3 minute read
Peran Serta Perusahaan dan Karyawan Tuk Jaga Kesehatan Mental Karyawan
Peran Serta Perusahaan dan Karyawan
Tuk Jaga Kesehatan Mental Karyawan
Advertisement
Oleh : Annisa Nur Aulia I Ilustrator : R. Satrya Bramantya I Desainer : Hasna Jilan
Dewasa ini, tingkat produktivitas kerja semakin menjadi perhatian khusus bagi perusahaan. Naik turunnya produktivitas tersebut tentu tak lepas dari peran sumber daya manusia (SDM) di dalamnya. Produktivitas dapat terbentuk jika karyawan merasa nyaman dan sejahtera di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini, persoalan tersebut tak jauh dari kesehatan mental karyawan. Menurut The World Health Organization (WHO), kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang lengkap secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial, tanpa disertai dengan adanya penyakit atau kelemahan yang dimiliki. Dilansir dari data survei IDN Times dalam postingan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) pada Seminar Psikologi DJKI yang melibatkan 400 partisipan pada Desember 2020 hingga Januari 2021, tercatat 63% pekerja kesulitan membuat batas antara pekerjaan kantor dan rumah yang membuat kesehatan mental karyawan menurun.
Pentingkah Perusahaan Menjaga Kesehatan Mental Karyawan? Fitrahnya, dalam diri manusia terdapat tiga aspek penting yang harus dikelola untuk menciptakan proses kerja yang maksimal. Aspek tersebut adalah kognitif (berpikir), afektif (perasaan), dan psikomotorik (tindakan). Dari berbagai macam kasus depresi dan kecemasan karyawan, sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan kerja yang berasal dari perusahaan maupun sesama karyawan lainnya. Tekanan kerja yang dialami karyawan akan berdampak pada produktivitas kerja. Hukum berbanding terbalik pun akan berlaku, jika tekanan kerja yang didapatkan karyawan semakin besar, maka penurunan produktivitas kerja akan terjadi. Dosen Psikologi Universitas Negeri Semarang (Unnes), Laila Listiana Ulya menyampaikan akibat dari abainya perusahaan dalam menjaga kesehatan mental karyawan. “Apabila kesehatan mental karyawan tidak diperhatikan dalam jangka panjang akan berpengaruh untuk profit perusahaan,” jelas Laila. Hal ini perlu menjadi fokus perusahaan untuk mengelola kesehatan mental karyawan agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Lalu, Apa yang Dirasakan Karyawan? Melihat pentingnya masalah tersebut, untuk mengukur sejauh mana perusahaan da-
lam menjaga kesehatan mental karyawan, maka perlu mengetahui halhal yang dirasakan karyawan. Menurut Anindia Novitasari salah satu karyawan PT Mas Sumbiri 2 Semarang, di awal ia bekerja sering kali mendapat tekanan mental berupa perkataan yang tidak pantas dari karyawan lainnya. Dalam hal ini, sikap senioritas dan junioritas yang kurang baik kerap diterapkan saat bekerja. Meskipun begitu, perusahaan telah memberikan penanganan untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental karyawan, seperti memberikan ruang komunikasi dengan Human Resources Development (HRD). Namun, kebanyakan karyawan tidak melakukan hal tersebut dan mengundurkan diri tanpa surat pengunduran ketika mendapati masalah dengan karyawan lain. Hal ini yang membuat turnover karyawan di perusahaan tidak terkendali.
Mikael Qamara selaku HRD PT Telkom Akses Cabang Jakarta, berpendapat bahwa mengadakan briefing dan meeting dapat melatih psikologis karyawan. “Secara psikologis karyawan akan dituntut untuk memecahkan masalah, itu salah satu cara untuk melatih psikologis mereka,” ungkapnya. Selain itu, memberikan hak cuti, pulang tepat waktu, dan waktu yang cukup untuk istirahat secara tidak langsung dapat melepas tekanan kerja karyawan.
Perusahaan atau Karyawan yang Harus Menjaga Kesehatan Mental Karyawan? Berkonotasi sama dengan simbiosis mutualisme, upaya menjaga kesehatan mental tak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja. Dalam hal ini peran perusahaan dan karyawan sangat berpengaruh dalam keberhasilan menjaga kesehatan mental karyawan. Perusahaan dan karyawan sejatinya mempunyai hubungan kerja, di mana keduanya mempunyai hak dan tanggungjawab untuk mencapai tujuan masing-masing. Ringkasnya, perusahaan akan diuntungkan dengan mendapatkan profit yang maksimal dan karyawan mendapat penghasilan yang memuaskan. Jika melihat dari sisi perusahaan, peran HRD cukup strategis sebagai jembatan apabila terdapat konflik internal karyawan maupun meningkatkan kesejahteraan karyawan. Perusahaan dapat mengembangkan program-program untuk menjaga kesehatan mental karyawan, diantaranya dengan membuat program atau sistem manajemen stres, mengajak karyawan untuk melakukan work life balance dengan memfasilitasi minat dan bakat karyawan, serta menerapkan Total Quality Management (TQM) yang diadaptasi dari Jepang. “TQM dapat dilakukan dengan membuat apel pagi selama lima menit agar karyawan termotivasi, serta meningkatkan engagement antara atasan dan bawahan sehingga alur komunikasi mereka lebih smooth,” terang Laila.
Tak hanya perusahaan, upaya dalam menjaga kesehatan mental juga dapat dilakukan oleh karyawan. Meskipun karyawan cenderung tidak dapat mengendalikan stimulus yang datang, tetapi mereka dapat melakukan manajemen stres dengan cara menarik napas selama beberapa saat untuk meredakan pikiran. Di samping itu, jika perusahaan tidak memberikan work life balance, karyawan bisa melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya. Misalnya dengan berwirausaha, sehingga mempunyai pekerjaan sampingan di rumah. Hal tersebut dapat memberikan kebahagiaan karyawan karena mempunyai penghasilan ganda yang bersumber dari perusahaan dan didukung oleh penghasilan sampingan. Selain itu, apabila mendapat sebuah permasalahan, karyawan dapat mencari teman cerita atau teman curhat. Meskipun hal tersebut hanya memberikan solusi untuk jangka pendek. Maka dari itu, karyawan tetap dianjurkan untuk berkomunikasi dengan atasan ataupun HRD jika mendapat kendala saat bekerja.