Majalah Paradigma Edisi 35

Page 1

PARADIGMA // 1 Edisi 35 Desember 2020


2 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


SALAM REDAKSI

Sinergi dan Komunikasi MENJADI warisan Sunan Muria sejak abad ke-16, parijoto memang tak banyak memiliki gejolak di media, hanya dijualbelikan dan dipercayai sebagai tanaman penyubur kandungan. Berbeda ketika parijoto ditransformasi menjadi produk, ketenaran parijoto pun sama seimbangnya dengan kopi sebagai komoditi Muria. Parijoto (Paringono jiwo ingkang sejo lan ketoto; berilah jiwa yang baik dan tertata) justru bertolak belakang dengan kenyataan. Nyatanya abad 21 ini belum menjadi masa keemasan parijoto yang komoditinya belum ketoto. Harapan diperhatikan bahkan masih dielukan oleh petani parijoto Muria. Belum lagi otak-atik kepemilikan dan sertifikasi yang membuat polemik sana sini. Pergolakan isu kepemilikan parijoto Kudus maupun Jepara menjadi ramai diperbincangkan.

Tanaman yang justru berkembang pesat di dataran Colo, area makam Sunan Muria, sudah lebih dahulu di klaim Jepara. Petani, pedagang dan masyarakat setempat pun mengadu rasa kecewa. Apresiasi pemerintah mengenai komoditi lokal seperti parijoto memang perlu dipertanyakan kembali kabarnya. Jika memang sudah milik Jepara dalam sertifikasinya, maka sudah sampai manakah sertifikasi parijoto Kudus yang ditunggu banyak orang ? Majalah LPM Paradigma edisi 35 akan menjawab nasib kembali disahkannya parijoto Kudus dan narasi menarik dibalik polemik yang belum juga tuntas. Dibalik polemik adu gesit klaim sertifikasi parijoto, sejarah perkembangan parijoto di Muria perlu diketahui masyarakat luas. Belum lagi masa pencarian parijoto yang membutuhkan waktu

berhari-hari merambah hutan Muria. Perjuangan beberapa petani parijoto tentu membuahkan hasilnya dengan kita sehari-hari bisa dengan mudah mencari parijoto tanpa susah-susah merambah hutan. Keberhasilan petani parijoto yang kini sudah mapan dalam segi ekonomi pun diyakini berkah dari sabda Sunan Muria. Belum lagi produk parijoto yang dikelola menjadi sirup, teh, kripik bahkan permen menambah menariknya parijoto di masyarakat luas. Perjalanan parijoto dari masa ke masa memang perlu dikelola bersama. Warisan Sunan Muria menjadi PR bersama untuk terus mempertahankan potensi lokal dan mengangkat perekonomian masyarakat. Kupas tuntas dengan membaca hingga halaman terakhirnya! Selamat Membaca!

REDAKSI


DAFTAR ISI

Sinergi dan Komunikasi

5 etalase I.R Sutami, Menteri Termiskin yang Tak Gila Harta & Tahta

6 kajian riset

Menyoroti AMDAL Wisata Desa

12

......................................................................

1 salam redaksi

bidikan utama

Sengketa Tata Kelola Parijoto

budaya

39

TEBOKAN JENANG, Dari Legenda Mbah Dempok Hingga Pergeseran Tebok DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma Sejak tahun 2000 Sekretariat : Gd. UKM Lantai 1 Kampus Barat IAIN Kudus Jl. Conge Ngembalrejo Bae Kudus No. HP : 0823-2497-0713 (PU)

Pelindung: Dr. Mundakir, M.Ag (Rektor IAIN Kudus), Dr. H. Ihsan M.Ag (Wakil Rektor III). Pembina: Wahibur Rokhman S.E M. Si. Ph. D . Staf Ahli: Muhammad Hamdan, Wahyudi Zulfi Hidayat, M. Nasrurrahman, Munawir Aziz, Nur Habibi, Zakki Amali, Hubeb Muhajir, Adi Purnomo, M. Zainal Arifin, M. Agus Iqbal. Litbang: Al Mahfudz, Arif Rohman, Diyah Ayu Fitriani, Sitta Zukhrufa, Yaumis Salam, Mahya Hidayatun Nikmah, Ahmad Afandi, Achmad Ulil Albab, Muhammad Farid, Ade Achmad Ismail, Faqih Mansyur Hidayat, Arif Maulana Hasanudin, Falis Istianah, Ali Murtadho. Pimpinan Redaksi: Umi Zakiatun Nafis. Sekretaris Redaksi: Haniam Maria Rizqiya. Pimpinan Umum: M. Nur Ulyanuddin. Bendahara Umum: Ifa Rizki Purnamawati. Sekretaris Umum: Anisa Rahmawati. Redaktur Berita: Kustina Candra Ningrum, Fiski Ratna Elly. Redaktur Budaya: Zakiyatus Sariroh. Redaktur Kajian Riset : Intan Permata Sari. Redaktur Sastra: Nila Sinta Fitriyani, Diah Ayu Ambarwati, Nuryanti. Reporter: Abdul Rosid, Dewi Kusrini, Nandita Hapsari, Divisi Publikasi: Windy Aprilya P., Nonik Nurhanifah, Fatwa Fauzian, Shella Khofiyyan Nida. Ilustrasi Sampul: Satriani Qurrota A’yun. Karikatur: Syaroful Anam. Layouter: Hasyim Asnawi. 4 // PARADIGMA Edisi 35 Desember 2020


KARIKATUR

......................................................................

10

DAFTAR ISI

9 KOLOM ALUMNI

11 editorial

.......................................................................

Saatnya Angkat Busana Adat

31 profil

80 catatan lepas

Bangun Pagi dan Produktif

62

sinema

Rektor Launching IAIN Kudus Press

..........................................................

76 sketsa kampus

42

Gaung Toleransi dari Gong Plajan

50 menu khusus

Setengah Hati Kurang Sedikit

Angkat Budaya Jadi Branding Desa

jalan-jalan

Jadi Qori Andalan Berkat Tekun Latihan

69 cerpen

Fokus Tata Kelola

24 WAWANCARA

28 gaya hidup

Aplikasi Literasia Masih Tahap Uji Coba

Karimunjawa Kembali

NARASI ZOMBIE dan Konsep Survive Saat dilanda Wabah

PARADIGMA // 5 Edisi 35 Desember 2020


SUARA KAMPUS RESPON DOSEN PEMBIMBING LOADING LAMA

K

ETIKA saya ingin melakukan bimbingan tugas akhir, dosen pembimbing saya sangat sulit untuk ditemui. Entah dosennya yang sangat sibuk atau bagaimana, saya kurang paham. Padahal sebelum bimbingan saya selalu menghubungi dosen tersebut terlebih dahulu. Jika terus seperti ini, bagaimana mungkin saya bisa menyelesaikan studi saya tepat waktu. (Ayu Agustina, Mahasiswa Prodi PGMI Semester Tujuh)

JAWABAN: Terimakasih kepada Saudari Ayu. Jadi begini, kami sudah menginstruksikan kepada seluruh dosenpembimbing untuk merespon semua pesan WhatsApp dari mahasiswa, selama masih dalam konteks dan etika yang sopan. Semua dosen pembimbing juga dilarang untuk membatasi jam konsultasi. Hal ini untuk mempermudah mahasiswa dalam melakukan bimbingan di kampus, selama jam kerja mulai hari Senin sampai Jumat. (Wakil Rektor I)

MAHASISWA BUTUH KANTIN DALAM KAMPUS

S

AYA cukup merasa sedih karena di kampus sudah tidak ada kantin lagi, padahal menurut saya, mahasiswa butuh kantin di dalam kampus, agar ketika ingin membeli makanan tidak perlu jauh-jauh keluar kampus. Terima kasih.

(Sahal Mahfudz, Mahasiswa Prodi HKI Semester Lima)

JAWABAN: Terima kasih Sahal sudah menyampaikan aspirasinya, terkait kantin sudah kami rencanakan dan akan kami pilih lokasi yang tepat. Untuk kampus barat akan kami tempatkan di belakang gedung PKM, sedangkan untuk kampus timur akan berada di dekat Gor. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi para pedagang kaki lima yang berjualan di depan kampus . (Rektor IAIN Kudus) SUARA KAMPUS Tim Redaksi Majalah Paradigma mengajak mahasiswa IAIN Kudus semua angkatan untuk menyuarakan aspirasi yang ditujukan untuk IAIN Kudus. Ayo!!!! Kirim keluh kesah kalian baik berupa kritikan atau saran ke email redaksi : lpmparadigma@gmail.com dengan subyek KRITIK_KAMPUS. Sertakan juga Nama, Jurusan, Prodi, Angkatan juga ya. Bagi Kritik dan saran yang beruntung akan dijawab langsung oleh pihak yang bersangkutan. Dan akan dimuat di rubrik suara kampus majalah PARADIGMA. salam.....

6 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


ETALASE

I.R SUTAMI,

Menteri Termiskin yang Tak Gila Harta & Tahta Anisa Rahmawati

MEGAHNYA bendungan Karangkates, Malang, Jawa Timur, menjadi saksi sejarah dedikasi Ir Sutami. Bendungan itu dibangun sebagai penghormatan atas kinerja Ir Sutami. 16 Desember 1981, Presiden Soeharto meresmikan bendungan Karangkates dan membacakan pidato penghormatannya untuk Sutami. Dalam pidatonya ia menyiratkan betapa gigih dan totalitasnya dedikasi Sutami untuk bangsa ini. Sutami tidak pernah bermewahmewahan. Rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat dibeli secara kredit. Sutami juga tak mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan. Saat lengser, ia mengembalikan semua fasilitas negara, termasuk mobil dinasnya. Kebiasaan sederhana itu sudah ia rasakan sejak kecil. Sutami dilahirkan dari keluarga sederhana pada 19 Oktober 1928 di Solo. Ayahnya, Raden Ngabehi Mloyowiguno, adalah pegawai karawitan Keraton Surakarta. Ayahnya mengajari Sutami agar terbiasa hidup dengan mengemban nilai-nilai kejawen. Ketika mengenal pelajaran hitung menghitung, Sutami sangat tertarik pada Aljabar dan bercita-cita menjadi insinyur. Pada 1950 Sutami menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung (sekarang ITB) dan lulus pada 1956. Selama masa jabatannya menjadi Menteri Pekerjaan

Umum di Kabinet Pembangunan, Sutami banyak mempelopori pembangunan waduk besar, pembuatan saluran irigasi tersier, dan pusat-pusat tenaga listrik. Sebab prinsipnya, Sutami memiliki julukan menteri termiskin, seperti yang dituliskan Hendropranoto dalam majalah Prisma. Selama 14 tahun sejak 1965 hingga 1978 nyatanya Sutami tetaplah menteri yang miskin. Menteri yang Tak Punya Udel Sutami juga mendapat julukan ‘Menteri yang Tak Punya Udel’ dari para wartawan. Julukan ini ia dapat karena kesukaan Sutami berjalan kaki. Saat meninjau ke daerahdaerah terpencil, ia ingin melihat sendiri manfaat dari pembangunan atau permasalahan yang ada di daerah. Suatu waktu, Sutami rela berjalan jauh untuk meninjau lokasi setelah mendapat keluhan dari Soeharto terkait kelayakan lahan transmigrasi di sekitar Jambi. Menurut Sukadji Ranuwihardjo, Rektor Universitas Gadjah Mada masa bakti 1973-1981, seperti dikutip Kompas (15/11/1980) mengatakan, Sutami adalah intelektual yang merakyat, ia ingin menjadi bagian yang integral dari masyarakat. Berdasarkan pemikiran intelektualnya, dedikasi kerakyatan itu nampak dalam konsep ilmu wilayahnya. Sutami merupakan Menteri PU yang menjabat paling lama dalam sejarah kabinet di Indonesia.

Jabatan ini dipangkunya selama hampir 12 tahun mulai dari 1966 hingga 1978. Saat usia 35 tahun, Sutami juga sempat menjabat Menteri Negara urusan penilaian konstruksi di bawah pemerintahan Soekarno. Pada era Orde Baru ketika terjadi pelimpahan jabatan tanggal 29 Maret 1978, Sutami tidak lagi menerima jabatan menteri. Mundurnya Sutami lantaran kondisi kesehatannya yang semakin memburuk sejak awal tahun 1977. Menurut sejumlah pemberitaan, penyakitnya ditimbulkan akibat kekurangan gizi dan kelelahan. Dalam sakitnya, Sutami tidak ingin dirawat di rumah sakit lantaran takut diketahui bahwa ia tidak punya uang untuk membayar rumah sakit. Sutami menghembuskan nafas terakhirnya pada 13 November 1980 di Jakarta. Tepatnya pada usia 52 tahun. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, atas permintaannya, yang tak ingin dimakamkan di Makam Pahlawan Kalibata.[] *Penulis adalah Sekretaris di LPM Paradigma

PARADIGMA // 7 Edisi 35 Desember 2020


KAJIAN

PENELITIAN

PENERBITAN

JURNALISTIK

MENYOROTI AMDAL WISATA DESA Intan Permatasari

MEMASUKI era pembangunan di milenium ke tiga (pasca tahun 2000), banyak perubahan yang dialami dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor pun digalakkan, termasuk pembangunan wisata. Pada 2015 lalu, UU No. 6 tentang Desa Wisata mulai diberlakukan. Pengembangan desa wisata digadang-gadang efektif meningkatkan pertumbuhan perekonomian desa. Namun, belakangan muncul paradigma baru pembangunan wisata justru dapat menyebabkan malapetaka terhadap dimensi lingkungan hidup. Kesejahteraan ekonomi nyatanya hanya bisa dinikmati segolong orang tidak diimbangi dengan peningkatan pelestarian ekosistem. Di Kudus misalnya, beberapa pembangunan wisata desa disoroti memberi dampak buruk terhadap lingkungan. Seperti wisata Bukit Puser Angin Jekulo yang dinilai belum memiliki Detail Engineering Design (DED) dan kondisi alam sekitarnya yang sudah gundul. Belum lagi pembangunan river tourism Kali Gelis di Desa Rahtawu Kecamatan Gebog yang disinyalir menambah beban lingkungan. Barubaru ini juga wisata desa Ternadi di lereng gunung Muria seakan merambah keaslian hutan. Perencanaan pembangunan wisata, kegiatan dan usaha tentunya 8 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

memerlukan perencanaan yang matang. Selain dengan pengkajian tempat, setiap pembangunan harus memerhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kajian tentang dampak dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan untuk proses pengambilan keputusan pada lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang “Izin Lingkungan Hidup� menyebutkan bahwa selain memiki harus AMDAL, juga harus memiliki izin lingkungan hidup yang meliputi aspek kimia, fisika, sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Dari latar belakang tersebut, Tim Riset LPM Paradigma IAIN Kudus mengadakan survei untuk mengetahui pendapat mahasiswa IAIN Kudus terkait pembangunan wisata tanpa memerhatikan AMDAL. Berdasarkan hasil polling terhadap 100 responden, terhitung sebanyak 22% belum mengetahui istilah AMDAL. Meskipun begitu, seluruh responden menyatakan kesetujuanya terhadap pentingnya AMDAL sebelum melakukan pembangunan wisata. Di berbagai kasus, banyak tempat wisata yang terkesan mengeksploitasi keaslian alam. Tecatat jumlah wisata desa yang berdampak pada lingkungan di lokasi 21 responden dan 5% responden menjawab ada 2 wisata

dan sisanya terdapat 3 atau lebih wisata yang tidak memerhatikan lingkungan. Adapun 71% responden menjawab tidak ada wisata di desa mereka. Tanpa AMDAL, masyarakat setempat akan mengalami kerugian jika segala pembangunan mengabaikan potensi gangguan, seperti polusi dan bencana alam. Kerusakan lingkungan yang terjadi sejumlah 72% responden menyatakan berupa limbah sampah, 10% menjawab hutan gundul, 3 orang menjawab sisanya berupa polusi udara. AMDAL memberikan informasi penting terhadap dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan bagi pelaku usaha atau wisata. Mayoritas (92%) responden setuju untuk lebih mengutamakan analisis lingkungan, meski masih terdapat 8% responden yang menyatakan lebih setuju mengutamakan analisis ekonomi. Data yang sama yakni 8% responden menyatakan tidak setuju jika kehancuran ekosistem akan terjadi tanpa AMDAL. Dengan begitu. 11% responden menyatakan setuju jika terdapat pembangunan wisata desa yang tidak memerhatikan ekosistem lingkungan sedangkan 89% responden menyatakan tidak setuju. Salah satu kendala pelaksanan AMDAL adalah proses yang memakan waktu lama dan minimnya SDM dalam menyusun


KAJIAN AMDAL. Oleh karenanya, banyak oknum yang melakukan pembangunan tanpa izin. Hasilnya 60% menyatakan tidak setuju AMDAL hanya dijadikan formalitas kewajiban hukum, 11% responden menyatakan sangat tidak setuju, 26% setuju, dan sisanya sangat setuju. Maka dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam menjaga ekosistem lingkungan. Sebanyak 63% responden sangat setuju jika pemerintah dan seluruh

PENELITIAN

PENERBITAN

elemen masyarakat berperan aktif dalam menjaga ekosistem lingkungan wisata dan 37% menyatakan setuju. Harapannya pelanggaran dari oknum yang tidak bertanggungjawab dapat diminimalisir melalui sanksi. Sanksi pelanggaran wisata atau kegiatan lain yang tidak menerapkan AMDAL dan tidak berizin 39% responden setuju diberikan peringatan, 29% setuju untuk diperbaiki ulang, dan 32%

Kerusakan lingkungan jenis apa yang sering terjadi akibat pembangunan wisata desa?

JURNALISTIK

responden menyatakan tegas untuk ditutup. Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 2012 menyebutkan, proses perencanaan pembangunan wisata dan usaha harus dilakukan tiga kali. Sebanyak 59% responden menyatakan setuju frekuensi pemantauan pemerintah terhadap lingkungan wisata harus ditingkatkan, 39% responden sangat setuju, dan sisanya tidak setuju. []

Frekuensi pemantauan dari pemerintah terhadap lingkungan di wisata harus ditingkatkan.

Lebih utama mana analisis ekomomi atau lingkungan dalam membangun wisata?

Sanksi pelanggaran wisata/ kegiatan lain yang tidak menerapkan AMDAL dan tidak berizin

Metode Polling: Polling diambil dari 100 responden mahasiswa IAIN Kudus secara acak melalui google form pada akhir bulan November 2020. Disclaimer: Hasil polling tidak bermaksud mewakili seluruh pendapat dari civitas akademika IAIN Kudus, melainkan sebagai data untuk disajikan kepada publik. data tidak dimaksudkan untuk pengambilan keputusan oleh siapapun. PARADIGMA // 9 Edisi 35 Desember 2020


KOLAM

[Kolom Alumni]

FOTO: FEMI

Karimunjawa Kembali

KEMBALI: Kepulauan Karimunjawa kembali dibuka setelah tujuh bulan tutup karena Covid-19

H

ARI itu Jumat (23/10) saya menginjakkan kaki kembali di Karimunjawa untuk berwisata. Ini jadi momen istimewa. Sebab Kepulauan Karimunjawa baru dibuka kembali Jumat (16/10), setelah tujuh bulan sebelumnya ditutup lantaran pandemi Covid-19. Jumlah wisatawan yang masuk ke wilayah tersebut dibatasi. Hanya 100 orang per pekan. Pelaksanaan protokol kesehatan ketat. Selain itu untuk pembelian tiket, wisatawan juga wajib melampirkan hasil pemeriksaan rapid test non reaktif. Di hari pertama, saya berkeliling ke lokasi yang biasanya menjadi lokasi favorit wisatawan. Seperti Bukit Love, Pantai Boby hingga Pantai Tanjung Gelam. Semuanya lenggang. Saat mengunjungi Bukit Love, hanya ada sekitar lima wisatawan di sana. Mereka terlihat asyik menikmati suasana di Bukit Love. Sebagian berfoto di spot-spot yang disediakan, sebagian lainnya ada yang memilih bersantai di area kafe. 10 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Wisatawan bisa leluasa menikmati suasana di bukit love lantaran pengunjung yang tidak terlalu banyak. Berbeda dengan sebelum pandemi, wisatawan harus mengantre untuk foto di spot yang disediakan. Dari cerita pengelola, hari itu hanya ada 15 pengunjung yang datang. Padahal jika kondisi normal, dalam satu bulan bisa mencapai angka 3 ribu. Kondisi yang sama juga terjadi di lokasi pantai misalnya Pantai Bobby. Tahun lalu wisata yang tergolong anyar ini, selalu menjadi jujugan wisatawan. Namun sejak pandemi, kondisinya lenggang. Pengelola bahkan harus menarik tiket masuk dari penduduk lokal agar ada pemasukan. Sementara di Pantai Ujung Gelam yang biasanya banyak dikunjungi untuk menikmati sunset, kondisinya pun lenggang. Hanya ada belasan pengunjung yang datang. Saat sunset, tak ada wisatawan yang memenuhi bibit pantai untuk mengabadikannya. Hari kedua, saya memilih ikut tour laut. Kali ini ada beberapa lokasi yang dikunjungi. Mulai menikmati bawah


FOTO: FEMI

laut di spot snorkeling Taka Sendok Pulau Menjangan Kecil, Pulau Cemara Besar hingga konservasi hiu di Pulau Menjangan Besar. Saat tur laut itu, kondisi sepi. Di Pulau Cemara Besar misalnya. Jika pada kondisi normal di pulau tersebut ada pengelola dan pedagang yang menawarkan dagangannya, saat itu tidak dijumpai. Suasana sama lenggangnya dengan sejumlah obyek di daratan Karimunjawa. Sepanjang perjalanan, saya sempat bertemu dengan banyak warga lokal. Berbagi cerita selama aktivitas wisata yang sempat off selama tujuh bulan lantaran pandemi Covid-19 menggemuka. Kondisi ini benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pariwisata. Mereka bertahan hidup dengan beralih pekerjaan, ada yang kembali melaut, buka angkringan hingga ada pula yang kerja serabutan lainnya. Hasanuddin, pemilik biro wisata Karjaw bercerita setelah tujuh bulan akhir Oktober itu menjadi kali pertama dirinya dapat tamu. Sebenarnya banyak wisatawan yang menghubunginya dua bulan terakhir. Hanya saja, banyak yang memilih membatalkan trip lantaran aktivitas wisata masih dibuka secara terbatas. Karena berulangkali tak deal, laki-laki itu bahkan berujar dia akan melakukan bancakan ketika ada trip wisata yang deal. ”Dulu saat akhir pekan, ramai. Kami bernafas saja rasanya susah. Tapi sekarang sepi, seperti kembali ke Karimunjawa masa lampau,” celotehnya. Cerita berbeda diungkapkan Syukur, yang sehari-hari berprofesi sebagai supir mobil wisata. Dulu saat akhir pekan, wara-wiri antar jemput wisatawan. Saat tiba-tiba wisata off tentu kaget. Laki-laki yang berprofesi supir wisata sebagai pekerjaan utama sejak 2014 lalu ini, mengaku bekerja serabutan untuk memenuhi tanggungjawab sebagai kepala keluarga. Dia mengaku terpaksa ikut melaut mencari ikan dengan ikut serta di kapal nelayan lain. Warga Desa Karimunjawa lainnya, Sholikin yang biasanya menyewakan perahu untuk wisata menyatakan, tujuh bulan terakhir dia kembali memanfaatkan kapalnya untuk melaut mencari ikan. Ada pula warga yang membuka usaha lain untuk menyambung hidup. Warga Desa Karimunjawa, Obed yang sebelumnya membuka trip wisata dan menyediakan homestay bagi wisatawan, tak ada pemasukan. Sekarang dia membuka angkringan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. ”Kondisinya ya sepi seperti bukan tempat wisata, seperti desa kami zaman dulu,” katanya.

Femi Noviyanti, Wartawan Radar Jepara Jawa Pos. Pimpinan Redaksi LPM Paradigma tahun 2012 Penjual suvenir di Alun-alun Karimunjawa mengalami nasib serupa. Rofiati, mengaku sejak Maret itu memang wisatawan tidak ada yang masuk dan dia sendiri nekat berjualan 2 bulan terakhir ini meski sepi. Dia mengharapkan penjualan dari tamu perjalanan dinas. Dalam kondisi normal setiap pekannya dia mendatangkan barang baru hingga 2 karung dengan jumlah pakaian sekitar 500 pcs. Namun hal itu tidak dapat dilakukannya lagi saat ini. Stok barang yang ada di lapaknya saat ini pun masih menumpuk banyak. Ada juga barang-barang yang belum laku terjual di rumahnya. Dari segi perekomian, warga yang mengantungkan hidup dari sektor pariwisata benar-benar merasakan dampaknya. Namun di sisi lain, mereka seolah dipaksa menengok kembali Karimunjawa belasan tahun lalu sebelum populer sebagai lokasi wisata seperti sekarang ini. Pada kondisi pandemi, para pelaku pariwisata pun diberi kesempatan untuk merenung. Hal apa yang akan dilakukan ketika Karimunjawa dibuka kembali secara luas untuk aktivitas pariwisata. Bukan sekedar bagaimana mereka menyambut tamu, tapi juga bagaimana mereka memperlakukan alam yang memberikan kesempatan bagi mereka mengeksplore untuk keperluan wisata. Dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah tentunya. Saya sempat melontarkan pertanyaan, apa yang akan mereka lakukan saat Karimunjawa kembali ramai. Jawaban singkat namun menggelitik. ”Kami tentu akan memberi layanan terbaik bagi wisatawan. Oh ya, tentu harus menjaga kondisi alam kami sebaik-baiknya. Itu yang penting,” tutur salah satu guide, menutup percakapan kami saat berkeliling pulau. [] PARADIGMA // 11 Edisi 35 Desember 2020


Anggaran majalah dipotong lagi, Kang. Katanya sih biar kita gak kesulitan distribusinya - Waduh,.... Seharusnya bisa dialokasikan ke operasional pembuatan majalah tuh. Uang DIPA seluruh Ormawa disamaratakan, Kang - Lho kan kegiatan dan operasional setiap Ormawa berbeda-beda Penelitian diarahkan Library Research, tapi kuota perpus dibatasi, Kang? - Namanya juga kuota, ya pasti dibatasi Denger-denger Januari sudah bisa kuliah tatap muka, Kang - Wahh, bisa ketemu dedek-dedek maba dong,.....

12 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


EDITORIAL

Fokus Tata Kelola

INDONESIA secara bertahap melakukan transformasi ke bidang industri. Industri dan skema kerja manusia modern yang ada di kota, membawa dan mempercepat proses manusia kehilangan sebagian kendali atas diri mereka sendiri. Pemerintah seolah memprioritaskan tatanan kota daripada lebih memerhatikan potensi desa. Padahal dalam situasi semacam pandemi yang menggerogoti jajaran ekonomi, membuktikan bahwa desa lebih bisa bertahan dan berdaya dibanding kota. Semacam itulah unek-unek Puthut Ea dalam bukunya Corona, Desa, dan Negara tentang desa yang berpotensi menyelamatkan negara. Sebagai pemerhati desa, Nurhady Sirimok dalam bukunya Melihat Desa dari Dekat, juga memiliki analogi yang sama mengenai fenomena desa yang

perlahan ditinggalkan pemuda, dan dianak tirikan oleh negara. Hal yang sama memang fakta adanya, ketika desa tak lagi diperhatikan, masyarakat dan petani akan murka karena merasa tertinggal. Bagaimana tidak, komoditi lokal semacam parijoto, kopi, jeruk ataupun jambu tidak bisa diharapkan (lagi) perhatianya akan pemerintah. Beberapa kali Kudus mengalami ketertinggalan dalam mengajukan komoditi lokal. Beberapa kali juga para petani dan UMKM mendesak agar pemerintah lebih gerak cepat dalam menanggapi kejelasan kepemilikan. Seperti pada 2019 lalu, guna memperjelas identifikasi produk Kopi Muria, petani dan pelaku UMKM mendesak Pemkab Kudus segera mengusulkan sertifikasi. Namun kabar itupun tidak lagi ada kejelasan. Kejadian yang sama pun kembali terjadi lagi di 2020 ini, tak hanya kopi, parijoto pun senasib ketidak jelasanya tentang sertifikasi. Pada dasarnya, pengajuan sertifikasi yang diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) merupakan upaya untuk melindungi suatu produk agar tidak diklaim dan dipatenkan daerah lain. Karena parijoto hidup di semenanjung pegunungan Muria yang mencakup tiga kabupaten, Kudus, Pati dan

Jepara, maka Jepara pun terlebih dahulu mengajukan sertifikasi. Padahal lokalitas parijoto Jepara hanya berjumlah 300-500 tanaman yang terletak di desa Tempur. Di sekitar Colo, Kudus, parijoto menjadi ladang perekonomian sebagian kecil masyarakat Muria. Tradisi menjajakan parijoto di area undak-undak-an arah makam Sunan Muria pun masih bertahan hingga sekarang. Hal itu disebabkan kentalnya sabda Sunan Muria bahwa parijoto bisa menjadi penyubur kandungan. Bahkan hingga kini, parijoto juga masih diikutkan sebagai syarat mitoni (tujuh hari kehamilan) oleh masyarakat sekitar. Warisan Sunan Muria yang ada sejak abad ke-16 itu, memiliki sejarah panjang hingga penting sebagai generasi muda untuk menjaga keberlangsunganya. Sebab parijoto bukan hanya menjadi tugas pemerintah maupun petani tetapi juga tugas semua masyarakat. Meski kini parijoto Kudus sedang dalam bayang-bayang sertifikasi, setidaknya kita berusaha merawat kelestarian parijoto dengan mengelola, belajar menanam, maupun ikut menebar dan memperkenalkan ke masyarakat luar. [] REDAKSI

PARADIGMA // 13 Edisi 35 Desember 2020


BIDIKAN UTAMA

FOTO: A’YUN/PARAGRAPHFOTO

Sengketa Tata Kelola Parijoto 14 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


BIDIKAN UTAMA

Sejak beredar kabar Parijoto disertifikasi oleh Jepara, banyak masyarakat Kudus menanggung kecewa. Warisan leluhur Kanjeng Sunan Muria ini hakikatnya menjadi milik Muria, bukan hanya Jepara. Pemilik wewenang pun hanya menyayangkan akan ketertinggalan. Meski sudah mengejar, Kudus tetap tertinggal.

B

ARU-BARU ini, perebutan parijoto sebagai tanaman khas oleh KudusJepara menjadi perbincangan media maupun masyarakat sekitar. Pasalnya, proses pengajuan parijoto Jepara dimulai pada 12 April 2019 dan tim dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Provinsi Jawa Tengah melakukan uji karakteristik fisik pada pohon induk parijoto di Dukuh Duplak Desa Tempur Kecamatan Keling. Hasil uji karakteristik fisik selanjutnya yang disusun untuk proses pengajuan ke pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PVTPP) Kementan RI telah mendapatkan sertifikat Tanda Daftar Varietas Tanaman pada tanggal 06 Desember 2019. Meskipun sudah disertifikasi, beberapa dari masyarakat bahkan pegiat tanaman tidak menerima bahwasanya parijoto telah menjadi tanaman khas Jepara. Termasuk salah satunya, Founder Alammu Parijoto, Triyanto, yang menyayangkan mengenai Dinas Pertanian dan Pangan Kudus yang kurang gercep (gerak cepat) dalam menangani pengajuan parijoto menjadi tanaman khas. “Tidak menjadi kesalahan oleh Pemkab Jepara, hanya menanyakan kenapa Pemkab Kudus tak membaca

potensi itu,” ujarnya pada Minggu, (25/10) di Kebun Parijoto, Lereng Muria, Colo, Kudus. Selain sebagai produsen Parijoto, ia yang juga gencar mensosialisasikan tanaman parijoto di Dukuh Duplak, Tempur Jepara, mengaku mendapat rasa pekewuh dari petani parijoto Jepara. Dulu, lanjut Ribut –sapaan akrab Triyanto-, petani parijoto di Desa, Tempur, Jepara sempat tidak berkembang seperti sekarang ini, sehingga Alammu Parijoto menjadi pemasok petani Tempur. “Setelah ramai polemik parijoto diklaim oleh Jepara, petani Tempur justru merasa pekewuh,” ujarnya. Meskipun begitu Ribut hanya menekankan pentingnya sebagai generasi penerus tetap melestarikan tanaman parijoto di tanah Muria. Senada dengan Triyanto, Petani Parijoto Pandak, Colo Kudus, Mashuri (58) juga meluapkan kekecewaanya terhadap lambannya kinerja Dinas Kudus terhadap pengajuan parijoto menjadi tanaman PARADIGMA // 15 Edisi 35 Desember 2020


BIDIKAN UTAMA khas Kudus. Ia juga menyebutkan mengenai Dinas Kabupaten Sleman yang membangun ikon patung parijoto. “Sleman aja bisa kok, apalagi Kudus yang sudah kental dan masyhur dengan mitos parijotonya, lha wong Sleman juga membeli bibitnya dari saya,” tandas Petani Parijoto itu saat ditemui di kediamanya Pandak, Colo, Kudus, Siang itu, (14/08/2020). Pasalnya, para petani parijoto di Kudus memang belum dikelola secara struktural oleh Dinas Kabupaten Kudus. Lain halnya dengan Sleman yang sejak akhir Maret 2019 telah lebih dahulu membuka Taman Parijoto Pospowarni. Memiliki luas 750 m2, di tengah-tengah taman bunga Pospowarni dibangun patung parijoto yang berdiri elok nan indah . Oleh Mbah Huri-sapaan akrab Mashuri, ia menilai seakan petani parijoto di Kudus ini diabaikan, tidak diperhatikan bahkan pimpinan pun tidak pernah terjun dan mengenal masyarakatnya. Dari Mbah Huri dan 9 petani lainya mereka tidak mengharap bantuan materi, ketika diperhatikan dan diarahkan saja Mbah Huri mengaku sudah senang. “Ibarat kalau orang sekolah itu ada gurunya, kalau gak ada kan kebingungan mplakune semrawut,” ungkapnya. Berbeda dengan Mbah Huri, 10 tahun menggeluti parijoto, Suwono (55) lebih memilih pasrah dengan pemerintah yang tidak lagi menyambang para petani. Lebih lagi menanggapi mengenai polemik sertifikasi parijoto antara Kudus16 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Wawancara bersama Kasi Tanaman Pangan, Arin Nikmah pada Rabu, (30/09/2020)

Jepara, ia hanya bungkam. “Kados kulo kan tiang alit, nggih pun kulo jarke ben niku dados urusanipun tiang ageng, (seperti saya kan rakyat kecil, biarkan itu menjadi urusan mereka orang besar),” ujar Suwono dalam bahasa Jawa. Yang terpenting bagi Suwono sebagai Petani Parijoto di Pandak, Colo, ialah pemenuhan kebutuhan seharihari tercukupi. Persoalan sertifikasi dan pengelolaan parijoto yang tengah simpang siur dan menjadi polemik di tengah masyarakat mendorong kami mendatangi Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus. Di kantor Dinas Kudus, kami disambut Kasi Tanaman Pangan dan Perkebunan, Arin Nikmah. Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa pengelolaan parijoto selama ini

memang dijalankan oleh masyarakat karena Dinas Kudus hanya sebatas fasilitator produk. Sedangkan kalau berhubungan langsung dengan petani dikoordinasi oleh tingkat kecamatan petugas lapangan yakni Balai Penyuluhan Pertanian. Arin mengaku, petugas dinas merasa kuwalahan dan tugas di bagian petani parijoto terbengkalai. “Masalahnya memang klise, petugas semakin berkurang, sementara wilayah dan perkembangan makin meningkat sehingga manajemen petugas pengelola belum maksimal,” ungkapnya kepada Tim LPM Paradigma pada Rabu, (30/09/ 2020). Mengenai Kudus yang tertinggal oleh Jepara dalam pengajuan sertifikasi, Arin menyayangkan hal tersebut. Ia juga membeberkan


FOTO: ISTIMEWA

FOTO: UMI/PARAGRAPHFOTO

BIDIKAN UTAMA

alasan mengenai pengajuan yang baru diajukan. Menurutnya, pendaftaran komoditas unggulan daerah yang belum dilaksanakan dikarenakan berbagai hal atau sebab belum sampai terlaksana di lapangan. Apalagi berkaitan kesiapan di lapangan dan korelasi dengan petani. “Memang mungkin pas di era saya baru terbesit atau dimudahkan jalannya. Mungkin sebelumnya juga ada rencana tapi kaitan eksekusi dilapangan ada kendala,” bebernya. (Masih) Ada Harapan Meskipun Jepara sudah memiliki sertifikat varietas tanaman parijoto, ternyata Kudus pun masih memiliki harapan untuk memiliki sertifikat yang sama dengan beberapa persyaratan dari pusat PVTPP. Ada yang menjadi penguat dalam pengajuan parijoto menjadi tanaman khas Kudus, Arin mengungkapkan, jika dilihat dari sejarahnya, religinya, silosofi, sosial budaya

masyarakatnya, parijoto mempunyai satu kelebihan yang identik di Kabupatem Kudus. Sementara, pengajuan parijoto Kudus sedang dalam tahapan karakterisasi tanaman parijoto. Ketika bulan Juli lalu, tim telah melakukan observasi fase bunga. Fasenya yakni pembungaan, pembuahan, dan panen awal dan puncak panen, mengikuti siklus tanaman itu sendiri. “Parijoto Kudus saat ini sedang sampai di tahap pembungaan dan kira-kira bakal selesai di bulan November,” ungkap Arin. Oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) melalui wawancara tertulis, menyatakan, adapun yang menjadi pertimbangan sehingga parijoto diusulkan menjadi varietas lokal Jepara yakni, mengingat parioto sebagai kekayaan plasma nutfah sumber daya genetik Kabupaten Jepara perlu untuk dilestarikan. Dalam prosesnya perlu untuk mendapat perlindungan secara legal formal dari Pusat PVTPP

Kementrian Pertanian RI. DKPP Jepara juga menjelaskan, menurut Pusat PVTPP, bahwasanya setiap kabupaten berhak untuk mendaftarkan varietas lokal unggul di daerahnya. Namun, bila varietas tersebut sudah menjadi milik kebupaten tertentu, kabupaten lain sudah tidak bisa mendaftarkan, kecuali verietas yang didaftarkan mempunyai minimal satu perbedaan pada penciri utama. Ke depan, Dinas DKPP berharap, pengembangan Parijoto Jepara bisa menjadi varietas yang memberikan manfaat untuk masyarakat Jepara pada khususnya dan masyarakat secara luas. Mengenai koordinasi dengan petani, pada Selasa, (03/11) lalu, Dinas DKPP Jepara mendatangi langsung rumah salah satu Petani Parijoto Desa Tempur, Jepara, Zainuddin. Menurut keterangan Zainuddin (30), Dinas DKPP akan berusaha mengembangkan parijoto di Desa Tempur kepada beberapa petani. “Dari dinas mengatakan akan membimbing hingga tahap produksi,” katanya saat ditemui Paradigma di Desa Tempur, Jepara pada Selasa (03/11). Sebagai petani parijoto Jepara, ia merasa pasrah dengan polemik perebutan sertifikasi parijoto Kudus dan Jepara, “Sebenarnya sekeliling Muria itu ada parijoto semua, tapi yang duluan itu memang Jepara, ya mau gimana lagi diterima saja,” katanya. [] Umi Zakiatun Nafis

PARADIGMA // 17 Edisi 35 Desember 2020


BIDIKAN UTAMA

Bukan Sekadar Mitos

S

A W I J A H (80) beberapa kali menyeka k e r i n g a t . Beberapa kali juga ia menawarkan daganganya kepada para peziarah yang lalu lalang. Hingga siang itu, dagangan parijotonya memang belum juga laku. Di area undak-undakan arah Makam Sunan Muria siang itu, acapkali ia melangitkan doa agar dagangan parijoto diberkahi. “Bendinane nggih ngalap barokah Mbah Sunan Muria, mergo awite parijoto saking mriku, (setiap harinya mengharap keberkahan Mbah Sunan Muria karena awal mula parijoto dari situ),� kata Sawijah Pedagang Parijoto kepada Paradigma, lalu menghela napas berat, Rabu, (14/10/2020). Desa Colo, yang terletak di 18 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus menjadi tempat yang patut disambangi kembali. Tempat asal Parijoto didengungkan dan dipercaya itu memiliki mitos menarik yang berkembang di masyarakat Muria maupun sekitarnya. Mitos parijoto yang diyakini sebagai alternatif penyubur kandungan, memang kini tersebar luas ke jagad nusantara. Menurut Widi Muryono dalam bukunya Napak Jejak Pemikiran Sunan Muria, Parijoto di elu-elukan sebagai salah satu warisan Sunan Muria. Sejarah lisan yang berkembang, konon pada saat istri Sunan Muria, Dewi Sujinah mengandung putrinya tiba-tiba ingin memakan buah yang rasanya masam. Sunan Muria kemudian memerintahkan para santrinya untuk mencari buah yang rasanya

FOTO: UMI/PARAGRAPHFOTO

Mitos parijoto yang diyakini sebagai alternatif penyubur kandungan, memang kini tersebar luas ke jagad nusantara.

masam sesuai kehendak sang istri. Setelah para santri menjelajah hutan, mereka kemudian pulang dengan membawa buah Parijoto. Cerita lisan tersebut pun diyakini Sawijah, sebagai pedagang parijoto di undak-undakan jalan arah naik ke Makam Sunan Muria atau disebut pasar Colo. Ia sendiri mengakui dan mengkonsumsi sendiri buah parijoto ketika mengandung dulu. “Sudah


BIDIKAN UTAMA

Pagi itu, Jumat (14/08/2020), di area undak-undakan Pasar Colo, Sawijah (80) masih semangat menjajakkan komoditi lokal Muria, salah satunya parijoto

ada sejak nenek moyang dulu, saya pun meyakini kalau buah parijoto bisa untuk menyehatkan dan menyuburkan kandungan,� ujarnya pada Jumat, (14/08) di pelataran area pasar Colo. Di masa mudanya dulu, Sawijah memang tidak terlalu percaya jika parijoto bisa menyuburkan kandungan. “Ketika dulu disarankan sama ibu saya, ya langsung makan

aja, tidak begitu percaya. Tapi setelah tertarik untuk dagang parijoto yang sudah berjalan 10 tahun, banyak dari pembeli yang membuktikan,� katanya sembari menawarkan daganganya kepada para peziarah yang lalu lalang. Sawijah juga mengaku tidak mengetahui ada manfaat lain dari buah parijoto selain untuk penyubur kandungan, sebab kebanyakan

pembeli parijoto adalah muda-mudi yang sedang hamil. Sementara itu, Petani Parijoto Asal Pandak, Colo, Sutrimo(60), mengaku sering mendapat cerita dari para pembeli yang sudah membuktikan manfaat parijoto sebagai penyubur kandungan. “Kira-kira sepuluh tahun lalu ada sepasang suami istri yang belum dikauniai keturunan tapi setelah PARADIGMA // 19 Edisi 35 Desember 2020


FOTO: UMI/PARAGRAPHFOTO

BIDIKAN UTAMA

Dengan gaya keramahanya, di kediaman Sutrimo (60), Pandak, Colo, Ia menceritakan masamasa pencarian parijoto ke Hutan Muria 20 tahun lalu

mengkonsumsi parijoto akhirnya mereka dikaruniai keturunan,” tandasnya setengah meyakinkan kami. Ia juga mengatakan, banyak pembeli yang menceritakan tidak hamil bertahun-tahun setelah makan parijoto lalu hamil. Akan tetapi semua itu harus dibarengi dengan keyakinan yang kuat. Halnya dengan Sawijah, Mbah Trimo, sapaan akrab, juga tidak mengetahui ada manfaat lain dari parijoto. “Saya tahunya hanya untuk menyuburkan kandungan, kalau mungkin ada ya malah bagus,” pungkasnya.

20 // PARADIGMA Edisi 31 Juni 2017

Terbukti Secara Ilmiah Menariknya dinamika perkembangan mitos parijoto di masyarakat menjadikan Peneliti Bidang Farmasi asal Kudus, Ema Dwi Hastuti, membuktikan keabsahan dari kepercayaan masyarakat bahwa parijoto bisa menyuburkan kandungan dan membuat anak menjadi good looking. “Karena parijoto menjadi ciri khas sendiri bagi masyarakat Kudus, utamanya Muria, tentu menjadi lebih membanggakan lagi jika tanaman ciri khas Kudus ini bisa dibuktikan dengan nilai

ilmiah,” ujarnya saat dihubungi Paradigma via Whatsapp pada Sabtu, (12/09). Menurut Ema, Jika memang masyarakat sekitar muria menganggap buah parijoto sebagai penyubur kandungan, hal ini tentu tidak terlepas dari bangsa Indonesia yang memiliki banyak warisan dari leluhur, begitu juga dengan obatobatan. “Terkadang obat alami yang digunakan oleh masyarakat berdasar pengalaman empiris dari nenek moyang. Begitu pula dengan parijoto, penggunaannya masih berdasar pengalaman empiris,” ujar


BIDIKAN UTAMA

FOTO: HASYIM/PARAGRAPHFOTO

Dosen STIKES Cendekia Utama Kudus itu. Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi dan peneliti, ia meninjau lebih lanjut mengenai buah parijoto. Apakah benar dalam buah parijoto terdapat kandungan yang dapat menyuburkan kandungan, atau hanya sebagai kepercayaan masyarakat belaka. Namun, terlepas dari itu, Ema tetap menghargai kepercayaan masyarakat sekitar mengenai khasiat parijoto. Ema juga menyampaikan, berdasar dari beberapa sumber, selain untuk menyuburkan kandungan, parijoto memiliki manfaat menangkal radikal bebas, mencegah tumor dan kanker, serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh. “Karena masih sedikit penelitian mengenai kemanfaatan

buah parijoto tersebut, secara pribadi saya sendiri belum berani menyebut manfaat buah parijoto,” jelas Ema yang kini sedang melanjutkan studi di Taipei Medical University (TMU), Taiwan. Mengenai khasiat dari buah parijoto, terdapat beberapa penelitian pendahuluan yang meneliti mengenai kandungan buah parijoto. Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa parijoto mengandung tannin, flafonoid, saponin, glikosida, dan mempunyai aktifitas antioksidan yang tinggi. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat mencegah kanker. Oleh sebab itu, banyak yang menganggap parijoto sebagai pencegah kanker. “Akan tetapi, kejelasan tentang kadar antioksidan parijoto sebagai

pencegah kanker masih perlu diteliti lebih lanjut. Warna ungu dari parijoto sendiri dapat dijadikan patokan kandungan antioksidan, sebab biasanya tanaman yang mengandung antioksidan warnanya senada, contohnya buah naga ungu,” bebernya. Ema meneliti parijoto sebagai bahan dalam pembuatan sunscreen cream, di mana kandungan yang di unggulkan adalah antioksidan. Ia juga bekerja sama dengan beberapa orang lainnya juga menguji ketoksikan buah segar parijoto terhadap mencit jantan galorswiss. Uji ketoksikan guna mengetahui kadar ketoksikan dari buah parijoto segar. Dari penelitian uji ketoksikan akut , menyatakan bahwa buah parijoto tidak toksik. “Namun, masih harus ada penelitian lanjutan lagi, karena ini masih menggunakan mencit sebagai uji coba untuk mengetahui khasiat dan ketoksikan parijoto secara keseluruhan,” tandasnya. Selain buahnya, dalam penelitian ini, Ema juga memanfaat tangkai parijoto dalam pembuatan gel antioksidan. Namun, ia berulangkali mengingatkan bahwa ini masih penelitian pendahuluan dan masih butuh penelitian lanjutan untuk mengeksplor buah parijoto. [] Zakiyatus Sariroh

PARADIGMA // 21 Edisi 34 Desember 2019


BIDIKAN UTAMA

Parijoto Dari Masa Ke Masa Hasyim Asnawi

Di balik megahnya panorama Gunung Muria, dari situlah sejarah komoditas parijoto bermula. Konon tumbuhnya buah parijoto berawal dari pecahnya kapal Dampo Awang,

P

ERISTIWA erupsi dan pendangkalan ekstrem di Selat Muria dalam rentang abad 17 – 18 M, mengakibatkan Pulau (Gunung) Muria menyatu dengan Pulau Jawa. Pendangkalan hebat yang berlangsung antara garis pantai Semarang-Rembang, tak hanya memunculkan dan bertambahnya daratan baru. Namun, secara sosial juga mendorong adanya perubahan 22 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

dan budaya baru. Apalagi, ketika Deandeles membangun jalan dari Anyer hingga Panarukan pada abad 18. Bentangan jalan raya Deandeles dan jalur kereta api tersebut, sebagian di antaranya melintasi daratan baru yang masuk wilayah Kudus, akibat menyatunya Pulau (Gunung) Muria dan Pulau Jawa. Di balik megahnya panorama Gunung Muria, dari situlah sejarah komoditas parijoto bermula. Konon tumbuhnya buah parijoto berawal


FOTO: HASYIM/PARAGRAPHFOTO

BIDIKAN UTAMA

dari pecahnya kapal Dampo Awang. Sejarawan Cirebon, Pangeran Suleman (P.S.) Sulendraningrat, dalam bukunya Sejarah Cirebon, (Jakarta:1985), menyebutkan Dampo Awang adalah seorang muslim asal negara tirai bambu, China, yang hijrah ke Jawa Barat. Selain dikenal sebagai sosok panglima perang sekaligus nakhoda kapal, dia juga lihai dalam berdagang. Pecahnya kapal Dampo Awang disebabkan Dampo Awang yang

tidak mempercayai perkataan Sunan Muria. Dampo Awang meyakini jika dibalik Gunung Muria terdapat sebuah lautan dan Sunan Muria meluruskan jika dibalik Gunung bukanlah lautan. Oleh karena Dampo Awang tidak mempercayai perkataan Sunan Muria, maka kandaslah kapal Dampo Awang, Pasalnya kapal tersebut bermuatan rempah-rempah, termasuk parijoto. Sekira abad 16 M, oleh Sunan Muria, ceceran biji

parijoto itu pun diambil Sunan Muria kemudian ditanam di kediamannya wilayah Muria. “Karena itulah kemudian parijoto banyak tumbuh di Muria,� ujar Sejarawan Kudus, M Fadholi (43) kepada Paradigma pada Sabtu (21/10/2020). Ketenaran parijoto pun bermula saat istri Sunan Muria ngidam buah parijoto. Pada saat lahir, anak Sunan Muria ternyata cantik dan ganteng. Sejak itulah kemudian masyarakat meyakini jika saat hamil PARADIGMA // 23 Edisi 35 Desember 2020


BIDIKAN UTAMA mengkonsumsi parijoto, maka anaknya akan ganteng atau cantik. Inisiatif Konservasi Pada 1998, tepatnya ketika terjadi krisis moneter atau krisis finansial Indonesia yang terjadi karena krisis finansial Asia (19971998) yang menyebabkan inflasi rupiah dan peningkatan besar harga makanan menimbulkan kekacauan di Indonesia. (Kompas, 10/02/2020) Di tahun yang sama, terjadi perambahan hutan besar-besaran dan kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah Indonesia salah satunya hutan Muria. Menurut Sutrimo (60), Petani Parijoto, kerusakan hutan besar-besaran terjadi pada awal reformasi tahun 1998. “Kala itu, masyarakat membabi buta menebang pohon hutan. Padahal disitu ada tanaman endemik Parijoto, peninggalan Mbah Sunan Muria,” jelasnya. Mengetahui adanya perambahan hutan, para petani parijoto Muria pun gelisah. Kemudian mereka berinisiatif mengkonservasi parijoto dengan menanamnya di kebun lereng Muria yang lebih dekat dengan lokasi perkampungan. Sutrimo bersama ketiga kawanya misalnya yang menyisihkan lahannya untuk ditanami parijoto. Dulu sebelum memiliki kebun sendiri, Mbah Trimo, sapaan akrab, dan temanya merasa kesulitan dengan akses pengambilan parijoto yang sulit. Hal tersebut menjadikan

24 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

warga Pandak, Colo, itu memilih mengambil parijoto hanya 36 hari sekali. “Mbiyen yo sampai dasak-dasak pinggir jurang Mas, Mbak. Tigo ngantos sekawan dinten nembe wangsul,(dulu sampai menyusuri pinggir jurang Mas, Mbak. Tiga hingga empat hari baru pulang,” ungkap Mbah Trimo sembari mencoba kembali mengingat masa lalu. Masa sekarang, menurut Mbah Trimo, banyak orang yang juga ingin menjadi petani parijoto. Tapi dari mereka belum mengetahui teknik khusus penanamanya. Ia sendiri menanam parijoto tanpa pupuk kimia yang kemudian dikembangbiakan dengan berbagai cara stek, cangkok khusus, dan biji. Hingga bertahan sampai sekarang, tetap 8 petani parijoto termasuk Mbah Trimo. Sezaman dengan Mbah Trimo, Petani asal Desa Rahtawu, Tego (59), juga mengungkapkan perjalanannya ketika mencari parijoto di tengah hutan Muria yang dimulai tahun 1993 lalu. Senada dengan Mbah Trimo, ia juga mencari parijoto ke hutan hanya setiap Rabu Kliwon (selapan) saja. “Kalau sekarang ya tiap minggu ke kebun yang jarak tempuhnya sekitar 1 jam jika jalan kaki dari perkampungan,” ungkapnya kepada Paradigma, Jumat, (07/08/2020). Pencarian parijoto pada masa dahulu, Tego mengaku mencarinya hingga daerah Gunung Wungkal,

Tayu Pati, ada juga di beberapa gunung lainya, Gunung Mandir, Gunung Nganten, Argo Jembangan, dan wilayah Bunton. Sekitar 20 tahun lalu, ketika hutan Muria kebakaran, ia pun mulai menanam benih parijoto di kebun yang lebih dekat dengan perkampungan. Tego juga menyayangkan jika di Desa Rahtawu, Gebog Kudus, hanya tersisa 2 petani. Selain itu, Desa Colo, Dawe Kudus sekitar kediaman Mbah Trimo, tercatat terdapat sekitar 8 petani parijoto. Sedangkan di Desa Japan, Dawe Kudus kurang lebih 10 petani parijoto. Menjadi petani parijoto pertama di Desa Japan yakni 25 tahun lalu. Prasetyo (55) pun mengikuti perkembangan parijoto yang ada di sekitar Muria. Ia mengaku jika dahulu parijoto hanya menjadi pakan ternak dan tanaman hias karena tidak terlalu banyak dicari orang. “Ngantos turah Mbak, yo akhire digawe pakan wedus (sampai kelebihan hingga akhirnya dibuat makanan kambing),” ujar Prasetyo saat ditemui di kediamanya. Lahan pertanian parijoto di Japan jika di kalkulasi mencapai 1 hektar, dengan tanaman parijoto per petani berjumlah ratusan. Sementara itu, jumlah tanaman parijoto di daerah Pandak Colo, pun ditaksir hingga 1000 lebih tanaman dengan luas area sekitar 4 hektar. Sedangkan Desa Rahtawu tercatat 2 hektar lahan parijoto.


BIDIKAN UTAMA panen ke sini,” paparnya. Melihat permasalahan klasik mengenai parijoto yang ketika musim hujan benar-benar terbuang sekaligus keinginanya mengkonservasi parijoto agar tetap lestari. Ribut, sapaan akrab Triyanto, 2015 lalu berinisiatif untuk merambah parijoto di dunia produksi. Hingga kini, Ia sudah memiliki produksi berupa sirup parijoto, teh parijoto, permen parijoto, hingga kripik. Ia juga memiliki ratusan reseller di berbagai daerah. Terkait pemasaran, ia mengaku ingin memfokuskan pada generasi muda. “Jika mereka tidak bisa meneruskan di bidang pertanian, setidaknya ia ikut melestarikan dan mengenalkan parijoto melalui produksi,” ujar Ribut Parijoto yang artinya gubahan dari paringono jiwo ingkang sejo kang ketoto (berilah jiwa yang baik dan tertata) memberikan sebuah harapan ke depan bahwasanya, Ribut ingin parijoto Muria lebih luas dikenal oleh masyarakat. Peninggalan Sunan Muria ini tentu menjadi PR buat generasi sekarang agar lebih peduli dengan potensi lokal. “Meski eranya sudah digital, anak-anak muda justru harus bisa memanfaatkanya untuk menggali potensi lokal. Apalagi banyak desa yang memang belum diketahui potensinya seperti apa karena tidak ada pemuda yang mengembangkanya,” pungkas Ribut kepada Paradigma. []

Dulu sempat bingung mau dijual kemana. Kalau masyarakat sini, tidak mengkonsumsi, dan parijoto cenderung dibuat sepele, pembeli pun hanya daerah Kelet dan sekitarnya. Saat itu juga harga parijoto setangkai hanya 2-4 ribu rupiah.

Semakin Berjaya Hingga 2020 kini, petani parijoto pun semakin berjaya. Selain berkah dari Sunan Muria, parijoto semakin dikenal masyarakat lima tahun terakhir setelah dijadikan produk. Hal itu pun diakui Prasetyo dan juga petani parijoto Tempur, Jepara, Zainuddin (30). Ia merasakan perubahan antara parijoto dahulu dengan masa sekarang. Di kebun parijoto yang terletak 2 kilo meter dari area perkampungan Desa Tempur, terdapat hanya 400-500 tanaman parijoto. “Dulu sempat bingung mau dijual kemana. Kalau masyarakat sini, tidak mengkonsumsi, dan parijoto cenderung dibuat sepele, pembeli pun hanya daerah Kelet dan sekitarnya. Saat itu juga harga parijoto setangkai hanya 2-4 ribu rupiah,” ujarnya. Zainuddin juga menjelaskan, sekitar 2 tahun lalu ditawari Pemilik Sirup Parijoto untuk kembali menghidupkan parijoto Tempur dengan menyetorkan hasil panennya. “Hingga saat ini saya sering setor ke Kudus tetapi jika panen parijoto terbilang melimpah,” jelas Zainuddin. Owner Alammu Sirup Parijoto, Triyanto membenarkan hal tersebut. Ia memaparkan jika di Tempur Jepara, dulu parijoto hanya sebagai tanaman hias. “Dua tahun yang lalu saya sosialisasi ke sana untuk mengelola kembali parijoto dan alhamdulillah berhasil dan kirim

(Zainuddin, petani parijoto asal Tempur)

PARADIGMA // 25 Edisi 35 Desember 2020


W A W A N C A R A

FOTO ISTIMEWA

Angkat Budaya Jadi Branding Desa Umi Zakiatun Nafis

26 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


A

HINGGA 2014, Indonesia masih memiliki 30 ribu desa yang masuk dalam kategori tertinggal dan sangat tertinggal. Tepatnya sebanyak 11.228 dari 20.341 desa yang ter-cover dari 70 ribu desa (di seluruh Indonesia), 11 ribu sisanya ada di 3T. Sejatinya kesejahteraan masyarakat tidak melulu bersumber dari pusat industri (kota), tetapi justru desa lah yang memiliki kekayaan sumber daya yang perlu untuk digali dan dilestarikan. Hanya saja, fenomena saat ini kerap kali memajukan desa hanya diorientasikan dalam segi pembangunan wisata. Belum lagi banyaknya fakta pemajuan desa melalui jalur wisata justru merusak lingkungan. Ada pula beberapa poin penting dari upaya kesejaheraan masyarakat desa yang perlu disadarkan oleh beberapa kalangan baik pemerintah, cendekiawan maupun masyarakat desa. Berikut wawancara tertulis Pimpinan Redaksi LPM Paradigma, Umi Zakiatun Nafis, dengan Budayawan sekaligus Inisiator Kampung Budaya Pji Wetan, Muchammad Zaini (Jesy Segitiga). Bagaimana hakikat desa tertinggal di abad 21 ini? Bagaimana fenomenanya di Indonesia? Fenomena desa tertinggal merupakan desa yang dikategorikan belum bisa atau tidak mampu

Nama: Muchammad Zaini, Tempat Tanggal Lahir : Kudus, 21 Mei 1985 Pendidikan : MI Hidayatul Mustafidin Mts Hidayatul Mustafidin MA NU Miftahul Falah S1 PBSI IKIP PGRI Semarang S2 PBSI UPGRIS Pendidikan non formal : PP Addainuriyah 2 Organisasi : Ketua Teater Gema IKIP PGRI Semarang, Ka. Bagian Seni Budaya PP Addainuriyah 2, Pembina APOTEK SMK Duta Karya Kudus, Salah satu Pencetus Keluarga Segitiga Teater, Wakil Ketua Lesbumi NU Cabang Kudus, Inisiator Kampung Budaya Piji Wetan

bahkan kesulitan menemukan jati dirinya. Namun, streotipe yang berkembang saat ini yakni kebanyakan orang menganggap bahwa desa tertinggal dikategorikan sebagai desa yang fisiknya buruk, kurang up to date, minim teknologi atau bahkan tidak memiliki jaringan internet. Halnya pemerintah yang mengistilahkan desa tertinggal sebagai daerah 3T yakni daerah tertinggal, terdepan dan terluar di

Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang hanya menganggap bahwa desa maju yakni desa yang pembangunan infrastrukturnya sudah merata. Padahal banyak fenomena desa yang fisiknya baik tapi belum tentu bisa menemukan jati dirinya. Kalau bergeser ke sebuah desa di Tanah Toraja, di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia, masih kental dengan adat budayanya. Ada yang mengatakan desa terpencil semacam itu dikategorikan sebagai desa tertinggal. Padahal desa di Toraja bisa dikategorikan sebagai desa maju sebab kemurnianya melestarikan adat leluhur. Selain menyimpan keelokan yang sudah tidak dimiliki oleh daerah peradaban yang tinggi, kekayaan budaya juga menjadi ciri khas dan keunikan masing-masing daerah seperti Toraja. Seperti juga di Adat Panglipuran, Bangli, Bali yang mempunyai label desa terbersih sedunia karena tetap mempertahankan ketradisionalan dan kelestarian lingkungannya dengan meninggalkan hal-hal baru seperti plastik dan cat. Orang disana pun open minded, kalau mau incip-incip silakan, kalau mau ke dapur atau ke toilet juga dipersilakan. Desa ini juga bebas polusi udara karena kendaraan bermotor dilarang masuk ke desa ini. PARADIGMA // 27 Edisi 35 Desember 2020


W A N C A R A W AWWA A N ACR A Apa yang menjadi faktor penyebab minimnya penggalian potensi desa ? Salah satunya yakni karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak open minded sehingga masyarakatnya terkungkung di situ. Tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga menemukan jati dirinya. Selain itu ada PR yang masih belum dituntaskan oleh beberapa desa yakni permediaan atau branding yang justru ini merupakan kekayaan. Kalau Korea punya K-POP untuk menanggulangi bunuh diri di sana, halnya Gunung Kidul yang tersohor sebagai pulau gantung. Tapi kalau kita gali lagi, orangorang di Kampung Piji Wetan

ini mampu untuk nge-branding. Sayangnya, kalau minat itu harus didukung dengan daya yang perlu diasah. Apa yang dimaksud dengan rebranding desa dan seperti apa realisasinya ? Kalau dirinci secara bahasa, branding artinya mengenalkan. Selama ini mungkin orang tidak kenal istilah branding desa, padahal ini sejalan dengan salah satu ungkapan yang masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam yakni man arofa nafsahu wa man arofa robbahu, barang siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhanya. Dan ketika sudah mengenal Tuhanya

Para pemuda yang tergabung dalam kesenian grup rebana di even Pager Mangkuk 28 // PARADIGMA Edisi 35 Desember 2020 Kampung Budaya Piji Wetan, pada Rabu, (09/09/2020)

maka ada yang harus dilakukan. Maka wa’amma binimati robbika fakhaddis, ketika mendapatkan kenikmatan maka harus kita sebarkan atau siarkan karena ada nilai-nilai yang harus kita sampaikan. Dan rebranding secara istilah adalah mengubah mengganti mengurangi apa-apa yang dipunyai di desa itu harus disebarkan. Selain budaya, apa yang bisa dibranding dari sebuah desa? Ada bermacam-macam hal yang bisa dibranding dari sebuah desa. Selain budaya yang wajib dilestarikan, ada juga terkait ekonomi, politik, wisata, atau bahkan mistisnya. Contohnya


FOTO ISTIMEWA

W A W A N C A R A Banyuwangi yang terkenal dengan hantunya, sehingga dimunculkan fenomena KKN di Desa Penari dan sama halnya dengan Lasem yang terkenal dengan mafianya. Pada dasarnya hal itu tidak bisa dihilangkan sehingga bisa dijadikan kekuatan oleh desa tersebut. Sebenarnya kalau berbicara budaya memang bisa panjang kali lebar. Selain ada delapan pilar, budaya juga ada yang berbentuk bendawi dan non benda. Meskipun fenomena saat ini rata-rata rebranding cenderung berorientasi pada wisata. Berbeda halnya dengan adanya Kampung Budaya Piji Wetan yang para pencetusnya tidak bertujuan untuk menjadikanya sebagai obyek wisata tetapi agar bagaimana lingkungan sekitar menemukan dirinya. Misalnya tradisi sambatan atau weweh dan itu yang diajarkan oleh leluhur kita. Nilai penting upaya branding desa yang diterapkan Kampung Budaya Piji seperti apa? Penggarap Kampung Budaya Piji Wetan sejatinya hanya ingin memiliki niatan menginspirasi. Apalagi semua penggarap tidak ada dari luar Piji Wetan, kalau toh ada dari luar itu pun pemikir kedua. Niatan kami memang

untuk menginspirasi, kalau tidak terinspirasi pun itu bukan tanggung jawab kami, tapi tanggung jawab Dinas Kebudayaan. Adanya kampung budaya ini memang baru dimulai, ibarat kalau gali sumur baru setengah meter dari kedalaman sesungguhnya 25 meter. Tapi kami coba ikut andil untuk menginspirasi dengan menghadirkan kelas budaya bagi anak-anak muda. Mencoba mengenalkan mereka agar merasa memiliki dengan desa dan budayanya serta karakter. Karakter itu halnya ari-ari saat ditanam, dimana ari-ari ditanam disitulah karakter kamu. Bagaimana pendapat Anda mengenai pemuda yang merantau ke kota dan meninggalkan desa? Pemaksimalan di desa itu masih dalam taraf ambekan Senin-Kamis. Meskipun di desa ada potensi pembukaan lapangan kerja namun keterserapanya hanya sedikit kecuali memang nantinya anak-anak muda itu tidak tergantung dengan kotaisme. Misalnya, pemuda yang memiliki potensi menjadi model maka dia bisa membuka pelatihan model. Hanya saja, orang kita ini memang mindsetnya sudah mengatakan bahwa apa yang dilakukan di desa itu belum bisa menghidupi.

Lebih lagi seolah Indonesia itu dibranding sebagai orang pekerja, bukan sebagai orang konseptor. Ini yang mengkhawatirkan. Kalau di China pekerja itu juga banyak, tetapi konseptornya sama banyaknya. Sementara di Indonesia ada konseptor tetapi tidak tergali. Kalau memang banyak fenomena pemuda yang terjun ke kota untuk mengais rezeki, setidaknya kita punya keran untuk menghambat dulu meskipun keran itu bocor. Grand wash bahwa desa punya potensi seperti ini. Misalnya ada yang jago menari ingin dijadikan mata pencaharian kan tidak bisa, tidak seperti di Bali yang budaya itu sudah menjadi bahan dasar untuk mencari rezeki. Lain halnya kalau di Kudus yang visi misinya berorientasi pada UMKM semua. Sementara kalau lihat culture Kecamtaan Dawe ke utara lebih pada menep. Seharusnya orang Dawe ke sini jangan dijadikan sebagai ladang industri tetapi jadikanlah sebagai komunitas budaya. Contohnya di Bandung daerah pegunungan itu memiliki banyak karya endapan seniman hebat, karena memang pegunungan itu cocok untuk menemukan inspirasi. Beda dengan kota yang bersiap bertemu dengan multikultural. []

PARADIGMA // 29 Edisi 35 Desember 2020


GAYA HIDUP

Saatnya Angkat Busana Adat Dewi Qusrini

BARU-BARU ini, upaya pelestarian tradisi dan budaya setempat kembali digenjarkan. Salah satunya yakni dengan penggunaan pakaian adat santri kudusan sebagai seragam kerja pada tanggal 22-23 tiap bulannya. Adapun rincian busana adat santri kudusan yakni untuk laki-laki menggunakan sarung dan setelan baju koko putih, serta ikat kepala. Sedangkan, perempuan menggunakan kebaya putih dan jarik. Selain untuk pelestarian budaya, upaya tersebut juga mempunyai dampak ekonomi dengan meningkatnya permintaan pasar akan pakaian adat santri berupa sarung batik. Batik telah menjadi salah satu bagian dari simbol kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Lebih lagi setelah Oktober 2009 lalu, United Nastions Educational Scientific and Cultural Organisation (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Dengan berbagai ragam dan corak yang terus berkembang. Salah satunya adalah batik Kudus. Sebagai warisan kekayaan budaya Indonesia, batik Kudus merupakan bagian dari sejarah batik di Indonesia. Kudus yang pada dasarnya 30 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

dikenal dengan kota kretek, ternyata menyimpan ribuan cerita nostalgia dengan batik. Batik Kudus yang berasal dari utara pulau Jawa ini, telah populer sejak era Sunan Kudus di abad ke-16 M. Pada era Sunan Kudus, Syekh Jafar Shodiq, batik Kudus berpusat di Langgar Dalem dan terkenal dengan motif Langgar Dalem yang kental dengan sentuhan Islam. Dalam buku berjudul “Batik Kudus The Heritage� yang diterbitkan Bakti Budaya Djarum Foundation, diceritakan bahwa pada masa itu juga, semua wanita di Langgar Dalem dapat membatik Kudus demi memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat sekitar dan Sunan Kudus sendiri. Setelah masa Sunan Kudus, sekitar tahun 1920 hingga 1930-an batik Kudus mengalami puncak kejayaan. Di era itu banyak pengusaha menghasilkan batik Kudus dengan tingkat kualitas tinggi dan di tahun 1940 pengusaha batik peranakan menghasilkan motif halus. Batik Kudus merupakan salah satu warisan budaya milik bangsa Indonesia yang berusia lebih dari empat abad. Tak mengherakan, dengan usia sekian lama tersebut,

batik Kudus memiliki banyak motif dan corak hingga ribuan ragam. Sejak awal dilahirkan, motif batik Kudus tidak hanya mengekspresikan aspek keindahan dan detail kehalusan, tetapi juga mengandung makna filosofis dan simbolis. Upaya Menjaga Warisan Seiring berjalanya waktu, bidang industri menggeser kejayaan batik Kudus. Penerapan industri rokok kretek rupanya lebih banyak menyerap tenaga kerja. Para anak pembatik pun banyak yang beralih profesi menjadi saudagar kretek, sehingga jejak batik dari nenek moyang tidak diwariskan. Pada masa itu pula, terdapat juga pabrik rokok yang memang menggunakan batik sebagai sarana promosi rokoknya. Selain itu, merosotnya batik Kudus di era 1970-an, juga disebabkan mulai adanya batik printing. Bagi orang yang ingin sandang dengan harga yang terjangkau tentunya akan lebih memilih batik printing. Hingga kini, batik jarang dilirik bahkan hanya beberapa pewastra yang mau kembali menjaga warisan nenek moyang itu. Salah satunya M Fadholi (43), yang sejak tahun 1985 bergelut di dunia batik. Pasalnya, ia


GAYA HIDUP

FINALIS Duta Wisata Kudus dengan busana adat Kudusan

merupakan pelestari batik generasi ke 5 dari keluarganya. “Pada zaman ibu saya itu adalah masamasa yang sangat sulit sehingga kita memproduksi batik sedikit sekali dan kebanyakan itu langsung di pesan dari Solo dalam bentuk batik yang sudah jadi. Kita tinggal pesen motifnya saja,” kata Olik, sapaan akrab Fadholi, saat ditemui usai pelatihan membatik di Omah Batikku, Langgar Dalem Kudus. Hingga ketika tahun 1995, Olik dan bapaknya berniat untuk kembali membuat batik yang pernah vakum. Ia mengaku kesulitan sebab saat itu dalam perjalanan waktu kurang lebih 2 tahun terbentur krisis moneter. “Saya juga masih inget ketika tahun 98 itu miris sekali melihat kenyataan tentang apa yang kita tekuni waktu itu dan kenyataan bahwa tugas kita itu

harus terus melanjutkan usaha yang sudah kita rintis,” ucap Olik dengan mata berkaca-kaca mengingat cerita masa lampaunya. Meski terbentur dengan krisis moneter, Olik lulusan sarjana pertanian itu, berprinsip bahwa waktu dan kondisi tidak menjadi halangan untuk tetap eksis dan menjadi konsekuensi walau hasil batik yang dibuat tidak banyak. Ia juga mengaku jika batik mulai direspon oleh pasar sejak berkembangnya tradisi memakai sarung batik. Menurut Olik, yang merupakan warga Janggalan Kudus, urgensi memperkenalkan batik kembali kepada generasi muda juga menjadi hal yang terpenting. Ia pun mengupayakan hal itu dengan cara mendirikan galeri Omah Batikku sebagai wahana atau tempat produksi

FOTO ISTIMEWA

sekaligus sebagai galeri untuk melihat koleksi batik Kudus zaman dahulu. Owner Omah BatikkuBatik Kudus, itupun mengaku lebih memilih mempertahankan motif peninggalan nenek moyang daripada membuat motif baru. “Dari segi motif Omah Batikku ini akan lebih saya fokuskan ke citra lawas yakni upaya memperkenalkan lagi batik Kudus zaman dulu,” jelasnya. Di era perjalananya, batik Kudus memang menerima proses asimilasi sejumlah seni dan budaya lain, seperti seni dan budaya Arab, Belanda, dan Tionghoa, yan memperkaya ragam motif dan kombinasi warnanya. Selain mengambil ikon Kota Kudus untuk motifnya, batik Kudus juga mengedepankan motif-motif kaligrafi, motif kisah dan bebungaan hingga motif burung merak. PARADIGMA // 31 Edisi 35 Desember 2020


FOTO: HASYIM/PARAGRAPHFOTO

GAYA HIDUP

Fadholi sedang menjelaskan ragam Batik Kudus kepada para peserta pelatihan di Omah Batikku BatikkuDDalemDalmeKudus membatik

Motif batik Kudus juga mengalami evolusi. Dari yang pada awalnya didominasi oleh warna sogan tembelekan (coklat kehijauan), kemudian mengadopsi warna lain yang cerah seperti biru indigo, merah, hijau, dan kuning. Sebagian ragam motif batik Kudus meliputi motif Kaligrafi, Kapal Kandas, Parijotho, Sekar Jagad, Lunglungan, Merak Katleya, Pakis Haji, Pagi Sore, Bulusan, Bunga Soka, dan lain lain. Menurut keterangan Fadholi, motif batik Kudus klasifikasinya berupa motif pesisir. Tetapi yang sangat terkenal di Kudus yaitu motif burung merak, motif buketan dan motif kapal kandas. “Kapal kandas sendiri diambil dari cerita kapal Dampo Awang yang pecah karena menabrak gunung Muria,” jelas Olik. Adapun ciri rumitnya motif batik Kudus menandakan kedamaian pada masa dulu bahwa para pembatik benar-benar di masa kedamaian. “Motif yang sangat rumit menandakan bahwasanya zaman dulu itu damai, menghibur, 32 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

tidak habis idenya sebab tidak kejar tayang,” ujar Fadholi. Lestari dengan Edukasi Upaya Fadholi melestarikan batik pun didukung rekannya, Lukman. Oleh Fadholi dan Lukman, rumah lawas peninggalan orang tua pun disulap menjadi galeri batik penuh nostalgia. Pada Oktober 2018, ide pembuatan galeri batik berawal dari keresahan keduanya atas minimnya generasi muda yang bergelut di bidang batik. Awal pembentukan galeri, Lukman mengaku kesulitan sebab belum bisa menemukan SDM yang mumpuni dalam hal pembuatan batik sehingga ia juga sempat bekerja sama dengan pembatik dari Solo maupun Pekalongan. Pasalnya, Omah Batik tidak hanya didirikan guna ladang bisnis saja, tetapi juga ada nilai edukasi berupa pelatihan membuat batik. “Engga hanya sekadar bisnis, karena kalau memang hanya bisnis kita akan berhenti di tengah jalan. Akhirnya

kita bikin pelatihan dengan peserta berjumlah 30 orang,” ujar Lukman. Ia pun berharap, agar batik tetap lestari sepanjang masa. Salah satunya dengan pelatihan dan pengenalan motif agar generasi muda mengenal dan mempunyai keinginan untuk membatik. “Ya kita mengadakan kursus jadi mereka pun ada tempat untuk belajar,” harapnya. Pagi itu, Tim Paradigma pun ikut menyambangi pelatihan membatik yang diikuti Ibu PKK Desa Janggalan, pada, Sabtu (21/11) di Omah Batikku-Batik Kudus. Pelatihan yang digelar selama seminggu itu berupa pemaparan materi, praktik mencanting, pewarnaan hingga pengeringan batik. Di ruang Omah Batikku, salah satu peserta membatik, Novita Sari (41), mengungkapkan rasa penasaranya kepada Batik Kudus. Selain memang mendunia batik merupakan milik bangsa Indonesia yang perlu dijaga juga. “Sudah beberapa tahun penasaran dengan batik Kudus seperti apa, kan memang yang bisa membatik hanya satu dua orang saja, belum banyak. Jadi, sekalian menghidupkan industri batik di Janggalan yang punya banyak pembatik” ujarnya kepada Paradigma. Novita pun berharap agar generasi muda sekarang lebih peduli dengan potensi daerahnya. “Ibu-ibu aja pada semangat kok, generasi muda pun harus semangat untuk melestarikan batik Kudus agar tidak hilang di masa depan,” pungkasnya. []


PROFIL

Jadi Qori Andalan Berkat Tekun Latihan Nonik Nurhanifah

PEMBACAAN Qiro’ oleh Anam dalam acara wisuda periode November 2020 di Gedung Perpustakaan Lantai 4.

“

Dulu, sejak kecil sudah ikut bapak belajar tilawah dengan gurunya di pondok pesantren Demak. Ketika itu masih usia sekitar tiga tahun, namanya anak kecil saat belajar enggak bisa anteng, kadang sambil makan dan lari.

K

EBIASAAN mendengarkan tilawah Alquran sejak kecil m e m b u a t Muhammad Syaiful Anam (20) mulai leluasa menirukan bacaan tilawah. Ia juga terinspirasi oleh neneknya yang juga ahli dalam bertilawah. Tidak menutup kemungkinan bakat tilawah sang nenek mengalir pada diri Anam. Syaiful Anam, Mahasiswa Program Studi Tasawuf Psikoterapi

FOTO ISTIMEWA

Semester Lima IAIN Kudus hingga kini pun menjadi qori andalan kampus dan kampung. Ia juga telah menoreh banyak juara lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an di berbagai jenjang perlombaan. Lingkungan keluarga yang mendukung membuat Anam fokus belajar apa yang telah ditekuninya. Bisa Sebab Terbiasa Berbekal tekad dan niat ikhlas untuk belajar tilawah, Anam didampingi sang guru untuk PARADIGMA // 33 Edisi 35 Desember 2020


PROFIL menggali bakat tilawahnya. Ia memulai dari membiasakan diri dengan mendengar dan menirukan tilawah melalui kaset radio mini compo dan lantunan ayat Al-qur’an dari sang guru. Sering memutar rekaman berisi tilawatil qur’an memberikan kemudahan dalam belajar tilawah sampai akhirnya bisa melekat di hati. “Apalagi sekarang dimudahkan dengan teknologi, belajar tilawah bisa melalui Youtube atau Whatsapp grup tilawah. Semua orang bisa belajar dengan membiasakan,” tandasnya. Kesulitan dalam belajar pasti hadir di tengah proses keberhasilan, begitu pula dengan Anam. Ia membentengi diri dari kata menyerah dengan selalu memotivasi dirinya untuk tetap mengingat pertolongan Allah. “Tanpa pertolongan Allah kita bukan siapa-siapa, selalu bersyukur dan mengharap ridho orang tua, pasti kita akan meraih apapun,” pesannya. Anam mengakku kesulitan ketika belajar variasi modern bacaan tilawatil quran dengan lagu Bayyati, Hijaz, Shoba, Nahwand, Rost, Shika,

dan Dziharkah. Dengan kegigihan dan semangat belajar pada sang guru ia pun tetap menguasai semuanya. Jangan Malu Punya Suara Kurang Bagus Anam percaya, dalam proses belajar tilawah tidak boleh minder. Menurutnya, hal terpenting dalam belajar adalah semangat. Melalui proses belajar ia yakin nanti akan bisa. “Tidak usah malu punya suara yang tidak bagus. Yang terpenting kita menikmatinya. Belajar tilawah diibaratkan orang jatuh cinta yang selalu ingin mendekatinya atau mengetahuinya,” kias Anam. Di bangku kuliah, Anam turut mengembangkan bakat dengan mengikuti UKM JQH As-Syauq. Pertama kali dilatih membaca surat Al-Ahzab ayat 40 dengan berbagai versi lagu dengan kakak senior dan gurunya. Pengembangan bakatnya tidak berhenti sampai disitu saja, ia juga sering mengikuti lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) dan menjadi juara 1 bertahan MTQ Kabupaten Jepara tahun 2011-2014 dan 20162019. Pada 2019, Anam juga berhasil menyabet juara 1 lomba MTQ

Mahasiswa Tingkat Provinsi dan mengikuti MTQ PIONIR Nasional 2019. Baru-baru ini Ia berpartisipasi menjadi tim penilai dalam lomba tilawah yang diadakan KKN IK DR kelompok 27 program studi PAI. Selain aktif qori di kampus, Anam sering diundang untuk menjadi qori di kampung halamannya. “Alhamdulillah sering diundang untuk qori di kampung halaman. Tapi yang lebih penting merasa senang jika bisa berbagi belajar seni tilawatil quran dengan yang lain,” ujarnya. Di kampung halamannya, Anam menjadi pengajar dalam kegiatan rutin tilawah di masjid sekitar rumahnya seminggu sekali. Ia juga mengajar ekstrakurikuler seni tilawah di SDIT Sultan Agung. Anam bersyukur apa yang ia pelajari sejak kecil bisa diamalkan. Dengan konsisten ia berusaha terus mengasah dan meningkatkan keterampilan seni tilawahnya. “Apa yang kita dapatkan dari kelebihan diri kita patut dijaga dan ditularkan ke orang lain,” pungkasnya. []

Tentang : Muhammad Syaiful Anam, lahir di Kudus pada 14 Juli 2000 beralamat di Desa Robayan Rt/Rw 23/03 Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara. Pendidikan: TK Al Fattah Robayan, SDN 02 Robayan, SMP N 02 Welahan, MA Nurul Islam Kriyan Kalinyamatan, Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi IAIN Kudus Prestasi: Juara 1 MTQ Kabupaten Jepara 2011-2014 dan 2016-2019, Juara 1 MTQ Mahasiswa 2019 Tingkat Provinsi, Peserta MTQ PIONIR Nasional 2019. 34 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


PROFIL

PARADIGMA // 35 Edisi 35 Desember 2020


PROFIL

Seimbang Prestasi Dunia dan Agama Windy Aprilya Pangastutik

FOTO : NAILIS

DIDAMPINGI kedua orang tuanya, Nailis meraih 5 Besar Finalis English Essay Competition di acara Esa Week Unnes Semarang 2019 Sejawa

“Prinsip keluarga saya adalah ilmu apapun harus didalami, harus maju selagi bisa dan mampu melakukannya. Selain itu, kami berusaha menyeimbangkan aspek dunia dan aspek agama�

K

ELUARGA adalah tempat pertama di mana kita semua dididik dan ditata. Tempat pertama untuk belajar adalah orang tua yang menjadi komando untuk putra-putrinya. Sedangkan prinsip 36 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

keluarga digunakan sebagai ciri dimana pribadi itu dibentuk hingga terbentuk. Naily (21), salah satu hafidz quran sekaligus mahasiswa IAIN Kudus. Ia menekuni menghafal kitab suci sejak kecil. Keluarganya adalah tempat pertama ia memulai menghafal.

Siang itu, terik matahari membersamai langkah kami. Setibanya dirumah Naily kami memarkirkan kendaraan di depan pelataran, Senin, (02/11/2020) Gadis berkerudung biru itu mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumahnya. Sorotan cahaya


PROFIL

ORASI, Nailis ketika membacakan orasi bahasa inggris dalam lomba Festival Tarbiyah IAIN Kudus

memasuki celah-celah jendela ruang tamu menjadi penghias percakapan kami. Terdengar melodi gelas dan sendok tengah berkolaborasi yang diaduk dengan penuh semangat. Tiba perempuan paruh baya dibalik tirai dengan wajah sumringah membawakan kami minum lengkap dengan sogatan-nya. Beliau adalah Ibu Naily. “Monggo, sak wontene nggeh..” Percakapan kami terjeda sebentar, merasakan hangatnya sambutan dari Ibu Naily. Tak lama kemudian terdengar bunyi murotal di balik speaker masjid pondok dekat rumah Naily dan kami masih melanjutkan perbincangan sembari menunggu adzan tiba. Perbincangan kami dengan pemilik nama lengkap Nailisy

Syafa’ah yang memiliki banyak prestasi, selain menjadi penjaga kalamullah ia juga berkarya melalui tulisan esai bahasa Inggrisnya. Tekun dan Konsisten Perjalanannya untuk menjadi hafidzah tidaklah terjadi secara ujug-ujug (tiba-tiba). Ia memulainya dari Sekolah Dasar (SD). Berbekal buku kecil hafalan Juz Amma ia mencicil sedikit demi sedikit hafalan Alqurannya. Hingga menginjak bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs) Naily sudah mendapat hafalan sampai juz 4. Kemudian melanjutkan jenjang Madrasah Aliyyah (MA) di Jepara dan nyantri di Pondok An-Nur Troso Pecangaan Jepara mendapat 18 juz. Yang menjadi catatan bagi Naily adalah setiap kali pindah jenjang

pendidikan, hafalan Alqurannya perlu mengulang kembali dari awal untuk memperlancar atau dalam istilah arabnya yakni muroja’ah. “Yang terpenting untuk penghafal quran itu bukan masalah hafalanya, tapi konsisten untuk selalu muroja’ah guna meraih mutqin (kuat) dalam bacaan, hafalan, pemahaman, dan pengamalan,” kata Naily Usai menghabiskan jenjang MA, Naily melanjutkan pendidikann S1-nya di IAIN Kudus dengan mengambil Program Studi Tadris Bahasa Inggris. Dengan prinsip keseimbangan ilmu, ia juga melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren An-Nashuchiyah Ngembal Kudus. Di pondoknya tersebut ia kembali mengulang 18 juz dari awal dan disambung 12 juz selama 3 tahun mondok di An-Nashuchiyah sehingga hafalan Alquranya genap 30 juz. Dari Hobi Jadi Prestasi Prestasi Naily diraih dari hobi membacanya. Ia mengikuti berbagai lomba kepenulisan terutama lomba esai bahasa Inggris. Berbekal dari ilmu writing essay, Naily menerapkan teori mata kuliah yang ia dapatkan. Ia pun mengikuti beberapa even lomba, salah satunya lomba menulis Essay Se-Jawa yang diadakan oleh perguruan tinggi Universitas Negeri Semarang tahun 2019 dengan judul The Use Of Blended Learning In Promoting English Skills : The Case At State Islamic Senior High School PARADIGMA // 37 Edisi 35 Desember 2020


Kudus. Lomba karya tulis ilmiah berbasis bahasa Inggris itu ada banyak jatuh bangun yang dilalui Naily. Mulai dari penggalian data, proses penggarapan hingga proses latihan. “Saya menulisnya langsung berbahasa inggris, mengalir, untuk vocabulary-nya. Biasanya kalau google translate dan bantuan u-dictionary hanya untuk menyesuaikan saat merasa kurang pas saja,” terang Naily. Karena dirasa cukup memiliki modal kemampuan diri dan juga gaya presentasi berbahasa Inggris yang sangat memukau, di tahun yang sama Naily mendapat juara 1 dalam even lomba UKM STEC

dan Al-Izzah IAIN Kudus se-Jateng DIY. “Belajar dari yang sebelumnya, bisa ikutan kompetisi lagi tambah pengalaman, sudah ada modal ilmu meski harus belajar lebih lagi. Kalo saya, tiap ada even ya kalau ada kesempatan akan saya ikuti,” ungkap Naily. Tidak terlepas dari itu, ia pun sering menjadi kontributor di web tbi.iain kudus diantaranya the first community service program (KKN) of English education department students : presenting various virtual event and creative contents for education world, is there a cure for covid-19? Miracle of ramadhan and quran, dan karya lainnya

yang berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia. Naily menunjukkan bahwa seorang penjaga kalamullah juga bisa memainkan peran layaknya kebanyakan orang yang sibuk dengan aktivitas gandanya. Ia mampu mempraktikkan dari prinsip keluarganya. Menjadi penulis lewat karya esai bernuansa bahasa Inggris hingga bahasa Indonesia sebagai aspek prestasi dunia, dan tetap menyeimbangkan aspek prestasi agamanya.[]

Riwayat Pendidikan : TPQ Roudhotul Quran, MTs Nurul Ittihad Babalan Wedung Demak, MA Matholi’ul Huda Troso Pecangaan Jepara, Ponpes Annur Troso Pecangaan Jepara, S1 Tadris Bahasa Inggris IAIN Kudus , PPTQ An-Nashuchiyyah

Nama Lengkap : Nailisy Syafa’ah TTL : Demak, 26 Agustus 1999 Hobbi : Membaca, Menulis Alamat : Jl. Puncak Kembar Desa Babalan Rt 01/ Rw 02 Kecamatan Wedung Kabupaten Demak

38 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Prestasi : Juara 1 Lomba Lcc Tingkat An-Nashuchiyah 2018 Juara 3 Lomba MHQ Tingkat Pondok An-Nashuchiyah 2018 Beasiswa Tahfidz IAIN Kudus 2018 Dan 2019 Delegasi Peserta Lomba Tahfidz mewakili IAIN Kudus pada Kompetisi IPPBMM VII PTKIN se Jawa Madura di IAIN Purwokerto 2018 Juara 2 Orasi Ilmiah Festival Tarbiyah IAIN Kudus 5 Besar Finalis English Essay Competition di acara Esa Week Unnes Semarang 2019 Sejawa Juara 1 Lomba Essay BahasaInggris Festival Bahasa Se Jateng DIY oleh Stec Dan Al Izzah IAIN Kudus 2019


KOLOM

Kemanusiaan dan Sastra Abad 21 Nuryanti

Hanya karya sastra yang mampu menyingkap fragmen tak dikenal keberadaan manusia yang memiliki alasan bertahan. Menjadi penulis bukan mengkhutbahkan kebenaran melainkan menemukan kebenaran.� -Milan Kundera-

A

DA esensi menarik ketika m e n g k a j i kesusastraan abad 21. Layaknya seorang Milan Kundera, penulis besar abad 20 yang suka mengkaji ide mengenai kemanusiaan membuatnya menjadi raksasa dalam dunia sastra. Milan Kundera juga bermindset bahwa menjadi penulis bukan untuk mengkhutbahkan kebenaran melainkan menemukan kebenaran. Kenyataanya, hakikat sastra sering dipersempit sekadar rasa, karsa, kopi atau senja. Padahal sastra justru jadi alternatif menarik guna menarasikan kemanusiaan. Merujuk pada ungkapan Sapardi Djoko Damono, yang

menyetujui bahwa karya sastra dapat melembutkan hati, sebab sastra menjadi cara berkomunikasi paling canggih dengan bahasa. Dalam hal ini, Antilan Purba, mendefinisikan sastra adalah karya sastra lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan keindahan, dalam isi dan ungkapannya. Hasil karya sastra mempunyai pesan menantang bila struktur pemikiran berupa pandangan dunia yang tidak kita sadari, tetapi yang menjiwai kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur ini hanya kita dapati dalam karya-karya pengarang yang unggul dan peka terhadap realitas sosial budayanya. Sastrawan ini menjadikan kehidupan sosial transparan, menampakkan rahasia

suatu kebudayaan yang bersamasama didukung oleh para anggotanya. Sastra dan manusia bagaikan dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat sebuah hubungan amat erat antara sastra dan kehidupan, karena sastra mempunyai fungsi sosial dalam melibatkan dirinya di tengahtengah masyarakat. Dalam kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan pula dengan sistem nilai, di mana nilai inilah yang menjadi pedoman hidup bermasyarakat, dan dalam karya sastra seluruh nilai itu ada. Oleh sebab itu terdapat hubungan yang erat antara sastra, kehidupan, dan masyarakat. Bagi sastra, masyarakat adalah faktor terpenting sekaligus objek vital dari ilmu sosial.

PARADIGMA // 39 Edisi 35 Desember 2020


KOLOM Sastra di Sekitar Kita Sebelum memasuki abad ke 21, barangkali sudah menjadi hal yang menjemukan melihat panggungpanggung festival sastra dipenuhi oleh hegemoni sastrawan yang sudah malang-melintang di jagad kasusastraan Indonesia. Tentu saja karyanya sudah banyak yang terpajang di rak-rak toko buku yang ada di negeri ini. Tidak mengherankan jika pertemuan sastrawan lebih banyak dihadiri oleh sastrawan yang sudah mentereng (Terakota, 14/10). Media massa saat ini menjadi tempat yang sangat menjanjikan. Di abad ke 21 lebih terkenal dengan zaman modernitas dan sastra yang terkenal dengan sastra modern, media sosial menjadi angin segar setelah media cetak yang saat ini rubrik sastra telah banyak dikurangi. Perkembangan sastra saat ini juga tidak lepas dari perkembangan kemanusiaan. Zaman tidak akan berhenti sampai di sini, namun ia akan terus berganti dan membuat peta kebudayaan juga ikut berganti. Abad ini akan menjadi kekuatan bagi sejarah kasusastraan Indonesia. Para penulis pemula yang saat ini semakin banyak terlahir bisa jadi akan menggantikan sastrawan tersohor, barangkali hanya tinggal menghitung waktu untuk para sastrawan tersohor mengisi kolomkolom riwayat di buku sejarah. Di zaman digital yang semua serba instan dan kurangnya penyaringan terhadap informasi yang masuk, dapat menjadikan sastra sebagai 40 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

alat menyadarkan jiwa analisis masyarakat saat ini. Sebuah karya sastra yang memiliki sifat simptomatis (memaparkan gejala) dapat menimbulkan efek sadar bagi pembacanya. Karya sastra bisa saja menjadi wakil dari grup sosial, apabila menyangkut persoalan individu dan masyarakat, sehingga karya sastra menjadi tokoh yang mewakili masyarakat dalam sebuah grup sosial. Dalam karya sastra dialektis-konstruktif, masyarakat berbeda pada pihak yang benar, dan pribadi menyatu kembali dengan masyarakat. Sebaliknya dalam sastra dialektis-destruktif, individu memberontak kepada masyarakat dan menjadi korban kekejaman masyarakat. Di abad 21 pengarang yang muncul pada umumnya menulis dengan menggunakan ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Beberapa karangan mereka ada sangat berani menampilkan nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual bahkan seksual, yang justru lebih berani dibandingkan para sastrawan seumumnya. Beberapa tokoh yang muncul pada abad ke 21 adalah Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Herlinaties, Nukila Amal, Linda Kristianti, Ratih Kumala, Oka Rusmini, dan lain-lain. Di antara mereka yang mengusung ideologi kebebasan wanita (woman libs) yang dulu pernah dilakukan oleh Nh. Dini (namun ungkapanungkapan Dini tetap literik, tidak vulgar). Sebenarnya minus idiomidiom vulgar karya mereka termasuk

berbobot, seperti juga prosa karya Linus Suryadi berjudul Pengakuan Pariyem. Di bagian tertentu karya Jenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami bahkan sangat puitis serta filosofis, menampilkan ungkapan-ungkapan yang bernas dan cerdas, dengan imajinasi yang kaya renungan, mungkin juga humanis dan religius. Jadi mengandung hal-hal yang kontroversial. Kasusastraan telah menjadi panggung yang luas dan bebas untuk sebuah pementasan. Tentu saja para pemainnya boleh berbuat dan menentukan apa saja yang mereka mau, namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Hal ini menjadi sebuah pintu kebebasan setelah era reformasi, di mana ruang gerak masyarakat selalu dibekap dan diganjal oleh pemerintah orde baru yang represif. Sastra abad 21 telah membuang segala hal yang keliru, menyaring dengan sedemikian rupa apa yang masih dapat dibawa dan meninggalkan sisanya. Penemuan atau penciptaan akrobatik dalam bahasa diperlukan untuk mengantarkan masa depan sastra abad 21 sebagai potret sastra yang tidak kekurangan bahan kreativitas. Oleh karenanya, diskusi dan penelitian mengenai bahasa Indonesia harus semakin rajin digiatkan agar dapat memunculkan suatu solusi baru yang dapat memperkaya bahasa dan kesusastraan itu sendiri. [] *Penulis adalah sastrawan abad 21 sekaligus pegiat jurnalistik di Paradigma Institute


PARADIGMA // 41 Edisi 35 Desember 2020


42 // PARADIGMA

Edisi 34 Desember 2019


PARADIGMA // 43 Edisi 34 Desember 2019


44 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


TEKNOLOGI

MENAKAR KECEPATAN AKSES 5G TAHUN MENDATANG

PARADIGMA // 45 Edisi 35 Desember 2020


TEKNOLOGI

Menakar Kecepatan Akses 5G Tahun Mendatang Kustina Candra Ningrum

T

EKNOLOGI berkembang dari masa ke masa. Di tahun 2015, jaringan akses Long Term Evolution (LTE) atau disebut dengan jaringan 4G sebagai kelanjutan dari jaringan 3G mulai dinikmati oleh pengguna seluler di Indonesia walaupun keberadaan jaringan 4G pada saat itu masih belum merata di beberapa daerah. Teknologi 4G LTE menawarkan kecepatan yang lebih baik serta efisiensi dalam penggunaan yang jauh lebih besar ketimbang jaringan 3G. Selama satu dekade terakhir, permintaan untuk kecepatan data yang lebih tinggi terus berkembang untuk memenuhi keinginan konsumen agar memiliki kecepatan akses data lebih cepat, lebih aman, dan lebih andal. Hal tersebut mendorong kemunculan teknologi 5G atau Fifth Generation, yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut generasi kelima sebagai fase berikutnya dari standar telekomunikasi seluler yang lebih tinggi dari standar 4G. Jaringan 5G memiliki beberapa keunggulan, diantaranya kecepatan

46 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

data sebesar 10 hingga 100 kali lebih cepat dan lebih signifikan dari 4G karena menggunakan gelombang millimeter yang mudah diserap dedaunan dan banguna. Memiliki transfer data dari satu telepon seluler ke telepon seluler lain dengan kecepatan satu milidetik, dan dapat terkoneksi dengan alat seperti telepon, mobil, dan peralatan rumah tangga. Selain itu, teknologi 5G diprediksi memiliki kecepatan sekitar 1-10 Gbps koneksi end point. Dengan kecepatan tersebut, teknologi 5G memungkinkan penggunanya untuk mengunduh 33 film dengan kualitas High Definition (HD) hanya dalam beberapa detik. Tidak seperti jaringan seluler generasi sebelumnya, jaringan seluler 5G dirancang untuk mendukung banyak perangkat dan aplikasi, seperti Smartwatches, smart car, dan Internet of Things (IoT). Internet of Things (IoT) merupakan sebuah konsep yang bertujuan untuk memperluas manfaat dari konektivitas internet yang tersambung secara terus-menerus. Adapun kemampuan yang ditawarkan, seperti data sharing, remote control, dan sebagainya.

Termasuk juga pada benda di dunia nyata, contohnya bahan pangan, elektronik, koleksi dan peralatan apa saja termasuk benda hidup yang tersambung melalui sensor yang tertanam pada perangkat dan selalu aktif. Implementasi Internet of Things (IoT) dapat dilakukan oleh developer dalam mengembangkan sebuah aplikasi yang diciptakan. Sebagai contoh, apabila aplikasi tersebut diciptakan untuk membantu monitoring sebuah ruangan, maka implementasi Internet of Things (IoT) harus mengikuti alur-alur diagram pemograman mengenai sensor dalam sebuah rumah, berapa jauh jarak agar ruangan dapat dikontrol, dan kecepatan jaringan internet yang digunakan. Oleh sebab itu, Internet of Things (IoT) memainkan peran penting dalam desain sistem 5G dan beberapa bagian dari jaringan 5G. Pengembangan jaringan 5G memiliki target untuk memenuhi peningkatan permintaan kecepatan data yang lebih tinggi, mengurangi latency (interval antara pengirim dan penerima), efisiensi energi yang lebih baik, dan konektivitas


TEKNOLOGI

yang andal. Beberapa negara yang sudah menerapkan teknologi 5G, yaitu Qatar, Amerika Serikat, China, Korea selatan, Jepang, Swiss, Inggris, Italia, Australia, Kuwait dan Filipina. Sedangkan negara-negara yang dalam waktu dekat akan mengadopsi teknologi 5G, yaitu Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia. Jaringan 5G di Indonesia Wacana terkait penerapan 5G di Indonesia sudah digadang-gadang akan beroperasi pada tahun 2020. Namun sayangnya, belum ada tanda-tanda kehadiran jaringan 5G di Indonesia. Meski begitu, di tahun 2020 ini beberapa smartphone mengeluarkan produk-produk yang kompatibel dengan jaringan 5G, seperti Oppo Reno 5G, Samsung S10

5G, Xiaomi Mi 9 Pro 5G, LG V50 Thing 5G, Mi Mix 4, Lenovo Z6 Pro, dan Huawei Mate 30. Dilansir dari Tempo.co, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memperkirakan jaringan 5G masuk Indonesia pada tahun 2022. Operator seluler di Indonesia sudah mulai uji coba jaringan 5G sejak tahun 2017 namun tidak untuk konsumen komersial karena penggunaan jaringan 5G di kalangan masyarakat Indonesia masih belum sesuai dengan kebutuhan pasar. Kebanyakan konsumsi penggunaan jaringan 5G berada di sektor industri. Selain itu, terdapat beberapa tantangan dalam implementasi jaringan 5G antara lain ketersediaan spektrum frekuensi, infrastruktur hingga

regulasinya agar penerapan 5G dapat lebih efektif dan efisien. Jaringan 5G membutuhkan banyak Base Transceiver Station (BTS) karena menggunakan gelombang millimeter. Base Transceiver Station (BTS) adalah infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara piranti komunikasi dan jaringan operator. Karena membutuhkan frekuensi yang besar, maka jarak antar BTS juga akan semakin dekat sehingga investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan 5G juga tidak sedikit. Pemerintah mengaku akan menuntaskan pembangunan 4.000 BTS dan masih terus mengkaji mengenai frekuensi, monetasi atau model bisnis, serta valuasi dari spektrum 5G bersama operator, asosiasi dan lainnya. Saat ini memang fasilitas frekuensi untuk menerapkan jaringan 5G di Indonesia memang belum tersedia. Namun, pemerintah terus berupaya agar masyarakat bisa menikmati teknologi jaringan 5G. Kementerian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) menganggarkan sebesar 16 triliun dari total penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk membeli frekuensi 5G (Solopos, 15/10). Untuk itu, tunggu sampai jaringan 5G benarbenar terealisasi di Indonesia. Sudah siap untuk mencobanya nanti? [] *Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Dakwah dan Komunikasi Prodi KPI Angkatan 2017

PARADIGMA // 47 Edisi 35 Desember 2020


JALAN-JALAN

Gaung Toleransi Dari Gong Plajan ADA legenda dan narasi menarik yang tersembunyi dari pesona wisata Desa Plajan Kecamatan Pakis Aji. Desa yang letaknya terbilang cukup jauh dari pusat kota Jepara ini memang kaya akan potensi wisata alam yang menggugah masyarakat dari berbagai penjuru. Sedikitnya terdapat empat destinasi wisata yang menjadi primadona desa Plajan 48 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

yakni museum Gong Perdamaian, Gua Sakti, Akar Seribu. Pagi itu, layar ponsel genggam kami menunjukkan pukul 10.00 A.M, tepat pada Jumat (04/09) dengan bermodal Google Maps, kami menempuh perjalanan menuju desa wisata Plajan, Jepara. Dengan mengendarai sepeda motor, sekira satu jam setengah kami menempuh

perjalanan dari Kudus menuju desa Plajan. Meski matahari menjelang siang itu membuat kami menyeka keringat, hamparan keasrian Plajan menderu laju semangat kami. Museum Gong Perdamaian Tiba di tujuan utama, Museum Gong Perdamaian, kami cukup membayar uang karcis lima ribu


JALAN-JALAN

Kumpulan tanah dunia yang tersimpan rapi dalam ruang berdinding kaca

FOTO: A’YUN/PARAGRAPHFOTO

rupiah saja untuk bisa menikmati replika menarik yang tersaji di area Museum Gong Perdamaian. Museum Gong Perdamaian ini juga menjadi ikon desa Plajan yang juga memiliki julukan desa perdamaian, tidak hanya pada level nasional, namun tingkat internasional. Di desa ini sedikitnya terdapat tiga agama yang dianut yakni Islam, Kristen dan Hindu, ketiganya tumbuh rukun saling berdampingan. Jika diamati, di sepanjang perjalanan desa Plajan tidak sedikit terdapat tempat ibadah yang dibangun secara berdampingan. Siang itu, kawasan museum terlihat lengang. Hanya ada penjaga

karcis, tukang sapu dan penjaga warung. Menurut penjelasan Penjaga Warung, Nafsiyah (39), ramainya pengunjung hanya di akhir pekan saja, apalagi masa pandemi ini pengunjung gong perdamaian memang menurun. “Kalau hari selain week end memang sepi,” ucapnya. Bagi pecinta sejarah dan replika peradaban dunia, museum gong perdamaian menjadi cocok untuk dikunjungi. Ada replika kendi pancasila, sumur perdamaian, pusat bumi, kumpulan tanah dunia, cagar budaya bendera 202 negara berbentuk melingkar mulai dari Aljazair sampai negara pecahan Uni Soviet. Ada juga ruang terbuka berukuran sekitar 4x4 meter yang menyuguhkan informasi berupa dokumentasi pengunjung ataupun saat peresmian Gong Perdamaian di berbagai negara. Meski museum ini dinamakan museum Gong Perdamaian Dunia,

FOTO: A’YUN/PARAGRAPHFOTO

namun gong yang ada di dalamnya bukan hanya gong perdamaian dunia saja. Terdapat tiga gong berukuran 2 meter yang memiliki simbol masingmasing. Di pekarangan utama taman ini terpampang tiga gazebo dipasangi masing-masing gong yang letaknya saling berdekatan. Gong yang pertama dinamakan gong perdamaian Nusantara. Gong ini dijadikan sebagai simbol perdamaian bagi setiap pemeluk agama di Indonesia. World Peace Gong adalah gong kedua atau disebut gong perdamaian dunia. Masingmasing gong berbentuk bulat, adapun gong perdamaian dunia bergambar peta dunia dan tiap sisinya dikelilingi stiker bendera-bendera dari berbagai penjuru dunia. Yang ketiga adalah Gong Perdamaian Asia-Afrika atau biasa disebut Asian African Peace Gong yang menggambarkan bendera-bendera peserta Konferensi Asia-Afrika 1955. PARADIGMA // 49 Edisi 35 Desember 2020

FOTO: ALI/PARAG


JALAN-JALAN Menurut cerita penjaga museum, Arifin Basori (43), Gong perdamaian di Jepara ini diresmikan pada 17 April 2012 oleh Menteri Pekerjaan Umum, Bapak Djoko Kirmanto. Di Indonesia sedikitnya ada enam gong perdamaian dunia yang diletakkan di Ambon, Denpasar, Ciamis, dan Jepara. Dan kini gong perdamaian dunia telah tersebar di 202 negara “Peletakan gong perdamaian dunia juga tidak di sembarang tempat, harus di tempat yang sakral, terhormat, dan memiliki nilai sejarah tinggi,” jelasnya. Adapun pewaris gong keturunan di Jepara merupakan tokoh paling berpengaruh dan paling dihormati yakni Djuyoto Suntani. Ia menjabat sebagai President the World Peace Committee 202 Negara yakni Djuyoto Suntani putra asli kota Jepara yang kini sudah menjamah keliling dunia. Ia adalah anak dari almarhum Suntani dan Musrini, penduduk asli desa Plajan. Konon, gong sakral yang telah berusia sekitar 450 tahun itu dijaga oleh Musrini yang merupakan pewaris gong generasi ketujuh. Arifin menceritakan, dulu, Musrini sempat ingin menjual gong tersebut. Namun, Djuyoto Suntani mencegah keinginan ibunya itu. Ia getol ingin menciptakan gerakan perdamaian lewat Gong Perdamaian Dunia. Hingga kini sejumlah gong telah ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia dan luar negeri sebagai simbol perdamaian dunia. Ide menebarkan Gong Perdamaian Dunia berawal dari peristiwa teror Bom Bali 2002 yang membetot perhatian internasional. 50 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Tim Paradigma sedang mengamati kumpulan dokumentasi kegiatan di Musuem Gong Perdamaian, Jepara, pada (04/09/2020)

Kendi pancasila salah satu replika di Museum Gong Perdamaian, memiliki lima lubang halnya pancasila yang memiliki 5 dasar

Djuyoto menggunakan Gong Perdamaian Dunia untuk mengembalikan kepercayaan dunia kepada Indonesia sekaligus mempromosikan perdamaian. Gong pertama kali yang digunakan untuk kampanye ajakan dan seruan hidup damai adalah gong berusia 480 tahun warisan leluhur. “Setelah diresmikan Presiden RI waktu itu Ibu Megawati Soekarno Putri pada 31 Desember 2002, kemudian dibawa keliling dunia untuk meresmikan even-even internasional,” beber Arifin Setelah diresmikan, kawasan Gong Perdamaian Dunia dulunya sempat ramai dikunjungi wisatawan dari seluruh Dunia. Dari lokasi gong

perdamaian sampai kota Jepara diberi nama Jalan Gong Perdamaian Dunia yang diresmikan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) RI disaksikan Gubernur Jawa Tengah, Kapolda Jawa Tengah, Pangdam Diponegoro, Gubernur Maluku, Bupati Jepara dan ribuan undangan. Oleh Arifin, kami dibekali buku tentang figur dibalik Gong Perdamaian Jepara. Berjudul “He Mr Djuyoto Suntani Most Influential Peole On The Planet Earth” buku ini menceritakan seluk beluk gong perdamaian, perjalanan Djuyoto Suntani keliling Dunia, masa kecilnya, sampai rencana gong


FOTO: A’YUN/PARAGRAPHFOTO

JALAN-JALAN

TAMPAK tiga orang anak kecil sedang bermain di tepi kolam Kali Bening, Jepara, anak di tengah dengan lahapnya menyantap camilan sedang kedua temannya hanya memperhatikan. Diabadikan pada Jumat sore, (04/09/2020)

perdamaian yang akan diletakkan di bulan. Surga Tersembunyi Kali Bening Puas menyingkap cerita sejarah kawasan gong perdamaian, tak lengkap rasanya jika tak mengunjungi wisata lain yang terdapat di desa ini. Namun kali ini lokasinya berada di tetangga desa Plajan, yakni desa Krebu. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan berikutnya. Mengingat lokasinya dipelosok desa Krebu, jalan menuju Kali Bening pun didominasi tanjakan dan berliku. Jika ditakar, jarak waktu ke Kali Bening dari gong perdamaian

yakni setengah jam perjalanan. Penamaan Kali Bening diambil dari kata kali yang artinya sungai dan bening yang artinya jernih. Pasalnya, Kali Bening sebenarnya telah dikelola sejak tiga tahun lalu. Pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat sekitar. Namun pada 2019, dilakukan renovasi komplek obyek wisata tersebut. Dilakukan pula penambahan kolam renang yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Saat ini telah direncanakan pula pembangunan tugu dan kafe yang akan melengkapi komplek wisata tersebut. Perjalanan kami terbayar dengan dimanjakannya mata kami dengan

pemandangan dan suasana kali bening yang sejuk dan asri. Dengan kedalaman antara 110 cm-170 cm pengunjung dapat menikmati sensasi berenang di alam terbuka dengan air yang jernih nan sejuk. Selain itu, pengunjung juga dapat bermain di aliran sungai dan berswafoto dengan latar air terjun lengkap dengan tebing yang indah perbukitan. Sayangnya, air terjun sore itu sedang surut sebab memasuki musim kemarau, meskipun begitu perjalanan kami tetap mengesankan dan pulang membawa kenangan. [] Ifa Rizki Purnamawati Satriani Qurrota A’yun

PARADIGMA // 51 Edisi 35 Desember 2020


MENU KHUSUS

Aplikasi Literasia Masih Tahap Uji Coba

B

ERDASARKAN surat edaran nomor 07 tahun 2020 tentang peningkatan kewaspadaan terhadap risiko penularan covid 19 di lingkungan IAIN Kudus, seluruh aktivitas perkuliahan dan kemahasiswaan diganti dari yang semula luring menjadi daring. Terhitung sejak dikeluarkannya surat edaran tersebut pada tanggal 15 maret 2020, seluruh civitas akademika IAIN Kudus tetap diminta menjalankan tugas dalam sistem online. Begitupun perpustakaan IAIN Kudus, untuk tetap menjaga kualitas dan kinerjanya, seluruh sistem pelayanan perpus dijalankan secara online termasuk dalam hal peminjaman buku. Salah satu trobosan yang dirancang pihak perpus ialah dengan menggunakan aplikasi berbasis android sebagai alternatif peminjaman online pada masa pandemi. Aplikasi tersebut adalah literasia IAIN Kudus, aplikasi yang dirancang oleh PT. Enam Kubuku Indonesia ini 52 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

merupakan salah satu layanan berbasis teknologi cloud yang memberikan kemudahan akses informasi digital dalam berbagai literatur ilmiah. Aplikasi yang ditawarkan pada Juni 2020 ini sebenarnya masih dalam tahap pengembangan. Ketua UPTD Perpustakaan IAIN Kudus, Anisa Listiana mengatakan aplikasi literasia untuk saat ini hanya dapat menghadirkan sekitar 700 judul dalam bentuk e-book maupun e-jurnal. “Awalnya gratisan 80 buku sama aplikasinya, untuk menambah jumlah koleksi buku dengan cara hibah buku online,” katanya. Lebih lanjut Anisa menuturkan aplikasi literasia ini dijadikan sebagai alternatif kedua peminjaman buku online selama masa pandemi. Untuk aplikasi utama, pihaknya mengaku masih mengandalkan aplikasi telegram karena aksesnya lebih mudah dan jangkauannya lebih luas. “Kalau mahasiswa hanya mengandalkan aplikasi literasia saja mahasiswa akan kesulitan dalam mencari referensi buku

seputar perkuliahan, apalagi ada tambahan mahasiswa baru, maka kami rekomendasikan telegram dan ipusnas,” tuturnya saat ditemui Paradigma di Gedung Perpustakaan Lantai 2 IAIN Kudus pada Selasa, (27/10/2020). Ia juga mengatakan, jika mahasiswa ingin meminjam buku melalui aplikasi literasia sebenarnya panduan peminjaman (reservasi via grub telegram) sudah tersedia videonya. Namun, lebih lanjut ia menjelaskan, ada hal yang perlu diperhatikan mahasiswa ketika ingin meminjam buku melalui aplikasi. Pertama yakni reservasi untuk hard copy melalui program telegram kemudian pemustaka mencari ketersediaan judul buku yang diinginkan. Lalu pihak perpustakaan akan mencarikan buku tersebut dan menginformasikan waktu pengembalian melalui grup telegram. Setelah itu, imbuh Anisa, pemustaka bisa mengambil buku reservasi pada hari yang sudah dijadwalkan oleh staff yakni pada jam layanan perpustakaan (08.00 – 15.00 WIB) dengan


FOTO ISTIMEWA

MENU KHUSUS

menerapkan protokol kesehatan. Pengembalian koleksi sirkulasi, pemustaka atau peminjam dapat langsung mengembalikan koleksi dengan mengambil kartu kunjungan di pos satpam,” jelas Anisa “Kita itu meminimalisir ketemu dengan mahasiswa karena dengan kondisi seperti ini, bahkan matrikulasi seperti ini dilaksanakan secara offline. Kita juga takut sebetulnya, karena Kudus itu zona merah. Tapi dalam ketakutan tersebut bukan berarti kita tidak mau memberikan solusi dan pelayanan,” bebernya. Menunggu Aduan Aplikasi literasia ini memang terbilang masih dalam tahap uji coba, sehingga dalam aksesnya, banyak mahasiswa mengeluhkan

karena dianggap lama dalam proses verifikasinya. Hal ini pun diakui Mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI), Anisa Rahmawati yang mengatakan, jika proses aplikasi literasia masih sering loading. Ia sendiri mengaku lebih sering memanfaatkan aplikasi telegram dalam mencari referensi skripsi. Selain itu, ia juga tidak bisa memungkiri bahwa selama pandemi merasa kesulitan dalam mencari referensi. “Aplikasi literasia memang sepertinya masih dalam tahap uji coba, belum bisa maksimal, jadi ya untuk mahasiswa bisa melalui telegram,” katanya. Menanggapi hal tersebut, Petugas Perpustakaan Bidang Sirkulasi, Diah Ayu Novitahadi mengungkapkan, jika hal itu terjadi karena tidak

ada konfirmasi dari mahasiswa. Menurutnya, pihak perpustakaan telah mengecek aplikasi literasia setiap hari. “Biasanya itu karena tidak ada konfirmasi atau pengaduan dari mahasiswa, kalau mahasiswa whatsapp baru kami aktivasi,” ungkapnya. Ia juga menyarankan agar mahasiswa lebih bisa mandiri untuk mencari informasi mengenai kampus termasuk sistem peminjaman perpustakaan. “Jika masih bingung seputar peminjaman ataupun lainnya bisa mengikuti informasi lebih lanjut di laman media sosial perpustakan IAIN Kudus,” pungkas Diah. []

Abdul Rosid

PARADIGMA // 53 Edisi 35 Desember 2020


MENU KHUSUS

Gagap Hadapi Aplikasi Cek Plagiasi Shella Khofiyyan Nida

FOTO ISTIMEWA

D

I ERA sekarang, k e m a j u a n teknologi sudah melingkup ke berbagai bidang, baik ranah industri, pemerintahan, hingga pendidikan. Dalam memanfaatkan teknologi, lembaga pendidikan memberikan solusi untuk mendukung kualitas akademik. Salah satunya yakni penerapan software turnitin dalam karya tulis mahasiswa maupun dosen. Adanya turnitin bertujuan untuk mencegah plagiasi karya tulis sehingga meminimalisir terjadinya menyalin ulang. Berbagai kampus pun sudah menerapkan penggunaan turnitin termasuk IAIN Kudus. Namun faktanya, penerapan turnitin dinilai belum maksimal karena mahasiswa harus menunggu lama untuk mengecek turnitin di kampus. Seperti halnya, Faqih Mansyur Hidayat, Mahasiswa Prodi Manajemen Bisnis Syariah, yang justru melakukan pengecekan turnitin kepada pihak luar kampus. Ia 54 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

mengaku pihak kampus slow respond dalam menanggapi pengecekan turnitin skripsi mahasiswa. “Mungkin karena saking banyaknya mahasiswa yang mengecek, saya menunggu beberapa minggu belum ada jawaban. Daripada kelamaan saya cek langsung ke jasa turnitin,” jelas Faqih kepada Paradigma. Faqih menilai IAIN Kudus belum siap melakukan pengecekan plagiasi ke semua mahasiswa. Pasalnya penggunaan turnitin barubaru ini hanya melalui satu pihak yakni perpustakan. “Belum terlalu memahami sistemnya bagaimana, apa memang iya hanya satu pintu saja,” ungkapnya. Ia sempat heran, terkait syarat munaqosah yang memang harus menyertakan surat turnitin dari perpustakaan tetapi penggunaan turnitin yang justru sudah terjadi bisa dilakukan melalui jasa dosen, bahkan jasa dari luar kampus. “Aturan mengenai turnitin ini memang perlu diperjelas dari pihak kampus dan diperbaiki hingga maksimal,” tandas Faqih.

Tak Sejalan Menanggapi hal tersebut, Kepala UPTD Perpustakaan IAIN Kudus, Anisa Listiana, menjelaskan, fakta di lapangan justru tak sejalan dengan perencanaan. Sebenarnya, pengecekan plagiasi untuk skripsi dilakukan oleh dosen pembimbing. Perpustakaan hanya mengolah akun dosen dan melaksanakan pelatihan untuk para dosen dan mahasiswa. Jika ada kesalahan dari dosen pembimbing dalam pengecekan plagiasi, baru dikomunikasikan ke perpustakaan. Akan tetapi, papar Anisa lebih lanjut, yang terjadi di lapangan adalah dosen pembimbing tidak mau mengecek plagiasi tulisan mahasiswa. Dosen pembimbing pun mengizinkan mahasiswa untuk melakukan cek turnitin ke pihak luar kampus. Padahal surat keputusan sudah diterbitkan. “Ada surat edaran (SE No 5 Tahun 2020 tentang Pencegahan Plagiarisme dan Deteksi Plagiasi), bahwa skripsi hanya boleh dicek oleh dosen pembimbing,” tegas Anisa saat ditemui di ruangannya.


MENU KHUSUS

Adapun guna meningkatkan kualitas karya ilmiah dosen dan mahasiswa, kampus sendiri memberikan anggaran untuk langganan turnitin. Akan tetapi fasilitas tersebut tidak dimanfaatkan. “Langganan sampai ratusan juta tapi ternyata malah tidak mau menggunakannya,” tandas Anisa Anisa mengaku, sejak turnitin pertama kali diterapkan di kampus memang banyak menuai polemik. Adanya turnitin ini juga banyak yang belum bisa menerima. Masih banyak kecurangan dan kenakalan dari karya tulis ilmiah. Jika ini dibiarkan malah menurunkan lembaga kampus. “Yang rugi tidak hanya lembaga tetapi juga mahasiswa karena nantinya skripsi ini akan diunggah ke repositori, maka dari itu penting untuk menerapkan turnitin dalam dunia kampus,” katanya. Sementara itu, Pegawai Perpustakaan IAIN Kudus, Galuh Paramista Swasti, merasa kuwalahan jika pengecekan turnitin hanya dibebankan pada pihak perpustakaan. Ia juga mengaku, setiap harinya terdapat 30-40 mahasiswa yang melakukan pengecekan di perpustakaan yang dikirim melalui email. “Karya tulis ilmiah mahasiswa rata-rata masih sama persis dengan referensi yang mereka pakai. Jika kualitas tulisan dari mahasiswa itu sudah bagus maka pengecekan penelitian ini bisa dilakukan dengan cepat,” katanya. Ia berharap, dengan diberlakukannya turnitin ini siapapun termasuk mahasiswa sadar bahwa

tidak semua bisa didapatkan melalui instan jika ingin mendapatkan yang baik. Terutama juga hasil akhir karya tulis ilmiah mahasiswa yang berupa skripsi alangkah baiknya tidak hanya mengandalkan copy paste saja. Adapun dari pihak dosen, reporter Paradigma mencoba menghubungi dosen IAIN Kudus, Tara Nindia Zulhi Amaliya. Ia mengungkapkan turnitin sebagai plagiarism checker dapat maksimal bila sebelum penggunaan dosen dan mahasiswa mempelajari cara kerjanya terlebih dahulu. Ketika mahasiswa cek turnitin di beberapa tempat dapat terjadi similarity akan tetapi indeksnya berbeda. Hal ini bisa terjadi karena pengecekan melalui portal turnitin. Selanjutnya indeks yang tinggi memang tidak selalu terjadi karena tingginya plagiasi. Namun bisa tinggi karena unggahan teks yang sama pada turnitin dalam waktu yg berbeda. Tara, mengaku jika pihak UPTD Perpustakaan IAIN Kudus sudah pernah mengadakan penyuluhan dan pengenalan aplikasi ini kebeberapa dosen. Tara juga membenarkan jika kebanyakan mahasiswa lebih memilih melakukan jasa turnitin ke tukang jasa checker di luar kampus. Keinginan yang serba instan memilih turnitin ke luar kampus, mengingat slow respondnya cek plagiasi di kampus dan mendekati batas pendaftaran akhir sidang munaqosah. Pada kesempatan yang berbeda, reporter Paradigma juga menghubungi jasa cek turnitin via

Whatsapp, Mawar (nama samaran), mengaku, sejak kampus menerapkan turnitin ia sudah mempelajari aplikasi turnitin, sebelum ada jasa-jasa lain yang buka. “Kampus menerapkan turnitin baru bulan April kemarin,” ungkapnya pada Kamis, (19/11/2020). Ia menambahkan, selagi yang digunakan itu akun turnitin no repository itu tidak akan menambah jumlah plagiasi, tapi jika yang dipakai itu akun turnitin repositori maka datanya akan kesimpan di turnitin dan ketika dicek akan bertambah banyak plagiasi karena terdeteksi dengan skripsi yang tersimpan akibat mengecek diakun turnitin repositori. Ia juga sempat merasa kesulitan jika memparafrase skripsi kuantitatif. Menurutnya, parafrase skripsi kuantitatif akan lebih sulit karena kebanyakan nomor dalam tulisan dan itu menjadi penyumbang terbesar plagiasi termasuk pada rumus yang memang tidak bisa diparafrase. “Jadi kita parafrase yang masih bisa diparafrase walaupun bukan penyumbang plagiasi utama, jadi jika mengerjakan skripsi kuantitatif membutuhkan waktu dan pikiran yang ekstra,” ungkapnya. Ketika ditanya mengenai koordinasi antara jasa cek turnitin dengan pihak kampus, Mawar memilih bungkam. Adapun terkait harga, ia menaksir tingkat kesulitan penulisan skripsi kisaran 150 ribu hingga 700 ribu. “Kita parafrase asli tanpa kecurangan jadi kita menentukan harganya sesuai tingkat kesulitannya,” tandas Mawar. []

PARADIGMA // 55 Edisi 35 Desember 2020


BUDAYA

ARAKAN, rombongan ibu-ibu membawa jenang yang ditata berbagai bentuk, dan disaksikan oleh banyak warga

FOTO-FOTO ISTIMEWA

“Syekh Jangkung menyatakan cucu Mbah Dempok mati suri dan untuk membangunkannya,ia meminta ibu-ibu Desa Kaliputu membuat jenang bubur gamping. Lantaran jenang bubur gamping itulah cucu Mbah Dempok terbebas dari gangguan makhlus halus Banaspati. Dari situlah masyarakat kemudian mengartikan bubur yang dimaksud adalah jenang.�

56 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


BUDAYA

TEBOKAN JENANG,

Dari Legenda Mbah Dempok Hingga Pergeseran Tebok PENGGALAN reka adegan legenda asal mula kudapan jenang diciptakan menjadi salah satu prosesi dalam acara budaya Tebokan Jenang 2019. Cerita itu dikisahkan Tokoh Desa Kaliputu, Fatkah Sudarmaji (49) saat ditemui di kediamannya Desa Kaliputu Gang 01 pada Selasa (18/08). Fatkhah menceritakan, mulanya lakon Mbah Dempok Soponyono sedang bermain burung dara di tepi Sungai Kaliputu bersama cucunya. Tak disadari, cucu Mbah Dempok tiba-tiba tercebur sungai dan hanyut. Ketika Mbah Dempok berusaha menolong, Ia diganggu makhluk halus berambut api (Banaspati: red) dan untuk membangunkannya dibuatkanlah bubur gamping atau jenang. Menyangkut sejarah jenang Kudus ini, Fatkah tidak berani menyimpulkan relevansi khusus terhadap asal mula nama Desa Kaliputu. Hal ini karena tidak terdapat bukti konkret dari kejadian tersebut. “Nama Desa Kaliputu

memang diyakini masyarakat diambil dari kata kali (sungai) dan putu (cucu). Namun, cerita ini masih belum bisa dibuktikan kebenaran sejarahnya,” ungkap Fatkah. Wujud Rasa Syukur Menurut cerita turun-temurun, setelah cucu Mbah Dempok kembali hidup, Mbah Saridin, sapaan akrab Syekh Jangkung, membuat pernyataan bahwa nantinya warga Desa Kaliputu kebanyakan bermata pencaharian sebagai produsen jenang. Pernyataan itu serupa sabda. Nyatanya, sampai sekarang Desa Kaliputu menjadi salah satu desa produsen jenang Kudus. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas lancarnya usaha jenang di desa Kaliputu, tradisi Tebokan Jenang hadir di tengah masyarakat. Selain sebagai rasa wujud syukur, tradisi ini sekaligus menjadi ajang promosi jenang sebagai makanan khas Kudus yang berpusat di desa Kaliputu. Bentuknya berupa kirab Tebokan yang diadakan

masyarakat Desa Kaliputu bertepatan pada 1 Muharram. Istilah kirab budaya merujuk pada arak-arakan keliling Jalan Sosrokartono desa Kaliputu dengan membawa tebok (wadah dari anyaman bambu: red) yang diisi tumpukan jenang. Beberapa gunungan jenang juga dikreasikan menyerupai bentuk menara Kudus yang diakhir acara akan diperebutkan warga setempat. Menurut penuturan Fatkah, perayaan kirab ini mulanya hanya dari titik awal gang 1 Desa Kaliputu sampai Masjid Syuhada sebelah makam Pahlawan. Namun, pada 2010 tradisi ini mulai dilirik oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, sebab saat itu Masjid Syuhada sedang direnovasi sehingga perayaan kirab ini berakhir di balai Desa Kaliputu. “Jadi banyak perkembangan, mulai dari penambahan berbagai macam jenis kesenian dan adanya reka adegan asal usul jenang,” tutur Fatkah.

PARADIGMA // 57 Edisi 35 Desember 2020


BUDAYA

GUNUNGAN jenang yang sangat besar diarak oleh bapak-bapak menggunakan gerobak

Dari Tebok Hingga Nampan Kirab pengingat sejarah pangan dan keberagaman di Kudus itu berakhir di Pesarean Sedo Mukti. Di pemakaman itulah Bupati Kudus tempo dulu dimakamkan. Di tempat itu pula Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952) yang berjuluk sebagai Mandor Klungsu dan Joko Pring, kakak Raden Ajeng Kartini, dimakamkan. Fatkah menambahkan pula, Tebokan merupakan wadah yang pertama kali digunakan warga untuk menjual jenang. Tak mengherankan jika warga Desa Kaliputu menyebut tradisi itu sebagai kirab tebokan jenang. “Tempat jenang yang terbuat dari bambu tetap dilestarikan di saat acara Tebokan, meskipun wadah menjual jenang saat ini sudah bergeser ke nampan, atau bahkan bervariasi,” tambahnya. 58 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

“Melalui kirab itu, kami bersyukur atas jenang yang menghidupi warga Desa Kaliputu. Kami juga ingin terus melestarikan keberagaman yang diciptakan Sunan Kudus dan Sosrokartono,” beber Fatkah. Ke depan, ia berharap, tradisi Tebokan jenang bisa berkembang lebih pesat, lebih dilestarikan, semakin dikemas dengan baik, dan dapat menarik wisatawan maupun masyarakat sekitar terhadap kuliner jenang sehingga membawa berkah bagi desa Kaliputu. “Sebagai masyarakat Kaliputu juga harus bangga karena memiliki tradisi Tebokan jenang. Tradisi ini hanya ada satu di Indonesia bahkan di dunia yakni di Desa Kaliputu,” pungkasnya. Penulis buku Sosrokartono, Hadi Priyanto, menuliskan, tidak banyak

FOTO-FOTO ISTIMEWA

orang yang tahu bahwa pring atau bambu menjadi inspirasi hidup Sosrokartono. Salah satu filosofinya tentang bambu adalah susah padha susah, seneng padha seneng, eling padha eling, pring padha pring (susah sama susah, senang sama senang, ingat sama ingat, dan bambu sama bambu). Apa pun jenis, warna, bentuk, dan pemanfaatannya, bambu tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama. Sama seperti kita, manusia. Apa pun bangsa, agama, ras, warna kulit, bahasa, dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama tahu, samasama manusia.[] Haniam Maria Rizqiya *Penulis adalah Mahasiswa Prodi PGMI Semester Lima


BUDAYA

FOTO: ISTIMEWA

Wiwit Kopi: Ekspresi Syukur Panen Kopi Ala Muria

“

Siang itu, masyarakat sekitar Muria nampak sumringah membawa ambeng yakni hidangan khas Jawa berupa nasi dan lauk biasanya berisi ingkung dan kuluban. yang diletakkan di tebok (wadah terbuat dari bambu). Suara musik berhenti menandakan acara Wiwit Kopi di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus dimulai.

ACARA yang digelar di tengah-tengah kebun kopi, Kuncen, Colo, Kudus, berlangsung sederhana pada Senin (04/08/2020). Usai berdoa bersama, warga langsung menyantap ambeng yang sudah mereka siapkan. Tradisi Wiwit Kopi merupakan wujud syukur masyarakat Muria ketika memasuki waktu panen kopi. Pemangku Adat Muria, Mastur (68), menjelaskan, kata wiwit dalam bahasa Jawa diartikan memulai. Sedangkan secara istilah wiwit kopi adalah waktu dimulainya panen kopi. Memerahnya buah kopi menjadi penanda akan dimulainya panen kopi. Saat itulah acara ritual wiwit kopi diselenggarakan. Lebih tepatnya pada saat sebelum dua bulan, kopi sudah benar-benar siap untuk dipanen. PARADIGMA // 59 Edisi 35 Desember 2020


BUDAYA

60 // PARADIGMA

Edisi 34 Desember 2019

mengikuti acara wiwit kopi, pengunjung bisa menikmati flying fox, pameran kopi, edukasi kopi mulai dari penanaman hingga ke pengolahan kopi sampai jadinya kopi yang dapat diteguk sendiri,” terang Teguh. Kabar Branding dan Pasar Selain sebagai ungkapan rasa syukur petani kopi Desa Colo, acara wiwit kopi juga menjadi alternatif guna memajukan petani Kopi Colo. Ketua Panitia Kegiatan Wiwit Kopi, Muh Shokib Darno Sunarno (56), selalu berharap agar kualitas kopi yang dihasilkan semakin bagus dan bisa dibranding. Ia juga mengatakan, para pegiat komunitas kopi khususnya PMPH sedang mengatur agar Kopi Colo ini bisa menjadi wisata alam kebun kopi. Mulai dari akses sudah dibangun dan sudah disetting berupa wisata camping dan tracking. Hanya saja, Shokib mengaku kesulitan dengan izin dari Perhutani. “Kami terbentur dengan izin dari Perhutani dan baru kami perjuangkan karena menyangkut baik terhadap petani,” ungkap Shokib yang juga selaku ketua PMPH Ia juga mengatakan, hingga saat ini produk Kopi Muria masih belum menemukan pasar. Karena setiap panen dibeli tengkulak dari kabupaten lain dan dibranding oleh kabupaten tersebut. Shokib juga mengajak masyarakat dan petani Kopi Colo untuk bersama-sama mengangkat kopi muria menjadi terkenal. “Karena di Colo sudah banyak home industri. Jadi kami berharap

FOTO: ISTIMEWA

Mbah Mastur-sapaan akrabnyajuga menceritakan, asal-muasal adanya tradisi wiwit kopi di desa Colo bermula dari masuknya kopi pada saat masa kolonial Belanda, yang dibawa oleh Ratu Wihelmina. “Belum diketahui dengan pasti tentang asal muasal pencetus tradisi wiwit kopi, tetapi yang jelas tradisi tersebut wajib dilaksanakan sebagai lambang syukur kepada Sang Pencipta,” tutur Mbah Mastur. Dulu, acara wiwit kopi tidak digelar bersama-sama. Para petani kopi hanya melakukan wiwit kopi dengan keluarga mereka dan berdoa sederhana. Karena tradisi wiwit kopi ini sudah menjadi budaya turun temurun yang harus dilestarikan dan dijaga. Maka atas inisiatif Kepala Desa Colo dan Ketua PMPH (Paguyuban Masyarakat Pelindung Hutan) mengajak seluruh masyarakat desa Colo untuk melakukan tradisi wiwit kopi secara serentak. “Akhirnya di tahun 2009 wiwit kopi dilaksanakan secara berbarengan yang bertempatkan di Omah Alas Kuncen Desa Colo,” tandas salah satu pengurus PMPH, Teguh (48). Kopi telah menjadi salah satu pionir penopang perekonomian bagi warga Colo. Dengan kurang lebih seluas 155 Hektar, kebun kopi di desa colo rata-rata berjeniskan robusta dan untuk selebihnya Arabica. Sebagai pegiat Kopi Muria, Teguh pun berharap agar kopi muria ini dapat dikenal oleh masyarakat lebih luas lagi. “Pada 2015 lalu sempat dicanangkan wisata edukasi kopi. Dengan gambaran, sembari

lebih diperhatikan lagi soal penjualan dan branding Kopi Muria,” ungkap Shokib pada Senin (04/08/2020). Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus mewakili Plt. Bupati Kudus, Bergas Catursasi Penanggungan (45), mengatakan, pihaknya akan belajar secara detail tentang kondisi Kopi Muria. Menurutnya, petani memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas kopi. Mulai ditanam hingga menjadi kopi, 60 persen kualitas rasa terpengaruh pada kualitas petani yang menanam.


BUDAYA

SEJUMLAH warga dan petani duduk berkumpul untuk meramaikan perayaan wiwit kopi

“Kami menerima informasi tentang pengolahan kopi, banyak yang mau menerima kopi dari sini. Tetapi kuantiti maupun kualitinya harus stabil. Maka dari itu, petani harus berkelompok untuk menyediakan suplai kopi,” tambahnya. Biasanya lanjut Sutrisno, tradisi wiwit petik kopi dilakukan dengan berbagai agenda kegiatan, seperti kirab budaya, pertunjukan kesenian daerah hingga acara inti yakni wiwit petik kopi. Namun agenda-agenda kegiatan tersebut

tidak bisa dilakukan karena dipastikan akan menimbulkan kerumunan dan keramaian. Tidak hanya itu, biasanya setiap tradisi wiwit petik kopi juga dihadiri oleh pejabat-pejabat tingkat kabupaten, seperti Bupati dan Wakil Bupati serta pejabat pemerintahan lainnya. “Kami menyadari saat ini memang segala bentuk kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan keramaian sedang tidak diperbolehkan, upaya ini untuk mencegah penyebaran

covid-19. Dan kami mematuhi aturan tersebut,” tuturnya. Oleh karena itu, tradisi wiwit petik kopi tahun ini hanya dilakukan dengan memanjatkan doa bersama di kebun kopi dan dilanjutkan dengan pemetikan kopi awal menjelang panen raya. Namun demikian, kegiatan tidak mengurangi niat para petani untuk meminta keberkahan dari hasil kopinya. [] Fiski Ratna Elly

PARADIGMA // 61 Edisi 34 Desember 2019


SINEMA

Judul : #Alive Sutradara : Cho Il-Hyung Produser : Oh Hyo-Jin, Lee Yoo-Jin, Kim Sae-Mi Produksi : Zip Cinema dan Prespective Pictures Distributor : Lotte Cultureworks Rilis : 24 Juni 2020 (Korea Selatan), 08 September 2020 (Netflix) Durasi : 99 menit

Narasi Zombie dan Konsep Survive Saat Dilanda Wabah

A

PA yang kalian lakukan jika hidup di tengah wabah yang mengerikan? Tentunya tidak mudah untuk dapat bertahan hidup dan merasa tenang. Tak jauh berbeda dengan kondisi saat ini yang sedang dilanda wabah Covid-19. Film bergenre thriller survival ini berkisah tentang perjuangan bertahan hidup di tengah wabah zombie (mayat hidup). Film Alive diadaptasi dari film Hollywood berjudul Alone (2020) yang ditulis oleh Matt Naylor. Naskah awal untuk film Alone yang ditulis oleh Matt Naylor mengisahkan seorang pemuda yang harus bertahan hidup sendirian di apartemennya ketika wabah zombie melanda kota. Berfokus pada cara si 62 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

FOTO: ISTIMEWA

pemuda ini berusaha bertahan hidup sendirian, maka film ini diberi judul Alone. Ketika diadaptasi bersama Cho Il-Hyung, mereka merasa bahwa akan lebih baik jika ada dua karakter yang berusaha saling membantu untuk bertahan hidup. Akhirnya naskah adaptasi itu pun diberi judul Alive. Adegan awal dalam film Alive dimulai saat seorang gamer yang bernama Oh Jun-Woo (Yoo Ah-In) menghabiskan harinya untuk bermain game di dalam apartemennya. Saat sedang bermain game, teman-teman sesama gamers meributkan tayangan di TV dan membuat Jun-Woo penasaran. Ia bangun dari tempat duduk dan bergegas menyalakan TV. Pada saat itulah Jun-Woo sadar bahwa seisi kota, termasuk wilayah

apartemennya kacau balau akibat virus yang mengubah manusia menjadi zombie. Dari balkon apartemennya, JunWoo melihat kekacauan yang tidak terkendali dan menyaksikan langsung orang-orang telah menjadi zombie yang saling memakan satu sama lain. Beberapa tetangganya juga dimakan oleh makhluk mengerikan tersebut. Jun-Woo yang sendirian merasa takut dan panik. Tiba-tiba datang seorang lelaki yang tinggal di rumah sebelah masuk ke dalam apartemennya. Jun-Woo memaksanya keluar tetapi ia meminta bantuan kepada JunWoo untuk bersembunyi di dalam rumahnya. Jun-Woo bersikeras untuk mengusir lelaki tersebut. Saat lelaki itu meminta waktu dan pergi ke toilet tiba-tiba lelaki tersebut berubah menjadi zombie.


SINEMA Adegan menegangkan terjadi saat Jun-Woo berusaha mengeluarkan zombie tersebut dari rumahnya. Berhari-hari Jun-Woo harus betahan hidup dengan cara mengisolasi diri di unit apartemennya. Persediaan makanan yang terbatas membuat Jun-Woo harus pintar-pintar membaginya agar dapat bertahan hidup selama beberapa hari. Sesekali ia membuat video tentang kondisinya yang masih bertahan walaupun ia tidak tahu bagaimana cara untuk bertahan hidup. Lima belas hari berlalu, bantuan pun masih belum terlihat. Karena situasi yang semakin parah, akses internet atau seluler terputus. JunWoo mencoba mencari sinyal di balkon apartemennya dengan menggunakan drone dan juga tongkat selfie. Saat sinyal sedikit demi sedikit terhubung, ia mendengar pesan suara dari orang tua dan kakak perempuannya, namun mereka tidak dapat diselamatkan dari serangan para zombie. Persediaan makanan Jun-Woo mulai menipis dan ia mulai putus asa dengan keadaannya. JunWoo berusaha mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Namun, ia mengurungkan niatnya tersebut saat menemukan ada tanda kehidupan dari seberang unit apartemen. Seseorang yang selamat itu adalah perempuan bernama Kim Yoo-Bin (Park Shin Hye). Tetap Berbagi Sejak saat itu, Jun-Woo dan YooBin saling membantu satu sama lain. Jun-Woo dengan karakternya yang ceroboh namun penggemar teknologi bertolak belakang dengan karakter Yoo-Bin yang kalem dan kuat. Meski begitu, kedua karakter

ini saling melengkapi. Dalam film tersebut ada adegan dimana YooBin menyiram tanaman dengan air minum terbatas yang ia miliki. Meskipun dalam kondisi seperti itu, Yoo-Bin tidak bersikap egois dan tetap memikirkan mahluk hidup yang lain. Jun-Woo dan Yoo-Bin saling membagi makanan satu sama lain lewat tali yang dihubungkan melalui drone kemudian dikaitan di depan balkon masing-masing. Selain membagi makanan, JunWoo dan Yoo-Bin mencari cara untuk bisa keluar dari kepungan zombie yang ada di sekitar mereka. Dengan menggunakan teropongnya, Yoo-Bin menyadari bahwa lantai delapan apartemen terlihat aman. Banyak adegan menegangkan dimana zombie tersebut berusahan menyerang mereka. Mulai dari zombie yang berusaha naik ke apartemen Yoo-Bin dengan tali, saat Jun-Woo berusaha keluar apartemen untuk mencari alat pelindung diri dan bahan makanan di rumah tetangga apartemennya, hingga aksi nekat kedua orang tersebut saat berusaha untuk keluar dari apartemen masing-masing menuju ke lantai delapan apartemen. Sesampainya mereka di lantai delapan, ternyata para zombie mengikuti mereka dan akhirnya mereka terjebak. Namun ternyata masih ada seorang lelaki yang selamat selain mereka berdua. Lelaki tersebut bersikap sangat baik kepada YooBin dan Jun-Woo. Namun ternyata mereka hanya dijadikan mangsa untuk istri lelaki tersebut yang berubah menjadi zombie. Keadaan berbalik, sang istri malah memakan lelaki tersebut yang membuat JunWoo dan Yoo-Bin selamat.

Tak berselang lama, mereka mendengar suara helikopter untuk mengevakuasi warga yang masih selamat. Mereka bergegas untuk menuju lantai atas agar mudah terlihat dan mereka bisa segera diselamatkan. Mereka berjuang untuk melawan zombie yang menghadang untuk sampai di lantai atas. Sesampainya di lantai atas mereka tidak melihat keberadaan helikopter malah zombie yang mengikuti mereka semakin dekat. Dalam situasi tersebut, akhirnya helikopter datang untuk mengevakuasi mereka. Yoo-Bin dan Jun-Woo akhirnya berhasil selamat. Sesuai dengan konsep film Alive, yaitu bertahan hidup menjadikan film Alive memang sedikit adegan melawan zombie. Berbeda dengan film zombie dari korea selatan lainnya, yaitu Train to Busan (2016) yang memperlihatkan aksi pembantaian terhadap zombie. Sepanjang lebih banyak adegan yang memperlihatkan cara dari Joon-Woo dan Yoo-Bin bertahan hidup untuk mencari makan dan mencari bantuan dengan berbagai cara. Selain itu, dalam film ini juga menampilkan visual zombie yang sangat mengerikan mulai dari mata yang mengeluarkan darah hingga memiliki kemampuan berlari. Penggambaran adegan transformasi dari manusia menjadi zombie pun dibuat menegangkan. Jika kalian suka film zombie yang lebih berfokus pada proses survival alias bertahan hidup, Alive akan menjadi salah satu film yang bisa kalian nikmati. [] Kustina Candra Ningrum *Penulis adalah redaktur pelaksana di LPM Paradigma

PARADIGMA // 63 Edisi 35 Desember 2020


INFO BUKU

T

Fantasi Negeri Cornucopia:

HE Ickabog berisi tentang dongeng anak-anak yang mengisahkan kekuatan dari harapan, kejujuran, dan penyalahgunaan kekuatan. Buku ini sebelumnya telah diupload secara gratis di website resmi www.theickabog.com guna memberikan suasana baru bagi anak-anak ditengah masa pandemi. The Ickabog sendiri akan di terbitkan dalam bentuk buku, buku elektronik, dan buku audio berbahasa inggris pada 10 November dengan menyertakan ilustrasi dari tiga puluh empat pembaca anak-anak. Sementara seri bahasa lainnya akan diterbitkan setelahnya. Tak asing dengan serial Harry Potter? Buku ini merupakan karya dari penulis serial Harry Potter, J.K. Rowling. Setelah sekian lama, Rowling kembali dengan genre dongeng yang siap menemani anak-anak sebelum tidur di masa pandemi. Meski cerita dari dongeng ini agak berat, pengemasan yang dilakukan Rowling dalam cerita ini cukup menyenangkan dan bisa dinikmati segala usia. Tak jauh dari genre cerita Harry Potter, The Ickabog bercerita tentang negeri Cornucopia yang dipimpin seorang raja, dan monster untuk menakuti anak-anak sehingga seorang anak di negeri tersebut penasaran dengan mitos monster itu dan mencoba mencari tahu. Dengan

Perempuan Hutan

B

UKU ini adalah antologi sastra dari 21 mahasiswa se-Indonesia yang mengusung tema “Perempuan�. Antologi ini merupakan hasil dari sayembara cerpen dan puisi yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Paradigma IAIN Kudus dalam serangkaian acara Haflah Ilmiah Jilid 4 pada 21-24 Oktober 2019. 64 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

demikian, buku ini akan cocok menemani hari anak-anak dengan dongeng yang hangat, lucu, dan juga petualangan yang mendebarkan.

Judul: The Ickabog Tahun Terbit: November 2020 Penulis: Joanne Kathleen Rowling Jumlah Halaman: 288 Penerbit: Scholastic Genre: Fantasi

Perempuan Hutan sendiri diambil dari judul cerpen pemenang sayembara tersebut. Cerpen karya Achmad Ridwan Palili mengangkat tentang peristiwa pengasingan oleh seorang wanita oleh orang tuanya di tengah hutan. Penggunaan bahasa daerah Makasar yang dituangkan dalam cerita tersebut mempunyai warna berbeda ketimbang cerpen-cerpen lain yang dikirimkan oleh peserta. Buku ini dapat dibeli dengan harga Rp. 50.000 di Sekretariat LPM Paradigma IAIN Kudus, atau menghubungi M. Nur Ulyanuddin dan akan langsung


INFO BUKU

Purbakala dalam Sastra

J

IKA kebanyakan orang jenuh dengan pelajaran sejarah, Muhammad Noor Ahsin justru memberikan solusi guna menarik masyarakat Kudus khususnya untuk kembali menilik situs Purbakala Pati Ayam. Ia mengemas buku fiksi yang latar belakang permasalahan situs purbakala dengan menarik dan tidak menjenuhkan. Dalam buku ini, permasalahan situs purbakala Pati Ayam yang menyimpan banyak nilai historis akan turut diceritakan dalam cerita. Kisah perjuangan pahit seorang gadis yang harus menerima kenyataan demi mewujudkan cita-cita, meski banyak aral merintang ditemuinya.

Judul: Gadis Muria di Sangkar Purba Tahun Terbit: Oktober 2020 Penulis: Muhammad Noor Ahsin Genre: Fiksi Jumlah Halaman: 160+viii Penerbit: Parist Zakiyatus Sariroh *Penulis adalah Redaktur Pelaksana di LPM Paradigma yang menyukai film Spongebob Squarpants

dikirim ke alamat rumah pemesan. Temukan ceritacerira menarik lainnya dan jangan lewatkan puisi-puisi yang ditujukan kepada kaum hawa. Judul: Perempuan Hutan Tahun Terbit: Oktober 2019 Tebal: x + 112 Hal Dimensi: 12 x 18 cm Penerbit: Parist Penulis: Achmad Ridwan Palili Dkk Editor: Al Mahfud

PARADIGMA // 65 Edisi 35 Desember 2020


RESENSI

Belajar Penanganan Covid dari Desa

Judul:

Corona, Desa, dan Negara: Bagaimana Desa Menyelamatkan Indonesia di Era Pandemi Covid-19

Penulis:

Puthut EA

Penerbit:

Buku Mojok

Tahun terbit: FOTO: AZKAL/PARAGRAPHFOTO

2020

Tebal buku:

vi + 31 halaman

“DI era ketika Indonesia memasuki babak pembangunan, anak-anak desa bersekolah dengan hasil perekonomian desa. Ketika mereka sudah terdidik, sebagian besar dari mereka bekerja di kota. Energi mereka terperas di sana. Ketika mereka menikah, bahkan saat akan membeli rumah, kadang menjual aset orang tua mereka di desa. Pada saat seperti inilah, terjadi proses konsentrasi kepemilikan lahan di desa oleh segelintir orang dan kelompok tertentu. Saat mereka kena 66 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

masalah ekonomi, kembali mereka membebani desa. Jika keadaan pulih, mereka kembali ke kota. Saat mereka menua, pensiun, renta sebagian dari mereka kembali ke desa dalam situasi yang sudah tidak produktif lagi dan kembali menjadi beban desa.� (Puthut Ea, Corona, Desa dan Negara, halaman 4) Penggalan illustrasi yang digambarkan Puthut Ea dalam bukunya berjudul Corona, Desa dan Negara melihat jelas kondisi betapa timpang dan tidak adilnya

pemberlakuan antara desa dan kota. Membaca buku ini, menghadirkan pengakuan terhadap posisi desa yang dianaktirikan oleh negara yang justru desa adalah aset negara yang menjadi solusi di masa pandemi saat ini. Bahwa desa cukup ikut andil dalam pemecahan krisis ekonomi di negeri ini, menjaga kestabilan sumber daya alamnya, bahkan pusat basis pertahanan melawan kolonial pada masa penjajahan dahulu Pada faktanya, mindset mengenai kota-sentris justru mendarah


RESENSI

daging. Pandangan kehidupan kota yang serba sistematis, serba praktis, serba canggih, dan sebagainya hanyalah seperti pandangan anak kecil ketika melihat permen yang ia tak tahu jika permen itu membuat giginya ompong. Dasarnya, kehidupan kota tersebut berawal dari sumber daya manusia desa yang dididik, disukseskan, dan kemudian berpindah ke kota dengan alasan merubah nasib. Namun orang-orang tersebut justru tidak menyadari ada tambang emas yang bisa digali di desanya sendiri. Sumber daya alamnya masih terjaga, semua masih tersedia, hanya saja mereka perlu rantai pendidikan, rantai kesuksesan yang dapat ia berikan kepada anak atau pemuda desa yang lain, sehingga mereka membentuk kelompok terpelajar yang siap membangun desanya sendiri. Dari sini saya terlintas sebuah pesan dari salah seorang tokoh di Kudus, K.H. Em Nadjib Hasan, beliau sering sekali berkata “ojo lali weton.” yang berarti ‘jangan lupa dari mana engkau disukseskan’, atau juga bisa diartikan ‘jangan lupakan asalmu’. Sudah seharusnya orangorang yang disukseskan oleh desa tersebut kembali ke desanya dan membangkitkan desanya masingmasing.

Solusinya Ada di Desa Buku ini dilahirkan dari keadaan dunia yang sedang berperang dengan sebuah virus mematikan, yang bahkan seluruh dunia kesulitan mencari vaksinnya, di mana para kalangan dibuat kebingungan bagaimana cara menyelamatkan negaranya. Begitu peran desa saat ini dalam mengatasi persebaran corona yang melanda seluruh dunia. Dalam bagian sub bab pembahasan “Berdaya, Mandiri, dan Lestari” kita akan dibuat terpukau oleh gambaran pencapaian desa di Indonesia dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan sumber daya alam yang terjaga. Benarlah jika ‘berdaya, mandiri, dan lestari’ ini perlu didoktrinkan ke orang-orang kota, dalam menghadapi segala bentuk krisis tiap negara sangat memerlukan keberdayaan baik dari segi ekonomi hingga keamanan, tetapi berdaya saja tidak cukup untuk selamat dari krisis, harus diimbangi dengan kemandirian dan kelestarian sumber daya alam sehingga bisa memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa membolehkan segala cara yang merusak lingkungan demi menguatkan perekonomian. Urgensi penyeimbangan desa sebagai solusi perekonomian negara

hanya dikaji oleh Puthut Ea berupa tulisan 32 halaman saja. Harapanya akan ada tulisan lanjutan yang senada dengan buku ini. Meskipun begitu, buku ini cukup mewakilkan suara warga desa yang acapkali tidak dilirik negara. Di masa pandemi ini, desa sudah menjawab terlebih dahulu tentang bagaimana cara menyelamatkan Indonesia, penulis membuktikan dengan cara pandang kota-sentris, yang memandang gunung sebagai gundukan tanah yang seenaknya dapat dikeruk dan diuangkan, tapi bagi orang-orang desa itu sangat berharga, darinya mereka bisa berdaya, di sana mereka merasakan kelestarian alam yang disuguhkan Tuhan, di sana mereka menjadi mandiri, dan masih banyak lagi kebahagiaan yang dirasakan orangorang desa di sana (hal 21). Pada akhir halaman, Puthut Ea merujuk kutipan Eric Weiner yakni ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.” (hal 31). [] Azkal Muna *Diresensi Oleh Azkal Muna, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab Semester Lima

PARADIGMA // 67 Edisi 35 Desember 2020


RESENSI

Quo Vadis Sastra Milenial ZAMAN milenial tidak sulit menjadi penyair, bahkan hanya dengan menulis satu puisi cinta di sosial media, terlebih menjadikannya musikalisasi puisi, maka sudah bisa dianggap sebagai penyair oleh kalangan remaja pada khususnya. Terlepas dari kualitas karya yang dihasilkan. Dengan cara mengetik kata “Puisi” di kolom search Instagram, kita akan disuguhi puluhan akun Instagram yang mengunggah postingan berupa puisi, dan bahkan dua dari sekian akun teratas (@kumpulan-puisi dan @puisidisenja), yang mempunyai tiga ratus ribu pengikut tersebut, 99% dipenuhi dengan tema cinta dalam makna yang dangkal. Ada banyak postingan yang tidak mengikuti aturan ejaan, seperti tidak menggunakan huruf kapital di awal kalimat. Lalu masih ada kesalahan pengetikan yang tidak dikoreksi lagi. Padahal jumlah like di postingan tersebut rata-rata mencapai 2000 hingga 4000 like. Sungguh sangat disayangkan, dan jelas mampu memengaruhi pola pikir remaja bahwa puisi hanyalah teks-teks tak berdaya yang mengelabui 68 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

pembaca tentang realitas cinta yang sesungguhnya. Selanjutnya, kita coba bandingkan untuk mengetik kata kunci “Puisi lama”, lalu “sastra klasik”, yang mengarah ke sastra generasi lama. Ternyata sangat jarang, dan kalau pun ada, tentu jumlah pengikutnya tidak sebanding dengan akun-akun populer yang sudah disebutkan di atas. Padahal dari segi kualitas, jelas sastra klasik menduduki posisi pertama, bahkan jarak di antara keduanya terbentang jauh. Puisi lama tidak sesimple dan semudah itu bisa dipahami khalayak, tetapi mempunyai daya puitis yang tinggi, sehingga membutuhkan perenungan mendalam. Tidak bisa dipahami dengan sekali baca. Itu sebabnya bisa ternilai begitu berharga dan istimewa. Berbeda dengan karya milenial, yang cenderung mudah dipahami, bahkan dengan memicingkan mata. Sangat tidak berkelas, bagaikan seorang raja yang kehilangan mahkotanya. Tiga Mitos Sastra Seno Gumira Ajidarma memaparkan tiga mitos sastra yang menjadi penghubung antara

Judul : Kaki Kata Penulis : Nirwan Dewanto Penyunting : Alpha Hambally dan Heru Joni Putra Penerbit : Teroka Press Cetakan pertama, Juli 2020 Tebal : xiv+254 halaman, 13.5x20.5cm

metafora “Raja yang kehilangan mahkotanya”, pertama sastra itu curhat, kedua bahasa sastrawan itu mendayu-dayu, rumit dan asing di telinga, lalu yang ketiga sastra berisi pedoman hidup, petuah-petuah dan nasihat-nasihat. Mitos terakhir sangat relevan dengan apa yang pernah Joko Pinurbo beberkan saat menjadi narasumber di webinar yang diselenggarakan oleh Arcana Foundation, bahwa sastra bukan ruang untuk eksis sebagai “penunjuk” hidup orang lain. Jika puisi terbaca sebagai kalimat sok bijak, maka jati dirinya bisa dikatakan direnggut secara paksa. Tetapi kenyataannya, banyak yang menjadikan puisi senagai “penunjuk”


RESENSI

FOTO: SINTA/PARAGRAPHFOTO

hidup sesama manusia. Pertanyaannya, mengapa aliran sastra milenial sangat jauh berbeda dari era sebelumnya? Pertama, mari kita coba analisis sekilas karakteristik aliran sastra dari masa ke masa. Mulai dari masa Pujangga Lama hingga Pujangga Baru, karakteristik sastra lebih banyak berisi nasihat dan petuah, sebab pada masa itu, akses pengetahuan terbatas pada tradisi dan budaya. Selain itu, distribusi media sastra juga sangat terbatas, sehingga kebanyakan masih berupa budaya tutur. Di era ini, ada juga beberapa karya sastra yang berisi kritik budaya, terutama budaya patriarki yang didominasi pria atas wanita, maka lahirlah hikayat Siti

Nurbaya, Hikayat Siti Mariyah dan lain sebagainya. Penyair Era 45 Berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh penyair angkatan 45 hingga angkatan reformasi. Sastra menjadi bentuk lain dari perlawanan atas penindasan. Dalam buku Kaki Kata, Nirwan Dewanto, menjelaskan, distribusi sastra yang lebih merata, serta kesadaran atas pengetahuan yang mulai tumbuh, mengubah arah aliran sastra Indonesia. Ditambah lagi, kondisi sosial masyarakat Indonesia dalam keadaan tertindih (oleh penjajah, Orde Lama, dan Orde Baru), maka semakin berkobar perlawanan melalui

media sastra termasuk puisi, di antaranya yaitu penyair W.S Rendra, Chairil Anwar, Wiji Thukul, dan sastrawan seangkatan, sangat sarat dengan kritik terhadap penguasa. Contohnya yaitu puisi karya Chairil Anwar berjudul “Peringatan”, sangat gamblang mengkritik pemerintah di zaman tersebut. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan! Puisi Chairil Anwar tersebut memang sangat berani sebagai kritik terhadap pemerintahan. Chairil jelas mengakhiri puisinya dengan kata “lawan”, sebagai ancang-ancang untuk segera berlari menuju musuh atau penguasa yang lalai dengan mengangkat senjata. Tidak berhenti sampai di situ, Chairil Anwar, sebelum dinobatkan sebagai penyair sungguhan, ia pernah mengalami penolakan ketika mengirimkan puisinya di majalah Pandji Pustaka karena dianggap sangat individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran bersama Asia Timur Raya. Tidak hanya itu, karyanya juga pernah beredar hanya di atas kertas murah dan tidak diterbitkan pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia sampai tahun 1945. Sungguh miris, padahal ia termasuk penyair legendaris tetapi masa kepenyairannya tidak berjalan dengan mulus. Menjadi sastrawan memang berat, berbeda dengan menjadi “Sastrawan Dagangan” di PARADIGMA // 69 Edisi 35 Desember 2020


era cybersastra. Mereka hidup di zaman yang sudah jauh lebih sejahtera secara ekonomi, akses teknologi, dan stabilitas politik. Terlebih gelar “sastrawan� yang bahkan bisa dibeli di website khusus agar orang tersebut memperoleh gelar sastrawan secara mendadak dan instan. Ada sekitar tiga web yang menyediakan layanan tersebut meskipun baru tersedia dalam bahasa Inggris, yaitu Poem Generator, 3 Lines 3 People, dan Pexels.com. Tiga website tersebut sangat mengagumkan, karena bisa menempuh jalan sebagai penyair secara instan. Maka pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah bagaimana jika kita kehilangan para penyair yang bermutu, entah karena kematian atau karena terlupakan, lalu kita memutuskan untuk beralih ke penyair instan. Apakah akan menimbulkan permasalahan sastra yang serius di masa yang akan datang? Kematian Penyair Nirwan Dewanto di esai berjudul Geografi halaman 71, mengulik pertanyaan-pertanyaan yang timbul jika sang penyair mati? Apakah karyanya akan tetap hidup? Kaki para sastrawan yang telah melalui perjalanan panjang memang bisa lumpuh, tidak akan bisa bergerak kembali ketika mereka sudah mati. Tetapi jangan lupakan satu hal bahwa kata-kata dari setiap karyanya memiliki kaki-kaki yang terus berjalan menelusuri kilas balik perjuangan. Menghampiri setiap kepala, meracuni setiap 70 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

FOTO: SINTA/PARAGRAPHFOTO

RESENSI

mulut, dan menggerakkan ribuan tangan untuk selalu mengabadikan karya itu. Begitulah, di tangan seorang sastrawan sejati yang telah menempuh perjuangan panjang, setiap kata memiliki kaki. Sastrawan era lama bagaikan air di aliran sungai, mengalir dari hulu ke hilir. Menghantam batu, terkotori kotoran manusia, memutih dan berbusa karena sabun, bahkan mematikan jiwa mahluk hidup. Tapi aliran sungai akun selalu bermuara ke samudera luas. Begitu pula dengan sastrawan era lama, mencapai samudera pengetahuan tak terbatas setelah melalui beragam rintangan. Sementara sastrawan era milenial, bagaikan telaga. Airnya turun dari langit. Statis, terjebak dalam

satu kubangan. Situasinya sangat damai, tidak ada gejolak, sehingga kreativitas menjadi tidak mengalir. Mereka hanya bergerak di dua arah. Bergerak ke atas, menguap menjadi awan. Kemudian turun kembali ke telaga menjadi hujan. Sebagian memilih untuk tidak kembali ke telaga, sebagian memilih untuk turun di tanah. Hilang, terserap ke dalam tanah, menyerah bersama karya-karyanya.[] Nila Sinta Fitriyani Penulis adalah kolektor buku yang sedang menempuh studi di Tadris Bahasa Arab IAIN Kudus


CERPEN

Setengah Hari Kurang Sedikit Hidup dan takdir Tuhan adalah sebuah partikel yang tidak dapat dipisahkan. Bisa jadi kita adalah sebuah unsur zat yang memiliki senyawa, beberapa senyawa yang bertemu hanya mempunyai dua pilihan, akan bereaksi menghasilkan senyawa baru atau tidak bereaksi dan akhirnya hanya saling diam, mungkin orang akan menganggapnya sebuah serendipity.

A

KU ingin menulis sebuah narasi, tentang petrichor dan kopi yang dinikmati seorang gadis hari ini. Ada yang sedang ia kalahkan dalam diri, tentang ego, ingin, dan harapan yang telah terkebiri. Gadis itu menikmati melodi alam yang begitu perih jatuh ke bumi, diam mungkin jadi kata paling puisi untuk laratnya rasa yang

tak kunjung temui solusi. Ada yang meninggalkan dunianya secara tibatiba, ia membawa separuh jiwa yang dibesarkan dengan ketulusan. Di sudut jendela coffe shop ini tempat paling favorit untuk merenungkan yang terjadi, ah! Sial, kenapa aku mendadak jadi peramal untuk gadis ini. Tidak ada yang dilakukan oleh gadis ini, ia melihat meja-meja yang dipenuhi pengunjung dengan orang

tersayang, mereka tampak bahagia dengan tawa dan canda yang terlepas dari bibirnya. Sesekali tatapan gadis itu juga mengarah ke tempat barista meracik kopi. Gadis pecandu sepi, kopi dan senja ini tidak pernah absen untuk melakukan ibadah ngopi di coffe shop ini. Lihat saja, begitu nikmatnya ia mencium aroma kopi yang telah ditunggu beberapa menit lalu, maklum saja, coffe shop hari ini begitu ramai. Entah sejak kapan PARADIGMA // 71 Edisi 35 Desember 2020


CERPEN gadis ini jadi pencandu kopi, yang pasti kopi adalah teman terbaik dalam segala perayaan suasana hati. Beberapa buku yang ia bawa telah tertumpuk rapi di sisi kanan, halaman-halaman yang belum juga diselesaikan terus saja merayu untuk segera dihabiskan. Namun apa daya, hanya kosong yang menjadi penghuni pikiran gadis itu saat ini. Bahkan kopi yang sedari tadi ditunggu tidak lagi membuatnya berselera untuk menikmati kentalnya pahit yang tersisa di tenggorokan. Tampaknya gadis ini sedang patah hati, begitu dalam. Entah sudah berapa jam ia duduk di meja ini, menyesap sunyi di antara ramai yang riuh memenuhi,. Mungkinkah Tuhan akan serta merta menghadirkan apa yang dipikirkan di sini untuk terakhir kali? Sebuah ketidakmungkinan yang selalu disemogakan, bagiku ini adalah kebodohan. Gadis melankolis itu menenggelamkan kepalanya di atas tumpukan buku, sesekali menegakkan kepala dan mencari di mana kopinya, seteguk dua teguk mampu meredakan sejenak kalutnya. Kopi itu hampir dingin, tidak ada lagi hangat yang tawarkan waitress tadi. Sesekali mata sipit itu menyapu ke setiap sudut ruangan, melihat orang-orang yang datang dan keluar, sisanya menenggelamkan dan mengangkat kepala berkali-kali. Di sudut matanya yang air, kaca itu telah pecah berkeping-keping, aku melihat sebuah bayangan retak bersama ingin. Anak-anak mimpi enggan untuk bermain, meski 72 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

sekadar melayarkan perahu kertas bertinta khawatir. Kini gadis itu merasa kerdil di hadapan Tuhan, pada parit-parit yang terbentuk di sisi kanan dan kiri telah mengalir doa yang terkandung di rahim puisi. Ia sedang berdialog dengan Tuhan— tentang apa dan bagaimana, tentang iya atau tidak. Aku tidak tega melihat wajah gadis ini lebih lama lagi, ada yang tertahan di matanya. Mungkin memang benar kata orang, kalau kita tidak akan tahu seberapa dalam lautan tanpa menyelaminya lebih dulu, jangan hanya memandang sebatas permukaan, terkadang air yang diam itu menyimpan arus yang sangat deras di dalamnya. Dan aku melihat gadis melankolis ini sedang memperlihatkan seberapa dalam lautan yang ia punya. Aku mendengar setiap kata yang diucapkan hatinya. Bukan sebuah hal yang ringan, ini seperti masalah yang amat rumit. Untung coffe shopnya lagi ramai, jadi tidak ada yang memerhatikan gadis ini, semesta memang baik. Air mata mulai diseka, meski hatinya belum merasa lega. Kopinya mulai direguk lagi, sudah dingin memang, karena sudah beberapa jam berinteraksi dengan udara. Untung pemilik coffe shop baik hati tidak mengusir gadis ini, bayangkan saja, ia duduk di meja itu sudah beberapa jam dan hanya memesan secangkir kopi yang belum juga habis. Kalau aku jadi pemiliknya mungkin aku sudah mengusirnya dari tadi. Tangannya mulai mengambil salah satu tumpukan buku itu,

ternyata ia memilih novel, sudah kuduga memang, mana mungkin gadis ini memilih buku yang isinya membuat kepalanya semakin meronta-meronta. Gadis melankolis itu sepertinya memang kebanyakan mikir hingga menumpuk dan ia sendiri yang ribet, terlalu peduli tanpa pernah dipedulikan. Aku tidak habis pikir dengan gadis ini, kenapa ia hanya membolak-balik halamnnya saja, dan lihat saja tatapannya, entah ke arah mana, atau bahkan sudah berjalan-jalan ke kota seberang. Parah memang, gadis ini harus segera mendapat pertolongan. Halaman buku yang tadi dibaca sudah tidak lagi dibolakbalik, sekarang ia menenggelamkan kepalanya di atas buku yang tadi hanya dibukanya tanpa dibaca, padahal buku tadi sudah senang karena akan dibaca, ternyata senasib dengan kopi yang sekarang mulai dingin. Gadis itu seperti sedang mengawang-ngawang, kalau boleh aku membaca raut wajahnya, nampaknya aku tahu yang ada di pikirannya. Hanya satu yang sedang ia cari, yaitu solusi. Masalah yang menyangkut keluarga memang berat, apalagi ditambah masalah skripsi dan masalah kecil lainnya. Aih, aku tidak tega melihat raut wajahnya, begitu kalut. Sebentar, ada yang memerhatikan gadis ini dari meja sebelah. Dari tatap matanya, seperti menyimpan simpati pada gadis melankois ini. Lihat saja, apakah orang ini mempunyai cukup nyali untuk mendekati gadis yang ada di


CERPEN depanku ini. Gadis melankolis itu masih menenggelamkan kepalanya, pandangannya masih kosong mengarah ke seberang jalan. Bisa jadi ia kehilangan kesadaran kalau di depannya telah duduk seseorang yang bersiap menjadi tempat kisahnya berbagi. Firasatku memang benar, tidak selang lama orang itu sudah duduk di depan gadis melankolis itu. Ia seorang pria berkacamata, dari raut wajahnya aku pikir ia orang baikbaik, tidak ada tanda-tanda orang ini berniat iseng, bahkan ia seperti iba melihat gadis yang sedari tadi sendiri dan kalut sekali. Hampir tiga menit pria itu duduk dan diam di kursi itu, memerhatikan dengan saksama tingkah gadis yang sekarang ada di depannya. Sepertinya ingin menyapa, tapi Ia sungkan, Ia memilih menunggu gadis itu mengangkat kepalanya. Kaget, gadis itu langsung salah tingkah ketika mendongakkan kepala. Mungkin dalam batinnya bertanya, siapa pria berkacamata yang ada di hadapannya ini. Sebab ia merasa tidak mengenalinya, tapi kenapa berani-beraninya duduk di kursi yang mejanya sama dengannya tanpa izin terlebih dahulu. Pria itu hanya tersenyum melihat reaksi gadis itu yang tampak kaget. Mereka saling bersitatap beberapa saat, sebelum pria berkacamata itu memperkenalkan diri. Sekarang mereka saling berjabat tangan, saling memperkenalkan nama dengan canggung. Terutama gadis melankolis itu, sikapnya

tampak sekali kaku. Sepertinya luka yang ia alami begitu dalam, hatinya enggan untuk terbuka, curuk-curuk luka yang masih menganga masih terlalu sakit untuk sebuah penerimaan. Aku tidak tahu bagiamana gadiss ini sebelumnya, tapi semenjak beberapa jam ia duduk di kursi paling sudut coffe shop ini aku mafhum, gadis ini sedang berusaha menyembuhkan hati, ia terjatuh keras sekali. Mungkin pria ini bisa membantunya. Pria itu terlihat bingung harus memulai percakapan dari mana setelah memperkenalkan diri, Dengan gugup pria itu membuka obrolan dengan gadis melankolis yang sedari tadi diam, kopinya pun hampir habis. Sepertinya ia tidak berniat memesannya kembali. Mata mereka beradu pandang, satu dua pertanyaan ditanggapai gadis itu dengan baik, tampaknya ia hanya membutuhkan seorang teman untuk berbicara, aku melihat raut wajanya yang tadi air kini bisa menjadi baik-baik saja seperti yang lain. Obrolan yang semakin nyambung dan menyenangkan memebuat tawa lepas dari bibir gadis itu. Semesta memang baik, ia menghadirkan orang yang gadis ini butuhkan. Aku memerhatikan mereka dengan seksama, ada aroma bahagia yang mulai tercium. Aku senang melihat gadis melankolis itu akhirnya bisa tersenyum. Caffe shop semakin ramai oleh pengunjung, maklum ini memasuki jam istirahat. Gadis melankolis dan pria berkacamata itu juga semakin asyik menikmati

obrolan mereka. Tidak ada lagi canggung yang tadi hadir. Sekarang mereka sedang berkongsi cerita tentang buku favorit masing-masing. Kebetulan sekali pria berkacamata itu juga memiliki ketertarikan yang sama dengan dunia gadis melankolis itu. Aku bukan peramal, tapi aku tahu jika gadis melankolis itu sedang mencari teman yang sefrekuensi denga dirinya. Yang aku lihat, gadis itu susah untuk ditebak dan dipahami. Pria ini mungkin cocok untuknya. Andai aku bisa memotret kebersamaan mereka siang ini. Mungkin sebelum mereka berpisah nanti aka nada kenangan yang tidak terlupa di coffe shop ini. Tadi aku sempat mendnegar gadis itu bertanya kepada semesta, apakah masih ada bahagia untuknya? Mungkin hidup ini memang tidak melulu tentang siapa, tapi bukankah seseorang juga berhak bahagia dengan orang yang menyayanginya, tentu saja itu di luar keluarga. Bukankah suatu saat nanti Tuhan juga akan menghadirkan seseorang yang akan membuat kita menjadi orang yang sangat istimewa? Usianya saat ini mungkin menginginkan hal sama dengan perempuan seusianya pada umumnya. Masalah yang ia tanggung sudah cukup rumit, seseorang yang hadir mungkin dapat menjadi penetral rumit yang menyelimuti pikirannya. Mereka berdua sejenak diam, dan saling bersitatap dengan senyum terkulum di bibir mereka. Lalu sesaat kemudian saling tertawa. Entah apa PARADIGMA // 73 Edisi 35 Desember 2020


CERPEN yang mereka obrolkan, aku tidak berani menguping percakapan mereka. Meskipun aku sekarang sangat dekat dan ada di antara mereka, tapi aku memilih menutup telinga, bukankah tidak baik menguping pembicaraan seseorang? Aku biarkan saja tangan takdir yang akan menyembuhkan hati gadis ini. Tidak terasa sudah setengah hari kurang sedikit. Sudah banyak jam yang gadis ini habiskan hanya dengan duduk di coffe shop ini. Pria berkacamata yang ada di depan gadis ini juga sepertinya sudah ingin berpamit, karena dari tadi ia sudah melihati ponselnya. Pria berkacamata itu taampak berat ingin berpamit pergi, mungkin obrolan mereka ada yang belum usai, tapi apalah daya, waktu sudah memberi kode untuk segera pergi. Gadis melankolis itu hanya tersenyum melihat pria berkacamata melihati ponselnya, ia mafhum kalau pria ini akan segera pergi. Bukankah pertemuan dan perpisahan tidak dapat dipisahkan? Mereka seiring sejalan dengan jalan cerita Tuhan. Jika hari ini kalian dipertemukan, mungkin di lain hari Tuhan mempunyai rencana lagi untuk kisah kalian. Tidak selang lama, pria berkacamata itu berpamit ingin pergi, sungguh kata pergi itu sangat menyakitkan untuk didengar. Aku melihat pria itu sedikit bimbang untuk meninggalkan gadis melankolis itu sendirian lagi. Kupikir mereka akan bertukar nomor whatsaap agar bisa saling bertukar kabar, tetapi tampaknya 74 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

tidak demikian. Tidak ada tandatanda pria itu akan meminta nomor whatsaap pada gadis itu. Tapi tunggu dulu, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Pria itu mengeluarkan sebuah kertas ternyata. Dengan senyum termanis, pria itu memberikan selembar kertas kepada gadis melankolis yang masih duduk di tempatnya dan belum beranjak sama sekali. Gadis itu mengernyit, mungkin ia bertanya apa isi kertas itu. Sebab pria berkacamata itu berpesan dengan lirih di telinganya jika kertas itu tidak boleh dibuka sebelum Ia keluar dari coffe shop ini. Gadis itu deg-degan menerka-nerka apa isi kertas itu. Apakah akan berakhir sama dengan sinetron di tv? Entahlah, gadis ini juga masih belum membukanya. Ia melihat pria berkacamata yang berjalan keluar dan hilang di pertigaan. Ia mulai membolak-balik kertas itu. Sekali lagi gadis itu mengernyitkan dahi setelah membuka kertas yang diberikan pria tadi. Wajahnya yang tadi bahagia kini tidak lagi tampak. Wajahnya kini bercampur kesal, sebenarnya apa yang ditulis pria tadi di kertas itu? Aku menjadi bingung melihat gadis itu. Gadis melankolis itu membereskan bukunya dengan menggerutu. Lalu gadis itu berdiri dan sepertinya ia ingin keluar dari coffe shop ini. Masih dengan wajah kesal dan rasa tidak terima. Kertas itu pun ditinggalnya di atas maja, dan ia bergegas menuju kasir untuk membayar pesanannya tadi.

Langkahnya terlihat tidak baikbaik saja. Langkah yang tadi sedikit gontai dan tidak ada selera untuk hidup, kini lihatlah langkahnya begitu mantap dan tidak lagi gontai. Aku semakin penasaran dengan isi kertas itu. Gadis itu pun sudah hilang dan berlalu. Aku tidak bisa melihat tulisannya, masih terlipat jadi dua. Sesaat kemudian angin berembus pelan dan membukakan isi kertas itu, sekarang aku bisa melihat tulisannya dengan jelas. Pantas saja gadis itu marah dan kesal, pria berkacamata yang keterlaluan. “Setengah hari kurang sedikit, aku pamit. Terima kasih untuk obrolan basa-basinya siang ini. aku sudah menjadi teman ngobrolmu kan? Tolong bayarkan pesananku di meja sebelah ya.� Kupikir cerita mereka akan berakhir seperti Qais dan Laila, ternyata hanya sebatas basa-basi semata. Entahlah, aku semakin bingung. Aku hanya tisu yang masih polos dan sedari tadi membantu gadis itu menghapus air matanya. []

Nuryanti Gibranis, Nama aslinya Nuryanti. ia merupakan mahasiswa semeseter akhir program studi Akutansi Syariah. Seorang gadis melankolis yang rindu dengan kata bebas. Ia lupa bagaimana cara untuk bahagia, tapi ia hanya ingin menjalankan hidup secara menyenangkan.


Sebuah budaya bangsa tinggal di hati dan di dalam jiwa rakyatnya. ~ Mahatma Gandhi


PUISI

WAJAH PERTIWI KALA PANDEMI Wajahnya tak lagi dapat dikenali Bertutup masker kebijakan sepihak pejabat tinggi Hanya mata sembab yang terlihat Yang mengalirkan pendapat rakyat Namun, tak ada yang peduli Alisnya mengerut Mempertanyakan hidup yang semakin carutmarut Kedua bola mata menyorot tajam Menyaksikan virus-virus kebohongan berterbangan Hidungnya mencium bau anyir korban mayat yang dikubur tanpa pemulasaran Telinganya tak sanggup lagi mendengarkan Jeritan orang-orang pinggiran yang kelaparan Akankah ini berakhir? Pertiwi hanya tersenyum getir.. Wajahnya yang ayu menjadi layu Bergoreskan kerutan-kerutan malu

ANGKUHNYA ARDAYA Congkak menganak penjarakan angkuh Serapah membuncah kekata luruh Saat amarah mulai bergemuruh Menikam hati hasrat membunuh Luka-luka berdatangan Ludira berceceran Anyir mengerumuni perlahan Hati itu dalam penderitaan Memaksa mati asa yang pernah hidup Tidak lagi menyisakan degup Lalu ...! Tanpa melempar tanya kau buang sembarang; sampah! Diskriminasi kini menjadi jurang Adakah keadilan masih memainkan peran? Pada atma yang terlahir dari gandewa Tuhan Ia sedang tertatih menggamit impian

Bumi Kasunanan Prawoto, 07 Oktober 2020

Nuryanti

Kudus, 10 Oktober 2020 Muna Khoirun Nisa’ *Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Inggris Semester Lima

76 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

*Mahasiswa Prodi Akuntansi Syariah Semester Tujuh


PUISI

SAJAK JEJAK

TERMANGU

Tersedak pikiranku Melayang anganku Saat pandemi masih menghantui bumi pertiwi

Tiang kokoh ini berkerut Menyisakan retak dan garis lurus Memilih atau dipilih

Para dewan berebut argumentasi Sampai akhirnya mengetok senjata pamungkas dengan dalih “Ya aku menyetujui� Apakah jalannya memang begini? Pengesahan adalah prioritas di masa pandemi? Baiknya tak lagi mempersoalkan itu-itu lagi Aku yakin tak ada regulasi sempurna Sempurna membuat gegap gempita semua warga Di mata oposisi apalagi, rasanya tak perlu dibincangkan lagi Satu keyakinanku, langkah besar akan dilewati menuju kemegaan jaya Aku juga terus yakin kata aman ada di negara

Tanah tandus yang gersang Menembus cahaya dengan tabir Pemilik rindu seutuhnya Telah kutemukan muara itu Melancongi setiap jalan sengsara Belum sempat terhenti Lalu ... Semua terulang kembali Menyesatkan segulung keyakinan Kepada Sang Pemilik Rindu Berlebih menyelami dalamnya rasa

Tak saling bertuduh tak saling menyalah Daya isi percaya diri Karena Satu rasa satu karsa Satu asa satu atma Kami Indonesia

Lambat, semua akan terancang dengan sempurna Seperti halnya bunga matahari Yang berhimpit pada segumpal tanah Hingga menyisakan kilas balik

Kudus, 08 Oktober 2020

Jangan haru Apalagi rindu.

Mu’ayyadah

Kudus, 15 Oktober 2020

*Mahasiswa Prodi Tadris IPS Semester Lima

Kholifatun Nisa *Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam Semester Tiga

PARADIGMA // 77 Edisi 35 Desember 2020


SKETSA KAMPUS

Tolak Omnibus Law, AMPERA Turun Aksi

Rektor Launching IAIN Kudus Press MELALUI Surat Keputusan (SK) Rektor IAIN Kudus Nomor 435 Tahun 2020, Rektor IAIN Kudus me-launching lembaga penerbitan IAIN Kudus Press di Hotel D’Season Premier Bandengan Jepara pada Jumat, (06/10). Usai resmi mendapat izin penerbitan dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI Pada 12 Maret 2020, IAIN Kudus Press memiliki fokus pada penerbitan dan publikasi ilmiah. Rektor IAIN Kudus, Mundakir, mengatakan, pendirian IAIN Kudus 78 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

Press ini akan mendorong aktivitas ilmiah berupa riset dan publikasi ilmiah dosen maupun mahasiswa. Lebih lagi mengacu pada sekian banyaknya penelitian dosen yang telah disubmit ke jurnal. “Menuntut dosen yang mau nulis buku, penelitian disertasi atau bahkan mahasiswa yang skripsinya bagus bisa diterbitkan,” katanya kepada Paradigma. Ia menambahkan, pada dasarnya, perguruan tinggi memiliki tiga ranah pendidikan pengajaran, penelitian

dan pengabdian yang harus diisi semua. “Menumbuhkan geliat kepenulisan menjadi salah satu poin yang harus ada,” tambahnya. Sementara itu, Direktur IAIN Kudus Press, Aat Hidayat, mengatakan, pengajuan izin IAIN Kudus Press di tahap pertama kepada Perpusnas dimulai pada Februari dan keluar pada Maret lalu. Kemudian di launching-kan pada November ini bebarengan dengan agenda evaluasi tahunan jurnal-jurnal IAIN Kudus. “Sebenarnya tidak kepikiran untuk


FOTO ISTIMEWA

SKETSA KAMPUS

launching, karena sekalian di even yang relevan maka diresmikan untuk yang pertama kali,” katanya saat ditemui Paradigma di Gedung Perpustakaan IAIN Kudus pada Kamis, (12/11/2020). Lebih lanjut Aat menerangkan, adanya IAIN Kudus Press ini berupaya mendorong tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di kalangan civitas akademika IAIN Kudus. Serta mendorong diseminasi hasil kerja intelektual untuk kampus lebih maju. Adapun fokus utama IAIN Kudus Press yakni menerbitkan penelitian ilmiah para dosen. “Karena sejak dulu tulisan

dosen hanya menjadi arsip saja,” terangnya. Adapun sasaran utama IAIN Kudus Press tidak hanya dosen, tetapi justru mahasiswa juga perlu untuk terlibat. Keterlibatan mahasiswa sudah dimulai oleh buku pertama dan buku kedua yang merupakan kolaborasi antara dosen dan mahasiswa. “IAIN Kudus Press tidak hanya membatasi dari karya dosen saja, tetapi kami menerima tulisan dari mahasiswa baik itu kelompok maupun individu,” tambah Aat. Sampai saat ini, IAIN Kudus Press telah menerbitkan dua judul buku yaitu Konstekstualisasi Filsafat Pendidikan Islam karya Ahmad Fatah bersama mahasiswa perkuliahan dan Bunga Rampai Esai Perlaku Beragama Masyarakat di Tengah Pandemi karya Irzum Farihah dan mahasiswa yang diadopsi dari tugas KKN-IK-DR. Hingga kini, imbuh Aat, masih ada sekitar 47 karya artikel ilmiah hasil penelitian yang sedang digarap oleh IAIN Kudus Press dengan target Desember bisa selesai dan kembali menerbitkan jurnal maupun buku. Ke depan Aat berharap, dengan adanya IAIN Kudus Press ini hasil geliat ilmiah dan intelektual berupa karya ilmiah dosen, kreativitas mahasiswa, maupun perkuliahan mahasiswa bisa diterbitkan agar masyarakat luas juga bisa membaca dan bermanfaat bagi mereka. Ia juga memiliki rencana dan mimpi agar kedepan IAIN Kudus mempunyai website khusus promosi

buku dan karya lainya. Selain itu, ia berharap pula IAIN Kudus Press mempunyai Open Monograph Press (OMP) agar hasil penelitian bisa dimanfaatkan dan karya dosen bisa terekam dengan harapan bisa menjadi alternatif meningkatkan reputasi ilmiah dosen dan kampus. Mendengar kabar dirilisnya IAIN Kudus Pers, Mahasiswa Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Muayyadahh, merasa gembira dengan adanya penerbit kampus tersebut dan mengaku ingin terlibat di dalamnya. Ia menilai dengan adanya IAIN Kudus Press bisa menambah kemajuan pers di lingkungan kampus serta mahasiswa bisa banyak dilibatkan dalam proses penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat luas. “Saya sangat berharap launching kemarin bisa menjadi langkah awal bisa meningkatkan literasi di kalangan mahasiswa,” harapnya. Berbeda halnya dengan mahasiswa PGMI sekaligus editor IAIN Kudus Press, Hasyim Asnawi, mengaku sudah menata niat dan semangat untuk program IAIN Kudus Press selanjutnya. Bersama 23 editor lainya, ia akan melakukan editing semaksimal mungkin meski baru pertama kali. “Sementara ini belum ada koordinasi, tapi rencana editor akan dikumpulkan dan mengerjakan bersama di November pertengahan,” bebernya. Atmimlana Nurona

PARADIGMA // 79 Edisi 35 Desember 2020


FOTO ISTIMEWA

SKETSA KAMPUS

Wisuda Ke-28, Rektor Sampaikan Kunci Sukses Pasca Jadi Wisudawan TANTANGAN wisudawan tidak lagi tentang skripsi atau tesis melainkan pengabdian kepada masyarakat. Bahwasanya, perilaku baik buruk setelah lulus di jenjang perkuliahan tentu akan dinilai oleh masyarakat. Oleh sebab itu, para wisudawan perlu kunci PLN (Pintar Lincah Nasib). Hal tersebut disampaikan, Rektor IAIN Kudus, Mundakir, dalam wisuda ke-28 yang digelar secara offline di Gedung Perpustakaan Lantai 4, IAIN Kudus pada Selasa, (17/11). Ia menambahkan, menjadi wisudawan dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) tinggi belum menjamin kesuksesan. Kesuksesan dapat diraih dengan berpikir kritis, mengembangkan komunikasi. “Pintar belum tentu nasibnya baik. Kunci kesuksesan terletak pada 80 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

berbakti kepada orang tua dengan tulus,” tambah Mundakir dalam sambutanya. Selama pandemi, lanjut Mundakir, wisuda di IAIN Kudus sudah digelar dua kali yakni pertama bulan Juni dan kedua pada bulan November. “Wisuda bulan November berlangsung offline tetap dengan anjuran protokol kesehatan,” ungkapnya. Sementara itu, Wakil Rektor 1, Supaat, menjelaskan, jumlah wisudawan sarjana dan pasca sarjana berjumlah 751 wisudawan dengan lima fakultas dan pasca sarjana. Untuk wisudawan sarjana yakni PAI 186 wisudawan,PBA 26, PGMI 82, PIAUD 34, Ahwal Syakhshyyiah 28, ES 128, MBS 80, MZW 10, IQT 32, AFI 16, TP 11, IH 7, BPI 51, KPI 24, MD 6, dan PMI 6 wisudawan.

“Sedangkan ntuk pasca sarjana berjumlah 19 wisudawan dengan rincian MPI 13, ES 4, dan HKI 2 wisudawan,” jelasnya. Lebih lanjut, Supaat menjelaskan, wisuda kali ini tidak mengundang orang tua atau wali wisudawan. Namun orang tua bisa mengikuti live streaming youtube IAIN Kudus. Wisudawan Prodi Aqidah dan Filsafat Islam, Hidayanti, mengaku senang bisa mengikuti wisuda secara offline meski sedikit kecewa karena tidak boleh mengundang orang tua. Terkait pengabdian setelah wisuda, ia lebih memfokuskan pada membantu kedua orang tua. “Rencana ingin membantu meringankan orang tua dengan bekerja misalnya,” ucap Hidayanti .[] Nonik Nurhanifah


SKETSA KAMPUS

FOTO : AYUN

Bikin Animasi Yusuf dan Alana, KKN 62 Ajukan Hak Cipta Maskot

ADANYA KKN DR yang berjalan selama 2 bulan kemarin memang bisa menjadi alternatif meningkatkan skill di bidang animasi. Salah satunya KKN IK DR IAIN Kudus kelompok 62 yang menciptakan animasi edukasi “Yusuf dan Alana”. Guna mengapresiasi hak kepemilikan, KKN DR 62 turut mengajukan hak cipta maskot Yusuf dan Alana. Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) Kelompok 62, Pancaningrum, mengatakan, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) saat ini sedang diajukan. Langkah ini diambil untuk melindungi hak cipta atas Yusuf dan Alana serta demi kebaikan Prodi PIAUD sehingga bisa menambah poin saat mengajukan akreditasi Prodi lagi. “Semoga bisa diterima dan keluar sertifikatnya,” harapnya Sebagai DPL, ia sangat mengapresiasi kreativitas mahasiswa KKN 62. Selain menghasilkan karya, mereka juga memiliki nilai-nilai positif yang mau terus berkembang dan saling berbagi ilmu dan belajar bersama.

Sejak awal, lanjut Pancaningrum, selalu menekankan agar di KKN ini tidak tertinggal oleh zaman dengan menggunakan keterampilan IT sehingga produk yang dihasilkan bisa luar biasa. “Mahasiswa KKN kelompok 62 yang saya bimbing ini termasuk anak-anak yang responsif dan mau belajar. Apalagi ternyata memang ada yang sudah menguasai IT lebih dari teman-temannya,” tambahnya. Ia juga mengatakan, Alana dan Yusuf adalah milik tim jadi akan tetap milik tim. “Kedepan Alana dan Yusuf bisa tetap eksis memberikan edukasi kepada masyarakat baik melalui youtube atau instagram,” tandasnya. Ketua Kelompok KKN DR 62, Satriani Qurrota A’yun, menjelaskan, inisiatif awal dari adanya pembuatan animasi ini karena ingin memunculkan karakter khusus dari prodi Piaud. “Target awal kita tidak hanya anak-anak, tetapi juga ibu-ibu dengan tujuan menarik minat

mereka ketika melihat-lihat media sosial kita,” jelas A’yun. Kebetulan, lanjut A’yun, KKN DR ini waktu yang tepat untuk meningkatkan skill pembuatan animasi kartun anak-anak. Ia mengaku, animasi Alana dan Yusuf memang tidak secanggih seperti Nussa dan Rara ataupun kartun Indonesia lainya. “Masih bentuk 2D karena memang masih tahap belajar,” tambah Mahasiswa PIAUD itu. Ia juga menambahkan, arti nama Alana dalam bahasa adalah gadis cantik dan berharga, tapi dalam filosofi Kelompok 62 memiliki harapan yang sangat indah dan suatu saat bisa bermanfaat bagi semua orang. “Sedangkan yusuf adalah tampan maka kedua nama tersebut menjadi suatu harapan bagi karya kami adalah karya yang bagus indah dan bermanfaat bagi semua orang,” bebernya.[] Umi Zakiatun Nafis

PARADIGMA // 81 Edisi 35 Desember 2020


Bangun Pagi dan Produktif

“

CATATAN LEPAS

Bangun lebih awal bisa menjadi salah satu hal yang paling sulit dan menyebalkan. Sering diantara kita terasa berat, lemah melawan rasa kantuk semasa bangun pagi. Terkadang alasan-alasan klise pun terlontar, seperti beralasan tidur telat lah dan alasan lainnya. Padahal kesalahan kita sendiri hari sebelumnya yang memberatkan kita untuk bangun.

SETIAP orang memang memiliki waktu produktif masing-masing. Ada yang baru beraktivitas usai makan siang dan ada pula yang baru aktif pada malam hari. Kendati demikian, nyatanya banyak orang hebat mengaku memiliki kebiasaan bangun pagi dan menjadikannya sebagai kunci kesuksesan. Melansir dari Kompas.com, berdasarkan hasil riset Laura Vanderkam yang dituangkan dalam buku elektroniknya, What the Most Successful People Do Before Breakfast, dari pengamatannya terhadap para eksekutif. Orang yang sangat sukses selalu memanfaatkan waktu paginya dengan cerdas. Sebagai contoh mantan CEO Pepsi, Steve Reinemund, terbiasa latihan treadmill pukul 05.00, penulis Gretchen Rubin sudah mulai menulis pada pukul 06.00 waktu setempat. Mereka lah contoh-contoh sosok dengan pencapaian tinggi yang mampu menggunakan sebagian besar waktunya sebelum jam sarapan untuk beraktivitas. Ungkapan klasik “Bangun pagi, jangan bangun kesiangan jika tidak ingin rezekmu dipatok ayam� sepertinya tidak ada ruginya untuk diikuti. Selain ihwal rezeki, bangun lebih pagi ternyata bermanfaat untuk kesehatan kita. Tidak hanya 82 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020

kesehatan fisik, manfaat bangun pagi juga berlaku untuk kesehatan mental. Memang tidak semua orang bisa dengan mudah bangun pagi. Hal ini tentu bukanlah suatu kebetulan. Bangun pagi terbukti memberikan beragam manfaat, antara lain meningkatkan fokus serta membuat pola hidup lebih teratur. Selain dipercaya menjadi kunci kesuksesan seseorang, bangun pagi-pagi sekali untuk menunaikan ibadah maupun aktivitas positif lainnya memang memiliki begitu banyak manfaat lain bagi kesehatan tubuh dan mental. Dari sisi kesehatan, seseorang yang membiasakan bangun pagi untuk sekedar berolahraga dan mulai beraktivitas sejak pagi bisa terhindar dari penyakit jantung. Begitu juga stamina dan kebugaran tubuh akan terjaga secara alami. Tak ada yang lebih menyegarkan ketika dapat menghirup udara pagi yang segar bersamaan dengan merasakan kehangatan sinar matahari pagi. Bangun pagi memberikan kesempatan bagi tubuh untuk untuk mendapat paparan sinar matahari pagi yang mengandung vitamin D yang berguna meningkatkan kekebalan tubuh. Seseorang yang terbiasa bangun pagi cenderung memiliki kepribadian yang lebih proaktif dan tanggap.

Perilaku proaktif tersebut disebabkan oleh meningkatnya fungsi kerja otak yang intens sejak pagi. Peningkatan fungsi otak berhubungan erat pada kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah secara efektif dan efisien. Karena orang rutin bangun pagi akan punya waktu berjam-jam untuk menyesuaikan diri dengan baik pada awal hari itu, dan juga akan lebih waspada terhadap masalah-masalah yang akan dihadapi pada hari itu juga. Suasana pagi memang menenangkan. Setelah lelah mengerjakan berbagai kegiatan yang memenuhi pikiran hingga larut malam kemudian tidur nyenyak dan bangun di pagi hari untuk menjernihkan pikiran kembali. Karena pagi hari adalah waktu dimana kita belum berinteraksi dengan siapapun dan belum melakukan kegiatan berat apapun sehingga pikiran masih segar dan fresh. Seringkali dalam suasana yang tenang tersebut, muncul berbagai macam ide brilian yang tidak terpikirkan pada jam-jam sibuk sebelum dan setelahnya. M. Nur Ulyanuddin *Penulis adalah Pimpinan Umum LPM Paradigma 2020


PARADIGMA // 83 Edisi 35 Desember 2020


84 // PARADIGMA

Edisi 35 Desember 2020


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.