Menyandang Mimpi
1
Menyandang Mimpi
2
Menyandang Mimpi Karya Kru LPM Dinamika UIN Sumatera Utara Copyright 2018, LPM Dinamika UIN SU
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Right Reserved
Penyunting: Iin Prasetyo Desain Sampul: Ditanty Chicha Novri Penata Isi: Alfi Syahrin
Sekapur Sirih
A
da tiga pepatah Arab yang cukup terkenal yaitu, Man jadda wajada (Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapat), Man shobaro zofiro (Barang siapa yang bersabar maka ia akan berhasil), Man saro ‘aladdarbi wasola (Barang siapa yang berjalan di jalan-Nya maka ia akan sampai). Ketiga pepatah ini bisa kita reguk dari kisah yang telah tersaji di buku ini. Sebuah perjalanan panjang dari ketidakmungkinan menuju pencapaian yang tak pernah dibayangkan. Kita tidak pernah tahu rahasia masa depan, yang kita tahu hanya mengusahakan yang terbaik saat ini. Meski harus gagal dan menantang arus. Kesulitanlah yang akan membuat kualitas diri melejit. Dari satu cerita ke cerita lainnya, buku ini hendak menyampaikan bahwa jalan yang kita tempuh boleh jadi berbeda. Tapi kerja keras dan semangat yang akan menghantarkan pada tujuan yang bernama kesuksesan. Kami menyajikan buku ini untuk memancing para pembaca agar mau menggapai mimpi-mimpinya, menjadi manusia yang di atas rata-rata. Beberapa tulisan barangkali masih sederhana, tapi kami berharap lewat kesederhanaan kebaikan bisa terus terhantar. Akhir kata selamat membaca! Mari terus membagi inspirasi menebar manfaat pada sesama. Muhammad Ifroh hasyim (Pemimpin Umum LPM Dinamika UIN SU Periode 2018-2019 )
Daftar Isi Asal Tidak Takut dengan Hal Baru.................... 6 Berbenah dengan Ilmu..................................... 13 Bersama, Gendong Poppy Ke Taiwan................20 Buah dari Kesungguhan....................................26 Dream and Distance..........................................33 Ke Negeri Orang...............................................41 Kun Fayakun, Kata Allah.................................... 49 Mau Jadi Musa atau Fir’aun?..............................57 Membangkitkan Prestasi...................................64 Menjemput Ilmu............................................... 72 Mereguk Ilmu di Negeri para Nabi................... 81 Pejuang Tangguh..............................................93 Penulis Skenario Terbaik...................................100 Sebuah Risalah Intelegensi............................... 110 Senjata..............................................................118 Si Pejuang Kebaikan......................................... 124 Syauqi dalam Mengejar Cita.............................132 Tekad Sang Pemimpi........................................ 138
Menyandang Mimpi
Asal Tidak Takut dengan Hal Oleh: Afifah L. Sihotang
I
seng-iseng berhadiah, kata itu sering kudengar dari beberapa orang yang mencoba hal baru tanpa persiapan apapun namun, menghasilkan sesuatu yang umumnya didapatkan oleh orang yang penuh persiapan. Betapa beruntungnya pikirku. Aku berpikir Ah, mana mungkin itu begitu mudah terjadi, kalau mau mencoba sesuatu ya, harus melakukan persiapan. Aku, Meida Adlina yang saat ini insyaallah mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas yang ada di Turki. Awalnya, kuliah di luar negeri bukanlah tujuan awalku, tapi aku merasa sesuatu menuntunku ke sana. Sebuah keingintahuan yang membuatku sampai sejauh ini.
6
Menyandang Mimpi Pada hari itu saat aku sedang menjadi siswa SMA tingkat akhir tengah disibukkan dengan berbagai persiapan menuju perkuliahan, aku mulai tertarik dengan yang namanya iseng-iseng berhadiah itu. Aku mencoba mengikuti ujian SAT (Scholastic Assesment Test) yaitu ujian yang diperlukan jika seseorang ingin mendaftar kuliah S-1 ke universitas di luar negeri di sekolahku. Awalnya, aku tidak ada niat sama sekali untuk kuliah ke luar negeri, aku mengikuti ujian itu hanya untuk mengukur sejauh mana kemampuan bahasa Inggris yang sudah kumiliki. Karena awalnya aku hanya mencoba-coba dan sampai tidak sadar bahwa aku mengisi formulir untuk sekolah ke luar negeri, bukan sekadar ujian SAT. Mana mungkin lulus pikirku saat itu karena memang sama sekali tidak terpikir untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Saat aku menceritakan itu kepada kedua orang tuaku yang awalnya tidak terpikir untuk menyekolahkanku ke luar negeri, menjadi begitu terpengaruh untuk membuatku bersekolah di sana. Dan saat itu tujuanku adalah Turki yang terkenal dengan desain kota khasnya yang megah nan mewah dan tempat yang banyak mengukir sejarah bagi peradaban-peradaban yang ada di dunia. Sembari menunggu hasil ujianku, segala keperluan untuk berangkat ke luar negeri sudah kupersiapkan bersama orang tuaku, seperti tiket, visa, dan lainnya. Tak cukup lama aku menunggu, akhirnya keluarlah pengumuman kelulusan ujian itu. Saat itu, aku senang karena lulus di salah satu universitas swasta dengan
7
Menyandang Mimpi jurusan yang aku minati yaitu Psikologi namun, kedua orang tuaku belum terlalu setuju dengan pilihanku ini. Mendengar kelulusanku saat itu, segala kegiatan dan aktivitas persiapan menuju segala tes masuk ke universitas yang ada di Indonesia, serta-merta kutinggalkan dan fokus pada tujuanku sekarang, Turki. Pada saat itu, aku tidak hanya mencoba di satu universitas namun, aku memilih di beberapa universitas, sambil menunggu hasil pengumuman universitas lainnya, aku dan bundaku memutuskan berangkat ke Turki tepatnya Istanbul. Sampai di sana, aku bertemu dengan teman yang juga sedang menunggu pengumuman universitas yang sama denganku. Menunggu itu sedikit membosankan ya, benar, itu kurasakan, mungkin yang juga dirasakan oleh teman-teman yang sama denganku, tidak mau membuang waktu percuma, dengan hanya diam saja dan menunggu—aku dan rombongan orang tua serta teman baruku, memutuskan untuk menjelajahi beberapa keindahan yang ada di Turki, khususnya Istanbul. Ya, hitung-hitung liburanku. Sampai akhirnya pengumuman, dan aku ternyata juga diumumkan lulus di Uludag Universitesi, salah satu universitas yang ada di Bursa, Turki dengan jurusan Manajemen, sempat kesal waktu itu, karena bukan itulah yang aku pilih dulu saat ujian. Tapi, dengan bujukan ayahku, aku tetap berangkat ke Bursa untuk mendaftar ulang. Bertempat tinggal di negeri orang, tentu begitu banyak persiapan yang kulakukan, yang terpenting adalah komunikasi, aku yang masih tidak tahu apa-
8
Menyandang Mimpi apa tentang bahasa Turki tentu harus mempelajarinya, karena tidak mungkin aku berbahasa Indonesia. Dan di Turki sendiri, sangat jarang orang yang bisa berbicara dalam bahasa Inggris membuatku sedikit kesulitan. Begitu di Bursa, aku langsung mendaftar ulang dan juga mengikuti pendidikan bahasa Turki atau disebut Tomer. Karena awalnya aku sempat kesal tidak di jurusan yang kuinginkan, aku sampai tidak tahu bahwa hari ketika aku mendaftar ulang di universitas adalah hari terakhir. Untung saja, aku tidak terlambat. Masa Tomer pun dimulai, berbarengan dengan menyelesaikan Tomer, aku mengurus surat izin tinggalku di Turki yang disebut Ikamet dibantu dengan salah satu temanku di Turki yang untungnya bisa berbahasa Inggris, jadi saya tidak perlu kesulitan untuk berkomunikasi. Di setiap pendidikan, pasti ada tes di akhir untuk mengukur sudah sejauh mana pemahaman kita, begitupun dengan Tomer ini. Di akhir, ada tes yang harus kami jalani, tentunya tes berbahasa Turki. Hari itu, aku hampir terancam harus mengulang pendidikanku, karena ya, tentunya nilaiku yang bisa dibilang tidak bagus, karena nilaiku hampir tidak melewati ambang batas kelulusan. Selama di sini, aku tinggal dengan orang Turki yang bisa berbahasa Inggris, dan kebanyakan teman sekelasku selama mengikuti Tomer adalah orang Indonesia, membuatku kurang mempraktikkan bahasa Turki tentunya. Tapi, lagi-lagi aku beruntung dapat lulus pendidikan ini, yang artinya aku bisa mengikuti perkuliahan di Turki.
9
Menyandang Mimpi Di akhir tes, banyak teman-temanku yang berubah pikiran untuk pindah universitas ataupun jurusan. Begitupun aku, aku merasa tidak yakin akan berkuliah di Uludag Universitesi dan akhirnya aku memilih kembali mencoba untuk mendaftarkan diri di tempat lain. Alhamdulillah aku lulus di dua univeristas Hacettepe Universitesi dan Sakarya Universitesi. Aku memutuskan untuk mengambil di Sakarya Universitesi karena saat itu pendaftarannya tidak memakan biaya dan syaratnya cukup mudah untuk dipenuhi. Kali ini, aku mengikuti saran kedua orang tuaku untuk memilih jurusan Teknik Industri dengan harapan inilah yang terbaik karena inilah pilihan orang tuaku. Rida kedua orang tua, ridanya Allah, bukan? Mulai dari situ, aku benar-benar belajar mandiri, dengan mengurus segala keperluanku sendiri selama menjalani pendidikan di Sakarya Universitesi di Kota Sakarya, Turki. Sedikit bercerita, Sakarya Universitesi adalah salah satu univeristas terbesar di Turki, dan juga merupakan universitas negeri pertama yang ada di Turki. Ini juga alasanku untuk memilih Sakarya, karena tentunya pendidikan di negeri pasti lebih murah daripada di universitas swasta. Saat sudah masuk, tentu tidak mudah untuk mengikuti segala prosedur di dalamnya, sedangkan yang di Indonesia saja, kita pasti cenderung kesulitan untuk beradaptasi dan mengikuti segala prosedur-prosedur pendidikan yang ada di sana. Begitupun aku, apalagi aku yang sekarang bersekolah di luar negeri tentu mengalami banyak kendala, kendala utama sudah
10
Menyandang Mimpi pasti komunikasi karena itulah hal yang paling penting. Aku yang belum bisa terlalu fasih berkomunikasi dengan bahasa Turki, kesulitan untuk beradaptasi dan mengikuti pendidikan selama di sana. Namun, tidak dengan serta merta aku langsung sudahlah balik ke Indonesia saja, aku terus berusaha untuk beradaptasi dengan mulai berkeliling kota yang akan menjadi tempat tinggalku beberapa tahun ke depan dan aku tidak pernah takut untuk mencoba hal baru. menambah pengalaman, pikirku. Nah, untuk sistem pendidikan, selama di sini lebih terstruktur dan lebih memudahkan mahasiswa dibandingkan dengan di Indonesia. Namun, selama pendidikan di sini selalu menggunakan bahasa Turki untuk komunikasi sehari-hari. Pernah suatu waktu, aku down karena tidak mengerti apapun tentang pelajaran di universitas ini, karena masalah komunikasi. Setiap orang pasti pernah mengalami hal sepertiku. Di sinilah orang tua sangat berperan, aku menceritakan segala kendalaku selama di sini. Dengan dorongan orang tua yang begitu mendukungku, aku jadi kembali bersemangat untuk melanjutkan pendidikanku. Selama menempuh pendidikan di Turki, aku tidak menggunakan beasiswa mana pun. Namun, alhamdulillah karena keaktifanku dalam mengikuti suatu organisasi, aku mendapatkan tambahan uang saku. Lumayan, untuk sekadar membantu orang tuaku agar tidak perlu lagi memikirkan uang sakuku selama di sini.
11
Menyandang Mimpi Tinggal cukup lama di negeri orang, memang tidak mudah apalagi menempuh pendidikan yang dibilang akan menentukan masa depan. Di negeri sendiri saja bisa gagal, apalagi di negeri orang. Tapi, selama terus mencoba dan berusaha meski hal baru, meski sulit semua orang pasti bisa. Intinya, jangan takut untuk mencoba, tapi takutlah bila nanti kita menyesal karena tidak pernah mencoba.
12
Menyandang Mimpi
Berbenah dengan Ilmu Oleh: Dzulanda Shari Batubara
J
uli, kamar berukuran 3x3m malam itu mencapai suhu hingga 30 derajat celcius. Dengan angka sebesar itu, cukup untuk membuat lengan baju tergulung sampai ke bahu. Kontras dengan keadaan di negara yang terkenal dengan Opera House-nya: Sydney, Australia. Di Sydney, angka 8 bahkan lebih rendah dari itu pertanda di sana sedang mengalami musim dingin. Dengan perbedaan waktu tiga jam dengan Indonesia saat musim dingin-semi dan empat jam jika musim panas-gugur, tentulah membuat ingantanku alfa perihal keadaanku sekarang di sini, dengan seseorang yang menjadi lawan bicaraku lewat benda tipis berbentuk persegi tersebut. “Harus abang ya, Lan yang nelepon duluan baru jaringannya bisa,� cetusnya, nada bicaranya terden-
13
Menyandang Mimpi gar mengejek. Maklum karena saat itu (14/07/2018) aku melakukan panggilan melalui WhatsApp dengan koneksi wifi standar. Biaya panggilan ke luar negeri menurutku cukup mahal, sampai-sampai dua fitur ponsel tadi kumanfaatkan meski akhirnya ia yang menghubungi balik. “Maaf, bang signalnya jelek,” jawabku. “Makanya jangan pakai wifi standar dong,” ejeknya lagi. Lelaki dengan nada suara yang mengejek tadi memiliki nama lengkap Idris Sadri, akrab disapa Idris. Lelaki beranak satu ini memang terkenal suka bercanda namun juga tetap berpikir logis, mandiri, dan pekerja keras. Hal ini terbukti sejak dia duduk dibangku sekolah hingga mahasiswa. Berasal dari keluarga sederhana membuatnya menjadi pribadi mandiri. Dia melakukan semua pekerjaan yang halal demi memenuhi biaya kuliahnya. Tak hanya itu dia juga gemar membaca buku di luar buku mata kuliah. Alhasil, ia berkesempatan menempuh pendidikan di luar negeri dengan beasiswa. Kesempatan itu ia gunakan untuk menjalani program S-2 Jurusan Master of Education (M.Ed) di The University Of Sydney, Australia. “Bang gimana kuliah di sana?” tanyaku penasaran. “Bedalah sama di Medan. Di sini mahasiswa dilatih dan dipaksa untuk banyak menulis dan membaca jurnal dalam waktu singkat. Bahkan ada yang sampai nginap di perpustakaan kampusnya. Dan di sini semua tugasnya di serahkan dalam bentuk e-paper jadi enggak bisa copas (plagiat) karena bakal langsung ketahuan sama dosen-dosennya,” terangnya.
14
Menyandang Mimpi Dituntut oleh budaya dan sistem pendidikan yang berbeda di Indonesia, apabila kita seseorang yang terbiasa untuk menunda-nunda pastilah harus bersusah payah melakukan kewajiban tersebut. Banyaknya tugas yang diberikan hingga 20 lembar per minggunya membuat mental dan fisik kita akan baik. Hal itu juga bisa membuat kita menciptakan sebuah habbits yang baik juga untuk diri kita. Gelar kampus tertua dan elit dinobatkan untuk The University Of Sydney sebab kampus yang bangunannya bergaya klasik ini didirikan pada tahun 1850, di Sydney. Kota ini, kota yang dalam catatan google masuk ke dalam Top 10 Kota paling Nyaman Dihuni, memiliki penduduk yang ramah hasil dari percampuran multi-budayanya, di sinilah ia belajar. Selain kampus tertua, kampus ini memiliki perpustakaan yang buka 24 jam sehari dan memiliki jam kerja setiap harinya. Sehingga perpustakaan menjadi tempat favorit mahasiswa. Di kampus yang elit ini, kita bisa menikmati fasilitas berupa tempat istirahat dan makan. “Di sini, perpustakaannya ada tempat tidurnya. Bentuknya kayak kapsul gitu, terus di dalamnya bisa nonton film favorit kita sepuasnya tanpa ada yang ganggu karena wifi ada di mana-mana. Terus kita juga bisa mengakses e-book di mana pun kita berada,� paparnya antusias. Niatkan dengan benar. Begitulah pesan lelaki berkacamata dengan kulit kuning langsat ini. “Bang, kenapa sih abang milih kuliah di sana?� tanyaku polos.
15
Menyandang Mimpi “Lan, kalau mau kuliah di luar negeri itu hanya untuk biar dikatakan keren, gaul dan cuma hunting foto saja itu tidak bermanfaat. Mindset seperti itu harus dibuang jauh-jauh. Karena tujuan kita kuliah adalah untuk memperbaiki diri sendiri supaya nanti bisa bermanfaat untuk lingkungan dan banyak orang. Kalau pun nantinya kita bisa traveling itu cuma bonus aja,� tegasnya. Ya, ketika diri kita sendiri sudah lebih baik, apa yang kita ingin lakukan untuk lingkungan kita tentu akan lebih mudah aksesnya. Pemikiran seperti itulah yang tertanam dalam diri dan benaknya. Jelas diriku serasa ditampar oleh statement yang ia suapkan. Tetapi faktanya, tidak bisa dimungkiri pasti banyak dari mahasiswa yang ingin melanjutkan program studinya ke luar negeri dengan niat agar bisa jalan-jalan ataupun sejenisnya. Begitupun denganku yang merupakan salah satu dari mereka sebab, sempat memiliki pemikiran seperti itu. Namun, dia berbeda, memilih kampus ini karena sesuai dengan jurusan dan keinginannya, satu lagi faktor yang membuatku terkejut bukan main, ia terinspirasi oleh salah satu penulis jurnal yang merupakan salah satu dosen di University of Sydney. Ia percaya dengan menuntut ilmu di kampus ini mampu membuat menjadi pribadi yang lebih baik dan berkembang lagi. Tak hanya itu, ia pun berpesan bahwa kita hendaklah selalu memperbaiki diri dengan ilmu. “Lan, jangan pernah galau mikiri jodoh. Kalau Ulan terus memperbaiki diri dengan ilmu, insyaallah nanti laki-laki yang akan datang, bukan lagi Ulan yang mencarinya.
16
Menyandang Mimpi Jodoh itu cerminan diri ingat aja itu. Coba contoh muslimah-muslimah terdahulu yang punya ilmu banyak,” tegasnya. Seketika kutersipu karena memang akhir-akhir ini para muslimah yang tengah hijrah sepertiku selalu lebay memikirkan siapa dan seperti apa calon imamnya dan seperti terobsesi dengan menikah muda. “Siap bang siap,” jawabku dengan sedikit tertawa. Ia begitu fasih memahami tren-tren yang sedang beredar di media sosial. Soal ibadah, Bang Idris mengaku tak pernah merasa kesulitan untuk beribadah. Masyarakat di sana merupakan penganut sistem negara bebas, tidak mempermasalahkan agama maupun ibadahnya selama tidak menganggu orang lain. “Kemarin waktu Bulan Puasa, abang kan masuk jam setengah lima sore, di sana jam segitu udah buka puasa jadi abang izin untuk buka puasa sama dosennya dan disetujui aja. Nggak ada intimidasi,” sambungnya. Keinginannya setelah tamat yaitu menjadi guru untuk anak SD. Menurutnya, mengajar anak-anak itu melatih kesabaran namun, ia juga tidak memungkiri juga berencana akan menjadi dosen lepas kelak. “Kapan abang selesai dari program studi bang?” tanyaku antusias. “Insyaallah akhir tahunnya ini sih udah siap, Lan. Tapi abang pulangnya di tahun depan” jelasnya. Hal ini karena ia terikat beasiswa yang memiliki jangka waktu hanya setahun. Bicara soal beasiswa, sekarang Bang Idris tengah menerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan
17
Menyandang Mimpi Indonesia. Bukan cuma susah mendapatkannya, LPDP cukup bergengsi di antara jajaran beasiswa yang ada di Indonesia. Bayangkan betapa beruntungnya ia bisa mencicipi uang negara untuk kuliahnya di luar negeri dan atas kerja kerasnya sendiri. Tidak cukup hanya uang kuliah, uang jajan dan fasilitas pun dibiayai oleh LPDP. Ia mengaku tidak ada persiapan khusus yang dilakukan, hanya mengikuti semua alur pendaftaran yang telah tertera di website mereka bahkan terbilang hampir di akhir-akhir pendaftaran ia mendaftar. “Bang, beasiswanya kita yang bayar uang kuliahnya atau gimana?� tanyaku karena memang ingin berniat ikut nantinya. “Semua udah dari mereka Lan, kita tinggal bawa badan aja dan barang-barang yang kita butuhkan,� jelasnya. Namun, ia juga tak lupa mengingatkan bahwa yang memilih kampus dan mencari lokasi untuk tempat tinggal adalah diri kita. Pihak beasiswa hanya bertanggung jawab mengenai uang kuliah dan uang saku untuk mahasiswa yang menerima beasiswa. Dan juga sebelum ke sana para penerima beasiswa itu juga diberikan semacam pelatihan dari pihak LPDP. Dan diberikan uang untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan di tempat kita melaksanakan program studi. Ia juga menjelaskan bahwa semua pelajar luar negeri yang menerima beasiswa dari program ini pastilah mengenal satu dengan yang lainnya. Karena, kekeluargaannya begitu erat dan komunikasi yang terjalin dengan baik. Aku pun makin antusias mendengarkan penjelasannya dan pengalaman hebatnya ser-
18
Menyandang Mimpi ta kepribadiannya. Tanpa terasa waktu pun berjalan dengan cepat. Kini di kediamanku sudah memasuki pukul sebelas malam yang artinya di Sydney sudah pagi. Merasa tak enak hati aku pun permisi untuk mengakhiri pembicaran kami karena sudah lewat dari jam istirahat orang pada umumnya. Di sela penutupan ia berpesan padaku untuk tidak menghawatirkan tentang hari esok. “Kalau Ulan tidak mau jadi dari bagian rencana orang lain maka Ulan harus buat target dan rencana mulai sekarang. Biar selepas kuliah nanti tidak lagi bingung dan galau harus apa,� ujarnya dengan nada lembut. Pembicaraan kami terhenti. Dan aku merebahkan badan di kasur empukku sembari berkata di dalam hati, “Aku harus membuat target dan rencana hidupku, aku ingin membenah diriku dengan ilmu.� Kemudian aku memejamkan mataku dengan penuh rasa syukur telah berbincang dengannya.
19
Menyandang Mimpi
Bersama, Gendong Poppy Ke Taiwan Oleh: Isma Hidayati
Mimpi yang baik, adalah mimpi yang terwujud dengan melibatkan Allah di setiap prosesnya.
B
ermimpi tak akan pernah menjadi hal kuno bagi manusia yang menginginkan sesuatu terjadi pada dirinya. Karena lumrah bagi manusia yang sejak kecil hingga dewasa memiliki cita-cita dan harapan di masa yang akan datang melalui mimpi. Baik itu bermimpi menjadi seorang dokter, guru, mendapat beasiswa, atau pun kuliah di luar negeri. Hanya saja, baiknya mimpi yaitu mimpi yang terkabul di suatu ketika tentu dengan cara berusaha. Walau dalam proses mewujudkan mimpi ada saja kendala, salah satunya restu orang tua yang lama didapat. Hal serupa itulah yang dialami Poppy Wulandari, gadis yang lahir di Batang Kuis pada 14 Agustus 1996
20
Menyandang Mimpi ini awalnya tak menyangka tekadnya yang kuat dan mimpinya yang besar membawa ia sekarang melanjutkan Pendidikan S-2 di Jurusan Master of International Business, di National Dong Hwa University (NDHU) Taiwan dengan mendapat beasiswa. Melanjutkan studi di Taiwan memang telah diharapkannya sejak duduk di bangku kuliah saat semester tiga di Universitas Negeri Medan (Unimed). Bukan tanpa alasan, Poppy memilih Taiwan menjadi negara tujuannya dalam Pendidikan S-2 karena peluang beasiswa di Taiwan terbuka lebar, apalagi dalam keadaan pemerintah Taiwan sangat welcome dengan mahasiswa asing. Bukan hanya itu, syarat dan tahapan seleksi cukup sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar. Alasan sederhana itu membuat Poppy yakin untuk kuliah di Taiwan. Juga, ditambah dirinya berkeyakinan harus menguasai bahasa lain, bahasa Inggris. Tinggi harapannya sejak dulu ternyata tak berjalan mulus karena dukungan bahkan restu dari orang tuanya sulit ia dapatkan. Ayah Poppy yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan membuat ibunya harus menjadi tulang punggung keluarga dari hasil kerja kerasnya sebagai penjahit bordir. Ekonomi yang terbilang minim tak membuat Poppy harus jatuh dan menyerah terhadap mimpinya untuk kuliah di luar negeri. Ditambah lagi ia bukan anak satu-satunya yang harus dipenuhi kebutuhan pendidikannya, tetapi ada juga adik lelakinya yang saat ini duduk di bangku SMA.
21
Menyandang Mimpi Nggak dapat izin, juga karena ekonomi, dik. Takut suatu waktu ada masalah keuangan mereka nggak bisa bantu dari Medan. Tapi itulah Allah baik, sejak kakak kuliah di sana kakak bilang sama mamak, mak, jangan pernah transfer, biar Poppy aja yang transfer. Tentu, kalimat yang ditutur Poppy dari ingatannya di masa lampau tentang semua perjuangannya. Ternyata, bukan hanya orang tuanya yang tak pernah mengizinkan Poppy untuk lanjut kuliah di luar negeri, tetapi juga teman-teman terdekatnya. Banyak paparan dari temannya, satu di antaranya ialah Jangan Taiwan, coba universitas lain yang lebih terkenal dan lebih bagus. Tetap, Poppy bertahan pada pilihannya sejak awal, memilih Taiwan. Poppy yang ambisius ini, ternyata pernah merasa harapannya untuk kuliah di luar negeri gagal, itu saat Pendidikan S-1 di Unimed. Poppy aktif bukan hanya di akademiknya, tapi juga di organisasi pramuka. Akan tetapi aktif di pramuka membuatnya jarang masuk kelas dan lebih memilih mengikuti kegiatan organisasinya daripada mengikuti kelas. Ternyata amanat orang lain selama ini tentang aktivis kampus tak jarang benar terjadi, ‘Ikut organisasi awas ganggu kuliah’ mungkin itu benar terjadi, apalagi setelah terjadi pada diri dan kehidupan Poppy di masa itu. Semester kala itu suram baginya, sontak kaget karena ia mendapat IP yang terbilang sangat kurang, yaitu 2,55 dalam skala 4,00. Membuatnya harus mengulang satu mata kuliah. Kejadian itu menjadi mo-
22
Menyandang Mimpi tivasi baginya untuk kembali bangkit, dan mengulang, harus bisa belajar arti prioritas. Baginya, suasana dramatik kala itu dalam mengulang dan memperbaiki nilai menjadi hal yang sangat disyukuri, karena ia dapat memanajemen waktu dan kegiatan lebih baik lagi. Hal tak disangka pun terjadi, akhirnya Poppy di pengujung semester ketika Pendidikan S-1 meraih cum laude. Meraih cum laude malah lebih kaget ketimbang mendapat IP 2. Syukur, itu yang selalu dilakukan. Sehingga, gadis yang merupakan pemenang ke IV Duta Bahasa Sumut, dan pada 2018 silam menjadi delegasi Indonesia di program Freindship from Indonesia-Philippines lebih bersemangat untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Gigihnya Poppy dalam mengejar mimpi memang tak sia-sia. Dengan prestasi yang dikumpulkannya sejak dulu itulah yang membuat tekadnya makin besar untuk dapat meraih beasiswa di negara yang sejak dulu ia impikan. Pada 2017 silam ketika Poppy telah diwisuda di Unimed ia mendapat informasi bahwa ada beasiswa bagi mahasiswa yang ingin kuliah di Taiwan, Poppy pun dengan gigihnya menyelesaikan segala berkas sesuai persyaratan. Banyak yang ia lakukan untuk mencoba beasiswa Taiwan itu, di antaranya mengumpulkan dokumen TOEFL-nya, meminta surat rekomendasi beasiswa, dan tentu, sesuai jurusan saat S-1 yaitu Pendidikan Ekonomi, membuat financial statement ke bank. Pelan, dan sangat pelan, Poppy mencoba lebih berseman-
23
Menyandang Mimpi gat menjalani hidup di Taiwan, walau awalnya ia harus lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu hal di Taiwan. Poppy yang hobinya traveling dan bersepeda ini memang sesuai dengan apa yang diraih untuk belajar ke Taiwan, karena ia dapat menambah pengalamannya di Taiwan yang memang benar sulit sekali untuk menemukan makanan halal, kecuali jika sayur-mayur yang selalu dikonsumsinya di sana. Tapi, sulitnya ia menjalani hidup di sana tertutupi karena ia lebih banyak bersyukur, apalagi setelah tau tanpa sadar di Taiwan membuatnya menjadi lebih andal dan lancar berbahasa Mandarin, menguasai tiga bahasa lebih, baik bukan? Menguasai bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, benar saja, itu akan bermanfaat di masa depan. Karena benar banyak peluang pekerjaan bagi orang-orang yang memiliki lebih dari satu bahasa asing yang dikuasai. Poppy yang juga memiliki sifat planner ini, yaitu selalu merencanakan hal-hal yang dianggap prioritas sampai saat ini masih memegang motivasi terbesarnya untuk bertahan menjadi pengejar ilmu di negara orang lain, yang mungkin orang lain dapat menjadikan motivasinya sebagai dorongan bagi yang lain untuk dapat menjadi lebih baik seperti Poppy. Motivasinya itu yang pertama sudah selangkah lebih dekat menuju cita-cita jadi dosen. Kedua, harus bisa membuat keadaan keluarga kami jadi lebih baik dalam kehidupan ekonomi, kesehatan, sama masa depan adiknya lebih terjamin.
24
Menyandang Mimpi Bagaimana? Poppy ternyata masih sama dengan anak muda lain yang ingin menjadi dosen, dan membahagiakan keluarga bukan? Hanya saja, yang membedakan semangatnya dalam menempuh pendidikan dengan beasiswa di negeri orang. Pasti orang tuanya sangat bangga dengannya. Apalagi Poppy yang saat ini masih menjalani semester awal di NDHU, membawa ilmu hingga ke Taiwan membuahkan hasil yang baik, karena saat ini ia pun mendapat nilai yang nyaris sempurna, yaitu 4 dalam skala 4,50. Baginya, itu hal yang tak terlalu sulit, asal dengan melibatkan Allah di segala urusan dan tekun menyelesaikan syarat apa yang perlu diselesaikan. Pokoknya mau gimanapun yang kita lakukan, apapun yang kita mimpikan, selalu libatkan Allah. Allah itu benar-benar baik. Begitu katanya. Sederhana memang, tapi efeknya luar biasa. Luar biasanya orangorang yang pintar dan berhasil adalah yang selalu bermanfaat untuk orang lain, seperti membagikan ilmunya, ataupun menjadi reminded bagi anak muda lain. Ya kalau mau berhasil, jangan takut bermimpi, mimpi aja dulu, kalau ada waktu untuk mewujudkannya, segera diwujudkan, itu namanya proses. Dan, perlu diingat dan selalu diingat, kalau Allah itu baik, jadi libatkan Allah setiap urusan dalam berproses. Maka, jika ingin berhasil seperti Poppy, tak salah kalau kita ikut dengannya, ikuti pesan dan motivasi terbesarnya dalam meraih mimpi.
25
Menyandang Mimpi
Buah dari Kesungguhan Oleh: Putri Chairunnisa
M
elanjutkan jenjang pendidikan di luar negeri merupakan mimpi besar yang sangat diidam-idamkan oleh sekian banyak pelajar Indonesia. Selain untuk mendapatkan mutu pendidikan yang lebih baik, di sana para pelajar tanah air juga akan mendapatkan pengalaman menarik untuk terus mempelajari segala sesuatu dari lingkungan barunya dan teman-teman seperjuangan dari berbagai penjuru dunia. Ingin menggapai sesuatu yang besar berarti juga harus melakukan sesuatu yang besar untuk menggapainya. Selalu berdoa pada sang Maha Kuasa, tawakal, belajar dengan sungguh-sungguh dan pantang menyerah. Tidak lupa untuk meminta restu dari orang tua dan keluarga agar dipermudah segala urusannya,
26
Menyandang Mimpi dan tentu saja selalu bersyukur, menerima dengan lapang dada dengan semua pilihan yang Allah berikan. Jika sudah diterima dan menyandang status sebagai pelajar luar negeri pun bukan berarti hidup akan menjadi mudah, indah, tidak susah melewati jalan berliku-liku lagi. Berubahnya jalan hidup maka akan berubah juga lika-liku yang akan dilalui. Kalau mau lempeng aja bukan hidup namanya. Memang benar banyak pelajar Indonesia yang sudah sukses dengan studi yang dijalaninya selama di luar negeri lalu menerapkannya di tanah air namun, tidak banyak juga yang putus asa dan memutuskan untuk kembali pulang sebelum selesai. Untuk menjadi pelajar di luar negeri bukan sekadar gengsi. Banyak hal yang harus dipersiapkan, seperti tuntutan harus kaya akan ilmu dan informasi, kesiapan diri menerima lingkungan baru, hingga biaya hidup yang tidak menentu. Semuanya harus dipersiapkan secara matang dan terorganisir agar tak salah melangkah nantinya. Semua orang bisa saja bermimpi untuk sekolah di luar negeri tetapi, tak semua orang bisa mewujudkannya. Semuanya butuh proses, tidak ada yang instan dalam hidup ini. Ada yang ingin melanjutkan studi jalannya mudah, daftar, setelah itu langsung lulus. Namun, ada juga yang harus bersabar menunggu selama bertahun-tahun untuk mewujudkannya. Ketahuilah, jalan
27
Menyandang Mimpi hidup setiap orang tidak ada yang sama. Gagal berkali-kali bukan berarti berhenti mencoba, itulah gagasan yang menggambarkan perjalanan Syafrilsyah, seorang dosen pada Fakultas Psikologi UIN Ar Raniry Banda Aceh ini untuk melanjutkan studi di luar negeri. Pernah gagal mendapatkan beasiswa beberapa kali tidak mematahkan semangat beliau untuk menggapai impiannya. Skor TOEFL yang hanya mencapai 480 merupakan awal mula kegagalan menerima beasiswanya. Seperti yang sudah diketahui 500 merupakan skor ideal untuk para penerima beasiswa luar negeri. Berangkat dari kegagalannya, beliau terus mengasah kemampuan TOEFL-nya hingga bisa memenuhi standar dan juga kemampuannya di aspek lainnya agar mumpuni sebagai penerima beasiswa luar negeri. Namun, berbeda beasiswa yang dituju, berbeda juga syarat dan ketentuan yang tercantum. Tahun terus berganti, umur pun semakin bertambah. Di saat semua sudah memenuhi, umur menjadi persoalan. Beberapa tahun selanjutnya beliau mencoba mendaftar beasiswa lagi tetapi mendapat penolakan lagi karena usia sudah melewati batas maksimal 40 tahun, sedangkan saat itu beliau sudah 45 tahun. Namun, Allah berkehendak lain, tiba-tiba ada pengumuman studi di luar negeri untuk dosen sekolah S-3 khusus di atas 50 tahun dengan syarat PNS di Perguruan Tinggi Aceh. “Alhamdulillah lolos karena memenuhi syarat dan tidak banyak yang ikut,� ungkapnya.
28
Menyandang Mimpi
Meskipun Malaysia bukan pilihan utama beliau karena sebelumnya sempat mencoba berkali-kali mendaftar beasiswa luar negeri seperti ke Jepang, Mesir, dan Amerika tetapi belum lulus juga, berarti ini jalan terbaik yang telah Allah tujukan untuk beliau melanjutkan studi Ph.D-nya. Sesungguhnya Allah yang Maha Mengetahui apapun yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Cita-citanya tercapai dan itu semua juga berkat dari doa keluarga. Keluarga beliau merespons dengan baik, beliau mendapat dukungan penuh dari sang istri dan anak-anaknya. “Dulu keluarga juga sempat dibawa ke Malaysia selama tiga tahun dan anak-anak semua sekolah di sana, Alhamdulillah biayanya mencukupi,� tutur beliau. Teknologi informasi dan metode pendidikan yang lebih baik merupakan sebuah motivasi beliau sebagai tenaga pengajar dalam negeri yang bertugas untuk mencerdaskan anak bangsa untuk melanjutkan studi di luar negeri. Tentunya sambil mencari pengalaman baru di negeri orang, karena sebelumnya sudah S-1 dan S-2-nya di dalam negeri. Pertama kali menginjakkan kaki di sana alhamdulillah beliau tidak mengalami culture shock karena Malaysia masih serumpun Melayu, iklim dan budayanya masih seperti di tanah air. Warga sana juga menerima warga negara Indonesia dengan baik, “Mereka masih anggap kita saudara, apalagi dari Aceh. Wah... makin
29
Menyandang Mimpi akrab,� katanya bahagia. Ada beberapa keunikan mengenai sistem belajar di sana yang menjadi daya tarik dan menambah semangat para pelajar untuk terus menuntut ilmu dengan senang hati. Universitas tempat beliau melanjutkan studi mengadakan kelas internasional yang pelajarnya berasal dari berbagai negara dan otomatis menggunakan pengantar bahasa Inggris. Tidak hanya itu, sistem belajar di perguruan tinggi Malaysia semuanya sudah berbasis online sejak tahun 2000 jadi, penggunaan teknologi di perguruan tinggi sudah sangat baik. Hampir semua urusan akademik dan perkuliahan sudah menggunakan IT (internet) secara optimal. Maka tidak heran kalau sebagian perguruan tinggi malaysia punya grade international lebih tinggi dibandingkan perguruan tinggi di Indonesia (UI, UGM, dan ITB). Meski sistem perkuliahan di sana tergolong sangat baik dan lebih maju dari sisi teknologi informasi serta didukung fasilitas yang mewah, bukan berarti tidak ada kendala apapun. Ada juga kendala yang dihadapi beliau selama menjalani studinya, contohnya seperti kendala dalam berbahasa. Pada saat baliau masuk kelas Statistik International Student yang menggunakan penyampaian dengan bahasa Inggris awalnya ia kesusahan namun, semua bisa teratasi. “Pelajar lain terutama dari Iran, Arab Saudi, Irak, Nigeria, Suria, Thailan, dan Filipina pun merasakan kesusahan yang sama tetapi alhamdulillah semua lulus dengan baik.�
30
Menyandang Mimpi Begitu juga saat beliau pertama kali harus presentasi dengan bahasa Inggris di International Conference. Ia telah giat berlatih selama hampir seminggu sampai mengalami stres berat dan tidak bisa tidur di malam sebelum hari H, namun pada akhirnya semua dapat dilalui dengan kerja keras dan sukses, tentu karena selalu berdoa dan bantuan sang Maha Penolong. Berkat semangat belajar dan kegigihannya, setiap tahun beliau dapat ikut konferensi internasional dan pernah menjadi presenter makalah terbaik. Menetap di negeri orang selama bertahun-tahun pastinya menyiratkan banyak kesan tersendiri bagi beliau, apalagi keinginannya untuk bisa akrab dengan banyak pelajar mancanegara dan merasa senang dapat bertukar bahasa dan budaya dengan mereka. Tidak hanya itu, menetap di negeri orang selama bertahun-tahun menjadikan nasi lemak dan nasi kandar masuk ke dalam daftar makanan favorit beliau, tetapi tetap saja masakan rumah juaranya. Karena di sana diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar, selain menjadi seorang pelajar yang bertugas untuk menuntut ilmu, ia juga menjadi pengajar ngaji dan les bahasa. Hal itu membuat beliau banyak berteman dengan masyarakat setempat khususnya jamaah masjid. Mau bagaimanapun ceritanya pelajar tetaplah makhluk sosial. Sebagai seorang Dosen tentunya beliau ingin mencerdaskan anak bangsa, dengan cara menerapkan
31
Menyandang Mimpi apa yang telah ia dapatkan selama menjalankan studi di luar negeri di tanah air dengan sungguh-sungguh dan menjadi penebar kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Jaga nama baik bangsamu, selalu fokus dalam belajar, cepat selesai dan jangan lalai, baktimu nanti di tanah air, pesannya untuk seluruh mahasiswa Indonesia yang sedang menjalani studi di luar negeri.
32
Menyandang Mimpi
Dream and Distansce Oleh: Istiqomah Kaloko
“Ma, Shan berangkat!�
A
ku mengambil tasku yang terletak di sudut meja makan, mama sengaja meletakkan tasku di sana agar aku selalu ingat sarapan. Tapi, ya tetap saja sarapan sajian mama tak kugubris sedikit pun. “Kakkk, sarapan dulu!!!� Gema suara mama sampai terdengar ke teras depan rumah, buru-buru kustop angkutan umum dan berlari naik angkutan tersebut. Sejak TK hingga sekarang sudah duduk di kelas XI aku memang susah banget disuruh sarapan. Setiap
33
Menyandang Mimpi hari harus disuapi. Terkadang telat ke sekolah, pernah sampai gerbang TK sudah tutup aku baru tiba. Aku lebih memilih makan jajanan kesukaanku yang dijual di pinggiran jalan depan gerbang, Oreo. Penjualnya sering menertawakan aku, bukan karena mulutku makan berlepotan, tapi karena cara makanku yang lucu katanya. Menurutku sih lebih nikmat aja makan Oreo itu selainya dulu baru rotinya. Aku juga suka wafer, makannya pun tak langsung jlebbb masuk ke mulut, lapisan wafernya aku lepasi satu per satu baru naruk ke mulut. Ya, senang aja, setidaknya dengan cara itu aku bisa memalingkan pendengaranku dari berisiknya teman-temanku yang mengataiku si mata sipit. Namaku Shania Erysia Damei, biasa dipanggil Shanmei atau Shan oleh orang-orang terdekatku. Aku dilahirkan 18 tahun yang lalu tepatnya pada 10 Oktober 1999 di kota yang berhawa dingin, Sidikalang. Dari kecil hingga saat ini tiada hari yang aku lewati tanpa bermimpi. Mimpiku juga kadang tak masuk akal, tak jarang orang orang menertawakan mimpi apa yang terucap dari bibirku, termasuk kedua orang tuaku. Bukan karena mereka tak sayang, justru malah sebaliknya, kutahu mereka tak ingin aku mimpi terlalu tinggi dan ujungnya akan menyakiti diriku sendiri nanti. Mereka takut kejadian beberapa tahun yang lalu terulang padaku, saat masih SD aku pernah ikut Olimpiade Sains, dan aku segera meminta ayah mendaftarkan aku ke tempat bimbingan belajar. Awalnya, aku sangat semangat dan sangat yakin dengan bimbingan aku pasti bisa menaklukkan soal soal olimpiade itu. Saat itu aku benar-benar percaya diri, pasti aku salah
34
Menyandang Mimpi satu pemenang lomba itu, setidaknya tak juara pertama pun tak apa. Detak jantungku berdebar tak karuan, dengan semangat aku dan ayahku secara saksama menatap fokus layar laptop ayahku, dan alhasil zonk. Namaku tak tertera di daftar nama pemenang olimpiade itu. Damn! Aku lari ke kamar mandi. Ayah mengikutiku, ayah kira aku akan nangis, padahal bukan. Perutku mules karena minum es saat musim hujan. Hari itu aku biasa aja, tak ada sesak atau sedih sedikit pun, tapi esok paginya saat mama ke kamar untuk niat membangunkanku, sekujur tubuhku panas, aku demam tinggi. Buru-buru mama menelepon ayah yang dari pagi sudah berangkat kerja tetapi harus kembali lagi ke rumah untuk melihat keadaanku. Ayah memijat kepalaku dan menyuruh ibu membuatkan ramuan Cina dari rempah untuk menurunkan panasku, tapi panasku tak kunjung turun. Siangnya jarum infus ditusuk di tangan mungilku. Singkat cerita itu yang membuat ayahku tak memperbolehkan aku mimpi terlalu tinggi, ayah selalu mengait-ngaitkan penyebab demamku beberapa tahun yang lalu karena aku terlalu berharap menang dan sejak itu aku juga mulai down dan sedikit takut bermimpi, takut melihat ayah dan mama khawatir lagi. Tidak selamanya kita dapat menjalani hidup dengan penuh semangat. Terkadang ada saja situasi dan kondisi tertentu yang membuat semangat dalam diri kita tersebut tiba-tiba menguap. Di saat-saat seperti itulah biasanya kita perlu men-charge ulang diri kita, mengisi kembali tangki-tangki motivasi yang tadinya
35
Menyandang Mimpi hampir kosong dengan sedikit energi untuk kembali beraksi. Masa depan ada di tangan kita sendiri, kita yang genggam. Arahnya ke manapun hanya kita yang dapat mengendalikannya. Jadi, ya, terserah mau tetap diam dan jalan di tempat atau berusaha mengejar masa depan itu. Sekian, selamat berjuang! Siappp gerakkk Amanat upacara dari ibu kepala sekolah hari ini berdengung-dengung di kepalaku. Setibanya di rumah, aku buru-buru ke kamar mengambil selembar kertas yang kulipat rapi di dalam binderku. Di kertas itu aku ingat pernah menulis beberapa mimpiku. Dan yang paling aku inginkan adalah melanjutkan kuliah di luar negeri. Kugenggam erat kertas itu dan aku ke luar kamar menemui ayah, kuberi kertas itu ke ayah dengan tanganku yang gemetaran, aku takut ayah marah, tapi malah sebaliknya yang kudapat, kulihat bibir ayah mulai melebar dan kurasa ayah menyetujui maksud dan keinginanku. *** Aku mulai mencari-cari informasi beasiswa kuliah di luar negeri, mengingat taraf hidup di luar negeri lebih besar beberapa kali lipat dari Indonesia. Belum lagi biaya pesawat, tekadku bagaimanapun aku nggak mau menyusahkan ayah dan mama. Dengan kerasnya usahaku baru beberapa bulan duduk di kelas XII SMA aku mendapat informasi beasiswa yayasan Buddha Tzu China Indonesia. Awalnya, aku iseng
36
Menyandang Mimpi ikut-ikutan mendaftar online, scan berkas-berkas, dan data-dataku kukirim lewat email. Meskipun iseng, aku tetap berharap sama Tuhan agar aku bisa lolos. Bulan Empat 2017 pengumuman resmi keluar, tak kusangka-sangka aku benar-benar lulus. Akhir Juni aku terbang ke Jakarta, berkumpul di yayasan bersama murid-murid lainnya yang beruntung sepertiku. Esok sorenya kami terbang ke Taiwan. Awalnya, aku sangat takut dengan jarak. Jujur, aku merasa di luar negeri itu jauh banget, aku takut pisah sama keluarga dan jarang pulang dan akan hidup sendiri di lingkungan yang benar-benar baru dan berbeda. Tapi, akhirnya aku menguatkan diri, bagaimanapun ini kemauanku sendiri tanpa paksaan dari siapapun, aku berbicara dengan hatiku sendiri, jika pun tak ke luar negeri ujungnya aku bakalan tetap ke luar, kok dari rumah itu. Aku seorang wanita dan saat sesudah nikah nanti pun aku pasti meninggalkan rumah dan memilih ikut bersama suami. Aku terus menguatkan diriku, sebagai seorang kakak aku harus bisa membuat bangga kedua orang tuaku dan menjadi panutan bagi kedua adikku. Aku dan rombongan tiba di Taiwan. Saat ini Taiwan sedang musim summer, suhunya sangat panas beda banget sama di Sidikalang yang siang hari saja masih bisa tidur dengan berselimutkan kain tebal. Baru juga sampai, aku sudah ingin pulang saja. Setibanya di asrama kami didata satu per satu dan ibu asuhnya menunjukkan kamar kami masing-masing. Kami disuruh istirahat sejenak dan setelah itu kami
37
Menyandang Mimpi diperkenalkan dengan lingkungan di sana sebelum masuk universitas beberapa hari lagi. *** Hari ini aku sudah mulai aktif masuk di universitas. Dosen di sini tak se-killer dosen-dosen yang pernah kutonton di tv. Semua ramah meskipun dengan mahasiswa luar negeri seperti kami. Di Tzu Chi University dalam setahun ada dua semester, setiap semester 18 minggu spring semester dimulai Bulan Dua sampai Bulan Enam. Fall semester dimulai Bulan Sembilan hingga Bulan Satu. Selain mata kuliah wajib setiap mahasiswa harus memilih general course yang ditentukan. Satu semester minimal 16 dan maksimal 25 SKS. Lebih atau kurang dari itu, harus diajukan ke bagian Courses. Beberapa pelajaran wajib dan general ada diajarkan dalam bahasa Inggris, khusus membantu mahasiswa luar negeri seperti kami—ada juga kelas online yang dihitung per SKS. Pagi tadi aku belum sarapan, mungkin aku belum terbiasa dengan makanan-makanan yang ada di sini. Rumah makan di sini nggak sama dengan yang di Indonesia, buka 24 jam atau minimal dari pagi hingga malam. Rumah makan di sini buka hanya waktu sarapan dari jam 6 hingga jam 9 pagi, makan siang dari jam 11.00 hingga jam 14.00. Kalau di Indonesia kita biasa sarapannya nasi atau mi, di sini beda. Nggak ada sarapan nasi dan mi pun jarang. Yang ada sandwich, burger, dan makanan-makanan yang mengandung banyak minyak lainnya. Aku sangat menyesal udah pernah
38
Menyandang Mimpi menyia-nyiakan sarapan pagi buatan mama. Selain makanan, yang menjadi permasalahan yang signifikan bagiku yaitu bahasa. Meskipun mama dan ayahku asli Chinese, tapi aku hanya menguasai sangat sedikit bahasa Mandarin, mungkin karena aku lahir dan dibesarkan bukan dengan bahasa Mandarin sehari-sehari. Setiap ada yang berbicara aku mesti pelan-pelan translate-kan satu per satu kata dengan menggunakan kamus elektronik, untuk berbicara pun aku masih kaku. Terkadang aku juga memakai bahasa isyarat. Sangat susahlah hidup untuk mahasiswa dari luar sepertiku. Tak jarang aku menangis hanya karena aku tak mengerti maksud mereka, begitu juga sebaliknya. Tapi aku tak menyerah, ini pilihanku untuk kuliah di sini. Hari demi hari berlanjut pasti perlahan bisa normal seperti biasanya aku di Indonesia. Kak, gimana? Udah sarapan? Jangan lupa minum kak. Nak, gimana di sana? Udah bergaul ke siapa aja? Kak Shan, aku juga mau kuliah di sana juga biar sama sama kakak. Tuttt...tuttt...tutt.... (Sambungan terputus). Video-call berakhir. Masalahnya pasti selalu sinyal, memang sinyal dari Indonesia ke Taiwan sedikit buruk. Tetapi minimal dua kali seminggu keluargaku pasti selalu menghubungiku, berebut mendongakkan wajah
39
Menyandang Mimpi di depan kamera demi melihat keadaanku di sini. Setelah beberapa bulan, aku mulai terbiasa di sini, terbiasa dengan makanannya dan juga bahasanya. Hari-hariku yang membosankan mulai kuisi dengan mengikuti Tzu Chi yaitu lembaga sosial dan juga fokus di daur ulang. Selain itu aku juga terkadang ikut menjadi relawan, bantu-bantu di dapur atau jika mau membantu memproduksi sabun juga. *** Jadi, ingatlah bahwa di dalam diri kita masing-masing tersimpan potensi yang luar biasa. Tergali atau tidaknya potensi itu hanya bergantung pada kemauan kita sendiri. Dan jangan pernah takut untuk keluar dari zona nyaman. Positive thinking aja, dengarkan saran dan nasihat oang lain, tapi jangan ditelan mentah-mentah. Jadikan pengalaman orang lain sebagai referensi buat mencari solusi yang lebih baik. Dan yang terpenting di manapun kita berada, ingatlah sama keluarga terutama orang tua di rumah, sering luangkan waktu untuk mereka. Yakinlah, mereka merindukan dan selalu mendoakan kita.
40
Menyandang Mimpi
Ke Negeri Orang Oleh: Nabila Firuzia
D
i sudut ruangan yang luas, tengah duduk seorang lelaki berbaju hitam sambil merangkul lutut sembari merenung. Ia terus berpikir apa yang harus ia lakukan agar lulus di universitas pilihan kakak perempuannya. Pasalnya, setelah lulus dari pesantren Al Raudhatul Hasanah ia berniat untuk melanjutkan pendidikan yang jauh dari pelajaran agama. Namun, tanpa ia ketahui, kakak yang ia sayangi justru mendaftarkannya di universitas yang bukan pilihannya secara diam-diam. Ikhwanul Hakim, pria kelahiran 23 September 1999 ini memberanikan dirinya untuk melanjutkan pendidikan di negeri orang, hanya dengan bermodalkan nekat. Padahal ia tidak sedikit pun membuka kembali pelajaran bahasa Arab yang telah diberikan padanya
41
Menyandang Mimpi saat ia menduduki bangku SMP dan SMA di pesantren Al Raudhatul Hasanah. Setelah lulus dari jenjang pendidikan pesantren Ikhwan berkeinginan untuk kuliah di IPMB, dengan alasan ia menyukai Pendidikan Kewarganegaraan. Sejak saat itu ia bertekad untuk kuliah di sana, tapi keberuntungan belum berpihak padanya, karena ia tidak berhasil mewujudkan cita-citanya untuk masuk di perkuliahan yang ia inginkan dan lulus di universitas pilihan sang kakak. Ia terus melamuni bagaimana nanti ia hidup di negeri orang yang tidak seorang pun ia kenal. Banyak sekali celetuk-celetuk dari temannya tentang bagaimana kehidupan di Mesir sana, panas, dan suhunya berbeda dari Indonesia, tanahnya tandus, dan tidak ada pepohonan yang rindang di sana. Namun, ia tersadar dengan apa yang sedang ia lamunkan. *** Nikmatnya bila semua bisa tercukupi, semua keinginan bisa terpenuhi. Masih banyak remaja yang tidak bisa merasakan duduk di bangku perguruan tinggi, di tambah pula keluarga yang sangat mendukung penuh anak untuk belajar setinggi-tingginya, dan bukan itu saja selain ia bisa merasakan duduk di bangku perguruan tinggi ia juga sangat beruntung karena keluarga dapat mewujudkan cita-citanya untuk berkuliah di luar negeri meskipun bukan di IPMB. Menjadi mahasiswa di negeri orang, membuat Ikhwan harus mau beradaptasi pada orang-orang
42
Menyandang Mimpi di sana karena, watak-watak mereka yang bersikap keras—dan saat kemarau tiba mereka lebih sering mencuri. Memang hal yang tidak mudah untuk menyesuaikan diri di sana, tapi itulah yang sedang ia jalani di Kairo. Berdekatan dengan monumen bersejarah Masjid Al Azhar, tepatnya di Darosah Al Jamiah di situlah Universitas Al Azhar As Syarif Kairo tempat peraduan ilmunya. *** Tidak terasa sudah setahun lamanya ia mengikuti kelas bahasa yang difasilitasi untuk calon mahasiswa Universitas Al Azhar. Karena waktu terus berlanjut, ia pun sudah terbiasa hidup di lingkungan Mesir dan mulai merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa yang hari-harinya dipenuhi akan kajian dan lantunan ayat-ayat suci Alquran seperti mengulang kehidupannya di masa sekolah dulu. Pulang petang sudah menjadi hal yang biasa bagi Ikhwan. Lelaki berambut pendek dan rapi ini selalu mengahabiskan waktunya untuk menyebut nama Nabi Muhammad Saw. dengan cara melantunkan selawat. Di balik waktu yang ia habiskan sampai petang untuk berselawat karena ia bukan tipe orang yang menghabiskan waktu hanya untuk kuliah belajar dan pulang, tetapi ia seorang mahasiswa aktif yang mengikuti berbagai kegiatan salah satunya firqoh. Firqoh adalah kegiatan yang sama halnya dengan nasyid, ia mengikutinya sembari menyambung
43
Menyandang Mimpi kegiatan yang sering ia kerjakan semasa ia di pesantren. Setiap malam Senin dan malam Jumat, syekh yang mengajarkan kegiatan itu akan langsung memimpin jalannya lantunan selawat. Kemudian disambung dengan pukulan rebana serta gesekan-gesekan halus dari alat-alat nasyid yang mereka mainkan. Banyak kegiatan yang bisa ia lakukan untuk menyibukkan dirinya, tetapi jika disinggung masalah orang tua ia langsung bungkam. Memang hal yang lumrah sebagai mahasiswa perantauan sangat sulit baginya untuk berpisah jauh dari kedua orang tua, kedua adiknya, dan kakak perempuannya. Masih kental diingatannya saat pertama kali ia diantarkan ke bandara siang itu. “Hati-hati ya, nak! Jangan lupa kabari mama dan papa kalau sudah sampai.� “Aku nggak mau pisah lah ma, apa nggak bisa ya besok-besok aja aku ke sana?� “Ingat ya, nak, hari ini kamu akan pergi ke negeri orang. Jadi kamu harus terbiasa dengan keadaan di sana, termasuk nggak ada mama di sana.� Dengan rasa sedih ia mengulang cerita ketika ia berpisah dengan orang-orang yang ia sayangi, setidaknya ia akan merasakan itu sampai bertahun lamanya. Karena, bisa dilihat dari kesibukan yang ia jalani ditambah lagi ia harus menjalani kelas bahasa sampai satu tahun lamanya agar bisa diterima sebagai mahasiswa di universitas tersohor itu.
44
Menyandang Mimpi
Jika rindu sudah tak tertahan baginya akibat perantauan ini, ia akan langsung menghubungi mamanya terlebih dulu. Percakapan antara ia dan keluarga pun membuat isak tangis yang tak henti keluar dari matanya hingga sembab. “Ma! Aku belum bisa pulang ma, karena masih ada kegiatan kampus.” “Kok lama ya, nak? Padahal mama sudah rindu sekali sama Ikhwan.” “Huhuhuu (sambil menangis), jangan ngomong kayak gitu lah ma, aku sedih.” “Cepat pulang ya, nak. Sudah setahun kamu nggak pulang, emang nggak rindu sama kami.” Rasanya tak sanggup ia mendengar kata rindu dari mulut wanita itu, ingin segera ia bergegas pulang ke rumah untuk sekadar melepas rindu dan menjelaskan bahwa ia sedang merantau. Tapi tak semudah itu untuk dapat pulang ke rumah, pasalnya waktu liburan belum ditentukan dan jikalau ia pulang haruslah dengan alasan yang benar-benar penting. Sebenarnya bisa saja ia berbohong dengan alasan yang dibuat agar terlihat masuk akal untuk bisa pulang ke rumahnya, tetapi ia ingat bagaimana beruntungnya ia bisa menikmati bangku perkuliahan tanpa bersusah payah untuk membanting tulangnya, mengingat upaya kakak perempuannya untuk mendaftarkannya di Ka-
45
Menyandang Mimpi batul Ulum ini. Makin lama ia tinggal di sana, ia mulai merasakan perbedaan yang sangat amat banyak. Dimulai dari setiap subuh yang biasanya ia kerjakan di rumah, lain halnya ketika ia berada di Kairo. Ia sengaja bangun lebih awal untuk mempersiapkan dirinya agar tidak terlambat berjamaah di masjid. Bukan hanya perubahan dalam melakukan ibadah, selepas salat subuh berjamaah ia langsung mempersiapkan pakaian untuknya berolahraga, karena baginya jika mau hidup sehat haruslah rutin melakukan aktivitas fisik. *** Ternyata selama ini penafsiran ia tentang Kairo salah. Ia malah banyak mendapatkan pelajaran berharga dari Kabatul Ulum itu. Kalaulah kemarin ia lulus di universitas pilihannya, mungkin tidak sama halnya dengan yang ia rasakan sekarang ini. Karena, menurutnya pengaruh terbesar untuk menjadikan seseorang berubah adalah lingkungan di mana ia tempati. Semua orang tau kalau di Mesir itu panas, jarang sekali kita menjumpai pepohonan di sana. Kalau pun ada itu hanya di taman. Siang yang begitu terik sedang berada di atas kepalanya pada hari itu, tapi itu tak mampu mengalahkan keinginan Ikhwan untuk tetap hadir di perkuliahan, karena menurutnya jika ia sudah berani merantau maka ia harus siap dengan segala yang ia dapati di lapangan. Sebenarnya ini sama halnya dengan melatih mental. Kalau sanggup untuk
46
Menyandang Mimpi meninggalkan keluarga demi melanjutkan pendidikan mengapa tak sanggup untuk tetap hadir meski pun ada permasalahan. Berbaju koko dan memakai celana keper adalah hal yang biasa ia kenakan ketika berkuliah padahal, semasa ia di pesantren pun tidak setiap hari ia pakai. Malah ketika ia memakai baju lain atau berbeda dari yang namanya baju koko, pasti salah seorang temannya langsung menyenggolnya dengan bertanya. “Eh, Wan mana baju ente? Kecuci semua kah?� “Hemmm (sahutku dengan nada malas) ada, tapi ane mau pake ini saja.� “Besok-besok pake kayak aku ya, Wan, biar samaan kayak yang lain.� “Siap pak ustaz.� Menurutnya, baju tidak menjadi hal yang utama ketika mau belajar, yang terpenting baginya adalah membawa catatan kecil serta buku panduan agar dapat paham dengan apa yang disampaikan oleh ustaz dan ustazah di Al Azhar tersebut. Mengandalkan berbahasa Arab yang ia dapatkan semasa sekolah dulu dapat membantunya sedikit ketika ustaz dan para pengajar di sana sedang menjelaskan. Mau tidak mau memang bahasa Arab yang orangorang pakai di sana, seperti kata pepatah di mana lagit
47
Menyandang Mimpi di junjung di situ bumi dipijak. Artinya, ia harus dapat menyesuaikan dengan keadaan yang ia dapati. Meskipun terkadang ia diam ketika teman-temannya sibuk mengobrol, bukan karena ia malu untuk bercakap tetapi ia tidak selancar itu untuk berbahasa Arab apalagi sampai mengobrol dengan bahasa itu.
48
Menyandang Mimpi
Kun Fayakun Kata Allah Oleh: Audry Uyuni
“Akhlakmu, tak jauh dari perilaku teman dekatmu” Ya, sobat karib. Itulah yang dijadikan patokan dalam menilai seseorang. Sewaktu duduk di bangku Tsanawiyah aku memiliki teman sekelas namanya Royhan, dan ketika berlanjut memasuki jenjang Aliyah kami di pertemukan kembali namun sudah beda kelas.
K
ali ini, aku akan menyoroti sosok anak manusia yang dilahirkan ke dunia pada 6 Mei 1999. Dialah Abdurrahman Siregar. Kami bernaung pada satu sekolah yang sama di MAN 2 Model Medan, dulu. Tak disangka dirinya ternyata sekelas dengan Royhan, temanku juga. “Ah, dunia ini sempit sekali,” batinku. “Bukan dunia yang sempit, tapi silaturahmi yang semakin meluas,” jawabku kembali dalam hati.
49
Menyandang Mimpi Untuk mengulik Rahman, aku menjadikan Royhan sebagai tangan kananku. Di matanya sosok Rahman adalah anak yang pintar. Terbukti, dia selalu mendapat ranking kelas. Dulu, ketika kelas X dia masuk 10 besar. Lalu di kelas XI mendapat 3 besar, dan terakhir di kelas XII dirinya berhasil menyabet ranking 1. “Dia itu aktif di kelas tapi tidak di organisasi. Terkadang ketika guru menjelaskan dia tidur di kelas namun ketika ditanya, dia tahu. Itulah hebatnya,” imbuhnya. “Dulu dia pernah bilang akan coba beasiswa Turki, namun respons kawan kelas malah ngatain ‘Apa mungkin? Nggak mungkinlah’ tapi coba lihat sekarang terwujud semua itu, dia berhasil membuktikannya. Bangga aku sama dia,” lanjut Royhan dengan nada suara bersemangat. Seorang yang akrab disapa Rahman itu kini tengah sibuk adaptasi dengan kondisi study freshmen year di Jurusan International Relations, Istanbul Medeniyet University. “Ketika di Indonesia biasa dipanggil Rahman setelah sampai di Turki banyak teman mahasiswa internasional dari negara Arab panggil Abdurrahman. Kata mereka itu nama yang indah dan meaningful jadi nggak usah dipendekin,” katanya sambil tertawa kecil. “Karena banyak sekali yang bertanya kenapa saya bisa ke Turki, well...” *** Saya adalah salah satu Awardee Türkiye Bursları 2017, beasiswa penuh pemerintah Turki untuk mahasiswa internasional di seluruh Turki. Mimpi saya untuk study overseas memang sudah ada sejak saya masih
50
Menyandang Mimpi di tahun 2014, tempat saya menamatkan pendidikan menengah. Saya masih ingat betul ketika itu beberapa teman sekelas banyak yang mengatakan kalau saya bermimpi terlalu tinggi, tapi saya menganggap hal itu adalah hal biasa. Seperti yang saya katakan sebelumnya saya sudah bermimpi kuliah ke luar negeri sejak lama mungkin karena saya terlalu banyak menonton film Habiburrahman El Shirazy tentang Mesir atau Negeri van Orange di Belanda bak negeri dongeng dengan bangunan khas Eropanya. Lalu kenapa malah sampai ke Turki? Selama tiga tahun di MAN saya sangat sibuk mencari informasi kesempatan kuliah ke luar negeri melalui internet atau melalui kegiatan Education Expo yang saya hadiri. Saya memutuskan untuk apply ke Turki karena beasiswa yang ditawarkan bersifat fully-funded mengingat saya bukanlah satu-satunya anak yang ditanggung oleh orang tua. Saya anak terakhir dari delapan bersaudara tapi saat mendaftar beasiswa tanggungan orang tua saya ada tiga orang lagi. Lalu saya mulai persiapkan dokumen yang diminta dalam proses aplikasi dan alhamdulillah pihak sekolah sangat membantu seperti pihak tata usaha karena memang berurusan dengan tanda tangan kepala sekolah serta stamp sekolah. Kemudian ada guru Geografi, Bapak Marsidi yang melampirkan surat rekomendasi kepada saya seperti proses penerjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dan beberapa dokumen lain. Setelah itu saya submit semua dokumen dalam sistem aplikasi beasiswa. Tahap selanjutnya adalah
51
Menyandang Mimpi menunggu keputusan komite beasiswa apakah mereka tertarik dengan aplikasi kita atau tidak. Jika mereka tertarik, maka kita akan diundang wawancara face-toface dengan mereka. Wawancara untuk Indonesia itu ada di dua kota yaitu Jakarta dan Banda Aceh. Ketika itu saya memilih di Banda Aceh tepatnya pada 13 Mei 2017 lalu. Mengenai yang dipertanyakan terkait dengan apa yang kita isi di aplikasi beasiswa termasuk dengan sertifikat yang kita upload serta menjelaskan kenapa kita pantas (worth) dibanding applicant lainnya. Lalu mereka juga menanyakan perihal jurusan yang kita ambil serta pengetahuan yang lebih detail tentang jurusan itu termasuk opini pribadi dan solusi tentang peristiwa penting di abad 21 dari sudut pandang jurusan yang kita pilih kemudian wawancara diakhiri dengan pertanyaan rencana masa depan kita. Sebelum wawancara tentu saja kita harus pandai basa-basi agar mampu mencairkan suasana. Dan usai wawancara, mereka akan mengabarkan via email apakah kita diterima atau tidak. Alhamdulillah mereka tertarik dengan aplikasi saya dan mengundang saya untuk menghadiri wawancara tersebut. Ini kali pertama dalam hidup saya, menghadiri wawancara dalam bahasa Inggris. Mereka nantinya akan mengumumkan dengan mengirimi kita email sebulan (atau lebih) setelah wawancara. Sembari menunggu pengumuman beasiswa yang saya ajukan, saya pun disibukkan dengan proses daft-
52
Menyandang Mimpi ar ulang hingga orientasi mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Indonesia, karena bukan tidak mungkin saya ditolak. Saat lalu saya hanya mengikuti SNMPTN namun gagal. Lantas mendaftarlah jalur SBMPTN, ternyata lulus pada pilihan pertama Hubungan Internasional (HI) di Riau. Setelah lebih dari sebulan menunggu, malam itu saya mendapat email berisi kalau aplikasi saya diterima (pengumuman beasiswa pada akhir Agustus 2017). Bahagianya bukan main, ISTANBUL, I AM COMING!!! Mengenai beasiswa pemerintah Turki itu mencakup jenjang S-1, S-2, dan S-3, dan yang diterima menjadi awardee juga diterima di universitas seluruh Turki bukan hanya satu universitas atau satu kota. Jadi sangat susah untuk menentukan total seluruh awardee tahun 2017. Kalau di universitas saya tahun 2017 memang hanya saya yang diterima dari Indonesia. Setelah saya mendapat visa pelajar dari Kedutaan Republik Turki di Jakarta saya pun mulai persiapan untuk keberangkatan ke Istanbul, kota indah yang terletak di dua benua Asia dan Eropa. Tak terasa hari keberangkatan pun tiba, saya diantar oleh kedua orang tua ke bandara, setelah selesai urusan check-in dan arrange bagasi lanjut ke momen perpisahan dengan kedua orang tua. Sedih sekali rasanya kalau kami tidak akan berjumpa dalam jangka waktu yang panjang, tentu saja mereka menangis tapi saya tahu itu adalah tangisan bahagia, masih sambil menangis saya peluk erat ibu dan ayah. Mereka adalah orang yang selalu supportive terhadap mimpi-mimpi saya, dan saya san-
53
Menyandang Mimpi gat bersyukur karena punya orang tua seperti mereka serta bangga menjadi putera mereka. “Baik-baik di negeri orang nak buat orang tua bangga.� Itulah kalimat yang paling saya ingat sampai sekarang ketika mereka melepas kepergian saya di bandara.
Dari Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru saya take-off ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta dan sorenya dilanjutkan penerbangan 12 jam ke Bandara International AtatĂźrk, Istanbul. And Finaly saya pun landed di Istanbul setelah penerbangan yang panjang dan melelahkan namun semua itu terbayarkan ketika saya keluar dari bandara menuju asrama mahasiswa tempat saya akan tinggal, setibanya terbuka jendela taksi, saya menghirup udara musim gugur Bulan September. Saya lihat pemandangan indah kota ini, ya Kota Istanbul. Kota yang sudah ada berabad-abad lalu dan menjadi ibu kota serta saksi banyak peradaban. Kota indah dengan laut Bosphorusnya yang membelah kota ini menjadi dua bagian: Asia dan Eropa. Inilah kota itu kota yang dijanjikan Rasulullah dan kota yang ditaklukkan oleh panglima terbaik dunia, Muhammad Alfatih. Inilah kota yang disebut oleh Napoleon Bonaparte sebagai ibu kota dunia, dan banyak lagi. Sambil menghela napas, hari itu emosi dalam diri saya penuh haru dan rasa syukur. Terhitung hampir setahun sudah saya tinggal di kota ini, sudah melewati empat musim berbeda. Musim gugur dengan daun keemasannya, musim dingin yang gelap dan bersalju, musim semi yang sangat ber-
54
Menyandang Mimpi warna—bunga tulip dan bunga-bunga lain menebar harumnya ke seluruh penjuru kota, dan musim panas yang terik nan indah. Belajar di Indonesia dengan belajar di Turki tentu berbeda. Kalau di Turki itu ada dua jenis kelas. Kelas yang pertama, misal kita ambil mata kuliah spesifik jurusan dan itu bukan dosen yang datang ke kelas kita karena kita nggak punya kelas tetap, jadi kita yang datang ke kelas dosennya. Jenis kelas yang kedua Hall Lectures itu seperti kelas besar dengan hampir 100 mahasiswa dan biasanya mata kuliah fakultas atau universitas seperti mata kuliah Pengantar Ekonomi, Hukum, Bisnis, HI, dan sebagainya. Sejauh ini selain berkuliah juga disibukkan sebagai pengurus di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul, serta saya juga anggota Gita Seni Budaya Indonesia Istanbul (GISBI). Di kampus sendiri banyak klub mahasiswa namun saya tidak mengikutinya satu pun. Jujur. Saya belum pernah balik ke Indonesia sampai detik ini, program beasiswa saya hanya meng-cover tiket pesawat ketika pertama kali datang ke Turki dan nanti setelah saya lulus. Jadi selama studi kalau ingin balik ke Indonesia itu boleh-boleh saja dengan syarat pakai uang sendiri. *** “Jika dirimu sendiri tidak percaya pada mimpimu, maka orang lain pun akan begitu� Jika dirimu sendiri sudah percaya pada mimpimu? Maka orang lain pun tetap selalu ada yang tak percaya
55
Menyandang Mimpi pada mimpimu. Namun, jangan khawatir, tugasmu hanyalah untuk membuktikan kepercayaan pada dirimu sendiri, bukan untuk orang lain yang tak percaya padamu. Aku cukup tertegun dengan kisah seorang bernama Abdurrahman Siregar. Dia seorang pemimpi besar dengan modal terbesarnya (tekun), walau ditertawakan dan diremehkan orang lain. Ketika dirinya sudah pasang target dan memutuskan untuk tetap berjuang dan berdoa, dia percaya bahwa Allah akan memberinya kekuatan dan kuasa Kun Fayakun, Kata Allah! Kawan, dapat ditarik simpulan bahwa, Bermimpi besar mengajarkan kita dekat pada Tuhan. Karena kita tahu persis bahwa kita tidak akan mampu dan pernah bisa, kecuali Tuhan yang memampukan dan membisakan kita. So, Let’s say I AM A DREAMCATCHER!!!
56
Menyandang Mimpi
Mau Jadi Musa atau Fir'aun Oleh: Rizki Audina
“Semuanya tergantung pada diri masing-masing. Memilih menjadi seperti Nabi Musa As., atau seperti Fir’aun.�
A
hmad Farhan Tsani Matondang, pemuda yang sering disapa Farhan ini lahir di Medan, 9 September 1996. Beliau anak kedua dari empat bersaudara, pasangan Muhammad Usman Ridwan Matondang dengan Rachmi Fitri Rangkuti. Di usianya yang terbilang masih muda, Farhan telah memiliki banyak prestasi. Terutama prestasi di bidang agama, Farhan kerap menjadi juaran berbagai macam perlombaan. Hal itu dikarenakan besarnya kemauan di dalam dirinya untuk mempelajari agama Islam lebih dalam lagi, hingga akhirnya ia memutuskan masuk ke Pon-
57
Menyandang Mimpi dok Pesantren Ar Raudhatul Hasanah saat lulus dari salah satu sekolah dasar di Jl. Sei Deli Kota Medan. Farhan memilih menghabiskan masa remajanya di sana. Merelakan waktu bermainnya berganti menjadi waktu untuk membaca Alquran. Dengan segudang prestasi yang ia miliki, Farhan membuktikan, anak pesantren tak kalah keren dari anak-anak lainnya. Di mulai dari menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran antar-asrama, hingga Musabaqah Tilawatil Quran tingkat kota, pernah diraihnya. Tak terasa, lima tahun sudah ia berada di pesantren tersebut. Farhan telah tumbuh menjadi pemuda yang dewasa. Pikiran-pikiran tentang masa depan mulai berlalu lalang di kepalanya. Kemana ia akan menjejakkan langkah selanjutnya. Ia pun berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, tepatnya Mesir. Tak terasa, waktu cepat berlalu, Farhan pun akhirnya menyelesaikan pendidikannya. Setelah lulus dari Pondok Pesantren Ar Raudhatul Hasanah, Farhan masuk ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Ia ingin meneruskan perjuangannya saat di pesantren dulu, ingin menjadi seorang ulama dan seorang pemimpin yang adil. Pemimpin yang paham akan syariat agama tentang bagaimana aturan-aturan yang sebenarnya dalam memimpin. Juga menjadi guru yang nantinya mampu mengajarkan semua ilmu yang telah didapatkan kepada remaja generasi bangsa Indonesia, demi memajukan tanah airnya.
58
Menyandang Mimpi Menuntut ilmu, tak pernah menjadi perkara yang mudah. Selalu ada pengorbanan dalam setiap prosesnya, sebab ilmu adalah sesuatu yang berharga. Hal itulah yang dialami oleh Farhan. Ujian yang dilaluinya cukup sulit, karena harus mumpuni dalam pelajaran bahasa Arab, hapalan Alquran minimal dua juz, juga mengarang dalam bahasa Arab. Ketinggalan pesawat, banyaknya biaya-biaya tak terduga, dan yang lainnya juga sempat menjadi segelintir kendala saat hendak berangkat ke salah satu negara di Timur Tengah itu. Tapi Farhan yakin, sesuai janji Allah bahwa sesungguhnya dalam kesulitan pasti selalu ada kemudahan. Rintangan itu pun bisa dilaluinya dengan baik. Di tahun pertama, hal tersulit ialah beradaptasi dengan lingkungan baru agar tidak terasingkan nantinya. Meskipun lulusan dari pesantren yang sudah pasti lancar berbahasa Arab, Farhan harus kembali mempelajari hal tersebut. Seperti seseorang yang ingin menguasai bahasa daerah, tak cukup dengan mempelajari teori-teorinya di buku pelajaran saja, mengetahui bagaimana tata bahasanya yang benar, ataupun menghapal beribu-ribu kosa katanya saja. Melainkan harus terjun langsung ke lapangan. Berinteraksi langsung dalam percakapan keseharian, sehingga dapat mengetahui bagaimana cara pengucapan yang benar serta logatnya. “Di Mesir itu ada dua bahasa Arab, yang pertama Arab Fushah. Itu semacam bahasa yang ada di Alquran, hadis dan di buku-buku pelajaran sekolah umumnya. Kedua, Arab ‘Ammiyah. Itu Arab yang pasaran,
59
Menyandang Mimpi ibaratnya seperti bahasa daerahnya, daerah Mesir. Mempelajarinya tidak bisa instan, butuh waktu bertahun-tahun dan praktik langsung untuk bisa fasih,” ceritanya dengan nada yang semangat. Setelah tahun pertama, setiap mahasiswa akan naik kelas, tapi tidak dengan mahasiswa yang memiliki nilai rendah di tiga mata kuliah. Maka Farhan harus belajar dengan sungguh-sungguh untuk tidak terjerumus ke zona tersebut, dan alhamdulillah ia mampu melewatinya. Sistem perkuliahan yang berbeda dari Indonesia itu, tak membuat Farhan menyerah. Setiap mahasiswa harus belajar keras karena materi yang diberikan oleh seorang dosennya pun menggunakan bahasa Arab ‘Ammiyah. Juga tidak adanya sistem absen, menyebabkan ia harus mampu memanajemen diri dengan baik. Mengingatkan diri untuk tidak berbelok dan sadar akan tujuan awalnya kuliah di negeri orang. “Kuliah di sini tidak ada absen. Semuanya tergantung pada diri sendiri, kalau mau kuliah ya kuliah. Kalau enggak ya terserah. Ibaratnya itu siapa yang mau seperti Musa ya jadi seperti Musa. Siapa yang mau seperti Fir’aun ya jadi seperti Fir’aun.” Farhan masih terus bercerita. Jika tiga mata kuliah mendapat nilai rendah maka akan tinggal kelas dan harus remedial ketiga mata kuliah itu saja. Jika hanya dua, bisa diselamatkan untuk tetap naik kelas tetapi harus remedial dua mata kuliah tersebut. Sebagai seorang perantau, Farhan juga harus mampu beradaptasi dengan makanan yang ada di
60
Menyandang Mimpi sana. Tahun pertama cukup sulit, dikarenakan kebiasaan orang Arab memakan makanan yang berjenis kacang-kacangan dicampur minyak. Namun di tahun-tahun berikutnya mau tidak mau dia harus mampu menerima, harus terbiasa dengan makanan-makanan tersebut. Hal itu dikarenakan dirinya yang sudah senior harus memberitahukan kepada adik kelasnya, juga karena mahalnya makanan Indonesia di negara piramida itu. Pilihan aman yang lebih sering dilakukan oleh Farhan dan teman-teman Indonesianya ialah dengan memasak sendiri. Membeli telur, tempe, dan bahan makanan yang cukup murah lainnya, lalu bergantian untuk memasaknya. Selain makanan, letak geografis Mesir membuat musim di sana berbeda dengan Indonesia. Hal itu juga menyebabkan dia harus mampu menyesuaikan diri terhadap musim dingin yang bisa mencapai 1° dan musim panas yang bisa mencapai 45°. Sangat berbeda dari Indonesia. Ah iya, ada satu yang tetap sama dengan Indonesia, yaitu gaya hidup. Jangan pikir seluruh manusia di negara Mesir sana menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar. Ya, pasti ada saja segelintir manusia yang tetap menyeleweng, memakai celana jeans, baju ketat-ketat, dan lain-lain. Sama seperti kebiasaan yang ada di Indonesia. Namun banyak dan luar biasanya ilmu para ulama di Mesir, serta keramahan masyarakatnya dalam menyapa dan mengucapkan salam terhadap sesama membuat Farhan sangat yakin dan semangat untuk terus berjuang di Negara Piramida tersebut. Menyele-
61
Menyandang Mimpi saikan perjuangan yang telah dimulainya lalu kembali ke negaranya untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat guna memperbaiki moralitas anak-anak bangsanya. Tidak mendapat beasiswa dari negara sendiri, tak berarti Farhan adalah mahasiswa yang tidak pintar. Hal ini dapat dibuktikan dengan ia mampu memeroleh beasiswa yang disediakan oleh Mesir di tahun keduanya. Selain itu, Farhan juga melanjutkan prestasinya di bidang agama. Hingga memasuki tahun keempat, Farhan telah menjuarai berbagai macam perlombaan dan mengikuti berbagai event. Di antaranya, Harapan II Musabaqah Tilawatil Quran antar-mahasiswa Indonesia tahun 2015, terpilih menjadi Qori dalam acara Wisuda Akbar Universitas Al Azhar tahun 2017 yang diikuti oleh 12 negara, terpilih menjadi anggota Nasyid yang dibimbing langsung oleh Munsyid terbaik dari Suriah pada tahun 2017, dan Juara II Musabaqah Tilawatil Quran tingkat Internasional cabang Fahmil Quran tahun 2018. Bahkan Farhan pernah terpilih menjadi Ketua Ikatan Persaudaraan Qori dan Qoriah Indonesia di Mesir pada tahun 2015-2016. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi kepintaran intelektual dan pengetahuan umum serta jiwa kepemimpinan mahasiswa Indonesia yang kuliah ke luar negeri tak kalah dengan mahasiswa asli negara tersebut. Farhan Tsani, pemuda yang lahir di tengah-tengah keluarga sederhana ini mampu membuat bangga kedua orangtua, sahabat, dan orangorang yang dikenalnya. Serta yang paling utama ialah
62
Menyandang Mimpi mengharumkan nama bangsa Indonesia. “Jalani saja apa yang telah diberikan Allah kepada kita dengan usaha-usaha yang baik, terima dengan ikhlas. Lambat laun kita akan paham bahwa itulah yang terbaik untuk kita.�
63
Menyandang Mimpi
Membangkitkan Prestasi Oleh: Devi Junita Sari
M
atahari perlahan akan turun mendekati garis ufuk barat, tidak saja mewarnai belahan langit hingga memerah jingga, tetapi juga membuat hamparan laut di bawahnya berwarna makin gelap. Angin mengembus tanpa bergegas, gulungan ombak tanpa malas menghempaskan dirinya ke pasir putih. Daun cemara pun hanya berderai lirih, terpendam oleh kicau aneka burung, yang seperti berebut mengabarkan datangnya malam. Seorang gadis cantik, berkacamata hitam bernama Altifani Rizky Hayyu adalah mahasiswi asal Jawa-Padang yang sedang kuliah Masters of Materials Enginerring di AGH University of Science and Technology di Polandia. Selain penelitian, ia juga suka dunia tulis-menulis, bisnis, dan public speaking.
64
Menyandang Mimpi Sebut saja Tifani, yang merupakan mahasiswa aktif Departemen Fisika Universitas Indonesia sejak 2013-2017, S-2-nya Teknik Material AGH University of Science and Technology. Selanjutnya ia bergabung dengan grup riset Fisika Material Teoretis dan reporter Iptek di Media Mahasiswa UI. Akhirnya selepas S-1, hobinya tetap disalurkan dengan menulis beberapa buku antologi dan ia juga bergabung dalam tim editor di kantor Komunikasi PPI Dunia. Kemungkinan Tifani bisa bergabung dengan PPI karena ingin berkontribusi untuk Indonesia dari luar negeri. Awalnya kebahagiaan menyelimuti Tifani karena bisa serempak bergabung dengan orang-orang hebat seperti mereka. Tifani pun tak menyangka bisa bergabung dengan PPI Dunia setelah dapat beasiswa luar negeri. Mulanya Tifani berbicara kepada orang tua untuk mengizinkannya bergabung di PPI Dunia. “Ma, pa izinkan aku bergabung di PPI Dunia, ya?� Mama dan papanya kemudian bertanya tentang PPI Dunia. Setelah menjelaskan tentang peran PPI dan mengapa banyak orang bergabung dengannya, maka orang tua Tifani pun membolehkannya. Tifani sangat ingin menjadi bagian dari PPI Dunia karena selain menyalurkan hobinya ia juga dapat mengenal mahasiswa Diaspora Indonesia di berbagai negara. Sekarang Tifani juga memiliki bisnis produksi.
65
Menyandang Mimpi Sekarang banyak sekali beasiswa kuliah di luar negeri. Kalau ingin kuliah di luar negeri, harus rajin-rajin mencari informasi seputar beasiswa. Sekarang banyak juga forum-forum beasiswa, aktif bertanya pada teman-temanku di PPI yang kuliah di luar negeri insyaallah mereka bantu. Kemudian jika kita sudah tahu syarat-syaratnya maka langkah selanjutnya adalah persiapan. Sebelum kuliah di luar negeri, ia juga belajar untuk mandiri. Jauh dari tanah air dan keluarga mengajarkannya banyak hal seperti, lebih menghargai waktu, untuk mengatur kebutuhan sendiri selama kuliah, ia juga punya teman baru. Waktu mulai berjalan meraih suatu impian ia wujudkan bisa kuliah di Polandia. *** Aku semenjak sekolah di SMAN 38 Jakarta, dengan semangat belajar ingin berusaha dengan sekuat tenaga untuk mewujudkan bisa kuliah di luar negeri di Polandia. Akhirnya, aku bergabunglah dengan PPI Dunia sejak September 2017. Di situ juga Tifani ingin mengenalkan cara belajar mereka dengan bisa mendapat beasiswa di Eropa. Awalnya aku ingin merasakan sistem pendidikan Eropa, ingin merasakan minoritas, mempelajari budaya baru di luar negeri dan bisa mengembangkan ahli di bidang Teknik Material.
66
Menyandang Mimpi Tifani dengan serius belajar agar nantinya ketika S-2 kuliah luar negeri. Tak menyangka kedua orang tua mengizinkan aku bisa bergabung di PPI Dunia, meskipun aku S-1 masih kuliah di Universitas Indonesia. Semampu mungkin aku fokus dulu belajar dan tidak akan mengecewakan mereka yang sayang denganku—bahwa ingin seorang gadis ini bernama Altifany Rizky Hayyu berhasil melanjutkan S-2 di Polandia. Jangan pernah bermimpi, tapi wujudkanlah! Mimpi sudah seperti sebuah janji yang harus ditepati dengan rasa tanggung jawabnya Aku punya tekad, menaklukannya.
jangan tanggung-tanggung
Perjuangan selalu ada di dekatmu, dengan kuliahmu salah satu harapanku, cintailah ilmu supaya betah sebab ilmu ialah kendaraan masa depanmu. Aku siaga untuk siap melakukan itu, yang pertama mulailah berawal dari istiqamah, berikhtiar dan berdoa kepada Allah SWT. Janganlah mudah putus asa untuk demi mewujudkan harapanmu. Memang aku adalah keluarga sederhana tetapi orang yang sederhana pun juga gak melihat dari kemewahan mereka punya. Ternyata hidup ini pahit seperti kopi yang tak ada apa-apanya. Ketika itulah aku mulai sadar apa yang ada di sekeliling kita saat ini. Aku berangkat bersama selama dua hari, transit dari Bandara Heathrow London Inggris dan lanjut ke
67
Menyandang Mimpi Warsaw Chopin Polandia. Sampailah aku di Dormitori Politechnika Krakowska pada malam hari dibantu oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Polandia. Aku alasan ingin bergabung dengan PPI Dunia karena ingin kontribusi untuk Indonesia dari luar negeri, aku di sini senang bisa gabung dan dikenal dengan orang hebat. Aku bergabung PPI Dunia setelah dapat beasiswa luar negeri. Asyiknya Polandia adalah salah satu negara belahan Eropa Timur yang memang terkenal dengan tempat wisata bersejarah dan gothic. Setelah berangkat dari Soekarno-Hatta Jakarta, aku menuju Bandara Kuala Lumpur Malaysia untuk bertemu dengan teman-teman sesama penerima beasiswa yang semua cowok. *** Perjalanan ini yang begitu panjang dan ada drama. Sebab, aku dan teman ketinggalan naik trem yang sangat tepat waktu. Kesan aku pertama di negara berbendera putih-merah Polandia yang paling menonjol adalah cuacanya. Sekitar 9-11 derajat celcius di musim gugur. Setiap aku ingin keluar beraktivitas, aku harus mengenakan baju dabel dipadu dengan jeket dan sarung tangan untuk bertahan dengan dingin, harus sering bergerak. Kedua, aku pelajari bahasa. Awal-awal aku sampai di Polandia, aku sering menggunakan bahasa tubuh berkomunikasi dengan warga Polandia. Hal itu terjadi karena hanya sedikit warga Polandia yang bisa
68
Menyandang Mimpi berbahasa Inggris. Begitupun saat menjelajahi berbagai jalanan di Kraków, semuanya menggunakan bahasa Polandia. Itu semua belum kami mengerti. Namun, kami cukup terbantu dengan adanya aplikasi translator yang cukup mampu menerjemahkan tulisan dan ucapan secara instan. Hal lain yang tak kalah mengejutkan ialah biaya hidup di Polandia. Percayalah bahwa hidup di Eropa itu tak semahal yang dipikirkan. Di Kraków, harga satu kilogram disini makanan pokok seperti kentang hanya 0,89 zloty atau setara dengan harga Rp. 3.342 per kilogram. Bisa dibilang biaya hidup, Kraków juga mirip dengan di Jogjakarta dari suasananya. Terutama, sebagai kota pelajar sekaligus kota wisatanya di Polandia karena menampilkan cagar budaya dan alam yang indah. Salah satu itu ialah Wawel Castle, salah satu tempat yang masuk dalam daftar UNESCO’s World Heritage. Wawel Castle itu ialah dimana tempat pengungsian para kaum yahudi saat bernazi berniat untuk memburu mereka padam masa Perang Dunia II. Kraków adalah salah satu kota tertua dan terbesar di Polandia yang memiliki salah satu universitas tertua dan terbesar di benua Eropa. Sebut saja Jagiellonian University dan AGH University of Science Technology.
69
Menyandang Mimpi Hidup di sini begitu nyaman, karena hampir tak ada kemacetan. Sehingga polusi udara yang menganggu pernapasan begitu minim. Selain itu, Fasilitas di domitori sangat lengkap, peralatan laboratorium canggih dan muktahir. Tetapi untuk mencuci pakaian bisa menggunakan laundry dan air panas yang tidak dikenakan biaya tambahan. Air mentah pun bisa langsung diminum namun, untuk berjaga-jaga aku menggunakan penyaring air. Selain itu, kami di sini mendapat fasilitas dapur kamar tidur dan kamar mandi yang lengkap. Tetapi, karena letak dormitori Policthenika Krakowska kurang strategis, maka semua operator seluler mampu memberikan layanan internet yang mampuni. Minggu awal belajar di Polandia begitu membekas. Tak seperti di Indonesia yang tak memiliki jeda khusus antara satu sesi kuliah dengan lainnya. Di Polandia terdapat jeda 20 menit untuk refresing pikiran selama satu sesi. Selain itu di Polandia aku juga sambil kerja part time. Selain itu, belajar bahasa di sini aku begitu menyenangkan karena selalu diselingi dengan permainan seperti bingo, sampai domino. Permainan ini efektif mengasah kemampuan dalam berbicara, mendengarkan, menulis dan juga membaca mahasiswa. Di kelas bahasa, aku satu kelas dengan mahasiswa bersama penerima beasiswa Ignacy Lukasiewicz dari seluruh dunia seperti Portugal, Columbia, Vietnam, dan Meksiko.
70
Menyandang Mimpi Setelah aku seminggu beradaptasi di Polandia dan menjadi diaspora baru kini, aku siap untuk menguasai bahasa Polandia. Penting supaya mampu berkomunikasi dan kuliah S-2 dengan nyaman. Dengan keyakinan aku melanjutkan S-2 di Polandia kalau diterima tentunya kita harus semangat usaha terus banyak doa dan konsisten.
71
Menyandang Mimpi
Menjemput Ilmu Oleh: Syafrita
Perkenalkan Aku, Si Penyuka Warna Oranye
I
nilah aku, Isma Eriyati. Aku biasa dipanggil Isma. Perempuan yang selalu bermimpi memiliki rumah berwarna jingga dan penggemar boneka Garfield. Aku memiliki motto hidup “There is nothing impossible as long as you make your best effort whole heartedly and keep patiently praying for that�. Aku adalah anak tunggal dari keluarga kelas menengah. Orang tuaku pedagang sembako dan ayah juga bekerja sebagai Kepala Lingkungan. Tapi itu tak menyurutkan niatku sama sekali untuk sukses. Semua berawal dari mimpi yang kuukir sejak tamat S-1 dulu. Mimpi yang akhirnya membawaku ke Negeri Kangguru. Tak menyangka bagaimana Tuhan
72
Menyandang Mimpi menakdirkan ini sedemikian indah. Berbekalkan ilmu yang aku dapatkan dari pendidikan yang berhasil aku tamatkan pada 2015 lalu di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Unimed menjadi modalku memberanikan diri mencoba beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari pemerintah Indonesia. Keinginan Menjadi Dosen Saking kebeletnya menjadi dosen, aku selalu berpikir bahwa biaya S-2 itu mahal, lalu bagaimana caranya aku bisa melanjutkannya? Aku mulai mencari-cari beasiswa. Bertanya ke kakak kelas, ke dosen yang dulu sangat aku sukai riwayat pendidikannya bahkan sampai googling. Awalnya pilihannya jatuh di Universitas Negeri Malang namun, seorang kakak kelas menyahutiku saat diskusi waktu itu dengan perkataannya yang membuka celah pikiranku. “Ma, kenapa sih nggak coba luar negeri saja? Kalau bisa di luar negeri, kenapa di dalam negeri? Lagian kan jurusannya bahasa Inggris, pasti akan lebih baik kalau kita itu kuliahnya di negara yang memang menggunakan bahasa Inggris sehari-harinya,� katanya padaku. Sontak selepas itu aku berpikir untuk mengikuti sarannya. Aku sidang meja hijau pada Juli 2015, tapi baru diwisuda Oktober 2015. Pada saat itulah aku sudah mendapatkan info tentang beasiswa LPDP. Usai dinyatakan tamat dari program S-1, aku memutar otak untuk memenuhi segala impianku untuk bisa melanjut-
73
Menyandang Mimpi kan S-2. Masalah biaya memang menjadi kendala yang membuatku harus mencari pekerjaan dengan bayaran yang memuaskan. Perjuangan dan Pengorbanan Rasa tidak enak hatiku selalu muncul pada orang tua yang akhirnya membawaku mandiri untuk mencari penghasilan sendiri setelah tamat dari S-1. Dalam kurun waktu sekitar setahun dari wisuda S-1-ku, aku menjalani beberapa pekerjaan dengan maksud mengumpulkan uang untuk mengikuti berbagai persiapan program beasiswa itu. Sebenarnya berbagai penawaran datang kepadaku saat itu, apalagi dari sekolah-sekolah tempatku dulu pernah belajar. Namun, aku menolaknya karena sebenarnya aku mengejar penghasilannya saja. Akhirnya aku memilih mendaftarkan diri di sekolah yang lumayan bonafit di sini yaitu di Nanyang Zhi Hui Modern Indonesian School. Aku bekerja sebagai guru TK yang berangkat mulai pukul 16.00-15.00 WIB. Lantas berpikir kenapa memilih TK? Karena aku belum pernah sama sekali mengajar di TK. Jadi ilmu ini akan berguna untuk ke depannya bisa tahu seperti apa rasanya mengajar di TK . Selain itu aku juga memiliki pekerjaan kedua yaitu sebagai supervisor guru bahasa Inggris di sebuah kursus bahasa Inggris yang dimulai pukul 16.00-21.00 WIB. Pada saat itu biaya yang harus aku keluarkan untuk mengikuti tes IELTS sekitar Rp. 2,8 juta untuk sekali
74
Menyandang Mimpi tes. Jadi dengan biaya yang mahal itu, aku tidak mau terbuang sia-sia. Aku melakukan persiapan sekitar tiga sampai empat bulan lamanya. Tak lupa juga itu semua haruslah dimulakan dengan meminta restu kepada orang tua. Persiapan Program Beasiswa LPDP Persiapan perlu dibuat sedini mungkin. Persiapan finansial utamnya untuk mengikuti tes IELTS yang menjadi salah satu persyaratan beasiswa LPDP. Sebelum mengikuti tes, aku selalu belajar di manapun dengan membawa modul yang sengaja aku print di rumah. Bagiku hal itu sangat memudahkanku terutama saat melakukan tes simulasi nanti. Ternyata tidak cuma itu saja yang kuperlukan untuk mendukung persiapan meraih beasiswa itu—berbekal pengalaman masa menjadi mahasiswa S-1 dulu juga memberikanku banyak gambaran tentang mahasiswa aktif dan partisipatif. Semuanya haruslah seimbang. Kita tidak hanya dituntut untuk pintar akademis namun, nonakademis juga harus. Lalu bagaimana menyeimbangkannya? Menurutku, ikut organisasi adalah salah satu pilihan yang tepat untuk mengembangkan kemampuan interpersonal, membangun komunikasi dengan orang lain, bertemu dengan banyak orang, saling beradaptasi dan berargumentasi untuk mengasah diri sesuai dengan bidang keahlian kita. Itulah sebabnya aku dulu banyak mengikuti beberapa organisasi kampus dan kegiatan volunter lainnya. Persiapan yang matang itu mutlak,
75
Menyandang Mimpi luruskan niat, ikuti banyak kegiatan yang memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu kuliah. Sewaktu persiapan, aku masih bingung mau memilih jurusan apa. Setelah berkompromi dengan diri sendiri, aku mendapatkan beberapa gambaran seperti Master of Teaching, Master of Education, ada juga Master of Childhood Education. Jadi, pada masing-masing jurusan itu aku cari tahu mengenai output-nya akan seperti apa. Beautiful Thing Comes to Me Alhamdulillah, aku ikut mulai Juli 2016 dan dinyatakan diterima di Jurusan Master of Education (TESOL) University of New South Wales (UNSW) pada September 2016. Ada perasaan nggak nyangka yang selalu membatin dalam diriku sekaligus sangat bahagia. Bahkan aku nggak percaya bisa lulus di sana. It’s so wonderfull to me! Yes alhamdulillah! Jujur sejujur-jujurnya, pencapaianku sampai tahap ini adalah berkat doa dari semua orang yang sudah aku terima. Termasuk doa dari orang tua, teman-teman dan banyak sekali. Alhamdulillah banget aku dikelilingi oleh orang-orang baik yang penuh rasa syukur. Sampai detik ini pun aku masih sangat percaya, doa itu luar biasa. Kendalaku Penyemangatku Sekali lagi aku tegaskan, aku adalah anak satu-satunya. Aku yang selama lebih dari dua dekade ini selalu tinggal bersama keluarga besarku dengan segala
76
Menyandang Mimpi riuh celotehannya. Kini harus tinggal di salah satu dari delapan kamar kecil di rumah yang berjarak 500 meter dari kampus dengan orang-orang yang baru kukenal. Tidak ada lagi mereka yang selalu menyiapkan telinga dan dekapan hangat, menanyakanku apa yang telah kulalui sepanjang hari saat aku di luar rumah, yang ada hanya sapaan dan senyum kecil saat kami tak sengaja berpapasan di lorong-lorong rumah. Teringat ujaran seorang teman, “Sudah sampai sana juga, Ma. Hadapi. Jangan mundur selangkah pun!� Aku tentu tidak mau membuat bulir air mata yang sudah entah berapa banyak keluar sia-sia dari mata umi dan abiku. Belum lagi untaian doa yang mereka panjatkan siang dan malam untuk anak perempuan mereka yang makannya banyak ini. Seiring berjalannya waktu, semua menjadi lebih baik. Terlebih saat aku dipertemukan dengan orangorang baik yang membuat Sydney terasa seperti rumah yang penuh dengan gelak tawa saudara-saudaraku tentunya di tengah hiruk pikuk tugas yang segunung. Ya, mereka saudaraku, yaitu Keluarga Pelajar Islam Indonesia-Sydney. Sebulan pertama di kota yang terkenal dengan Opera House-nya ini adalah masa yang sulit bagiku. Setiap ditelepon oleh orang tua, aku selalu menahan tangis karena nggak ingin membuat mereka khawatir. Pernah beberapa kali menangis sampai ketiduran. Saat paginya, bantal sudah basah. Di situ aku merasa sangat kesepian, aku sadar bahwa sudah cukup waktu
77
Menyandang Mimpi sebulan aku sia-siakan. Aku terus mengingatkan diriku untuk tidak meratapi rasa sepi dan rindu yang makin menjadi-jadi. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mencari lebih banyak mahasiswa yang juga berasal dari Indonesia dan mulai berteman. Syukurnya ada banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di universitas yang sama denganku. Aku mulai sering berkumpul setiap kali ada kesempatan, aku juga berusaha untuk bisa ngobrol lebih sering dengan mereka. Ternyata benar, menjalin pertemanan dengan mahasiswa Indonesia lainnya begitu banyak membantuku meredam rasa rinduku akan rumah dan orang-orang terdekatku. Masih begitu jelas di benakku tentang hari pertamaku mengikuti perkuliahan. Aku begitu terpukul karena bahasa Inggris yang telah aku pelajari seumur hidupku tidak membantuku untuk memahami yang dikatakan oleh orang-orang di kelas pada saat itu. Mungkin faktor penyebabnya adalah rasa gugupku tentang begitu banyaknya aksen yang tidak biasa aku dengar, tempo mereka saat berbicara. Semua hal tersebut sukses berat membuatku kebingungan. Aku mulai mempertanyakan diri sendiri. “Kalau begini, bagaimana bisa belajar dan nyelesaikan tugas nantinya, orang ngomong apa juga nggak paham,� batinku. Saat kelas usai, aku memberanikan diri untuk menghampiri dosenku yang kebetulan merupakan kepala program studiku. Beliau sama seperti dosen lainnya, baik, dan ramah. Setelah mengeluarkan
78
Menyandang Mimpi semua unek-unekku kepadanya mengenai apa yang aku alami barusan, aku merasa sangat lega. Beliau mengatakan, “Saya paham dengan apa yang kamu rasakan saat ini, tapi percayalah, kamu hanya butuh waktu sebelum terbiasa dengan semuanya.� Kata-kata yang terlontar dari mulut beliau saat itu seolah memberikanku semangat berkali-kali lipat. Setidaknya aku merasa, ada orang lain yang memahami keadaanku. Hingga pada akhirnya aku menyelesaikan pendidikan S-1 Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang linear dengan studi magister ini dengan hasil yang terbilang memuaskan. Hal itu membuatku begitu percaya diri untuk bisa melanjutkan pendidikanku di negara yang bahasa resminya adalah bahasa Inggris. Aku juga telah memenuhi kriteria minimal kemampuan bahasa Inggris yang dipersyaratkan dari jurusanku, sehingga aku berasumsi bahwa kecakapanku akan cukup untuk mengikuti pelajaran dan menyelesaikan tugas dengan baik. Namun kenyataan berkata lain. Aku begitu kesusahan untuk mengerjakan tugas esai dua sampai empat ribu kata yang diberikan dosenku. Memang, kuakui kemampuan menulisku tidak lebih baik dari kemampuanku berbicara. Tapi aku tidak  pernah membayangkan bahwa tugasnya akan sesulit itu bagiku. Aku tidak begitu bisa merangkai kalimat-kalimat dengan akurat menceritakan ide yang aku miliki. Belum lagi, aturan plagiarisme dan rujukan yang begitu ketat.
79
Menyandang Mimpi Lagi dan lagi, untung saja kampus memfasilitasi bantuan belajar untuk mahasiswanya (salah satu nilai plus terkait perkuliahan di negara maju). Dosen juga telah membagikan panduan penilaian serta instruksi yang runtut, hingga akhirnya aku bisa menyelesaikan esai tepat waktu. Aku sebenarnya cukup yakin bahwa apa yang kutulis telah memenuhi kriteria yang diminta oleh dosen. Namun, aku harus kecewa untuk kesekian kalinya karena, aku hanya mendapatkan ‘Credit (kisaran nilai 66-75)’ untuk tugas yang kukerjakan. Padahal aku sudah mengerahkan segenap ilmu dan tenaga yang kupunya—kenyataan ini seakan menamparku, aku tersadar bahwa aku tidaklah secemerlang apa yang aku pikirkan sebelumnya. Kemudian aku memahami bahwa selama ini aku terkungkung oleh paradigmaku sendiri. Aku seharusnya memahami bahwa aku tidak lagi bisa mengacu pada standar penilaian seperti saat kuliah S-1 dulu. Jadi, kita jangan bandingkan standar kriteria di sini dengan yang ada di sana. Namun, aku tidak mudah menyerah, aku tetap memacu semangatku, hingga aku mampu menyelesaikan pendidikanku dengan nilai yang cukup memuaskan.
80
Menyandang Mimpi
Mereguk Ilmu di Negeri para Nabi Oleh: Diana Aliya
M
embanggakan orang tua pasti menjadi cita-cita semua anak. Belajar dengan penuh kesungguhan salah satu jalan meraih kebanggaan orang tua. Apalagi bersekolah di tempat yang diimpikan orang tua kita dulu. Ladang ilmu yang tidak sempat ayah atau ibu kita meraih cita-citanya di situ namun, rezeki itu ada di tangan kita, anaknya. Orang tua mana yang tidak bangga akan hal itu? Terlebih lagi ladang ilmu itu berada di negeri nun jauh. Seorang sahabat lama, bernama Naimah Nurain Manurung berhasil melukis kebanggaan orang tuanya dengan melanjutkan studi S-1-nya di sekolah impian ayahnya. Universitas Al Azhar Asy Syarif Kairo, Mesir. Bukan main senang hati ayahnya, anak perempuan kesayangan ayahnya itu mampu menjejakkan kakinya
81
Menyandang Mimpi untuk mengeruk ilmu dan hikmah kehidupan di Negeri para Nabi impian ayahnya itu. Tapi, Naimah mengaku bahwa ayahnya tak memberikan sikap khusus penanda rasa bangganya. Cuma, ayahnya pernah menyampaikan sepotong kalimat yang menyatakan bahwa dirinya bangga terhadap putri sulungnya itu. Menurutnya, ayahnya bukanlah tipe orang yang lihai bermain kata dalam mengungkapkan perasaan. “Ayah ana jaim gitu buat nunjukin kebanggaannya. Hahaha,” tawa renyahnya ikut nimbrung di tengah sebait kalimat yang belum usai. Tak lama, ia meneruskan bait kalimat yang sempat terputus tadi. ”Ayah ana bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Tapi kemarin itu ayah ana pernah bilang kalau ayah ana bangga sama ana. Gitu aja sih,” katanya menuntaskan bait kalimat itu yang disisipkan kata ganti orang pertama dalam bahasa Arab. Seakan dejavu, kata “ana” yang keluar dari mulutnya membuatku bernostalgia dengan masa-masa di pesantren. Bercakap-cakap bersamanya menggunakan bahasa Arab gaya anak pesantren yang jauh dari kata fasih. Keberuntungan Naimah seorang alumni dari Pesantren Darul Arafah Raya yang terletak di Desa Lau Bakeri, Deli Serdang. Seorang peraih Juara I Umum se-pesantren pada 2016 sangat disayangkan jika tidak melanjutkan
82
Menyandang Mimpi studinya ke luar negeri. Ia tak hanya jago di pelajaran pondoknya saja loh, ya! Pesantren yang berbasis modern ini juga mengajarkan para santri pelajaran umum. Layaknya di sekolah umum yang ada jurusan IPA dan IPS. Nah, Naimah jago di kedua bidang tersebut. Buktinya ia beralih jurusan dari IPS ke IPA pada tingkat 2 SMA yang kebetulan sekelas denganku. Saat ditanya alasannya, bukan tidak cocok di bidang itu. Namun, ia akan mengambil jurusan yang ada sangkut-pautnya dengan IPA di perkuliahan S-1-nya. Memang pada dasarnya beliau keturunan berotak encer. Ia mampu mengejar ketertinggalan rumus-rumus Fisika dan Kimia yang sudah kami lahap duluan. Meskipun kewalahan di semester 1 namun, ia mampu berlari kencang di semester 2 sehingga mendapatkan juara 1 yang tak hanya di kelas tapi se-pesantren. Alhamdulillah-nya, ia diberangkatkan umroh ke Tanah Suci oleh pihak pesantren sebagai hadiah atas juara 1 umumnya itu. Wah, luar biasa! Hakikatnya, orang-orang beruntunglah yang akan menang. Karena keberuntungan berada di pihaknya, seorang gadis kecil tamatan SMPN 4 Pematang Siantar ini atas izin Allah diringankan langkahnya menimba ilmu agama di pesantren ternama di Medan. Dari sanalah Allah berkehendak menghadiahinya kesempatan menginjakkan kakinya di Tanah Haram. Kemudian, dari Penjara Suci itu pula langkahnya diperpanjang hingga ke Negeri para Nabi guna mengeruk ilmu dan hikmah kehidupan.
83
Menyandang Mimpi Takdir Ilahi Merasa itu sebuah takdir dari Yang Maha Kuasa, Naimah sendiri mengatakan bahwa dahulu tidak ada rasa ingin menimba ilmu di luar negeri. Dorongan dari hati nurani, asa, dan cita-cita pun tak ada. Hanya tergerak dari ajakan seorang ustaz yang merupakan alumni dari universitas ternama Negeri para Nabi itu. “Aku tak pernah kepikiran bersekolah di negeri orang. Sebuah kebetulan seorang alumni universitas ternama di Mesir menawarkanku mengikuti jejaknya untuk menimba ilmu ke sana. Ada secercah angin segar datang. Aku menyebutnya takdir,� seakan kumelihat binar di wajahnya, ia berucap itu penuh semangat. Restu Orang Tua Begitu istimewanya anak perempuan, hingga orang tua baik ayah maupun ibu sangat susah melepas gadis kecilnya ke manapun mereka pergi. Bahkan, untuk tujuan yang baik sekalipun, seperti menuntut ilmu, tak jarang orang tua yang terlalu posesif melarang anak perempuannya mewujudkan asanya. Faktanya, orang tua selalu menganggap anaknya anak kecil walaupun usia mereka telah menginjak dewasa. Lain halnya dengan anak laki-laki, mereka bebas berkelana ke manapun untuk mewujudkan cita-citanya. Namun, tergantung orang tuanya juga. Ada sebagian orang tua yang mengizinkan anak-anaknya menimba ilmu ke manapun yang diinginkan si anak, baik anak laki-laki maupun perempuan. Bertentangan dengan itu, ada
84
Menyandang Mimpi pula orang tua yang tidak juga memberikan izin kepada anak laki-lakinya pergi menimba ilmu di negeri orang. Intinya, semua itu tergantung keadaan orang tua atau pun anak. Begitu pula dengan Naimah, kelulusannya di universitas yang menjadi salah satu latar tempat di film Ayat-Ayat Cinta itu tak disambut hangat oleh kedua orang tuanya. Namun, atas jerih payahnya dalam merayu sang ayah yang akhirnya hatinya lunak juga. “Waktu itu ketika Bulan Puasa sebelum pengumuman kelulusan Al Azhar, keluar pengumuman kelulusan SBMPTN. Dengan memalukannya, ana nggak lulus di SBMPTN,” tawa yang tertahan di ucapannya terdengar jelas di voice note via WhatsApp yang aku putar. “Lalu selang beberapa hari, keluar pengumuman kelulusan Al Azhar. Dengan terkejutnya, Alhamdulillah ana lulus. Tapi sayangnya ana lulus di non-beasiswa. Sebelumnya ana dan ayah pernah buat kesepakatan kalau ana nggak lulus di jalur beasiswa Al Azhar, ana nggak berangkat ke Mesir karena bermasalah di dana. Tapi ana terus membujuk ayah biar dikasih berangkat ke Mesir. Lambat laun, ayah akhirnya lunak juga. Alhamdulillah, ana dikasih berangkat ke Mesir. “Belajarlah bagus-bagus, nak!’ Itu perkataan ayah pertanda ngizini ana berangkat ke Mesir,” ceritanya dengan bahagia karena diberikan izin berangkat ke Mesir oleh ayahnya. “Jadi setelah itu, ayah ana mulai kepo dengan Mesir. Mencari-cari tahu keadaan disana dan pelbagai aktivitas Mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir hingga
85
Menyandang Mimpi masyarakatnya dari A sampai Z. Sebegitu khawatirnya ayah ana sama ana. Ya… Namanya ngelepas anak perempuan pertamanya merantau di negeri orang yang belum ada pengalamannya sama sekali. Paling jauh cuma mengenal Medan. Itupun karena ana sekolah di Medan. Jadi, ya wajar sih khawatir,” Katanya masih bersemangat. Indahnya Negeri para Nabi Di setiap tempat yang baru kita datangi pasti ada kesan tersendiri. Apakah itu senang, bahagia, menakjubkan, atau malah sedih dan kecewa. Sama halnya dengan Naimah, Mesir seakan menyumpal mulutnya hingga tak dapat berkata-kata karena takjub. Maklum, itu kali pertamanya menaruh kaki dan kepala beserta badannya di Mesir. “Ana benar-benar speechless ketika melihat pemandangan kota Mesir dari atas pesawat. Subhanallah… begitu indah walaupun gersang. Ketika sampai di bandara, ya biasa aja. Namanya juga bandara. Di bandara kami sudah ditunggu dengan abang dan kakak alumni Darul Arafah yang ada di Mesir. The real speechless, yaitu di sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal kami. Dalam hati masih belum nyangka sudah menyusuri jalanan kota Mesir. Kali ini benar-benar nyata tampak bangunan menjulang tinggi yang nyaris sama semua. Kalimat masyaallah tak luput keluar dari lisan kami, para pendatang baru ana, Nadila, dan Najihah,” katanya berkisah yang dapat kutebak ia sedang sumringah. FYI, Nadila, dan Najihah adalah teman seperjuangan-
86
Menyandang Mimpi nya dan juga aku semasa di pesantren. Dari angkatan kami, mereka bertigalah yang berangkat ke Mesir. “Benar-benar nggak nyangka aja udah sampai di Mesir. Rasanya seperti mimpi, loh. Herannya lihat bangunan-bangunannya tinggi, besar, warna, dan bentuknya sama semua. Padahal itu berbeda. Tapi begitulah pertama melihat bangunannya. Indahnya Negeri para Nabi ini. Alhamdulillah, ya Allah‌ telah Engkau sampaikan hamba ke sini,â€? ucapnya sambil bersyukur. Daurul Lughah Jika ingin belajar di luar negeri, mesti paham bahasanya dulu, agar ilmu mudah diterima. Naimah mengatakan bahwa setelah sampai di Mesir, Al Azhar tidak langsung menerima mereka. Harus kuasai bahasa Arab Fushah dan bahasa Mesir dahulu, barulah mereka diterima. Bahasa Arab Fushah, bahasa murni/baku didapatkan dari Daurul Lughah (semacam les privat) sedangkan bahasa Mesir yang menggunakan bahasa Arab Amiyah (bahasa pasaran) bisa dikuasai dengan tiga cara. Pertama, secara alami didapatkan dari bergaul dengan orang-orang Mesir. Kedua, minta diajarkan oleh kakak kelas yang paham. Ketiga, belajar otodidak melalui buku bahasa Arab Amiyah yang dibuat oleh orang Indonesia. Namun, lebih ampuh dengan cara pertama. “Jadi setelah kita sampai Mesir, nggak bisa langsung masuk kuliah. Tahun pertama kita habiskan dengan Daurul Lughah di Markaz. Daurul Lughah ini kita belajar bahasa Arab Fushah. Jadi sebelum masuk Daurul Lughah
87
Menyandang Mimpi ini, kita harus mengikuti seleksi, namanya Tahdid Mustawa untuk mengetahui tingkatan Daurul Lughah. Setelah pengumuman seleksi, baru kita tahu kita lulus di tingkat yang mana. Nah, di Daurul Lughah ini ada tujuh tingkatan, yaitu Mubtadi Awal (pemula awal), Mubtadi Tsani (pemula akhir), Mutawasith Awal (menengah awal), Mutawasith Tsani (menengah akhir), Mutaqoddim Awal (lanjut awal), Mutaqoddim Tsani (lanjut akhir), dan Mutamayyiz (khusus). Waktu seleksi pertama ana lulus di Mutawasith Tsani. Dan alhamdulillah sekarang ana udah di Mutamayyiz,” katanya menjelaskan. “Sistem pembelajaran di Daurul Lughah hampir sama seperti belajar bahasa Arab di pesantren. Bedanya di sini yang ngajar orang Mesir asli,” katanya sambil tertawa. “Di sini sistem pembelajarannya ada empat maddah (sistem pembelajaran utama). Pertama Istima, kita dilatih mendengarkan cerita dalam bahasa Arab. Setelah itu Nash (teks) yang kita dengar tadi diberikan soal untuk dijawab. Kedua, Qiraah, kita diberikan teks, lalu jawab pertanyaan yang berhubungan dari teks itu. Ketiga, Qawaid, kaidah-kaidah bahasa Arab, yaitu Nahu Saraf, dan Balaghah yang dipelajari. Keempat, Kitabah (kepenulisan), pada maddah ini diajarkan bagaimana cara membuat Maqalah dan Nash. Kemudian di akhir Mutamayyiz nanti akan disuruh buat bahs,” Katanya panjang lebar menjelaskan maddah yang bikin otak berputar bagai kincir angin. “Dulu Daurul Lughah nggak wajib sama sekali. Namun semenjak tahun 2013, pemerintah Indonesia mewajibkan Daurul Lughah bagi seluruh mahasiswa
88
Menyandang Mimpi Indonesia yang lulus kuliah ke Mesir,” Tulisnya di chat kami via WhatsApp Messengger. Diwajibkannya Daurul Lughah bagi mahasiswa Indonesia yang telah dinyatakan lulus di Al Azhar dinilai menunda mahasiswa duduk di bangku perkuliahan. Namun disamping itu, rasa peduli pemerintah akan skill bahasa Arab mahasiswa tak mempermasalahkan itu. Karena akan membuahkan hasil yang sangat manis. Daurul Lughah memperindah bahasa Arab mahasiswa Indonesia. Jadi tak sia-sia belajar jauh-jauh ke Mesir. Seperti kata pribahasa Indonesia, Sambil menyelam minum air. Ternyata Daurul Lughah tak didapatkan percuma, loh. Mahasiswa harus bayar per tingkatnya. “Lama per tingkatnya satu bulan setengah yang memakan biaya 660 Pound EGP per tingkat. Jadi mata uang di sini banyak sebutannya. Bisa dibilang Pound EGP atau Gineih atau LE. Kalau dirupiahkan sekitar 528 ribu. Tapi, Alhamdulillah-nya di Al Azhar nggak ada bayar uang semester. Kita cuma bayar ijra’at (uang kuliah) pertama kali saat memasukkan data ke Al Azhar aja. Untuk seterusnya gratis sampai tamat,” Napas leganya terdengar di akhir ucapnnya. “Dapat info dari kakak kelas, beberapa tahun yang lalu ijra’at-nya sebesar 200-an LE. Kemungkinan di tahun ini naik jadi 500-an LE. Karena belum mengalami, jadi belum tahu berapa besaran angka ijra’at pertama masuk Al Azhar,” katanya yang masih menduga.
89
Menyandang Mimpi Ready to be A Student of Al Azhar Asy Syarif University of Cairo Walaupun kuliahnya ditunda, tapi ia telah sejak dini mematangkan pilihannya pada jurusan yang akan digelutinya. “Rencana mau masuk di jurusan apa seharusnya sudah dipikirkan ketika masih di Indonesia. Karena waktu daftar ulang pertama kali di Mesir juga ditanyakan mau masuk jurusan apa. Jadi ketika ijra’at udah matang pilihan jurusannya. Alhamdulillah ana udah nentukan pilihan, yaitu Fakultas Ushuluddin,” katanya antusias. Ia juga menjelaskan bahwa sistem akademik di Ushuluddin berbeda dengan fakultas yang lain. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin memilih jurusan yang akan mereka tekuni pada semester ketiga yaitu Tafsir, Hadis, Akidah dan Filsafat, dan Dakwah. Pada semester pertama dan kedua, seluruh mahasiswanya menggeluti pelajaran yang sama. Tapi kalau Fakultas Syariah wal Qanun, dari semester awal sudah dibagi jurusannya, yaitu Syariah Islamiyah dan Syariah wal Qanun. Kemudian Fakultas Lughah (Bahasa) juga demikian, mahasiswanya wajib memilih jurusan pada awal semester, yaitu Lughah dan At Tarikh wal Hadharah. Insyaallah pada September nanti ia akan mendaftar ulang dan membayar ijra’at di Al Azhar. Ia pun turut meminta doa dariku agar semuanya berjalan lancar. “Insyaallah Bulan Sembilan nanti ana akan ijra’at pertama ke Al Azhar. Jadi doakan ana, ya biar semuanya berjalan lancar,” pintanya tulus.
90
Menyandang Mimpi Hayya Nata’allam Ila Khârijid Dâr! (Ayo! Belajar ke Luar Negeri) “Walaupun awalnya sulit berbaur dengan orang Mesir karena beda bahasa, namun lambat laun kita akan terbiasa dengan mereka. Lama-lama kita akan lancar berkomunikasi dengan mereka. Namun, itu kan kendala di awal. Selebihnya di sini menyenangkan!” ucapannya begitu mendorong semangat untuk ke luar mengikutinya. Ia juga mengatakan bahwa bahan pangan khas Indonesia, seperti tahu dan tempe tidak susah dicari. Karena orang Indonesia telah banyak yang bermigrasi ke sana. Rumah makan atau restoran Indonesia, Malaysia, dan Thailan yang cita rasanya sama juga mudah dijumpai di Mesir. Kemudian ia juga mengaku bahwa di Mesir biaya kehidupan sehari-hari sangat murah. Naimah sangat merekomendasikan teman-teman sekalian agar bersekolah ke luar negeri. Ia berpesan, “Buat teman-teman, ana doakan bisa memiliki kesempatan yang sama sekolah ke luar negeri. Nggak mesti ke Mesir, sih. Ke mana aja tempat yang kalian impikan. Kalau sekolah ke luar negeri itu punya kebanggaan tersendiri, loh ya! Hahaha,” sambil berucap, lagi-lagi gelak tawanya tak dapat ditahannya. “Siapa yang nggak bangga bisa berada di luar negeri, hidup dengan orang asing yang nggak pernah dibayangkan? Megang duit yang belum pernah dipegang sebelumnya? Belajar bahasa yang belum pernah dipelajari sebelumnya? Ah… itu semua amazing, khususnya buat ana sendiri.
91
Menyandang Mimpi Alhamdu lillah ‘ala kulli ni’matillah‌ Intinya, apa yang kalian dapat di luar negeri, belum tentu didapat di Indonesia. And I felt it. Syukran!â€? kata-katanya seakan membius. Aku pernah membaca syair Imam Syafii yang meyuruh agar kita merantau untuk mencari ilmu dan hikmah kehidupan karena, seekor singa hanya akan menjadi kucing jika tidak meninggalkan sarangnya. Anak panah yang tak terlepas dari busurnya tak kan mengenai sasaran. Banyak hikmah yang dapat dipetik di perantauan. Seorang guru juga pernah mengatakan bahwa dengan belajar ke luar negeri, pikiran kita akan terbuka luas. Membandingkan antara negeri kita dan negeri mereka. Membanggakan orang tua pastinya. Naimah sudah membuktikannya, kita kapan?
92
Menyandang Mimpi
Pejuang Tangguh Oleh: Nurhalimah Syafira
S
enyuman manis terpancar dari bibir seorang wanita yang kulihat di foto profil WhatsApp kala itu, mengingatkanku akan seseorang yang menjadi inspirasiku saat ini. Kumengenalnya melalui sahabatku, wanita berkulit sawo matang mengenakan kerudung bunga itupun mulai menjadi pusat perhatianku. Bergetar jari-jariku mengetikkan huruf demi huruf, kata demi kata, hingga menjadi sebuah kalimat boleh saya ganggu waktunya bu? sepertinya terdengar mendadak ya, tapi mau bagaimana lagi. Bagiku sulit merangkai kata-kata karena aku bukanlah penyair andal, kodratku kini sebagai wanita yang pemalu dan tak pandai berkata-kata. Secuil informasi mulai kugali darinya. Beberapa hal yang ingin kuketahui mulai kudapatkan, selang
93
Menyandang Mimpi waktu beberapa menit ia membalas pesan-pesanku. Antusias pun terasa kala ia menjawab pertanyaanku dengan sangat excited. Ramah dan sopan adalah kunci berkenalan dan menjadi akrab dengan orang lain. Kurasakan aura kebaikan dari dirinya ketika ia mulai membicarakan tentang keinginannya kuliah di luar negeri. Farida begitulah sapaannya. Pribadi yang hangat keluar dari seorang wanita berumur hampir menginjak 30 tahun itu. Humble and polite kata-kata tersebut cocok sekali menggambarkan kepribadiannya, bisa dibilang perkenalan kami itu sangat singkat namun, rasa nyaman timbul dengan sendirinya tanpa ragu maupun canggung. Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Sudah tidak asing, bukan? Di sinilah tempat impian para pelajar yang ingin menimba Ilmu Agama Islam. Farida misalnya, ia mahasiswi Jurusan Syariah Islamiyah pada Fakultas Syariah. Baginya bahasa Arab adalah kesukaannya ia mengaku sangat berambisi ingin melanjutkan studinya di salah satu universitas tertua dunia. Walaupun ia tidak dilatarbelakangi pendidikan dari pesantren ia tetap optimis akan impiannya itu, jalan menuju ke sana pun tak bisa dibilang mudah karena selain kita harus punya basic keagamaan baik itu Fikih, Akidah Akhlak, Nahu Saraf, Balaghah Tafsir, dan kita harus menghapal minimal 3 juz Alquran. Nah, ia juga dulunya alumni MAN 2 Model Medan yang terletak di Jl. Williem Iskandar dari sinilah ia mendapatkan ilmu yang membantu proses menuju ke Timur Tengah.
94
Menyandang Mimpi Tahun 2004, Farida berhasil kuliah di universitas tertua itu, dengan usaha dan kerja kerasnya dalam mengikuti pembelajaran semasa di Aliyah. Memang untuk menggapai cita-cita yang tinggi kita perlu usaha dan ikhtiar serta doa, agar semuanya dipermudah oleh Allah Swt. Impian boleh tinggi, tapi jangan lupa untuk berusaha seperti kata pepatah Genggam bara api biar menjadi arang dengan maksud, lakukan sesuatu dengan kesabaran agar mendapatkan hasil yang maksimal. Menjadi pelajar dan perantauan di negeri orang bukanlah hal mudah, tentunya akan banyak rintangan yang dihadapi. Namun, demi menggapai impian segala rintangan pun harus diterjang, walau di negeri sendiri juga masih banyak perguruan tinggi yang pantas untuk diperhitungkan tapi bagi Farida, universitas tertua itu tetap menjadi number one di hatinya karena ia menyukai pelajaran keagamaan. Menurutnya, sistem akademik di Al Azhar berbeda dengan universitas lain, khususnya di Indonesia. Pendidikan sarjana di Al Azhar ada empat tingkat (level). Untuk setiap level terdiri atas dua term, pada akhir setiap term dilaksanakan ujian. Hasil ujian pada term inilah yang menjadi nilai paling menentukan lulus tidaknya seorang mahasiswa dalam mata kuliah yang sedang diambilnya. Di Al Azhar khususnya yang jurusan agama masih menggunakan sistem perkuliahan klasik, hingga mereka tak mengenal istilah kuis dan midterm test (ujian tengah semester). Namun, sesekali jurusan dan mata kuliah tertentu dosennya meminta mahasiswa mem-
95
Menyandang Mimpi buat bahats (karya ilmiah) jadi, karena tidak ada kuis maupun midterm maka nilai ujian akhir itulah yang menentukan layak atau tidaknya mahasiswa naik ke level selanjutnya. Dorongan dan motivasi tentunya menjadi penyemangat untuk kita menggapai impian. Begitupun Farida, ia hanya mendapatkan dorongan dari almarhum ayahnya yang meninggal ketika ia duduk di bangku Aliyah. Namun, saat ini hanya memotivasi diri sendirilah bisa dilakukan Farida agar tetap melanjutkan studinya. Bahkan, ia diminta ibunya untuk bekerja saja karena beliau tidak mampu menguliahkannya. Sedangkan ia masih memiliki tiga orang adik yang sedang menempuh pendidikan juga. Ibunya pun tak kuasa meminta Farida untuk berkorban menjadi tulang punggung keluarga bekerja agar adik-adiknya tidak putus sekolah. Dengan susah payah ia meyakinkan ibunya kalau ia masih mau kuliah dan belajar juga membiayai adik-adiknya meskipun ia sendiri belum tahu jalannya dari mana. Tapi ia percaya bahwa dengan kuasa Allah Swt. maka Allah akan membukakan pintu-pintu kemudahan baginya. Tercantum dalam Surah At Talaq ayat 2-3: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan lepaskan ia dari masalah hidup dan diberikannya rezeki dari sumber yang tidak diduga. Motivasi merupakan sumber energi yang tentunya menjadi tenaga agar bersemangat menjejaki bangku perkuliahan. Begitupun Farida, baginya yang utama adalah luruskan niat belajar lillahi ta’ala, beru-
96
Menyandang Mimpi saha bersungguh-sungguh, ikhtiar langit dan bumi harus dikencangkan. Pelajaran terbesar didapatkan dari seorang Farida, bahwa ia mendapatkan sahabat yang sudah dianggapnya saudara dan begitu pula mereka sebaliknya menganggap Farida. Hikmah yang terbesar yaitu memiliki rasa persaudaraan yang kuat, ukhuwah di sana juga sangat terasa dan terjaga dari segi keilmuan. Hal lain pun bisa didapatkan seperti kita bisa berguru dengan para ulama langsung karena di universitas tertua tersebut banyak pustaka berjalan yang membuat kita merasa makin ikhlas dalam menjalin silaturahmi, sehingga semakin tinggi tingkat toleransi antar-sesama. Begitu banyak pelajaran tentang kehidupan yang didapatkan oleh Farida, ia belajar tentang pentingnya men-tajdid niat untuk terus menerus memperbaiki niat itu, bahwa kita belajar di luar negeri bukan untuk pencitraan atau agar dianggap hebat maupun terpandang. Tapi niatnya menuntut ilmu supaya bisa mencetak generasi-generasi Qurani, berakhlak karimah dan juga cerdas. Dan yang paling bermanfaat baginya di sana membudayakan sedekah. Orang-orang Mesir selalu membudayakan sedekah, mereka berlomba-lomba untuk memberikan sedekah dan zakatnya khususnya buat penuntut ilmu sabilillah. Farida terinspirasi akan budaya orang Mesir tersebut, hingga akhirnya ia bisa membentuk perkumpulan. dicetuskannya dengan sebutan Komunitas Shadaqah Berjamaah dan akan diubahnya menjadi Gerakan Tangan Bersama yang alhamdulillah berjalan sampai
97
Menyandang Mimpi Desember 2017 namun, penyaluran Januari sampai Agustus belum terlaksana karena berbagai kendala berhubung masih Farida sendiri yang meng-handle semuanya. Dengan nama Ummul Masakin (ibunya orang-orang miskin) jadi komunitas ini teruntuk fakir dan miskin karena temannya ada yang fokus di bagian anak yatim. Kepingan impian pun mulai dibentuk oleh Farida, ia berencana ke depannya ingin mengembangkan komunitasnya. Sekarang ia hanya menjalankan tiga program dan nanti harapannya ia ingin lebih meluaskan pergerakanya. Program sedekah ini hanya memerlukan seribu rupiah per hari jadi, tidak akan ada yang merasa keberatan. Ia ingin terus mengembangkan program ini dan juga ingin mendirikan sekolah tahfiz untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa pungutan biaya dan yang paling diinginkannya ialah membuat home schooling. Farida juga sudah memiliki keluarga ia melangsungkan pernikahannya di Mesir, menurutnya semua berkesan semasa di Mesir. Begitulah sosok Farida yang saya kenal melalui percakapan social media. Kehidupan yang dijalaninya selama ini sangat mengispirasi sekali, hingga saya berpikir bagaimana seorang perempuan yang tak seharusnya bangkit sendiri demi menggapai cita-citanya bisa melakukan banyak hal tanpa mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya. Walau kelihatannya sulit baginya semua akan mudah bila kita tetap bertawakal dan ikhtiar. Asalkan niat karena Allah pasti semuanya akan dimudahkan. Kini dengan adanya so-
98
Menyandang Mimpi sok seperti Farida, semoga generasi muda ke depannya dapat tergerak hatinya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi dan tak menyia-nyiakan hidupnya dengan bermain gadget dan melakukan halhal tak berguna hingga terjerumus dalam kesesatan.
99
Menyandang Mimpi
Penulis Skenario Terbaik Oleh: Ditanty Chicha Novri
C
ynthia Utami, gadis berdarah Minang kelahiran tahun 1995 adalah seseorang yang punya segudang keberanian dan semangat tinggi. Ia mempercayakan Jerman sebagai teman untuk meniti jembatan kesuksesannya dan menelusuri kehidupan baru yang mengajarkan banyak arti kehidupan. Gadis yang akrab dipanggil Cyntia atau Icyn ini adalah anak pertama dari lima bersaudara. Melanjutkan studi ke Jerman dan menjadi mahasiswa Jurusan Media dan Komunikasi di University of Ausburg adalah saripati yang berhasil dia dapatkan lewat usaha-usahanya. Hidup di rantau orang tanpa orang-orang tersayang bukanlah hal yang mudah. Banyak masalah yang hadir—diibaratkan seperti jalan di atas kerikil di antara jurang-jurang tinggi di sisi kanan dan kirinya yang kapan saja bisa terjatuh.
100
Menyandang Mimpi Ia makin sadar bahwa tak ada seorang pun yang dapat melindungi kecuali hanya Allah. Lewat perantara kehidupan ia percaya bahwa Allah tak kan membiarkannya terjatuh ke dalam jurang yang dalam itu. Sesekali Allah mungkin pernah mengejutkannya, menyadarkannya bahwa dia harus tetap berjalan meskipun di atas kerikil bebatuan. Allah selalu mengingatkannya bahwa di ujung perjalanan ada mata air yang bisa menyelamatkan. Makin ia melangkah makin ia memegang perkataan bahwa di balik kesulitan itu ada kemudahan, ada hikmah di balik setiap kejadian. Dan sehebat-hebatnya penulis skenario, Allah-lah yang terbaik dan terhebat dalam menciptakan dan mengurusi skenario setiap makhluknya. Karena jalan cerita yang Ia ciptakan selalu tidak pernah bisa diduga. Gerbang Awal Tahun 2013, tahun pertama yang menjadi gerbang awal perjalanannya. Icyn memutuskan untuk melanjutkan kuliah S-1-nya ke Jerman yang berawal dari promosi agen di sekolahnya. Tertarik dan meminta izin kepada orang tua dan akhirnya mendapat restu dengan banyak pertimbangan. Ia mulai mempersiapkan pembekalan diri sebelum berangkat ke Jerman seperti mengikuti les bahasa Jerman secara intensif selama dua bulan di Balikpapan yang merupakan salah satu fasilitas yang diberikan oleh agennya. Setelah dua bulan les bahasa Jerman, akhirnya pada September 2013 ia pun berangkat ke Jerman dan membuka lembar baru perjalanannya.
101
Menyandang Mimpi Aachen adalah kota pertam yang ia injak. Di sana ia belajar bahasa Jerman lagi selama kurang lebih lima bulan hingga batasan level yang dibutuhkan sebagai syarat pendaftaran studienkolleg (sekolah penyetaraan untuk mahasiswa asing sebelum lanjut kuliah di Jerman). Ia les bahasa hingga level B1 dan kemudian mencoba mendaftar untuk studienkolleg pada sommersemester (semester musim panas). Ia mendaftar ke lima studienkollege yang buka pada saat itu. Di Jerman sendiri pendaftaran buka di setiap semesternya, tetapi hanya sedikit yang buka di sommersemester. Setelah mendaftar, undangan haruslah didapatkan karena, dengan undangan tersebut barulah bisa mengikuti ujian masuk studienkolleg. Namun, hanya satu undangan yang ia peroleh dari lima studienkollege yang ia ikuti. Dan itulah yang menjadi satu-satunya kesempatan, mengingat kalau tidak lolos ia harus menunggu hingga semester berikutnya. Pembagian kursus di studienkollege ini terbagi atas empat pembagian kursus yakni M, T, W, dan G/S— kurs yang kesemuanya itu akan berhubungan dengan jurusan di perkuliahan nanti. M-Kurs (Medizin) untuk mereka yang nantinya kuliah di jurusan yang berbau dengan kedokteran. T-Kurs (Technik) untuk lanjut ke jurusan teknik. W-Kurs (Wirtschaft) untuk jurusan berbau ekonomi. Dan G/S-Kurs (Geisteswissenschaft) untuk lanjut di jurusan media, sastra, dan lain sebagainya. Dan, ia memilih T-kurs karena ia suka pada jurusan yang berbau dengan teknik.
102
Menyandang Mimpi Undangan ujian masuk yang ia dapatkan berasal dari Studienkollege Halle. Untuk kelas T-Kurs materi yang diujiankan adalah Matematika dan Bahasa Jerman. Hanya ada satu kelas yang dibuka per kursusnya dengan jumlah mahasiswa kisaran 20-an orang. Sistem kuotanya berlaku untuk per negara. Dan bisa dikatakan hanya ada maksimal empat sampai lima orang mahasiswa Indonesia per kelas. Persaingan ini menjadi sangat ketat karena ada ratusan mahasiswa yang ikut saat itu. Sayangnya, pada saat itu ia tidak lolos untuk mengikuti studienkollege. Namun, secercah harapan baik masih timbul, gadis Minang ini tetap diberi kesempatan untuk bisa ikut kelas Vorkurs (Vorbereitungkurs), sebagai kelas persiapan sebelum lanjut ke studienkollege. Selama satu semester ia mengikuti kelas tersebut. dan ada dua mata pelajaran, yaitu Bahasa Jerman dan Matematika. Jika ia lulus ujian akhir semesternya, maka ia akan langsung lanjut mengikuti Studienkolleg Halle untuk semester berikutnya tanpa ujian masuk. Namun jika tidak, maka ia harus tetap mengikuti ujian masuk. Alhamdulillah, untuk Bahasa Jerman nilai sempurna berhasil ia dapatkan namun, untuk MTK ia masih gagal harus ikut ujian masuk di bidang Matematika karena, saat itu ia masih ingin kuliah di jurusan teknik. Dengan berbagai pertimbangan, mengingat hanya satu undangan studienkollege yang ia dapatkan dan Studienkollege Halle adalah satu-satunya yang menjadi angin segarnya—akhirnya, ia putuskan untuk menukar jurusan ke G/S-Kurs yang nantinya ia akan berkuliah di jurusan media. Karena, dengan pertimbangan jika
103
Menyandang Mimpi ia tetap di T-Kurs maka ia harus tetap ujian Matematika lagi dan kalau tidak lolos ia tidak akan bisa mengikuti studienkollege. Dan semester depan Icyn pun sudah mulai bisa kuliah di Studienkollege Halle. Dua semester di studienkollege berhasil ia lewati. Terlihat dari kelulusannya pada setiap ujian akhir semester. Ijazah pun sudah didapatkannya dan ia pun mulai mendaftarkan dirinya ke berbagai universitas yang ada di Jerman. Ada sekitar sebelas universitas yang didaftarkannya dengan jurusan yang berbeda. Akhirnya usahanya pun berbuah manis, dari sebelas universitas yang didaftarkannya tujuh undangan berhasil ia dapatkan. Dan Ausburg adalah kota yang menjadi pilihannya untuk lanjut kuliah S-1 pada jurusan media dan komunikasi di University of Augsburg yang dimulai sejak wintersemester. Perjuangan Kegigihan usaha dan jiwa pantang menyerahnya berhasil membuatnya sampai pada titik ini. Dan yang selanjutnya adalah perjuangannya untuk hidup mandiri di Jerman. Bersahabat dengan diri dan hati agar bisa menerima segala keadaan. Hidup di negeri orang tanpa orang-orang tersayang bukanlah hal yang mudah. Ia melanjutkan perjuangannya sendirian tanpa keluarga. Mulai menyesuaikan diri dengan perbedaan bahasa dan budaya. Dan benar-benar harus mandiri. Mulai dari mengurus izin tinggal, mengatur pemasukan dan pengeluaran dan terlebih juga mengatur kebutuhan hidup sehari-hari mengingat dia bukanlah anak bea-
104
Menyandang Mimpi siswa yang bisa mendapat suntikan dana. Permasalahan datang silih berganti. Bak roda yang berputar yang posisinya sedang ada di bagian terbawah. Dia pernah berada di posisi ketika dirinya merasa rendah. Di saat uang masih belum bisa menjadi temannya mengadu ke sana kemari berharap ada yang bisa membantunya—semua kepahitan itu dimulai di akhir tahun 2015. Awal kepindahannya di Ausburg, ia tinggal bersama seorang ibu dan anak yang juga berkebangsaan Indonesia yang dikenalkan oleh temannya. Dan menyewa kamar anak mereka yang sudah tak dipakai lagi. Selama hampir dua tahun di Jerman dia masih mengandalkan tabungan dari orang tuanya untuk bekal hidupnya. Tetapi di awal 2016 ia mulai berpikir untuk mulai mencari pekerjaan baru. Dan bekerja sambil kuliah adalah sebuah keharusan baginya. Ia tak ingin membebankan orang tuanya dan menolak kiriman orang tuanya agar lebih baik digunakan untuk keperluan adik-adiknya saja di sana. Pernah berpuluh-puluh email pekerjaan dia kirimkan. Pernah mendapat jawaban dari klinik kesehatan namun akhirnya ditolak. Tak putus asa dia tetap menunggu jaawaban selama sebulan tapi masih dengan jawaban penolakan bahkan tetap tak ada kabar sama sekali. Awal musim semi ia mendapatkan pekerjaan di gudang paket pos dan DHL. Ia mengikuti interviu dan
105
Menyandang Mimpi percobaan kerja. Ia bekerja sebaik mungkin dengan harapan bisa diterima. Namun, takdir tak berpihak padanya—ia hanya bekerja selama dua bulan. Alasan mereka tak mau memperkerjakannya karena itu pekerjaan yang terlalu berat bagi seorang gadis bebadan kecil sepertinya. Di sana Icyn harus mengangkat paket dengan berat maksimal 35 kg dan meletakkannya ke atas conveyor belt. Bekerja selama kurang lebih 6 jam per hari selama 3 kali per minggu. Namun, ia tetap tidak putus asa, percaya ini rasa sayang Allah untuknya. Dan hikmahnya gaji kerjanya selama dua bulan tersebut bisa menutupi sewa kamarnya. Saatnya mencari pekerjaan baru. Icyn memang gadis dengan jiwa semangat yang sangat hebat. Ia kembali mendapatkan pekerjaan yakni sebagai office girl di sebuah kantor pengiklan dan website. Tidak lama setelah itu, ia juga bekerja sebagai pengantar koran. Setiap Sabtu pagi mengantarkan koran ke tetangga sekitar rumah. Tidak cukup di sini Icyn juga mendapatkan pekerjaan baru di salah satu gedung elektronik. Di sana ia membantu mem-packing barang pesanan orang. Rezeki berlipat dikirimkan Allah padanya. Jumat ia bekerja sebagai office girl dan Sabtu pagi hingga siang di gedung elektronik dan sorenya mengantar pengantar koran ke tetangga. Perjuangannya benar-benar patut diacungi jempol. Icyn bekerja hanya dua bulan karena sebentar lagi musim panas kembali datang. Dan seperti biasa saat musim panas ia bekerja di pabrik coklat yang ada di Aachen yang bisa bekerja fulltime 8 jam per hari,
106
Menyandang Mimpi ia bekerja kurang lebih dua setengah bulan lamanya. Pabrik catering pesawat, dan pabrik biskuit pun pernah menjadi tempat singgahannya untuk bekerja. Selama dua tahun ia melakukan hal itu. Setiap liburan panjang, Aachen menjadi kota tempatnya bekerja. Karena di kotanya sendiri susah untuk mendapatkan pekerjaan fulltime. Dan hal ini menjadi kesempatan tersendiri bagi setiap mahasiswa termasuk dirinya untuk mengumpulkan Euro demi bekal hidup semester ke depannya. Usaha yang giat dan jiwa pantang menyerahnya benar-benar ia tunjukkan dengan kesungguhan. Allah melihat kesungguhannya dan merangkulnya. Allah memang tidak akan pernah membiarkan hambanya sendiri. Allah memberikan kemudahan urusan padanya setelah usaha keras yang dilakukannya. Dan tahun ini ia tidak perlu bekerja ke Aachen lagi. karena di Augsburg ia sudah mendapatkan pekerjaan yang enak. Icyn bisa bekerja parttime selama kuliah berlangsung dan bisa bekerja fulltime saat liburan semester. Ia bekerja di salah satu perusahaan laboratorium tepatnya untuk bagian mikrobiologi. Gaji yang diperolehnya pun bisa menutupi kebutuhannya tiap bulan. Dengan begitu, ia dapat bertahan hidup di Jerman dan melanjutkan kuliah tanpa membebani orang tua untuk tetap mengirimkan uang belanja. Selain menghadapi masalah keuangan maupun masalah studi yang menjadi kendala, permasalahan sebagai mahasiswa asing pun kerap ia hadapi dalam hal birokrasi. Setiap saat harus melakukan perpan-
107
Menyandang Mimpi jangan visa dengan mencantumkan berbagai persyaratan. Dan juga permasalahan yang mengharuskannya untuk berhadapan dengan petugas imigrasi yang kurang wellcome. Hikmah Pernah dengar kata Pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga? Itulah salah satu kalimat yang mendeskripsikan setelah sekian banyak pelajaran berharga dalam berkehidupan yang dialaminya. Banyak pelajaran tentang kehidupan yang ia pelajari. Bagaimana seharusnya menghargai waktu dan keluarga, bagaimana seharusnya bersikap, dan terlebih bagaimana hubungan kepada sang Pencipta. Pelajaran nilai-nilai kehidupan lebih banyak didapatkannya dibandingkan dengan ilmu-ilmu akademik. Pengalaman yang mengajarinya banyak hal dan makin mendekatkannya pada Dia yang tak pernah tidur dan selalu sibuk mengurusi semua hamba-Nya. Keadaan mengajarkannya bahwa tiada tempat menggantung harap selain kepada-Nya. Masalah dalam kehidupan silih berganti datang mengahampirinya. Bahkan pernah benar-benar membuatnya jatuh dan ingin menyerah. Tetapi, sang Pencipta si Maha Baik dari yang paling baik benar-benar baik dan tidak membiarkannya sendiri. Sang Khalik mengirimkan orang-orang baik yang selalu memberikan support agar ia tetap kuat dan bertahan dalam setiap permasalahan hidup. Icyn percaya setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Hanya saja kita sebagai manusia
108
Menyandang Mimpi yang tidak peka dan lambat mengetahui hikmah apa yang terselip lewat setiap kejadian. Icyn si gadis kuat yang kokoh pada prinsipnya selalu menanamkan prinsip hebat ini dalam dirinya, tidak apa-apa bersusah sekarang karena, jika nanti aku sudah jadi orang besar maka aku tahu rasanya bagaimana jadi orang kecil sehingga nantinya tak kan membuatku semena-mena. Sekarang Icyn sudah duduk di semester 6 Jurusan Media dan Komunikasi. Menyibukkan dirinya sebagai penyiar di Radio PPI Dunia. Mengudara dari langit Jerman untuk menghibur dan membagikan informasi kepada para pendengar. Menulis juga merupakan salah satu hobinya. Terbukti lewat karyanya yang berjudul, The Virtual Friend. Dan dia juga seorang founder IPMI (Ikatan Pelajar Minang Indonesia). Organisasi ini didirikannya untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi. Khususnya agar pelajar Minang bersatu demi memajukan Sumatra Barat khususnya. berada di negeri orang tak memutuskan harapannya untuk terus maju dan berkembang. Terbukti lewat perjalanan yang dilaluinya dan karya-karyanya yang muncul ke permukaan.
109
Menyandang Mimpi
Sebuah Risalah Inteligensi Oleh: Iin Prasetyo
M
ama ialah energi yang tak terupiahkan dalam hidupku. Energi belajar menjadi orang yang berilmu, energi bersyukur dan bersabar atas keadaan di dunia ini yang tak selalu mengatakan “ya� terhadap keinginanku, dan energi menjadi manusia yang tunduk pada Tuhannya. Mama pemasok energi-energi itu. Seiring langkah, energi itu menemui masa penghabisannya. Mama pergi, menjemput waktunya kepada Sang Pemilik Kekuatan. Lantas aku tak ingin menjadi gula atau garam yang larut dalam segelas air, aku ingin menjadi mutiara yang tetap utuh dan berharga di manapun keberadaannya. Dalam kesunyian ini, kuputuskan berhenti menjadi anak nakal yang kutahu sebenarnya mama tak menyukai prilakuku tapi ia masih mampu menyimpul senyumnya. Pernah mama bilang kalau dalam kehidupanku ada cita-citanya yang
110
Menyandang Mimpi belum terwujud—Australia, tempatku mewujudkan cita-cita itu, menulis sebuah risalah inteligensi menjadi pembelajar internasional, inginnya mama. Mengukur kehebatan berkuliah di dua tempat mengantarkanku pada sebuah kekalahan. Tak cukup waktu dan energi. Menjadi anak tunggal dari kedua orang tua yang cukup berada membuatku sesuka hati menentukan sikap, hura-hura, waktu yang berjalan tak menjadi motivasi untuk membuat hidupku sedikit lebih bermanfaat. Dan ternyata aku berada di titik keterpurukan, kuliah berantakan. Entah apa yang membuatku ingin menyudahi keterpurukan itu. Lagi-lagi mama, apa pun ceritanya aku tetap sayang padanya, keinginannya besar: mengharapkanku untuk tidak sedikit bermanfaat bagi kehidupanku tapi, setiap kehidupan yang kujalani harus berlimpah manfaat—kata mama, jadilah manusia yang bermanfaat bagi kehidupanku sendiri, kehidupan orang lain, dan kehidupan dunia, itulah ukuran manusia yang terbaik di sisi Tuhan. Biarpun sulit bagiku mengimbangi intelektual mama dan papa yang berprofesi sebagai ekonom di Bank Indonesia tapi aku terus berupaya menjadi lebih baik dari kehidupan orang tua—mama bilang, kehidupan anak yang lebih baik dari orang tuanya adalah cita-cita setiap orang tua. Banyak temanku yang iri dengan kehidupanku yang serba-cukup. Apalagi kedua orang tua hanya fokus pada tumbuh kembangku, tidak ada adik atau kakak yang harus mereka bagi-bagi kasih sayangnya. Tapi aku sadar kalau sebenarnya aku bukan siapa-sia-
111
Menyandang Mimpi pa. Aku ingin berjuang seperti mama dan papa saat sepertiku dulu, tidak mau selalu bergantung kepada orang tuanya. Dari perjuangan inilah aku tahu bahwa masalah finansial menjadi tantangan tersendiri. Biarpun seratus ribu, bahkan sejuta dua juta uang aku sangat mudah meminta pada mereka tanpa ada tantangan bahkan memelas kasih—akan tetapi ini bukanlah hal yang indah dan menarik untuk menjadi risalah kehidupanku nanti yang akan dibaca oleh keturunanku. Memulai kuliah strata satu di tempat baruku, meninggalkan segala hal yang membuatku akrab dengan kenakalan di kampus sebelumnya. Universitas Nasional menjadi tempatku berubah lebih baik. Berorganisasi adalah wadah berkembangnya segala intelegensi, berjumpa dengan teman-teman yang hebat, mendengar cara berbicara untuk memperhatikan bagaimana alur pemikirannya, dan tentunya berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik. Apalagi program studi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang kupilih adalah tempatnya para aktivis kampus yang membuatku harus lebih banyak membaca untuk menghasilkan speech yang berkualitas—ini edukasi yang kudapat dari organisasiku. Kata pembina kami, berbicara tanpa membaca sangat berbahaya, begitupun membaca tanpa berbicara berisiko mendiami kebenaran. *** Semester terus berjalan hingga menemui jadwal pemindahan tali toga, aku wisuda dengan tepat waktu
112
Menyandang Mimpi dan dengan perencanaan yang baru yakni lanjut strata dua. Karena, ini bukanlah akhir dari perjuangan studiku, (sekali lagi) riwayat pendidikanku harus lebih hebat dari mama dan papa yang mengakhiri studinya di tingkat strata dua ilmu Ekonomi. Akan tetapi melanjutkan studiku di luar negeri masih terlihat samar— ada hal yang kurasa tak memungkinkan untuk pergi ke sana. Dan cukup alhamdulillah, mungkin saat ini Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ada di Jakarta bisa menutupi kekosongan lanjutan studiku, tidak ada salahnya kucoba mendaftar. Sambil bekerja di perusahaan asuransi BUMN, aku pun dinyatakan diterima di UGM. Apa yang saat ini aku kerjakan ternyata belum menemui titik nyamannya. Aku tetap melirik-lirik program beasiswa ke tempat impianku, Australia. Perlahan namun pasti, setiap apa yang kukerjakan di perusahaan tempatku bekerja aku selalu berusaha untuk bersikap totalitas dan profesionalisme—hingga kini aku akan diangkat menjadi pegawai tetap. Namun, ketika di lain waktu aku masih melirik beasiswa strata dua di luar negeri, ternyata itu membuahkan hasil. Hakam Nurramadhani Azza Junus, kuketahui itu adalah namaku sejak kecil, nama sebanyak empat kata dan dua puluh enam huruf itu terpampang nyata di portal kelulusan beasiswa negara yang kuikuti saat curi-curi waktu kerja dan kuliah di UGM. Aku lulus di Australian National University (ANU)-Coral Bell School of Asia Pasific Affairs-Master of International Relations. Inilah kampus impianku, kata pelajar-pelajar di negeri Aborigin itu, ANU adalah Harvard-nya Australia—terlepas
113
Menyandang Mimpi dari predikat itu ANU adalah impian luar biasa kami, aku dan mama. Dilematis. Mau tidak mau aku harus meninggalkan apa yang telah kudapatkan sebelum kelulusan ini. Perusahaan tak mengizinkanku untuk cuti, begitupun kuliah magisterku di UGM. Walaupun aku lulus dengan beasiswa, saat ini kondisi finansialku sedang krisis. Kan masih ada papa? Tidak! Aku ingin tetap jadi anak mandiri. *** Australia, saatnya kumengemas diri. Oh, Tuhan betapa hebatnya anak-anak yang mandiri: tanpa bantuan orang tuanya melakukan hal-hal yang perlu pengorbanan terutama biaya hidup. Aku sudah mencoba untuk menjadi anak hebat seperti itu namun, saat ini aku benar-benar bingung bagaimana cara memeroleh uang. Banyak sekali uang yang harus kukeluarkan untuk segala macam persiapan ke Australia seperti sebelumnya aku menjalani tes TOEFL dan EALTS yang telah mengeluarkan uang jutaan rupiah. Dan kini aku harus berhadapan dengan administrasi birokrasi imigrasi, dan biaya hidup lainnya mulai dari keberangkatan sampai menapaki dan menetapi Tanah Kangguru itu. Mungkin menjual motor yang sehari-hari membawa ke mana pergiku bisa menutupi kekurangan biayaku saat ini ditambah dengan gaji dan tabunganku. Ya,
114
Menyandang Mimpi prinsipku: kalau masih bisa tak menengadahkan belas kasih ke orang tua kenapa tak dilakukan. *** Kemandirian, keikhlasan, dan kesabaran kini telah sukses mengantarkanku sampai di titik awal impian. Sebelumnya, memang aku sudah memikirkan adaptasi Indonesia-Australia—sangat berat. Ada hal-hal umum yang membedakan di antara kedua negera ini dan semua orang mau-tidak mau atau suka-tidak suka harus mengakuinya. Jika dilihat dari sisi akademiknya, akses jurnal-jurnal daring agak susah di dapat di Indonesia, begitupun referensi di perpustakaan yang tak selalu lengkap—dan tentunya di Australia fasilitas belajarnya sangat memadai. Masalah hukum plagiarisme sangat ketat di Australia, mahasiswa tak boleh asal-asalan mencari dan mencantumkan referensi dan harus benar-benar bersifat akademis—kalau di Indonesia sumber dari Wikipedia dan blog-blog masih bisa ditolerir, kan? Ternyata berat sekali jadi seorang mahasiswa ANU. Belum begitu lama menjalani proses belajar, aku sangat tertekan dengan masalah referensi. Setiap referensi yang kuambil untuk memenuhi tugas harus dapat dipertanggungjawabkan sedetail mungkin, jika tidak maka sangat fatal akibatnya bagi kelangsungan studiku. Menurutku ada beberapa hal yang mesti jadi pembelajaran untuk sistem pengajaran di Indonesia
115
Menyandang Mimpi dari Australia: komunikasi dua arah dan pemahaman konteks up to date. Dosen-dosen di Indonesia seharusnya diberi waktu juga untuk belajar, jangan melulu mengejar sistem kredit semester (SKS). Di Australia, ada waktu setahun bagi mereka mengajar dan setahun berikutnya mereka diwajibkan fokus pada belajar, riset, dan publikasi, setelah setahun menjalani itu maka mereka kembali mengajar, begitu rute seterusnya—jadi, ada waktu bagi mereka untuk menjalani knowledge update. Meng-upgrade knowledge update itu tak gampang, butuh waktu membaca dan belajar fokus. Karena sistem yang seperti ini membuat pengetahuan para dosen tidak stagnan bahkan terus berkembang. Sistem seperti ini dilakukan di Australia bertujuan memaksimalkan ilmu yang akan diberikan kepada para mahasiswanya. Di Indonesia, dosennya dituntut fokus menepati SKS—tiap semester dosennya tak berganti, tidak bisa ganti sif seperti di Australia yang setahun mengajar dan setahunnya lagi penelitian. Sedihnya, ketika ilmu yang tak maksimal diberikan kepada mahasiswa dengan jam dan kelas yang terbatas pihak kampus lebih mementingkan akreditas, tentu hal ini menjadi pesan perbaikan sistem bagi banyak kampus di Indonesia. Tertekan terhadap masalah akademis bukan alasan yang dapat diterima untuk takluk pada psimisme dan akhirnya memeroleh kekalahan. Hidup cuma sekali, buat itu bermakna dan bermanfaat. Sebuah petuah dari seseorang yang memelihara tumbuh kembangku
116
Menyandang Mimpi sejak kecil sampai mengembuskan napas terakhirnya. Ya, ketika sedikit pun aku mengerutkan kening dan manyun berarti aku adalah calon pecundang. Sabar dan tetap berikhtiar bersama kasih sayang yang Allah berikan, nilai bagus setiap mata kuliah yang kuhadapi maka tidakkah Allah berkata bahwa Ia sesuai prasangka hamba-Nya? Tidakkah doa setiap hamba-Nya dan kun fayakun-Nya bisa mengubah takdir kehidupan yang telah sebelumnya Ia tetapkan? Aku harus lebih keras berikhtiar jika ingin bertahan sampai titik penyelesaian secara terhormat.
117
Menyandang Mimpi
Senjata
Oleh: Ayu Wulandari Hasibuan
-Tak lah burung mengarungi alam luas tanpa membidik mula senjata“Masyarakat di sini welcome, fasilitas laboratoriumnya canggih begitupun perpustakaannya. Fasilitas kelasnya juga enak jadi lebih fokus,� bilangnya.
P
unya cita-cita besar memang semestinya tidak sekadar omong kosong. Banyak pun yang ingin dilangitkan jika tak ada pergerakan tetap saja cita-cita yang indah akan terundung rapi sebatas mimpi. Bukan main kadang tanpa sadar terumbar kata aku mau jadi ini dan aku mau jadi itu. Tetap saja, kata tak bisa menyulapnya menjadi nyata, bukan bimsalabim yang bisa langsung jadi, tapi perlu usaha nan keras serta kidungnya ayah dan bunda. Terkadang ingin meraih
118
Menyandang Mimpi suatu hal tetapi bingung memulainya, malas saat terlena dengan nikmatnya hidup serba ada. Segelintir niat pun tak tercipta. Tidak dengan dia, seorang anak lelaki yang dilahirkan dari seorang wanita paruh baya, Enni Nasution. Baginya asa yang besar adalah hal yang harus direalisasikan. Takut bermimpi setinggi langit bukan prinsipnya. Beranilah bermimpi dan manfaatkan kesempatan itu. Pendidikan itu bagian dari riwayat hidup yang teramat penting menurutnya. Di sela ingin ketercapaian senjata juga dibutuhkan. Muhammad Adnan Purba anak kelahiran Padang Sidempuan, Sumatra Utara yang akrab dipanggil Adnan ini, bukanlah anak yang terlahir dari latar belakang berada. Hiruk pikuk keterjepitan perekonomian keluarga turut mengawal di tengah maraknya api semangat ingin menyambung tali pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, ini bukan benang kusut yang tak bisa diurai, pasti ada jalannya. Tekad dan kerja keras adalah senjata dari pelbagai cara untuk mencapai asa. Beranjak dari SDN 200110 Padang Sidempuan kemudian SMP dan SMA Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing Natal dan pada September 2012, satu pintu gerbang mimpinya terbuka lebar—menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sumatra Utara (USU) Prodi Nutrisi Makanan Ternak. Jenjang strata satu ini, adalah masa ketika ia melambaikan tangan pada kampung halaman Padang Sidempuan demi mendaki ilmu meraih cita, meninggalkan
119
Menyandang Mimpi orang tua kali pertama dengan menyisa kerinduan berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun. Cukup unik ditelaah, mengapa pria kelahiran 20 Oktober 1992 ini memilih mengambil kejuruan Peternakan di USU. Seperti pada umumnya, biasanya tanpa sadar asa itu telah kita perlihatkan sejak belia. Awalnya sekadar suka, lambat laun jiwa peternak menggempal di benaknya. Itulah asal mula Prodi Peternakan USU menjadi tolok ukurnya. Pendidikan yang akan diarungi bukan empat bulan, lima atau setengah tahun, tapi bertahun-tahun sampai dengan kata finisnya. Pesimis tak sampai akhir sempat membelalak, melihat kedua orang tua hanya sebagai pedagang sayur di Pasar. Tapi ia tak lupa kalau masih ada senjata, yakni kelihaiannya di bidang kepenulisan karya tulis ilmiah kian menghasilkan pundi-pundi yang berharga guna menutupi biaya semasa kuliah. “Tentu banyak masalah yang dihadapi terutama ekonomi. Tapi kita harus kuat, cari solusinya gimana caranya biar bisa bertahan,� katanya penuh semangat juang. Sepintas, bakat penulisan karya tulis ilmiah ini tentunya ia dapatkan sebab ada penyokong di balik dirinya. Sebuah kebisaan tak akan bisa sebelum ada yang mendukung bisa itu. Seorang senioran di USU adalah kunci di balik bakatnya. Makbul Siregar, dialah yang mengajari pria itu sampai memenangkan kejuaraan pada perlombaan kepenulisan di mancanasional. Tak cukup itu, ia juga pebisnis healty juice bar,
120
Menyandang Mimpi asdos (asisten dosen), dan banyak menoreh nama sebagai peserta pada berbagai perlombaan yang terus digelutinya demi meringankan beban orang tua untuk mempertahankan bangku pendidikan tinggi—sampai akhirnya ia berhasil meraih beasiswa kewirausahaan dari Student Enterpreneurship USU. Berbagai prestasi telah diukirnya semasa menjajaki bangku perkuliahan, Runner up in National Scientifik Paper Competition by FMIPA UNP, Runner up in National Scientifik Paper Competition by ISMAPETI Universitas Majalengka, Runner up in Exhibition Appropriate Technology by USU, dan penerima penghargaan dari Rektor USU sebagai pelajar nasional dan internasional pada 2016. Ia juga sempat meniti karier sebagai konsultan peternakan di salah satu perusahaan di Tobasa, Sunggal Medan. Pengalaman berorganisasi pun turut dirilisnya, di tahun 2012-2014 menjadi anggota ISMAPETI (Animal Science Student National Organization), di tahun 2013-2016 anggota IMAPET (Animal Science Student of University of Sumatra Utara Organization), penerima beasiswa kewirausahaan USU pada 2015, menjadi asisten Laboratorium Prodi Peternakan USU di tahun 2013-2016 dan menjabat sebagai pemimpin Lingkar Pengajian Beijing (LPB) periode 2018-2019. Anak kelima dari tujuh bersaudara yang jika dirinci ada dua abang, dua kakak dan dua adik ini, membekal satu asa lagi yang ingin ditunaikan. Asa dan tekadnya yang bulat mengatakan ia harus bisa kuliah
121
Menyandang Mimpi ke luar negeri. Kuliah ke luar negeri adalah titik fokusnya untuk mengambil titel master. Ia rela meninggalkan beberapa kariernya di Indonesia hanya untuk melanjutkan strata dua di negeri orang. Sembari berimpian, ia menyiapkan beberapa senjata sebelum melakukan penyerangan. Persiapan dan modal kesungguhan diibaratkan senjata. Pria berdarah Batak Mandailing ini, sempat pergi ke Kampung Inggris Jawa Timur demi mempelajari bahasa Inggris yang lebih mendalam. Ia tahu, bahwa untuk ke luar negeri harus punya modal bahasa yang mumpuni. Keberangkatannya adalah bentuk pengorbanan demi prinsipnya, karier konsultan peternakan di Tobasa mau tidak mau ia tinggalkan. Sekali mendayuh dua tiga pulau terlampaui. Belajar dan belajar hingga ke tingkat mumpuni berbahasa Inggris, mengahantarkannya ke gerbang kedua impian. Anak dari Pangeran Purba ini, berhasil mengais beasiswa Chinese Government Scholarship Bilateral Programme di Beijing, China. Prinsip berkuliah ke luar negeri bukan dengan pendanaan sendiri berhasil ia dapatkan dengan kata lain tanpa berbayar alias percuma. Bertamu ke negeri orang menjemput titel master di University of The Chinese Academy of Sciences Beijing China dengan jurusan yang sama, Nutrisi Makanan Ternak diperolehnya dari Graduate School of Chinese Academy of Agricultural Scinces (GSCAAS). Nikmatnya suasana pendidikan luar negeri memang tak jauh beda dengan di Indonesia. Menjajaki
122
Menyandang Mimpi bangku strata dua di Beijing merupakan impian dan doanya yang dilangitkan dahulu. Syukur kepada Ilahi Rabi sudah mendengarkan segala pinta, yang belum bersabarlah. Asanya tak jemu sampai di sini, tak cukup sekadar asa yang pria ini idam-idamkam—jauh-jauh hari ia sudah membidik mula senjata. Gelar doktor ingin disuntingnya di negeri orang, Belanda. Ya, universitas di Belanda adalah misi selanjutnya.
123
Menyandang Mimpi
Si Pejuang Kebaikan Oleh: Siska Ramayani Damanik
M
enjadi siswa yang dikagumi karena berprestasi tentu impian semua siswa karena dengan prestasi yang dimiliki, kita bisa menikmati nilai yang tinggi. Itulah yang kian dirasakan oleh santri Pesantren Al Mustofawiyah yang tengah duduk di bangku kelas XII Aliyah ini. Muhammad Iqbal yang akrab dipanggil Iqbal adalah siswa kesayangan bagi guru-guru senior di tempat ia belajar. Waktu menunjukkan pukul 14.00 siang, seperti biasa usainya kelas Iqbal tak langsung bergegas ke kamar asrama. Dia cenderung melakukan rutinitas untuk menimba ilmu melalui kelas tambahan yang diisi oleh siswa-siswa berprestasi lainnya. “Baiklah, untuk hari ini kita cukupkan sampai di sini dulu, esok jangan lupa hadir tepat waktu karena kita akan lanjutkan materinya.� Begitulah sapaan penutup yang selalu diberikan
124
Menyandang Mimpi salah seorang guru senior sebagai ultimatum berakhirnya kelas tambahan. Hari berganti, suasana mentari yang muncul malu-malu di waktu subuh sangat memanjakan mata para penghuni pesantren itu. Iqbal duduk menikmati embusan angin pagi yang menyapa dirinya dan fokus bersama buku pelajaran di tangannya. Secara tak sengaja pemuda berkulit hitam manis ini mendengar segenap celoteh temannya yang sedang melewatinya. �Insyaallah saya akan lanjut kuliah di Turki. Kemarin ibu saya juga sudah menyetujuinya.� “Wah, berarti kita akan tetap bertemu karena aku juga akan lanjut kuliah di sana.� Mendengar lintasan cerita temannya itu Iqbal mulai mengurangi konsentrasi membacanya. Dalam benak Iqbal berkata Aku juga ingin kuliah di luar negeri. Tibalah saat yang dinanti para santri. Hari datangnya bulan berkah Ramadan menjadi visi unggul para santri agar bisa pulang bertemu orang tua di kampung halaman. Tak lain dengan Iqbal. Selain begitu rindu akan suasana desa Cinta Raja tempat kelahirannya itu, dia juga tak sabar ingin membayar utang kerinduan orang tuanya yang kian menggebu. Waktu bergulir. Siang berubah menjadi malam. Namun, tidak dengan keadaan kampung halaman yang terletak di Kecamatan Secanggang ini. Kampung kela-
125
Menyandang Mimpi hirannya ini tetap menjadi alasannya untuk pulang. “Bagaimana belajarmu di sana, nak?” Tanya wanita beraut wajah penuh cinta itu menghampiri Iqbal. “Alhamdulillah atas izin Allah semua lancar, bu,” jawabnya, sambil bercerita panjang lebar, anak dan ibu itu begitu akrab melepas kerinduan. “Ibu, Iqbal ingin sekali kuliah di luar negeri,” pernyataan Iqbal kontan mengundang keheningan di tengah malam. “Apa yang membuatmu begitu menginginkannya, nak?” Tanya Ibu dengan lembut. “Teman sekelas Iqbal banyak yang akan kuliah di luar negeri, secara kemampuan Iqbal merasa tidak kalah dengan mereka bu, jika mereka bisa lantas kenapa Iqbal tidak,” jawab Iqbal berkeyakinan penuh. ”Nak, mereka itu siapa, sedangkan kita siapa, mereka adalah orang berada, sedangkan kita orang susah, jadi tidak mungkin kita bisa mengimbangi mereka,” Iqbal tetap tidak mau kalah, dengan keberanian penuh dia berkata, ”Ibu tidak usah khawatirkan biaya, insyaallah pasti ada jalannya. Mulai sekarang kita sisihkan saja tiap bulan tiga ratus ribu rupiah bu, nanti akan terlihat hasilnya, percayalah, bu.” Melihat anak ketiganya yang begitu semangat itu, ibu Iqbal pun mengikuti kemauannya. ”Baiklah nak,
126
Menyandang Mimpi bismillah. Kamu belajar sungguh-sungguh ya, biar bisa ke sana.� Iqbal begitu senang mendengarnya, baginya mimpinya akan mudah terwujud karena ibunya sudah turut andil di dalamnya. Seakan-akan perbincangan malam itu menjadi bentuk perjanjian bagi Iqbal dan ibunya. Dan janji itu harus ditunaikan dengan tanggung jawab. Tibalah masa puncak perjuangan. Kini Iqbal resmi menjadi alumni pesantren terkasih itu. Bermodalkan keyakinan penuh dan restu kedua orang tua, pemuda kelahiran 31 Mei 1992 ini berlabuh ke Jakarta bersama ketiga temannya untuk mengikuti ujian agar bisa kuliah di Mesir. Besar harapan Iqbal dan teman-temannya agar lulus dan bisa mencicipi studi di Mesir, terkhusus baginya dan Nasir yang merupakan teman kental Iqbal sejak di pesantren. Sambil menunggu hasil ujian itu, Iqbal memutuskan ikut ujian kuliah di UIN SU sebagai alternatif jika tidak lulus di Mesir. Alhasil Iqbal lulus di jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SU dan mengikuti perkuliahan sembari menunggu hasil ujian di Jakarta. Hingga sebulan kemudian keluarlah hasil pahit yang mengecewakan Iqbal. Dia tidak lulus. Pengumuman laksana cambuk penghantam semangat Iqbal itu sontak membuatnya pilu. Namun apa boleh dikata, mungkin kuliah di UIN SU memang jalan terbaik dari sang Khalik. Hal serupa juga dirasakan Nasir, kini Nasir memilih mengajar di pesantren.
127
Menyandang Mimpi Selama kuliah, Iqbal memilih tinggal di masjid yang tak jauh dari kampus. Meski tinggal hanya berdua bersama teman kampusnya yaitu Ali, tak membuatnya merasa sepi sebab warga di tempat itu bersahabat dengan mereka. Suasana pekarangan yang disukai lelaki pemimpi ini membuatnya nyaman belajar hingga sering lupa makan bahkan sering sakit. Walau tidur dikeroyok nyamuk tetap tak mengurangi rasa cintanya tinggal di rumah Allah itu. Setahun berlalu, Iqbal yang kian duduk di semester dua FITK UIN SU ini menemukan selembar pengumuman tertempel di mading bahwa ada ujian beasiswa kuliah di luar negeri. Semangat Iqbal kembali menggebu. Bismillah, ini jalannya. Aku harus kuliah di luar negeri. Titik. Benak lelaki berdarah Jawa itu. Ujian berjalan lancar. Kini Iqbal hanya bisa mendoakan hasilnya. Tibalah waktu pembayaran uang kuliah untuk semester tiga. Di tengah jalan Iqbal berkeinginan membuka hasil ujian. Betapa gemetar tubuhnya saat melihat hasil itu. Iqbal diterima di Al Ahqaf University di Yaman. Iqbal berlari pulang menuju masjid. Pemuda itu menjatuhkan tubuhnya bersujud syukur kepada Rabb. Telepon seluler Iqbal bergetar, ternyata ayahnya yang menelepon. Bisa ditebak pasti ayahnya menanyakan tentang hasil ujian itu. Iqbal yang sangat bahagia berinisiatif memberi kejutan dengan berpura-pura tidak lulus. Ternyata niat jahilnya itu berefek negatif. Ibu Iqbal jatuh pingsan mendengar pengakuannya. Iqbal merasa bersalah, ketika ibunya telah sadar den-
128
Menyandang Mimpi gan polos dia berkata bahwa dia akan terbang ke Yaman. Sontak ayahnya jengkel. �Kamu ini kalau becanda jangan berlebihan, lihatkan apa yang terjadi pada ibu tadi.� Iqbal hanya tertawa malu mendengar kritikan ayahnya itu. *** Udara tercium berbeda harumnya, kini Iqbal tinggal di pusaka Sahara bernama kota Mukalla. Panasnya cuaca yang belum familiar dengan kulit membuatnya sedikit pesimis bertahan lima tahun di sini. Namun, ini adalah mimpinya, apapun kendalanya dia harus tangkas dan tunaikan. Cara belajar yang keras, watak warga yang kasar juga bagian dari tantangan perjuangannya. Selama hidup di tanah orang lain, tak jarang mahasiswa Jurusan Syariah ini mengeluarkan air mata, mulai dari teman yang hilang satu per satu setiap semester karena terpaksa dipulangkan ke Indonesia, bahkan kehilangan teman karena meninggal dunia yang disebabkan lupa menjaga kesehatan selama belajar di sana. Pukul 13.00 di Kota Mukalla. Ini adalah waktunya makan siang bagi anak asrama, tapi tetap saja tidak senikmat makan di warteg Indonesia. Selain dapur yang berjarak setengah kilo meter dari asrama, antrean panjang untuk makan juga perlu diperhitungkan sebab jadwal masuk kuliah tepat pada 13.30. “Jika pulang dari dapur di tengah jalan saya sudah lapar lagi,� keluh salah satu kerabat Iqbal yang hanya dijawab dengan senyuman sebab dia lebih memikirkan apa yang ter-
129
Menyandang Mimpi jadi jika dia terlambat masuk kelas. Alhasil pertanyaan Iqbal terjawab, mereka terlambat dan tidak diperbolehkan masuk kelas serta dihadiahi hitungan absen oleh dosen. Iqbal yang makin lama tinggal di kota panas ini mulai terbiasa berbaur dengan keadaan. Jika tidak masuk kuliah Iqbal memanfaatkan waktu dengan mendatangi rumah ulama untuk mengais ilmu. Selain itu dia juga mulai menulis. Tulisan yang dimulainya berisi kisah-kisah kerabatnya selama memperjuangkan kebaikan di Yaman tersebut. Baginya tulisan ini akan menjadi kenangan jika mereka sudah lulus. *** Lima tahun berlalu singkat, pejuang kebaikan ini resmi menjadi Muhammad Iqbal, Lc. Sangat terharu dirinya bisa melewati setiap masa sulit selama di sini. Dari 156 mahasiswa beasiswa asal Indonesia hanya Iqbal dan 36 teman lainnya yang mampu bertahan hingga selesai. “Bu, Iqbal lanjut S-2 di Turki, ya?� tanya Iqbal ketika sedang bersama Ibunya. “Harus luar negeri lagi? Ya sudahlah kalau itu mau kamu, nak.� Mendengar jawaban pasrah dari Ibunya, Iqbal merasa kecewa. Baginya itu bukan mengizinkan tapi melarang secara halus. Dan dengan segala pertimbangan Iqbal akhirnya ikut pulang ke Indonesia bersama ayah dan ibunya. Prinsipnya, setinggi apap-
130
Menyandang Mimpi un tekad tetap saja patuh pada orang tua pilihan yang terbaik. Iqbal akhirnya meninggalkan pusaka sahara yang penuh perjuangan ini. Di Indonesia Iqbal melanjutkan studinya di UIN SU dengan jurusan Ilmu Hukum Islam. Sambil mengisi kegiatannya, dia menerbitkan bukunya “Pucuk Rhu di Pusaka Sahara� yang ditulis selama di Yaman. Sembari menjual buku, dia juga mengais rezeki dengan mengisi pengajian di berbagai tempat. Dan kini dia juga tengah menerbitkan dua buah buku lagi. Tak disangka rezeki selalu datang pada orang yang berusaha, seorang dosen UIN SU meminta jasa Iqbal untuk mengedit naskah bukunya, karena merasa puas pada editan Iqbal tersebut, dia dijadikan sebagai asisten yang menggantikan seluruh jadwal mengajarnya sekaligus membantu rutinitas kerjanya karena beliau juga berjabatan sebagai dekan FKM UIN SU. Itulah Iqbal, sosok yang percaya dengan kekuatan bismillah, yang patuh kepada orang tua melebihi ambisinya, serta yang tak kenal lelah melakukan hal sekecil apapun, karena baginya hal yang kecil namun diniatkan untuk kebaikan maka hasilnya akan besar.
131
Menyandang Mimpi
Syauqi dalam Mengejar Cita Oleh: Rizqi Ramadhan
M
eraih mimpi merupakan cita-cita setiap orang, untuk mewujudkan mimpi tersebut banyak lika-liku yang harus dihadapi. Pahit-manis pasti pernah dialami oleh para pengejar cita-cita terlebih, dalam hal menuntut ilmu. Mungkin, petuah tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina tak lagi asing kita dengar. Siapa pun berhak menuntut ilmu di mana saja termasuk ke luar dari negerinya. Di Indonesia banyak kampus berdiri dengan megahnya dengan memakai sistem yang cukup baik namun, banyak juga penerus bangsa yang ingin pergi mencari ilmu sampai ke luar negeri untuk mendapatkan hal baru dan sistem keilmuan yang berbeda dari Indonesia. Salah satu penerus bangsa yang berjuang menuntut ilmu di luar negeri itu adalah Syauqi Arinal Haqq, pria kelahiran Kota Medan 18 April 1995.
132
Menyandang Mimpi Syauqi merupakan pujakesuma (putera Jawa kelahiran Sumatra) yang dulunya tinggal di Jalan Sutomo dekat dengan Kampus 1 UIN SU Medan, ia hanya sebentar tinggal di Medan karena ketika menginjak SD ia pindah ke Bandung dan bersekolah di SD IT Imam Bukhori di Sumedang. Setelah menyelesaikan sekolahnya selama enam tahun Syauqi memutuskan untuk melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor (PPMDG) Ponorogo, Jawa Timur. Dari sanalah Syauqi mulai memiliki rasa ketertarikan terhadap budaya asing khusunya dalam segi bahasa. Ia sama seperti anak-anak lainnya yang menuntut ilmu menjadi santri di pondok pesantren modern itu. Syauqi mulai masuk di pesantren dari kelas I SMP sampai kelas I SMA. Ia termasuk santri yang sangat disiplin pada zamannya. Motivasi awal untuk memutuskan kuliah ke luar negeri adalah ingin mempelajari budaya serta bahasa-bahasa asing karena kalau budaya di Indonesia seacara umum sudah diketahui. Namun, hal yang paling membuat termotivasi adalah karena ingin mencari pengalaman sebab pengalaman adalah guru yang terbaik, experiene is the best teacher. Selain pengalaman di luar negeri kita dapat berjumpa lagsung dengan native speaker yang ada di sana. Setelah enam tahun belajar dan satu satu tahun mengabdi Syauqi pun lulus dari pesantren. Dan ia ingin melanjutkan studinya ke luar negeri. Ia memutuskan untuk ikut seleksi beasiswa ke luar negeri yang diadakan oleh Kemenag RI pada 2015. Setelah ujian tidak berapa lama kemudian hal yang paling ditung-
133
Menyandang Mimpi gu-tunggu akhirnya keluar juga, yaitu pengumuman kelulusan beasiswa tersebut. Syauqi lulus di Maroko dan melanjutkan studinya di Universitas Sidi Mohammed ben Abdellah Fes, Maroko. Universitas ini juga termasuk universitas yang sudah lama berdiri setelah adanya universitas Qurawiyyin yang berada di kota itu juga. Perjuangan Syauqi untuk ke luar negeri mendapat kemudahan karena ia telah belajar di salah satu pesantren modern yang terketat di Indonsia. Mungkin tidak semua orang mampu melewati masa-masa mondok di sana karena, sangat banyak peraturan yang harus dijalani. Syauqi sendiri termasuk pemuda yang tangguh dan disiplin sebab, dari awal masuk ia sudah menjadi ketua kamar ketika kelas 1 bahkan, saat kenaikan kelas ia selalu mendapat kepercayaan mulai dari mejadi ketua kelas sampai menjadi bagian dari keamanan ketika menjadi anggota OPPM (organisasi pondok pesantren modern). Selain itu Syauqi juga mengikuti beberapa ekstrakurikuler (ekskul) lain seperti klub bola, klub futsal dan pramuka. Hal ini juga yang memengaruhinya ketika melanjutkan studi ke Maroko ia menjadi salah satu pelajar yang rajin ikut dalam kegiatan-kegiatan di sana seperti seminar, ikut halaqah dengan para ulama, talaqi, serta aktif di Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Maroko. Di PPI Maroko ia sebagai Bagian Pendidikan. Pernah juga mengajar ekstrakurikuler kursus Bahasa Indonesia di sana. Bersama organisasinya ia sempat juga mengunjugi beberapa negara seperti, Oman, Saudi, Mesir, Turki, dan Azerbaijan. Dan ketika di Azerbaijan pernah mengisi acara
134
Menyandang Mimpi 17 Agustus-an dengan mengisi kesenian pentas budaya, ia memainkan angklung sebagai persembahan. Di Maroko juga banyak pelajar Indonesia yang belajar bersama Syauqi. Ada sekitar 24 pelajar yang menjadi teman seangkatannya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kendala yang ia hadapi ketika akan ke luar negeri adalah terlalu lamanya waktu pengumuman dan singkatnya persiapan keberangkatan ke sana—ketika pengumuman keluar, ia belum mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawa sebab, sulitnya adalah mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan seperti ijazah, SKCK, dan surat-surat lainnya. �Saya ketika akan berangkat bingung karena waktu pengumuman dengan keberangkatan hanya berjarak satu minggu jadi, saya bolak-balik ke pesantren untuk menerjemahkan dan melegalisir ijazah. Untungnya, rumah saya di Bandung jadi nggak terlalu repot ke Jakarta kalau teman-teman yang dari luar Jawa kasian mereka pergi ke Jakarta hanya untuk memberikan berkas lalu pulang lagi.� ujarnya. Tambah Syauqi, melanjutkan studi ke luar negeri tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak hal perlu dipersiapkan. Syauqi berangkat ke Maroko setelah Idulfitri. Sampai di sana, banyak kendala yang di hadapi seperti, penyesuaian bahasa: ada dua bahasa resmi yang dipakai yaitu Arab dan Perancis. Namun, kendala seperti ini dapat ia atasi dengan terus belajar apalagi soal bahasa Arab bisa sedikit teratasi karena ia pernah mondok. Di pesantren ia sudah terbiasa untuk berbicara
135
Menyandang Mimpi memakai dua bahasa asing yaitu Arab dan Inggris. Universitas Sidi Mohammed ben Abdellah sendiri didirikan pada 17 Oktober 1975 M, dengan memakai nama salah seorang raja besar Dinasti Alawiyah yaitu Sultan Sidi Mohammed ben Abdellah yang dikenal sebagai pembaharu pendidikan, pengarang buku, dan cendikiawan. Di universitas ini Syauqi melanjutkan studi di Fakultas Sastra dan Humaniora Jurusan Ushul Fiqh. Di sana sistem belajarnya tidak sama dengan sistem pembelajaran yang ada di Indonesia. Untuk jangka waktu belajar di sana cukup menempuh waktu tiga tahun menyelesaikan studi S-1. Kalau di Indonesia kita memiliki sistem pembelajaran yang kita sebut dengan sistem kredit semester (SKS) kalau di Maroko sistem pembelajaranya sudah ditentukan oleh pihak kampus jadi, setiap tahun kita harus bisa menyelesaikannya tepat waktu. Selain itu, Universitas Sidi Mohammed ben Abdellah juga memiliki keistimewaan lain yaitu, menggabungkan ilmu-ilmu tradisonal atau ilmu klasik dengan ilmu terapan atau modern. Universitas ini termasuk salah satu pelopor adanya student exchange (pertukaran pelajar) dari luar negeri yang termasuk paling awal serta serta masih tetap melaksanakan pertukaran pelajar sebagai program. Lain negara juga lain cuaca, di Maroko cuaca di musim panas bisa mencapai sekitar empat puluh lima derajat celsius, menghadapi hari-hari di musim panas Syauqi memilih mengurangi kegiatannya di luar kuliah dan memilih berdiam di kamar menutup semua jendela dengan kain kemudian menyalakan kipas. Sedang-
136
Menyandang Mimpi kan ketika musim dingin suhunya bisa mencapai minus dua derajat celsius. Udara yang sangat dingin tentunya di saat seperti ini Syauqi bisa memakai celana lima lapis dan baju empat lapis agar lebih hangat. Syauqi juga memberikan beberapa motivasi untuk pelajar Indonesia agar bisa melanjutkan studi ke luar negeri. “Menurut saya orang Indonesia cerdas-cerdas secara intelektual namun, kebanyakan dari mereka itu mudah menyerah sebelum selesai di permulaan. Orang Indonesia merasa dirinya sudah maksimal padahal, usaha yang ia lakukan belum ada apa-apanya dibandingkan usaha orang lain. Jadi, jika kita ingin sukses maka kita harus keluar dari zona nyaman, jika tidak maka sama saja kita seperti katak dalam tempurung. Dan juga harus belajar susah bukan artinya kita harus hidup susah namun, jangan sampai terlena dengan kenyamanan yang sudah ada,� kata motivasi anak Wakil Rektor UIN Bandung itu.
137
Menyandang Mimpi
Tekad Sang Pemimpin Oleh: Shofiatul Husna Lubis
“Jangan takut untuk bermimpi, jangan takut untuk berharap. Tapi takutlah saat mereka berhasil merebutnya darimu. Bangkitlah! Berjalanlah dengan tenang, jangan pedulikan mereka yang menghalangimu, Allah akan selalu bersamamu, memberi sesuatu yang tak terduga untukmu.� oresan halus ujung pena pria bertubuh canggung, berkulit sawo matang dalam secarik kertas di genggamannya. Beberapa saat kemudian ia rekatkan pada bagian dalam daun pintu lemari pakaiannya. Lemari itu tampak kusam dan berdebu, sementara ia masih asyik memandangi beberapa kertas yang sudah lama merekat di sana. Sedetik kemudian ia sadar dan mulai bangkit menuju dapur menjalankan rutinitasnya. Hal yang biasa ia lakukan adalah mencuci dan memasak makanan sendiri. Tugas itu menjadi kebiasaannya sejak ia putuskan hidup sebagai santri yang hidup mandiri. Sejak saat itu pula keadaan merubahnya menjadi pria tangguh dengan segudang mimpi.
G
138
Menyandang Mimpi Sebut saja namanya Sakban, bernama lengkap Muhammad Sakban Hasibuan, ia adalah anak kedua dari dua bersaudara, tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari pantauan pemerintah, tepatnya di daerah Mandailing Natal. Sudah hampir dua tahun Sakban terus bertahan dengan pahitnya kehidupan, meski sesekali guncangan halus hampir merobohkan benteng yang kokoh. Namun, dengan penuh keyakinan ia masih bertahan di Mahad Darul Ikhlas pesantren yang memberi warna hidupnya. Usianya masih dikatakan remaja, acap kali membuatnya mengeluh dengan kenyataan ketika memejamkan mata bersama teman seperjuangannya yang berhimpit-himpit layaknya kacang rebus. Gubuk yang hanya berlampu teplok dengan menahan getirnya kerinduan telah mengubahnya menjadi pria kuat penuh berprestasi yang terbukti dari pencapaian nilai yang selalu menyandang tiga besar. Tidak sebatas itu, ia juga pernah menang dalam perlombaan membaca Kitab Kuning dan Musabaqah Tahfiz Quran. Sungguh bahagia hati kedua malaikatnya yang hanya bekerja sebagai petani. Saat ia tengah asyik mengamati goresan penanya, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya. “Bang, ada telepon tuh dari orang tua abang,� celetuk Fahim dengan kacamata yang kontras dengan penampilannya. “Oke, syukran,� ia langsung berlari.
139
Menyandang Mimpi
“Assalamualaikum, ini Syakban, kan?” tanya wanita dengan suara parau dari seberang. “Waalaikumussalam, iya umak, ini Sakban.” Umak adalah panggilan akrabnya. “Bagaimana kabarmu, nak, SPP-mu bagaimana?” tanyanya lagi. “Alhamdulillah Sakban sehat, SPP Sakban menunggak dua bulan, mak,” jawabnya penuh kehati-hatian. “Maaf, umak belum bisa melunasinya, Insyaallah bulan depan, nggak apa-apa kan, nak?” “Iya tidak apa-apa mak, tabungan Sakban masih ada. Umak dan ayak jaga kesehatan, ya?” “Jaga kesehatanmu juga ya, nak. Nanti Umak telepon lagi, Assalamualaikum.” “Iya mak, Waalaikumussalam,” tutupnya. Seketika hubungan terputus. Mendadak ia berhenti memikirkan yang terlintas di kepalanya. Ya Rabb... dengan cara apa hamba melunasinya? Maaf mak, Sakban berbohong ucapnya mendangak ke atas langit. Insyaallah akan ada jalan bisik suara hatinya. ***
140
Menyandang Mimpi “Afwan ustaz, ana belum bisa melunasinya,” ucapnya pada pihak administrasi. “Tidak apa-apa, ustaz paham. Belajarlah dengan sungguh-sungguh insyaallah akan ada jalan,” ucapnya sambil menepuk pelan pundak Sakban. Selang beberapa menit, Sakban kembali mengamati tulisan-tulisan yang masih menggantung rapi di atas sana. Semua mimpi-mimpinya masih melambung tinggi, tak tahu apakah ia mampu menggapainya. Tiba-tiba terbersit kalimat dalam hati Aku harus kuliah ke luar negeri ucapnya lantang. “Wah... bagus bang, memangnya ingin kuliah ke mana?” tanya pria yang tiba-tiba berada di sampingnya. “Ana ingin ke Lebanon, tapi sepertinya itu tidak mungkin, SPP ana aja menunggak,” jawabnya menunduk. “Berapa bulan bang? Alhamdulillah ana baru dapat kiriman dari orang tua, kalau abang mau abang bisa pinjam uang ana dulu,” katanya dengan seulas senyum. “Bolehkah, Him?” tanyanya ragu. Seketika sahabat karib yang biasa disapa Fahim itu langsung mengangguk pelan. “Syukran shahiby,” ucap Sakban pelan.
141
Menyandang Mimpi Keadaan hidup yang serba kekurangan memaksanya berpikir keras demi menggapai mimpinya, terlebih lagi saat ia bertekad kuat membanggakan kedua pahlawannya. Selain suatu kewajiban berbahasa asing, kekuatan mimpi juga mendukungnya untuk fokus lebih mendalaminya. Ia makin akrab dengan buku-buku agama, kamus bahasa asing, dan tidak lupa dengan kitab tebalnya. Hari-harinya mulai disibukkan dengan belajar khusus Kitab Kuning bersama Fahim. Sore ini, ia memiliki jadwal belajar dengan ustaz yang dikaguminya. “Afwan ustaz, kami terlambat,” ucap Sakban ketika sampai di teras masjid. Beberapa menit kemudian ustaz berparas tampan dengan senyum tipisnya memberi sinyal kepada mereka untuk segera duduk di hadapannya. “Lain kali kalau terlambat harus dihukum,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Perlahan mereka membuka Kitab Assyarqawi Alal Hud Hudy, kitab bahasa Arab yang tak berbaris. Mereka membaca beberapa kalimat secara bergiliran kemudian di-i’rabkan dan diterjemahkan. Mereka makin lancar meng-i’rabkan satu demi satu sususan bahasa Arab yang sangat membingungkan bagi orang yang tak paham. Tapi, berbeda halnya dengan Syakban, ia justru tertantang dengan terus mendalaminya sebab ia yakin itu bisa menjadi bekal untuknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar negeri.
142
Menyandang Mimpi Satu jam berlalu, akhirnya mereka pamit dan berjalan kembali ke asrama. Saat di tengah perjalan, tiba-tiba entah dari mana sebuah pena melayang mengenai kepala Sakban. Spontan Sakban memekik kesakitan “Aduh...” sambil mengelus-elus kepalanya. “Awas anti ya,” terdengar suara keras dari belakang punggung pria berkopiah hitam itu. Dari sebelah kanan tengah berlari seorang wanita berjilbab putih sambil membawa bungkusan. “Astagfirullah... afwan akhi, ana nggak sengaja,” katanya menggigit bibir. Jilbab birunya terurai pasrah, tanpa sengaja kedua sepasang mata saling bertemu. Saat sadar, mereka saling menunduk. “Na’am ukhti, la ba’sa (tidak apa-apa),” jawabnya menarik garis senyum. “Kalau begitu ana pamit akh, sekali lagi afwan,” ujarnya dan melangkah pergi. *** Perjuangan hidup Sakban terus berlanjut hingga dinyatakan lulus dari Mahad Darul Ikhlas. Pesantren tercinta yang memberinya panggilan santri. Tak hanya sebatas itu, ia kembali melanjutkan pendidikan di pesantren tahfiz bernama Abdurrahman Bin Auf Medan. Setelah beberapa tahun, akhirnya ia kembali lulus dengan gelar Hafiz Quran 30 juz dan hampir setahun mengajar di Pesantren Tahfiz Siak Pekanbaru. Kemudian ia kembali berkelana mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Jakarta Barat. Ketika ia berhenti mengajar, ia te-
143
Menyandang Mimpi ringat akan impiannya untuk melanjutkan perkuliahan ke Lebanon. Dengan bermodalkan tekad dan nekat akhirnya ia mencoba mendaftar dengan arahan dari ustaznya sewaktu di pesantren. Waktu terus berlalu, penantiannya mendengar kelulusan akhirnya membuahkan hasil, ia diterima di Universitas Darul Fatwa Bekka Lebanon. Melihat hasil kelulusan membuatnya melonjak bahagia namun, tak cukup hanya dengan tekad yang kuat, sebab biaya dan restu tak mendukungnya. Kedua orang tuanya tak langsung memberi izin kepadanya untuk berlabuh ke sana, karena beberapa hal yang menjadi pertimbangan. Mendengar ketidaksetujuan orang tua membuat Sakban berusaha keras meyakini mereka, dan akhirnya mereka pun luluh. Perjalanan sulit Sakban masih berlanjut, setelah mendapatkan restu ternyata biaya pun tak mendukungnya. Namun, kedua malaikat tetap hadir memberi semangat, hingga berpikir untuk menjual sawah demi kebahagiaan buah hatinya. Saat itu Sakban dan kakak perempuannya mencoba mendatangi sebuah rumah untuk menawarkan sawahnya, namun tak membuahkan hasil. Merasa keinginan tak terwujud, keresahan mulai menggelayut di hatinya, ia menangis, mengutuk dan mengurung diri di kamar. Mengapa perintah-Mu, hamba hanya ung kembali
144
ya Allah... hamba sudah melaksanakan tapi mengapa Engkau mempersulit, ingin kuliah. Tangis yang tak terbendtumpah. Rasa kecewa dan putus asa
Menyandang Mimpi membuatnya sempat berpikir untuk meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Kedua orang tua terus memberinya dukungan, hingga hadir sebuah kekuatan, ia mulai melangitkan harap pada sang Pencipta pada qiyamulail. Beberapa hari setelahnya Allah melimpahkan rezeki kepadanya hingga dengan keajaiban tiba-tiba salah seorang warga membeli sawah milik orang tuanya, hingga akhirnya ia mempersiapkan diri untuk pergi ke sana. *** Bulir-bulir halus terus mengguyur tubuh kedua pria berpenampilan sederhana yang berhenti tepat di pelataran bandara. Sorot wajahnya berkopiah hitam itu mengambarkan kepedihan ketika melihat beberapa wali ikut mengantarkan buah hatinya untuk pergi. Rasa sedih tak mampu terlukiskan namun, ia tetap bersyukur masih ada sahabat yang menemaninya. Ketika sudah waktunya untuk pergi, ia memeluk erat pria di depannya. “Terima kasih, karena kamu selalu mendukungku dengan mimpiku, kamu adalah sahabat terbaik dari Allah, semoga bisa menyusul,� bisiknya melepas pelukan. “Iya bang, ingat! Jaga kesehatanmu,� ujarnya.
145
Menyandang Mimpi
146