Kolom Luar
Merindukan Kelas Aku bersama teman-teman pernah bosan di kelas (tidak ada yang seru). Kemudian, kami memikirkan permainan yang seru dan menarik. Setelah itu, kami mengambil bola untuk bermain sepak bola di halaman. Aku menjadi kiper sepak bola. Kami bermain sangat gembira. Tak disangka, seorang teman menendang bola ke arahku. Aku pun kesakitan karena bola mengenai sesuatuku. Aku menelepon ibuku dan dibawa ke Randu (Cepogo). Ternyata aku disunat. Aku pun merasa lega dan tidak masuk sekolah selama 3 hari. Kini, aku sudah kelas 5. Kami bosan di kelas karena bola disita, kelereng diambil, dan stik dibuang. Kami memikirkan permainan tanpa mainan. Kami akhirnya menemukan permainan lain, yaitu petak umpet. Kami akhirnya bermain dengan bahagia. (Muhammad Rafiq Nur Ikhsan dalam buku “Piknik ke Sekolah-Memoar Bersekolah Murid-Murid SD Muhammadiyah Program Khusus Boyolali”, 2017).
B
arusan adalah secuplik tulisan Rafiq, bocah laki-laki asal SD Muhammadiyah Boyolali. Saat menulisnya, Rafiq masih duduk di kelas lima SD. Jadi, kira-kira saat ini sudah enam tahun dia menjalani tiap paginya di ruang kelas. Seandainya seo-
26
rang mahasiswa masih harus berangkat ke kelas di tahun keenam kuliahnya, sudah pasti dia bakal stres berat dan sudah sibuk mencari joki skripsi terpercaya. Namun, enam tahun itu belum juga setengah dari masa pendidikan yang harus ditempuh Rafiq. Pertempuran masih panjang. Rafiq harus menjalani kehidupan di kelas bertahun-tahun lagi sampai dia menuntaskan “sekolahnya” dan dianggap matang oleh kehidupan sosialnya. Ruang kelas telah menyita suatu periode dalam kehidupan Rafiq atas nama masa depan. Periode ini rawan sesak karena kelas memiliki aturannya sendiri. Di kelas ada sang penguasa (guru), ada dewan perwakilan murid (ketua kelas), ada gambar-gambar pahlawan nasional, foto presiden dan wakilnya, serta simbol garuda pancasila. Di kelas, para murid dilarang berbicara kecuali diizinkan, posisi
KENTINGAN XXVIII 2021
duduk diatur, pakaian diatur, penampilan diatur. Bola, kelereng, dan stik yang biasanya jadi teman ramah di rumah juga tiba-tiba berubah menjadi barang haram saat berada di kelas. Jadi, tidak usah kita bayangkan berapa kali lagi Rafiq harus memikirkan permainan menyenangkan demi mengusir kebosanannya di kelas.
Yang Datang dan Hilang dari Kelas Kita lebih ingat kelas sebagai “tempat” ketimbang sarana penularan ilmu pengetahuan. Kelas sering kali gagal merebut perhatian murid dengan keseruan pengetahuan. Hal ini menjadikan kehidupan bersekolah seolah jadi takdir yang harus dijalani anak belaka. Namun, di masa-masa kita harus dipisahkan dari kelas seperti ini, mengapa banyak keluhan yang datang seolah anakanak dipisahkan dari pengetahuan?