Fokus Utama Zakky menilai bahwa penggantian status UNS menjadi PTN-BH sama sekali belum membawa UNS menuju arah yang lebih baik, baik itu dari segi akademik maupun administratif. Ia mengibaratkan status PTN-BH seperti menjadikan pengurus kampus sebagai sang pemilik kampus, karena merekalah yang mengatur pembangunan dalam kampus. Hal yang menakutkan, di undang-undang PTN-BH diperbolehkan menaikkan kuota jalur Mandiri sampai 50%, sedangkan di BLU hanya sampai 30%. Pada kenyataannya, mahasiswa sendiri tidak diberikan transparansi mengenai laporan operasional terkait badan usaha apa saja yang mendanai kegiatan di UNS. Keberadaan SPBU dalam kampus pun dinilai sepi. Baginya, PTN yang sekiranya sudah menjalankan kebijakan PTN-BH dengan baik dan dapat menjadi contoh adalah IPB, UI, dan UGM. Mengingat usia UNS yang terbilang cukup muda dalam meraih pencapaian status baru, bagi Zakky pribadi, UNS belum layak dalam mengemban amanah menjadi PTN-BH. Oleh pemerintah, kampus didorong untuk kemandirian finansial, tetapi yang terjadi adalah ketidaksiapan dari pihak kampus sendiri. Mengingat perlunya kebutuhan untuk membiayai kegiatan kampus, kampus menjadi lebih fokus mencari uang daripada mengembangkan urusan akademik dan administratif di dalamnya. Zakky turut membahas mengenai penggunaan fasilitas yang dibayarkan melalui SPI mahasiswa. Menurutnya, seharusnya fasilitas UNS dapat secara langsung dirasakan oleh mereka yang membayar. Ia mencontohkan tahun ini ada pembangunan sebuah gedung dengan menggunakan SPI mahasiswa. Akan tetapi, mahasiswa yang membayar SPI tersebut sudah lulus terlebih dahulu dan tidak merasakan sama sekali fasilitas yang dibangun itu. Padahal, hakikat SPI adalah sama seperti uang pembangunan untuk gedung yang dibayarkan sekali selama satu periode masa perkuliahan. Dengan demikian, seharusnya mahasiswa dapat merasakan apa yang mereka bayarkan. Pernyataan hampir senada terlontar dari M. Aminullah Thohir yang akrab disapa Amin, seorang mahasiswa FISIP UNS. “Kalau aku tidak percaya kampus menjadi baik ketika menjadi PTN-BH. Menurutku, kampus menuju yang baik adalah di mana kampus itu bisa diakses oleh seluruh masyarakat dari golongan bawah sekali pun,” ungkapnya. Menurut Amin, pendidikan haruslah membawa masyarakat kepada perubahan yang lebih baik. Dengan
adanya kebijakan dari PTN-BH, biaya berkuliah akan semakin mahal. Selain permasalahan kebijakan finansial, masih terdapat beberapa masalah internal yang menurut Amin menjadikan UNS belum siap atau bahkan tidak cocok menyandang status PTN-BH. Salah satunya adalah ia menilai bahwa pihak kampus masih belum terlalu peduli dengan permasalahan yang ada di kalangan dosen. “Ini enggak ada kaitannya sama kebijakan PTN-BH, lebih ke penguasaan teoretis dan praktik dosen. Dari yang kuketahui secara singkat, banyak dosen yang diterima penelitiannya oleh LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) justru sering memanfaatkan mahasiswanya untuk mengerjakan penelitiannya. Sementara dosen yang punya integritas tinggi, secara teoretis dan praktik bagus, penelitiannya malah ditolak tanpa adanya catatan reviu. Untuk mengetahui lebih lanjut, mungkin bisa wawancara langsung kepada dosen,” ujarnya. Akan lebih baik apabila kampus memfokuskan diri terlebih dahulu kepada isu internal yang ada sebelum menjadi PTN berbadan hukum. Sebagai penutup, Zakky selaku Presiden BEM UNS menyampaikan harapannya terkait isu ini. Ia berharap kampus tidak menaikkan jumlah besaran UKT walaupun sudah beralih status menjadi PTN-BH seperti yang sudah dijanjikan Jamal ketika menjabat menjadi Rektor UNS. Ia ingin dapat terus mengawal permasalahan terkait SPI, UKT, dan kebijakan yang merugikan mahasiswa.
“Perubahan baik apa yang terjadi ketika masyarakat di sekitar UNS saja tidak mampu berkuliah di UNS karena biaya (SPI) yang sangat mahal?” ujar Amin.
KENTINGAN XXVIII 2021
11