Kemenag membedakan cara kerjanya dalam mengelola dana Bidik-
Didaktika 10
Foto: Didaktika
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Gedung D Lantai 7
misi dari Kemendikbud. Mereka membebaskan PTAIN untuk memilih sendiri bank penyalur beasiswa tersebut. Maka tidak heran bila UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta beberapa kali berganti pasangan kerjasama. Pada periode 20102012 ia mendaulat BRI sebagai koleganya. Kemudian pada 2013, berpindah ke Bank Syariah Mandiri, dan kini, mengikuti jejak Kemendikbud untuk menggunakan Bank Mandiri. “Untuk pemilihan bank, itu jadi wewenang pimpinan kampus,” kata Amellya Hidayat, Staf Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia melanjutkan, sejak awal melaksanakan program Bidikmisi, UIN Syarif Hidayatullah masih bekerja sama dengan BRI. “Kami mencari bank yang potongan administrasinya murah,” ujar Amellya Hidayat. Keleluasaan yang diberikan oleh Kemenag kepada PTAIN untuk memilih bank penyalur dana Bidikmisi ternyata tidak jua dapat membantu pencegahan keterlambatan uang beasiswa. Bagi Nasri, Ketua Bagian Perencanaan dan Anggaran Kemenag, hal tersebut memang tidak punya pengaruh signifikan terhadap lancarnya lalu lintas perjalanan dana. Terlebih, Kemenag sangat keberatan dalam melakukan pengelolaan Bidikmisi. “Karena Kemendikbud hanya memindahkan urusan pengelolaan program Bidikmisi ke Kemenag, sementara uangnya tidak,”
sesal Nasri. Padahal, pemindahan tanggung jawab pengelolaan dilandasi semangat pemotongan jalur birokrasi. Menurut Staf Kemahasiswaan UIN Sunan Kalijaga Dian, perpindahan ini sesuai dengan saran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada para pihak terkait dana Bidikmisi. “Agar proses pelaporannya lebih mudah jika yang mengelola satu atap dengan perguruan tingginya,” ungkap Dian saat ditemui DIDAKTIKA di kantornya. Selain itu, nihilnya kasus keterlambatan masih jadi harapan. Bahkan, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag Nur Syam pernah menginstruksikan kepada PTAIN di seluruh Indonesia untuk mencari cara kreatif agar dapat membantu mahasiswa saat dilanda kesulitan keuangan karena beasiswa yang absen. “Tentu saja kami tidak bisa melaksanakan instruksi tersebut. Secara finansial, kami tidak seperti kampus-kampus lain, seperti UNY misalnya yang punya pemasukan dari hotel atau restoran,” aku Dian. Alhasil, kampus tempatnya bekerja tak bisa melakukan apa-apa. Dana Bidikmisi untuk mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tertunggak hingga Desember 2013. Bagi Dirjen Dikti Djoko Santoso, tiap kampus memang tidak perlu melakukan beragam upaya untuk menanggulangi masalah keterlambatan. Yang perlu dilakukan hanyalah mengurus administrasi
terkait Bidikmisi tepat waktu. “Keterlambatan penyaluran Bidikmisi kepada mahasiswa terjadi karena kampus-kampus sendiri yang mengambil kebijakan untuk memblokir rekening mahasiswa penerima beasiswa,” tegas Djoko. Adanya pemblokiran rekening mahasiswa secara sepihak dibenarkan oleh pihak Bank Mandiri. Abdul Rachman mengungkapkan, kampus-kampus selalu meminta penundaan pencairan dana karena belum menyelesaikan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang mesti disetor ke Dikti. Pasalnya, SPJ tersebut dibutuhkan kampus sebagai tanda bukti sudah menerima dan menggunakan dana dari Kemendikbud sebagaimana mestinya. Bila belum disetor, sudah barang tentu kampus tidak dapat mencairkan dana lagi. Persoalan pengelolaan administrasi semestinya tidak dijadikan alasan oleh pihak terkait penyalur dana Bidikmisi. Pegawai Inspektorat Jenderal Kemenkeu Dion Prayoga mengatakan, justru Kemendikbud dan kampus mesti bertanggung jawab atas keterlambatan yang terus saja terjadi dalam penyaluran dana Bidikmisi. “Karena dengan dilaksanakannya Permenkeu Nomor 81 Tahun 2012, seharusnya tidak ada lagi kasus keterlambatan pencairan dana Bidikmisi apalagi Bank Mandiri bersedia menalangi dana tersebut meskipun dana APBN belum cair,” tegas Dion
.
Didaktika 11
LAPORAN UTAMA
BAGAI TERSESAT DALAM LABIRIN Aliran dana Bidikmisi tersendat. Jalannya gelap, sangat rumit dan berbelit. Oleh Yogo Harsaid Foto: Didaktika
Didaktika 12
Edi Siswanto, Kepala Subdirektorat Program Evaluasi Ditjen Dikti
K
asus keterlambatan pencairan dana Bidikmisi selama empat tahun terakhir memang keterlaluan. Pasalnya, nasib ribuan mahasiswa digantungkan disana. Menurut data yang dihimpun Direktorat Jenderal Pendidikan Dikti (Dirjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berturut-turu jumlah mahasiswa penerima beasiswa ini adalah 20.000, 30.000, 30.000 dan 50.000. Sejalan dengan jumlah penerimanya, dana yang dikeluarkan untuk membiayai program ini pun kian meningkat. Tiap semester, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan Rp 100 miliar untuk penerima Bidikmisi angkatan 2010. Sedangkan untuk mahasiswa 2011 dan 2011 mendapat jatah Rp 180 miliar perenam bulan. Sementara mulai 2013, dana sejumlah Rp 300 miliar. Hingga pada 2014, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti Illah Sailah mengungkapkan, total dana Bidikmisi persemester yang dikeluarkan Kemendikbud mencapai Rp 1,4 triliun. Harapan pemerataan akses pendidikan lewat gelontoran dana yang tidak sedikit itu belum tentu berhasil. Buktinya, dalam sepuluh tahun terakhir tingkat partisipasi masyarakat Indonesia terhadap pendidikan tinggi masih naik turun. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2003 – 2013, persentase anak Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan tinggi berturut-turut hanya 11,71%; 12,07%; 12,23%; 11,38%; 13,08%; 13,29%; 12,72%; 13,77%; 14,26%; 15,84%; dan 19,97%. Keterlambatan penyaluran yang terus saja terjadi sepanjang program Bidikmisi dilaksanakan memunculkan dugaan penyelewengan. Dugaan tersebut menjadi lebih potensial terjadi ketika dua tahun awal distribusi dana dilakukan tidak langsung kepada mahasiswa melainkan mampir sejenak di rekening Rektor tiap kampus. Jatah masing-masing penerima Bidikmisi sebesar Rp enam juta, tidak diberikan seluruhnya tapi dibagi atas dua pos, yakni uang kuliah dan biaya hidup. Rp 2,4 juta masuk ke kampus untuk membayar kuliah sedangkan sisanya, diberikan kepada mahasiswa Rp 600 ribu tiap bulan. Modus penyelewengan paling tidak terendus dari skema pencairan dana yang berbeda-beda tiap kampus. Di Universitas Negeri Jakarta, ongkos biaya hidup
Rp 600 ribu itu diberikan perdua bulan. Menurut Staf Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Syamsi, kebijaksanaan itu dilaksanakan agar pengurusan administrasi terkait beasiswa lebih mudah. “Kalau sebulan sekali itu terlalu cepat, bank juga tidak menyanggupi,” aku Syamsi kepada DIDAKTIKA. Sedangkan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta memilih untuk memberikan jatah mahasiswa itu setiap tiga bulan. Amellya Hidayat, Staf Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, skema tersebut juga dipilih atas pertimbangan administratif. “Agar lebih mudah mengurus berkas administrasinya, kalau sebulan sekali kan repot juga,” katanya. Padahal, dana Bidikmisi dikirimkan sekaligus oleh Kemendikbud, tidak terpecah-pecah. Kondisi ini rawan dimanfaatkan kampus untuk menahan aliran dana sementara untuk mendapat bunga bank terlebih dahulu. Semakin lama model pencairan dana yang dipilih, maka semakin besar potensi keuntungan yang didapat. Dirjen Dikti Djoko Santoso mengatakan, dana Bidikmisi yang disalurkan ke rekening rektor disimpan dalam bentuk Giro. Berdasarkan data Bank Mandiri, penyalur utama yang bekerja sama dengan Kemendikbud untuk mengelola dana Bidikmisi, tabungan dalam bentuk giro mendapat suku bunga 2% tiap bulan untuk saldo mulai dari Rp satu miliar. Ini berarti, bila UNJ menahan jatah Rp 600 ribu milik 2250 mahasiswa penerima Bidikmisi, terdapat simpanan sebesar Rp 1,35 miliar setiap bulan. Dari saldo tersebut, bunga bank sekitar Rp 27 juta sudah pasti dikantongi perbulan. Sedang dimana keberadaan dan alokasi anggarannya, tidak pernah diketahui publik. Selain dugaan permainan nakal yang dilakukan atas dana Bidikmisi di kampus, terdapat pula permasalahan di tingkat kementerian. Illah Sailah mengatakan, keterlambatan juga disebabkan karena memang tidak ada dana yang mengalir untuk Kemendikbud. “Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sering menahan dana APBN untuk Kemendikbud. Harusnya akhir Januari sudah ada, tapi Maret baru dicairkan,” keluh Illah Sailah kepada DIDAKTIKA. Staf Inspektorat Jenderal Kemenkeu Dion Prayoga membenarkan soal tindakan yang selalu diambil oleh instansi tempatnya bekerja. Ada beberapa kementerian
yang kerap ‘dihukum’ oleh Kemenkeu setiap tahun, yakni Kemendikbud, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Dion melanjutkan, ketiga instansi tersebut selalu bermasalah dalam hal administrasi. Mereka tidak pernah tepat waktu dalam menyerahkan Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA). Sedangkan, dalam pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBNP), selalu meminta anggaran yang nilainya mencapai 75% dari APBN yang sudah didapat sebelumnya. “Tiga instansi itu tidak tanggap administratif dan pengajuan dana APBN-P yang sangat besar melebihi ketentuan yang ada, bahwa APBN-P itu maksimal 35% dari dana APBN yang mereka terima sebelumnya,” ujar Dion. Maka, dari total anggaran dalam DIPA Kemendikbud 2013 sebesar Rp 73,1 triliun, diblokir hingga Rp 62, 1 triliun. Termasuk di dalamnya adalah anggaran Bidikmisi. Pemblokiran tersebut mengakibatkan 88.142 mahasiswa penerima Bidikmisi pada 2013, mesti menunggu haknya hingga empat bulan. Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi Dirjen Dikti Edi Siswanto pun mengakui, Kemendikbud memang terlambat menyerahkan DIPA 2013 kepada Kemenkeu. Hal tersebut terjadi karena ada permasalahan antara Kemendikbud dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Entah mengapa, Komisi X DPR-RI tak kunjung memberikan persetujuannya atas DIPA Kemendikbud 2013 dalam waktu yang sudah cukup lama. Permasalahan apa yang sebenarnya mendera, Edi Siswanto enggan memberitahukan. Sedangkan bagi Djoko Santoso, pembahasan anggaran dana di DPR-RI sudah sewajarnya menghabiskan waktu yang tidak sebentar. “Karena yang dibicarakan bukan hanya Kemendikbud, tapi juga beberapa kementerian lain. Makanya diskusinya lama, ambil kesepakatannya juga lama,” kilah Djoko. Namun, tidak semestinya mahasiswa jadi korban sengkarut tak berujung yang terjadi diantara elite-elite negara. Bila sudah begini, alih-alih ingin membuka akses pendidikan seluas-luasnya kepada masyarakat, Bidikmisi bisa jadi hanya akalakalan untuk mengelabuhi mereka yang tak punya uang untuk berkuliah
.
Didaktika 13
OPINI LAPORAN UTAMA
PROBLEM PENGAN Oleh Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa, Jakarta
P
ara penerima Beasiswa Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi (Bidikmisi) mengeluhkan keterlambatan pembayaran beasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sehingga mengganggu kelancaran studi. Bagi mereka, uang beasiswa itu memang tiang penyangga utama, karena mereka memang berasal dari golongan ekonomi tidak mampu. Sebab, beasiswa tidak hanya untuk membayar Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP). Tapi juga untuk biaya kebutuhan pribadi (bayar kos, makan, beli buku, dan lainlain). Keterlambatan pembayaran beasiswa berarti terganggunya kehidupan mereka sehari-hari. Keterlambatan pencairan beasiswa tidak hanya terjadi pada Bidikmisi, tapi juga pada beasiswa lainnya, seperti beasiswa bagi para dosen yang melanjutkan S2 dan S3 di luar negeri. Bagi Kemendikbud sendiri, keterlambatan pembayaran itu amat menyedihkan dan menjadi beban moral sendiri. Mereka menyadari dampak buruknya, termasuk akan terkena tembakan langsung dari masyarakat. Tapi keterlambatan tersebut di luar jangkauannya. Informasi yang akurat menyebutkan bahwa keterlambatan pembayaran Bidikmisi 2013 disebabkan oleh adanya pemblokiran anggaran untuk Kemdikbud oleh Kementerian Keuangan. Anggaran untuk Bidikmisi merupakan salah satu item anggaran yang dibuka blokirnya pada pertengahan Maret. Namun, tidak serta-merta dapat disalurkan kepada para penerima. Semula diperkirakan prosesnya akan cepat. Tetapi ternyata muncul persyaratan baru yaitu agar Kemendikbud memiliki rekening baru khusus untuk penyaluran Bidikmisi agar terpantau dengan baik. Skema ini merupakan bantuan sosial. Berdasarkan PMK Nomor 81 Tahun 2012, semua bantuan sosial harus langsung disalurkan ke penerima. Dengan adanya ketentuan baru tersebut, jalan yang paling aman bagi Kemedikbud, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, adalah kerja sama dengan bank penyalur. Maka, kemudian Kemendikbud pun pada awal 2013 melakukan e-procurement untuk menyeleksi bank dan terpilihlah Bank Mandiri sebagai bank yang memenuhi kriteria. Pada saat ini, MoU antara Kemdikbud dan Bank Mandiri sudah dilakukan
Ilustrasi: Didaktika
dan daftar mahasiswa penerima Bidikmisi sudah di-SK-kan oleh rektor masing-masing, meski belum semua rektor menyerahkan data tersebut. Pada 2013, Kemendikbud siap menyalurkan dana beasiswa tersebut ke sekitar 61 ribu mahasiswa yang tersebar di 68 Perguruan Tinggi. Namun, proses tersebut juga terhambat karena masih menunggu surat persetujuan dari Dirjen Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan pada 9 April 2013. Demikianlah proses perjalanan beasiswa itu, begitu panjang dan berbelit. Berdasarkan kronologi di atas, jelas bahwa keterlambatan pembayaran Bidikmisi maupun beasiswa lain bersumber dari Kementerian Keuangan, yang sempat memblokir anggaran untuk Kemendikbud. Dalam konteks keterlambatan penyaluran Bidikmisi dan beasiswa lain, Kemendikbud pun menjadi korban dari mekanisme pengelolaan anggaran negara yang ditandai dengan kuatnya “rezim keuangan”. Rezim Keuangan Rezim keuangan adalah suatu tatanan pengelolaan keuangan negara yang dikendalikan penuh oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan menentukan hidup-mati suatu kementerian/
Didaktika 14
NGGARAN PENDIDIKAN lembaga (K/L) teknis. Akibat keterlambatan pencairan anggaran di Kemdikbud oleh Kemenkeu itu pula, proses implementasi kurikulum baru pun terganggu. Pencairan anggaran yang terlambat menyebabkan tender pengadaan buku pelajaran tertunda dan itu berdampak tertundanya pelatihan untuk para guru dan secara otomatis tertundanya implementasi kurikulum. Sebab, bagaimana mungkin para guru diminta mengimplementasikan kurikulum baru, sementara mereka sendiri belum mengenal sosok kurikulumnya? Terlambatnya pencairan anggaran untuk Kemdikbud disebabkan adanya mata anggaran yang dibintangi oleh Kementerian Keuangan, yaitu anggaran untuk pengadaan buku. Kasus keterlambatan pencairan Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) di Kemendikbud dan efeknya pada keterlambatan penyaluran Bidikmisi itu hanyalah salah satu contoh dari kuatnya rezim keuangan di negeri ini. Di kementerian/lembaga (K/L) lain juga sering terjadi keterlambatan pencairan anggaran, sehingga pemandangan rutin yang dapat disaksikan pada ritme kerja pegawai negeri adalah antara Januari dan Maret, mereka tidak banyak melakukan aktivitas. April-Juni proses tender, dan baru setelah Juli hampir semua kegiatan menumpuk. Puncaknya adalah setiap November-Desember, hotel-hotel selalu dipenuhi oleh K/L yang mengadakan acara (diskusi, seminar, workshop, dan sejenisnya). Semuanya menghabiskan penyerapan anggaran yang sudah mendekati tutup tahun. Dalam bahasa para staf, pada Januari-Maret itu “mantab� alias makan tabungan, karena tidak ada pendapatan lain dari hasil kegiatan K/L. Kondisi ini berulang selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah mengalami perbaikan. Akhirnya, anggaran negara tidak jatuh kepada masyarakat luas, melainkan hanya jatuh ke segelintir orang (konsultan, kontraktor, pengelola hotel, EO, maskapai penerbangan, biro travel, pakar, dan sejenisnya). Semuanya itu terjadi akibat dari kuatnya rezim keuangan yang selalu terlambat dalam memberikan DIPA kepada K/L teknis, sehingga mindset K/L pada akhir tahun adalah yang penting anggaran terserap semua, sehingga tahun depan anggaran tidak dipotong. Mekanisme pencairan anggaran yang selalu terlambat sampai tiga bulan itu menimbulkan keheranan bagi orang awam seperti
Foto: Istimewa
Darmaningtyas
penulis, mengingat program di masing-masing K/L sudah selesai disusun pada Juli dan APBN sudah disetujui oleh DPR pada November tahun sebelumnya. Semestinya, anggaran itu sudah dapat dicairkan paling lambat akhir Januari. Tapi mengapa hal itu tidak pernah terjadi? Jadi, persoalan daya serap anggaran yang rendah bukan hanya tanggung jawab K/L teknis, tapi juga tanggung jawab Kementerian Keuangan yang selalu terlambat mencairkan DIPA ke K/L. Mekanisme pencairan DIPA yang selalu terlambat juga berpotensi mengajarkan ketidakjujuran. Mengapa? Karena K/L dituntut untuk segera melaksanakan program, tapi DIPA belum turun. Akhirnya, para pemimpin K/L yang berani mengambil resiko kemudian memilih menjalankan program tersebut lebih dulu dengan anggaran gali lubang tutup lubang. Cara yang demikian kurang bagus dari aspek akuntabilitas, tapi terpaksa harus dilakukan karena kondisi birokrasinya memaksa demikian. Semoga Kementerian Keuangan belajar dari pengalaman buruk tersebut dan berubah menjadi lebih baik. Mindset mereka perlu diubah agar lebih berorientasi pada perwujudan kesejahteraan masyarakat dan optimalisasi penggunaan anggaran negara daripada berpaku pada keteraturan administratif saja. Administrasi itu alat saja, bukan tujuan. Tujuannya adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat
.
Didaktika 15
Kampusiana
Babak Baru Komersialisasi UNJ Regulasi PK-BLU memperbolehkan investasi swasta masuk ke dalam kampus. Awal 2014, UNJ tak mau ketinggalan menjajal. Oleh Aditya Chandra Foto: Didaktika
M
emasuki Januari 2014, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menetapkan Niaga Parking Management milik PT Sumber Jangkar Mandiri sebagai unit swasta pengelola parkir kampus. Namun, kemunculannya menimbulkan reaksi keras baik dari pihak mahasiswa maupun dosen. Pasalnya, pengelolaan parkir oleh unit swasta makin meneguhkan arah komersialisasi yang sudah dimulai sejak kampus ini berstatus Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum (PK-BLU) pada 2010. Selain itu, kinerja pada bulan-bulan awal pun menunjukkan kurangnya profesionalitas Niaga Parking Management. Terbukti dengan masih terjadinya kasus kehilangan motor, helm, bahkan kerusakan sistem komputer yang digunakan dalam operasional parkir. Keberadaan Niaga Parking Manage-
Loket pembayaran parkir UNJ
ment mulanya diniatkan sebagai respon atas riuhnya tindak kriminal yang terjadi di dalam kampus selama 2013, terutama tindak pencurian motor dan helm. Di samping itu, Sekretaris Satuan Unit Pengelola Aset (SUPA)-unit kampus pengelola seluruh aset- Agung Kresna Murti menambahkan, pengelola parkir swasta yang dianggap lebih profesional juga merupakan upaya penanggulangan atas kebocoran keuangan parkir selama diurus oleh unit kampus. Pemilihan perusahaan tersebut juga tidak asal, tapi melalui serangkaian prosedur untuk penentuan perusahaan yang akan mengelola aset negara. “Kami mengikuti semua proses yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam semua pengadaan tender, tak terkecuali parkiran,� ujar mantan Pembantu Rektor Bidang Administrasi
Umum (PR II) Suryadi. Namun, pengakuan Suryadi, yang awal 2014 masih menjabat PR II menampakkan kejanggalan. Mulai 2012, pemerintah menetapkan segala proyek tender mesti dilaksanakan secara daring agar ada transparansi kepada masyarakat. Disediakan situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk setiap institusi. Dalam hal ini, UNJ masih menumpang pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam laman lpse.kemdiknas.go.id tercatat kegiatan lelang yang terakhir dilakukan UNJ pada 2013 berjudul Renovasi Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Tidak ada keterangan mengenai lelang pekerjaan pengelolaan parkir. Soal mekanisme perekrutan pengelola parkir ini, Ari Fadiati Wira, Ketua SUPA mengatakan berbeda dari Suryadi. Prosesnya tidak lagi menggunakan tender
Didaktika 16
sebagaimana dilakukan pada pengadaan barang dan jasa. “Mereka melakukan investasi langsung, jadi bukan mengelola uang negara tapi mereka pakai modal sendiri,” jelas Ari, sapaan akrabnya. Untuk itu, perusahaan yang berminat melakukan investasi atas aset kampus bisa langsung mengajukan diri kepada rektor meskipun sebelumnya tidak ada pengumuman dari kampus. Ari melanjutkan, data perusahaan-perusahaan yang sudah diterima oleh rektor untuk berinvestasi kemudian diserahkan kepada SUPA. “Kalau rektor sudah acc, baru kita proses,” katanya. Ari menambahkan, saat itu terdapat empat perusahaan yang mengajukan diri untuk mengelola parkir. Meski ia tidak bisa menyebutkan kapan tepatnya waktu pengajuan perusahaan-perusahaan tersebut, dosen jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK) ini mau menyebutkan perusahaan peserta investasi. Diantaranya PT Sumber Jangkar Mandiri, Bari Parking, ISS Indonesia. “Satu perusahaan lagi saya lupa,” seloroh Ari. Selanjutnya keempat peserta tersebut dirampingkan hingga tersisa dua kandidat pengelola parkir UNJ, yakni PT Sumber Jangkar Mandiri dan ISS Indonesia. Pada 20 Desember 2013, dilaksanakanlah rapat pimpinan yang dihadiri 17 pejabat kampus, untuk memilih bakal pengelola parkir kampus. UNJ menjatuhkan pilihan pada PT Sumber Jangkar Mandiri dengan Niaga Parking Management-nya untuk mengalahkan ISS Indonesia yang sudah berkelas internasional sebagai pengelola parkir. “Perusahaan yang internasional itu sebenarnya juga bagus, akan tetapi mereka tidak mau mengakomodir tenaga lama (petugas parkir-red),” ujar Agung Kresna Murti. Agung menambahkan, PT Sumber Jangkar Mandiri merupakan pilihan paling rasional sebab memberi banyak keuntungan kepada kampus. Perusahaan tersebut berani menginvestasikan uang Rp 850 juta, dengan pembagian keuntungan 80% bagi UNJ dan 20% untuk perusahaan. “Selain itu Sumber Jangkar Mandiri juga perusahaan yang berpihak pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, ia bersedia merekrut mahasiswa untuk program magang di tempatnya,” kata Agung bangga. Dengan pertimbangan itu PT Sumber Jangkar Mandiri melenggang ke dalam UNJ. Memorandum of Understanding (MoU) antara UNJ dan perusahaan itu pun ditandatangani. Perusahaan milik pengusaha Hasan Cokro ini dapat peker-
jaan, mengelola parkir UNJ selama lima tahun ke depan. Mekanisme investasi langsung ke dalam kampus ini rupanya direstui oleh regulasi PK-BLU, sebagai salah satu upaya pencarian dana pembiayaan pendidikan yang dikategorikan pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Makanya, tidak heran bila UNJ semakin terang-terangan mewujudkan niatan pencarian profit dalam kegiatannya. Menurut Kepala Divisi Hukum Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Suharto, investasi dapat berwujud penyertaan modal kerja atau pemberian pinjaman. “Investasi ini bisa diwujudkan dalam kegiatankegiatan yang bukan hanya memiliki manfaat ekonomi tapi juga sosial. Entitas yang terbuka untuk melakukan investasi langsung adalah Pemerintah Daerah, BLU dan BUMN,” terang Suharto, dikutip dari kampus.okezone.com(15/5/2013). Namun, inventasi ini bukan tanpa syarat. Suharto mengatakan antara kedua pihak yang berinvestasi mesti mendirikan anak usaha dan memintakan izin usahanya kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di UNJ, investasi yang dilakukan oleh PT Sumber Jangkar Mandiri dilaksanakan tanpa ada pembentukan anak usaha hasil kerjasama antara kampus dengan perusahaan tersebut. Menyoal izin yang diajukan kepada Kemenkeu pun, belum dapat dipastikan keberadaannya. Padahal, PT Sumber Jangkar Mandiri telah menginvestasikan Rp 850 juta untuk pekerjaan selama lima tahun, yang berarti masuk ke dalam kategori investasi jangka panjang. Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 Pasal 19 menyatakan, investasi jangka panjang tidak bisa dilakukan tanpa perizinan dari Kementerian Keuangan atau Walikota setempat. Makanya, diduga kuat bisnis dengan model investasi langsung yang dilakukan oleh UNJ dan PT Sumber Jangkar Mandiri telah menerabas hukum yang berlaku. Model ini memang pertama kalinya dilakukan oleh UNJ untuk mengisi pundipundi keuangan setelah punya kewenangan otonomi pendanaan. Beberapa tahun sebelumnya, kampus-kampus berbadan hukum seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada sudah mencoba. Di ITB, praktik ini nampak pada unit usaha mandiri Sasana Budaya Ganesha Bandung (Sabuga), Hotel Sawunggaling, Kantin dan Air Ganesha, semua berlokasi
Foto: Istimewa
Agung Kresna Murti, Sekretaris SUPA
di kawasan Taman Sari sekitar kampus ITB. Unit-unit yang masuk kategori auxiliary venture (dikelola secara kemitraan dengan pihak swasta) ini bisa mendapat fee berjumlah besar dalam sekali kegiatan. “Dari pementasan yang di situ biasanya ITB dapat fee sekitar Rp 100 juta,” kata Wakil Rektor ITB Bidang Komunikasi dan Kesekretariatan Boy Kombaitan, dikutip dari buku Melawan Liberalisasi Pendidikan karya Darmaningtyas. Sedangkan di UGM, menurut Darmaningtyas upaya kampus yang makin berorientasi profit nampak saat diluncurkannya reksa dana UGM Fund pada 2009 yang punya target dana kelolaan Rp 2,5 triliun. Dalam menjalankannya, UGM menggandeng PT Lautandhana Investment Management (LIM). “Dengan berinvestasi dalam reksa dana UGM Fund tersebut, investor akan memperoleh return sekaligus berkontribusi dalam pengembangan pendidikan nasional,” tegas Ketua Komite Investasi UGM Fund Nasyith Madjidi, dikutip dari Investor Daily(17/6/2008). Reksa dana yang diklaim sebagai jembatan penghimpun dana beasiswa, pengembangan kegiatan pendidikan dan fasilitas kampus, serta kegiatan kemahasiswaan dan pengabdian masyarakat itu juga sudah dapat izin efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bappepam-LK) Kemenkeu pada 8 April 2008. Sementara, sejak 2013 UNJ sudah mendirikan SUPA sebagai unit yang menaungi segala unit bisnis yang akan dibuat. Sivitas akademika hanya perlu menunggu, aset kampus apalagi yang akan ditanami modal swasta. Bila sudah begini, status mana lebih pantas disemat untuk perguruan tinggi negeri, sebuah institusi pendidikan atau institusi pencari dana berlabel pendidikan?
Didaktika 17
Kampusiana
Foto: Didaktika
Djaali, Rektor UNJ 2014/2018 menghadiri Dies Natalis Universitas di Halaman IKIP (16/5)
Djaali, Raja Baru UNJ Penantian panjang selama dua periode akhirnya membuah hasil. Oleh Virdika Rizky Utama
Didaktika 18
2
014, merupakan tahun yang cukup penting bagi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Bagaimana tidak, pada tahun ini mengadakan pemilihan rektor (pilrek) yang diselenggarakan pada 19 Februari 2014 di Aula Perpustakaan UNJ. Pilrek ini ditujukan untuk mencari pengganti Rektor Bedjo Sujanto yang sudah menjabat selama dua periode sebelumnya. Dalam pemilihan yang dihadiri oleh 63 anggota Senat dan Direktur Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Dikti Agus Subekti sebagai perwakilan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Djaali yang pada saat itu masih menjabat Direktur Pascasarjana UNJ terpilih sebagai rektor periode 2014-2018. Ia memenangkan perolehan suara dengan selisih tipis. Dari 97 suara berkomposisi 65% milik anggota Senat dan 35% sumbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Djaali mengantongi 45 suara. Hanya berbeda lima suara dari perolehan kandidat lain, Ilza Mayuni, mantan Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Sedangkan Karnadi, mantan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) sebagai calon ketiga hanya didukung oleh 12 suara. Djaali berhasil meyakinkan mayoritas pemegang suara melalui visi dan misinya. Meskipun, banyak yang menilai visi-misi Djaali sangat memprioritaskan program pascasarjana. Satu hal yang menjadi sorotan Djaali adalah UNJ kurang memiliki guru besar dan itu hal utama yang akan diperbaiki. “Jumlah guru besar kita sangat sedikit jika dibanding dengan kampus pendidikan lainnya. Untuk itu, saya ingin menambah jumlah guru besar UNJ dalam empat tahun ke depan,” tegasnya saat pemaparan visi dan misi. Untuk merealisasikan hal itu, lanjut Djaali, saya akan mempermudah proses pengangkatan guru besar di UNJ. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi orangorang hebat di UNJ dibajak dan dijadikan guru besar oleh kampus lain. Selain itu, Djaali juga mengatakan akan menggalakkan pembuatan jurnal internasional. “Kita saat ini belum memiliki sama sekali jurnal internasional. Masa kita kalah dengan kampus swasta,” tandasnya. Ia melanjutkan, saat ini UNJ sudah mempunyai dua jurnal ilmiah yang siap dipublikasikan. Tapi, nada suara Djaali meninggi ketika
mantan Pembantu Rektor IV Supriyanto bertanya kepadanya mengenai kebebasan berpendapat dan mimbar akademik. Mungkin, hal ini sensitif bagi Djaali. Sebelumnya ia pernah menonaktifkan salah satu dosen pascasarjana karena menulis opini di harian KOMPAS pada Juli 2013 ihwal karut marut pendidikan di program pascasarjana. “Saya menjamin kebebasan berpendapat dan mimbar akademik,” serunya. Tetapi, menurut Djaali, harus sesuai koridor. “Semuanya bisa dimusyawarahkan dengan membuka dialog terbuka. Jadi nggak perlu ramai-ramai teriak di kampus kalau mau aspirasinya didengar,” tandasnya. Kemenangan Djaali dinilai sangat mengejutkan bagi Reza Indrawan, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ. “Cukup kaget, karena Prof. Djaali tidak hadir dalam rangkaian penyampaian visi dan misi yang kami gelar sebelumnya,” tuturnya. Memang sebelum pilrek, BEM mengadakan serangkaian acara menuju pilrek. Acara pertama adalah dialaog bakal calon rektor dengan sivitas akademika UNJ pada Rabu(15/01) di Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru lantai delapan. Dialog yang diselengarakan oleh BEM UNJ dimaksudkan untuk menyampaikan platform serta visi dan misi bakal calon rektor. “Acara ini dimaksudkan agar mahasiswa lebih mengenal (calon) rektornya,” tandas Reza, ketua BEM UNJ. Ada enam bakal calon rektor yang telah ditetapkan oleh senat. Akan tetapi, yang menghadiri acara tersebut hanya tiga bakal calon rektor antara lain Supriyanto (Pembantu Rektor IV), Ilza Mahyuni (Eks. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni) dan Karnadi (Eks. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan). Sedangkan, tiga bakal calon lainnya Djaali, Suryadi dan Syamsudin tak bisa menghadiri acara tersebut. Hadir sebagai panelis adalah Fasli Djalal, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan H.A.R Tilaar, Guru Besar Emiritus UNJ. Menanggapi ketidakhadirannya dalam rangkaian acara dialog dengan sivitas akademika, Djaali menegaskan bahwa ia sudah menyempatkan diri datang ke undangan tersebut. Namun, hanya sekali dari beberapa momen yang diadakan. Baginya, tugas utama sebagai Dosen dan Direktur Pascasarjana tak bisa dilalai hanya karena
urusan kampanye. “Saya mengorbankan kesempatan untuk menarik simpati masyarakat demi kepentingan mahasiswa (pascasarjana),” katanya seraya menjelaskan bahwa ia lebih memprioritaskan diri untuk memimpin sidang-sidang magister dan doktoral ketimbang mempromosikan diri sebagai calon rektor. Meski begitu, Bagi Djaali, kemenangan ini tak pernah ia prediksikan meski sudah pengalaman dua kali mencalonkan diri dalam ajang yang sama. “Saya tidak pernah menyangka akan menang dalam pilrek. Lagipula, siapa yang bisa prediksi suara Menteri dan senat,” ungkapnya di gedung pascasarjana setelah pilrek berakhir. Menurutnya, semua calon memiliki peluang yang sama untuk menjadi rektor. Pilrek tahun ini merupakan keikutsertaan Djaali untu ketiga kalinya dalam bursa pencalonan rektor. Djaali menyatakan bahwa dirinya tak pernah tahu bahwa ia dicalonkan. “Saya juga kaget begitu dengar fakultas saya (Fakultas Ekonomi-red) kembali mencalonkan saya untuk menjadi rektor,” ucapnya. Ia menerangkan bahwa kemenangan dirinya sebagai rektor merupakan kemenangan UNJ. Ketika ditanya mengenai apa yang ingin diubah oleh Djaali saat menjadi rektor ia mengatakan, “Hal yang terpenting dalam 100 hari adalah menciptakan keseimbangan di dalam kampus. Keseimbangan itu diwujudkan dengan menyinergikan semua elemen yang ada di kampus agar tercipta harmoni.” Menanggapi hasil pilrek, Bedjo Sujanto, Rektor yang hampir habis masa jabatannya kala itu, berbahagia atas terpilihnya Djaali. Bedjo mengatakan, selama masa pemilihan ia memperhatikan betul visi, misi, serta program kerja ketiga calon rektor. “Semua punya platform yang bagus dan menggambarkan idealisme masing-masing,” katanya. Meski begitu, Bedjo tetap saja tak punya gambaran bagaimana kehidupan kampus selama empat tahun ke depan di bawah kepemimpinan Djaali. Baginya, masing-masing pemimpin punya cara untuk mewujudkan UNJ sebagaimana visi yang diusung. “Nanti kita lihat saja faktanya seperti apa,” pungkas Bedjo. “Yang jelas saya berharap UNJ ke depan bisa lebih baik ”
.
Didaktika 19
Foto: Didaktika
Peresmian Gedung IDB I dan II oleh Mendikbud Mohammad Nuh
Didaktika 20
Peluncuran Jurnal Internasional oleh Rektor Djaali
Didaktika 21
[Opini Mahasiswa]
Melampaui Momen Pergantian Rezim: Berkaca pada Sosok Soe Hok Gie “Semua teman-teman terbelah mendukung Capres A dan B. Yang penting pintaku cuma satu: siapapun yang terpilih, kemudian mereka berbuat salah, kalian jangan cuma diam dan membebek. Sebab, bebek itu bukan manusia. Kalau cuma membebek, bebek justru lebih pandai daripada kamu. Paham?!”
K
utipan status seorang kawan senior di lembaga pers mahasiswa tempat saya belajar itu membuat saya tersenyum sendiri. Pesannya jelas: kita tidak boleh terlena dengan keriuhan pilpres 2014. Jika diartikan lebih esensial lagi, tentu pesan itu berlaku di tiap pemilihan umum yang diadakan di negeri ini. Sebab sejatinya menjadi aktivis pers/ pers mahasiswa (persma) adalah sebuah keputusan bahwa anda, saya, kita harus selalu siap menjadi seorang watchdog, anjing penjaga yang kritis pada pemerintah (yang baru). Jika mengutip Soe Hok Gie di catatan hariannya, “Jadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.” Kutipan tersebut menarik jika melihat kenyataan bahwa jalan hidup si penulis selalu jadi salah satu acuan paling recommended bagi para aktivis persma tanah air. Bukan pada sosok Soe Hok Gie yang doyan pesta atau berdilema dalam kisah cinta, tapi melampaui sosok manusiamanusia pada umumnya yang hidup pada zona nyaman. Gie mencoba keluar dari itu. Ia berani mengambil diri menjadi oposisi biar pun konsekuensinya jelas, berhadapan dengan musuh yang sewenang-wenang dengan kekuasaan. Keriuhan pilpres 2014 menarik perhatian banyak kaum intelektual muda dan aktivis persma yang selama ini memilih golput atau acuh. Fenomena ini menarik sebab semangat people power dalam ruh demokrasi tiba-tiba menyeruak. Kegembiraan berpolitik tiba-tiba terasa ketika momen-momen pemilu sebelumnya selalu dirundung pesimisme. Banyak motif. Mulai dari demokrasi transaksional yang
membikin pemilu selalu mahal, sampai sulitnya mencari sosok ideal yang lebih bersikap seperti negarawan ketimbang sebatas politisi. Tak ada salahnya memang menentukan sikap. Namun yang disayangkan adalah ketika kaum intelektual tersebut hanya berpuas diri untuk bercerewet di media sosial selama masa kampanye sampai menjelang pemilihan. Setelahnya, mereka kembali pada penyakit media massa mainstream: menunggu momentum selanjutnya untuk kemudian bersikap dan membebek sepuas hati pada khalayak. Kaum intelektual kampus dan aktivis persma tidak kemudian menjadi tukang kritik yang konsisten. Bukannya mengawal jalannya pemerintahan yang baru, mereka malah larut pada kegembiraan politis semu dari pemilu yang sebenarnya kita semua sadar: mau berapa kali pemilu pun jika hanya sebatas perayaan, perubahan yang mulia itu akan mentok sebagai wacana. Atau lebih parahnya lagi, melacurkan diri pada rezim yang baru demi kursi kekuasaan. Soe Hok Gie kecewa ketika dulu beberapa kawan seperjuangannya beralih haluan mengisi pemerintahan rezim Orde Baru. Sebagai intelektual sejati, Gie konsisten beroposisi. Ia tetap melanjutkan tradisi kritik meski rezim lama telah berhasil ditumbangkan. Konsistensi sikap tersebut adalah satu dari sekian banyak alasan mengapa kita perlu berkaca pada sosok Soe Hok Gie dalam tiap momen pergantian rezim. Harsja W. Bachtiar yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UI
memberikan penilaian tersendiri pada sosok Gie dalam pengantar buku Catatan Seorang Demonstran. Baginya, Gie adalah seorang pemuda yang penuh cita-cita dan terus menerus berjuang agar kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh masyarakat dapat diubah, sehingga lebih sesuai dengan cita-cita yang didasarkan atas kesadaran yang besar akan hakikat kemanusiaan. Jika memang para intelektual kampus dan aktivis persma ikut andil dalam menentukan siapa pemimpin bangsa ini setelah pemilu—entah menjadi relawan kampanye atau sekedar memberi coblosan di kertas pemilu— setidaknya ia punya kewajiban mengawal rezim baru yang lahir dari kontribusi kecilnya. Pentingnya adalah apakah rezim baru sesuai dengan cita-cita kemanusiaan yang dicita-citakan seluruh bangsa dan tercantum di sila kedua. Atau
Didaktika 22
Akhmad Muawal* Ilustrasi Asun
jika terkesan muluk-muluk maka begini saja: apakah rezim baru mau menerima kritik dari kita sebagai aktivis persma? Tradisi kritik yang secara teoritis dulu berkembang dari Mazhab Frankfurt boleh saja dimaknai sebagian orang sebagai kegiatan pencerewet yang tak tahu maunya apa. Pemikiran semacam itu adalah kegagalan memaknai kritik. Padahal, kritik lebih dari sekadar jalan bagi intelektual kampus mencari sensasi atau penegas identitas diri. Berani mengkritik sebetulnya adalah cara lain bagi seseorang atau sebuah lembaga menunjukkan rasa pedulinya, sebab ia paham bahwa tak ada sistem ataupun rezim yang sempurna dalam melaksanakan tugasnya. Lagipula aktivis persma (yang sesungguhnya) berpegang teguh pada cita-cita mulia akan kesejahteraan bersama, keadilan sosial, kemanusiaan, demokrasi, hingga
pembebasan umat manusia akan penindasan oleh sesama. Jadi, sejak zaman Soe Hok Gie membebek di selebaran kampus hingga era aktivis persma membagi produk jurnalistiknya di dunia maya, tradisi kritik adalah representasi kegelisahan kaum muda yang berani melawan kesewenangwenangan rezim. Baik rezim kampus maupun rezim pemerintahan negara. Pergantian rezim, baik setelah pemilu maupun lewat jalan reformasi atau revolusi, selalu berkaitan dengan kewaspadaan akan pergantian elit-elit di dalamnya. Apakah diisi orang-orang lama dari rezim sebelumnya, atau sosok baru yang setidaknya bisa membawa perubahan. Oleh sebab segala kebijakannya nanti berpengaruh sampai ke lapisan terkecil (akar rumput) di masyarakat, terasa na誰f jika seseorang yang mengaku aktivis persma itu acuh dengan konstelasi politik dalam negeri. Gie mungkin menyesal telah turut melahirkan sebuah rezim totaliter yang punya cacat untuk urusan hak asasi manusia. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah jika semangat yang dibawa Gie sampai akhir usianya tidak diwariskan pada sanubari kaum muda yang terus tumbuh semakin banyak. Jika setelah pemilu kaum muda, terutama aktivis persma, berubah haluan menjadi apatis atau malah menjadi corong rezim, Indonesia akan semakin merana sebab kehilangan sosok-sosok pengawal demokrasinya. Yang beregenerasi malah kaki tangan Ideological State Apparatus (ISA) atau alat negara di ranah ideologis, meminjam pemikiran Louis Althusser. Rahim ISA ada di lembaga-lembaga pendidikan, agama, keluarga, hukum, media massa, seni, sastra, dan sebagainya. Berbagai ranah ini dikendalikan negara dalam lingkup ideologis tertentu yang ditujukan agar warga negara tunduk dan hidup dalam kungkungan ideologi tersebut. Persis seperti era Orba berkuasa. Halus dan kasat mata. ISA berbeda dengan RSA atau Represif State Apparatus macam pihak berwajib yang bisa melaku-
kan tindak kekerasan. Penerapan ISA di kampus bisa tercermin (dan masuk) dalam kurikulum pembelajaran sampai kultur belajar di dalam maupun di luar kelas. Tujuannya jelas, kampus ingin mahasiswanya menjadi produk keluaran yang sesuai dengan ideologi kampus. Padahal kecenderungan rezim di kampus-kampus di Indonesia belakangan ini gagal melahirkan intelektual muda yang kritis dan idealis. Mereka hanya dituntut untuk lulus cepat dengan kualitas seadanya, terkungkung budaya pragmatis, hedonis, dan parahnya: gampang larut pada kepentingan politik praktis. Kampus tak lagi netral. Banyak organorgan politik luar kampus yang menitipkan kepentingannya lewat organisasi mahasiswa, baik di tingkat fakultas sampai tingkat universitas. Baik di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun komunitaskomunitas berbasis minat dan hobi. Aktivis persma harus menjadi barometer dan teladan paling depan untuk memutus kultur regenerasi kaum muda model seperti itu. Ketika Soe Hok Gie terpaksa masuk ke gelanggang perpolitikan, walaupun baginya politik itu kotor, ia bisa menunjukkan sikap bahwa berpolitik juga bisa didasari motif baik, dan bertindak dengan cara-cara mulia pula. Paling penting: tidak larut pada keriuhannya semata dengan konsisten mengkritik, konsisten menyuarakan kebenaran, setelah pesta politik tersebut usai. Agaknya Gie adalah penggambaran sosok yang pernah disinggung oleh George Carlin, komedian asal Amerika Serikat yang selalu kritis terhadap politik kebijakan luar negerinya. Bahwa inside every cynical person, there is a disappointed idealist. Mereka yang selalu sinis sebenarnya adalah kaum idealis yang (sedang) kecewa
.
Kepala Sekolah LPM EKSPRESI UNY 2014
Didaktika 23
[Opini Mahasiswa]
7 PM: Duduk Sejenak Oleh Usilnyacrayon
7
PM: Jakarta adalah kota padat. Tak terkecuali Menteng. Deretan mobil mengantri di belakang lampu merah. Tak ada gerakan, terkecuali bibir saya yang cemberut gemas menanti lampu berwarna hijau. Satu menit, dua menit, pinggang saya mulai pegal. Padat, ramai, sesak, berdebu, bising, gemas, tak beraturan, mungkin itulah yang saya bisa ucapkan menghadapi itu. Seneca tidak sendiri, saya pun merasakannya. Ia merasakannya di Roma, saya di Jakarta. Sama saja, sesak. Sejenak saya menepi. Taman Suropati, begitu sebutnya. Taman pinggir jalan sisa peninggalan penjajah Belanda. Saya menepi, meregangkan pinggang dan lainnya yang terasa tegang. Habis sebatang rokok saya melanjutkan yang kedua. Tak terasa, saya merasa nyaman di sini. Ditambah penjual kopi sepeda yang berkeliling menawarkan barangnya, membuat saya makin asyik menanti macet reda di sini. Di Taman Suropati. Satu jam, dua jam saya sudah terlalu lama menepi. Tapi entah, saya masih belum ingin beranjak. Telinga saya menangkap suara musik yang dinyanyikan beberapa pemuda yang berkeliling dengan gitar dan cajon yang bernyanyi di depan sepasang pemuda yang sedang berkencan. Di sayap kiri dan kanannya terdapat kolam air mancur yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas-komunitas, seperti melukis, shuffle, musik jazz.Para pengunjung betul-betul dibuat merasa nyaman dengan kegiatankegiatan yang terjadi di taman ini. Seorang ayah dan anaknya sedang asyik bermain balon sabun di sayap kiri taman. Sepasang pemuda duduk berhimpitan, mesra, seakan taman ini milik mereka berdua. Beberapa orang hilir mudik dengan nampan berisi minuman yang ditawarkan. Ada yang dengan kekasih berjalan-jalan mengitari taman dengan anjingnya. Ada pemuda dengan kamera yang digantung di
lehernya memotret sepasang burung dara, ada juga yang memotret bunga-bunga yang berjejer di garis tengah taman ataupun aktivitas pengunjung. Mereka begitu nyaman menangkap lanskap dan begitu juga yang ditangkap begitu nyaman dengan kegiatannya tanpa terasa terganggu. Di pinggiran taman, deretan gerobak berjejer rapi. Tak ada satu pun yang memasuki pekarangan taman. Satu orang bertugas mengerjakan pesanan dan satu orang lagi berkeliling menawarkan jajanannya. Nasi goreng, ketoprak, sate padang, bubur ayam, mie ayam, es jeruk. Semuanya seperti deretan wisata kuliner di malam hari. Semua transaksi begitu aktif. Entah berapa besar perputaran ekonomi di sini setiap malam. Di sini, taman yang dulunya hanya sekadar penghias halaman atau tempat kegiatan sosial yang sifatnya terbatas, kini telah beralih menjadi tempat yang menampung segala kegiatan masyarakat, yang sifatnya individu, grup ataupun komunitas. Karenanya, taman telah menjadi sebuah arena interaksi sosial, oleh sebab sifatnya yang sangat terbuka bagi seluruh masyarakat. Taman sebagai salah satu ruang publik adalah salah satu unsur pembentuk budaya. Keberadaan dan fungsinya sebagai ruang publik saat ini telah menjadi pembentuk wujud masyarakat. Di mana ia berada, luas ataupun kecil wilayahnya, ia telah menjadi hal penting bagi kegiatan masyarakat sekitarnya. Karenanya, keberadaan taman ataupun ruang publik lainnya tak bisa dilepaskan dari kebutuhan manusia. 10 PM: Jakarta belum juga surut. Ramai di jalan masih terdengar jelas, meski musik di sini masih mengalun. Sendiri, di tengah taman melihat, menikmati dan menyerap seluruh kegiatan masyarakat yang terlihat luwes, tidak kaku. Mungkin, rasa begah akan kemiripin ruang-ruang yang ada di Ibu kota, juga rutinitas yang
Didaktika 24
Ilustrasi Asun
berulang tiap harinya menjadikan para pengunjung sangat menikmati taman, seperti sedang tamasya walau besok mereka akan kembali mengulangi rutinitas yang sama. Kini, dengan kuatnya dorongan kapitalisme pada kehidupan, tak satu pun kota mampu beratahan dari pengaruhnya. Khususnya di negara-negara berkembang, para elite penentu kebijakan banyak yang mengidap ‘machano-mania’ segala sesuatunya dianalogikan dengan teknologi mekanik secara mentah. Kota dilihat sebagai perangkat mesin yang serba teratur, eksak, mekanikal. Sedangkan manusia di dalamnya, yang sarat dengan budaya, sosial ataupun ekonominya lepas dari pengamatan. Atau, paling-paling hanya dikerling sebelah mata saja lantas berlalu lupa. Atas dorongan tersebut, kini sebuah ruang hanya ditakar dalam nominal uang tidak lagi pada sebuah nilai guna. Jadi tak usah heran ketika menyaksikan mal beranak-pinak di setiap sudut sedang ruang-ruang terbuka publik semakin menyusut, dan deretan toko-toko swalayan yang berdiri megah di atas pasar tradisional ataupun di lahan kampung permukiman. Disini terlihat sekali bagaimana sebuah taman menjadi harapan terakhir akan kebutuhan manusia terhadap ruang. Dimana taman menjadi ruang yang menyerap berbagai persepsi dan aspirasi dari berbagi individu tanpa sebuah sensor ataupun dominisi. Melirik ke kampus, Universitas Negeri Jakarta, ada Teater Terbuka. Hampir setiap sore saya melihat sekelompok individu beralatih drama. Hampir 30 orang yang berlatih. Mereka mondar-mandir dengan segala properti yang digunakannya. Ada yang berlari, adu bicara, berteriak, memainkan musik, ataupun sekedar memberikan instruksi. Di pinggirnya, ada sekelompok yang berdiskusi sambil sesekali melirik pada pemain para pemain drama, ada pula yang hanya memanjangkan kaki
bersantai dengan temannya ataupun duduk sejenak menanti jam macet pulang kantor reda. Namun, mungkin keberadaannya segera hilang. Ketika anda melihat maket pembangunan yang berada di dalam gedung rektorat. Dimana Teater Terbuka beralih fungsi menjadi lahan parkir. Seperti sebelumnya, ‘machano-mania’ mulai menyangkut para penentu kebijakan. Dimana rektorat sebagai penentu kebijakan kampus lebih berkeinginan terhadap lahan kampus daripada lahan terbuka publik sebagai lahan binaan kampus. Dalam sebuah makalah yang ditulis Moch. Junaidi Hidayat berjudul Developing Social Creative Fields Through Urban publik Space: Case Study of City Park in Surabaya yang dipresentasikan di Universitas Negeri Jakarta dalam acara Art Summit Indonesia VII pada bulan Oktober 2013 menjelaskan, bahwasannya ruang publik adalah pembentuk image kota, yang mampu menciptakan sebuah kultur masyarakat yang baik. Dalam makalah tersebut, Hidayat juga menjelaskan kalau peran pemerintah terhadap ruang publik sangat penting. Dimana pemerintah sebagai penyokong dana dan penentu kebijakan harus mendukung fasilitas tersebut agar masyarakat mampu bersosialisasi secara aktif dan kreatif. 11 PM: habis sepiring nasi goreng dan segelas teh manis, saya berselonjor kaki, merasakan ketidakberdayaan akan ruang, bergeliat pada keterbatasan dalam bentuk tak berkuasa sambil terus berharap agar ruang terbuka di dalam kampus tetap ada sebagi ruang ekspresi semua mahasiswa dan sebagai ruang binaan dalam kultur kampus. Mungkin Teater Terbuka tak sebagus Taman Suropati, dan mungkin tak akan pernah seperti Taman Suropati. Tapi, ruang itu harus tetap ada
.
Didaktika 25
Suplemen
Jalan Menuju Popularitas Tak hanya butuh sebuah gerakan politik bagi para pengguna jilbab untuk mengekspresikan identitas keagamaannya. Selebritis pun ambil peran penting. Oleh Tsalis Sakinah Foto: Istimewa
H
ijab, yang dimaknai sebagai simbol identitas perempuan muslim, kini nampak sedang mendapati panggungnya. Di setiap tempat umum seperti kantor, kampus, sekolah, pusat perbelanjaan atau kendaraan umum tak sulit menemui perempuan berhijab. Bahkan, belakangan ini sudah diselenggarakan kontes kecantikan khusus bagi para pengguna hijab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia IV, hijab berarti kain penutup kepala bagi perempuan. Di Indonesia, istilah ini baru muncul beberapa tahun belakangan. Sebelumnya lebih dikenal dengan istilah kerudung atau jilbab. Di Indonesia, penggunaan jilbab punya jalan panjang yang khas. Setidaknya bisa dimulai pada awal abad ke-20. Perempuan penganut Islam beraliran modernis mulai menggunakannya. Modelnya masih sederhana, sebatas kain yang dililitkan menutupi kepala. Sebagaimana sering digunakan para siswa sekolah thawalib di Sumatera Barat. Mereka menyebutnya dengan istilah balilik. Selain itu, juga terdapat jilbab khas Suku Betawi. Yakni kerudung yang dikaitkan di atas kepala kemudian sisa yang menggelantung disampirkan ke atas bahu kanan dan kiri. Model ini banyak digandrungi perempuan Indonesia, mulai dari para istri ulama hingga none Jakarta. Perkembangan jilbab di Indonesia menemui halangan di masa Orde Baru. Pada 17 Maret 1982, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. SK 052/C/Kep/D.28 yang berisi kebijakan pelarangan penggunaan jilbab di sekolah bagi para pelajar. Hal tersebut masih teringat jelas dalam benak Zakiah, perempuan muslim lulusan
Ratih Sanggarwati
Didaktika 26
Madrasah Aliyah (MA) Jamiat Kheir, Tanah Abang. Ia kerap haru setiap melihat foto ijazah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan MA-nya yang tanpa jilbab. Padahal, selama 12 tahun ia menempuh pendidikan di sekolah berlabel Islam dan mewajibkan seluruh siswa perempuannya memakai jilbab. “Sedih kalau ingat zaman sekolah. Mau foto ijazah saja harus buka jilbab, hanya karena mesti kelihatan telinga. Banyak yang tidak terima, tapi apa mau dikata. Kalau tak mau foto, ya tidak akan lulus,” ujarnya mengenang. Diduga kuat, pelarangan ini terkait dengan rezim politik Orde Baru yang antipati terhadap golongan Islam. Segala yang berbau Islam dipandang sinis, termasuk penggunaan jilbab. Namun, hal itu justru menggairahkan para pelajar untuk tetap memakai jilbab. Makanya, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menilai penggunaan jilbab di masa itu bermakna resistensi dan bersifat revolusioner. Sebagaimana dilakukan Anne Rufaidah, mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Grafis, Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1979. Ia yang aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Masjid Salman ITB, boleh dibilang sebagai aikon yang mempopulerkan pemakaian jilbab di kalangan anak muda. Melawan stigma yang lekat di masyarakat juga ketentuan pemerintah. Anne, sapaan akrabnya, menjadi model kontroversial yang kerap tampil berjilbab dalam Majalah Charisma Salman ITB yang diasuh oleh dirinya sendiri. Keteguhan hatinya untuk memasyarakatkan jilbab tak berhenti sampai disitu, ia berani ikut serta dalam kontes ‘Putri Remaja Indonesia’ 1980 dan memenangkannya. Secara politik, muncul pula berbagai gerakan yang menuntut pemerintah untuk melegalkan penggunaan jilbab di institusi pendidikan. Kampus Anne pun merupakan salah satu basis mahasiswa yang menggerakkanya. Selain itu, yang mengemuka
adalah Dewan Dakwah Islamiyah sebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk bertindak. Perjuangan mereka terus berlanjut meski pemerintah menggantung keputusan sejak 1984 dan baru pada 1991 mengizinkan para pelajar untuk berjilbab di institusi pendidikan. Diduga kuat, legitimasi ini bisa didapat karena hubungan rezim Soeharto yang sedang mendekat pula dengan golongan Islam. Sejak dilegalkan, euforia pemakaian jilbab di tanah air meningkat. Asep Suryana mengatakan hal tersebut dipengaruhi oleh kemunculan generasi baru, “kaum muda yang gemar merancang busana dan terjun dalam industri busana muslim.” Terbukti dengan munculnya beragam toko jilbab dan busana muslim. Satu yang paling terkenal adalah Rabbani. CV Rabbani Asysa yang didirikan pasangan Nia Kurnia dan Amry Gunawan pada 1994 ini mempopulerkan jilbab langsung pakai yang trendi namun tetap sesuai syariat, berukuran besar dan menjulur menutupi dada. Selain itu, hadir pula selebriti-selebriti yang kemudian menjadi aikon perkembangan busana muslim di Indonesia. Diawali oleh Ida Royani, mengejutkan masyarakat dengan muncul ke muka publik dengan tampilan menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Mantan penyanyi pop era 70-an ini berkampanye kepada khalayak untuk memakai jilbab sambil mendirikan butik busana muslim. Busana yang dijual pun cukup mahal kala itu, harganya mencapai Rp 600.000. Walau sebagian orang di Jakarta mampu membelinya, namun karya butik Ida Royani sangat segmented. Harga dan modelnya terlalu eksklusif bagi masyarakat kebanyakan. Tapi, upaya Ida merupakan langkah strategis agar kalangan menengah atas tidak segan berjilbab. Model gaun-gaun dari butiknya punya ciri khas, warna polos,
penuh dengan draperi dan terkesan boros kain. Selanjutnya, di awal 2000-an publik Indonesia berdecak kagum pada penampilan Ratih Sanggarwaty. Model yang dulunya tak berjilbab ini menciptakan ragam gaya baru pakaian muslimah. Mulai dari gaya A-Simetris, Timur Tengah, Bunga Berjuntai hingga Bunga Bergelombang. Dari sekian banyak gaya berjilbab yang ia ciptakan, Ratih bisa membuat buku tutorial berjudul Noor Kerudung Cantik. Terbit pada 2004, buku ini laris di pasaran hingga dicetak ulang sebanyak lima kali. Selebriti lain yang turut membawa jilbab ke ranah publik adalah Inneke Koesherawati. Aktris yang terkenal pada era 80-an dengan film-film panasnya, pada awal 2000 mengejutkan publik dengan keputusannya untuk berjilbab. Pemberitaan infotainment yang mulai menjamur saat itu ikut menaikkan popularitas Inneke. Tak heran, apabila yang dikenakan Inneke jadi panutan masyarakat. Salah satunya ‘Jilbab Inneke’, menggunakan kain segitiga yang dililit ke leher kemudian dimasukkan ke dalam kerah baju. Untuk mempermanis penampilan, bisa pula ditambahkan selembar kain berwarna lain kemudian dililitkan lagi di atas jilbab dasar. Gaya ini cukup lama bertahan, bahkan hingga kini, para eksekutif muda perempuan, mahasiswi dan ibu-ibu muda gemar menggunakan “Jilbab Inneke”. Dari kalangan selebritis muda, hadir Zaskia Adya Mecca. Pertama kali tampil berjilbab pada sinema Ramadhan Kiamat Sudah Dekat pada 2005. Istri sutradara Hanung Bramantyo ini mengenalkan gaya jilbab bergo-jilbab langsung pakai-pendek yang dimasukkan ke dalam baju, sedang bagian belakangnya, direkatkan menggunakan bros kecil agar leher tetap tampak ramping dan jenjang. Bagi Asep Suryana, tokoh-tokoh publik dan generasi baru pengguna jilbab di Indonesia lahir dari kelas menengah yang besar di tengah budaya urban. “Jadi, pemahaman
Didaktika 27
Foto: Istimewa
Dian Pelangi, Desainer hijab dan pendiri Hijabers Community
agama mereka tidak begitu mendalam,” ujar Asep. Maka tak heran, bila gaya yang mereka kenalkan selalu diiringi kampanye bahwa menggunakan jilbab itu modis, jauh dari stigma yang melekat di masa Orde Baru. Selain itu, kegiatan yang dikembangkan tidak identik dengan pengajian atau mendengarkan ceramah. Para pengguna jilbab pun masih suka berkumpul di kafe, mal dan tempat menghabis waktu senggang lainnya. Pengguna jilbab juga sudah tidak lagi malu-malu menggunakan identitasnya untuk membuat sebuah perkumpulan. Pada 2010, Dian Pelangi, Ria Miranda, Hanna Faridl dan Fifi Alvianto, anak muda berjilbab lulusan sekolah mode Esmod menginisiasi pembentukan komunitas untuk para pengguna jilbab. “Awalnya kita cari teman berjilbab di web untuk buka puasa bersama. Tidak disangka yang datang banyak, mulai saat itu kita bikin komunitas,”jelas Fifi Alvianto, salah satu pendiri Hijabers Community (HC) ketika ditemui DIDAKTIKA di mall FX, Senayan, Jakarta. Tidak butuh waktu lama bagi HC untuk menggaet perhatian anak muda Indonesia. Jumlah anggota secara resmi memang belum pernah tercatat, tapi hingga saat ini lebih dari 2,3 juta orang pengunjung laman resmi HC, 12 ribu orang menjadi teman di Facebook dan 92,9 ribu orang menjadi pengikut akun Twitter HC. Pengaruh yang disebarkan ke masyarakat juga cukup signifikan. Pendiri HC yang kebanyak berprofesi sebagai perancang busana aktif menciptakan beragam gaya yang sesuai dengan tren busana masa kini, hingga menciptakan tren tersendiri. Banyak kalangan, termasuk Pemerintah pun mencanangkan Indonesia akan menjadi kiblat fashion muslimah dunia pada 2020. “Keberadaan komunitas memang membantu perkembangan jilbab menjadi semakin pesat dan menjadi trendsetter untuk mendesain bentuknya,” tutur Asep Suryana. Bukan hanya itu, kehadiran HC pun mampu mengubah istilah populer dalam masyarakat dalam menyebut penutup kepala khas untuk perempuan Islam. Bukan lagi kerudung atau jilbab, kini masyarakat tunduk pada mereka yang menyebutnya dengan hijab
.
Didaktika 28
Foto: Istimewa
Zaskia Adya Mecca
Didaktika 29
Suplemen
Identitas Kesalehan dan Komodifikasi Sebagai simbol keagamaan, hijab menjadi komoditas yang sangat menguntungkan di Indonesia. Oleh Daniel Fajar Haryanto Foto: Istimewa
P
ada 28 Mei 2014, sebuah stasiun televisi swasta menayangkan kontes Putri Muslimah Indonesia. Acara ini mengusung tema Perempuan Indonesia Sesungguhnya. Tampil cantik 20 kontestan mengenakan busana muslim karya perancang busana ternama. Hijab merupakan atribut utama yang dipromosikan dalam acara tersebut. Dalam setiap kesempatan berbicara, para kontestan aktif mengampanyekan pemakaian hijab. Menurut mereka hijab bukanlah penghalang untuk berprestasi. Pernyataan itu didukung dengan ragam latar belakang profesi mereka. Ini menandai babak baru perkembangan atribut penutup kepala tersebut. Kesan kuno dan kaku yang melekat pada kerudung, jilbab atau hijab, seakan tanggal. Malah, sekarang banyak perempuan muda yang mengenakan hijab. Keberhasilan ini berkat para perancang busana yang mereproduksi hijab sesuai selera dan kebutuhan aktivitas harian. Munculnya majalah-majalah mengenai fesyen muslim juga mendukung sukses tersebut. Misalnya majalah Laiqa yang didirikan Fifi Alvianto. Berbagai motivasi dan produk hijab ditawarkan melalui majalah ini. Tutorial hijab merupakan rubrik yang tak ketinggalan digarap. Rubrik ini membantu para pengguna hijab mengemas penampilan mereka. Selain itu, ada pula berbagai produk kecantikan yang dibekali sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di antaranya, yang cukup terkenal yaitu Wardah. Melalui kosmetik ini, wanita muslim diajak untuk tampil cantik dan tetap mengikuti syariat agama. Ria Miranda, Desainer hijab dan pendiri Hijabers Community
Didaktika 30
Kehadiran produk ini pun mendukung penerimaan budaya hijab di masyarakat. Fifi misalnya, menceritakan kesan awalnya menggunakan hijab saat ditemui DIDAKTIKA dalam sebuah bazar busana muslim di mall FX, Senayan, Jakarta. “Dulu mikirnya kayak gini, duh make jilbab gimana kerjanya ya,” ujarnya. Di tempatnya bekerja saat itu, hanya dia yang berhijab. Tapi, kekhawatiran itu tidak terbukti. Hijab yang dikira akan menyusahkan, justru mendapat sambutan dari teman-temannya. “Di lingkungan main orang lebih respect dibanding dulu waktu aku nggak make,” ungkap Pemimpin Redaksi Majalah Laiqa ini. Sekalipun tidak terbukti, kekhawatiran itu menjadi salah satu motivasi para perancang busana dalam mengiklankan hijab buatan mereka. Dengan lebih berani memadukan bahan, motif dan warna, mereka bersaing merebut pasar Indonesia yang besar. Seperti yang diketahui, bahwa penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta dan mayoritas beragama muslim. Tersedia peluang yang cukup besar untuk bergelut di bisnis busana muslim. Menyadari hal ini, sejumlah perancang busana pun berlomba dengan hijab hasil rancangan mereka. Ria Miranda salah satunya. Setelah bersekolah di ESMOD selama satu tahun, dia membuka butik hijab dan merancang hijabnya sendiri. Ciri khas hijabnya yaitu menggunakan warna-warna pastel. Sehingga terkesan lebih lembut dan elegan dipandang mata. Berbeda dengan Dian Pelangi yang berani menggunakan warna-warna mencolok pada rancangannya. Ini merupakan perbedaan desain busana muslim Indonesia dengan Timur Tengah seperti yang dikatakan Greg Fealy dalam buku Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online, Komunitas Bambu, 2012. Di Timur Tengah, gaya murung dan bersahaja yang lebih disukai. Sementara, para perancang busana muslim Indonesia lebih sering menggunakan motif dan corak yang lebih rumit. Selain itu, mereka tampaknya menyasar kaum kelas menengah perkotaan sebagai target konsumennya. Ini terlihat dari upaya untuk menyesuaikan hijab dengan kebutuhan harian. Misalnya, hijab yang dirancang untuk berolah raga atau menghadiri
pertemuan-pertemuan resmi. Makin beragamnya model yang muncul mungkin dipengaruhi pertumbuhan jumlah peminat di bidang usaha ini. Banyak industri kecil menegah yang berpaling dalam bidang busana muslim. Bahkan sejumlah selebritis pun seakan tak mau ketinggalan. Deretan nama seperti Zaskia Sungkar, Ussy Sulistiawaty, Marshanda, dan lainnya, membuka butik mereka sendiri. Pemerintah juga mendukung perkembangan industri ini. Seperti dikutip dari VIVAnews: Fashion Indonesia Mendunia (27/6/2014), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menargetkan pada 2020 Indonesia akan menjadi pusat fesyen muslim. Menurut Mari, fesyen merupakan industri kreatif dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang pada tahun lalu berada di urutan kedua, yakni sebesar 28 persen atau senilai Rp164 triliun, dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 32 persen atau 3,8 juta orang. Masyarakat luar negeri pun telah melirik fesyen muslim Indonesia. Banyak dari mereka yang berbelanja busana muslim di Tanah Abang mencapai milyaran rupiah, untuk dijual kembali di negerinya. Fifi Alvianto mengakui bahwa kini makin banyak label hijab yang menjamur. “Dulu tahun 2010, brand muslim berapa banyak sih? Paling 10 biji. Sekarang udah kayak ratusan. Kalo ada bazar aja, banyak banget brand baru,” ucapnya. Fifi pun telah mendirikan labelnya sendiri, Casa Elana. Dia yakin hal ini membantu menumbuhkan kepercayaan diri para pengguna hijab. Apalagi dengan adanya internet yang mempermudah akses untuk mendapatkan referensi tampilan berhijab. Fifi mengingat pengalamannya ketika sulit menemukan gaya berhijab yang tepat untuknya. Kesulitan tersebut coba diatasi dengan membentuk komunitas. Bersama Dian Pelangi, Ria Miranda dan Hana Farid, Fifi mendirikan Hijabers Community (HC) pada 2010. HC menjadi wadah untuk saling berbagi mengenai perkembangan mode hijab yang terbaru. Agar tak terkesan melulu seputar fesyen, Divisi Acara HC Dwina Arini mengatakan HC tengah memperluas kegiatannya. Di samping mengadakan bazar,
acara seperti talkshow, workshop, bahkan pengajian tak luput digarap. “Kita yang di Jakarta lagi menggalakkan HC tuh bukan cuma buat fesyen doang. Kita bener-bener buat dakwah, buat syi’ar,” tegasnya. Dwina sudah sejak 2012 bergabung dengan HC. Menurutnya, komunitas tersebut merupakan wadah untuk menggerakkan kaum wanita muslim untuk terus berkembang. Selain itu, HC juga memberi kesempatan baginya mendapatkan pengalaman dan mengembangkan diri, juga memperdalam spiritualitas. Dia mengatakan bahwa dengan berhijab, dirinya tengah melakukan dakwah. “Orang dakwah kebanyakan identik dengan ceramah. Kalau kita lebih ke role model. Gimana caranya anak-anak HC jadi role model di masyarakat sebagai muslimah,” ungkap Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2008 ini. Dia menambahkan, dengan hal itu dirinya menjadi poduktif dan aktif, tanpa keluar dari koridor-koridor Islam, misalnya, dengan hijab yang mereka kenakan. Kini, Dwina pun membuka bisnis penjualan busana muslim secara daring. Keuntungannya tidak main-main, omset penjualannya selama satu bulan mencapai 30 juta rupiah. Mungkin ini bisa menunjukkan produktivitasnya. Keberadaan komunitas dan media tampaknya memiliki pengaruh yang cukup besar dalam upaya mempopulerkan hijab. Peran komunitas dan media berbanding lurus dengan bisnis hijab. Hal yang sulit dicapai pada dekade-dekade sebelumnya. Komodifikasi yang terjadi pada hijab pun mendukung popularitas hijab itu sendiri. Sosiolog UNJ Asep Suryana mengatakan bahwa ini merupakan konsekuensi di era kapitalisme mutakhir dan terjadi pada masyarakat kelas menengah di perkotaan. Dimana generasi tersebut telah dididik sebagai masyarakat konsumen. “Pengetahuan agamanya mungkin tidak terlalu mendalam,” ucap Asep. Mereka pun masih suka berkumpul di ruang-ruang konsumsi, seperti mal atau kafe. Meski begitu, ada semangat untuk menunjukkan identitas keagamaan, salah satunya melalui hijab. Tindakan inilah yang disebut tren menurut Asep. Kali ini yang menjadi tren yaitu hijab
.
Didaktika 31
LAPORAN KHUSUS
SIASAT NAKAL PEMILIK MEDIA Regulasi yang rancu dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk memonopoli usaha penyiaran. Oleh Ferika Lukmana Sari
K
ehidupan pertelevisian Indonesia yang hanya punya satu stasiun penyiaranTVRI-pada masa Orde Baru, mulai sedikit terbuka pada akhir 1980-an. Saat itu, pemerintah memberi izin kepada televisi (TV) swasta untuk mengudara. Karenanya, kita mengenal beberapa nama stasiun TV seperti Rajawali Citra Televisi (RCTI), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Surya Citra Televisi (SCTV), Andalas Televisi (ANTV) dan Indosiar. Izin penyiaran yang diberikan pemerintah disambut baik para pengusaha, terutama karena potensi keuntungannya yang menjanjikan. Menurut Ade Armando, Pakar Media dan Komunikasi Universitas Indonesia, saat itu jumlah masyarakat yang menonton TV kian banyak. Apabila para pemodal dapat menguasai media, maka mereka bisa menyerap dana amat besar. “Karena bilik iklan akan naik terus setiap tahun,” jelas Ade. Kondisi perekonomian Orde Baru yang sarat nepotisme membawa bisnis TV pada kepemilikan terpusat. Beberapa stasiun TV swasta yang bisa hadir pada saat itu merupakan milik keluarga dan kroni
mantan Presiden Soeharto. Sebut saja Bambang Trihatmojo dan Siti Hardiyanti Rukmana, mereka adalah anak kandung Soeharto yang berturut-turut memiliki RCTI dan TPI. Selanjutnya, SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono, saudara tirinya. Sementara Indosiar dan ANTV merupakan stasiun TV milik dua pengusaha kroni Soeharto yakni Liem Soe Liong dan Aburizal Bakri. Dengan begitu, mudah bagi pemerintahan Soeharto untuk mempergunakan media yang baru digandrungi masyarakat itu sesuka hatinya. Seperti menutupi pemberitaan mengenai tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dengan mengintervensi kontrol editorial redaksi TV. “Ada empat pemberitaan yang tabu untuk ditayangkan di RCTI, mengenai ABRI, Golkar, Konglomerat dan keluarga Soeharto,” ujar Desi Anwar, dikutip dari artikel Rajawali Terbang Tinggi terbitan majalah PANTAU. Namun, krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Bisnis Keluarga Cendana pun ikut melemah. Perusahaan milik Bambang Trihadmojo, PT Bim-
antara yang menaungi RCTI bangkrut. Sehingga sahamnya, terpaksa dijual kepada pengusaha pemilik perusahaan Bhakti Investama Hari Tanoesoedibjo. Memasuki masa reformasi, di saat masyarakat Indonesia mendapat kebebasan yang tidak ada di masa Orde Baru, animo masyarakat untnuk mendirikan perusahaan penyiaran kian besar. Terbukti dengan kemunculan banyak TV swasta seperti Metro TV, Trans TV. Global TV, TV7 dan Lativi. Namun, pola kepemilikan media TV tidak berubah. Upaya monopoli dalam bisnis ini nampak jelas. Sebagaimana Hary Tanoesoedibjo memiliki MNC Grup yang terdiri dari RCTI, Global TV dan MNCTV. Grup Bakri milik pengusaha Aburizal Bakri menguasai TVOne dan ANTV. PT Elang Mahkota Teknologi (EMTEK), pemilik SCTV kemudian juga punya Indosiar. Konsolidasi bisnis juga dilakukan CT (Chairul Tandjung) Grup atas Trans TV dan TV7. Grup-grup besar ini kemudian melebarkan sayap di tingkat lokal, baik dengan mendirikan penyiaran lokal maupun mengambil alih sejumlah TV lokal dengan tingkat kepemilikan saham antara 90% dan 100%. Padahal, usaha di bidang penyiaran diawasi ketat oleh perundang-undangan. Sebab, penyelenggarannya menggunakan frekuensi publik, milik masyarakat yang mesti dikelola negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Tapi kini frekuensi publik tak lagi jadi milik masyarakat, berkat adanya monopoli kepemilikan TV. Perusahaan-perusahaan besar banyak melakukan akusisi dan merger atas TV-TV yang ada. Menurut Yanuar Rizki, ahli pasar modal dalam buku
Didaktika 32
Foto: Istimewa
1.Surya Paloh 2.Aburizal Bakri 3.Hary Tanoesodibjo
Kepemilikan dan Intervensi Siaran, hal ini dapat terjadi karena beberapa usaha penyiaran kini berbentuk Investment Holding. Yakni induk perusahaan yang dapat menguasai saham dari unit-unit usaha anak perusahaannya. Meski Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 34 ayat 4 melarang pemindahtanganan penyelenggaraan penyiaran ke tangan lain, para pengusaha tetap melakukannya. Seperti terjadi pada Lativi, milik Abdul Latief yang ketika bangkrut langsung dijual kepada Grup Bakri. Selain itu kasus serupa nampak saat pengalihan kepemilikan TV7 oleh CT Grup dan ketika PT EMTEK mengakuisisi Indosiar pada 2011. “Frekuensi itu tidak bisa dipindahtangankan, UU penyiaran jelas melarang, tapi para pemilik media selalu berkilah menggunakan UU Persaingan Usaha,” protes Roy Thaniago, Direktur Remotivi, Lembaga swadaya masyarakat yang memantau isi siaran TV. “Dengan begitu jelas mereka melanggar UU tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak merasa bersalah.” Kerancuan dalam usaha penyiaran memang terjadi karena regulasi yang bermasalah. Di samping UU Penyiaran, terdapat pula Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2005 mengenai hak spesial lembaga penyiaran swasta. Dalam PP tersebut pasal 23 ayat 3 dinyatakan bahwa perusahaan penyiaran dimungkinkan untuk memiliki saham lebih dari 49% dan maksimal 90% pada badan hukum kedua dan seterusnya. “Perusahaan penyiaran diperbolehkan memiliki lebih dari satu badan hukum, tapi kepemilikan sahamnya dibatasi,” kata Kasubdit TV Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Syahruddin. Pasal ini tentu membuka celah bagi perilaku nakal punggawa media. Sebagaimana Hary Tanoesodibjo yang menyiasati kepemilikan saham MNCTV sebesar 70% dan hanya sekitar 50% untuk TV-nya yang kedua. Mantan Corporate Secretary MNC Gilang mengatakan memang sangat sulit membuktikan adanya tindak monopoli media oleh segelintir pihak. Apalagi jika menggunakan acuan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Antimonopoli. Dalam kasus MNCTV, indikatorindikator monopoli seperti penguasaan saham lebih dari 50%, pengendalian harga dan pembatasan aktor masuk pasar tidak dilakukan. “MNC tidak menguasai saham, harga-harga yang ditetapkan mengikuti harga pasa dan juga tidak menghalangi pemain baru, karena izin penyiaran dikeluarkan KPI dan pemerintah,” kata Gilang, dikutip dari buku Kepemilikan dan Intervensi Siaran. Trik lain yang kerap dilakukan pemilik media TV saat mengakuisisi perusahaan penyiaran lain adalah dengan tidak mengubah status Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Mereka hanya mengubah kepemilikan sahamnya. Untuk menghindari pengawasan, pembelian dilakukan secara parsial. “Saat membeli Indosiar, SCTV tidak membeli Elshinta. Itu dilakukan untuk menyiasati regulasi, karena mereka mengerti pembatasannya,” ujar Fajar Arifianto Isnugraha, Komisioner KPI Pusat. Fajar Arifianto Isnugraha melanjutkan, penyelewengan yang nampak jelas dilakukan oleh para pemilik TV mestinya ditin-
dak oleh Kominfo, karena IPP dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, pihak Kominfo pun menginginkan ada pertanggungjawaban dari KPI. “Karena IPP kami berikan kepada perusahaan yang direkomendasikan KPI,” kilah Syahruddin. Kedua lembaga negara terkait penyiaran ini saling lempar tanggungjawab di tengah karut marut dunia pertelevisian. Dengan alasan, UU tidak pernah menentukan dengan tegas siapa yang dapat peran utama sebagai regulator. “Pengawasan pemerintah yang longgar serta belum adanya evaluasi terhadap PP No. 50 Tahun 2005 telah melemahkan posisi KPI sebagai regulator, sehingga lembaga penyiaran lebih tunduk kepada pemerintah sebagai pemberi izin,” tutur Fajar Arifianto Isnugraha. “Kewenangan KPI terbatas soal konten dengan memberikan teguran dan sanksi.” Di tengah masalah pertelevisian yang tak kunjung ditindaklanjuti pihak berwenang, masyarakat pun turun tangan. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Independen Demokrasi Penyiaran (KIDP) mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pelanggaran hukum yang dilakukan para pemilik media tentang pembatasan kepemilikan dan larangan pemindahtanganan IPP. Koordinator KIDP Eko Maryadi mengatakan, sudah saatnya KPI dan Kominfo menegakkan hukum, “karena MK sendiri menyatakan yang namanya Hary Tanoe, Ical dan Chairul Tandjung itu melanggar hukum. Sayangnya, hingga kini masyarkat masih menyaksikan kedua lembaga tersebut bergeming. “Menurut MK, pemerintah dan KPI itu sendiri tidak mampu menegakkan aturan,” tutup Eko
.
Didaktika 33
LAPORAN KHUSUS
TV LOKAL DALAM PUSARAN MONOPOLI Arus bisnis televisi swasta ibukota semakin kuat menarik televisi lokal hingga hilang dari peredaran. Oleh Indra Gunawan Foto: Didaktika
S
aat berjalan-jalan keliling Indonesia, kita pasti dapat menangkap siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) dimana pun. Tentu saja, karena TVRI merupakan satu-satunya Lembaga Penyiaran Publik milik pemerintah yang punya tugas menyampaikan kabar kenegaraan ke seluruh wilayah negeri ini. Namun, di awal 1990-an, ketika Televisi (TV) swasta sudah diperbolehkan hadir, nampak sebuah stasiun TV swasta yang juga punya cakupan wilayah siar nasional. Ialah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) milik Siti Hardiyanti Rukmana, anak pertama mantan Presiden Soeharto. Izin bersiaran secara nasional ia kantongi dengan bekal alasan posisi stasiunnya sebagai TV pendidikan. Oleh karena itu, perlu membantu negara dengan menyosialisasikan program pemerintah ke seluruh penjuru Indonesia. Hubungan darah pemilik TPI dengan Presiden Soeharto telah membukakan pintu keistimewaan untuk mengelola usaha TV. Padahal, hanya TVRI yang secara hukum punya legalitas untuk bersiaran secara nasional, sedangkan TV swasta umumnya hanya mendapat jatah siar lokal dari pemerintah. Seperti RCTI yang bisa bersiaran di Semarang, SCTV di Surabaya, atau ANTV di lampung. Keistimewaan yang didapat Tutut, sapaan akrab Siti Hardiyanti Rukmana kemudian memunculkan kecemburuan pada pemilik TV swasta lain, karena mereka juga punya hubungan dekat dengan presiden. Bambang Trihadmojo, pemilik RCTI menuntut Soeharto untuk diperlakukan sama dengan kakaknya, Tutut. Maka, sejak itu, semua TV swasta mulai bersiaran secara nasional. “TV komersil itu punya semangat lokal. Jadi bohong kalau TV swasta mengatakan mereka sudah bersiaran secara nasional sejak awal berdirinya,� ujar Roy Thaniago, Direktur Remotivi, lembaga swadaya masyarakat pemantau isi siaran TV. Hak siar secara nasional yang dipunya TV swasta sangat merugikan masyarakat di daerah. Selain menyoal hak siar TV Syahruddin, Kasubdit TV Kominfo ketika ditemui didaktika di kantor Kominfo
Didaktika 34
Foto: Istimewa
yang ada di daerah, hal tersebut berdampak pada akses ekonomi rakyat. Oleh karena itu, pascareformasi dibuat Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang bertujuan terlaksananya penyiaran secara demokratis. Di dalamnya, terdapat konsep sistem siaran berjaringan, yang diyakini menguntungkan secara politik, ekonomi dan sosiokultural tidak hanya bagi wilayah pusat, tapi juga daerah. Sebab, sistem baru ini mewajibkan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) untuk menggandeng lembaga penyiaran lokal untuk bersiaran. Belum sempat dilaksanakan, UU Penyiaran Tahun 2002 langsung mendapat penolakan dari Lembaga Penyiaran Swasta yang kerap dapat privilese dari rezim Soeharto. Mereka memanfaatkan media untuk mempengaruhi publik melalui iklan layanan masyarakat. “Televisi berkabung atas matinya kebebasan pers,” begitu bunyi kampanye mereka. Untuk memperkuat penolakan, Roy Thaniago mengatakan, para pemilik TV swasta juga menggandeng partai politik dan para aktivis untuk bersuara dalam acara-acara yang mereka tayangkan untuk menyuarakan pendapat pihak TV swasta. “Mereka semua dibayar untuk menolak UU Penyiaran,” ungkapnya. Sebagian masyarakat juga beranggapan, keberadaan komite independen yang diatur dalam UU Penyiaran akan menjelma regulator yang represif seperti Departemen Penerangan di masa Orde Baru. Oleh karena itu, Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) mengajukan judicial review atas UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait adanya Komite Penyiaran Indonesia (KPI). Benar saja, hasil judicial review memosisikan KPI sebagai pendamping Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai regulator pertelevisian. Menurut Roy Thaniago, hal tersebut merupakan tujuan utama para pemilik TV swasta. “Dengan segala cara, lembaga penyiaran swasta berusaha agar regulasi diatur oleh pemerintah, sehingga lembaga independen seperti KPI akhirnya tidak bernyali,” ujar Roy. Budaya birokrasi pemerintah yang lemah memang jadi sasaran empuk para pengusaha untuk memuluskan bisnisnya.
Beragam aksi penolakan itu berhasil menunda pelaksanaan sistem siaran berjaringan yang diamanahkan UU Penyiaran. Padahal, pemerintah sendiri sudah menerbitkan PP No. 50 Tahun 2005 untuk mengimplementasikan sistem siaran baru tersebut. Tapi, Menurut Pakar Media dan Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Ade Armando, PP No. 50 Tahun 2005 sama sekali tidak menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menerapkan sistem siaran berjaringan karena tidak menjelaskan bagaimana sistem ini akan dilaksanakan. “Padahal, PP ini harus menjelaskan penerapannya,” kata Ade. Selain pihak pemerintah yang tidak tegas dalam melaksanakan sistem siaran berjaringan, para pemilik TV yang berdomisili di Jakarta juga tidak menunjukkan niatan untuk melaksanakan sistem tersebut. Sudah lebih dari 10 tahun sistem ini ditunda. “Sampai hari ini saya tidak melihat arah kejelasan siaran berjaringan ini diterapkan. Sepertinya hanya Tuhan yang tahu,” ucap Agung Dharmajaya, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI). Agung melanjutkan, alih-alih melakukan siaran berjaringan, TV swasta dari Jakarta malah melakukan akuisisi di beberapa daerah. TV lokal diafiliasikan dengan grup-grup besar asal Jakarta, sehingga tidak lagi independen secara konten dan kepemilikan. Seperti MNC yang sudah menggenggam Deli TV (Medan), Lampung TV (Bandar Lampung), Minang TV (Padang), BMS TV (Banyumas) beserta puluhan TV lokal lainnya. Begitu pula dengan PT Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) dan Grup Bakri yang juga memegang beberapa siaran TV lokal. “Siaran berjaringan itu bukan penyerapan terhadap TV lokal, tapi bagaimana mereka itu diberi jatah bersiaran dan beriklan agar sama-sama dapat mendapat keuntungan,” tegas Agung. “Jika yang terjadi seperti saat ini (pengakuisisian tv lokal), ini merupakan perampasan frekuensi milik daerah.” Selanjutnya, TV lokal makin tidak berdaya dengan adanya kebijakan digitalisasi TV. Peraturan Menteri No. 32 Tahun 2013 mengeluarkan aturan penyeleng-
Roy Thaniago
garaan penyiaran TV secara digital dan penyiaran multipleksing melalui sistem terrestrial. Memindahkan sistem penyiaran dari analog kepada digital. Untuk mendapat jatah pemakaian dalam sistem ini, stasiun TV mesti mengikuti proses seleksi. Namun, pada 2012 seleksi pembagian jatah TV digital mulai menunjukkan kejanggalan. Pemenangnya selalu stasiun TV swasta dari Jakarta. Seperti di zona empat Jakarta dan Banten dimenangi Metro TV, SCTV, TransTV dan Banten Sinar Dunia Televisi. Sedang untuk Zona Jawa Timur, pemenang seleksi adalah ANTV, Global TV, SCTV dan Trans TV. Agung mencermati, dengan begitu kebijakan digitalisasi TV hanya akan membunuh TV-TV lokal. Bagi mereka, untuk mendapatkan legalisasi saja butuh waktu 10 tahun, namun 2015 nanti digitalisasi TV sudah akan diberlakukan. Meski TV digital akan menyediakan lebih banyak channel, tapi ini tidak akan banyak berguna bagi para pengusaha media lokal. “Toh pemiliknya itu-itu juga (stasiunstasiun televisi besar Jakarta).” Lagipula, digitalisasi TV tidak punya dasar hukum yang jelas. Sebab, UU Penyiaran tidak membahasnya. Sebagaimana diakui Syahruddin, Kasubdit TV Kominfo, “hal itu merupakan kelemahan UU Penyiaran yang ada saat ini.” Meski begitu, ia mengatakan pengalihan sistem penyiaran TV dari analog ke digital akan tetap dilaksanakan karena sesuai dengan tuntutan zaman
.
Didaktika 35
LAPORAN KHUSUS
PENJAJAHAN RUANG PUBLIK
Keseragaman isi siaran televisi hadir seiring dengan berlangsungnya monopoli kepemilikannya. Masyarakat Indonesia yang multikultur jadi taruhan. Oleh Indra Gunawan
Foto: Istimewa
D
Caesar dalam acara Yuk Keep Smile, Trans TV bersama JKT 48
ari dalam layar kaca seorang tukang becak fasih bicara tentang masalah yang sedang mendera rakyat Indonesia. Komentarnya pada pemimpin saat ini pun pedas. “Pemimpin negara harus merasakan apa yang dialami masyarakat dan harus terjun kepada masyarakat,” ungkapnya dengan sedikit merendahkan suara. Tukang becak yang fasih bicara politik itu ternyata bukan tukang becak biasa. Ia adalah Wiranto, Pemimpin Umum Partai Hanura sekaligus calon presiden dari partai berlambang anak panah tersebut. Mantan jenderal bintang empat ini belakangan rajin menyamar sebagai masyarakat bawah di acara Mewujudkan Mimpi Indonesia yang tayang di RCTI, selama Desember 2013. Selain menyamar sebagai tukang becak, ia pun kerap menyamar sebagai tukang semir, pengemis dan pemulung di
acara yang sama. Tayangan politis tersebut langsung direspon Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan surat teguran. Pasalnya, televisi yang dimiliki Hari Tanoesudibyo, calon pendamping Wiranto sebagai wapres itu dianggap telah melanggar ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Perilaku Siaran (P3SPS) karena berbau kampanye. Namun, surat teguran itu tak membuatnya jera. Stasiun televisi lain yang dipimpin Hary Tanoe kian banyak memunculkan acara dengan muatan serupa. Seperti Kuis Kebangsaan dan Kuis Indonesia Cerdas. Bukan cuma grup MNC yang kena tegur KPI, stasiun televisi lain seperti Metro TV milik Surya Paloh, Viva Grup milik Aburizal Bakri, TV One dan ANTV pun pernah mengalami hal sama karena meny-
iarkan berita politik secara tidak proporsional. Namun, teguran tersebut nampak seperti angin lalu. Siaran berbau kampanye dan pemberitaan yang tidak proporsional tetap berlangsung. “Sepertinya mereka (pemilik media) tidak lagi punya rasa malu dan etika,” ucap Roy Tanhiago, Direktur Remotivi, lembaga swadaya masyarakat pemantau isi siaran televisi. Saat ini, televisi-televisi swasta yang pemiliknya tengah berlomba menjadi penguasa negara sangat gencar melakukan manuver politik lewat siarannya. Tidak hanya lewat iklan-iklan, reality show, bahkan pemberitaan televisi yang dimiliki masing-masing politikus tersebut pun sarat pencitraan positif. Bahkan, Ketua KPI Judhariksawan menyatakan televisi swasta tidak netral dalam kegiatan pemilu presiden. TVOne, RCTI, MNCTV dan Global TV dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak terhadap pasangan Prabowo-Hatta. Sedangkan Metro TV dinilai membeikan porsi lebih banyak terhadap Jokowi-Jusuf Kalla(Koran Tempo, 2/6) Kecenderungan televisi swasta memberikan porsi berita yang besar terhadap kelompok tertentu memang bukan hal baru. Hasil penelitian Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pada Oktober 2013 menunjukkan, dari 56 berita politik yang menjadi sampel, 19 berita diantaranya menampilkan pemilik media dan afiliasi politiknya. Ironisnya, pemberitaan tersebut 100% berorientasi pencitraan positif terhadap pemilik media. Luviana, mantan jurnalis Metro TV, menceritakan pengalamannya saat bekerja di media milik petinggi Partai Nasdem tersebut, intervensi di ruang redaksi begitu tinggi. “Kental sekali agenda pemberitaan dengan relasi kepentingan politik pemilik media,” terangnya kepada DIDAKTIKA.
Didaktika 36
Foto: Istimewa
Kehadiran media dengan sifat macam itu tentu mencederai cita-cita demokrasi. Sebagai instrumen dalam sistem demokrasi, media punya tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Apalagi hidupnya ditopang frekuensi publik. Maka, pemberitaan yang dikeluarkan mesti mengutamakan isu-isu yang relevan bagi masyarakat, bukan pribadi atau kelompok. Bagi Roy, lembaga penyiaran merupakan lembaga istimewa dalam ketentuan Undang-Undang (UU) Penyiaran. “Kalau mereka tidak mau memainkan seperti halnya media udah jangan bikin media,” tegasnya. Hal ini menurutnya juga telah melanggar pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, “Isi siaran wajib menjaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan golongan tertentu.” Di samping itu, televisi swasta berorientasi kuat pada akumulasi keuntungan. Penyelenggaraan penyiaran di Indonesia didominasi praktik standardisasi riset penonton atau lebih dikenal dengan rating. Padahal, rating hanya dilakukan di 10 kota besar, 55% -nya dilakukan di Jakarta. Pembacaan rating oleh pihak televisi, biro iklan, dan masyarakat sendiri kerap ukuran kesuksesan sebuah program. Linier dengan dominasi lembaga penyiaran swasta yang saat ini terjadi di Indonesia. Ada sebelas televisi swasta di Jakarta yang bersiaran secara nasional saat ini di Indonesia.
Para bintang Yuk Keep Smile seperti Soimah, Deni Cagur, Caesar dan yang lainnya sedang bergoyang
Program siarannya seringkali menonjolkan kekerasan, gosip, seks dan tayangan lain yang kurang mendidik lainnya. Baru-baru ini tayangan Yuk Keep Smile (YKS) milik Trans TV jadi akumulasi kekesalan masyarakat karena dianggap memberikan tayangan yang tidak mendidik. KPI pun segera membuat surat rekomendasi penghentian tayangan sementara, karena terbukti melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) Pasal 24 ayat 1 dalam Standar Program Siaran (SPS). Dalam tayangan tersebut, tampil ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal yang menghina atau merendahkan martabat manusia. Hal tersebut nampak dalam tayangan yang menyamakan mendiang seniman Betawi Benyamin Sueb dengan anjing. Komisioner KPI Fajar Arifianto Isnugroho mengatakan, frekuensi publik yang digunakan lembaga penyiaran swasta memang aset negara, tapi bukan berarti bisnis media merupakan tindakan haram. “Frekuensi boleh digunakan untuk kepentingan ekonpmi, tapi siaran dan penggunaannya itu demi kepentingan orang banyak,” ujar Fajar. “Untuk itulah ada proses perizinan untuk mencari orang-orang yang tepat, orang-orang yang bertanggung jawab, orang-orang yang bisa melaksanakan amanah kita untuk menggunakan itu.” Derasnya penjajahan ruang publik le-
wat televisi komersil terhadap masyarakat tidak bisa diremehkan. Saat ini, siaran stasiun televisi swasta Jakarta bisa menjangkau lebih dari 75% masyarakat Indonesia yang berbeda secara kultural. Akibatnya, terjadi hegemoni budaya kosmopolis Jakarta terhadap budaya lokal. Banyak tayangan-tayangan televisi yang tidak pernah mengakui keberagaman etnis Indonesia. Misalnya, aktor-aktor maupun penyiar televisi secara fisik selalu tampil menawan dengan kulit putih. Padahal tidak semua etnis di Indonesia seperti itu. “Makanya orang Papua tidak merasa mereka itu bagian dari Indonesia. toh mereka gak pernah merasa terwakilkan,” ujar pembuat film dokumenter, Alkinemokiye di acara diskusi film dokumenter Oligarki Televisi di Taman Ismail Marzuki. Hal ini mungkin bisa diminimalisir apabila sistem siaran berjaringan diterapkan. Sebagaimana ketentuan UU No. 40 Tahun 2003 yang tidak memperbolehkan satu stasiun televisi bersiaran di dua kota. Agar terjadi keberagaman isi sesuai dengan keberagaman budaya masyarakat Indonesia. Dengan memberdayakan tv lokal sebagai tempat tumbuh kembang budaya lokal sebagai aset nasional, proses dominasi secara kultural terhadap lokalitas masing-masing daerah tidak terjadi
.
Didaktika 37
WAWA N C A R A L A P O R A N K H U S U S
KPI, REGULATOR SETENGAH HATI Foto: Didaktika
man pemilik media. Di sini hanya diatur ketentuan mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan sebagaimana ayat 1, disusun oleh KPI berkerja sama dengan pemerintah, berarti ikut melihat peraturan pemerintahnya. Peraturan pemerintah ini hanya dibatasi. Itu saja, tidak ada yang jelas. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum di satu wilayah siaran dibatasi. Pemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta juga dibatasi. Prinsipnya ada ketidaktegasan dalam regulasi penyiar yaitu UU yang membuat praktik penyelenggaraan penyiaran menjadi agak karut-marut. Karena memang UU penyiaran tidak memberi penegasan yang jelas dibatasi itu berapa.
L
Fajar Arifianto Isnugraha
embaga Penyiaran Swasta (LPS) yang saat ini menguasai sistem penyiaran di Indonesia mengarah pada monopoli kepemilikan dan isi siaran. Selain itu, televisi pun digunakan oleh pemiliknya untuk kampanye. Sebab, pemilik media tersebut di dunia politik. Padahal, dalam UU. No 32 Tahun 2002 dijelaskan lembaga penyiaran harus menggunakan frekuensi negara sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Bukan kepentingan partai, golongan, apalagi pribadi. Atas kondisi tersebut, dimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai salah satu regulator? Berikut petikan wawancara reporter DIDAKTIKA, Indra Gunawan dan Ferika Lukmana Sari dengan Komisioner KPI Fajar Arifianto Isnugraha di ruangannya. Apakah Undang-Undang mengatur pembatasan hak kepemilikan televisi?
UU penyiaran lahir untuk mewujudkan demokrasi penyiaran. Memberi kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia untuk mengelola televisi dengan asas deversity of content, keberagaman isi siaran dan deversity of ownership, keberaga-
Kalau penafsiran peraturan pemerintah itu kan berbeda. Ini yang membuat banyak pelanggaran soal kepemilikan media. Itulah kenapa urusan pemilikan silang, pemilikan media itu belum tegas diatur. Kami dari KPI sesungguhnya berharap DPR dari komisi 1 segera menyelesaikan perubahan UU penyiaran dengan memberikan batasan yang jelas. Pada PP 50, Tentang kepemilikan. Kepemilikan saham. Jadi PP 50 tahun 2005, tentang lembaga penyiaran swasta ini mengatur permodalan kepemilikan saham. Tapi tidak jelas harus memiliki berapa. Jadi yang sekarang praktiknya adalah konglomerasi media. Dimana terjadi pemusatan kepemilikan baik media cetak, radio, televisi, dan online, ada satu pemilik. Yang itu belum diatur. Sementara ranah kami bergerak pada lembaga penyiaran saja, radio dan televisi. Sementara yang lain ini perlu disinkronkan. Makanya UU ini harus segera dilakukan perubahan, mengingat media ini kan sudah konvergen. Seperti gadget ini orang sudah bisa membuka media online, mendengarkan radio, bahkan ada TV streaming. Soal konten, apakah pemilik media boleh menggunakannya untuk kepentingan pribadi?
Sudah jelas. Di dalam UU Penyiaran pasal 36 ayat 4, program isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mementingkan kepentingan kelompok tertentu. Ini jelas bahwa asas netralitas, keberimbangan, tetap menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh media massa elektronik. Dasarnya adalah lembaga penyiaran elektronik itu menggunakan frekuensi milik publik. Di dalam P3SPS kita, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sudah jelas tentang kepentingan publik. Pada pasal 11 sudah jelas dinyatakan program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik, tidak untuk kepentingan kelompok tertentu. Ini adalah penerjemahan dari pasal 36. Ayat duanya jelas program siaran jelas dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan atau kelompoknya. Yang terjadi sekarang pada pemilu 2014 ini pemilik media kebetulan punya afiliasi dengan partai politik. berimbang. Yang terjadi sekarang adalah keberpihakan itu sudah jelas. Seperti Surya Paloh dan Metro TV. Sudah jelas dia koalisi pada capres nomor dua. Maka dia pastilah menggunakan medianya, memanfaatkan Metro TV untuk kepentingan pribadi dia sebagai ketua partai Nasdem, dan pasti pribadi dan kelompoknya. Sebenarnya sama ketika ARB, meskipun dia mengatakan tidak pemiliknya langsung, tapi kan jelas, VIVAnews milik siapa, kelompok Bakrie milik siapa, pastilah ARB dengan segala kepentingannya memanfaatkan media untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Siapa? Ya peserta koalisi capres nomor satu. Dua hal inilah yang kami anggap dua media tidak netral, tidak berimbang dan tidak proporsional dalam hal ini. Sehingga jelas mereka pasti melanggar ayat-ayat ini. Cuma masalahnya, dalam konteks pelanggaran siaran kampanye politik dan siaran pemilu kami harus proporsional dan hatihati. Ada yang namanya penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu. Maka dalam hal ini kita berharap KPU dan Bawaslu-lah yang memiliki domain untuk menyatakan itu melanggar atau tidak. Misalkan begini,
Didaktika 38
siaran di TVone atau Metro TV itu adalah kampanye, melanggar. Maka Bawaslu akan menegur tim kampanyenya. Tim kampanye nomor satu dan kampanye nomor dua. Sedangkan, medianya dia minta KPI untuk menegur. Sehingga memang butuh sinkronisasi dan koordinasi. Kenapa UU Penyiaran tahun 2013 belum direvisi, padahal pemusatan kepemilikan media sudah ada sejak awal 2000-an?
Justru akar masalahnya adalah melakukan perubahan pada UU Penyiaran. Karena dalam UU No. 32 Tahun 2002 itu sebenarnya belum jelas, siapa sesungguhnya regulator penyiaran, ini kan terjadi, overlap antara antara Kominfo dan KPI. Tapi, urusan penyiaran bukan di kami. Konkretnya izin penyelenggaraan penyiaran masih dipegang oleh menteri, berarti dominasi Kominfo sangat besar dalam mengatur penyiaran. Harusnya dengan PP atau apapun itu mereka mengatur itu, kami ini sebenarnya dibatasi hanya untuk mengurusi konten dan pengawasan siaran saja. Kami dilibatkan hanya untuk persetujuan, itu pun hanya untuk membantu Kominfo. Lembaga penyiaran pasti akan patuh pada yang mengeluarkan izin. Bukan KPI, itulah kenapa ketika kami menegur kadang dia patuh, kadang tidak patuh, mereka lebih takut kepada kementrian. UU ini pun tidak jelas, menjelaskan frekuensi itu kan milik publik ya dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, maka sebenarnya disini frekuensi itu sebenarnya dikelola oleh negara. Negara itu dipahami Kominfo sebagai pemerintah, padahal beda. Pemerintah itu penyelenggara, Negara itu pemerintah dan rakyat. Kalau pemerintah ya aparatur saja. Maka sesungguhnya urusan penyiaran harus dikuasai oleh negara. Dan lembaga negara yang urusan penyiaran, KPI ini sesungguhnya. Kami ini representasi publik dipilih oleh DPR yang mewakili rakyat untuk mengurusi penyiaran. Tapi kenapa negara itu dimaksudkan seolah-olah pemerintah dalam hal ini ialah Kominfo, jadi ketika dipegang Kominfo terjadi masa-masa dulu ketika masa departemen penerangan dia maunya power full,
dia yang mengatur semuanya. Tapi kami berharap kominfo sebagai leading sector titik berat kebijakan penyiaran berlaku tegas pada kepemilikan seperti ini. Tapi, sekali lagi domain regulasi itu ada di kementrian karena MA itu mengabulkan gugatan dari Kominfo ketika dia mengatakan semua peraturan disusun KPI dan pemerintah, itu KPI dicoret, jadi semua kebijakan penyiaran itu adalah menggunakan peraturan pemerintah, mana ada di negara lain. Urusan penyiaran tidak pernah ada peraturan KPI, mesti peraturan pemerintah, contoh PP No 50 tentang lembaga penyiaran swasta, kok tidak negara. Nah, yang terjadi adalah kementrian jalan sendiri tanpa melibatkan KPI, maka kita minta yang sekarang itu sudah ada MoU dengan Kominfo. Memang UU belum memberikan mandat yang jelas apa peran KPI dan Kominfo. Kami menyepakati dengan MoU, artinya begini, teguran dari KPI tidak akan menjadi akumulasi dari Kominfo ketika memperpanjang izin, ini baru terjadi tahun ini, karena kami sudah MoU. Sebelumnya tidak, Kominfo jalan sendiri, KPI jalan sendiri tidak ketemu kan, kami seharusnya jalan bareng, karena dua lembaga sesama regulator penyiaran tidak boleh saling mendahului. Setiap kebijakan tentang penyiaran saya tidak masalah apakah itu namanya peraturan pemerintah, tapi harusnya peraturan pemerintah ini dibicarakan dulu dengan KPI, jangan jalan sendiri, KPI yang ditinggal, KPI jadi juru terak-teriak, ini tidak benar. Berarti fungsi dan posisi KPI lemah?
Betul, dan mohon maaf kewenangan kita hanya sebatas teguran, sanksi dan arahan. Kabarnya 2015 ada peralihan televisi analog ke digital?
Tidak ada peralihan. Semuanya berjalan beriringan. Soal ini KPI belum pernah diajak bicara oleh Kominfo. Prinsipnya, KPI ingin digitalisasi ini dibicarakan dengan KPI. Karena KPI sepakat dengan berlakunya digital. Tapi digital yang bermanfaat bagi publik dan lembaga penyiaran. Jangan sampai digital itu berlangsung tapi
merugikan lembaga penyiaran. Maka kita ingin pengaturan yang fair, proporsional dan berimbang. KPI ingin semangat UU Penyiaran ingin terimplentasi dengan baik. Bila perlu lembaga penyiaran itu jangan dikelola oleh orang yang itu-itu saja. Keberagaman isi siaran saya sangat meragukan di tengah pemilik yang tunggal. KPI ingin lebih variatif lah, teman-teman di daerah, harus pula ikut. Tidak hanya dikuasai oleh pemilik yang tidak lebih 10 jari. Hubungan antara KPI pusat dan daerah seperti apa?
Kami sifatnya koordinatif berdasarkan UU. Karena UU harus diperbarui, diperbaiki, untuk menguatkan KPI secara kelembagaan. Substansi UU yang harus diubah itu ialah memperjelas kewenangan regulator penyiaran, apakah KPI pusat, daerah, dan Kominfo. Yang kedua adalah melegitimasi berlakunya siaran digital menjadi UU. Karena digitalisasi penyiaran belum ada di UU Penyiaran itu. Kalau mau mengubah total semuanya agak berat. Tapi kemarin dalam RDP terakhir, KPI meminta tolonglah menguatkan regulator penyiaran apakah KPI dan Kominfo, perannya jelas. Yang ketiga harus dicantumkan digital dalam UU. Itu supaya ada payung hukum agar PP bisa dibuat. Ini lucu, sudah ada keputusan menteri dsb tapi UU-nya belum ada. Makanya KPI minta untuk 3 bulan ini DPR membuat payung hukum bagi digital. Karena sudah mulai ada perizinan digital itu. Karena digital akan menjadi sebuah keniscayaan, keharusan di Indonesia karena ini adalah persyaratan International Technic Union (ITU). Ini berlaku di semua negara. Prinisipnya digital harus bermanfaat bagi publik dan lembaga penyiaran. Jangan sampai lembaga penyiaran tidak produktif. Contoh, TV lokal karena tak sanggup membayar muka, dia mati. Ini kan gak bagus. Kalau mau seleksi, seleksilah yang fair. Prinsipnya bicarakan dengan KPI. Kenapa, karena KPI yang lebih tahu di lapangan. Maka dari itu, hal ini harus diurus bersama (KPIKominfo)
.
Didaktika 39
SEN I BUDAYA
Foto: Istimewa
Laweyan, Pada Suatu Masa Di kampung ini masyarakat mengukir sejarah perdagangan batik. Pernah dapat kutukan dari Raja Jawa. Oleh Kurnia Yunita Rahayu
Didaktika 40
K
artasura 30 Juni 1742, Pakubuwono II tak bisa lagi mempertahankan diri saat kerajaannya digempur habis-habisan oleh tentara Cina. Untuk mempertahankan diri, ia bersama putra mahkotanya terpaksa melarikan diri. Dari Keraton Kartasura, mereka memilih untuk mengikuti arah matahari terbit menuju Surakarta. Rombongan berkuda dari Kartasura yang sedang dalam pelarian itu kelelahan dalam perjalanan. Mereka pun memutuskan untuk rehat sejenak di tepi sungai Premulung. Sambil meneguk sedikit air, mata Pakubuwono II tak bisa lepas dari kuda-kudanya. Ia melihat mereka sudah nampak sangat kelelahan setelah dipacu tempuh jarak yang amat jauh. “Nampaknya, kuda-kuda ini sudah tidak bisa kita gunakan untuk melanjutkan perjalanan,” kata Paku Buwono II kepada rombongan. “Ajudan, kita butuh kendaraan baru, pergilah pinjamkan beberapa kuda dari warga desa terdekat, Desa Laweyan.” Tanpa banyak tanya, ajudan pergi mengemban mandat sang Raja. Di perjalanan, tidak sulit baginya menemukan penduduk yang lalu lalang membawa kuda. Ia pun menghentikan satu persatu pengendara dan mengatakan maksud serta mandat yang ia bawa dari Paku Buwono II. “Maaf, saya tak bisa meminjamkan kuda ini karena akan digunakan untuk banyak urusan lain,” ujar pengendara kepada ajudan. Mendengar pernyataan tersebut dari tiap orang yang ditemui, ajudan bingung bukan kepalang. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat peristirahatan dan melaporkan hasil perjalanannya. “Tidak satu pun warga yang mau meminjamkan kuda kepada kita, Susuhunan.” Rupanya ia menemui pengendara yang tidak sedang sekadar jalan-jalan melainkan sekelompok pedagang sibuk. “Sekitar 300 tahun lalu, Kampung Laweyan sudah dikenal sebagai tempat tinggal para saudagar kaya, yang terkait dengan bisnis tali (lawe), kain tenun dan batik,” kata Sejarawan Kota Solo Heri Priyatmoko. Dalam berkegiatan, pedagang batik Kampung Laweyan memang menggunakan kuda untuk mengangkut barang-barangnya sendiri. Perdagangan saat itu pun sudah sangat sibuk. Laweyan merupakan
kantong industri batik terbesar di kota Solo. Jaringan distribusinya ada di seluruh Jawa hingga luar Jawa. “Mereka bisa memasarkan sekitar 200 kodi batik tiap bulannya ke Surabaya,” tulis Soedarmono dalam buku Mbok Mase, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20. Begitu pula di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah, batik Laweyan dipasarkan ke daerah Kudus, Semarang dan Pekalongan. Bagian barat Pulau Jawa pun tak alpa disambangi produk mereka. Dari Bogor, Cirebon, hingga Jakarta ikut kebanjiran batik dari kampung kecil di Solo itu. Sementara di luar Jawa, Laweyan memasok hingga 750 kodi kain batik perbulan. Tiap produk dilabeli harga yang tidak rendah. Untuk satu kodi batik berkualitas, pembeli mesti merogoh kocek sekitar 40 gulden. Dengan begitu, seorang pengusaha bisa mengantongi penghasilan sekitar 30-40 ribu gulden dalam sebulan. Di era kolonial, pendapatan mereka itu bersaing dengan para birokrat, malah banyak yang mengunggulinya. “Perkembangan yang begitu pesat itu mampu mengubah citra Laweyan, dari kampung pengrajin batik, menjadi pusat industri batik modern,” ujar Heri. Berkembangnya usaha pedagang batik Laweyan tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi. Penemuan alat cap batik pada awal abad ke-20 menandai terjadinya revolusi. Menggunakan cap, para pengrajin bisa menghasilkan produk dengan jumlah banyak dalam waktu singkat. “Dalam proses pengerjaan batik tulis, dulu kita bisa menghabiskan waktu dua sampai tiga bulan untuk menyelesaikan selembar kain saja. Tapi dengan alat cap, dalam sehari bisa menghasilkan 40 lembar,” ungkap Suwardi, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyakat Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan yang juga punya usaha batik. Ia menambahkan, kehadiran alat cap tersebut juga telah mengubah nilai yang terkandung dalam pembuatan batik. Dari sekadar kerajinan menjadi batik massal yang kemudian berkembang menjadi industri. “Bagi kami membatik itu pekerjaan, untuk menyambung hidup. Bukan kerajinan seperti yang dilakukan di Keraton.” Pembuatan batik memang sudah dikenal lama di Solo dan tidak hanya dilakukan
oleh penduduk Laweyan. Keraton Surakarta juga memiliki abdi dalem kriyan, yang bertugas membuat batik. Di keraton, batik memiliki nilai lebih dari sekadar pakaian. Ia adalah perangkat istimewa yang terkait dengan pangkat dan kekuasaan. Distribusi batik Keraton yang tertutup itu membuka peluang bagi pedagang batik Laweyan yang sedang memasuki fase industrialisasi dalam usahanya. “Pengusaha Laweyan kemudian melakukan berbagai modifikasi atas batik. Termasuk dalam motifnya. Beberapa motif yang sakral di Keraton dimodifikasi sedemikian rupa agar nilai sakralnya hilang, kemudian bisa dipakai siapa saja,” kata Suwardi. Sejak saat itu, batik menjadi konsumsi publik yang mengakibatkan jatuhnya produksi batik tulis Keraton. Tak heran apabila permintaan dari para konsumen di berbagai daerah pun kian bertambah. Produksi kain batik yang jumlahnya terus naik juga didukung oleh peningkatan jumlah kain katun sebagai komoditi impor. Hal ini tentu sangat didukung oleh Belanda, karena turut pula memberi keuntungan yang besar kepada mereka. Soal segmentasi pasar, pedagang batik Laweyan membidik kalangan rakyat biasa sebagai konsumen utama, khususnya untuk batik kasar dan dagel. Masyarakat Jawa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani akan meningkat daya belinya ketika musim panen tiba. Makanya, produksi batik secara maksimal dilakukan pada periode Mei hingga September. Pada periode tersebut nampak kompetisi dari perusahaan-perusahaan batik dalam meningkatkan produksi dan memperebutkan konsumen. Tindakan utama adalah menjaga ketat harta paling berharga dari industri tersebut, yakni motif dan alat cap batik. Harun Muryadi, anak salah satu pengusaha batik kenamaan di Laweyan mengatakan setiap rumah selalu dilengkapi bunker untuk menyimpan barang berharga. “Di bunker itulah kain-kain batik bermotif baru dan alat cap disimpan,” tuturnya. Ia memang tahu betul mengenai fungsi bunker, sebab di Laweyan hanya rumah peninggalan orang tuanya lah yang belum menutup ruang bawah tanah berukuran sekitar 2x2 meter itu. Upaya melindungi motif dan cap batik juga nampak dari desain rumah para
Didaktika 41
SE NI BUDAYA Foto: Istimewa
Harun Muryadi di bunker yang ada di rumahnya. Satu-satunya tersisa di Laweyan
pengusaha. Bangunan yang menggabungkan tempat tinggal dan pabrik itu selalu dikelilingi pagar tembok setinggi hampir lima meter. Tujuannya tidak lain untuk memastikan kerahasiaan resep-resep utama masing-masing pengusaha. Perihal sumber daya manusia juga tak kalah penting dalam industri batik Laweyan. Para pengusaha, punya pola pembagian kerja yang hampir sama, ada orang-orang yang ditempatkan sebagai ahli cap, nyoga dan pedagang perantara (bakul wade). Hubungan antarposisi dalam perusahaan ini senantiasa dipelihara. Selain soal solidaritas, minimalisasi kebocoran rahasia perusahaan jadi tujuannya.
Sing Wedok Mbatik, Sing Lanang Ngingu Kutut
Bagi masyarakat Laweyan, perusahaan batik bisa jadi hal terpenting untuk memertahankan hidup. Tapi lebih jauh dari itu, usaha juga menjadi lambang bagaimana mengelola sebuah keluarga. Bagaimana tidak, perusahaan-perusahaan batik di Laweyan selalu dijalankan dengan pembagian kerja yang didasarkan pada peran suami dan istri. “Di Laweyan, para suami bertanggung jawab atas fungsi kreatif dalam pembuatan batik. Sementara istri, punya tugas untuk menjual produkproduk yang dihasilkan, kalau zaman sekarang seperti marketing lah,” kata Suwardi. Oleh karena itu, saat memasuki usia
Foto: Didaktika
Pratiwi Dramastuti, cucu Haji Samanhoedi
enam tahun anak-anak perempuan di Laweyan sudah diajari melipat batik, menghitung biaya produksi dan beberapa hal lain terkait teknis penjualan. Mereka sudah diproyeksikan untuk menjadi Mbok Maseistilah untuk juragan batik perempuan-di masa yang akan datang. Sementara, anak laki-laki diberi kebebasan yang lebih karena pekerjaan mencari inspirasi kreatif untuk pembuatan batik membutuhkan atmosfer yang terbuka. Masih menurut Suwardi, sejauh Mbok Mase dan Mas Nganten-sebutan untuk juragan batik laki-laki–dapat bekerja sama, sejauh itu pula kondisi perusahaan akan berjalan dengan baik. “Tapi kalau Mas Nganten atau Mbok Mase maju sendiri, itu tidak akan berhasil,” ujar Suwardi yakin. Sebagaimana Haji Samanhoedi, pengusaha batik Laweyan paling sukses sepanjang abad ke-20 harus rela menyaksikan kemerosotan usahanya secara perlahan sejak sang istri, Suginah pergi meninggalkan rumah. Padahal, kepiawaian pasangan Samanhudi-Suginah tidak dapat diragukan. Pasalnya, mereka berdua sama-sama keturunan pengusaha batik sehingga sudah dididik untuk melakukannya sejak kecil. Namun, awan gelap mulai memasuki hidup mereka saat Samanhoedi menikahi perempuan lain, Marbingah dari Keraton Mangkunegaraan. “Setelah itu Suginah purik, dan tinggal di rumah anaknya, tidak pernah kembali untuk Samanhoedi,”
Suwardi mengisahkan. Tentu saja peran dan posisi Suginah tidak tergantikan, apalagi oleh Marbingah. Seorang gadis Keraton yang sama sekali tidak pernah berurusan dengan bisnis. Di samping itu, Muryadi mengakui kemerosotan usaha juragan batik di Laweyan juga disebabkan oleh perjudian. “Rata-rata lelaki disini itu main sampai habis. Begitu pula yang dilakukan oleh kakak-kakak saya hingga perusahaan orang tua mesti gulung tikar,” katanya menyesal. Beberapa hal tersebut membuktikan, meski orang-orang Laweyan terkenal dengan sifatnya yang ulet serta mempunyai etos kerja tinggi, kemerosotan tidak dapat dihindarkan. Kini, Kampung Laweyan yang tersohor atas kekayaan saudagarnya itu pun tinggal kisah. Boleh dipercaya atau tidak, sejak Pakubuwono II marah karena tidak dipinjami kuda, ia memang sudah berucap sumpah untuk para pedagang Laweyan. “Orang-orang Laweyan bukanlah priyayi tinggi. Mereka hanya akan tumbuh sebagai pedagang yang cuma pandai menghitung untung rugi, hidupnya hanya digunakan untuk berjuang demi harta benda,” tukas Pakbuwono II sebagaimana bisa kita dapat dari berbagai legenda Kampung Laweyan
.
Didaktika 42
Foto: Dokumen pribadi keluarga
Haji Samanhoedi menerima penghargaan Bintang Mahaputra Setjara Anumerta dari Presiden Soekarno. Diwakili oleh anak tertuanya Soekanti Samanhoedi.
Didaktika 43
Foto: Didaktika
SE N I BUDAYA
Kompleks Laweyan
Didaktika 44
Seumur Hidup Melawan Arus Masyarakat Laweyan selalu punya acuan sendiri dalam setiap kegiatannya. Mulai dari jenis mata pencarian, hingga peranan perempuan. Oleh Kurnia Yunita Rahayu
K
egiatan perdagangan batik yang sudah dilakoni masyarakat Laweyan, Solo, Jawa Tengah sejak beberapa abad silam membawa mereka sebagai kelompok yang punya kekuatan dalam segi finansial. Bahkan, tercatat bahwa pada masanya Solo merupakan kota pemusatan modal pribumi terbesar di Hindia Belanda. Sayangnya, berapapun jumlah harta yang dimiliki, tak jua mampu membawa mereka masuk ke dalam struktur sosial resmi yang diakui. Masyarakat Jawa yang punya tradisi agraris cenderung tidak mengakui profesi berdagang. Hanya kelompok bangsawan, priyayi dan wong cilik yang dicatat dalam Kejawaan. Menurut Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya, Kejawaan sebuah wilayah dan penghuninya selalu diukur dari jarak spasial mereka dengan pusat peradaban yang ada di pedalaman. Jarak ini pula yang akhirnya turut menentukan tingkat keberadaban masyarakat. Sementara, kebanyakan pedagang tinggal di daerah pesisir, sangat jauh dari pedalaman. Secara tidak langsung, pedagang dianggap kurang beradab dan bermartabat dibandingkan orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar Keraton. Ada anasir lain bahwa pembagian masyarakat ke dalam kelompok priyayi dan saudagar datang dari kebiasaan pemerintah kolonial yang selalu mempertegas dan membuat pembagian tersebut menjadi kaku. Mereka menciptakan ideologi priyayi sebagai profesi yang memberikan pelayanan melalui pengorbanan pribadi atas nama negara dan melakukannya merupakan sebuah kemuliaan. Kemudian soal priyayi juga diidentifikasi secara spasial, yakni Jawa Tengah. Hal itu dilakukan sekaligus menetapkan bahwa para priyayi terutama yang mengabdi pada kerajaan di Jawa Tengah merupakan posisi paling tepat untuk memenuhi standar kebudayaan Jawa yang tinggi. “Maka, para
Foto: Istimewa
Bandar Kabanaran
penjajah Eropa mendeklarasikan dengan tegas bahwa orang Jawa tidak layak menjadi pedagang,� ujar Sejarawan Kota Solo Heri Priyatmoko. Namun, masyarakat Laweyan menunjukkan pola hidup berbeda dari teori tentang Kejawaan yang dikemukakan banyak teoritisi. Mereka bermukim di daerah yang tidak terlalu jauh dari pusat kerajaan, tapi tidak pula berprofesi sebagai abdi dalem maupun petani, melainkan sebagai pedagang. Kondisi geografis Kampung Laweyan yang berada di tepi Bandar Kabanaran, Bengawan Solo lah yang jadi keuntungan terbesar bagi aktivitas perdagangan tersebut. Bandar Kabanaran merupakan jalur lalu lintas utama para pedagang dari ujung timur Pulau Jawa. Bentuk perairannya yang menyerupai huruf U memudahkan perahu-perahu untuk masuk dan singgah. Sehingga sangat memungkinkan banyak pedagang bertemu untuk melakukan pertukaran berbagai informasi dan barang dagangan disana. Kegiatan di Bandar Kabanaran diyakini merupakan asal-usul terbentuknya komunitas pedagang Laweyan. Sejak abad ke-16, leluhur para saudagar batik sebagian berasal dari Desa Nusupan yang dulu
dikenal sebagai Bandar Nusupan, Bandar perdagangan Kedung Gudel di Sukoharjo dan dari Tembayat, Wedi, Klaten. Mereka semakin bergairah menggiatkan perdagangan setelah Belanda melakukan blokade atas hubungan Jawa dengan India pada abad ke-17. Setelah tidak bisa lagi mengimpor bahan utama dalam pembuatan batik, kain mori dari Malabar, India para pedagang Laweyan justru memproduksi tiruan kain tersebut. Produksi yang dihasilkan secara massif kemudian mampu memenuhi kebutuhan perdagangan sehingga mereka tak perlu lagi mengimpor bahkan bisa mengekspor. Motivasi produksi batik juga kian menguat saat Sultan Amangkurat II tidak segan untuk mengambil canting dan membatik, sehingga diikuti seluruh rakyatnya. Tidak heran bila Laweyan kemudian berkembang menjadi pusat industri batik. “Tidak pernah produksinya dikalahkan oleh kain impor dari negeri manapun di dunia,� kata Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula. Ratusan tahun dalam aktivitas perdagangan turun temurun rupanya membentuk kesadaran di kalangan masyarakat Laweyan, bahwa secara historis pekerjaan mereka bukanlah di sektor pertanian mel-
Didaktika 45
1. Heri Priyatmoko (kiri) 2. Bekas Museum Samanhoedi Laweyan sekarang menjadi gedung kosong
ainkan perdagangan. Posisi nenek moyang mereka dalam hirarki kerajaan adalah sebagai pedagang dan pengrajin batik rakyat. “Kami ini bukan keturunan Keraton, sejak dulu kami memang keturunan pedagang batik,” aku Pratiwi Darmastuti, cucu pengusaha batik Laweyan Haji Samanhoedi. Masyarakat Beridentitas Terbelah Secara ekonomi, masyarakat Kampung Laweyan menunjukkan pola hidup yang egaliter. Siapa saja punya kesempatan untuk menjadi pedagang, asalkan mau dan mampu berusaha. Tidak ada urusan dengan darah dan keturunan, karena orientasi mereka bukanlah status dalam struktur sosial melainkan keuntungan. “Ada kecendrungan alamiah di manapun masyarakat yang mengembangkan perniagaan akan punya kehidupan yang lebih egaliter dan lebih progresif, dalam artian mau mendobrak nilai-nilai yang dapat menghambat masyarakat untuk meraih keuntungan,” tegas Sugeng Prakoso, Sejarawan Universitas Negeri Jakarta. Pendobrakan atas nilai dan norma tersebut setidaknya tercatat dalam sejarah perjuangaan kaum pedagang perempuan Laweyan dalam meraih alat produksinya. Mereka mampu menerabas batas-batas patriarkal yang identik dengan Jawa. Pada
awal abad 20, para Mbok Mase Laweyan bergabung dengan istri-istri abdi dalem Kauman untuk menuntut Keraton Kasunanan membuka Pasar Sandhang sebagai pusat kegiatan perdagangan batik mereka. Saat itu, Pasar Sandhang boleh jadi merupakan infrastruktur terpenting bagi para pedagang. Namun, komunitas pedagang Laweyan hidup dalam permukiman yang terisolir dari batas-batas fisik tata ruang kota kerajaan. Mereka harus tinggal di luar ekosistem budaya feodal kota. Makanya, pasar dalam konsep sar-gedhe pun tidak disediakan untuk mereka. Didorong oleh motivasi tersebut, kaum perempuan Laweyan yang memang punya tugas sebagai garda terdepan dalam perdagangan batik, terus menuntut Keraton Surakarta agar membuka Pasar Sandhang untuk mereka. Perjuangan tersebut membuah hasil, pada 1930-an Mbok Mase Laweyan mendapat hak akses atas Pasar Kleweran yang dibuka di bekas rumah dinas abdi dalem Secoyudho, pemimpin etnis Cina di Keraton Surakarta. Dibukanya Pasar Kleweran ini juga menandai pencapaian baru bagi para Mbok Mase. Aktivitas perdagangan meningkat ketika Pasar Sandhang Klewer mempertemukan mereka dengan mitra bisnis lainnya. Hal tersebut juga terdukung dengan
Foto: Istimewa
kebijakan Sunan Pakubuwono X yang memberi kesempatan kepada mereka untuk punya hak lisensi bisnis dalam kegiatan pegadaian di Jawa. Selain itu, beberapa faktor kekuatan ekonomi baru bagi para pedagang Laweyan kian bermunculan. Seperti kemampuan seni membatik tulis canting, industri pabrikan batik cap serta adanya aliran modal dari pegadaian Jawa mampu untuk terus membangkitkan gairah para pebisnis perempuan di Solo. Buktinya, pada periode 1930-an, di era krisis malaise, mereka justru bisa menunjukkan jati dirinya sebagai saudagar batik. “Ini ditandai dengan keberhasilan mereka menekan Keraton untuk mendirikan pasar sandhang Klewer secara ilegal,” kata Heri Priyatmoko. Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya menyetujui betapa besarnya peran perempuan dalam dunia perdagangan di Jawa. Mereka punya keleluasaan lebih untuk mengakses perniagaan. Tidak jarang, kaum perempuan juga ambil peran dalam politik. Namun, peranan perempuan dalam politik surut seiring masuknya Islam. Nilai-nilai yang terkandung di dalam ajarannya ambil peran besar dalam membatasi serta mengawasi gerak-gerik perempuan.
Didaktika 46
Foto: Didaktika
“Untuk selanjutnya, mereka boleh dikatakan disisihkan dari kehidupan politik yang menjadi ajang mereka berkiprah,” tulis Lombard. Ia melanjutkan, meski sudah kehilangan panggung politik perempuan Jawa tidak pernah tersingkir dari kehidupan ekonomi. Kebanyakan mereka justru memanfaatkan situasi ekonomi yang membaik untuk aktif dalam perniagaan dan perdagangan uang. “Para pengamat Eropa sering menyebut peran mereka di pasar-pasar Nusantara dan sampai ke kios-kios penukaran uang,” ujar Lombard. Sementara masyarakat Laweyan mampu tampil sangat progresif demi meraup keuntungan finansial, secara sosial mereka justru nampak masih terikat dengan struktur yang lama. Hal tersebut bisa ditangkap dari penyematan gelar Mbok Mase dan Mas Nganten, berturut-turut untuk pengusaha batik perempuan dan laki-laki. “Gelar tersebut digunakan untuk membedakan, mana juragan dan mana yang pekerja. Kalau tidak ada gelar seperti itu, masa nanti pegawai dengan juragan tidak ada sopan santunnya,” tutur Pratiwi Darmastuti. Pengakuan serupa juga dituturkan oleh Harun Muryadi, anak bekas pengusaha batik kenamaan di Laweyan. Baginya,
Foto: Istimewa
Sugeng Prakoso
keberadaan gelar Mbok Mase dan Mas Nganten yang disemat kepada ayah ibunya menjadi kebanggaan tersendiri bagi seisi keluarga. “Karena itu seperti model Keraton,” katanya sambil tersenyum sumringah mengenang kebanggaan tersebut. Rupanya sudah terjadi keterbelahan identitas di dalam diri masyarakat Laweyan. “Secara ekonomi menjadi lebih egaliter, tapi secara sosial mereka ingin
tetap punya pertautan dengan sistem sosial yang lama,” terang Sugeng Prakoso. Meski begitu, Mbok Mase dan Mas Nganten adalah simbol eksistensi di tengah hegemoni Keraton. Gelar untuk pasangan pengusaha batik ini lahir dalam konteks sejarah komunitas pedagang yang kedudukan sosialnya terasing diantara penguasa dan rakyat. Maka, benar bila dikatakan para pedagang Batik Laweyan punya keinginan untuk menunjukkan kekuatan secara sosial, karena dominasi Keraton selalu membuat pemisahan yang tegas antara ikatan yang bersifat ekonomis dan non-ekonomis. “Akhirnya, mereka menciptakan gelar Mbok Mase dan Mas Nganten untuk menunjukkan kekuatan sosialnya kepada Keraton,” ujar Heri Priyatmoko. Sayangnya, usaha kuat tersebut tidak terlalu membuah hasil pada masyarakat yang didominasi oleh budaya feodal Keraton Surakarta. Laweyan memang tidak perlu menjadi entitas serupa dalam arus dominan. Ia akan tetap pada posisinya sebagai subkultur yang hidup dan menghidupi diri dengan caranya sendiri
.
Didaktika 47
SE N I BUDAYA Foto: Dokumen Pribadi Keluarga
Haji Samanhoedi (tengah) bersama para pedagang lain.
Kampung Pergerakan Dalam lingkungan para pedagang batik inilah pergerakan nasional Indonesia dirintis. Oleh Kurnia Yunita Rahayu
S
udarno Nadi, lahir di Sondakan, Laweyan, Surakarta, pada pertengahan abad 19 sebagai anak dari pengusaha batik Laweyan, Haji Muhammad Zen. Sebagai anak dari keluarga yang cukup secara finansial, Sudarno dibekali pendidikan madrasah dan sekolah rakyat selama enam tahun. Setelah itu, ia pun melanjutkan pendidikannya ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) Madiun saat berumur 13. Sayang, sekolahnya tak tamat. Ia mesti kembali ke dunia perdagangan, melanjutkan usaha batik keluarganya. Sebagai pengusaha muda, Sudarno boleh dikatakan sangat sukses. Ketika baru
berusia 19, ia sudah memiliki usaha batik mandiri yang punya beberapa cabang baik di Jawa Tengah maupun di seluruh Pulau Jawa. Sudarno yang mendapat nama baru, Haji Samanhoedi setelah menunaikan ibadah haji pada 1904 ini bukan hanya pedagang, tapi juga memiliki pabrik batik. Di Solo, jumlah pegawainya mencapai 200 orang. Sedangkan untuk agen besarnya di seluruh Jawa, tercatat tidak kurang dari 10 orang. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula mencatat, mereka adalah Sjech Ali Makarim. Sjech Awab Soengkar, H. M. Sareep, M. Ardjowikoro, M. H. Mashoedi, M. Wirjowiredjo. Hadel Mij Ho Hien Goan, Poe Hoe Kongsi, M.
Kartohastro dan Sjech Saleh Abdoel Adjis. Menurut Pramoedya, kegiatan perdagangan dan hubungan Haji Samanhoedi yang luas sebagai pembeli dan pemberi pekerjaan kepada banyak orang telah menempatkan dirinya bukan hanya sebagai pengusaha, tetapi juga tokoh sentral dalam masyarakat. Maka tidak heran bila Samanhudi dikenal aktif mendirikan beberapa perkumpulan masyarakat yang ada saat itu. Setidaknya ada dua yang membuat namanya mengemuka, Rekso Roemekso dan Sarekat Islam (SI). Yang terakhir disebut merupakan organisasi modern pertama yang didirikan kaum pribumi di masa kolonial. Catatan sejarah juga merekam bahwa SI merupakan organisasi dengan jumlah pengikut terbanyak serta punya pengaruh paling besar dalam masa pergerakan nasional. SI sendiri berdiri di Surakarta sebagai lanjutan dari Rekso Roemekso, organisasi ronda yang hadir atas inisiasi pedagang batik Laweyan untuk menjaga keamanan daerahnya. Maklum, pencurian kain batik dan benda-benda berharga lain sedang marak saat itu.
Didaktika 48
Keberadaan Rekso Roemekso yang tidak berbadan hukum kala itu menjadi incaran pemerintah kolonial. Mereka bisa dibubarkan dan dilarang berkegiatan bila tidak punya anggaran dasar organisasi yang disahkan pemerintah. Hal ini cukup membuat bingung Haji Samanhoedi dan beberapa pengurus lain Rekso Reomekso. Kebingungan mereka berakhir saat kedatangan tamu, pemilik surat kabar Medan Prijaji (MP) sekaligus pendiri organisasi Sarekat Dagang Islamiah (SDI) Bogor, R.M. Tirto Adhi Soerjo. Pengurus Rekso Roemekso meminta bantuan Tirto untuk dibuatkan anggaran dasar, agar keberadaan mereka diakui. Tirto pun menyambut baik keinginan tersebut, segera saja ia membuatkan anggaran dasar serta menyatakan bahwa organisasi tersebut menjadi cabang dari SDI Bogor dan memberinya nama SDI cabang Solo. Rupanya persetujuan Tirto bukan sekadar memenuhi permintaan pengurus Rekso Roemekso. Ia yang sedang dalam perjalanan menyambangi seluruh kota yang menjadi pemusatan modal pribumi memang punya keinginan untuk memperluas organisasi yang sudah dibentuk di Bogor. Selain itu, Haji Samanhudi merupakan kolega bisnis Tirto Adhi Soerjo. Siapa sangka, di samping mengelola perusahaan penerbitan, Tirto juga merupakan seorang pedagang batik. Ia menjual batik dari Kampung Laweyan, Surakarta ke Jawa Barat. Kain batik yang dijual Tirto laku keras. Sebab, tidak satu pun penduduk Jawa Barat bisa membatik sampai 1912. Padahal, sejak berabad lalu batik sudah menjadi pakaian tradisionalnya. “Dari semua usaha N.V. Medan Prijaji, perdagangan batik yang memberikan keuntungan baik, sehingga menjadi sandaran bagi usaha-usaha penerbitannya,” tulis Pramoedya dalam buku Sang Pemula. Oleh karena itu, Tirto mengangkat Samanhoedi yang punya kedudukan kuat dalam perdagangan sebagai Presiden SDI cabang Solo pada 9 November 1911. Selain itu, semua anggota Komite Pusat SDI cabang Solo juga merupakan orang-orang yang berdomisili di Kampung Laweyan. Mereka adalah Djojomargoso, Hardjosoemarto dari Purwosari dan Kartowihardjo. Kukuhnya fondasi finansial nampaknya memang jadi syarat utama dalam memulai pergerakan nasional. Apalagi lewat SDI, Tirto punya cita-cita menyebarkan gagasan nasionalisme serta kesadaran atas ketertin-
dasan yang selama ini menimpa rakyat di bawah pemerintah kolonial Belanda. Benar saja, perkembangan SDI di Solo jauh lebih besar daripada Bogor. Pada Agustus 1912, Asisten Residen Surakarta sebagaimana dikutip Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak, mencatat anggota SDI sudah mencapai 35.000 orang. Padahal saat itu jumlah penduduk Surakarta maksimal ada 60.000 orang sudah termasuk para Indo, Eropa dan Tionghoa. “Jadi tidak berlebihan jika dibilang hampir semua bumiputra dan muslim bergabung dengan SI tidak peduli usia dan kedudukan sosialnya,” kata Siraishi. Hal tersebut tentu saja didukung oleh basis ekonomi dan sosial kota Solo yang jauh lebih kuat dari kota mana pun saat itu. Pembengkakan jumlah anggota tersebut pun menjadi faktor pemicu keberanian Samanhoedi untuk mengganti nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI) pada 10 September 1912. Perubahan ini mengharapkan agar jangkauan kegiatan organisasi meluas meliputi perdagangan, sosial dan politik. Ada anasir bahwa peningkatan tajam jumlah anggota SI dalam waktu cepat merupakan akibat adanya persaingan dagang antara kaum pedagang Jawa dan Tionghoa. Keberadaan SI dijadikan penegasan perlindungan untuk pedagang Jawa dari dominasi Cina. Namun, hal ini sulit dibuktikan. Sebab, dari sepuluh agen besar Haji Samanhudi sebagai pengusaha batik terbesar kala itu, hanya dua orang berasal dari etnis Tionghoa. Selain itu, hingga akhir 1920, jumlah pabrik batik milik Tionghoa masih jauh lebih sedikit ketimbang milik pengusaha Jawa. Pramoedya Ananta Toer, mengutip laporan De Kat Angelino memaparkan, pada 1930 di Surakarta terdapat 236 perusahaan batik Pribumi, 88 Arab, 60 Cina dan tiga Eropa, sedangkan diantara mereka tidak ada persaingan. Nampaknya, meledaknya keanggotaan SI yang dimulai dari seluruh masyarakat Kampung Laweyan justru lebih dipengaruhi oleh pola hidup egaliter yang sudah membudaya dalam masyarakat mereka. Berlandaskan itu, mereka ingin menciptakan hidup yang setara antarumat manusia. Jalan menujunya adalah dengan berserikat. Dalam dokumen Makna Sarekat Islam Surakarta yang dicap di kantor pengecapan N.V. Budi Utama, Surakarta pada 1914 disebutkan tujuan Sarekat Islam adalah, “menciptakan hidup rukun tidak memilih kepada mereka yang kaya dan mereka yang bangsawan atau tidak meno-
lak terhadap mereka dari bangsa sudra atau orang miskin. Meskipun mereka dari pihak yang kaya harta dan bangsawan, namun apabila tingkah lakunya jelek maka akan ditolak juga, begitu pun sebaliknya. Meskipun bangsa sudra, apabila baik tingkah lakunya maka akan diterima.” Tujuan tersebut diwujudkan dalam seluruh kegiatan organisasi termasuk dalam hal administratif. Saat itu, SI menarifkan 25 sen untuk iuran masuk bagi anggota baru, sangat jauh nilainya dari organisasi Budi Utomo yang waktu itu juga sudah ada, iuran masuknya mencapai 250 sen. Biar pun ada ketetapan semacam itu, mereka yang tidak punya uang tidak dipaksa membayar penuh, banyak yang akhirnya hanya menyetorkan lima sen sebagai mahar masuk SI. “Dengan begitu, orang masuk SI secara berbondong-bondong,” ujar Suwardi, salah satu inisiator pendirian Museum Samanhoedi, Sondakan, Surakarta. Ia melanjutkan, motivasi masyarakat untuk masuk organisasi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis dalam pergaulan. “Mereka akan dikucilkan dari pergaulan apabila tidak masuk SI, karena anggota SI biasanya lebih paham soal politik dan saat itu mereka sering membicarakannya,” tutur Suwardi. Perkembangan yang terjadi di tubuh SI dengan 60 cabangnya memang tidak hanya pada jumlah anggota. Tapi juga pada gaya dan tujuan organisasi. Semakin tahun, SI mendapat banyak intervensi pemikiran dari berbagai pihak meski tujuannya sama, melawan imperialisme dan kolonialisme. Dalam kondisi ini, Samanhoedi dengan kedudukannya yang mapan sebagai pengusaha batik pun nampak tertinggal. Terutama dengan kemunculan tokoh pemimpin baru H.O.S. Tjokroaminoto yang lebih bisa menggandeng para pemuda untuk bergerak secara lebih radikal. Dalam pidato terakhirnya pada Kongres Sarekat Islam di Yogyakarta, 1914, Samanhoedi menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa meninggalkan kota Solo dan meminta kepada pengurus baru SI agar Pusat Sarekat Islam tetap ditempatkan di Solo. Sebagai pengusaha batik, Samanhoedi terikat dengan lokalitas. Ia tak bisa meninggalkan tempat tinggal yang juga jadi pusat usahanya. Di samping terdapat pula kesadaran bahwa basis massa terbesar dan radikal berkumpul di kota Solo, bukan yang lain
.
Didaktika 49
Foto: Didaktika
SE NI BUDAYA
Berpijak di Atas Warisan Gempuran kebijakan pemerintah yang pro-asing telah membunuh Laweyan. Warisan sejarah kini jadi andalan. Oleh Kurnia Yunita Rahayu
Masjid Laweyan
P
erdagangan di Kampung Batik Laweyan, Surakarta mencapai masa keemasan pada abad ke-20. Masa tersebut ditandai dengan meluasnya perkembangan motif batik hasil inovasi para pedagang Laweyan. Hasilnya tidak main-main, sebagian penghasilan kampung ini mampu mengongkosi perjuangan bangsa dengan menjadi basis utama organisasi pergerakan Sarekat Islam. Keberadaan mereka pun terus eksis hingga masa kemerdekaan Indonesia. Presiden Soekarno bahkan membuatkan pabrik mori untuk mendukung kegiatan perdagangan batik di Laweyan. Lewat kebijakan tersebut, hubungan Soekarno dengan para pedagang Laweyan jadi sangat baik. Konon, presiden pertama Indonesia itu banyak dapat bantuan dana dari mereka. “Makanya kalau masuk rumah orang Laweyan pasti ada foto Bung Karno bersalaman dengan si tuan rumah. Karena dia sering ke Solo, kemudian dibantu (finansial-red) orang Laweyan,” ujar Suwardi, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Sondakan, Kecamatan Laweyan yang juga salah satu inisiator pendirian Museum Samanhoedi. Sayangnya, usaha batik di Laweyan mulai redup seiring dengan pergantian kepemimpinan Indonesia. Naiknya Soeharto sebagai Presiden RI kedua membawa kebijakan perluasan investasi modal asing ke dalam negeri. Hal itu berdampak buruk
bagi usaha-usaha lokal, termasuk Batik Laweyan. Sejarawan dari Universitas Sebelas Maret Soedharmono dalam buku Mbok Mase, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20 mengatakan, “saat kapitalisme masuk melalui industri batik cetak, ledakan usaha batik Laweyan hancur, Mbok Mase pun menghilang dari sejarah.” Sejak 1970, industri batik cetak dari luar negeri mengekspansi pasar Indonesia. Dengan teknologi cetak, pabrik-pabrik asing mampu memproduksi ribuan lembar batik perhari, jauh mengungguli kemampuan pengusaha lokal dengan canting dan cap batiknya. “Keberadaan batik print tentu saja membuat kita, pengrajin batik lokal, tidak bisa bersaing,” kata Adiansyah Kusumawardhana, cicit Haji Samanhoedi yang kini menjadi pengusaha batik kepada DIDAKTIKA. Pada akhir abad ke-20, pengusaha batik Laweyan ada dalam ketidakberdayaan, karena gempuran industri milik asing terhadap mereka, direstui oleh negara. Kampung Laweyan yang merupakan pusat modal pribumi, wilayah ramai produksi dan perdagangan batik kemudian berubah jadi sebuah distrik kosong. Berdasarkan data harian The Jakarta Post dalam artikel Revival of Kampung Laweyan’s Batik Industry, pada 2004 hanya ada delapan pengusaha batik yang tersisa disana setelah lebih dari 30 tahun perdagangan batik Laweyan mati suri. Penghasilannya pun hanya cukup untuk bertahan hidup, tanpa perluasan usaha.
Mengingat punya sejarah yang besar, beberapa keturunan pengusaha batik Laweyan di masa lalu pun berniat melakukan revitalisasi kampung halamannya. Pada tahun 2006, mereka memulainya dengan mendirikan Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan (FPKBL) serta membuat grand design wilayah tersebut. Mulai dari tata ruang, pembenahan bangunanbangunan bersejarah, hingga perdagangan. “Targetnya semua lini pengembangan yang ada dalam grand design itu akan selesai pada 2020,” tutur Ketua FPKBL Alpha Fabela Priyatmono saat ditemui DIDAKTIKA di kediamannya. Alpha mengakui, revitalisasi tidak bisa hanya diarahkan pada industri batik. Ia yang juga pimpinan perusahaan Batik Mahkota Laweyan menyadari, persaingan dengan perusahaan batik asing sulit ditembus. Oleh karena itu, sejarah menjadi celah yang sangat potensial untuk mengembalikan kejayaan kampungnya lewat sektor pariwisata. Hal ini sejalan dengan rencana mantan Walikota Surakarta Joko Widodo. Di awal masa kepemimpinannya di Surakarta, pria yang akrab disapa Jokowi ini ingin membangun sebuah aikon yang dapat menjadi daya tarik kota. “Kami sudah merancang, Kampung Laweyan untuk menjadi satu ikon yang bisa mempromosikan Solo sebagai kota belanja dan wisata cagar budaya. Kami hanya memberdayakan kembali apa yang sudah ada disini,” katanya dikutip dari The Jakarta Post (16/3/2012). Kementerian Perumahan Rakyat
Didaktika 50
Rumah Haji Samanhoedi yang diberikan Presiden Soekarno
menyambut baik rencana ini dengan memberikan bantuan dana Rp 600 juta untuk konservasi 30 bangunan tua, untuk mendukung pembangunan wisata cagar budaya di wilayah Kampung Laweyan. Selain itu, Pemerintah Kota Surakarta menggelontorkan Rp 200 juta untuk merestrukturisasi lingkungan disana. Untuk melengkapi pembangunan Kampung Laweyan sebagai desa wisata, Krisnina Akbar Tandjung, pemimpin Yayasan Warna Warni yang juga keturunan asli Solo mendirikan Museum Samanhoedi. Tokoh paling representatif untuk bicara mengenai Laweyan sebagai desa perdagangan dan tempat bermulanya pergerakan nasional. Namun, beberapa rancangan yang sudah dilakukan untuk Kampung Laweyan itu mendapatkan koreksi dari warga. Suwardi, Ketua LPMK Sondakan meyakini terdapat kesalahan konseptual dalam perancangan revitalisasi Laweyan. Terutama tentang cakupan wilayah. Ia mengatakan konsep Laweyan bukan hanya mencakup daerah administrasi kelurahan yang terdiri dari tiga Rukun Warga itu, melainkan sebuah kawasan. Sudah terjadi pemahaman keliru yang dilestarikan selama ratusan tahun. “Secara historis, itu hanyalah trik pemerintah Belanda untuk melakukan pembonsaian atas kawasan Laweyan,” kata pensiunan Guru SMA itu. Suwardi menekankan, kawasan Laweyan terdiri dari Kelurahan Laweyan, Sondakan, Pajang dan Bumi. Revitalisasi mesti dilakukan pada daerah-daerah tersebut secara komprehensif. “Karena para
juragan batik memang tinggal di Laweyan, tapi tanahnya banyak sekali di Sondakan, kemudian Langgar Laweyan itu terletak di Sondakan. Lalu, Masjid Laweyan berdiri di Kelurahan Pajang,” ungkap Suwardi. Haji Samanhoedi pun lahir di Sondakan. Oleh karena itu, Suwardi bersikukuh agar Museum Samanhudi dipindahkan ke tanah kelahirannya. Serius dengan niatan tersebut, ia melengkapi koleksi-koleksi museum dan melakukan berbagai penelitian sejarah lanjutan mengenai tokoh pengusaha dan pendiri Sarekat Islam tersebut. Hal ini juga dilakukan untuk mengangkat nama Kelurahan Sondakan, karena secara alamiah wilayah ini tidak punya potensi yang bisa dikembangkan dan tertinggal sejak 2005 dari Kelurahan Laweyan. “Makanya kami potong kompas, dengan aikon Haji Samanhoedi,” tegas Suwardi. “Dia itu hanya satu di Indonesia. Wirausaha, beragama Islam, punya peran dalam pergerakan,” lanjutnya. Suwardi berharap, tiga sifat utama dalam diri Samanhoedi dapat dijadikan contoh oleh masyarakat Sondakan. Sebab, secara historis kelurahan tersebut adalah kampung para buruh yang bekerja untuk saudagar di Laweyan. Masih dalam kerangka pariwisata, Suwardi juga membuat grand design wilayah yang berhasil membawa Sondakan mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dari 550 desa wisata yang ada di Indonesia, Sondakan masuk dalam 10 urutan teratas dan mendapat bantuan dana pengembangan
desa. Beberapa usaha yang dilakukan dalam merevitalisasi Kampung Batik Laweyan memang berhasil menggairahkan kembali wilayah yang sempat mati itu. Dari 110 keluarga yang terdapat di Kampung Laweyan, kini 90 dari mereka kembali bekerja sebagai pengusaha batik. Sebanyak 215 motif juga telah dipatenkan sebagai milik pengrajin batik Laweyan. Namun, perdagangan batik tetap tidak bisa ditempatkan sebagai sektor utama dalam kegiatan ekonomi. Hal tersebut hanyalah pelengkap dari pariwisata. Pola utama kegiatan disana adalah bekerja sama dengan biro perjalanan untuk menempatkan turis lokal maupun luar negeri tidak hanya untuk berbelanja, tapi juga mengikuti kelas-kelas pembuatan batik. Disediakan pula beberapa penginapan untuk para turis. Selain itu, kekuatan sejarah benar jadi modal untuk warga Laweyan kembali aktif dalam perekonomian. Hal ini diakui oleh Adiansyah Kusumawardhana, cicit Haji Samanhudi yang baru memulai usaha batik dalam beberapa tahun terakhir. Ia tidak berharap banyak pada kualitas dan motif yang ada pada produk-produk batiknya. Harapannya justru terletak pada brand yang ia miliki secara sah. “Ya saya mau mengangkat lagi nama Samanhoedi, dan ini yang bisa menarik banyak orang, ya Samanhoedi-nya,” seloroh lelaki yang akrab disapa Dian ini kepada DIDAKTIKA saat ditemui di rumah peninggalan kakek buyutnya
.
Didaktika 51
Karya
Seniman Muda Berkelas Internasional Oleh Binar Murgati Pardini
S
Cargo Ship, Asun
ebuah kapal besar bermuatan barang dengan diikuti sebuah kapal kecil dibelakangnya, tercetak tegas pada kertas putih. Di sampingnya terdapat tiga buah muatan barang dalam bentuk peti kemas yang terbuat dari besi, diletakkan dalam satu banjar ke bawah. Adalah sebuah karya yang berjudul Cargo Ship hasil guratan seniman muda Adi Sundoro, mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2009. Tema Kapal Kargo tidak dipilih asal.
Dalam menetukan tema terlebih dahulu ia melakukan studi mengenai kargo melalui buku dan internet. Ketertarikannya pada kapal kargo bermula dari pandangan mengenai keutuhan manusia yang beranekaragam. Menurutnya, manusia tidak dapat hidup seorang sendiri, karena manusia butuh orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang tak bisa ia dapat. Pengiriman komoditi melalui kargo dianggapanya menandai jalan keluar atas masalah kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia seringkali terbentur pada jarak spasial dapat ditaklukkan
dengan tranportasi dan terjadinya proses pengiriman barang dari tempat satu ke tempat lainnya. Kapal kargo sebagai media terciptanya hubungan antarmanusia menurutnya dapat menjadi simbol bahwa manusia tak dapat hidup seorang diri. “Manusia membutuhkan satu sama lain, karena kita tidak bisa memenuhi kebutuhan kita sendiri, itu makanya ada transportasi kenapa ada perdagangan internasional ada ekspor impor,� terangnya. Berbekal informasi dari kawan-kawannya lewat media sosial, Adi Sundoro memutuskan untuk mengikuti sebuah ajang
Didaktika 52
Festival Seni kelas International Asian Student Young Artist Art Festival (ASYAAF) 2014. Ajang tersebut merupakan gelaran tahunan di Korea Selatan. Digagas oleh Chosun Daily dan bekerja sama dengan Kementrian Pariwisata serta Kementrian Olahraga di Korea. Pria yang akrab dipanggil Asun ini berkesempatan menampilkan hasil karyanya yang lolos kualifikasi pada pameran ASYAAF yang akan diselanggarakan pada 29 Juli 2014. Ia merupakan satu dari 15 seniman muda dan mahasiswa asal Indonesia yang berhasil lolos dalam seleksi
ASYAAF 2014. Meski berhasil meloloskan dua karyanya, pada Pameran kali ini ia hanya mengirimkan satu buah karyanya. Sebelumnya ia mengirimkan dua buah karya untuk diseleksi berjudul Cargo Ship dan Take Care yang sama-sama bertema kapal kargo. Namun, karya berjudul Take Care tak jadi dipamerkan karena terdapat sebuah kalimat, “Dear cargo ship please take care of my stuff.” Kalimat itu dianggap terlalu sensitif bagi msayarkat Korea yang baru saja dilanda musibah kapal tenggelam yang menewaskan banyak korban. Menggunakan teknik Etching dalam seni grafis, Cargo Ship lalu tercipta. Asun memang memiliki kegemaran tersendiri dalam menekuni seni grafis. Kecintaannya pada dunia seni rupa berawal dari hobi menggambar sejak kecil. ”Dari SD memang sukanya gambar. Buku tulis paling belakang pasti penuh sama gambar dan tulisan,” kenangnya. Hingga ketika lulus Sekolah Menengah Atas ia serius menekuni hobi menggambarnya dengan masuk Jurusan Seni Rupa. Kecintaan menggambar sketsa menggunakan pulpen melatihnya untuk menggambar dengan goresan yang permanen. Itulah mengapa Asun kini giat membuat karya cetak dengan medium plat tembaga yang membutuhkan tingkat ketelitian tinggi. Ia mengaku sebagai tipe orang yang senang bekerja secara individual. Makanya, proses pembuatan Cargo Ship pun ia kerjakan saat studio jurusan sudah sepi. Karakteristiknya dalam menggambar adalah pada detil-detil gambar yang ia goreskan dalam ukuran mikro. Namun ia tak pernah menentukan aliran seni apa yang jadi panutannya. “Gue nggak ada patron. Tapi kalau lihat gambar gue mungkin lebih ke realis, terserah penikmat aja,” tukasnya. Sayangnya, pada pameran ini Asun tidak dapat hadir di lokasi. Padahal, pihak penyelenggara acara berharap kreator yang telah masuk seleksi dapat secara langsung terlibat dalam proses penataan karya-karya tersebut. Biaya keberangkatan yang tak dijamin oleh penyelenggara telah mengurungkan niat Asun pergi ke Korea. Beruntung, ia dibantu oleh Galeri LVS asal Korea Selatan yang bersedia menjadi
Adi Sundoro
promotornya dalam acara tersebut. Karyanya akan diberangkatkan pada 4 Juli 2014 dengan biaya yang mesti ditanggung sendiri. Untungnya, Asun dapat tambahan dana dari fakultas untuk biaya pengemasan dan pengiriman karyanya itu. Menurutnya, kendala utama dan klasik yang dihadapi oleh seorang seniman muda tak pernah jauh dari soal pendanaan. Asun meyakini bahwa begitu banyak ide segar yang dapat terlahir dari anak muda. “Gue yakin seniman muda apalagi masih yang masih kuliah pasti banyak punya konsep, ide dan teknis. Tapi, mentok di dananya,” pungkasnya. Pengalaman memajang hasil kerjanya dalam sebuah pameran bergengsi seperti itu memang bukan pengalaman pertama baginya. Sebelumnya mahasiswa yang sempat menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Seni Rupa 2011 itu pernah masuk jadi salah satu seniman dalam pameran Manifesto #4 2014 di Galeri Nasional. Dalam pameran itu, tak kurang dari 350 seniman dari seluruh Indonesia menampilkan karya terbaiknya pada Pameran Besar Seni Rupa Indonesia itu. Menurut Asun, meski kini salah satu karyanya telah masuk dalam pameran internasional kepuasan terbesarnya masih terpatri pada pameran Manifesto#4. Sebab, di sana karyanya dapat disandingkan bersama berbagai karya masterpeace sekelas Affandi
.
Didaktika 53
Foto: Didaktika
Karya
Mari Membaca, Mari Menulis Buku Oleh Tsalis Sakinah
L
embaga Kajian Mahasiswa (LKM), unit kegiatan mahasisawa (UKM) yang dulu sering dijuluki rajanya Program Kegiatan Mahasiswa ini sekarang berganti haluan. Sebagai UKM yang fokus pada bidang pengkajian dan penulisan LKM ingin mencoba suatu hal yang baru yakni, menghasilkan buku. “Kami mau belajar hal yang baru, kalau PKM cuma gitu doang, lulus, dapat uang, jalanin deh, tidak ada seninya,” ujar Rizky Ketua LKM 2014, salah satu penulis buku Hikayat Kampung Jakarta. Berawal dari kegelisahan akan identitas mahasiswa yang jauh dari tri dharma perguruan tinggi, LKM ingin menjadikan kegiatan menulis buku sebagai wadah apresiasi dan motivasi kepada para mahasiswa agar terus menulis. “Sekarang budaya akademik sudah menurun, minat untuk baca, tulis sudah berkurang, makanya kami hadirkan buku ini untuk memotivasi yang lain untuk terus menulis,” lanjut Rizky. Namun, upaya tersebut tersebut tak cukup mendapat respon dari pihak kampus. Untuk menerbitkan buku, mereka harus menyisihkan uang dari sisa program kerja lain dan mengandalkan uang kas saja. Belum lagi kealpaan pihak rektorat saat peluncuran buku tersebut yang menambah kesan cuek. “Saat launching kami mengundang PR III untuk hadir, namun tak ada
yang datang,” ujar Rizky, kecewa. Tepatnya 17 Maret 2014, LKM meluncurkan enam buku secara bersamaan di Lobi Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru. Keenam buku tersebut terdiri dari Landmark Jakarta, Endemik Modernitas, Hikayat Kampung Jakarta, Manusia Kampus, Masyarakat Desa dan Menali Kehidupan, Meraut Kesabaran. Buku-buku tersebut dikemas dengan tulisan feature agar mudah dipahami, enak dibaca serta mempuanyai nilai sastra. Para pegiat LKM ini melakukan reportase secara langsung di lingkungan sekitar yang mereka kenal betul dan mengkaji hasilnya bersama untuk menjadikan tulisan lebih hidup dan penuh analisis. Menurut Romo Mudji yang hadir pada peluncuran keenam buku tersebut, dengan masuk langsung ke dalam jantung kehidupan masyarakat itu, tulisan-tulisan mahasiswa bisa memenuhi kalangan narasi inspiratif pendidikan, sekaligus merenungi kemiskinan kultural dan struktural yang ada. Sedangkan menurut Irsyad Ridho, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia buku-buku karya LKM ini menjadi narasi melankolis tentang modernitas kota dan desa. Seperti buku Hikayat Kampung Jakarta, yang merupakan karya anggota LKM angkatan 2011. Mereka melakukan reportase pada gang-gang yang ada di
kota Jakarta dan melihat gejala sosial apa saja yang ada dan menarik untuk dibahas. “Gang punya kultur unik tersendiri, kami melihat berbagai budaya kehidupa di sana,” ujar Rizky yang juga mahasiswa jurusan Sosiologi. Dalam buku tersebut digambarkan bagaimana wajah gang-gang yang membentuk kulturnya tersendiri, ada gang sebagai tempat berkumpulnya komunitas para penjual nasi goreng, ada juga gang yang dijadikan tempat berjudi tanpa mengenal waktu, dan masih banyak lagi. Pun dengan buku Masyarakat Desa, buku ini dibuat saat para pegiat LKM sedang melakukan perjalanan ke sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat. “Kalau masyarakat desa gabungan tulisan anggota LKM dari tahun 2008, bukunya mengangkat kisah tentang kehidupan desa Cikopak,”jelas Rizky. Selain ke enam buku tersebut pada 2010 ada satu buku yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Kaji, penerbit independen LKM UNJ yang yang juga terbitkan ulang oleh penerbit Arus Media pada tahun 2011 yakni, buku Restorasi Pendidikan. Dan saat ini LKM sedang melakukan proses editing untuk buku hasil reportase anggota LKM angkatan 2012. “Angkatan saya, tulisannya sudah ada, sekarang sedang tahap edit,” ujar Hamdan anggota LKM yang juga mahasiswa psikologi
.
Didaktika 54
Tamu Kita
Bukan Sekadar Tertawa Oleh Virdika Rizky Utama
A
bdurrahim Arsyad, pria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur yang lahir pada 6 April 1988 itu tidak pernah membayangkan karirnya akan bermuara di dunia hiburan. Menjadi seorang komika (sebutan untuk orang yang membawakan Stand UP Comedy –red). Keikutsertaannya dalam kontes Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) KompasTV season 4 membuatnya jadi sosok yang dikenal khalayak. Padahal cita-citanya dulu terbilang cukup sederhana, ia hanya ingin menjadi seorang guru seperti ibunya. Namun, kini ia justru mahsyur sebagai komika dan menyandang gelar Runner Up dari ajang tersebut. Perkenalannya dengan dunia Stand Up Comedy, diawali pertemuan dengan juara tiga SUCI KompasTV season 3, Arie Kriting. “Awalnya dari berkenalan dengan Arie Kriting sekitar Mei 2012. Kemudian bergabung dengan komunitas Stand Up Indo Malang,” kenangnya. Berkuliah di kota yang sama menjadi jalan pertemuan antarkeduanya. Arie Kriting berkuliah di Institut Teknologi Nasional, dan Abdur berkuliah di program pascasarjana Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Matematika. Dari pertemuan itulah ketertarikan Abdur untuk menjajal peran jadi komika pun muncul. Menurutnya, menjadi komika merupakan pilihan unik. “Ini jalan yang unik. Kita bisa protes, curhat, berpendapat sebebas-bebasnya di atas panggung kepada orang-orang datang dan ingin mendengar kita. Duduk manis, tertawa dan pulang kemudian berpikir tentang materi yang kami sampaikan dan itu sangat istimewa,” ucap Abdur kepada DIDAKTIKA. Bukan hal mudah untuk membuat orang tertawa sekaligus berpikir tentang apa yang disampaikan, baginya, itulah hambatan terbesar bagi seorang komika. “Harus membawa penonton merasakan dan seperti mengalami hal yang sama seperti saya adalah hambatan sekaligus tantangan bagi komika,” pungkasnya. Misalnya, ketika ia membawakan tema kesehatan dalam penampilannya di SUCI 4, show 16. Abdur suskes memancing tawa penonton ketika mendeskripsikan bagaimana seorang perempuan di Kupang harus bertarung menyeberangi laut untuk
Foto: Istimewa
Abdurrahim Arsyad,
melahirkan kemudian membandingkannya dengan kehidupan gemerlap perempuan di kota besar. Abdur memang dikenal sebagai komika yang sangat konsisten menyuarakan kesenjangan kondisi masyarakat di bagian Timur dengan bagian Barat Indonesia. Bukan saja karena dirinya berasal dari Indonesia Timur, melainkan karena menurutnya setiap orang butuh perhatian. “Kuncinya itu perhatian. Semua orang ingin diperhatikan. Itu saja,” ujar pria yang juga tergabung dalam komunitas Juventus Club Indonesia Chapter Malang itu. Pria ini memandang tertinggalnya kondisi masyarakat Indonesia Timur itu disebabkan dua faktor, yakni pendidikan yang rendah dan kurangnya kesadaran politik. Maka, dalam tiap materi stand up-nya, Abdur selalu menyisipkan materi pendidikan dan politik. Benar saja, ketika Abdur membawakan materi pendidikan di SUCI 4, Show 7 dirinya begitu menggebu-gebu. Dalam penampilannya dijelaskan bagaimana kebijakan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang harus kreatif demi mendapatkan tunjangan kesejahteraan dan diwajibkan untuk semua guru tanpa kenal usia. Baginya, guru- guru yang sudah tua dan mengajar di daerah terpencil dengan gaji kecil, layak mendapat tunjangan sebagai hak mereka. Pemerintah mestinya lebih memepermudah mereka untuk mendapatkan haknya.
Bagi pria yang hobi membaca dan bermain sepakbola ini, guru perlu diberikan penghargaan sebesar-besarnya . “Guru itu pahlawan dan sudah saatnya pahlawan itu perlu tanda jasa,” tegasnya. Melihat banyaknya kritik sistem pendidikan di Indonesia, Abdur mengatakan bahwa setiap orang harus optimis, “kritik itu perlu tapi tergantung dari sudut mana kita melihat. Jangan terlalu pesimis. Dengan sistem sekarang pun banyak anak yang sukses.” Abdur berpendapat bahwa pendidikan itu indah ketika yang mengajari dan yang diajari sama-sama bahagia. Selama pendidikan masih rendah sudah dapat dipastikan kesadaran politiknya pun rendah dan akan mudah diperdaya elite kekuasaan. Menurutnya, selama pendidikan tidak merata maka demokrasi Indonesia akan selalu rusak. Untuk itu Abdur juga semangat membawa tema politik di setiap penampilannya. Bagi seorang Abdur, politik itu sangat menarik meski pun sistem demokrasi Indonesia elektoral dan transaksional. “Intinya politik itu asik. Penuh intrik. Nikmati dan ikut saja sehingga kita ada tanggung jawab terhadap perubahan,” papar komika yang terkenal dengan ungkapan aduh mama sayange itu. Dengan membawakan materi politik melalui kemasan yang ringan dan gampang dimengerti penonton, Abdur berharap agar masyarakat tidak buta politik. “Untuk itu mari kita melek politik biar orang miskin tidak teraniaya lagi. Pilih dengan analisa. Mudah-mudahan kita dapat pemerintah yang baik ke depannya,”jelasnya. Sayangnya, ketika ditanya tentang seringnya Abdur menyindir “partai beringin” dalam setiap materi politik yang dibawakannya, Abdur tidak menjawabnya. “Untuk hal ini, cukup saya saja yang tahu,” ungkap Abdur yang pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Matematika. Melalui kacamata seorang komika ia tetap optimis melihat kesenjangang di Indonesia bagian Timur, politik dan pendidikan. Abdur berniat untuk tidak pernah berhenti berkarya. “Berkarya saja. Biarkan harapan tumbuh sejalan dengan diterimanya karya “
.
Didaktika 55
[Resensi Buku]
ORBA PUNYA CERITA Oleh Ahmad Zulfiyan
Foto: Istimewa
Judul
: Menyibak Tabir Orde Baru;
Memoar Politik Indonesia
1965-1998
Penulis
: Jusuf Wanandi
Tebal
: 412 hlm.
Penerbit
: Kompas Media Nusantara, 2014
K
urun waktu 1965 sampai 1998, Indonesia dipimpin oleh presiden yang paling lama menjabat. Soeharto yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) sebelumnya tak diperhitungkan akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Nyatanya, wong Jowo ini malah memberikan warna bagi perjalanan Indonesia. Melalui buku ini, Jusuf Wanandi mencoba membuka tabir sejarah Orde baru (Orba) yang masih abu-abu. Soeharto mewarisi kekacauan ekonomi semasa Soekarno. Kala itu, inflasi mencapai 600 persen. Dibantu Mafia Berkeley dan kapitalisme global, Soeharto berhasil melawati krisis ekonomi yang terjadi. Dibidang ekonomi, Soeharto menerima investasing asing masuk dengan dibuatnya UU Penanaman Modal Asing. Hingga Pada 15 Januari 1974 (Malari) penolakan investasi asing terjadi. Gerakan yang lebih dikenal dengan malari ini terjadi bertepatan kedatangan Tanaka dari Jepang. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh meluasnya kemarahan publik atas banyaknya usaha dagang Jasing di Indonesia, terutama Jepang. Pertarungan dua kubu di AD yang memperebutkan perhatian ( Jusuf Wanandi menduga untuk merebut posisi) Soeharto juga menimbulkan situasi yang semakin kacau.
Mahasiswa semakin beringas. Mobil buatan Jepang dirusak dan didorong ke sungai. Banyak penjarahan dan pengrusakan publik dilakukan di pasar, perkampungan dan area lain di Jakarta. Mereka menganggap pemerintah Indonesia terlalu bergantung kepada modal asing seperti International Monetary Funds (IMF) dan Inter-Govermental Group of Indonesia (IGGI). Dampak terbesar dari tragedi ini adalah ditutupnya investasi asing di Indonesia. Soeharto melakukan beberapa hal tepat pada awal kepemimpinannya. Pertama, fokus pada kepentingan publik. Menciptakan lapangan kerja di Jawa, memulihkan sistem irigasi dan pertanian. Krisis ekonomi 1966 begitu parah. Namun Soeharto berhasil melakukan rehabilitasi ekonomi dengan bantuan Sultan Yogyakarta. Ekspor mulai dibuka lebih lebar dari sebelumnya. Namun, investasi asing sedikit dibatasi untuk melanggengkan monopoli bisnis keluarga soeharto. Adanya Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK) yang mengetatkan kurikulum agar mahasiswa fokus pada studi dan menurunkan kegiatan politik oleh Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu juga memengaruhi ketidaksukaan mahasiswa kepada kepemimpinan Pak Harto. Tujuannya untuk membatasi kegiatan politik mahasiswa. Dengan dibungkamnya suara mahasiswa, maka teknokrat bisa leluasa melancarkan aksinya. Menjelang Pemilihan Umum pertama masa orba 1971, Soeharto bergabung ke dalam Golongan Karya (Golkar). Ali Moertopo dan Jusuf Wanandi membantu menciptakan citra baik Golkar melalui kampanye dengan kesenian dan doktrin bahwa Golkar anti komunis. Kampanye tersebut membawa kemenangan telak Golkar dengan memeroleh hampir 63 persen suara. Bagi Soeharto, Golkar tak lebih dari sekedar tunggangan politiknya untuk memenangi pemilu. Jusuf Wanandi, sebagai orang yang terlibat langsung pada masa pemerintahan Harto menjelaskan bahwa banyak kecurangan sampai pemilu 1997. Golkar membatasi kegiatan politik dibawah kabupaten dan melarang keras pembukaan cabang.
Jusuf Wanandi bersama Harry Tjan Silalahi, Ali Moertopo dan lainnya mendirikan Central for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga Independen yang memberi saran kepada Soeharto tentang politik, ekonomi dan studi tentang hubungan internasional. Jusuf, salah satunya melalui CSIS bisa dekat dengan Soeharto. Buku setebal lebih dari 400 halaman ini juga menggambarkan bagaimana Jusuf berada dalam lingkaran politik Soeharto. Pada 1997—1998, Indonesia benar-benar mengalami krisis parah. Demonstrasi dimana-mana menuntut dilengserkannya Soeharto dari jabatannya, yang sebelumnya dielu-elukan sebagai pahlawan. Saat itu, ia juga sedang bermasalah dengan beberapa staffnya, termasuk Habibie, yang dianggap menghianati. Apalagi, meninggalnya sang istri, Ibu Tien, menyisakan luka mendalam baginya. Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mundur dari jabatan kepresidenannya. Jusuf Wanandi membeberkan secara kronologis kejadian-kejadian pada masa Orba karena dia terlibat langsung dengan para birokrat pemerintahan Soeharto. Sebagai keturunan Tionghoa yang antikomunis, Jusuf juga berperan dalam naiknya Soeharto sebagai presiden melengserkan Soekarno yang prokomunis. Namun, masa kepemimpinan yang terlalu lama dan penciptaan sistem yang tak transparan juga disesalkan oleh Jusuf. Soeharto sebagai sosok Jawa memang tak lepas dari pemikiran Jawanya yang kental. Seperti kepercayaan bahwa pemimpin itu raja yang menerima wahyu untuk berkuasa penuh. Pemikiran kuno itu sayangnya masih dijalankan oleh Soeharto pada masa kepemimpinannya selama lebih dari 30 tahun. Meski Orba telah usai digantikan dengan Reformasi sampai saat ini, misteri tentang cerita Orba tetap membuat penasaran. Jusuf, melalui yang terdiri dari tujuh bab ini, mencoba menggambarkan kejadian demi kejadian mulai lengsernya Soekarno sampai diturunkannya. Sejarah tak selalu dapat menceritakan kembali kisah lalu dengan sempurna. Namun Jusuf, dalam buku ini mencoba menceritakan dengan baik peristiwa di masa Orba berdasar pengalamannya sebagai saksi sekaligus pelaku
.
Didaktika 56
[Resensi Buku]
Tantangan Jurnalisme Abad 21 Oleh Tsalis Sakinah
Foto: Istimewa
Judul Buku : Jurnalisme Era Digital:
Tantangan Industri Media Abad 21
Pengarang
: Ignatius Haryanto
Penerbit
: PT Kompas Media Nusantara
Cetakan
: Pertama, tahun 2014
Halaman
: xxvi + 254 hlm
M
ungkin sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menegah pertama. Ada satu alat komunikasi yang masih bisa dilihat di mana-mana, telepon umum atau warung telepon (wartel). Saat itu, orang-orang rela berbondong mengantre agar dapat berkomunikasi dengan orang yang dituju. Hal tersebut jauh berbeda dengan hari ini, hampir setiap orang telah memiliki telepon genggam pribadi, jadi tak perlu repot antre untuk sekadar berkomunikasi. Fenomena tersebut merupakan gambaran perkembangan teknologi komunikasi abad 21 yang berjalan dengan sangat cepat. Perkembangan ini tentunya membuat manusia sebagai penikmat teknologi terpukau. Ignatius Haryanto dalam bukunya Jurnalisme di Era Digital menjelaskan esensi mendasar kemajuan teknologi bukan semata-mata perkara teknis, tetapi ia harus menjawab kerinduan manusia
yang hendak berkomunikasi dengan manusia lainnya. Tidak dapat dipungkiri kehadiran teknologi komunikasi dibayang-bayangi oleh para pemodal besar yang memiliki kesempatan untuk melakukan eksploitasi atas teknologi tersebut. Pada dasarnya, pemodal memang mempunyai hak untuk mengeksploitasi komunikasi untuk kepentigan modal. Namun, ada batasanbatasan yang seharusanya tak boleh diterabas oleh mereka. Salah satunya seperti memanfaatkan teknologi komunikasi sebagai alat politik. Seperti yang terjadi di Indonesia kini, banyak para pemilik media yang terjun ke dunia politik menjelang Pemilu 2014. Mereka dengan bebas menggunakan medianya untuk berkampanye. Seharusnya para pemilik media sadar betul bahwa hal ini merupakan sebuah kesalahan besar yang merujuk pada proses dehumanisasi yang harus mereka pertanggungjawabkan. Perkembangan teknologi komunikasi ini pun menjadi lahan basah yang terus dimanfaatkan oleh pemodal untuk meraup keuntungan sebanyak-banyakya tanpa mempedulikan soal moral dan etika komunikasi atau elemen-elemen jurnalisme di dalamnya. Seperti media daring yang keberadaannya sedang marak dinikmati masyarakat. Tak perlu mengocek kantong dalamdalam, cukup dengan gadget dan paket internet, informasi sudah ada digenggaman. Selain mudah diakses media daring memang mempunyai kelebihan dengan menyampaikan informasinya secara cepat. Kalau dulu berita menyampaikan informasi yang telah terjadi, saat ini media daring dapat menyampaikan informasi peristiwa yang sedang terjadi. Bisa dilihat ketika membuka salah satu jejaring media sosial seperti Twitter, akunakun milik media daring hampir setiap menit, bahkan setiap detik meluncurkan berita barunya, seolah berlombalomba adu kecepatan dalam memberikan informasi terkini. Hal ini memang ada
baiknya yakni, memudahkan masyarakat mendapat informasi. Namun, ternyata di balik kecepatannya media daring sering kali mengabaikan keakuarasian informasi. Seperti kasus Ambon yang dibuat heboh, atau kasus pengepungan sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah yang dikira tempat berlindungnya Nurdin M. Top sekitar 2009. Padahal, Robert I. Berkmen & Christopher A. Shumway dalam bukunya: Ethical Issues for Online Media Profesionals (2003) yang dikutip Ignatius dalam Jurnalisme di Era Digital mengatakan bahwa speed not a friend for accuracy. Yang berarti media online juga harus menampilkan berita yang akurat. Pun Bill Kovach dalam Elements of Journalism, yang dari jauh-jauh hari telah mengingatkan mengenai disiplin verifikasi yang menjadi salah satu tugas penting bagi para pegiat jurnalistik dalam menyampaikan data informasi. Di sini wartawan harus berperan, turun ke lapangan, berbincang dengan narasumber, mencari data untuk melangkapi isi berita. Bukan hanya terus kejar setoran agar mendapatkan berita sebanyak-banyaknya dan diluncurkan dalam waktu yang cepat. Menyoal akurasi dan verifikasi dalam media daring memang sudah bayak diperbincangkan, kebanyakan berkomentar verifikasi akan diluncurkan bersaman dengan berita selanjutnya. Namun nyatanya, tak dapat dipastikan kemunculan berita baru yang katanya sudah terverifikasi itu, dapat mengalahkan penyebaran berita yang terdahulu atau tidak. Jadi sampai kapan pun, nilai-nilai jurnalistik tetap mesti dipenuhi, apapun medianya. Sebenarnya dalam buku yang ditulis oleh pengamat media lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini masih banyak menjelaskan berbagai tantangan jurnalisme abad 21 dan tantangan dunia media lainnya. Namun, meminjam istilah Ignatius dari intisari pada dokumen Inter Mirifca dan Communio et Progressio, semuanya tetap kembali pada esensi utama perkembangan teknologi komunikasi: untuk apa komunikasi diciptakan? Untuk memudahkan manusia berhubungan dengan manusia lain, untuk lebih “memanusiakan manusia�, atau malah mengahasilkan dehumanisasi?
Didaktika 57
Ruang Sastra
S
Robot Oleh Yogo Harsaid
esosok pria baru saja turun dari pesawat. Dia melambai-lambai terhadap keluarganya yang sudah lama menunggu di bandara. Pria itu bernama Uka. Uka baru saja pulang dari Prancis. Di kota Paris, dia menghabiskan separuh hidupnya untuk menyelesaikan sekolah hingga tamatan Sekolah menengah. Ayahnya menginginkan Uka untuk kuliah di Indonesia. “Kamu ingin kuliah di Universitas mana?” tanya Ayah. “Belum tahu, Yah. Uka mau cari-cari dulu.” “Baiklah kalau begitu.” Uka pun diterima di Universitas Ngeri Jatuh (UNJ). Pilihan itu jatuh atas kemauannya sendiri. Sebab, orang tuanya selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan jalan hidupnya. Asal bertanggung jawab atas apa yang dikerjakannya. Orang tuanya hanya mempertajam dan mengakomodasi bakatnya saja. Orangtua Uka ingin mengikuti jejak Cokroaminoto – salah satu tokoh pendiri bangsa. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang guru yang demokratis. Sebagai guru, dia hanya mengasah kemampuan muridnya saja. Bila muridnya ada yang menganut paham komunis, diasahlah pemahamanya. Bila ada salah satu muridnya yang fanatik dengan islam, diasah pula kefanatikannya. Bahkan Bung Karno yang sangat nasionalisme, setelah diajar oleh Cokroaminoto, rasa nasionalismenya semakin meningkat. Di ruang makan, keluarga Uka makan bersama. Suara dentingan piring dengan sendok memenuhi ruangan. Semua fokus untuk makan, tidak ada yang bicara. Sesekali suara batuk turut meramai suasana. Setiap makan malam bersama keluarga Uka memang jarang berbicara. Hanya sesekali saja mereka berdiskusi. **** Walau matahari belum menunjukan cahayanya, Uka sudah berangkat ke kampus. Dia tidak ingin telat di hari pertamanya kuliah. Di tengah jalan, Uka melihat seorang anak kecil yang sedang membawa robot-robotan. Terlihat asik sekali bocah itu memainkannya. Di pencetnya tombol yang berada di bagian belakang robot, seketika robot itu berjalan dengan sendirinya. Namun, robot itu tidak bebas bergerak, seluruh gerakannya dikendalikan oleh pengendali jarak jauh. Berjalan kesana-kemari. Uka terkagum-kagum dengan robot itu yang begitu lihai bergerak. Spontan Uka memberi nama robot itu ‘robot lihai’. Uka berpikiran mungkin robot ini didesain dengan penuh kecerdasan. Tidak jauh dari tempat bocah itu memainkan robot, ada juga bocah kecil yang bermain robot. Namun, robot ini berbeda dengan robot lihai. Robot itu terlihat lamban dalam bergerak. Terkadang baut-baut yang ada dalam robot copot. Seperti robot yang sudah bobrok. Melihat itu, Uka menaminya ‘robot bobrok’. Kebalikan dari robot lihai, Uka hanya bisa mengatakan setelah memperhatikan robot bobrok ini, “robot ini pasti dirancang oleh mereka yang tidak berpikir dinamis. Lihat saja ‘robot bobrok’ itu, gerakannya monoton, statis. Gerakannya hanya maju mundur. Berbeda dengan
Ilustrasi Asun
‘robot lihai’ yang bisa mengeluarkan air. Dari air itu, ‘robot lihai’ bisa membantu memadamkan api jika terjadi kebakaran.” Alhasil, selama perjalanan kedua robot itu terus terbayangbayang dalam pikiran. Tak terasa Uka pun sampai di kampus. Robot itu masih tetap terbayang-bayang di alam pikirannya. Berlangkah dia masuk ke ruang kelas. Uka terdiam. Dia kaget melihat teman-temannya yang berlagak seperti robot. Kulitnya bagaikan lapisan baja yang terlapisi bercak-bercak alumunium. Gerak-geriknya patah-patah. “Benar-benar seperti robot,” gumamnya dalam hati. “Ah, ini mungkin hanya khayalan belaka karena pikiranku yang diwarnai dengan robot anak kecil tadi.” Uka tidak terlalu memikirkan teman-teman barunya itu berlagak seperti robot. “Selamat pagi semuanya.” Uka menyapa akrab. “Pagiii.” Serempak menjawab. Uka tambah bingung, karena temannya itu benar-benar seperti robot. Setelah menjawab salam, temannya diam. Matanya kosong tapi dibumbui ketakutan. Hanya menatap papan tulis. Tangan dilipat di atas meja seperti yang diajarkan oleh guru-guru SD. Wajahnya tegang. Tidak ada suara. Hening. Suasana kuburan pun kalah keheningannya, sebab di kuburan masih ada suara deru angin sepoi-sepoi atau pun suara cekikan-cekikan entah dari mana asalnya. Uka bertanya-tanya dalam pikirannya. “Ada apa ini? Kenapa mereka bisa begini?” Uka bergegas duduk. Dia bertanya dengan penuh penasaran kepada teman sebelahnya. “Hey kenapa kamu dan teman-temanmu pada diam?” Belum sempat menjawab, dosen sudah tiba di kelas. Uka makin heran. Tatkala dosen datang, wajah teman-temannya itu tambah menegang. Badannya yang gendut, mukanya yang sudah agak keriput yang menandakan kalau umurnya sudah tua, membuat sang dosen jalan tertatih-tatih. Tanpa salam sang Dosen menyuruh mengeluarkan buku pelajaran. Lekaslah dikeluarkan buku pelajaran. “Ada yang tidak membawa buku?” tanya dosen dengan penuh tatapan yang tajam.
Didaktika 58
Seorang pria bernama Duli yang duduk di ujung pojok belakang mengacungkan tangan. “Sini kamu maju ke depan.” Perintah dosen dengan suara yang agak lantang. Duli dengan wajah panik bak orang melihat hantu itu lekas maju. Langkah berjalannya pun terlihat seperti robot. Patah-patah.Setapak demi setapak pria itu maju. “Kenapa kamu tidak bawa?” “Saya belum ada uang untuk beli.” “Alasan. Keluar kamu dari kelas ini.” Uka tidak tinggal diam atas kejadian itu. Dia pun dengan cepat berdiri sambil berucap, “maaf Ibu dosen Rajan yang terhormat. Bukan saya lancang. Saya ingin berpendapat alangkah baiknya jika Duli jangan disuruh keluar dari kelas. Biarkan ia belajar bersama kita. Niat dia kesini kan untuk belajar, bukan untuk sekadar membawa buku.” “Tapi buku itu penting untuk menunjang proses belajar.” “Buku pelajaran itu memang penting. Tapi bukan jaminan. Coba bandingkan orang-orang terdahulu yang sekolah. Mereka banyak yang tidak punya buku. Namun, tidak sedikit mereka yang sukses. Bahkan ada yang bisa menjadi pahlawan. Saya teringat dengan perkataan sastrawan besar W.S Rendra yang mengatakan, tidak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, bukan dari kehidupan.” “Sok tahu kamu. Tahu apa kamu. Saya tuh jauh berpengalaman dari kamu.” Di sisi lain, Duli tetap bertingkah laku layaknya seperti robot: diam, bergerak jika diperintah. Alhasil, Duli tetap disuruh keluar. Dosen Rajan tidak mengambil pusing omongan Uka. Uka kecewa atas kejadian itu. Uka menganggap dosen Rajan tidak bisa membuat suasana belajar yang menyenangkan bagi mahasiswanya. Uka juga heran dengan Duli yang tidak berani beragumen ketika diusirnya dari kelas. Proses belajar dilanjutkan. Di luar kelas Duli duduk termangu. Seperti biasa matanya menatap kosong bak robot yang kehabisan batere. Dosen Rajan secara terus-menerus berbicara. Mirip ustad saat berceramah. Semua muridnya dengan setia merelakan kupingnya dijajah oleh suara sang Dosen. Mengikhlaskan tangannya didis-
kriminasi: mencatat jika disuruh dosen untuk mencatat. Jika tidak disuruh mencatat, mereka pun tidak mencatatnya. Matanya dieksplotasi hanya untuk memperhatikan dosen berbicara. Segala indera yang menempel terjajah, tereksploitasi, terdiskriminasi. Semuanya tidak merdeka! Benar-benar mirip robot yang tidak punya kendali atas dirinya, semua dikendalikan mesin. Uka jenuh dengan suasana seperti itu. Di saat dosen dengan serius menjelaskan materi, Uka berdiri. Semua terkesima melihat Uka. Matanya memandang Uka dengan penuh sinis. Menganggap Uka sudah tidak wajar. “Kenapa kamua berdiri?” tanya Dosen. “Saya jenuh. Kelas seperti apa ini? Semua murid kau anggap bagaikan benda.” “Maksudmu apa?” “Anda telah membuat suasana kelas menjadi kaku, statis, tidak dinamis, layaknya sebuah benda.” “Yang kaku itu kalian. Kenapa ketika saya bertanya tidak ada yang menjawab?” sanggah sang Dosen yang tidak terima dipersalahkan seperti itu. “Karena ibu tidak bisa membuat kami berpikir bebas. Justru ibu membuat situasi murid menjadi tertekan, sehingga mereka takut untuk bertanya.” Tidak peduli dengan ucapan Uka, sang Dosen langsung mengakhiri proses belajar. Waktu juga sudah habis. Semua murid keluar. Hanya tinggal Uka seorang diri di kelas. Wajahnya menunjukan keheranan. Mengapa pendidikan di Indonesia berbeda dengan tempat sekolah menengahnya di Paris. Disana semua yang berkecimpung dalam proses belajar mengajar merasakan kesenangan, kenyamanan, tidak tertekan. Tapi kenapa di Indonesia ini para murid terlihat tidak bahagia. Raut wajahnya menunjukan kalau dirinya sedang mengangkat sebuah benda yang begitu berat. Bel tanda jam kuliah yang kedua berbunyi. Semua murid masuk kelas. Tiba-tiba Uka berdiri di depan kelas. Seperti biasanya temannya hanya menatap Uka dengan sinis. “Di Paris, aku bisa berpikir bebas. Guru-guruku selalu mendukung dalam segala hal. Tidak ada pemaksaan. Segala yang kuperbuatnya dihargai. Di Paris aku diposisikan sebagaimana hakikat manusia.” Uka melanjutkan omongannya, “ingatlah para filsuf pendidikan yang mengatakan manusia tidak hanya bereaksi merespon stimulus seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikaan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Itulah hakikat manusia yang sebenarnya. Selalu berpikir dinamis.” Setelah bicara panjang lebar. Teman-temanya hanya terdiam. Tidak berkomentar sedikit pun. Benar-benar mirip robot. Robot tidak akan bekerja jika tidak ada perintah. Uka hanya bisa mengatakan di dalam hatinya, “dasar, pendidikan ROBOT BOBROK!”
Didaktika 59
Ruang Sastra KONTEMPLASI
MENGADU PADA YANG ASING
Oleh Aditya Chandra
Oleh Daniel Fajar
Tuhan, aku ingin bertemu denganmu Aku ingin sedikit berdiskusi denganmu Diskusi akan hasil karyamu Yang mengakibatkan sengsara bagiku
Langit tak punya tiang Untuk menghubungkan dirinya dengan bumi Itu sebabnya Mata kami tak bisa merabanya utuh
Tuhan, aku ingin bertemu denganmu
Bagaimana rupanya
Kenapa kau menciptakan dunia ini
Kami tak tahu
Yang penuh dengan tumpahan darah Mengalir ke sudut-sudut ruangan kardus Tuhan, aku masih menunggu untuk bertemu
Makanya, ada yang berbohong tentangmu pun Kami percaya Kami hanya bisa duga
denganmu
Kau lebih indah dari bumi yang kami pijak
Kenapa kau menciptakan sesuatu yang tidak
Dimana mayat-mayat bergeletak
sempurna
Tanpa tempat pekuburan yang layak
Tidak mempunyai hati, otak dan mata
Langit
Tidak lebih baik dari binatang yang cacat Sekali lagi aku menunggu untuk bertemu
Janganlah kau terlalu angkuh Sediakan dirimu untuk aku bersandar
denganmu
Barang sekejap saja
Kenapa kau menciptakan para penghisap nadi
Untuk melepas air mataku pada kebesaranmu
Yang tidak dialirkan lagi kedalam tabung
Di ruang yang luasnya belum diduga
infus
Biar titik air mata ku jatuh ke seluruh
Tapi dialirkan ke safari-safari penjilatnya
muka dunia
Tuhan, apa kau mendengarku Jika memang kau ada, tentunya kau
Barangkali bisa membangunkan tubuh yang tak lagi bernyawa
mendengar
Untuk bangkit dari kematian
Binasakanlah orang-orang seperti mereka
Menuntaskan tugas yang terbengkalai
Dan aku berharap tidak ada lagi reinkarnasi
Karena lebih dulu menjadi bangkai
dari mereka
Sebelum meramaikan semesta
Karena aku muak dengan tingkah lakunya
Dengan kehidupan
Aku muak dengan kebodohannya Rawamangun, 16 Mei 2014
Jakarta, 22 Februari 2014
Didaktika 60
CERITA DALAM KEHAMPAAN
HABIS BADAI, MASIHLAH GELAP
Oleh Aditya Chandra
Oleh Daniel Fajar
Aku tahu kau tidak bisa melakukannya Maka dari itu aku ada disini Menunggu kau memohon untuk meminta bantuan dariku Berbentuk perkataan yang menihilkan persoalan Aku tahu kau tidak bisa melakukannya Disaat kau mulai mengajak ku berbicara Dan merakak diatas gelas yang pecah Sehingga lukai raga yang tak bernyawa Aku tahu kau tidak bisa melakukannnya Ketika kau berdiri menghadap tiang tanpa bendera Disinari mentari di senin pagi yang cerah Menatap tinggi ke puncak dunia Dan‌. Akhirnya kau bisa melakukannya Ketika kau hanya diam tanpa dosa Saat kau tertidur tanpa bermimpi Saat kau terbangun beralaskan sepi Rawamangun, 21 Februari 2014
Keyakinan telah padam Diterjang badai besar semalam Melumat habis semua cahaya Yang berjajar di setiap pagar rumah Ramai kemudian orang berkumpul Saling tatap satu dan yang lain Mencari sinar dari tiap mata Untuk bekal hidup keesokan hari Ternyata tak mudah Mengumpulkan asa Yang hilang untuk sementara Dilumat badai tak bermata Ayam pun tak keluarkan suara Biasa jadi pengingat, kini bingung luar biasa Tak bisa bedakan pagi dan malam Keduanya tampak sama kelam Ditunggu dari timur, surya tak mau muncul Sedang purnama bersembunyi entah dimana Emas yang menyilaukan hati dikumpulkan Tetap saja, tumpukannya tak bawa terang Jakarta, 29 Januari 2014
Didaktika 61
Kontemplasi
S
Politik Kesetaraan Oleh Indra Gunawan
uara demokrasi menggema ke seluruh Nusantara. Rakyat berbondong-bondong memilih pemimpin yang diyakini bakal mewakilinya. Mereka adalah sekian juta suara yang memilih, meski setelahnya habis perkara. Seolah semua selesai begitu suara dihitung dan pemenang diumumkan. Rakyat kembali pulang ke rutinitasnya. Sampai di rumah, rakyat kembali disuguhkan guyonan para politikus di layar kaca. Entah kisah korupsi, jalan-jalan ke luar negeri, atau pesta di balik jeruji. Sudah rahasia umum jika modal untuk menjadi kontestan pemilu saat ini begitu mahal harganya. Siapa pun itu, tidak bisa mengelak untuk mengerahkan kemampuan finansialnya agar jadi penguasa lewat pemilu. Tak ada lagi basis ideologi untuk memperjuangkan cita-cita bersama rakyat yang memilih. Sehingga, yang ada hanya pengumpulan kapital sebesarbesarnya lewat jalan haram korupsi. Politik dalam demokrasi elektoral kini telah diciutkan artinya. Sekadar kegiatan instrumental untuk memenuhi kepentingan pribadi. Demokrasi menutup mata atas relasi kekuasaan dalam masyarakat yang sarat konflik. Bagaimana mungkin, demokrasi menaruh percaya bahwa kelompok kepentingan yang bertarung secara perlahan akan berangkulan demi kepentingan rakyat? Sebab, politik adalah pertarungan keras untuk merebut kekuasaan. Pemenuhan atas hak-hak yang lain akan berakibat pengucilan atau pengurangan kelompok yang lain pula. Hari ini, entah partai yang mengaku berbasis nasionalis, sekuler bahkan agama pun perilakunya punya tujuan serupa: Uang Yang Maha Kuasa. Politikus dan partai politik tak malu-malu menghilangkan kedaulatan rakyat dan menempatkannya seperti secarik kertas suara. Rakyat diposisikan hanya sebagai supporter bukan konstituen yang diperjuangkan nasibnya. Hal ini yang sejak awal jadi permasalahan demokrasi elektoral. Padahal, di tiap jenjang lembaga pendidikan diajarkan, demokrasi ialah pemerintah yang berasal dari rakyat, yang diselenggarakan oleh rakyat dan bekerja untuk rakyat. Namun, praktiknya tidak semanis itu. Mungkin lebih tepanya, cerita riil demokrasi adalah berasal dari rakyat, yang dijalankan oleh bandit politik serta sama sekali bukan untuk rakyat. Artinya, rakyat terlepas dari wakilnya yang dipilih saat pemilu. Disinilah rakyat teralienasi. Demokrasi, secara sadar meniadakan kesetaraan partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Ia yang awalnya berkeinginan mengurangi peran dan kontrol negara terhadap rakyat, justru tak pernah memberi kesempatan yang sama kepada rakyat untuk aktif berpolitik. Demokrasi justru melahirkan kelas profesional politik, yang mewakilkan atau menggantikan rakyat dalam permainan politik. Lantas, bagaimana kedaulatan rakyat bisa diwujudkan? Jalannya adalah politik kesetaraan. Politik kesetaraan berlawanan dengan demokrasi elektoral. Politik kesetaraan atau egalitarian mengasumsikan bahwa “rakyat dapat berpikir”. Sedangkan, demokrasi elektoral mengandaikan rakyat “tak dapat berpikir”, sehingga mesti diwakili oleh pihak yang mengaku memiliki pengetahuan tentang rakyat daripada rakyat itu sendiri. Bercermin dari sejarah, bangsa Indonesia pun lahir atas dasar
politik kesetaraan. Bukan berlandaskan kesatuan etnik. Jelas tidak. Tidak ada yang bisa mengklaim “sayalah asal-usul dari Indonesia”. Bukan karena bahasa, bukan karena warna kulit. Apa yang menyatukan tidak lain adalah cita-cita politik. Sebuah kenyataan geografis kemudian diumumkan sebagai kenyataan politik dengan membentuk republik. Proklamasi itu adalah pengumuman bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi kenyataan politik dan kenyataan hukum sekaligus. Menilik wacana politik Indonesia, jauh sebelum Sumpah Pemuda sudah ada sikap egaliter, prinsip kesetaraan. Itu yang menjadi alasan mengapa masyarakat nonJawa rela bergabung. Seperti zaman dulu, apabila orang mau bergabung dengan keyakinan tertentu motivasinya adalah ia dapat bebas dari statusnya sebagai budak. Dan politik Indonesia adalah sebuah keyakinan akan cita-cita tersebut. Karenanya, Bapak Bangsa Indonesia Tan Malaka konsekuen jika sistem politik mesti berasas kepentingan dan golongan. Bukan partai. Sebab, hal ini memungkinkan pembukaan akses seluas-luasnya untuk partisipasi politik rakyat. Tan mengungkapkan, parlemen hanya ajang politik pihak borjuasi. Pasalnya ritual pemilihan hanya dilakukan sekali dalam empat, lima atau enam tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, wakil rakyat tersebut sudah bukan lagi bagian dari masyarakat. Hal ini terlihat jelas para wakil rakyat yang ada saat ini hanya menjadi kelompok yang jauh dan sama sekali tidak berkaca pada masyarakat. Dengan begitu, parlemen tak lebih hanya kepanjangan tangan para pemilik modal. Terhitung pada 2013 saja sudah ribuan wakil rakyat baik yang di daerah terjerat hukum karena korupsi. Tan Benar, parlemen karena tidak lagi hidup bersama rakyat akan tergoda berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan dan perbankan. Jika Tan ditarik ke zaman sekarang, mungkin ia akan mengelus dada. Ritual pemilihan pejabat organisasi pemerintahan tak boleh berselang waktu lama. Agar kepecayaan tak berubah jadi kekuasaan, agar amanah tak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi, dari terendah sampai tingkat tertinggi harus dilakukan dalam jarak dekat. Jika kerja wakil rakyat tersebut tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka. Barangkali banyak pembaca yang mengatakan sistem kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Yang demikian itu wajar tatkala selama ini kita hanya disuguhi konsep trias politika Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakan bahkan PBB tidak demokratis. Mungkin ada pula yang menganggap gagasan ini naif dan tak bisa diikuti. Persoalannya, sikap politik anda berpihak pada siapa? Politik bukan ritus pemberhalaan para pesohor besar yang telah memampangkan diri di hadapan ingatan pengetahuan manusia modern seperti yang terjadi saat ini. Politik, karenanya, bukan mengharapkan datangnya ratu adil yang bakal menyelamatkan kita melainkan kesetiaan untuk merealisasikan cita-cita agar masyarakat bisa merdeka, bersaudara dan setara
.
Didaktika 62
Didaktika 63
Didaktika 64 Ilustrasi Adi Sundoro (Asun)