Semangat yang Bermanfaat atu kata yang paling tepat untuk memberikan apresiasi kepada seluruh tim majalah edisi 30 ini adalah semangat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata semangat adalah nafsu (kemauan, gairah) untuk bekerja, berjuang. Antusiasme para penulis sangat terlihat dan dapat dirasakan bersama. Menyisihkan waktu untuk menulis sudah menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan. Berbekal data dan informasi tentang tema yang disepakati, membuat gairah untuk cepat-cepat menulis selalu mucul. Kaitannya dengan tema majalah tentang teater di Kudus, telah memberikan banyak pengalaman baru di mata penulis. Memang benar adanya, membicarakan teater maka akan bertemu dengan orang-orang besar yang berpengaruh di ranah teater Kudus seperti Asa Djatmiko, Joko Poentoen, Farid Tomi, Leo Katarsis (Gunadi), dan orang penting lainnya. Mengenal sosok seniman dan para tokoh teater di Kudus, menambahkan draf nama-nama orang penting di buku catatan tim redaksi. Di sisi lain, mengapa mengangkat tentang teater juga menjadi pertanyaan besar bagi pembaca. Ini disebabkan karena kehidupan teater di Kudus sendiri mengalami pasang-surut dalam menujukkan karyanya (pementasan). Peran pemerintah dalam mengayomi semua teater Kudus pun juga belum nampak terasa. Banyak sebab yang melatarbelakangi permasalahan tersebut. Sehingga sudah layak untuk diperbincangkan dalam majalah edisi kali ini. Pembaca akan disuguhkan mengenai sejarah
perjalanan teater yang ada di Kudus, mulai masa awal teater ada, hingga berkembang sampai saat ini. Tak luput nama-nama kesenian Kudus seperti sanggar lukis Merah Putih, yang pernah sempat go nasional dengan membawakan nama Kudus di ruang publik. Kejadian ini telah membuka pemikiran kita semua, bahwasanya Kudus pernah berjaya dalam kesenian. Lalu, bagaimana dengan seni peran (teater) di Kudus sekarang? Tetap Semangat Dalam pencarian data pasti ada lika-liku perjalanannya. Pulang larut malam untuk menunggu narasumber sudah menjadi kebiasaan yang harus dirasakan. Namun semua itu bukanlah hal yang menyurutkan semangat kami. Melihat pementasan teater yang disuguhkan sudah menjadi obat lelah paling mujarab. Tim redaksi Paradigma selalu semangat untuk menyuguhkan tulisan yang bermanfaat dan ‘renyah’ ketika dibaca. Bagi seorang penulis, karya yang dikatakan layak baca dan berkualitas adalah ketika karya itu bisa bermanfaat dan memberikan pengalaman baru bagi pembaca. Penulis dan pembaca adalah simpul yang tak terpisahkan. Harapan kami, dengan terbitnya Paradigma edisi 30, kita sama-sama tahu, sama-sama belajar, dan samasama melestarikan seni teater di Kudus. Seni itu indah, dan Tuhan mencintai keindahan. Selamat membaca!
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
3
Nomor : 02/Tahun XVII/Edisi XXX/Desember 2016
DAFTAR ISI
Cover by : Elya Putri Trisna Sari biasa dipanggil dek, aktif sebagai aktris di UKM Teater SATOESH sapaan akrabnya di sanggar adalah atom. Lahir di kota bumi mina tani, tanggal kuadrat 4, bulan pahlawan, tahun trisakti. Hobi makan tidur diulang setiap hari. Guruh Indra W & Younglex adalah salah dua orang yang difavoritkan. Suka nggambar mural, doodle, realis. Tiap hari selalu minum susu. Follow on : IG : @elyaputrisna FB : Elya Putri Trisnasari E-mail : sususetroberi@gmail.com pesan : “Terkadang, nggendengi itu perlu”
Pasang Surut Seni Teater Kudus Kamis malam, 6 Oktober 2016 teaterawan Dewa Ruji sedang berlatih di Balai Desa Lau Dawe. Mereka tampak duduk di atas panggung menanti giliran berlatih. Alas keramik, mereka jadikan sebagai panggung latihan berekspresi menghayati perannya . . . . . . . 12
Salam Redaksi 1 Daftar Isi 2 Suara Kampus 3 Etalase 5 Parist 6 Kolam 8 Kang Asbun 10 Editorial 11 Bidikan Utama 12
Artikel Utama 24 Gaya Hidup 26 Wawancara 30 Kolom 34 Profil 36 Kacamata 39 Jalan-jalan 43 Menu Khusus 48
Kolom 54 Budaya 56 Teknologi 60 Info Buku 62 Sinema 64 Resesi Buku 67 Cerpen 71 Sketsa Kampus 76 Catatan Lepas 80
Pelindung: Dr.H.Fathul Mufid, M.Si (Ketua STAIN Kudus), H. Shobirin, M.Ag (Wakil Ketua III). Pembina: Dr. Kisbiyanto, S.Ag., M.Pd. Staf Ahli: Muhammad Hamdan,Wahyudi Zulfi Hidayat, M. Nasrurrahman, Munawir Aziz, Nur Habibi. Litbang: Zakki Amali, Hubeb Muhajir, Adi Purnomo, M. Zainal Arifin, M. Agus Iqbal, Arif Rohman, Diyah Ayu Fitriani. Pimpinan Umum: Achmad Ulil Albab. Bendahara : Muhammad Farid. Kholifatul Maulida Sekretaris: Ahmad Afandi, Mahya Hidayatun Ni’mah Pimpinan Redaksi: Yaumis Salam. Redaktur Pelaksana: Muhammad Nur Salim Redaktur Berita: Ismah Nurani. Redaktur Budaya: Qurrotu Ayyun. Redaktur Opini: Kholidia Evening Mutiara. Redaktur Sastra: Dewi Kusmita. Reporter: Siti Rokhimah, Sari Rahmawati, Faqih Mansur Hidayat, Melinda Candra Agustina. Divisi Kajian dan Riset: Fuad Hasan. Divisi Publikasi: Bisri Musthofa. Karikatur: Ade Achmad Ismail. Layouter: Ismail. Alamat Redaksi: Gedung UKM Lantai Satu Kampus Barat STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembal Rejo. Bae, Kudus. 4
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
SUARA KAMPUS
Tertib Masuk, Tertib Keluar
K
epada para pemberi kebijakan STAIN Kudus, untuk memberi ketegasan kepada mahasiswa agar tertib masuk atau pun keluar gerbang sebagaimana mestinya. Tidak menggunakan pintu masuk untuk keluar kampus atau sebaliknya, terutama bisa dilihat di Kampus Barat. Hal itu akan mengganggu mahasiswa lain yang akan masuk di Kampus Barat. Akibat lain yang dapat ditimbulkan ialah terjadinya kecelakaan. Satpam pun harus tegas memberi teguran kepada mahasiswa yang melanggar. Kapan mahasiswa akan sadar? Muhammad Nur Salim/Tarbiyah/PAI/semester 7
JAWABAN :
Terima kasih untuk Muhammad Nur Salim, bahwa usulan Anda sangat penting bagi semua civitas akademik STAIN Kudus, agar tertib dalam berbagai hal, termasuk keluar masuk dari parkir kendaraan sesuai jalurnya. Karena itu, kita mengajak semuanya untuk mematuhi tata tertib kampus kita. Ini bertujuan agar situasi dan kondisi nyaman dan aman, sehingga kegiatan perkuliahan bisa menyenangkan. HUMAS
Kurang AC
M
eskipun Gedung S adalah gedung baru, saya dan yang lain mungkin menginginkan gedung S diberi AC dan proyektor, agar kita nyaman dalam kuliah dan mengerjakan tugas. Untuk itu mohon segera pihak STAIN untuk segera memberi fasilitas seperti gedung-gedung yang lainnya. Dila Anisa/Tarbiyah/PGRA/Semester 1
JAWABAN :
Terima kasih atas usulan mahasiswi Dila Anisa. Setiap tahun kampus kita menambah sarana berupa gedung perkuliahan. Karena keterbatasan anggaran dari pemerintah, sehingga pembangunan gedung tidak otomatis langsung dengan sarana AC dan LCD. Biasanya, tahun berikutnya baru dipenuhi peralatan gedung tersebut. HUMAS
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
5
SUARA KAMPUS
Website Kurang Update
K
ebutuhan informasi sudah menjadi dasar manusia, namun bila kebutuhan itu tersendat pemenuhannya, lantas apa jadinya ? Ini yang terjadi di website STAIN Kudus. Menurut saya, websitenya terkadang tidak bisa diakses dan sering eror. Selain itu, isi dalam webnya masih seputar info-info lama dan belum diperbarui. Dalam akun-akunnya pun seperti sikadustainkudus juga sulit untuk diakses. Mahasiswa masih sulit untuk menggali informasi dan mendapatkan update terbaru. Mohon kiranya bisa diberi tanggapan yang tepat. Nur Fu’ad/Tarbiyah/PGMI/Semester 7
JAWABAN :
Terima kasih atas perhatian Saudara Nur Fu’ad. Kapasitas bandwidth wifi mempunyai batas karena terkait dengan anggaran yang digunakan untuk langganan. Karena itu, pemakaian wifi secara serentak oleh ratusan atau ribuan mahasiswa dalam waktu yang bersamaan. Akan sangat mungkin mengakibatkan lambatnya pengaksesan, atau bahkan eror. Lebih dari itu, manajemen pengelolaan wifi maupun pengelolaan Website terus kita perbaiki dan kita tingkatkan. Terima kasih atas masukannya. Humas
Butuh Keadilan Kampus
H
ampir dua bulan perkuliahan berjalan, ada yang janggal dalam pikiran saya, seperti ada ketimpangan antara kampus barat dan timur. Kondisi yang paling mencolok adalah kursi perkuliahan yang berbeda jauh. Di Kampus Barat kursinya masih kursi kayu yang berwarna coklat dan tidak sedikit yang mengalami kerusakan. Sedangkan di Kampus Timur, kursinya lebih elegan terbuat dari rangka besi dan tempat duduknya empuk ada busanya. Tampak lebih modern dibandingkan kampus barat. Oleh karena itu kepada pejabat kampus yang berwenang, dengan ini saya menaruh harapan untuk keadilannya untuk bisa diterapkan di Kampus Barat juga. Terima kasih atas tanggapannya. Zamris Anwar, Mahasiswa Jurusan Tarbiyah, PAI semester 1
JAWABAN :
Terima kasih Saudara Zamris Anwar. Perlu diketahui bahwa Kampus Barat merupakan kampus asal yang bangunan dan fasilitasnya dibangun dan disediakan jauh lebih awal dari pada Kampus Timur. Sebaliknya, Kampus Timur pada umumnya berupa gedung dan peralatan baru yang merupakan perluasan dari Kampus Barat. Sebagai kampus milik pemerintah, STAIN Kudus tidak boleh membuang begitu saja, fasilitas lama kemudian diganti dengan fasilitas baru. Karena itu, selagi masih layak pakai, gedung dan fasilitas lama tetap digunakan untuk perkuliahan. Adapun jika ada peralatan yang rusak, maka dilakukan perbaikan atau penggantian. Namun hanya sebagian saja, tidak keseluruhan gedung beserta isinya. Mudah-mudahan tetap nyaman dan aman untuk perkuliahan. Humas
Bagi pembaca yang mempunyai kritik dan saran untuk Kampus STAIN Kudus. Baik dari segi sarana dan prasarana, atau apapun yang berhubungan dengan kampus. Silahkan kirim kritik dan saran anda ke : lpmparadigma@gmail.com dengan menyantumkan nama dan jurusan.
6
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
ETALASE
HB Jassin, Tokoh Dokumentasi Sastra
D
unia sastra Indonesia memang tak pernah mati melahirkan tokoh-tokoh sastrawan. Hans Bague Jassin adalah salah satu aset berharga dalam sastra nasional. Hans Bague Jassin atau yang akrab dipanggil HB Jassin Lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara pada tanggal 13 Juli 1917 dari pasangan Bague Mantu Jassin, seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dan Habiba Jau. Pendidikannya diawali dengan masuk ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS)-setingkat SD sekarang-di Balikpapan, lulus tahun 1932. Di tempat inilah ia mulai berkenalan dengan sastra. Pada waktu itu, Mijnheer Duisterhof Kepala Sekolah HIS memiliki kemampuan bercerita yang baik. Sehingga membuat Jassin kecil tertarik. Kemudian di tingkat menengah, ia tamat pada tahun 1938 di Medan. Suatu hari saat ia jatuh sakit, ayahnya bertanya “Mau dibelikan apa?”, secara spontan Jassin menjawab: “Buku!”. Begitulah Jassin kecil sudah begitu akrab dengan buku. Di tahun 1940 Jassin memulai pengembaraannya menuju Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka hingga 21 Juli 1947. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-1942), kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-1945), dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya (1945 - 1947). Kemudian secara berturut-turut HB Jassin menjadi redaktur Mimbar Indonesia (1947-1966), Zenith (1951-1954), Bahasa dan Budaya (1952-1963),
Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horison (1966-sekarang), dan Bahasa dan Sastra (1975). Pada tahun 1953 Jassin menjadi dosen luar biasa Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya dan memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959). Dalam suratnya tanggal 10 September 1959 kepada Subagio Sastrowardoyo, Jassin mengatakan: “Saya sudah menarik diri dari tugas mengajar yang tak pernah saya senangi selama ini dan kembali membatasi diri pada lapangan saya sendiri. Saya lebih senang menulis saja daripada berdiri di depan kelas…” Selain mengajar, sejak Juli 1954 hingga Maret 1973, Jassin adalah pegawai Lembaga Bahasa dan Budaya, yang sekarang kita kenal dengan nama: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia digelari Paus Sastra Indonesia atas upaya-upayanya melahirkan pengarang besar yang kita kenal sekarang, seperti Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Dia mengambil bagian sebagai kritikus sastra, orang yang berkegiatan mengapresiasi sebuah karya agar layak disebut karya. Patut Diteladani H.B. Jassin adalah teladan sebagai penulis yang produktif karena dukungan bahan-bahan
rujukan yang ia himpun dengan tekun. Disamping ia dikenal sebagai kritikus sastrawan, peninggalan kepribadiaannya yang patut diteladani ialah ketekunannya dalam mendokumentasikan sastra. Hasil jerih payahnya dalam mendokumentasikan sastra bisa dilihat di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS). PDS diresmikan pada tanggal 30 Mei 1977 dan berdiri di atas kompleks Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No. 33. Sampai sekarang gedung itu dijadikan rujukan sastra nasional. PDS HB Jassin menyimpan beberapa dokumentasi sastra yang berbentuk buku, naskah drama, guntingan pers, foto hingga lukisan. PDS juga mengoleksi beberapa karya tulisan tangan asli para sastrawan Indonesia dari berbagai angkatan. PDS Jassin mempunyai tujuan menginventarisasi, mengolah, memelihara, dan melestarikan dokumentasi sastra Indonesia. PDS HB Jassin juga kerap mengadakan pameran dokumentasi sastra dan budaya, diskusi, hingga peluncuran buku.[] Redaksi Dikutip dari beberapa sumber
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
7
KAJIAN
PENELITIAN
PENERBITAN
JURNALISTIK
Toleransi Negeri Ini
T
oleransi merupakan perbuatan saling menghargai, saling memahami, dan tenggang rasa. Mengingat Indonesia adalah negara yang plural baik budaya, suku, ras dan agama, Toleransi sangatlah dibutuhkan. Lebih-lebih dalam beragama. Perbedaan keyakinan sudah seharusnya menjadi varian dalam bernegara. Akan tetapi, tanpa adanya toleransi keutuhan NKRI menjadi terancam. “Sikap toleransi beragama dalam kehidupan bangsa dan negara sangat diperlukan karena itu adalah sebuah keniscayaan yang membentuk Indonesia menjadi satu negara yang utuh yang harus tetap dipelihara,” demikian dikatakan Sekretaris Jendral ICMI, Dr. Muhammad Ja’far Hafsah, dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu (6/8), (Suaramerdeka.com, 7/10/2016) Berbagai wacana sering kali berbeda dengan realitas. Hal tersebut juga berlaku dalam toleransi beragama. Banyak wacana untuk menjaga toleransi agama, demokrasi, menghargai perbedaan keyakinan, dan lain sebagainya. 8
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Namun, bedasarkan hasil polling 100 responden yang dilakukan LPM Paradigama di STAIN Kudus. Hasilnya 57% menjawab sering melihat konflik agama di Indonesia, 36% menjawab jarang dan 7% lainnya menjawab tidak pernah. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan agama turut mengisi daftar permasalahan yang sering muncul di negara Indonesia. Agama dapat menjadi pemicu konflik atau permasalahan di negara apabila seseorang memiliki pemahaman agama yang kurang. Sehingga sangat mungkin konflik agama disebabkan oleh kurangnya pemahaman agama. Hal ini diperkuat dengan jawaban responden 53 % sangat mungkin dan 44 % menjawab mungkin, hanya 3% yang menjawab tidak mungkin. Gus Dur mengatakan “Dalam kehidupan harus selalu mencari keseimbangan antara normatif (ajaran agama) dengan kebebasan berpikir”,(Gus Dur 1999). Seseorang yang cenderung berpikiran bebas tanpa adanya kontrol agama, maka akan
bertindak seenaknya. Sebaliknya, jika seseorang berfikir mendalam mengenai agama tanpa ideologi yang kuat, maka akan menjadi fanatik. Kefanatikan itulah yang menjadikan seseorang mudah menyalahkan orang lain. Sering terjadinya konflik berlatar belakang agama memunculkan pertanyaan apakah stabilitas persatuan dalam hal perbedaan keyakinan antar umat beragama sudah terwujud?. Hasilnya 68% menjawab belum dan 32% lainnya menjawab sudah. Berdasarkan persentase tersebut Indonesia belum mencapai stabilitas persatuan dalam hal perbedaan keyakinan umat beragama. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus-kasus penistaan agama. Seperti Yusman Roy (2005), Jam’iyyatul Islamiyah (2010), Ahmad Musadeq (2007), Gafatar (2015-2016), Gus jari (2016), diambil dari Jawa Pos (7/11). Dan baru-baru ini Kasus Gubernur non-aktif DKI Jakarta yang masih hangat di telinga masyarakat. Kasus penistaan agama yang melibatkan pejabat publik ini menyita perhatian
KAJIAN masyarakat menjelang Pilkada serentak 2017. Penyebabnya adalah ia menyebut-nyebut surat Al-Maidah ayat 51, kemudian oleh sejumlah pihak dianggap sebagai menista agama. Ditambah yang menistakan agama adalah dari golongan yang berbeda keyakinan. Berita ini kemudian menjadi viral di dunia maya dan nyata. Sehingga muncul berbagai unjuk rasa mulai dari aksi 411 sampai aksi super damai 212. Mengaca dari kasus penistaan agama tersebut, apakah toleransi agama sudah berperan didalamnya? Hasilnya 67% menjawab belum, 7% tidak dan hanya 26% yang menjawab sudah berperan. Perlu dipahami bahwa ketika toleransi beragama dijunjung tinggi dan dijadikan sandaran dalam bermasyarakat, maka kasus penistaan agama diatas tidak akan terjadi. Artinya, sebagai pejabat haruslah menjaga perilaku. Begitupun sebagai masyarakat jadilah masyarakat yang cerdas, tidak langsung terbawa arus. Melihat respon dari dunia maya hingga nyata masyarakat Indonesia cenderung mudah terprovokasi oleh suatu berita. Perilaku masyarakat tersebut diperkuat dengan jawaban responden. Dengan presentase 59% menjawab mudah terprovokasi, 38% menjawab kadang, dan hanya 3% menjawab tidak. Jika masyarakat mudah terprovokasi dan bertindak atas dasar emosi, maka tindakan tersebut dapat memecah belah persatuan bangsa. Hal ini dikuatkan oleh jawaban responden, 87% menjawab berpeluang memecah belah dan 13% lainnya menjawab tidak berpeluang. Selain kesadaran toleransi beragama harus dijunjung bersama, upaya dalam mewujudkan toleransi juga harus dilakukan oleh semua pemeluk agama di Indonesia. Sudahkah pemeluk agama berkontribusi dalam mewujudkan toleransi?. 32% diantaranya menjawab sudah dan lainnya 68% menjawab belum. Jika toleransi
PENELITIAN
PENERBITAN
JURNALISTIK
hanya dijadikan wacana tanpa adanya upaya mewujudkan itu sama halnya dengan berbual. Banyak hal yang dilakukan untuk mewujudkan hidup bertoleransi. Salah satunya dengan menyisipkan nilai toleransi dalam kegiatan keagamaan dan diamalkan oleh semua umat. Menjaga persatuan bangsa sama halnya mewujudkan toleransi beragama di Indonesia. Maka itu sebabnya semua pemeluk agama harus berkontribusi mewujudkan toleransi. Kesadaran toleransi dan demokrasi adalah esensi dalam menjaga persatuan bangsa Indonesia. Adanya kasus penistaan agama, menjadikan kita sadar bahwa toleransi harus dirawat dengan akal sehat, baik itu pejabat negara maupun masyarakat. Mari kita bertoleransi, menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. [] Manik Wulandari
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
9
KOLAM [Kolom Alumni]
Beda Tafsir dan Tafsir Menyimpang POLEMIK tentang tafsir surat Al-Maidah 51
masih terlalu hangat sampai saat ini. Ayatnya sama, tetapi yang banyak menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana bisa berbeda pendapat dan pemahaman atas ayat yang sama. Apakah perbedaan itu sebagai bentuk adanya penyimpangan penafsiran? Banyak sekali tafsir qur’an yang beredar di masyarakat Indonesia. Hal itu mulai dari yang asli Indonesia seperti Tafsir Al-Misbah oleh Al-Habib Prof. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Azhar oleh Hamka, Tafsir Al-Ibriz oleh KH. Bisri Musthofa, dan sederet nama yang jauh mengawali. Abdurrahman Singkel dari Aceh menulis Tafsir Tarjuman Al-Mustafid pada abad ke-16 dan Imam Nawawi Al-Bantany menulis Tafsir Marah Labid pada abad ke-18. Betapa banyak kitab tafsir, baru dari tokoh Islam Nusantara. Kitab Tafsir di belahan bumi semakin banyak lagi. Kitab populer di pesantren, Tafsir Jalalain misalnya, ditulis oleh guru dan murid yang namanya sama, Jalaludin As-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahally. Terdapat juga Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Thabari, Tafsir Maraghi, Tafsir Qurthuby, Tafsir Munir yang ditulis Syeikh Wahbah Zuhaili, Tafsir Zamakhsary yang berhaluan Mu’tazilah, Tafsir Thaba’thabai yang berideologi Syiah, Tafsir Mir’atul Anwar yang bernuansa Syiah, Tafsir Ashabuny, atau Tafsir Al’Alusy. Tentu masing-masing berbeda, lalu apakah berbedanya tafsir satu dengan tafsir lainnya menunjukkan ada penyimpangan? Perbedaan tafsir bisa terjadi salah satunya akibat metode penafsirannya yang bervariasi. Tafsir Jalalain cenderung menggunakan metode ijmaly, yang fokus pada pembahasan struktur tata bahasa dan makna kata dari ayat Al-Qur’an sebagai cara memahami maksudnya. Tentu akan berbeda dengan Tafsir Ibnu Katsir yang menggunakan metode Al-Ma’tsur atau sesuai riwayatriwayat hadis Nabi yang biasa disebut Asbabun Nuzul, oleh karenanya tafsir ini menjadi banyak digunakan dalam polemik Surat Al-Maidah ayat 51 karena menghadirkan banyak kisah. 10
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Kedua tafsir tersebut, akan berbeda dengan Tafsir Al-Kasysyaf yang ditulis oleh Imam Zamakhsary yang mengedepankan pemikiran analisis atau disebut metode Tahlily, dan akan lebih berbeda dengan Tafsir Mir’atul Anwar yang ditulis oleh Maulana Latif Al-Kazarani yang berhaluan Syiah. Jadi, apakah perbedaan berarti ada penyimpangan? Apakah di satu sisi menyatakan memilih pemimpin non-muslim itu tidak boleh, dan di sisi lain menyatakan boleh menunjukkan adanya penyimpangan? Imam Dzahabi dalam kitabnya, Al-Ittijah AlMunharifah fi Tafsir Al-Qur’an menjelaskan adanya kategorisasi penyimpangan tafsir. Pertama, penulisan tafsir yang membahas sejarah tanpa sanad atau riwayatnya. Misal kisah Nabi Ayub (QS. Al-Anbiya ayat 83-84) dalam Tafsir Khazin dijelaskan adanya Iblis yang memohon pada Allah untuk menggoda Nabi Ayyub. Tentu menjadi kemustahilan bagaimana Iblis masih bisa bercakap dengan Allah, ketika sudah diberikan kemutlakan untuk menggoda bani Adam. Demikian juga kisahkisah Israiliyat atau bernuansa Bani Israel yang banyak bersinggungan dengan Kitab Perjanjian Lama. Kedua, Lebih menonjolkan pemikiran akal dan
Ilustrasi : Mael
MUH. KHAMDAN* Pimpinan Umum
LPM Paradigma 2005, sekarang fungsional Widyaiswara Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Sesungguhnya perbedaan itu sangat jauh berbeda dengan pertentangan, apalagi konflik dan perang. Perbedaan adalah dinamika, dan rahmat untuk kita semua.
kepentingan aliran politik. Hal demikian tampak dalam penafsiran kaum Syiah dalam ayat Kaf-Ha-Ya-AinShad. Kaf sebagai simbol Karbala yang menjadi lokasi paling bersejarah umat Syiah. Ha sebagai simbol kata Halaka yang berarti kondisi penghancuran keturunan Nabi. Ya sebagai simbol Yazid bin Mu’awiyah yang terlaknat karena telah membantai Husein sebagai cucu Nabi Muhammad bersama dengan keluarganya. Ain sebagai simbol kata Athos (haus) karena Husein dikepung ribuan pasukan Yazid hingga terbunuh. Shod sebagai simbol Sabar bagi seluruh pendukung Ali dalam menegakkan keadilan. Model penafsiran ini cenderung untuk membela kepentingan politik dan aliran, sehingga berorientasi pada kekuasaan yang menyimpang. Dalam polemik Surat Al-Maidah 51, tentu dapat difahami bahwa memang ada ragam perbedaan dan corak penafsiran Qur’an. Namun yang tidak tepat bukan pada kitab tafsirnya, tapi orientasi praktis (ittijah amaly) yang berbeda antar budaya dan kelompok masyarakat. Maka kedewasaan sikap dalam merespon perbedaan sesungguhnya adalah rahmat. Sesungguhnya perbedaan itu sangat jauh berbeda dengan pertentangan, apalagi konflik dan perang. Perbedaan adalah dinamika, dan rahmat untuk kita semua. Jakarta, 20 Oktober 2016
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
11
Karikatur : ismail
Banyak mahasiswa yang keluar lewat pintu masuk dan sebaliknya. -Maklum mahasiswa sekarang agak pikun dengan tanda Maling helm di kampus sudah diringkus -Itu baru helm lho pak, maling maling lain apa kabar? Gedung baru belum ada fasilitas lengkap tapi sudah dipakai -Nanti nanti, tunggu saja nanti, sampai nantinya sudah habis Moratorium Ujian Nasional sudah tinggal menunggu persetujuan -Setelah itu kita urus tentang moratorium Ujian Skripsi
12
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
EDITORIAL
K
Prestasi Teater Tak Dilirik Pemerintah
udus, di kawasan mayoritas muslim yang toleran dan multikultural itu karya seni tidak hanya terbatas pada musik, peran, dan lukis. Meski begitu, kesadaran untuk terus mengembangkan potensinya masih lah kurang. Seni peran (teater) Kudus menjadi perhatian, karena masih jauh tertinggal. Sebagai masyarakat yang berbudaya, kesadaran ini hendaknya diimplementasikan dalam pagelaran yang memiliki nilai yang disokong bersama. Persoalannya ialah bagaimana kita mewujudkan tatanan itu? Kesenian di Indonesia tidak terbatas pada kota-kota yang memiliki sekolah kesenian. Namun juga melebar, bahkan di pelosok pedesaan. Ini disebabkan banyak kekayaan budaya kita yang perlu untuk diperjuangkan. Mempertahankan eksistensi budaya yang kian menjadi ironi, mengangkat jalur seni sebagai potensi aktualisasi diri, bertaji, mengharumkan nama negeri. Realita telah menunjukkan bahwa seni teater maupun komunitas yang bergelut dengannya tidak begitu eksis di panggung nasional. Kita juga belum menemukan tokoh yang lahir dari teater di Kudus sebagai figur publik yang tenar dan mempunyai pengaruh besar. Nama-nama layaknya Butet Kertaredjasa (Teater Gandrik), Nano Riantiarno (Teater Koma), Yudi Ahmad Tajudin (Teater Garasi) dan lainnya seolah belum menemukan pesaing baru. Disamping itu, namanama tersebut memang lahir dari kota-kota yang memang telah akrab dengan seni, seperti Jogjakarta, Solo dan Jakarta. Di kota-kota tersebut juga karena memang telah terbangun fasilitas dan lingkungan yang mendorong kesenian untuk
bangkit dan maju. Ironi Teater Keberadaan teater sudah mulai aktif dan memiliki banyak penggemarnya sejak lima tahun terakhir. Tak hanya pada lingkup komunitas umum, namun tersebar luas pada sekolah dan warga masyarakat. Semangat ini harus diimbangi dengan kelayakan fasilitas gedung yang memadai. Mengingat di Kudus berdiri kokoh taman budaya yang dibangun untuk memenuhi fasilitas masyarakat. Taman Budaya Kudus selama ini belum diresmikan, masih menjadi tanda tanya besar di mata publik. Mengingat antusiasme untuk menggunakan gedung tersebut sudah lama dinantikan oleh warga teater. Perlunya berkoordinasi ketika pembuatannya pun menjadi persoalan, karena Taman Budaya ini akan menjadi fungsi bersama. Agar tidak sia-sia, maka peran dari beberapa tokoh seniman dan teaterawan juga perlu turut andil dalam mengoptimalkan hasil
pembuatannya. Seiring berkembangnya semangat untuk menghidupkan teater, munculah permasalahan yang terus bergulir. Mengenai problematika teater di Kudus terjadi antar komunitas satu dengan komunitas yang lain. Alih-alih untuk menjadi yang terbaik, membuat keharmonisan antar komunitas teater di Kudus menjadi berkurang. Ini yang menjadi perhatian bersama, bagaimana seorang leader untuk mengemas kesolidan antar kelompok. Sejarah awal teater Kudus dimulai sejak tahun 1960-an sampai akhir 1970. Kelompok teaternya adalah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang telah menggema di masyarakat Kudus. Peran pemerintah dalam mengayomi kelompok teater di Kudus jangan sampai lengah, mengingat sudah banyak Sumber Daya Manusia (SDM) berkompeten di bidang seni peran (teater) ini. Begitu juga dengan Teater Apotek yang menginduk di SMK Duta Karya Kudus pernah menyabet juara umum pada Festival Drama Pelajar Tingkat Nasional 2016 yang diadakan oleh Teater Gema UPGRIS Semarang. Tak semudah membalikan tangan, prestasi demi prestasi yang didapat perlu kerja keras dan ketangguhan diri. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh komunitas teater untuk memperbaiki menajemen komunitasnya masing-masing. Agar memiliki kualitas yang baik dan mampu mencetak kader teaterawan yang bersaing di kancah nasioanal hingga internasional. [] Redaksi
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
13
BIDIKAN UTAMA Perkembangan Teater Kudus
Pasang Surut Seni Teater Kudus Di tengah hening malam mereka tak lelah untuk berlatih. Panggung yang beralaskan porselen putih yang warnanya telah memudar, menjadi saksi bisu atas lakon para teaterawan.
amis malam, 6 Oktober 2016 teaterawan Dewa Ruji sedang berlatih di Balai Desa Lau Dawe. Mereka tampak duduk di atas panggung menanti giliran berlatih. Alas keramik, mereka jadikan sebagai panggung latihan berekspresi menghayati perannya. Teaterawan merupakan panggilan akrab bagi pemain teater (seni peran). Di Indonesia, kesenian teater sudah ada sejak dulu. Jenis teaternya pun beragam. Mulai dari teater yang tradisional sampai modern telah menghiasi panggung teater nasional. Kudus, sebuah kota kecil yang terdapat banyak sekali pegiat seni, termasuk teater. Rasa penasaran tentang bagaimana perkembangan teater yang ada di Kudus menjadi alasan terkuat dalam penulisan ini. Tim Paradigma mencoba menelusuri jejak-jejak teater di Kudus. Suara gemercik air menemani iringan musik tradisional sunda di rumah makan sederhana itu. Terlihat 14
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
pria tua yang sudah beruban bermain dengan telepon genggamnya. Aris Junaidi (53), ia merupakan tokoh kesenian dan Ketua Dewan Kesenian Kudus. Dengan bahasa yang lugas, namun pembawaannya yang santai, ia mengawali pembicaraan tentang perjalanan kesenian teater di Kudus, (17/10). Aris mengatakan, kesenian teater Kudus muncul pada awal 1960an. Kesenian ini ditampilkan oleh anggota Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang telah menggema di masyarakat Kudus. Bahkan teater yang ditampilkan oleh HSBI dulu terkenal sampai ke kancah nasional. Pementasannya pun sering diadakan di Gedung Pemuda yang sekarang dirubah menjadi ruko, tepatnya di gang empat Kudus. Perubahan itu ketika Pemkab Kudus dipimpin oleh Bupati M Tamzil. Puncak kejayaan seni teater ada dalam kedua organisasi tersebut. Namun, kesenian yang menggema sampai nasional hanya seni teater dari HSBI dan Sanggar Lukis Merah Putih.
Walaupun keduanya sama-sama mempunyai seni teater di dalamnya, mereka memiliki perbedaan. Lesbumi cenderung menganggap teaternya sebagai teater tradisional. “Teater ini ada beberapa tahapan sebelum menampilkan lakon teater. Seperti ada pertunjukan musik, lawak, nyanyi baru penampilan teater,” tandasnya. Berbeda dengan Lesbumi, HSBI cenderung langsung memainkan lakon teaternya. Bukan berarti HSBI meninggalkan tahapan tersebut, namun ia meleburkan beberapa tahapan tersebut ke dalam satu lakon. “Kedua kelompok itu saling tumbuh bersama untuk menampilkan teater masing-masing. Tapi, keduanya ‘laa yamuutu wa laa yahya’ (tidak ada kabarnya-red),” ungkap ayah tiga anak ini. Setelah seni teater dari kedua organisasi tersebut tak ada kabar, kemudian munculah beberapa teater modern. Salah seorang pelaku lama teater, Bambang Sucipto (47), menuturkan bahwa sekitar tahun 1977 di bagian timur wilayah Kudus tepatnya di Kecamatan Jekulo lahir
BIDIKAN UTAMA
komunitas Teater Cikal Bakal. Teater ini eksis dan tetap bertahan sampai tahun 1989. Pada tahun sekitar 1980-an, untuk mengembangkan seni teater ke wilayah barat Kudus, beberapa anggota Teater Cikal Bakal pun mendirikan teater yang bernama Gema Budaya di Radio Suara Manggala. “Mereka sudah tidak produktif lagi karena tergiur menggarap film,� ungkap lelaki yang biasa disapa Pak Wo saat ditemui di kedai kopi langganannya. Pada tahun 1985-an, lanjut Bambang, muncul Teater Aji Saka yang berada di walayah selatan Kudus, tepatnya di Desa Ngemplak, Kecamatan Undaan. Teater ini sering mengangkat tema yang berbau religi atau keagamaan. Mulai tahun 70 – 80-an ini teaterawan benar-benar memainkan teater secara lahir batin. Artinya, mereka fokus mendharmabaktikan diri untuk kesenian teater. Terakhir ada Teater Saka Budaya tahun 1994. Jenis teater yang dimainkan berupa drama kolosal dan penontonnya kebanyakan dari sesama komunitas teater sendiri.
Kemudian pada awal 90-an juga muncul beberapa teater. Wilayah utara Kudus lahir Teater Kuncup Mekar. Teater ini merupakan embrio dari Teater Samar yang berdiri pada tanggal 1 Maret 1998. Kemudian di Kudus Kota muncul Teater Lincak, sedangkan bagian barat ada Teater Poentoen. Dari anggota Poentoen ini juga melahirkan beberapa komunitas teater yang lain misalnya Teater Koin, Tiga Koma dan Soko Siji. Banyaknya komunitas teater yang bergeliat di Kudus tak terlepas dari masyarakat Kudus sendiri. Kebanyakan dari mereka bekerja atau menuntut ilmu ke luar kota dan di sana mereka masuk ke komunitas teater. Kemudian setelah kembali pulang, mereka terus mengembangkan jiwa seni teaternya di Kudus. Menurut Bambang, sebelum tahun 1994, hubungan para komunitas teater sifatnya individualis. Artinya hanya sibuk dengan kelompoknya masingmasing. Tidak ada hubungan kinerja antara teater satu dengan lainnya.
RUPA-RUPA : Festival Teater Pelajar (FTP) menjadi satu-satunya ajang bergengsi yang diselenggarakan Djarum Foundation dalam membudayakan teater Kudus. Dari ajang ini diharapkan akan lahir bibit-bibit teaterawan muda yang nantinya akan menjunjung tinggi nama Kudus dalam dunia teater. FOTO: doc.FTP 2016
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
15
Teater bukan menjadikan orang sebagai artis. Tapi menjadikan seseorang itu siap memerankan lakon apapun di dunia ini Sampai akhirnya, pada tahun 1996, Teater Lincak mempelopori adanya Kemah Bhakti Teater 1 yang diadakan di Desa Menawan, Kecamatan Gebog. Pesertanya terdiri dari sembilan komunitas teater. Namun, dari beberapa teater yang disebutkan di atas, hanya teater Samar, Poentoen, dan Kuncup Mekar yang masih ada sampai sekarang. “Sedangkan yang lain anggotanya pecah entah ke mana. Kesulitan yang dialami teater pada masa 1970–1990–an itu adalah regenerasi,” ungkapnya sambil meminum jahe hangat. Bambang juga sedikit menyinggung mengenai identitas teater yang sebenarnya, yaitu untuk kembali mengedepankan filosofi teater. “Teater bukan menjadikan orang sebagai artis. Tapi menjadikan seseorang itu siap memerankan lakon apapun di dunia ini. Kejar tayang perlu, tapi jangan melupakan filosofi sebenarnya dari teater,” pungkas ayah dua anak ini. Jago Kandang Keberadaan teater Kudus pada era reformasi ini semakin ramai. Hal ini tak terlepas dari adanya Festival Teater Pelajar (FTP) Kudus yang diinisiatori oleh Teater Djarum secara konsisten setiap tahun. FTP ini dimulai sejak tahun 2008 silam. Kala itu, seni teater dilombakan dan menarik minat para pelajar, sehingga lahir beberapa komunitas teater dalam ruang lingkup sekolah. Dalam 16
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
dunia sekolah dan kampus terdapat banyak teater, seperti Teater Apotek dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Farmasi Duta Karya dan Teater Satoesh dari STAIN Kudus. Para komunitas teater tersebut pun ada yang lahir dari masyarakat, misalnya Teater Keset dan Dewa Ruji sekitar tahun 2009 ke atas. Jumlah komunitas teater saat ini yang ada di Kudus sangat banyak. Mulai dari komunitas teater mandiri, sekolah maupun kampus. Asa Jatmiko (40), selaku praktisi teater terkenal Kudus mengatakan bahwa ada sekitar 60-an komunitas teater di Kudus. Yaitu 40 teater sekolah, 6 teater kampus, dan 12-an teater mandiri. Dari semua komunitas teater yang ada, diperkirakan teater pelajar akan bertambah tiap tahunnya. Eksistensi teater pelajar, lanjut Asa, bergantung kepada pihak sekolah (guru dan pembimbing teater). “Melihat perkembangannya dari tahun ke tahun, sangat mungkin tahun depan bertambah pesat,” ungkap Asa. Berbeda dengan teater pelajar, perkembangan teater kampus menurut Asa sekarang sedang stagnan. Syukur-syukur yang ada sekarang bisa bertahan dan berkarya rutin. Tak jauh beda dengan kampus, teater mandiri pun menunjukan gejala yang hampir sama, yakni stagnasi. Tetapi kelompok-kelompok yang ada akan berkembang untuk meningkatan kualitasnya. “Kalau toh bertambah, tidak akan banyak. Mengingat tokoh-tokoh teater di Kudus masih ajeg. Sedangkan penerusnya masih merasa belum berani. Ini tantangan buat kita,” lanjutnya. Dibandingkan kabupaten lain, seni teater di Kudus sekarang dinilai paling aktif dan konsisten dalam berproduksi. Namun, menurut Asa, teater Kudus hanya jago kandang. Belum berani keluar dan masih banyak persoalan internal yang perlu diperbaiki. Yang terpenting bagi Asa ialah menghargai proses.
Karena pementasan teater tidak serta merta langsung menjadi baik. Semuanya membutuhkan proses yang lama. Solusi Sambil menyesap rokok yang telah disulut, dia menyarankan agar ada hubungan erat diantara para pegiat teater linas komunitas. Misalnya saja saat latihan, sesama komunitas teater itu diundang dan disuruh menilai. Pada waktu itu lah kesempatan teaterawan untuk saling mengkritik, ‘membantai’ penampilan saat latihan berlangsung, kemudian saat memberi saran untuk memperbaiki penampilan yang ada. Asa mengungkapkan beberapa komunitas teater di Kudus sekarang kurang saling mendukung. Mereka memiliki egoisme masing-masing dalam bermain teater. Akibatnya, saat teater lain main, teater yang satu mengkritik dengan pedas. “Tidak adanya apresiasi sesama komunitas teater lain, sehingga membuat teater Kudus kurang bersatu,” pungkasnya. Hal berbeda diungkapkan oleh Edi Purnomo, salah satu anggota Keluarga Segitiga Teater (Keset) Kudus. Edi, atau yang sering disapa Buseng menjelaskan bahwa teater Kudus saat ini lebih komunikatif. Namun, ia tidak menyangkal bahwa sempat ada ketidakharmonisan antar-teater. Menurutnya, ketidakharmonisan tersebut disebabkan karena masingmasing teater memiliki ideologi dan persepsi mengenai kualitas penampilan teater. “Sekarang berbeda, teater kini lebih dekat realis dan dimodifikasi menjadi drama, absurd menjadi sosial, surealis menjadi berkomedi,” pungkas Edi. [] Muhammad Nur Salim
BIDIKAN UTAMA
Taman Budaya yang Tidak Memanusiakan Teaterawan
endengar kata T a m a n Budaya, yang terpikirkan adalah tempat megah dengan fasilitas yang lengkap di dalamnya. Inilah salah satu tempat yang dituju oleh para teaterawan (pegiat teater). Bisa sepenuhnya tampil atau hanya berlatih di area Taman Budaya akan memberikan sensasi lebih bagi para pemain teater. Mencari tempat lapang atau ruangan kosong untuk berlatih sudah menjadi kebiasaan teaterawan sebelum pentas produksi dilakukan. Mengingat dalam pementasan teater ada kebutuhan yang harus terpenuhi. Persiapannya banyak dan harus dikelola dengan matang, seperti bedah naskah untuk mencari aktor atau aktris yang tepat, penghafalan naskah, menyesuaikan blocking (gerak dan perpindahan pemain dari satu area ke area lain di panggung) setting area, dan setting pencahayaan. Banyaknya persiapan yang dilakukan, sehingga tempat
yang dibutuhkan pun juga perlu diperhatikan. Kudus yang terkenal dengan sebutan Kota Kretek ini ternyata memiliki antusiasme lebih di mata seni peran (teater). Masyarakatnya sudah mulai beranjak untuk menghidupkan teater-teater yang ada. Mulai perkotaan hingga pelosok desa tersebar luas komunitaskomunitas teater. Menurut Aris Junaidi (53), Ketua Dewan Kesenian Kudus mengatakan bahwa semangat para teaterawan sekarang sudah begitu meningkat. Tidak hanya pada komunitas teater sekolah, namun teater dari lingkup desa hingga pada dukuh pun juga ikut menghiasi semangat teaterawan lainnya. “Dulu saya pernah diundang untuk menjadi juri pementasan teater, ketika itu di Kecamatan Undaan dan Gebog,� ujarnya setelah meminum air mineral yang ada di depannya, (17/10). Memang diakuinya, semangat mereka sangatlah besar, namun dari segi kualitas dan nilai pementasan
GAGAH : Pembangunan Taman Budaya Kabupaten Kudus sudah menginjak tahap akhir. Foto : Salam/PARADIGMA
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
17
Kondisi Taman Budaya Kudus setelah area depan gedung ditambahkan ratusan paving untuk memperindah dan membuat nyaman pengunjung.
yang dilakukan kurang begitu sempurna. Ini bukan masalah bagi Aris, yang juga Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Kudus. Jika ada kesempatan, dirinya juga ikut memberikan masukan atau menularkan sedikit ilmu yang dimilikinya kepada para warga yang aktif berteater tersebut. Fasilitas Kurang Semangat saja tak cukup, kata Aris, fasilitas yang kurang memadai juga persoalan. Dirinya juga memberikan alih tempat berlatih di sekitar Rumah Makan Bambu Wulung yang dirintisnya. “Banyak teman-teman teater yang sering memanfaatkan lahan sekitar sini, saya hanya memberikan fasilitas seadanya. Di sebelah barat ruangan ini juga ada panggung yang bisa digunakan untuk pementasan,” 18
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
ungkapnya ketika duduk di area depan rumah makan miliknya. Aris menyesalkan fasilitas teater di Kudus yang memprihatinkan, jika melihat tempat yang disediakan jauh dari kata sempurna untuk mereka (teaterawan). Taman Budaya Kudus menjadi sorotan para teaterawan. Ini juga yang dirasakan oleh Jumari HS (51), selaku Pengurus Teater Djarum. Menurutnya, Taman Budaya Kudus memang kurang layak diperuntukan untuk para seniman atau pun teaterawan yang ada. “Jika gedung tersebut memang difasilitaskan untuk semuanya, namun mengapa ketika pembuatan gedung tak pernah mengikutsertakan para seniman Kudus?” ungkap Jumari pada, Senin (10/10) di kediamannya. “Pemerintah hanya buat-buat gedung tanpa mengundang kami
(seniman), seolah-olah gedung itu gedung ‘mati’ atau tidak fungsional. Istilahnya tidak membuka ‘kran’ untuk para seniman atau pun teaterawan agar ikut andil dalam pembuatan gedung. Gedung Taman Budaya Kudus tidak diakui oleh para seniman, proses pembuatannya pun tak sesuai standar,” ungkap Jumari yang juga seorang sastrawan Kudus. Struktur Gedung Mengenai fasilitas gedung yang memenuhi standar pementasan memang perlu perhatian khusus. Jumari menegaskan pentingnya fasilitas di dalam Taman Budaya, terutama pada struktur gedungnya. Sepaham dengan Jumari, Asa Djatmiko (40) selaku aktivis teater, dirinya sangat tahu betul mengenai fasilitas yang diperhatikan. “Mengenai struktur gedung
BIDIKAN UTAMA yang diutamakan itu mengenai akustik ruangan. Seperti pengaturan tinggi dan luas ruangan akan mempengaruhi suara dalam pementasan. Gema suara yang terdengar haruslah sempurna dan baik. Tak lupa pengaruh sinar lampu atau lighting sebagai rekayasa pembentukan cahaya juga diutamakan,” kata Asa yang juga pengurus Teater Djarum Kudus. Mengenai standarisasi gedung teater yang tepat bisa mengakomodir panggung teater arena atau proscenium, tetapi kebanyakan teater Kudus menggunakan teater arena. “Jadi, seharusnya Taman Budaya yang ada di Kudus seperti Taman Budaya Solo. Walaupun panggung teater arena, namun sewaktu-waktu bisa disulap menjadi panggung teater proscenium,” tambah Asa sambil mengeluarkan asap rokok yang diisapnya. Walaupun seperti itu, tak mutlak bagi seorang teaterawan untuk patah semangat dalam berkarya apalagi pentas produksi. Asa menegaskan kepada para teaterawan junior untuk tidak memikirkan masalah fasilitas yang disediakan. “Pertunjukan teater itu tidak harus di gedung pertunjukan, mengenai Taman Budaya yang di Kudus itu tidak diniatkan untuk dijadikan Taman Budaya,” pungkasnya. Begitu banyaknya standarisasi Taman Budaya, Yuli Kasiyanto (58) Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus menyadari kurangnya fasilitas yang ada. Tanah yang dibuat Taman Budaya itu bekas peninggalan Kantor Kawedanan Cendana, di Jalan Raya Kudus – Colo, Desa Bae, Kecamatan Bae. Bangunan tersebut masih termasuk salah satu Cagar Budaya di Kabupaten Kudus. “Gedung dan taman hanya tambahan saja, mengingat tempat ini sebagai Cagar Budaya yang harus dijaga, sehingga tidak boleh merombak atau merenovasinya,” ungkap Yuli yang baru dilantik pada Bulan Maret 2016 kemarin.
Pembuatan gedung dimulai tahun 2014 (sesuai tahun anggaran), untuk penyelesaiaan taman sampai Bulan Desember 2016. Selama ini gedung belum diresmikan, rencana awal 2017 akan launnching peresmiannya, bersamaan dengan tempat parkir dan taman yang dibuat. Dirinya tidak tahu pasti berapa jumlah anggaran yang digelontorkan untuk pembuatan gedung. Karena saat itu bukan Yuli yang menjabat. Fokusnya, untuk pembuatan taman dan parkiran ini menghabiskan anggaran dana Rp 1,8 miliar. Itu semua demi mewujudkan lingkungan yang resepentatif berupa rasa aman dan nyaman kepada pengunjung yang datang. Belum Dimanfaatkan Selama gedung baru itu dibuat, belum ada pelaku seni yang memanfaatkannya. Secara administrasi peminjaman gedung di Taman Budaya prosesnya mudah. Hanya mengganti uang kebersihannya. Yuli merasa bahwa perlengkapan yang ada di dalam gedung kurang lengkap, sehingga penyewaan gedung belum ada tarif yang jelas. Rencana yang akan dilakukan oleh Kepala Disbudpar ini adalah mengembangkan Taman Budaya yang ada di Kudus seperti Taman Budaya Yogjakarta atau Solo. Agar lebih resepentatif, setiap tahun akan ditambahkannya fasilitas pendukung untuk kelayakan gedung. Sampai saat ini, dari dinas sudah memberikan ‘lampu hijau’ kepada siapa saja yang akan memanfaatkan gedung baru tersebut. “Pemanfaatan gedung baru selama ini sudah digunakan, seperti pameran karya anak sekolah, komunitas, pementasan wayang, punya gawe (mantu). Saya juga menunggu teman-teman seniman dan komunitas teater untuk memanfaatkan gedung baru tersebut,” pungkas Yuli saat ditemui tim Paradigma, (2/11).
Berbanding terbalik dengan ungkapan yang dikatakan oleh Yuli, Ulul Azmi atau yang sering disapa Citul. Selaku Ketua Teater Dewa Ruji dia mengaku kecewa terhadap keputusan pemerintah, ketika pihaknya ingin memanfaatkan Taman Budaya untuk berlatih teater. Namun setelah melakukan pendekatan terhadap pihak pengelola Taman Budaya Kudus, tidak diperkenankan untuk memanfaatkan gedung tersebut. “Ketika kami akan memakai Taman Budaya yang baru untuk pentas produksi, ternyata kami tidak dapat izin. Alasannya gedung tersebut masih dalam tahap perbaikan dan belum diresmikan,” ungkap Citul ditemui saat usai berlatih teater di Balai Desa Lau, Dawe. (6/10) Rencana untuk memanfaatkan gedung Taman Budaya sudah terkubur dalam-dalam. Kekecewaan sebab penolakan ketika meminjam gedung, sudah membuat dirinya enggan untuk menggunakan gedung tersebut. Terlebih ketika beberapa waktu setelah kelompoknya tidak diizinkan, justru ada acara pribadi yang diizinkan memakai gedung tersebut. “Ketika saya melintasi Taman Budaya itu, malah dibuat acara resepsian (punya gawe),” pungkasnya. Kejadian seperti itu tentu saja menimbulkan kecemburuan sosial terhadap sebagian masyarakat. Alangkah baiknya pengelola Taman Budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus agar benar-benar dilaksanakan sebagaimana mestinya. Fasilitas Taman Budaya sudah mulai diapikkan. Namun ketika pemerintah dan tokoh kesenian atau teaterwan tidak sejalan, maka gedung itu tak akan bermanfaat dengan baik.[] Yaumis Salam
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
19
BIDIKAN UTAMA
h a m e L a t i K n e r e m t e j a Tea n a M g n a d i Di b
etelah perut terisi, kami kembali memasuki ruang pertunjukan di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Tempat itu bisa dibilang layak fasilitas. Dengan tribun yang mengepung panggung utama berkapasitas 150-an penonton, lampu dan layar proyektor pun terpasang disetiap sisi dan sudut strategis. Perpaduan arsitektur klasik dan modern melekat pada langit-langit dan dinding yang berhiaskan kerajinan rotan. Siang itu (06/09/2016) telah ada sekitar 25 orang yang duduk di tribun pertunjukan. Mereka tidak sabar menantikan paparan langsung dari salah satu punggawa Teater Gandrik Jogjakarta, Butet 20
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Kertaredjasa, yang memang sudah hadir. Di forum itu juga Maudy Ayunda dan Garin Nugroho hadir sebagai tentor kami tentang seni pertunjukan. “Hanya orang-orang “gila” yang mau dan bisa mengurus seni teater,” seru Butet. Persoalan manajemen dalam berteater memang seringkali luput oleh tingkah laku komunitas dalam mementaskan lakon. Akibatnya eksistensi komunitas teater di Indonesia tidak begitu terlihat, hanya beberapa kelompok yang mampu mempraktekkan manajemen dengan baik. “Ini tidak bisa kita mungkiri, manajemen merupakan pokok dari sebuah komunitas. Saya seringkali terlibat debat panjang untuk persoalan manajemen di Teater
Gandrik,” tuturnya. Komunitas kita, lanjut Butet, seolah hanya memikirkan karya dalam bentuk pementasan di atas panggung saja. Sebenarnya kuantitas penonton, tata letak dan desain area pementasan, kru serta manual acara juga merupakan karya yang dituntut agar bisa memuaskan penonton. Suatu komunitas juga harus bisa menggiring rasa ketertarikan publik terhadap teater. Menurut Butet, sebuah komunitas teater yang baik harus ada dua karakter anggota, yaitu karakter aktor dan karakter produser. Karakter aktor yaitu anggota yang handal dalam hal menyuguhkan lakon secara utuh dan menarik. Sedangkan karakter produser yaitu anggota yang handal dalam mengorganisasikan sumber
daya yang dimiliki dan dibutuhkan oleh komunitasnya. Termasuk pula mengenalkan komunitasnya kepada publik, funding dan sponsor. Dalam berteater seseorang harus didorong oleh niat dan kebutuhan dari hati yang tulus. Selanjutnya itu lah yang akan menumbuhkan kedisiplinan dan obsesi agar komunitas seni itu bisa maju. “Karakter produser itu lah yang harus gila. Nah, di Teater Gandrik saya termasuk yang gila itu,” kelakar Butet. Dalam kesempatan selanjutnya, Maudy Ayunda, salah satu pendiri Teater Abang-None Jakarta dalam hal manajemen komunitas ia membaginya dalam beberapa fase. Diantaranya yaitu fase tema dan konsep, fase penentuan naskah dan fase produksi. Dalam fase produksi itu ia masih membaginya lagi pada bagian on stage dan off stage. Tugas anggota yang tergabung dalam on stage ialah mengadakan audisi keaktoran, latihan rutin dan gladi. Sedangkan tugas anggota bagian off stage ialah mengurus administrasi, proposal, mencari sponsor dan funding, serta mengadakan konferensi pers dan promosi. “Terlebih dahulu yang biasa saya dan tim lakukan ya memang menyiapkan buku ide dan Roadmap,” paparnya. Bagi Maudy, salah satu yang paling menentukan keberhasilan proses produksi suatu komunitas ialah adanya kesadaran dan ruang publik yang sehat. Pemahaman dan kesadaran anggota mengenai tugasnya merupakan kunci soliditas suatu komunitas. Itu akan terasa lebih lengkap manakala tersedia ruang dan fasilitas yang memadai untuk menunjang kinerja para pelaku seni. Ada satu lagi, tegas Maudy, hal yang tidak bisa dianggap sepele adalah soal uang. Meski begitu ia menyayangkan banyak dari komunitas teater di kampung atau di kota-kota terpencil yang tidak terlalu memikirkan itu. Padahal
tanpa sumber dana yang sehat justru komunitas itu bisa jadi akan mengalami kesulitan. “Ini yang sering dilupakan teman-teman kita di kota-kota kecil. Padahal masalah uang itu sangat riskan. Ikhlas boleh saja, namun jika tidak hati-hati itu akan menjadi boomerang yang menyulut perpecahan dalam intern komunitas.” Maudy menegaskan. Menambahi paparan Maudy, Garin Nugroho, sutradara film dan Dosen di berbagai perguruan tinggi seni di Indonesia, mengungkapkan bahwa manajemen sebenarnya merupakan cara kita mengkomunikasikan ide. Suatu komunitas boleh saja memiliki karya bagus, ide yang cemerlang dan desain acara yang menakjubkan. Tetapi selama itu semua tidak dikomunikasikan maka akan siasia. Berdasar pengamatannya Garin juga menyampaikan bahwa dunia teater di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan, bahkan terpuruk. “Kalau kita lihat belum ada komunitas baru yang bisa minimal menyamai eksistensi Teater Koma atau Gandrik di Indonesia. Ini lah yang menunjukkan bahwa teater kita masih stagnan,” tukasnya. Senada dengan Butet, Muchammad Zaeni, salah satu pendiri Teater Keset Kudus dan pembina Teater Apotek SMK Duta Karya, mengungkapkan bahwa seorang pelaku teater memang harus ‘gila’ dan progresif. “Memang benar jika pelaku seni, utamanya teater itu harus ‘gila’. Maksud gila disini karena memang orang itu harus bekerja keras, memeras pikiran untuk menghasilkan pentas produksi yang berkualitas kepada masyarakat,” tuturnya di Auditorium Universitas Muria Kudus di Kudus, pada Sabtu, (29/11). Di Kudus perkembangan seni, khususnya teater, terbilang cukup pesat dalam satu dekade terakhir. Masalahnya memang pada PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
21
pengelolaan secara keseluruhan, baik itu manajemen, mobilisasi massa dan kualitas pertunjukan itu sendiri. Menurut Zaeni hal itu disebabkan karena mayoritas aktor atau pelaku teater di Kudus masih otodidak dalam berteater. “Karena memang lingkungan kita belum mendukung untuk itu. Paling banter aktor-aktor kita belajar kepada sesama teman dan senior di komunitas masing-masing,” tandasnya. Persoalan lain ialah manajemen komunitas teater di Kudus tidak terlalu formal sebagaimana di Yogyakarta , Jakarta atau kota lainnya. Soal barometer ia mencotohkan sebagaimana yang dilakukan Teatezr Keset yang cukup produktif dalam mementaskan karyanya. Teater Keset meski lebih dari lima tahun berdiri pun belum memiliki sistem yang pakem dalam perekrutan anggotanya. “Kita tidak seperti teater di Jogja atau daerah lainnya yang harus mengadakan workshop atau sejenisnya. Siapa yang mau dan kita rasa mampu mengapa tidak?,” ungkapnya. Meski begitu Zaeni menganggap hal itu sebagai suatu keharusan dalam berproses dalam dunia seni teater. Ia menandaskan bahwa fenomena ini patut dibanggakan karena ada keinginan yang besar oleh masyarakat Kudus dalam berteater. Orang-orang boleh saja membanggakan Yogyakarta, Jakarta, Solo yang teaternya sudah maju. Namun dibalik itu Kudus punya potensi yang siap bersaing dengan itu semua. Pernyataan sama juga diungkapkan oleh pendiri Teater Dewa Ruji, Muchammad Ulul Azmi, bahwasannya seni teater di Kudus kini sedang bergairah. Di sekolah, kampus bahkan di desa-desa kini tersebar komunitaskomunitas teater baru. Pun dengan komunitas lama yang sempat pasif kini mulai menggeliat lagi. 22
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Menurutnya hal itu akan menjadi tren dan gaya hidup muda-mudi Kudus. Tantangannya kini para komunitas harus bisa berbenah secara manajemen maupun karya. “Karena mungkin saja ini akan menjadi semacam pertarungan karya antar komunitas,” tuturnya di Basecamp Teater Dewa Ruji pada Selasa, 18/10/2016. Komunitas teater kita, lanjut Ulul, harus mempunyai ciri khas masing-masing untuk bertahan dan menjaga eksistensinya. Itu bisa dilakukan misalnya dengan
mengkolaborasikan teater dengan jenis seni yang lain, seperti pantomime atau tari. Komunitas teater di Kudus juga harus lebih peka terhadap hal-hal kecil disekitarnya. Itu bisa menjadi bahan dalam meningkatkan kualitas pertujukan dan manajemen produksi suatu komunitas. “Pokoknya, dimana pun kita berada kita harus belajar dan menghasilkan karya,” pungkasnya. [] Muhammad Farid
Reporter Paradigma Institute, Muhammad Farid (kiri) bersama Butet Kertarajasa (Kanan)
BIDIKAN UTAMA
BIDIKAN UTAMA
Teater Kudus Kian Diminati
Posisi duduk para penonton tak beranjak saat menatap gerak tubuh pemain teater. Pandangan mereka menyorot setiap gerakan di panggung. Saat itu, teater yang dipentaskan mengenai kritik sosial masyarakat sekarang dengan judul “Petuah Tampah�. Pementasan Teater Djarum ini sudah memiliki tempat tersendiri di hati penonton. Tak salah jika yang datang untuk melihat pementasan tersebut pun dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, pecinta teater, pegawai pabrik, hingga masyarakat umum.
andangan masyarakat terhadap teater sudah mulai membaik. Tak seperti dulu yang menganggap bahwa bermain teater cenderung urakan, kotor, tidak rapi bahkan “gila�. Pada akhirnya, masyarakat awam masih susah memahami teater. Pun demikian hingga kini masih ada sebagian masyarakat yang beranggapan seperti itu. Akibatnya, apresiasi dari masyarakat mengenai teater masih sangat kurang. Namun kejadian tersebut muncul atas dasar dari pemain teater itu sendiri. Mereka bebas berekspresi tanpa ada yang membatasi. Menurut Edi Purnomo salah satu anggota Keluarga Segitiga Teater (Keset) Kudus, seseorang yang menilai teater dari sisi negatif adalah orang yang masih tahap mencari jati diri. Edi juga menambahkan, jiwa para seniman memang tidak ingin dibatasi. Berbeda dengan orang yang sudah mapan dalam PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
23
Penampilan Keluarga Segitiga Teater (Keset) dengan mementaskan naskah “Sebrang Mbalangan” di Auditorium UMK Foto: Ilmail/PARADIGMA
berteater. Ia mempunyai visi dan misi yang jelas. Untuk mengubah mindset masyarakat awam tidaklah mudah. Semuanya membutuhkan proses yang panjang. Tim Paradigma menyusuri sepanjang Jalan Ahmad Yani untuk bertemu dengan tokoh teaterawan Kudus. Berhenti di depan kantor pabrik rokok Djarum, kami menemui laki-laki yang berambut gondrong, Asa Jatmiko, pertengahan Oktober 2016. Berbicara tentang stigma, ia berpendapat bahwa pemain teater harus membuktikan bahwa dalam dunia teater itu ada nilai-nilai positif. “Insan teater harus membuktikan 24
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
ada nilai kedisiplinan, kesetiakawanan dan keberanian berpendapat,” ungkapnya selaku sutradara “Petuah Tampah” itu. Menurutnya, ketegasan seorang pemimpin teater akan mempengaruhi kedisiplinan anggotanya. Ketika seorang pemimpin menanamkan sikap–sikap positif, anak buahnya pun akan mengikuti. Selain itu harus ada kerjasama, baik dari internal maupun eksternal sesama komunitas teater. Mulai Diminati Sebagai penikmat teater, Maftuhan (26) melihat teater saat ini sudah berkembang dan mengalami
kemajuan. “Banyaknya penonton sekarang dipenuhi berbagai kalangan, mulai dari pelajar, wirasuwasta, dan pelaku seni,” ungkapnya. Pengamatannya terhadap dunia teater pun tak sebatas satu atau dua pementasan. Tercatat hampir 30 lebih Maftuhan menyaksikan pementasan teater. Ia merasa tertarik terhadap pementasan teater ketika pertama kali milihat di SMK Duta Karya Kudus. “Ketika saya melihat pementasan teater di SMK tersebut, jiwa seni saya mulai tergugah. Sehingga saya menikmati pemestasan teater yang diadakan pada tahun 2014 dulu,” pungkasnya.
BIDIKAN UTAMA Apresiasi penonton semakin menanjak ketika hadirnya pementasan teater yang semakin aktif. Ini dikarenakan informasiinformasi pementasan yang terjamah sampai semua kalangan. Untuk itu adanya inovasi dalam menerapkan strategi penjaringan penonton perlu diterapkan. Anggota Teater Keset sendiri memiliki ciri khas dalam penjaringan penonton. “Kami memiliki jaringan luas antar pemain dan penonton,” ungkap Wisnu Bayu Prasetyo selaku Pimpinan Produksi (Pimpro) Keset saat ditemuai di kediamannya, (17/11). Penjaringan penonton mulai dari lingkup sekolah hingga masyarakat umum. Dengan begitu penonton tidak akan didominasi orang dewasa saja, melainkan dari berbagai kalangan. “Anggota Keset sendiri bervariasi, ada siswa, guru, seniman, bahkan pekerja,” tambahnya. Wisnu membenarkan jika kalangan pelajar sekarang juga ikut meramaikan dunia teater. Bisa dilihat dari antusiasme mereka dalam mengikuti Lomba Festival Teater Pelajar (FTP) 2016. Acara tersebut diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kudus dan Teater Djarum. Kebanyakan penonton teater didominasi oleh para pelajar. Sekali pentas, pernah mencapai angka fantastik. “ Untuk pementasan teater khusus pelajar bisa menghabiskan tiket 400 lembar,” ungkap Wisnu yang juga hobi mengkoleksi batu akik. Walaupun ada Harga Tiket Masuk (HTM), teater Keset ini memiliki banyak penggemar di hati penontonnya. Sejak 2009 ketika awal pementasan Keset yang berjudul “Sugeh Mblegedu” banyak penonton yang menikmati pementasan tersebut. Secara umum, HTM di Kudus dibuka dengan harga Rp 5 ribu. “Saya sebagai Pimpro memberikan beberapa inovasi, berupa pre-season, maksudnya untuk memberikan apresiasi kepada
penonton yang memesan tiket terlebih dahulu,” ungkapnya. Wisnu menambahkan Ketika harga tiket Rp 10 ribu, pre-season untuk penonton menjadi Rp 7 ribu. Namun untuk pelajar masih tetap Rp 5 ribu. “Ini bertujuan untuk menghargai mereka yang antusias menonton pementasan Keset,” terang Wisnu seraya menyuruh kami untuk meminum teh yang sudah disuguhkan. Harapan Nyata Teater milik semua kalangan, tidak untuk umum ataupun pelajar saja. Semua bersama-sama untuk menjaga dan melestarikan kesenian yang ada di Kudus. Mumpung bangsa ini memiliki kebebasan berapresiasi seluas mungkin. Untuk itu para teaterawan harus mampu menunjukkan kualitasnya sebagai pemain seni. Aris Junaidi (53) Ketua Dewan Kesenian Kudus berharap kepada seluruh teaterawan untuk semangat berlatih. “Bangkitlah jangan patah semangat, angkatlah tema-tema kekinian yang mudah dipahami masyarakat, agar misi teater sebagai pencerahan masyarakat bisa tercapai,” ungkapnya. Aris juga berharap kepada pemerintah sekarang untuk lebih memperhatikan teater. “Teaterawan juga butuh pembinaan,” ungkapnya. Di akhir perbincangan, ia menandaskan kembali bahwa “Seni dan budaya adalah investasi jangka panjang untuk generasi selanjutnya.” Mengutip dari perkataan Najwa Shihab,”teater tak cuma menggambarkan kehidupan, sering pula menjadi agen perubahan”. Teater Kudus mampu menjadi agen perubahan masyarakat, baik kepada pemain atau pun penonton yang menyaksikannya.[] Yaumis Salam Mahya Hidayatun Ni’mah
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
25
ARTIKEL UTAMA
Berteater: Bukan Sekedar Pertunjukan Oleh: Ahmad Afandi
D
alam teori Pengalaman Estetis, pengalaman yang dialami seniman sebelum mencipta karya seni, disebutkan bahwa lahirnya karya seni karena seniman melihat adanya kesenjangan antara kehidupan nyata dengan kehidupan yang seharusnya ada, yang ada dalam benak seniman. (Wury: 2013). Menjadi sebuah karya seni seperti halnya drama dan sandiwara, teater hadir sebagai sebuah potret kehidupan masyarakat pada umumnya. Berbicara mengenai teater, tidak akan pernah membosankan. Karena dalam teater selain enak dan penuh pesan dalam pertunjukannya, banyak hal yang hangat dan menarik untuk dibahas. Berteater tidak mungkin hanya orang yang memerankan tokoh di panggung. Namun, banyak unsur yang berperan di belakangnya. Karena berteater merupakan bagian dari bentuk komunikasi. Sehingga perlu desain pertunjukan yang menarik dan mengena pada sasaran komunikasi. Sebagaimana dikutip oleh Wury Febrianingrum Suyono dari bukunya Ipit S. Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia, 26
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
ia menuliskan, setidaknya ada tiga unsur dalam berkomunikasi, yakni sumber, pesan dan sasaran. Sumber dalam teater adalah pemain tater atau biasa disebut teaterawan, pesan adalah nilai-nilai yang ada di balik pertunjukkan dan sasarannya adalah para penonton yang menyaksikan pertunjukkan teater tersebut. (Wury : 2013) Karena berteater merupakan salah satu bentuk komunikasi, maka berteater sangat diperlukan figur yang mampu menafsirkan apa yang diperankan oleh teaterawan. Hal ini dimaksudkan agar pesan yang disampaikan oleh teaterawan bisa tersamapaikan kepada sasaran (penonton). Orang yang bertugas menafsirkan naskah dan mengaktualisasikan ke dalam bentuk seni garap teater secara utuh adalah sutradara. Peran seorang sutradara sangat vital dalam kemajuan suatu kelompok kerja teater. Sebagaimana dalam sebuah perusahaan, sutradara berperan sebagai manager untuk mengatur jalannya pementasan teater. Mulai dari latihan, pemilihan pemain, pengaturan properti, rekayasa suasana dan pementasan.
Pendukung Demi lancarnya pertunjukan teater serta tersampainya pesan dari teaterawan, maka perlu beberapa hal yang mendukung dalam pemantasan. Maka dari itu kerja sama antarpemain beserta tim di belakang layar akan menghasilkan sebuah pertunjukan yang baik. Latihan keaktoran menjadi hal utama dalam menyatukan kemistri antar pemain. Dengan sering latihan bersama akan menciptakan suasana keakraban dan rasa kekeluargaan yang kuat. Selain latihan keaktoran, yang tidak kalah penting lainnya adalah Latihan tim musikalitas. Membuat atau mengaransemen musik dan ilustrasi bunyi agar menjadi bunyi yang berkomposisi menjadi salah satu keharusan dalam berteater. Dengan aransemen musik dan bunyi yang berkomposisi mampu membawa penonton benar-benar menghayati pementasan teater. Latihan tim setting dalam pementasan juga tak kalah penting. Di teater tradional yang lebih profesional biasanya dilakukan dengan membuat tampilan panggung pertunjukan
semirip mungkin. Dengan kondisi realitas, seperti gardu ronda, serambi rumah, sawah, hutan yang bisa dilakukan dengan gambar dua dimensi sebagai backdrop. Untuk merekayasa suasana dalam pementasan, latihan tim lighting menjadi salah satu unsur penting. Selain sebagai penerangan, latihan tim lighting juga digunakan sebagai pembuat efek-efek khusus. Seperti untuk menampilkan suasana penuh kemarahan dan ketegangan bisa menggunakan lampu dengan filter warna merah, dan sebagainya. Yang tidak kalah penting dalam pementasan teater adalah bagaimana penguasaan dimer (alat pengontrol intensitas pencahayaan) karena memang
itu yang dapat membawa penonton benar-benar tertarik untuk mengikuti sampai purna pementasan. Bukan Sekedar Pertunjukan Walaupun berteater adalah bersandiwara (KBBI Offline), namun dalam berteater bukanlah sekedar bermain peran atau sandiwara. Namun lebih dari itu, teaterawan harus bisa keluar dari karakter aslinya. Biasanya sutradara saat memilih aktor, karakter yang diperankannya tidak jauh dari karakter aslinya. Hal ini supaya teaterawan bisa dengan mudah dan cepat menguasai karakter yang diperankannya. Memerankan sebuah karakter yang bukan karakter aslinya memang tidak mudah. Perlu
banyak latihan dan evaluasi dari sutradara. Karena berteater tidak sebatas memerankan teks, namun lebih kebagaimana teaterawan bisa menjiwai secara total atas karakter yang diperankannya. Selain itu, kekayaan imajinasi teaterawan menjadi salah satu pendukung yang harus dimiliki. Mengingat dalam teater masih ada hal-hal yang harus dilakukan oleh teaterawan saat pertunjukan. Sehingga pertunjukan dalam teater tidaklah sesederhana membaca sebuah novel. Namun lebih kebagaimana seorang teaterawan bisa menjadikan tulisan yang ada di novel atau naskah menjadi hidup. Karena sesungguhnya berteater tidak hanya sekedar pertunjukan, malainkan mentransformasikan makna. [] PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
27
Motor Antik Makin Dilirik
S
iapa bilang barang tua tidak lagi berguna. Kita bisa lihat di jalanan, motormotor sepuh buatan di tahun 70an lalu lalang dengan senyum bangga pengemudinya. Entah apa alasannya, nostalgia atau memang benar jatuh cinta dengan motor tua. Kenyataannya motor-motor jadul itu makin menarik untuk ditunggangi, entah itu orang tua bahkan remaja. Motor antik makin hari makin dilirik. Keberadaannya tak mudah digilas kehadiran motor baru yang lebih gagah dan mewah. Motor tua yang termakan usia pun kini semakin dikenal keberadaannya. Komunitas-komunitas pecinta motor tua mulai bermunculan dan tersebar di mana-mana. Selain komunitas resmi yang menamakan diri Motor Antique Club Indonesia (MACI) yang merupakan organisasi Klub Pecinta Motor antique / motor tua, banyak pula komunitas-komunitas motor antic biasa yang tersebar di sudut kota dan pelosok kampung-kampung. Agus Susilo (29), misalnya. Pemuda asal Pati ini mendirikan komunitas motor tua yang kebetulan bermarkas di bengkelnya. Ia mengaku melihat gejala motor tua yang diminati kembali oleh banyak kalangan. Hal tersebut kemudian menggugahnya untuk membentuk suatu perkumpulan yang bisa mewadahi para pecinta motor tua. “Agar para pecinta motor tua bisa berkumpul dan saling tukar pengalaman mengenai motor tua,� jelasnya. Tak sekadar menjadi tempat berkumpul, komunitas yang berdiri sejak tahun 2014 ini sudah sering touring di beberapa kota sekitar Pati. Seperti Rembang, Jepara, Demak dan masih banyak lagi 28
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Motor Honda CB 100, motor tua ini menjadi primadona anak muda sekarang.
Istimewa
MOTOR antik, tidak seluruhnya original luar dalam. Sebagian pecinta motor antik juga mengutak-atik mesinnya atau mencampurnya dengan mesin motor baru. lainnya. Namun begitu, mereka yang tergabung dalam komunitas tersebut tak menyebutnya touring, tapi motoran bareng. “Sebab touring itu kesannya memakai motor gagah seperti Harley Davidson,” ungkap Agus. Asli atau Modifikasi Motor antik, tidak seluruhnya original luar dalam. Sebagian pecinta motor antik juga mengutakatik mesinnya atau mencampurnya dengan mesin motor baru. Seperti misalnya mengganti mesin asli dengan mesin Honda Mega pro. Namun tampilan luarnya tetap asli, hanya polesan cat untuk memberi efek bersih dan terawat saja. Seperti yang dilakukan Zaenuri (28), ia memiliki motor Honda CB 100 yang sudah diganti mesin Honda Mega Pro. Ia mengaku
mengganti mesin motor antiknya supaya lebih kencang tarikan motornya. “Supaya larinya bisa kencang dan tidak kalah dengan motor zaman sekarang,” tandasnya. Berbeda dengan Zaenuri, Syaifullah, pemilik Showroom Rajawali Bursa Motor di Jalan Kudus-Pati ini lebih mementingkan orisinalitas motornya. Showroom yang sudah dirintis sejak tahun 1998 ini setidaknya memiliki koleksi motor-motor tua tahun 1921-an hingga tahun 70-an dari berbagai negara. Diantaranya Inggris dengan merk Royal Anfield, Sun beam, Dkw. NDJPR buatan Uni Soviet, BMW buatan Jerman hingga Harley Davidson pabrikan Amerika Serikat. “Selain orisinalitas barang, kelangkaan menjadi pendongkrak harga sebuah motor antic. Harga motor antic bisa mencapai 5 juta hingga 500 juta,” jelas pria yang mulai gemar motor antik sejak tahun 1987 ini. Syaifullah sudah memulai bisnis motor antiknya sejak tahun 1998, jauh sebelum motor antik booming seperti sekarang ini. Salah satu koleksi andalannya adalah motor BMW R2 yang memenangkan kejuaraan kontes internasional di Jogja pada tahun 2008 dan 2013 untuk kategori Orisinil. Motor tua (antik) tidak memerlukan perawatan yang lebih. Sebenarnya hampir sama dengan motor-motor lainnya, tak ada yang membedakan dalam hal perawatan. Cukup dengan mengganti oli, service, mengganti onderdil yang sudah tak layak dipakai dan lain sebagainya.[] Fuad Hasan PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
29
Tak Sekadar Ngopi “Ngobrol di warung kopi, nyentil sana dan sini, sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil,” begitu penggalan original soundtrek film warkop DKI. Sekadar ngopi di warung itu biasa, akan lebih berharga saat ngopi itu banyak rasa, sensasi dan aktivitas yang menyertainya.
D
i tengah padatnya aktivitas waktu luang adalah harta. Itu bisa dimanfaatkan untuk ngopi dan menjalin kerekatan, berbincang dengan sababat, keluarga bahkan partner kerja. Tak peduli warung, angkringan ataupun cafe asal ada secangkir kopi dimana pun bisa jadi istimewa. Kemal Pasha(20), penikmat kopi dan pecinta game itu tak mempermasalahkan pilihan tempat ngopi. Baginya, inti ngopi ialah perekat dan wahana ngumpul dengan teman-temannya. Selain itu ia juga mengaku dapat ilmu baru dari ngopi bersama. Pasha dan kawan-kawannya selalu berbagi cerita dan pengalaman seputar game yang merupakan hobinya. 30
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Tanggapan dari teman yang berbeda dengannya menjadikan wawasan lain didapatkannya. Pasha lebih sering ngopi di angkringan dengan alasan mencari suasana yang lebih bebas dan menu makanan dengan harga terjangkau. “Di angkringan, banyak macam menu makanan dengan harga yang lebih terjangkau,” tutur Pasha. Berbeda dengan Pasha, Darmawan lebih suka berlama-lama di kedai kopi modern. Bersama temannya, ia biasa menghabiskan satu sampai dua jam saat di warung kopi. Tersedianya layanan wifi serta tempat yang nyaman menjadi penarik mood-nya. Meski setiap hari ngopi, baik di rumah maupun kantor, mereka merasakan suasana
yang baru saat datang ke kedai kopi. “Saat ngopi saya merasa ada ketenangan tersendiri. Mungkin karena kandungan kafein dalam kopi yang katamya mampu menenangkan tubuh,” tuturnya. Itulah salah satu manfaat kopi yang Darmawan yakini. Darmawan mengaku bahwa ia lebih menyukai kopi jenis robusta. Kadar kafein yang tinggi dan rasa yang lebih pahit menjadi alasannya dalam menggemari jenis kopi tersebut. Kualitas kopi menjadi salah satu hal yang tak kalah penting. Darmawaan juga mengaku tidak begitu menyukai kopi instan sachet yang ada dipasaran. Ia merasa bahwa kopi-kopi instan itu telah banyak dicampuri bahan lain yang
Suasana bersama teman-teman sambil menikmati hangatnya kopi di warkop menambah eratnya tali persahabatan.
membuatnya tidak nyaman. “Lebih nyaman ketika menikmati kopi yang tanpa campuran bahan lain menurut saya tidak baik untuk kesehatan,” tuturnya. Sementara itu, Junaidi membandingkan sensasi ngopi di kafe dan di angkringan. Menurutnya saat ngopi di kafe dirinya merasakan rasa kopi yang sebenarnya. “Kualitas rasa dan kemurnian kopi lebih terjamin di kafe,” jelas Juna. Akan tetapi untuk menikmati suasana. Ia lebih menyukai warung kopi kaki lima atau angkringan. Alasannya kesderhanaan dan kebersamaan dengan teman kongkow-nya adalah nilai tersendiri. Berbagai perbincangan masalah pribadi, diskusi tentang perkuliahan,
hingga berita hangat bisa mengalir begitu saja. “Karena terlalu betah, kadang saya tidak sadar kalau kedai itu mau tutup. Sampai-sampai hampir diusir pemilik warung,” lanjut Juna. Bisnis kopi Beberapa komunitas juga seringkali menjadikan kedai kopi sebagai tempat untuk berbagi. Angga (25), Pemilik Kedai Kopi “Lokal” menuturkan beberapa komunitas yang biasa berkumpul, di antaranya komunitas musik dan komunitas bapping (rokok elektrik). Tempat ngopi bisa menjadi peluang bisnis menjanjikan. Minuman yang dirayakan tiap 1 Oktober ini tak pernah lekang
oleh waktu. Setiap hari ada saja penikamat kopi yang datang ke tempat ngopi. Kedai kopi ini dirintis oleh Angga, Daniar, dan Fairus di Desa Karangbener yang sudah berdiri sejak Juni lalu. Kedai itu bisa menghasilkan 200 ribu rupiah hingga 300 ribu rupiah per malam. “Awalnya niat kami mendirikan kedai untuk menyuguhkan kopikopi lokal khas Kudus. Kami juga ingin memunculkan inovasi dengan kopi rasa buah,” papar Angga. [] Ishmah Nurini Risa Sofiyatun
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
31
W A W A N C A R A
Rudolf Puspa Lahir : Solo, Jawa Tengah, 29 Juni 1947 Riwayat Pendidikan : SD Pangudiluhur Bruderan Purbajan Solo, Jawa Tengah, (1953-1960), SMP Bintang laut, Solo, Jawa Tengah (1960-1962), SMA Negeri II, Margoyudan Solo, Jawa Tengah (1962-1966), Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Aktifitas Berkesenian : Mendirikan Studi grup Drama Jakarta (1967), Bersama L.K Ara mendirikan Teater Balai Pustaka (1968), Mendirikan Teater Keliling (1974
32
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
W A W A N C A R A
Membincang “Progres” Dunia Teater Oleh : Achmad Ulil Albab
J
auh sebelum istilah teater akrab di telinga masyarakat, sebenarnya embrio teater sudah lama ada di bumi Nusantara. Kasim Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu.
itu lakon-lakon ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka.
Memasuki era kemerdekaan, dinamika seni teater lika-likunya semakin menarik untuk disimak. Mulai dari pengekangan ide hingga ijin berbelit untuk sebuah Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional pementasan. di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan Teater hari ini daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsurKini seni teater telah mengalami kemajuan yang unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, pesat. Dukungan swasta dan pihak pemerintah yang sumber dan tata-cara dimana teater tradisional lahir. baik turut menghantarkan “progres” yang menjanjikan Macam-macam teater tradisional itu diantaranya bagi dunia teater negeri ini. Fasilitas selayaknya Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta yang dikelola lenong, wayang, ketoprak dan lain sebagainya. dengan profesional tentunya mampu mengangkat pentas Dalam perkembangannya seni teater ini menjadi teater menjadi tontonan edukasi yang menyenangkan. alat perjuangan, media komunikasi kritik sosial hingga Berikut petikan wawancara reporter Majalah ladang mencari uang. Di tahun 1920an misalnya, lakon Bebasari karya yang artinya kebebasan yang Paradigma dengan Pimpinan Yayasan Teater Keliling, sesungguhnya atau inti kebebasan, di tahun 1926 Rudolf Puspa. menjadi pelopor semangat kebangsaan. Di tahun-tahun
Salam Pak Rudolf. Menurut pengamatan anda bagaimana gambaran perjalanan kesenian teater di Indonesia selama ini ?
hingga kurang lebih 5 tahun tanpa proses pengadilan. Maka keadaan teater Indonesia pun pelan tapi pasti mati suri.
Di zaman orde lama Presiden Soekarno memiliki perhatian pada seni. Teater tidak mengalami penekanan dari pihak manapun. Kritik kemanusiaan bahkan yang cukup keras sekalipun, tidak ada halangan karena dijamin undang undang kebebasan berpendapat. Di zaman Suharto pada awalnya masih bebas, namun lama kelamaan terasa ada banyak kesulitan untuk pentas teater. Sebab terganjal aturan perizinan dari penguasa setempat melalui kepolisian atau laksusda yang jauh lebih berkuasa waktu itu. Bahkan ketika WS Rendra ditahan, waktu itu istilahnya “diamankan”
Jadi perjalanan teater modern Indonesia memang hingga saat ini masih mengalami jalan yang penuh lumpur. Belum banyak yang bisa dikatakan mampu benar-benar sepenuhnya hidup untuk dan dari teater. Istilahnya teater masih pekerjaan paruh hari. Dahulu teater seringkali bertentangan dengan ideologi pemerintah, mengapa begitu? Bagaimana anda melihatnya? Sebetulnya bukan bertentangan. Ideologi pemerintah adalah ideologi negara yakni pancasila. Seniman teater umumnya sejak
dulu juga menganut ideologi tersebut. Teater keliling sepanjang keliling selalu membawa misi gotong royong adalah inti dari pancasila. Sejak zaman perang kemerdekaan dimana sudah muncul teater modern seperti Grup Dardanela misalnya. Mereka sudah membawa pesan tersembunyi untuk mendorong semangat bangsa berjuang merebut kemerdekaan. Salah satu cerita yang terkenal adalah “Topan di Atas Asia” yang temanya melawan penjajahan di zaman Jepang. Kemudian para seniman di zaman orde baru yang dimulai oleh Rendra juga mengkritik kebijakan pemerintah. Bukan ideologinya tapi penyelewengan ideologinya. Kritik kemanusiaan sangat kuat PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
33
W A W A N C A R A
Belum banyak yang bisa dikatakan mampu benar-benar sepenuhnya hidup untuk dan dari teater. Istilahnya teater masih pekerjaan paruh hari.
di teater baik yang lama maupun yang modern. Lenong, Ketoprak, Ludruk sarat dengan kritik tentang keburukan sifat, sikap, karakter manusia. Konon Teater dulunya menjadi hiburan rakyat, bagaimana ceritanya? Masihkah itu bertahan sampai sekarang? Teater rakyat memang ada segi hiburannya, memang sifat menghibur akan lebih tepat sasaran dalam menyampaikan misi kemanusiaan. Teater sejak zaman dulu hingga sekarang tetap membawa misi pencerahan, penyadaran, pengingat keadaan baik buruk tentang zamannya. Apakah wayang kulit dan sebangsanya itu bukan sarat dengan filsafat kehidupan yang dipesankan? Kata sandiwara saja punya arti yang luhur yakni sandi yang diwarakan. Jadi hanya dari sikap pandang yang mungkin berbeda-beda dalam memaknai “hiburan”. Bagaimana anda melihat posisi teater di kalangan masyarakat luas, terutama desa? Apakah kini masih populer? Menyebut istilah teater di kalangan rakyat kecil pada umumnya kurang paham. Tapi kalau disebut sandiwara maka tidak asing lagi hingga ke pelosok desa. Di Sumatera utara sampai sekarang masih ada sandiwara bangsawan yang keliling. Ada pengalaman ketika teater keliling 34
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
manggung di Banjarmasin panita penyelenggara mengadakannya di dua tempat yakni di gedung dan di misbar (gerimis bubar) untuk film biasanya. Yang unik sebutan pertunjukkannya berbeda. Yang di gedung disebut pentas teater dan yang misbar disebut sandiwara. Kedua tempat punya penonton yang berbeda. Padahal apa sih bedanya teater dan sandiwara? Bagi saya sama saja karena memang mengerjakan sesuatu bentuk kesenian yang sama yakni seni pertunjukkan. Jadi sebenarnya teater atau sandiwara itu digemari rakyat dimanapun. Hanya karena jarang ada, maka rakyat seolah-olah tidak kenal. Beralih pada kualitas, bagaimana anda melihat komunitas dan seni pertunjukan teater kita? Ada pengertian yang cukup bagus walau sulit dilaksanakan yakni “seni dimulai ketika masalah teknis sudah selesai”. Sementara untuk menyelesaikan teknis menjadi pemain atau sutradara teater ternyata memerlukan waktu yang menurut Bolevslavsky bisa minimal 6 tahun. Itupun kalau tiap hari berlatih minimal 5 jam. Sekarang pertanyaannya, apakah grup-grup teater kita hari ini sudah melakukannya? Zaman orde lama dulu saya masih mengalami latihan tiap malam selama 4-5 jam padahal esok hari sekolah. Satu naskah cerita bisa empat sampai enam bulan latihan. Kini hal seperti itu terasa sangat berat. Dari
segi ekonomi juga teater hingga saat ini tidak menjanjikan. Hal ini menambah rumitnya menjadi pekerja teater profesional. Sebagai teladan adalah Rendra, yang hingga akhir hayatnya hanya berteater dan sanggup menerima kehidupan yang sangat berat. Namun ia selalu mengatakan jadikan kemiskinan sebuah kegagahan. Luar biasa hebat dan luar biasa sulit juga untuk diikuti. Jadi jika kehidupan teater modern Indonesia grafiknya semakin menurun dalam hal kualitas saya bisa memahami. Bagaimana anda melihat perkembangan teater kampus maupun sekolah? Stagnan. Pengelola teater kampus atau sekolah tiap tahun ganti. Kegiatannya juga rutin saja. Penerimaan anggota baru. Pelatihan dasar. Pentas dari anggota baru. Pentas ulang tahun teater. Pihak kampus tentu tak punya tanggung jawab dalam hal ini. Makanya tidak heran jika kebanyakan mulai dosen hingga rektornya jarang yang tertarik hadir menonton teater di kampusnya. Sebagai ilustrasi teater keliling tahun 1975 keliling seluruh kampus di Indonesia. Sambutan dan daya serap mahasiswa beserta para dosen hingga rektor sangat bagus. Teater keliling pentaskan karya Arifin C Noer yakni “Kapai Kapai”, Tahun 1993 kembali keliling kampus dengan naskah yang sama; namun 90 persen mahasiswa mengatakan naskahnya terlalu berat, sulit dipahami.
Itulah keadaannya dan apa yang harus saya katakan di sini ? Ini kenyataan pahit dan tanpa mencari siapa yang salah sudah seharusnya segera sistem pendidikan di Indonesia yang menyangkut kesenian harus ada perombakan besar-besaran. Salah satu penunjang kemajuan adalah fasilitas, bagaimana kriteria fasilitas yang layak? Lakukan perubahan sistem pendidikan dengan memasukkan kesenian menjadi mata pelajaran yang wajib. Sediakan ruang latihan khusus untuk teater sehingga kegiatan pelatihan teater mempunyai tempat yang layak. Jika mungkin buatkan gedung teater sederhana sehingga ada tempat untuk pentas di kampus atau di sekolah dengan penonton lingkungannya sendiri. Dulu Gubernur DKI Jakarta bang Ali Sadikin membangun balai rakyat di setiap kecamatan untuk kegiatan olah raga dan kesenian. Namun nasibnya kini merana dan kurang ada yang memanfaatkan. Salah satu contoh yang masih ada hingga sekarang adalah “banjar� di Bali yang ada di tiap kelurahan. Tiap hari penduduk dari yang balita hingga dewasa kumpul. Ada yang latihan menari, gamelan, diskusi dsb. Maka kesenian di Bali tetap hidup dan menjadi kebutuhan rakyat. Ditambah upacara keagamaan mereka juga membawa kesenian. Akhirnya seni dan agama menjadi satu kesatuan laku. Sebagai senior yang telah lama berkecimpung di dunia teater, apa harapan anda?
ISMAIL/PARADIGMA
Rudolf Puspa dalam pementasan Teater Keliling “Jas Merah dari Pulau Jawa� di Auditorium UMK Kudus, April 2016 lalu.
Galang persatuan pegiat teater di seluruh Indonesia. Selama ini masih ketinggalan dari kesenian yang lain. Saya menyadari bahwa seniman itu punya ego yang sangat kuat. Namun, Rendra sudah teriak dulu bahwa kelemahan teater kita adalah segi manajemen. Salah satu contoh yang layak ditiru adalah di dunia musik atau tarik suara. Setiap ada yang sakit maka berduyun-duyun membantu. Setiap ada yang konser maka berduyun-duyun datang nonton dan bayar tiket walau mahal. Bukan saling memuji namun memberi semangat untuk terus berkarya. Ini yang masih lemah di dunia teater. Masih ada terdengar saling merasa hebat sehingga untuk datang nonton saja tidak mau. Saya merasakan hal ini namun tetap mengirim undangan dan menerima dengan ikhlas bila tidak datang.[]
085-740-395-357
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
35
Nyanyian ;
Kode Etik untuk Para Pengkritik Oleh: Kholidia Evening Mutiara*
Penguasa...penguasa...berilah hambamu uang Beri hamba uang.. Beri hamba uang.. Ya.. andai kata dunia tak punya tentara Tentu tak ada perang yang makan banyak biaya Oh...ya andai kata tak punya tentara Tentu tak ada perang yang makan banyak biaya (Cuplikan Lirik, Pesawat Tempur-Album 1910, Iwan Fals, 1988)
Iwan
Fals memang layaknya pesawat tempur. Ia mahir bermanuver, menukik tajam bahkan menyamar dalam mengancam kuasa tiran. Lelaki yang bernama asli Virgiawan Listianto itu tak hanya menciptakan lagu sebagai penglipur. Tetapi juga sekaligus “suara lain� yang mengkritik habis Pemerintah orde baru (1966-1998) kala itu. Suaranya lantang nan merdu mengalunkan nada-nada kemiskinan, penindasan, amarah juga penentang kebringasan rezim. Saya rasa penilaian itu tidak hanya pendapat saya pribadi. Pasalnya, saya bahkan menemukan analisis mendalam tentang salah satu lagu gubahan Bang Iwan. Tulisan itu diunggah oleh Febrantoro di blog pribadinya dengan judul Analisis Kritis Mengenai Ideologi Dalam Lagu 36
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Pesawat Tempur Karya Cipta Iwan Fals. Dalam analisisnya, Febrantoro mencoba memaknai satu per satu dari lirik lagu yang saya cuplik diawal tulisan ini. Menurutnya, dalam hidup tidak bisa kita mungkiri bahwa segalanya berbasiskan uang. Kalau saja aku bukanlah penganggur sudah kupacari kau, lirik tersebut seakan menggambarkan betapa menjadi pengangguran bisa memutuskan harapan. Bahkan sekadar harapan asmara dan percintaan. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan materi adalah segala-galanya. Problemnya adalah bagaimana kita mengatasi pengangguran? Ironinya, pemerintah tetap bungkam menanggapi masalah tersebut. Maka jangan salahkan jika rakyat terpaksa harus menodong dengan lirik selanjutnya, berilah hambamu uang. Atau jika kita melihatnya lebih dalam, rakyat bukan hanya menuntut se-abrek uang, akan tetapi sebuah rutinitas penghasil uang. Demikian agar para pengangguran itu lepas dari “jabatan� yang tak menghasilkan. Pada bait selanjutnya Febrantoro menuliskan bahwa Bang Iwan sedang menorehkan kelihaian imajinasinya.
Andai kata dunia tak punya tentara//tentu saja tak ada perang yang banyak makan biaya//andai kata dana perang untuk diriku// tentu saja kau mau singgah//bukan Cuma tersenyum. Lirik yang terasa seimbang dengan sebab akibat yang berujung pada tercapainya tujuan. Maksudnya, dengan pilihan diksi itu Bang Iwan menandaskan bahwa kritikan juga bisa dibalut dengan hiburan. Bila kita amati, itu bukan sekadar ungkapan puitik biasa, tapi lebih tepat menggambarkan emosi penyair karena nasib yang menimpanya tak kunjung berubah. Kiranya bisa terlihat betapa luapan emosinya serasa meledak-ledak, hingga tentara pun ingin ditiadakan. Terlebih dalam lirik dibawahnya terdapat bayang-bayang senyum seorang Westerling. Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum//Kalau hanya senyum yang engkau berikan// Westerling pun tersenyum. Menurut Febrantoro lirik tersebut merujuk pada kekejaman Kolonel Westerling yang digambarkan seorang kapitalis yang benar-benar menindas rakyat kecil. Senyum di situ bisa diartikan sebagai tindakan yang ramah, namun sebenarnya menusuk dan mematikan. Sebab,
*) Penulis adalah pecinta sastra di Paradigma Institute Kudus
kalau hanya senyum (tidak melakukan perubahan) yang engkau berikan, di situlah saat Westerling pun tersenyum (dengan kekejaman tetap mengakar). Begitulah memang kritik ala Bang Iwan. Melalui sebuah lagu yang ditambatkan pada kehidupan muda-mudi yang dilanda asmara, pemberontakannya disampaikan. Sebuah memoar yang unik dan sahsah saja saya kira. Analogi, majas, metafora memang diperlukan dalam menyampaikan kritik. Itu bahkan nampak luar biasa jika mampu dikolaborasikan dengan seni dan hiburan. Demikian itu lebih bermakna dan tidak menimbulkan dampak negatif yang luas. Dibandingkan dengan ketika kritik itu kita sampaikan secara gamblang, apalagi dengan kata kasar, aksi turun ke jalan dengan merusak tatanan, bahkan anarkhi dan penuh ambisi. Sebenarnya, bagaimana pun bentuk kritikan itu boleh jadi bisa diterima. Apalagi kita dilindungi UUD No. 40 tahun 1999 tantang perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan berpendapat. Namun, tetap saja ini kembali pada persoalan etika bernegara. Yaitu sikap saling menghargai, saling menghormati, tenggang
rasa, senasib, seperjuangan dan persaudaraan sebagai anak dari ibu pertiwi. Bang Iwan, lewat lagu-lagu gubahannya, telah mencontohkan cara menyampaikan aspirasi dan kritikan yang beretika. Ia menyusun kode-kode khusus dengan analogi kehidupan yang romantis sampai yang berbau komedi. Tragedi kemanusiaan, perlawanan kepada tiran ia sampaikan dengan sopan bernada hiburan. Hasilnya, ia tetap bertahan sebagai orang yang dielu-elukan. Lagulagunya dikenang ; Lonteku, Bento, Wakil Rakyat, Oemar Bakri dan masih banyak lagi hingga kini banyak terngiang. D e m i k i a n kritiknya tetap tersampaikan lewat “kode etik� yang ia ciptakan. S a m p a i disini, saat b a n y a k kecanggihan teknologi dan informasi terus berkembang,
tatkala dunia tak lagi tersekat jarak, pilihan tersedia dengan masingmasing konsekuensi. Apakah kita tetap mengkritik dengan kebebasan dan akhirnya timbul sengsara?, atau kah memilih jalan etika dalam menyampaikan wacana?. Semua ada di tangan kita. []
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
37
PROFIL
Edy Supratno; Peduli Sejarah dan Dongeng Nama : Edy Supratno TTL : Asahan (Sumatera Utara), 24 Maret 1975 Istri : Dwi Yuli Astuti Anak : 1. Orion Bima Wicaksana 2. Radian Pasha Bimantara
Pendidikan : 1. SD Negeri 010223 Sei. Suka 2. SMP Alwashliyah Bandar Tinggi 3. MA Alwashliyah Bandar Tinggi 4. S1 Komunikasi Penyiaran UNSIQ Wonosobo 5. S2 Sejarah UNDIP Semarang Pekerjaan : 1. Wartawan Jawa Pos Radar Kudus 20032008 2. Dosen Ilmu Jurnalistik di Universitas Muria Kudus tahun 2004-2009 3. Anggota Komisi Pemilihan Umum Kudus periode 2008-2013 Karya : 1. Kado untuk Bapak (2013) buku yang bercerita kisah hidup bapak dari Edy Supratno. 2. Ulang Tahun Terakhir (2013) buku hasil tesis yang menceritakan ultah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terakhir. 3. Djamhari Penemu Kretek (2016) buku yang mengungkap sosok Djamhari yang oleh sebagian orang dianggap mitos pada awalnya.
38
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
S
uasana nyaman dan menyenangkan tentunya mampu memompa gairah belajar anak-anak. Dengan begitu, anak akan menangkap pelajaran dengan mudah. Salah satu upaya mewujudkannya adalah melalui metode mendongeng. Hal itu seperti yang kami rasakan saat berkunjung, Senin (3/10). Anak-anak terlihat bahagia memainkan holahop bersama. Memang, di Omah Dongeng tak hanya pelajaran sekolah yang diajarkan. Berbagai kegiatan yang dapat mengasah bakat anak pun dikenalkan. Kegiatan demikian tak lain adalah rancangan ide dari salah satu pendirinya, Edy Supratno. Edy, begitu sapaan akrabnya, pria yang lahir di Asahan Sumatra Utara ini lebih dikenal sebagai seorang sejarawan. Baginya, pendidikan memang menjadi satu hal yang wajib diperjuangkan. Hal itu tak luput dari kisah pribadinya. Lika-liku perjalanannya dalam pengetahuan mampu menghantarkannya pada kesuksesan, yang terkenang dalam bukunya Kado untuk Bapak; buku pertama yang menceritakan kisahnya. Waktu itu, tekadnya yang begitu kuat membuat ia memutuskan untuk merantau ke Wonosobo, meninggalkan tanah kelahirannya Sumatera Utara. Dengan berbagai keterbatasan yang dimilikinya, ia berjuang melanjutkan pendidikan di Universitas Sains Al Qur’an (UNSIQ) Wonosobo. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran menjadi pilihannya. Selesai dari UNSIQ, ia melanjutkan karir menjadi wartawan hingga tahun 2008 dan pernah juga menjadi dosen di bidang Ilmu Jurnalistik di Universitas Muria Kudus. Pria yang juga komisioner KPU Kabupaten Kudus ini, aktif menggerakkan anak muda untuk
mengenali sejarah. Sejak dua tahun yang lalu, Edy menjadi pembimbing Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank). Jenank merupakan sebuah komunitas untuk belajar mengenal sejarah bagi generasi muda, khususnya sejarah di Kota Kudus sendiri. Kecintaannya akan dunia sejarah pada akhirnya mengantarkan suami Dwi Yuli Astuti ini menempuh studi Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro Semarang. Penelitiannya tentang asal usul H. Djamhari yang disebut-sebut sebagai tokoh penting penemuan kretek, membuktikan kerja kerasnya sebagai sosok sejarawan yang konsen terhadap disiplin ilmunya. Hingga membuktikan bahwa sosok Djamhari bukan tokoh fiksi. Berawal dari situlah ia melahirkan buku yang tentunya sudah lama dinantikan dunia kretek tanah air, “Djamhari Penemu Kretek : 100 tahun sejarah yang terpendam dan lika-liku pencariannya�. Sebuah buku yang menjawab nyinyiran orang tentang tokoh Djamhari yang dianggap hanya dongeng saja. Bidang yang digelutinya tersebut juga menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya ide dengan konsep mendongeng dalam kegiatan belajar. Karena menurutnya, sejarah atau cerita itu asyik apalagi jika diwujudkan dalam kegiatan mendongeng, terutama bagi anak-anak.
Sejak dua tahun yang lalu, Edy menjadi pembimbing Jaringan Edukasi Napak Tilas Kabupaten Kudus (Jenank).
Sejarah Marwah Kehadiran Omah Dongeng Marwah tidak lepas dari peran empat sekawan, Hasan Aoni Aziz, Edy Supratno, Zamhuri Farih Lidnillah dan Galih Manunggal. Edy lah yang mempunyai gagasan yang tertuju pada pendidikan, sehingga muncul ide untuk PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
39
membuka wahana Omah Dongeng. “Sejarah berdirinya Marwah awalnya hanya menginginkan tempat untuk menyimpan arsip data penelitian, sekaligus tempat yang enak untuk sekadar berkumpul dan berbincang-bincang,” jelas Edy. Marwah sendiri singkatan dari Masyarakat Reksa Warisan Berharga. Maksudnya, Omah Dongeng diciptakan untuk menjadi wadah bagi anak-anak belajar dengan cara yang menyenangkan. Omah Dongeng Marwah yang beralamat di Desa Purworejo, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus ini mulai dirintis pada tahun 2014. Semenjak itu, kemudian dibuka acara workshop mendongeng pada Bulan Desember 2014 yang diikuti oleh kurang lebih 20 orang. Kegiatan tersebut dibuka untuk umum, meski tak lain juga sebagai ajang pencarian pengajar yang dibutuhkan. “Peserta workshop kebanyakan memang belum bisa mendongeng. Jadi, para calon pengajar awalnya harus ikut latihan. Yang penting 40
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
ada tekat yang bulat, seperti saya yang saat itu juga belum bisa mendongeng,” tutur Edy dengan tawa kecilnya, mengingat masa-masa awal perjuangannya mendirikan Omah Dongeng Marwah. Mengembangkan Potensi Meskipun bukan lembaga pendidikan formal, keberadaan Omah Dongeng Marwah sudah diakui oleh notaris setempat. Konsep seperti kelompok belajar yang diterapkan di Marwah lebih menekankan pada aspek kenyamanan pada anak didik. Di tempat tersebut, diharapkan anak bisa menggali dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Praktisnya, kurikulumnya dibuat sederhana. Sebelum kelas dimulai, anak-anak bebas beraktivitas. Misal baca buku, mengakses internet, ataupun hanya bermain dengan teman-temannya. Sesaat sebelum kelas dimulai, anak-anak bersama pendamping menyirami tanaman. Saat ini tanamannya
cabai. Kemudian baru masuk kelas lalu mendongeng seperti yang sudah terjadwal, baik anak maupun pendamping. Anak-anak Omah Dongeng juga diajari bermain peran, menceritakan sejarah yang kemudian dibuat sebuah film. Karyanya saat ini pun tak sedikit, dan sudah di-up load di youtube. Pelaksanan pengajaran tak sepenuhnya satu minggu, di hari-hari yang sudah disepakati bersama. “Kelas diadakan tiga kali dalam seminggu, yakni Senin, Kamis dan Sabtu. Anak-anak mulai berkumpul pukul 15.30 dan acara baru selesai jam 17.30. Khusus untuk hari Senin, setelah mendongeng diajari menyanyi,” pungkasnya.[] Qurratun A’yun
40
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
41
42
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
43
Sisa-sisa kejayaan Benteng Portugis di masa lalu, nampak pagar yang tersusun dari bebatuan masih kokoh berdiri dengan meriam yang menghadap ke selat Mondoliko.
44
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
P
agi itu udara terasa cerah. Kami berwisata ke Jepara. Tempat wisata yang syarat nilai sejarah dan dianggap mistis oleh sebagian orang. Tempat yang kami tuju adalah pantai Benteng Portugis. Mengendarai sepeda motor, crew Paradigma menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih. Memasuki daerah Keling, kami disuguhi pemandangan istimewa yang menyejukkan mata. Hamparan perkebunan karet di sisi kanan dan kiri jalan. Pada Ahad (25/9) cuaca panas. Saat melewati perkebunan tersebut hawanya menjadi sejuk dan adem. Ditambah jalan berkelok-kelok dan sedikit tanjakan, membuat perjalanan menuju wisata bersejarah di Kabupaten Jepara kian mendebarkan. Setelah menyusuri hamparan perkebunan karet, jalanan aspal yang tak halus menyambut kami, tepatnya setelah masuk daerah Sambung Oyot. Perjalanan terus kami lanjutkan, melewati Desa Tulakan. Sebuah desa yang mempunyai tradisi unik yaitu “Jembul� (Baca Majalah Paradigma edisi 29, hlm 56). Kemudian masuk Desa Bandungharjo dan akhirnya sampai juga di Benteng Portugis salah satu obyek wisata andalan di Jepara. Secara administratif, kawasan Benteng Portugis ini berada di wilayah Desa Banyumanis Kecamatan Donorojo. Sekitar 45 km dari pusat Kota Jepara yang berbatasan dengan Desa Ujungwatu. Berdasar catatan sejarah dibangun sekitar 1600-an, karena PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
45
pada masa itu sudah berdiri kerajaan Demak dan Kota Batavia (Jayakarta). Benteng ini dibangun oleh Portugis untuk melindungi kepentingan dagang mereka yang bersaing dengan Belanda untuk mengeruk rempah-rempah di Jawa. (Tribunnews.com, 05/12/2015) Di kanan-kiri jalan sebelum gerbang masuk pantai Benteng Portugis pemandangannya kembali memanjakan mata. Lukisan alam berupa hamparan sawah, perkebunan, Gunung Genuk, dipadu padankan dengan indahnya rimbun tanaman. Dari kejauhan kita bisa melihat pulau kecil, Mandalika namanya, atau disebut juga Mandaliko. Benteng Portugis terletak di bukit kecil yang menghadap langsung ke laut lepas. Akses menuju benteng peninggalan Bangsa Portugis ini berupa jalan menanjak dan berliku, juga berjajar pepohonan besar yang umurnya mencapai ratusan tahun. Di sekitar bangunan benteng disediakan area parkir untuk pengunjung, serta gazebo dan tempat duduk untuk bersantai. Pengunjung dapat berjalanan mengelilingi bukit, menyusuri pantai melalui jalan paving. Kita bisa melihat deburan ombak yang menghempas bebatuan, serta memandangi pulau kecil Mandalika. Dari jalan paving pengunjung dapat naik menuju benteng melalui tiga jalur, berupa jalan setapak menanjak berbentuk tangga dari bahan beton. Benteng ini hanya menjadi 46
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
tempat singgah beberapa tahun saja. “Banyak orang Portugis yang meninggal secara tidak wajar,� jelas Sumarni warga Desa Ujung Watu. Gangguan itulah yang menjadi alasan bangsa kulit putih ini bergegas untuk angkat kaki. Di kaki bukit sisi sebelah barat terdapat dua buah bangunan, yaitu tempat mengintai musuh dan pintu terowongan ke atas menuju meriam utama di dalam benteng. Rencananya pintu terowong ini dalam waktu dekat akan dibuat oleh Dinas Kepurbakalaan Provinsi Jawa Tengah untuk dapat dinikmati wisatawan. Mitos Siluman Konon di selat antara Benteng Portugis dengan Pulau Mandalika terdapat pusaran air
Salah satu keunikan Pantai Benteng Portugis adalah batu karangnya yang ada di bibir pantai. Selain mitos siluman Bajul Putih, konon menurut cerita orangorang tua, di sela-sela batu karang itu ada hewan Yuyu Gotho dan Ulo Lempe.
laut. Pusaran air laut itu adalah pintu gerbang Keraton Luweng Siluman yang dirajai oleh Bajul Putih. Dalam kitab “Babad Donorojo� disebutkan dulunya siapa saja yang melewati pintu gerbang Keraton Luweng siluman pasti akan tersedot ke dalam, terutama bangsa kulit putih. Terlepas dari mitos yang terus berkembang dari mulut ke mulut, nyatanya pantai Benteng Portugis menawarkan keindahan yang patut dikunjungi siapa pun untuk menghilangkan penat, misalnya. Setidaknya itu yang kami rasakan ketika memasuki kawasan pantai ini, semilir angin yang segar. Pepohonan yang teduh semakin menambah betah untuk berlama-lama bercengkrama dengan kawan. Banyak juga pengunjung yang mengabadikan perjalanannya dengan selfi dan berfoto bersama rombongan. Pantai ini patut masuk list liburan Anda. Benteng Portugis memiliki panorama alam yang indah sehingga mampu memikat para pengunjung yang gemar berfoto, dibangunnya pintu gerbang berwarna kuning semakin mempertegas pantai Benteng Portugis sebagai venue berfoto paling asyik, terutama para remaja.[] Sari Rahmawati
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
47
MENU KHUSUS
Berbahasa Butuh Praktik dan Dukungan Seiring perkembangan zaman dan arus globalisasi, kecakapan bahasa asing telah menjadi salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, Bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa asing yang penting untuk dikuasai. Mengingat posisinya sebagai bahasa internasional yang resmi digunakan dalam pergaulan global.
A
da empat aspek yang harus dikuasai dalam memahami bahasa. Yakni membaca, mendengarkan, menulis dan berbicara. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mempelajari bahasa. Selain mempelajari teorinya, yang tak kalah penting adalah mempraktikkannya. “Kuncinya berbahasa itu dipraktikkan untuk mengingat teori,” kata Setyoningsih, dosen Bahasa Inggris, Rabu (19/10). Selain praktik, bahasa juga perlu digunakan dalam sehari-hari. Artinya, perlu ada pembiasaan agar apa yang telah dipelajari bisa melekat dalam ingatan. Namun, kenyataannya yang terjadi sekarang jarang yang membiasakan diri berbahasa asing. Misalnya, dalam suatu mata kuliah bahasa, belum tentu proses pembelajaran berlangsung dengan bahasa tersebut. Selain dari mata kuliah bahasa yang dipelajari di semester awal, perlu adanya keberlanjutan agar penguasaan bahasa asing menjadi semakin baik. Hal tersebut yang kemudian menjadi tantangan berbagai pihak. “Selain mengajar, juga menumbuhkan semangat berbahasa,” terang Setyoningsih yang juga menjadi pembina UKM STEC (STAIN English Club). 48
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Selain Bahasa Inggris, penguasaan Bahasa Arab juga perlu. Mengingat hampir semua literatur keislaman berbahasa Arab. “Perlu pemahaman Bahasa Arab, untuk mempelajari literatur ilmuan muslim,” jelas Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Ahmad Hamdani, Jumat (21/10). Baik Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris dianggap sama sebagai ilmu pengetahuan. Mempelajarinya pun sama caranya, yaitu dengan dipraktikkan. Ditemui di kantornya, alumnus Al-Azhar Kairo ini menjelaskan, belajar berbahasa itu tidak hanya teori. “Masalahnya kita masih belajar tentang bahasa, bukan berbahasa,” sesalnya. Ruang Berbahasa Minhajul Abror, mahasiswa PBA menyayangkan fasilitas untuk berbahasa di STAIN Kudus masih kurang. “Kebijakan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa yang seharusnya ada adalah area berbahasa, tapi masih belum jalan,” jelas mahasiswa semester tujuh ini. Jurusan PBA pada tahun 2015 pernah melaksanakan aturan area berbahasa Arab di gedung J Kampus
Timur. Namun, hanya beberapa saat dijalankan. Minat dari mahasiswa sendiri masih minim karena mereka merasa canggung ketika berbahasa Arab. “Rasa minder bertambah ketika tak ada yang memulai,” terang Abror yang juga Ro’is ‘Am UKM Al-Izzah itu. Saat ini, sudah ada organisasi intra kampus yang dapat menjadi media belajar bahasa asing, yakni, UKM STEC dan Al-Izzah. Keduanya memberikan ruang bagi mahasiswa untuk belajar rutin mingguan. Tadribul usbu’ atau tutorial berbahasa Arab mingguan dan tutorial weekend bagi yang ingin belajar Bahasa Inggris. Mulai dari mufrodat atau verb (kosa kata), jumlah atau sentence (kalimat), muhadatsah atau conversation (percakapan) disampaikan saat pertemuan. Baik UKM Al-Izzah maupun STEC, lebih memfokuskan ke anggota
SPEAK ENGLISH, PLEASE NO ENGLISH, NO SERVICE
Ruang tengah Kajur Tarbiyah Kampus Barat STAIN Kudus merupakan zona Bahasa Inggris. Tempat ini seharusnya ketika semua orang masuk harus menggunakan Bahasa Inggris saat berkomunikasi. Seperti yang tertera dalam tulisan “tidak berbahasa Inggris tidak mendapat pelayanan”. untuk praktik bercakap-cakap. Sebagai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran berbahasa, UKM Al-Izzah juga mengagendakan tadribul khos. Kegiatan itu dilakukan setiap bulannya untuk memberikan pelatihan bagi mudarrib (tutor). Kendala minder saat berbicara bahasa asing juga dialami STEC. “Upaya kami adalah dengan cara memaksimalkan program-progam yang sudah ada. Yakni, tutorial weekend dan english area,” jelas Junaidi, Manajer UKM STEC. English area STEC berada di gedung UKM lantai satu yang juga difungsikan kantor UKM Bahasa Inggris ini. Meski tak setiap hari berbahasa Inggris secara penuh, kantor tersebut secara penuh menggunakan Bahasa Inggris dalam waktu tertentu. “Full english, kalau teman-teman sedang berkumpul dan langsung menentukan berapa lamanya,” papar Manajer yang
kerap disapa mister Juned. Berlaku untuk semua Ruang berbahasa di STAIN Kudus tidak hanya diciptakan mahasiswa melalui UKM. Pegawai maupun dosen juga menciptakan ruang berbahasa untuk meningkatkan kualitas berbahasa. Di ruang UPB (Unit Pengembangan Bahasa) misalnya, memilih hari Jumat untuk berbahasa Inggris. Selain itu, dosen Bahasa Inggris yang ada dalam satu ruang di Jurusan Tarbiyah juga menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi. English zone begitu sebutan yang tertulis sebelum memasuki ruang Dosen Jurusan Tarbiyah. Area Inggris yang sudah dua tahun itu dijalankan agar bisa tetap menjaga pengucapan Bahasa Inggris dari kealpaan. “Ruang ini sebagai upaya kita membiasakan berbahasa Inggris,” terang Suciati salah satu
dosen di ruang tersebut. Namun, area tersebut tak mengharuskan setiap yang datang untuk berbahasa Inggris. Suci menjelaskan, karena tidak semua yang datang bisa berbahasa Inggris. Komitmen ke depan, jika Tadris Bahasa Inggris sudah dibuka akan lebih kuat lagi. Ruang ini akan pelan-pelan mengharuskan yang datang untuk berbahasa Inggris. “Sekarang, yang masuk belum mahasiswa Tadris Bahasa Inggris, jadi masih menyesuaikan,” jelasnya. Meski ruangan dosen, english zone terbuka untuk dosen lain, mahasiswa maupun pegawai yang ingin belajar Bahasa Inggris. “Siapa pun yang datang, kami terbuka untuk saling belajar berbahasa Inggris,” pungkas Suci.[] Ismah Nuraini
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
49
MENU KHUSUS
STAIN Kudus ; Sadar Sarana Belajar Bahasa Asing
T Selamat atas diturunkannya prodi Tadris Bahasa Inggris, Tadris IPS, Tadris Matematika, dan Tadris Biologi. Banner berukuran cukup besar itu terpasang rapi di depan kampus STAIN Kudus. Memberitahukan kepada setiap khalayak bahwa sarana belajar berbahasa asing di STAIN Kudus telah bertambah.
50
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
urunnya Program Studi (Prodi) Tadris Bulan Maret lalu, merupakan bukti bahwa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus tanggap terhadap kebutuhan pasar global. Perkembangan pendidikan saat ini tak dapat dilepaskan dari penguasaan bahasa asing. Banyaknya literatur rujukan yang berbahasa asing untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, maka harus mengerti apa yang dibahas di dalamnya. Hal ini mengharuskan untuk dapat menguasai bahasa tersebut. Selain akan dijalankannya Prodi Tadris pada tahun ajaran depan, program-program penguasaan bahasa asing sudah diberlakukan. STAIN Kudus memberikan mata
kuliah bahasa asing. Mata kuliah yang diberikan adalah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, yang dapat diambil pada semester satu dan dua. Mencakup aspek membaca untuk mata kuliah reading (Bahasa Inggris) atau qiro’ah (Bahasa Arab), aspek menulis menyakup materi grammar atau qowaid, sedangkan untuk aspek mendengarkan dan berbicara terdapat dalam praktikum bahasa. Sebagai penunjang program penguasaan tersebut, pihak Unit Pengembangan Bahasa (UPB) STAIN Kudus memberikan buku pegangan untuk setiap mahasiswa. Buku panduan tersebut diberikan dalam mata kuliah praktikum bahasa. Dalam penuturan Zaimatus
Sa’diyah Kepala UPB STAIN Kudus mengatakan bahwa buku tersebut disusun oleh dosen yang berkompeten dalam bidang bahasa, dengan dikoordinir langsung oleh pihak UPB. Penjagaan kualitas isi buku selalu diperhatikan. Selain pembaharuan isi, pihak penyusun juga selalu berupaya mencari referensi terbaik dari berbagai sumber. “Buku panduan sendiri di-upgrade dua sampai tiga tahun sekali, dengan pertimbangan dari banyak dosen agar tetap fresh. Selain ide dari penyusun, buku panduan juga mempertimbangkan materi dari buku panduan universitas lain,” ungkap Zaimah. Setyoningsih, dosen Bahasa Inggris, mendukung adanya buku panduan tersebut. “Dengan adanya panduan atau buku pegangan, mahasiswa akan lebih mudah mengingat. Jika sewaktu-waktu lupa dengan materi yang ada, maka dapat mengulang kembali materi dengan membuka panduan yang telah dimiliki,” tuturnya. Dosen yang juga menjabat sebagai sekretaris Jurusan Tarbiyah ini berpendapat, penyajian buku masih relatif sederhana. Jadi peran dosen sangat dibutuhkan agar menarik minat belajar mahasiswa. “Penyajian dalam buku sangatlah sederhana, ini tergantung dengan dosen yang menggunakannya. Bagaimana dosen untuk mengemas pembelajaran agar terkesan menarik perhatian mahasiswa saat pembelajaran berlangsung,” ujarnya. Usaha STAIN Kudus dalam memfasilitasi pembelajaran penguasaan bahasa asing ini ditanggapi beragam mahasiswa. Dengan kesadaran dari dalam diri mahasiswa mengenai pentingnya penguasaan bahasa asing.
Buku panduan sendiri di-upgrade dua sampai tiga tahun sekali, dengan pertimbangan dari banyak dosen agar tetap fresh. Selain ide dari penyusun, buku panduan juga mempertimbangkan materi dari buku panduan universitas lain
Hilma Wahidaty (20), memaparkan mengenai kebutuhan berbahasa. Meskipun sekarang sudah tidak mendapat mata kuliah Bahasa Inggris, namun dirinya masih tetap mempelajarinya. Bahkan mempunyai guru Bahasa Inggris sendiri, sehingga ia mempunyai target setelah lulus kuliah harus mahir berbahasa Inggris. “Mampu berbahasa dengan baik merupakan kebutuhan, biasanya saya belajar bersama dengan orang yang lebih mahir berbahasa Inggris,” ungkapnya. Mahasiswi jurusan Tarbiyah PAI semester 5 ini juga memiliki cara khusus ketika ingin menambah ilmu bahasanya. Biasanya ia mendengarkan lagu-lagu yang berbahasa asing. Dibalik semua usaha yang dijalani selama ini, ia mengaku masih memiliki persoalan. Lingkungan yang kurang mendukung terkadang mengerutkan langkahnya Namun masih saja ada sebagian mahasiswa yang belum
memiliki orientasi yang jelas. Mahasiswa hanya beranggapan bahwa berbahasa itu sebatas mendapatkan nilai saja. Ini sesuai yang diungkapkan oleh salah satu mahasiswa Prodi PAI semester tiga yang tidak ingin disebut namanya. Banyaknya aspek yang dibutuhkan dalam mata kuliah bahasa asing, mengakibatkan mahasiswa hanya berorientasi pada nilai saja. “Yang penting lulus mata kuliah dengan nilai yang baik,” ucapnya. Ia juga merasa riskan saat mahasiswa hanya mengejar nilai berindeks A (sempurna). Sehingga akan melupakan hal penting berupa kelanjutan kemampuan berbahasa yang begitu penting. Mahasiswa harus sama-sama sadar ketika ingin memiliki peluang ahli berbahasa, apalagi di STAIN sendiri memiliki perhatian lebih di bidang bahasa.[] Hidayatus Syarifah Salma
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
51
MENU KHUSUS
Fasilitas Penunjang Mahir Berbahasa Asing
M
engingat kemajuan global sekarang semakin meningkat, membuat penguasaan bahasa asing diperlukan oleh masyarakat, utamanya para akademisi. Menunjang hal itu Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus sekarang menyediakan LIPI Corner untuk memudahkan akses portal jurnal internasional. Fasilitas kampus yang kian hari bertambah menjadi sorotan banyak pihak. Ketersediaan akses literasi dunia yang ada juga perlu didukung dan diimbangi dengan sumber daya manusianya. Dua tahun silam, STAIN Kudus behasil membangun kerja sama dengan pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kerjasama itu berkaitan dengan adanya upaya untuk meningkatkan mutu penelitian dan jurnal di lingkungan STAIN Kudus. Lembaga tersebut menyediakan jurnal elektronik dari penelitian seluruh dunia atau jurnal internasional di bawah Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi 52
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
(Kemenristekdikti) di Jakarta. LIPI Corner di STAIN Kudus telah diresmikan Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin pada Sabtu, 29 Oktober 2016. Peresmian tersebut bersamaan dengan diresmikannya Kantor Urusan Internasional (KUI) dan wisuda STAIN Kudus yang ke XXI. LIPI Corner diharapkan bisa mempermudah dosen maupun mahasiswa dalam memperkaya literatur dan ilmu pengetahuan. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) STAIN Kudus Ekawati Rahayu Ningsih menjelaskan, satu tahun pertama setelah peresmian adalah masa uji coba pengunaan LIPI. Jika nanti memang satu tahun tesebut dirasa tepat guna dan tepat sasaran, maka hak akses akan ditambah pada tahun 2017. Karena sekarang masih dibatasi sebanyak 10 IP atau 10 unit komputer per hari untuk mengakses junal LIPI. Lebih dari itu akan dikenakan warning (peringatan) dari LIPI. Adanya pemangkasan dana untuk Perguruan Tinggi dari
pemerintah, maka STAIN Kudus baru bisa menyediakan dua perangkat komputer yang disepakati untuk mengakses ke LIPI sebagaimana telah tercantum dalam Memorandum of Understanding (MoU). Ekawati mengungkapkan adanya upgrade password setiap harinya, agar LIPI Corner dapat diakses secara merata. Untuk meng-upgrade password hanya dapat dilakukan pada ruang khusus LIPI Corner. Tetapi, untuk mengaksesnya dapat dimana saja dan jurnalnya diunduh sesuai kebutuhan. Mengatasi keterbatasan tersebut, lanjut Ekawati, dalam portal LIPI juga terdapat aplikasi Indonesian Scientific Journal Database (ISJD)
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifudin yang hadir pada wisuda Oktober lalu. Di samping menyampaikan orasi ilmiah, Ia juga meresmikan beberapa fasiltas baru di antaranya Kelas Internasional dan LIPI corner. foto: doc.STAIN
atau Database Jurnal Ilmiah Indonesia yang menyediakan jurnal nasional dan tidak ada batasan untuk hak akses. “Jadi, berapa pun akademisi yang ingin mengakses ISJD tidak ada batasan jumlah,” tuturnya. “Jurnal yang ada di ISJD pun tidak kalah mutu dengan jurnal internasional. Jurnal di ISJD juga ada yang berbahasa Inggris. Jadi jurnal nasional rasa standar internasional,” ungkap Ekawati. Dengan adanya LIPI Corner di STAIN Kudus akan menambah fasilitas yang dibutuhkan oleh para akademisi. Karena hal tersebut merupakan salah satu upaya STAIN Kudus untuk meningkatkan kualitas
literasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan,” tambah Ekawati. Wakil Ketua I STAIN Kudus Saekhan Mukhit menjelaskan, keberhasilan berbahasa disebabkan oleh beberapa faktor, baik motivasi, lingkungan dan semangat mahasiswa itu sendiri dalam berlatih. Karena penguasaan bahasa itu bukan ilmu tetapi keahlian yang perlu berlatih terus menerus untuk dapat menguasainya. “Upayakan secara masif selalu praktik bahasa asing, pelatihan TOEFL dan lainnya. Karena bahasa asing sangat diperlukan bagi mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa. Apalagi beasiswa luar negeri yang sangat membutuhkan
penguasaan bahasa,” tutur Saekhan. STAIN Kudus, lanjut Saekhan, merupakan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) terbaik ke 4 dari 55 Perguruan Tinggi di Indonesia. Artinya STAIN Kudus mampu mengalahkan beberapa UIN yang lain. Maka ini menjadi tantangan bersama, utamanya mahasiswa, seberapa bisa mahasiswa kita membuktikan kemampuannya di kancah nasional maupun internasional sekarang. [] Siti Rokhimah
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
53
KOLOM
Rakyat Miskin Selamanya Kalah ! alam sebuah film barat berjudul Antz, Lucas Nickle, seorang anak kecil suatu saat merusak sarang semut yang terdapat di halaman rumahnya dengan semburan air. Padahal di dalam sarang tersebut terdapat kehidupan makhluk lain yang menginginkan kedamaian. Apa yang dilakukan Lucas membuat koloni semut marah, yang akhirnya ratu koloni semut membuat ramuan magis yang bisa mengecilkan makhluk besar. Saat Lukas tidur, segerombolan semut ditugaskan untuk menculik Lucas dan membawanya ke rumah koloni semut. Dengan bantuan ramuan yang telah dibuat, akhirnya Lucas menjadi kecil seukuran semut. Lucas tidak tahu bagaimana makhluk sekecil semut pun membutuhkan kedamaian hidup. Film itu memang tak nyata, tapi mengajarkan bagiamana semua makhluk ingin diperlakukan adil. Jika tidak, akan berontak. Tapi pemberontakan bisa dilakukan dengan segala cara. Yang punya kuasa, bisa frontal. Bergerak sendiri atau mengerahkan massa. Tapi bagi rakyat jelata (miskin), pemberontakan hanya bisa dengan grundel. Sepertinya, memang hanya itu yang bisa dilakukan, jika tidak ingin dibilang takdir. Kondisi itu tergambar jelas dari riwayat panjang negeri ini. Pada massa penjajahan, rakyat 54
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
jelata tidak bisa memilih yang diinginkan. Ingin memberontak tapi tak kuasa. Di tengah-tengah hak yang ditenggelamkan dalamdalam. Negeri ini benar-benar sudah rusak. Dirusakkan oleh tangantangan kejam tak bertanggung jawab. Dengan bebas menurunkan pedang yang tajam. Menggores dan meneteskan darah dimana-mana. Sedikitpun nurani tak pernah ada pada setiap pasang mata. Hanya kekuasaan yang tertancap pada hati dan pikiran. Mau tidak mau mereka harus mematuhi apa yang diperintahkan. Sistem tanam paksa secara perlahan diterapkan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch pada 1830. Sehingga menjelang tahun 1840
sistem ini benar-benar telah berjalan sepenuhnya di Jawa. Masyarakat dipaksa untuk menanam dan hasilnya dinikmati oleh pejabatpejabat Kolonial Belanda. Tanah yang digunakan untuk praktik tanam paksa pun masih dikenakan pajak yang seharusnya bebas pajak. Sedangkan, warga yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bekerja selama setahun penuh (seharusnya hanya 75 hari) di lahan pertanian Belanda. Di samping itu juga banyak rakyat yang menderita penyakit akibat kelaparan di manamana. Apa kondisi itu sudah berakhir? Tidak. Tepatnya seakan justru diwarisi. Hal itu terbukti ketika masih terdapat pada zaman
KOLOM
Dewi Kusmita*
sekarang, lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Masih ada yang memberlakukan sistem kasta. Si kaya dengan si kaya, begitu pula sebaliknya. Yang kaya merendahkan yang miskin. Bahasa kerennya loe loe gue gue. Bagaimana keangkuhan yang kaya kian nampak. Secara sosio-kultural, kondisi ini ada di sekitar kita. Dan itu, diamini oleh sistem peradilan kita. Soal hukum di negeri ini, ada adigum yang mengatakan bahwa hukum di Indonesia itu tajam di bawah, tumpul di atas. Jika yang salah adalah dari kalangan rakyat miskin, prosesnya singkat, tak punya suara untuk pembelaan. Hanya pasrah yang bisa
diterima. Lain ceritanya jika yang terkena perkara orang kaya dan berpangkat, maka prosesnya akan panjang dan berbelit. Kerap kali, bebas dari segala dakwaan. Kalaupun terkena hukuman, vonisnya pendek. Kenapa? Karena mereka punya kuasa. D alam hal ini kita bisa berkaca dari kasus Kopi Maut Jesica. Akan lain ceritanya jika yang tersangka, atau terdakwa bukan Jesica. Contoh kecil, seperti yang dialami Asiani (63), seorang nenek yang dituduh maling kayu milik perhutani dan dihukumi lima tahun penjara. Padahal itu hanya kayu yang harganya tidak seberapa. Sedangkan para pejabat
yang menelan uang beberapa miliar dengan hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatannya. Rakyat miskin tak patut didiskriminasikan. Mereka samasama manusia yang diciptakan oleh sang Khaliq. Mereka mempunyai hak atas kebebasan dirinya. Pun Al-Qur’an surat Al-Maidah sudah menjelaskan untuk orang kaya menolong yang tidak mampu, bukan sebaliknya. Ya, rakyat miskin sebenarnya ingin menghujam, tapi tak mampu. Melalui sajak yang tidak begitu panjang, sekiranya dapat mewakili hati rakyat yang terpaksa diam membisu. ‘’Kau lempar aku dalam gelap, hingga hidupku menjadi gelap. Kau siksa aku sangat keras, hingga aku makin mengeras. Kau paksa aku terus menunduk, tapi keputusan tambah tegak. Darah sudah kau teteskan dari bibirku. Luka sudah kau bilurkan kesekujur tubuhku. Cahaya sudah kau rampas dari biji mataku. Derita sudah naik seleher. Kau menindas sampai di luar batas.’’ Begitulah sederet sajak Widji Tukul, mewakili suara rakyat yang tak sempat terucapkan. [] *Penulis adalah Pimpinan redaksi buletin sastra Qov 2016 PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
55
BUDAYA
Pesugihan; Belajar dari Salah Laku Orang Jawa Manusia Jawa tak sekadar bekerja di dunia nyata, pengalaman spiritualnya menyusup ke sudut dunia lain yang berbeda. Berbagai ritual berlaku dalam kesehariannya. Keseimbangan hidup dan martabat adalah tujuan utama.
i Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pemutaran film berjudul “Setan Jawa” menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia. Baik masyarakat lokal maupun internasional mengapresiasi dengan pujian yang tiada henti. Garin Nugroho mengingatkan kita kepada nostalgia orang-orang Jawa kuno. Kehidupan yang serba mistik itu kembali dimunculkannya lewat film bisu berjudul “Setan Jawa”. “Setan Jawa” merupakan ilustrasi nyata kehidupan masyarakat Jawa era kolonialisme. Kemiskinan dan penindasan yang mewarnai laku hidup awal abad ke20 di Jawa itu melahirkan berbagai cara untuk meraih kemapanan. “Setan Jawa” menceritakan kehidupan seorang pemuda yang gagal menikah sebab kemiskinan. Pemuda itu lantas memutuskan untuk mengambil pesugihan kandang bubrah sebagai jalannya meraih kekayaan. Resikonya di akhir hidupnya ia harus rela dijadikan tiang penyangga rumahnya sendiri sebagai tumbal terakhir. Pada era krisis itu menurut riwayat memang tumbuh subur praktik pesugihan di Jawa. Diantaranya yaitu pesugihan tuyul, pesugihan bulus putih, babi ngepet, pesugihan kandang bubrah, dan 56
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
banyak lagi. Meski di akhir kehidupannya sengsara, banyak yang tidak berpikir panjang untuk sekadar meraih kemapanan dan martabat di dunia. Misalnya saja, dalam film itu diceritakan kehidupan Setio, anak muda miskin dari desa yang memilih pesugihan kandang bubrah. Pesugihan itu ia pilih sebagai jalan untuk meraih kekayaan dan kehidupan bahagia dengan Asih, wanita dambaannya. Namun, Asih diam-diam tahu bahwa suaminya menjalani laku pesugihan kandang bubrah. Asih juga tahu bahwa akhir hidup suaminya akan dijadikan tiang penyangga rumahnya sendiri. Kisah selanjutnya, karena cinta, Asih berupaya meminta pengampunan kepada setan pesugihan agar hal itu tidak terjadi. Ternyata setan pesugihan itu jatuh cinta kepada Asih dan meminta tubuhnya sebagai imbalan pengampunan. Tekanan batin dan teror meliputi Asih mendengar hal itu. Akhirnya Asih memutuskan untuk menyerahkan tubuhnya pada setan pesugihan dengan berharap hukuman suaminya dihapus. Namun naas, ternyata hukuman tetap dijalankan. Akhir hidup Setio mengenaskan, ia juga dijadikan tiang penyangga rumahnya. Tebusan Asih sia-sia begitu saja. “Entah praktik itu masih ada sampai sekarang atau tidak semua itu merupakan salah satu tradisi kita sebagai manusia jawa. Saya melihatnya sebagai pelajaran yang harus di tampilkan. Karena itu (pesugihan) juga penuh filosofi oleh pendahulu kita yang harus kita pelajari,” tutur Garin Nugroho, selaku Sutradara film. Garin melanjutkan bahwa hal itu menjadi nilai tersendiri dalam pelajaran sosial dan kemanusiaan. Bahwa kenyataannya tekanan dan kondisi serba kekurangan membuat orang tidak bisa berpikir sehat. Kebanyakan manusia menyukai cara instan untuk mendapatkan kehidupan yang diharapkan. “Padahal jika mau berproses hasilnya justru lebih dari harapan,” tuturnya. Nilai lain yang tak kalah menarik ialah mistisme yang mengekor disetiap tradisi Jawa yang tidak bisa dimungkiri keberadaannya. Dunia mistik seringkali dikaitkan dengan kepercayaan, ide dan gagasan terhadap segala hal tentang laku orang Jawa dan Indonesia pada umumnya. Di era sekarang itu tentu saja menjadi daya yang bisa jadi memperkaya khazanah seni dan budaya bangsa. Mistisisme perlu diperhatikan sebab hal itu bisa mendorong manusia untuk selaras dengan alam. “35 tahun saya berkarya juga tak lepas dengan nilai satu ini. Bagi saya penciptaan tak semata menuangkan ide, tetapi juga bagaimana membuat karya itu dikagumi. Itu perlu strategi khusus,” katanya.
detik.com
BUDAYA
BAHWA kenyataannya tekanan dan
kondisi serba kekurangan membuat orang tidak bisa berpikir sehat. Kebanyakan manusia menyukai cara instan untuk mendapatkan kehidupan yang diharapkan.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi ‘Tanzconnexions’ Goethe Institute dan Produser “Setan Jawa”, Jala Adholpus, mengungkapkan dukungannya terhadap potensi lokal Indonesia. Hal itu menjadi keunggulan yang sama sekali tidak dimiliki negara manapun. Indonesia merupakan ladang emas bagi seni dan budaya yang bisa di eksplor kepada dunia internasional. Karya “Setan Jawa” itu nantinya juga ditampilkan dalam pagelaran seni di berbagai negara di dunia. Beberapa diantaranya yaitu Australia, Perancis dan Amerika Serikat. “Karya ini penting dan menarik para funding dan pecinta seni di sana,” ungkap wanita kelahiran Australia itu. Di kesempatan yang berbeda, Seniman Tari dan Koreografer, Eko Supriyanto, mengungkapkan hal yang sama. Potensi seni dan budaya kita bisa lahir dari tradisi sekitar kita di Indonesia. Sebenarnya kesadaran penting untuk kita bangun. Bahwa kita itu sangat kaya dengan tradisi untuk kita olah. “Hal itu akan sia-sia jika tidak ada midness dan ‘kegilaan’ dari kita dalam mengolahnya,” ungkapnya di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Tak menjadi masalah bila pesugihan kita akui sebagai tradisi. Itu menjadi penting sebab pelajaran dan nilai yang dimuatnya. Terlebih jika diolah, tradisi apapun bisa diambil nilai positifnya.[] Muhammad Farid PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
57
BUDAYA
Prasah, Tradisi Seserahan di Sidigede
P
ernikahan di Jepara terkenal mahal. Khususnya bagi kaum pria. Salah satu yang membuatnya mahal karena seserahan yang diberikan memang tidak sembarangan. Bukan karena faktor pamer kemewahan, tapi dari tradisi pun sudah demikian. Salah satunya tradisi Pasrah di Desa Sidigede Kecamatan Welahan, Jepara. Akhir September 2016 lalu, masih dalam bulan Besar (Dzulhijjah), Rania, warga Teluk dan Rifai, warga Sidigede melangsungkan pernikahan. Prosesi pernikahan tak hanya ramai oleh tamu undangan, tapi juga oleh masyarakat yang ramai menyaksikan seekor kerbau yang diarak. Tepat pukul 09.00 WIB di hari itu, kerbau yang sudah disiapkan dan diikat di sebatang kayu besar sebagai patok (penahan) di rumah mempelai pria. Menjelang keberangkatan, kerbau digiring sekelompok orang yang memakai 58
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
SEBELUM diarak menuju mempelai putri, Kerbau akan diikat tali dadung dibagian kepala, leher dan kaki oleh orang yang disebut tukang bracut.
seragam khusus. Kelompok itu disebut tukang bracut. Tukang bracut ini biasanya terdiri dari 30 hiingga 40 orang. Orang-orang memang sudah biasa mengarak kerbau untuk prosesi itu di Sidigede. Proses membracut menggunakan tali dadung (tali tambang besar) yang diikatkan di kepala, leher dan kaki. Hal itu dilakukan agar mudah saat diarak. “Nek mung wong sitik seng bracut wonge ora kuat. Kebone iso ucul, masalahe kebone iku pilihan, lanang tur gede (jika hanya sedikit orang yang memegangi tidak akan kuat. Kerbaunya bisa lepas karena kerbau prasah ini besar dan jantan kualitas unggulan),” ungkap Busono (35), salah satu warga Sidigede. Untuk mengarak kerbau juga harus dibracut, yaitu dengan menggunakan tali dadung (tali
tambang besar) yang diikatkan di kepala, leher dan kaki. Hal itu dilakukan agar mudah saat diarak. Kemudian kerbau diarak lewat jalanan dari Desa Sidigede menuju Desa Teluk yang diikuti oleh warga setempat, sambil menyalakan petasan dan bersorak-sorak sampai rumah pihak wanita, sebelum akhirnya di-pasrah-kan. Dalam melangsungkan pernikahan, warga di wilayah itu memang biasa melakukan prosesi arak kerbau. Tak sekadar mengarak, tapi kerbau itu memang diberikan dari mempelai putra ke mempelai putri. Warga setempat menamainya tradisi Prasah. Istilah itu berasal dari kata “pasrah””. “Prasah iku tembung diserahno, disahno, utowo dipasrahno, kerono ilate wong Jowo, ben penak unine dadi tembung prasah (prasah
BUDAYA
KONON tradisi ini diilhami dari kisah Jaka Tingkir yang mampu menaklukan kerbau beringas, yang kemudian dapat menikahi putri kerajaan Demak. Selain itu, prasah juga menyimpan makna rasa saling peduli dengan sesama, “Ngajeni wong ben anakke sok diajeni wong,”
adalah kata diserahkan, disahkan, atau dipasrahkan, karena supaya mudah dilafalakan, katanya berubah menjadi prasah),” tutur Badi (80), salah satu sesepuh Desa Sidigede, saat ditemui Paradigma, baru-baru ini. Mbah Badi, biasa Mbah Badi dipanggil menjelaskan, dalam prosesi itu, kerbau tak langsung diberikan begitu saja. Namum diarak orang banyak dari tempat mempelai pria menuju rumah mempelai putri. Namun, jika jarak rumah pengantin jauh, biasanya diangkut dengan kendaraan terlebih dahulu. Kemudian, ketika hampir sampai, kerbau diturunkan lalu diarak menuju rumah mempelai putri. Sebelum diarak, kerbau terlebih dahulu dibacakan do’a-do’a. Hal ini bertujuan agar acara berjalan lancar. Sebab, dalam pelaksanaan tradisi ini, kerbau bisa saja menjadi budhi. Budhi menurut warga Sidigede adalah beringas seperti kuda lumping yang kerasukan. Tak hanya itu, dalam mengarak kerbau biasanya juga ada iringan barongan dari Desa Banyuputih. Kemudian yang paling belakang, baru mempelai putra sambil membawa lemari jati, jagoan (replika berbentuk ayam jago yang
berkalung emas), peralatan rumah tangga dan beberapa panganan. Sesampainya di tempat mempelai putri, rombongan disambut dengan alunan musik tanjidor. Konon, tradisi ini menggambarkan sosok pria yang menunjukan kejantananannya, setelah menaklukan kerbau beringas. Konon tradisi ini diilhami dari kisah Jaka Tingkir yang mampu menaklukan kerbau beringas, yang kemudian dapat menikahi putri kerajaan Demak. Hingga sekarang menjadi tradisi khas di Desa Sidigede. Namun seiring berjalannya waktu dan mahalnya harga kerbau, tradisi ini tidak berlaku untuk semua warga. Hanya yang mampu saja khususnya keturunan Mbah Simin yang melakukannya. Mbah Simin sendiri konon terkenal sebagai petani kaya di Desa Sidigede. Beberapa warga lain bukan keturunan Mbah Simin pun turut mengikuti tradisi ini, terutama mereka yang berkecukupan. Bukan tanpa alasan. Ini dikarenakan harga kerbau sekarang mencapai 35 juta - 50 juta per ekor. Apalagi, kerbau yang digunakan Prasah dipilih dari jenis kerbau unggulan, badannya besar, jantan, dan berpunuk. Tradisi prasah terbukti menarik
perhatian masyarakat. Tak hanya warga Sidigede, warga desa lain pun biasanya antusias melihat tradisi tersebut. “Tradisi Prasah adalah budaya kesenian yang harus selalu bisa dilestarikan,” kata Hakim, Kepala Desa Sidigede. “Biasanya, keluarga yang dari luar kota jika ada tradisi ini semuanya pulang untuk berkumpul, terutama dari keluarga keturunan Mbah Simin,” lanjutnya. Tradisi prasah merupakan ungkapan rasa bersyukur karena anak yang dirawat dari kecil hingga dewasa telah diberi kesehatan, hingga sampai berumah tangga. Kemudian tujuan orang tua mencari nafkah itu diberikan kepada keluarga, khususnya anak. Akhirnya dari kedua belah pihak pun sudah merasa cocok kemudian diejawentahkan dengan prasah. Selain itu, prasah juga menyimpan makna rasa saling peduli dengan sesama, “Ngajeni wong ben anakke sok diajeni wong,” imbuh Hakim. Ini digambarkan dengan pemberian kerbau yang besar dan terbaik, merupakan cerminan dari menghargai orang lain dengan yang terbaik.[] Haidar Ali PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
59
Kamera Terahertz,
Mampu Membaca Buku Tertutup
Sebuah kamera berteknologi tinggi diciptakan agar mampu
P
membaca buku tanpa perlu membuka buku tersebut.
erkembangan sisi positif dunia teknologi semakin memberi manfaat dan mempermudah seseorang dalam melakukan aktivitas. Masih ingatkah dengan kecanggihan kamera drone?. Kamera tersebut bisa mengambil foto dari ketinggian tertentu yang tidak bisa diambil oleh kamera biasa. Baru-baru ini sebuah tim peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) telah membuat penemuan baru. Sebuah kamera yang memiliki kemampuan untuk membaca buku dalam keadaan tertutup. Penelitian itu berlangsung di Departemen of Media and Science 60
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
of MIT, media Lab yang diterbitkan di Nature Communication. MIT merupakan institut riset swasta dan universitas yang terletak di Kota Cambridge, Massachusetts tepat di seberang sungai Charles dan distrik Back Bay di Boston, Amerika Serikat. Kamera canggih yang dibuat oleh MIT ini memanfaatkan radiasi terahertz. Radiasi ini sebenarnya sudah ditemukan para peneliti MIT sepuluh tahun yang lalu. Terahertz terletak di antara gelombang mikro dan cahaya inframerah dalam spektrum elektromagnetik, dapat digunakan untuk membaca surat di dalam amplop. Seperti yang dilansir
dari Ubergizmo, radiasi terahertz ini berada di antara spektrum frekuensi gelombang mikro (microwave) dan inframerah. Barmark Heshmat, Rames Raskar, dan Albert Redo Sanchez dari MIT, bersama-sama dengan Justin Romberg dan Aliereza Aghasi dari Georgia Tech memilih radiasi tersebut karena reaksinya terhadap zat kimia. Zat-zat kimia yang berbeda ini digunakan untuk membuat frekuensi berbagai bahan kimia, sehingga terjadi perubahan derajat yang berbeda. Hal ini dapat membantu kamera membedakan antara tinta dan kertas polos.
Para ahli sejarah dan antropologi sering mendapat masalah ketika harus mempelajari dokumendokumen purba dalam bentuk buku ataupun lapisan-lapisan lembaran kuno.
Penting Tulisan adalah warisan keilmuan yang sangat penting, sehingga memerlukan perhatian lebih di mata peneliti. Manuskrip kuno atau tulisan zaman dulu sangatlah berarti untuk zaman sekarang, sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas keilmuan. Bentuk arsip berupa buku-buku kuno tak semuanya boleh dibuka atau dipegang langsung. Ini dikarenakan demi keamanan buku agar tetap terjaga. Inilah yang memunculkan beberapa penelitian untuk membuat inovasi kamera yang telah dibuat oleh MIT. Semburan ultrashort radiasi terahertz memungkinkan resolusi kedalaman yang sangat halus. Dari sini para peneliti dapat mengukur jarak dari sumber emisi radiasi ke halaman lain dalam sebuah buku, yang dipisahkan oleh kantong udara yang hanya 20 mikrometer.. Selanjutnya sebuah algoritma yang dikembangkan oleh Georgia Tech, perangkat lunak yang
digunakan untuk menerjemahkan frekuensi-frekuensi yang dipantulkan kembali ke kamera. Ini akan memberikan petunjuk bagi para peneliti mengenai gambaran tentang apa yang ada di dalam buku itu tanpa harus membukanya. Hal ini terjadi karena tinta yang ada dalam isi buku tersebut akan mencerminkan radiasi terahertz kembali ke kamera. Sebagai permulaan, radiasi terahertz diserap oleh bahan kimia yang berbeda. Kemudian radiasi tersebut dapat membedakan kertas dan tinta dalam sebuah buku. Kamera terahertz ini juga dapat memancarkan radiasi microbursts super pendek yang mengukur kedalaman halaman dalam sebuah buku dengan waktu. Waktu tersebut akan menghitung berapa lama radiasi yang akan tercermin dari buku kembali ke kamera. Perlu Dikembangkan Dalam perkembangan sekarang, kamera terahertz ini mampu
menghitung jarak hingga 20 halaman. Kertas yang dibaca juga harus memiliki derajat tembus pandang tertentu. Para peneliti menguji tumpukan kertas yang memiliki satu huruf yang ditulis pada setiap halaman dan kamera mampu mengidentifikasi huruf pada sembilan halaman pertama. Hadirnya kamera canggih ini tentunya akan membawa manfaat yang sangat besar. Terutama bagi museum-museum sejarah yang ingin mengambil informasi dari buku kuno tanpa khawatir merusaknya. Walaupun sekarang baru bisa membaca sembilan halaman, tetapi para peneliti akan terus mengembangkan detektor dan pemancar radiasinya sehingga kamera tersebut akan menjadi perangkat yang hebat dan bermanfaat.[] Kholifatul Maulida (Dikutip dari berbagai sumber)
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
61
INFO BUKU
BUDAYA GOTONG ROYONG GOTONG
royong merupakan budaya asli bangsa kita. Memiliki makna bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan. Gotong royong sangat erat kaitannya dengan Pancasila. Bahkan, gotong royong merupakan pancaran jiwa Pancasila itu sendiri yang menjiwai bangsa kita sejak dulu, sekarang, dan masa depan. Sayidiman Suryohadiprojo lulusan Akademi Militer RI di Yogyakarta, 1948. Memulai karier sebagai Komandan Peleton di Divisi Siliwangi. Sebagai salah seorang prajurit TNI AD paling senior, ia sempat ikut terlibat dalam perang kemerdekaan (19451949) dan berbagai operasi penumpasan pemberontakan, termasuk pemberontakan Darul Islam, PRRI Permesta, dan Gestapu PKI. Pada 1974 Sayidiman menjadi Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) sebelum diangkat menjadi Duta Besar RI di Jepang pada 1979. Sejak tahun 2012 sampai sekarang ia menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran RI. [] Dikutip dari berbagai sumber
Judul
Budaya Gotong Royong dan Masa Depan Bangsa No. ISBN 9786024121136 Penulis Sayidiman Suryohadiprojo Penerbit Kompas Tanggal terbit Agustus - 2016 Jumlah Halaman 172 Kategori Sosial-Politik
62
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
KIAI SOLEH ; GURUNYA KIAI Judul Buku KH. Muhammad Sholeh Darat alSamarani; Maha Guru Ulama Nusantara Penulis Amirul Ulum Penerbit CV. Clobal Press Kategori Sejarah Ulama Nusantara Tebal XXX+254 Halaman Cetakan I Oktober 2016
S
ejarah kebangkitan ulama Nusantara abad 19 – 20 tidakdapat dilepaskan dari Kiai Sholeh Darat al-Samarangi. Melalui bimbingannya, lahirlah tokoh dari berbagai kalangan seperti KH. Hasyi Asy’ari (pendiri NU), KH. Ahamad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Syaikh Mahfudz al-Termasi (pengajar di Masjidil Haram), Syaikh Umar bin Sholeh al-Samarani (pengajar di Masjidil Haram) dan R.A Kartini (tokoh emansipasi wanita). Semenjak berkiprah di kiprah Haramain, sebagai pengajar di Masjidil haram. Kiai Sholeh Darat al-Samarani semakin meroket namanya. Dia akrab dengan penguasa Hijaz dan akabir al-ulama al-haramain (pembesar ulama Mekkah dan Madinah). Karena posisinya digandrungi penguasa dan ulama Haramain, ia diminta untuk bertempat tinggal dan mengabdikan diri hingga akhir hayatnya. Melihat kondisi Nusantara yang masih membutuhkan banyak figur ulama, untuk mengetaskan pribumi dari kungkuman kebodohan sehingga menjadi makanan empuk bagi penjajah supaya terus dijajah, terbesitlah dalam diri Kiai Hadi Giri Kusumo untuk mengajaknya pulang ke Nusantara (Jawa Tengah).[] Dikutip dari berbagai sumber
085-740-395-357
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
63
SINEMA
64
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
SINEMA
Rudy, Perjuangan dan Sebuah Ambisi “Jadilah seperti mata air yang jernih, kamu harus menjadi seperti mata air. Kalau kamu baik, pasti di sekitarmu akan baik, tapi kalau kamu kotor, pasti juga di sekelilingmu akan mati. Manusia di bumi ini banyak sekali ragamnya, jangan sampai kau lukai mereka”
B
Sutradara Produser Skenario
: Hanung Bramantyo : Manoj Punjabi : Gina S. Noer HanungBramantyo Berdasarkan : Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner karya Gina S. Noer Pemeran : Reza Rahadian Chelsea Islan Dian Nitami Indah Permatasari Ernest Prakasa Boris Bokir Rey Bong Cornelio Sunny Pandji Pragiwaksono Verdi Solaiman Bastian BintangSimbolon Musik : Tya Subiakto Sinematografi : Ipung Rachmat Syaiful Penyunting : Wawan I. Wibowo Perusahaan : MD Entertainment
Produksi Distributor Tanggal rilis Negara Bahasa Durasi
: MD Pictures : 30 Juni 2016 : Indonesia : Bahasa Indonesia Bahasa Jerman : 2 Jam 17 Menit
egitulah wejangan dari sang ayah ketika Rudy masih kecil. Pesan yang selalu terngiang dipikiran Rudy sampai ke negeri nun jauh, Jerman. “Berangkat dari Film Habibie & Ainun” yang sukses di perfilman nasional, film garapan Hanung Bramantyo yang juga diproduseri oleh Manoj Punjabi ini mencoba mengungkapkan bagaimana kehidupan nyata true story sosok Presiden RI ke-3 masa kecil. Perjuangan Rudy untuk memajukan Indonesia diperankan oleh aktor Reza Rahardian. Film yang berdurasi dua jam lebih ini dibintangi juga oleh aktor terkenal seperti Boris Bokir, Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, Verdi Solaiman, Rey Bong, dan Bastian Bintang Simbolon. Berawal dari pelanggaran tradisi keluarga, lahirlah seorang anak yang jenius bernama Bacharudin Jusuf Habibie. Ia dilahirkan dari pasangan suami istri yang menentang sebuah tradisi, menikah dengan suku lain. Ayahnya orang Bugis, sedangkan Ibunya orang Jawa. Akibatnya mereka dipisahkan dari sukunya masing-masing. Perbedaan latar belakang orang tua Rudy justru menjadikannya anak yang bersikap pluralistik. Selain terkenal jenius, Rudy juga periang, tangguh, pemberani, rajin, dan memiliki rasa keingintahuan curious yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan prestasinya di sekolah. Ia selalu mendapatkan peringkat satu. Dengan bekal kejeniusan, motivasi serta nasihat dari ayahnya, sampailah ia di kampus Universitas Teknologi Rhein Westfalen Aachen atau yang lebih dikenal dengan RWTH Ancheen, Jerman Barat. Di sana ia selalu ingin menjadi seperti mata air, terutama untuk Indonesia. Hal itulah yang menjadi rahasia dibalik semua kerja kerasnya selama di Jerman. Adapun cacian dan makian yang selalu diterimanya, tidak menjadikannya lemah dan mundur begitu saja. Justru malah menjadikan cambuk semangat PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
65
SINEMA
Semuannya penuh tantangan, terutama ketika Rudy didaulat menjadi ketua organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Banyak yang tidak setuju dengan rencana yang dibuat oleh Rudy, salah satunya tentang proyek membangun pesawat terbang.
dalam kehidupannya. Setelah beberapa hari tinggal di Jerman, Rudy mulai mengukir prestasinya. Apalagi ketika Bung Karno datang berkunjung ke Jerman, dengan sederet janji manis yang dilontarkan kepada mahasiswa di sana, semangatnya dalam menuntut ilmu semakin menggebu-gebu. Semuannya penuh tantangan, terutama ketika Rudy didaulat menjadi ketua organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI). Banyak yang tidak setuju dengan rencana yang dibuat oleh Rudy, salah satunya tentang proyek membangun pesawat terbang. Alasan teman-temannya karena mahasiswa hanya ditugasi untuk menempuh pendidikan, sehingga jika harus mengerjakan rencana-rencana Rudy itu sangat memberatkan bagi mereka. Bukan hanya otaknya yang pintar, tetapi dia pandai dalam ilmu teknologi. Rudy berhasil membuat maket pesawat yang bisa terbang. Teori tentang pesawat juga ia terapkan dalam organisasinya. Menurutnya yang terpenting dalam organisasi adalah visi. Jika organisasi tanpa visi, ibarat pesawat terbang tanpa tujuan. Selama kuliah, Rudy selalu ingat dan peduli dengan tanah airnya, Indonesia. Seakan-akan di Jerman, 66
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Rudy sedang mengerjakan PR yang dibawanya dari Indonesia. Rudy pernah mengirim surat kepada pemerintah yang isinya permohonan saran mengenai studinya, keahlian apa yang sedang dibutuhkan di Indonesia, terutama pada bidang dirgantara, atas nama mahasiswa Indonesia akan menyesuaikan studi agar bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia. Motivasinya untuk membangun negeri sangat tinggi. Rudi selalu pergi ke gereja setiap melaksanakan ibadah sholat. Karena ia tahu hanya di gereja itulah dia bisa beribadah dengan tenang dan jauh dari kebisingan. Ia tidak peduli dimana ia bertempat, akan tetapi niat dan keyakinannya adalah poin yang paling penting. Meskipun di dalam gereja, ia tetap mengagungkan nama Allah. Setiap pertemuan kepada temantemannya ia selalu membahas masalah-masalah yang serius, hingga membuat teman-temannya mengelus jidat berulang kali. Kesungguhan Rudy yang terkesan berlebihan ini juga membuat temantemannya kurang suka dengan sikapnya. Tetapi hal tersebut tidak menjadikan Rudy putus asa. Seperti biasa, setiap menghadapi persoalan dan merasakan kesedihan ia selalu mengadu kepada Tuhannya demi ketenangan dan keteguhan hati.
Sikap yang patut ditiru dari Rudy untuk kita ialah semangat belajar dan rasa nasionalisme yang tinggi. Walaupun ia berada di negeri Jerman, hati Rudy tetap cinta pada tanah air. Bahkan ia menolak untuk menjadi warga Negara Jerman demi kecintaannya pada Indonesia. Itulah Rudy, sosok yang cerdas namun tetap bersahaja. Dengan adanya subtitle, memudahkan penonton dalam memahaminya. Akan tetapi berbeda dengan yang lain, film ini menggunakan alur campuran. Bagi yang tidak menontonnya secara saksama, maka akan merasa kebingungan. Setidaknya film ini mampu memberikan semangat kepada penonton, kepada kaum muda untuk bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu, berjuang menghadapi tantangan globalisasi, terlebih mampu menorehkan prestasi untuk negera yang kita cintai, Indonesia. Dan yang paling penting adalah kesuksesan tidak akan didapatkan tanpa perjuangan. [] Bisri Musthofa
Membangun Kecerdasan Ekologis Siswa Judul Buku
Ecopedagogy Membangun Kecerdasan Ekologis dalam Pembelajarn IPS Penulis
Nana Supriatna Penerbit
Remaja Rosdakarya Cetakan I
Mei 2016
Tebal
368 halaman ISBN
978-979-692-714-2 Oleh : Muhammad Nur Salim*
D
alam dunia pendidikan sering kita mengajarkan ke peserta didik mengenai cinta lingkungan. Atau melakukan kebersihan kelas yang dikerjakan jika ada lomba maupun kerja bakti kelas. Apakah semua itu cukup untuk menyadarkan siswa akan pentingnya menjaga lingkungan? Kita lihat manusia sekarang yang cenderung memiliki sifat praktis. Kesadaran akan kebutuhan hidup tetapi mengabaikan pelestarian alam. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya sampah plastik yang ditinggalkan setiap hari yang merusak lingkungan. Pendidikan sebagai dorongan untuk melestarikan alam agar bisa ditumbuhkan di ruangan kelas. Oleh sebabnya, pembelajaran berbasis ekologi harus bisa diterapkan oleh
guru kepada siswa. Pada pembahasan buku yang berjudul Ecopedagogy Membangun Kecerdasan Ekologis dalam Pembelajarn IPS ini dibagi beberapa bab. Pembahasan mengenai kecerdasan ekologis ditulis oleh Nana Supriatna. Kecerdasan ekologis digambarkan sebagai kemampuan atau kapasitas seseorang dalam melakukan tindakan yang terkait dengan aspek ekologis, yaitu pelestarian alam (hlm 24). Dalam membangun kecerdasan ekologis ternyata didukung oleh beberapa kecerdasan yang kompleks. Meliputi kecerdasan intelektual, emosional, sosial bahkan spiritual. Mengingat begitu pentingnya menumbuhkan kecerdasan ekologis, sehingga tidak hanya menggunakan pendekatan
intelektual saja. Membangun kecerdasan ekologis pada peserta didik dapat dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal yang kini dipraktikkan oleh masyarakat tradisi. Mina Holilah (Bab 8) dan Ling Yulianti (Bab 9) selaku guru mapel IPS melakukan penelitian di lokasi yang berbeda berusaha menggali nilai-nilai kearifan ekologis dan membawanya ke dalam kelas. Dengan tujuan sebagai media dan sumber pembelajaran (hlm 14). Buku ini mengangkat adat Cikondang sebagai sarana membangun kecerdasan ekologis. Dalam kehidupannya, Kampung Cikondang mempunyai pedoman hidup yakni ngaji diri. Pedoman tersebut menyatukan hubungan antara sesama manusia dan PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
67
hubungan dengan alam (hlm 161). Melihat pola kehidupan masyarakat Cikondang, seorang guru harus mampu membawa pikiran siswa ke ranah ekopedagogi. Artinya siswa ditunjukkan realitas di lapangan bahwa masih ada masyarakat yang peduli lingkungan. Selama ini dominasi kecerdasan intelektual masih menjadi andalan pendidikan di Indonesia. Sehingga kesadaran dalam menjaga lingkungan belum sepenuhnya dimiliki oleh siswa. Perlunya Kesadaran Ada beberapa cara yang digunakan dalam menumbuhkan kesadaran ekologis siswa dalam buku ini. Pertama, menghemat penggunaan air yang diteliti oleh Rizky Ardiansyah (hlm 177). Ardiansyah mencoba mengembangkan kecerdasan ekologis peserta didiknya dalam menggunakan toilet sekolah. Ia mendemonstrasikan tata cara menggunakan toilet yang ramah lingkungan. Kondisi kebersihan toilet yang kurang diperhatikan mejadi daya tarik sendiri bagi guru ini. Kedua, sampah yang dihasilkan dari barang-barang konsumsi. Ada
tiga peneliti yang menggambarkan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat modern lebih besar dari masyarakat tradisi. Mereka ialah Hibar Firdaus (Bab 11), Badrud Tamam (Bab 15), dan Ria Kurniasari (Bab 17). Solusi yang ditawarkan dalam membangun kecerdasan ekologis siswa yaitu reduce, reuse, dan recycle. Hibar Firdaus mengajari siswa bahwa sampah yang berasal dari limbah sekolah yang dapat dimanfaatkan. Seperti kertas, pulpen, kaleng minuman dan yang lainnya dapat dibentuk dan diolah menjadi barang kreatif yang menghasilkan keuntungan ekonomi. Disisi lain, Badrud Tamam mencoba mengajari siswa mengenal produk konsumsi yang ramah lingkungan. Ia menyuruh siswa memperhatikan kemasan produk konsumsi saat membelinya. Karakteristik bahan produk yang digunakan bisa mencerdaskan siswa secara ekologis. Sedangkan cara yang digunakan Ria Kurniasari yakni melalui metode group investigation. Metode ini menyuruh peserta didik untuk mengumpulkan informasi tentang sampah organik dan anorganik.
Ketiga, mengonsumsi makanan lokal dan tata cara olahan makanan. Hasil penelitian oleh Apip Rudiyanto (Bab 17) menunjukan bahwa mengonsusmsi makanan lokal lebih ramah lingkungan dari pada makanan instan. Selain itu, Juslan (Bab 12) menambahkan tidak hanya makanan lokal saja yang perlu dikonsumsi. Namun, pengolahan yang sehat juga membantu membangun kesadaran ekologi siswa. Itulah beberapa kiat dalam menumbuhkan kecerdasan ekologis siswa. Di tangan guru yang kreatif, bisa membangun ekologis siswa yang dapat diajarkan dimana saja, tak perlu fokus di dalam kelas. Kesadaran menjaga kelestarian alam memang dibutuhkan untuk peserta didik sekarang dan yang akan datang. Dimulai dari pendidikan dan perbuatan kecil yang menggambarkan cinta lingkungan menjadi modal dasar dalam menumbuhkan kecerdasan ekologis, tidak hanya siswa tapi juga masyarakat. [] *Peneliti di Paradigma Institute Kudus
Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial Goenawan Muhammad
68
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Menelusuri Sejarah Penemu Kretek Oleh : Yaumis Salam*
K
Judul Buku : DJAMHARI, penemu kretek ; 100 Tahun Sejarah yang Terpendam dan Lika-Liku Pencarian Jejaknya Penulis : Edi Supratno Editor : Irfan Afifi Penerbit : Pustaka Ifada Cetakan : Pertama, Mei 2016 Tebal : xvi + 180 halaman ISBN : 978-602-72250-4-6
retek. Produk lokal yang mendunia ini selalu menarik dibincangkan. Sebab, sampai saat ini kretek masih menjadi daya tarik para sejarawan. Mereka belum berhenti menelusuri tokoh-tokoh yang bersangkutan dengan kretek, sebab belum ada titik temu secara gamblang yang mengisahkan sejarah munculnya kretek dan penemunya. Edy Supratno, misalnya. Sejarawan Kudus yang aktif menelusuri sejarah kretek ini telah melakukan penelusuran terkait tokoh utama penemu kretek yang kini telah jauh berkembang. Dari penelusuran tersebut, lahirlah buku yang berjudul Djamhari Penemu Kretek. Buku ini bisa dikatakan telah membuka dan menunjukkan jalan baru bagi para peneliti dalam menguak tokoh Djamhari. Menelusuri penemu kretek bukan perkara mudah. Menurut Edy, kesulitan pertama dalam menelusuri sosok Djamhari adalah minimnya literatur yang ada. Para penulis, baik itu wartawan, peneliti atau sejarawan, tak banyak yang menyinggung tentang Djamhari. Hanya beberapa, seperti Van der Reijden (1934), Parada Harahap (1952), dan Lance Castles (1982). (hal. 20). Itupun tak banyak. Narasi tentang Djamhari yang disinggung hanya sekilas, cenderung kurang mendalam. Buku ini dibagi empat bab pembahasan. Bagian pertama mengisahkan pencarian data tentang Djamhari mulai dari Jawa hingga Den Haag (Belanda). Penulis juga menelisik hingga memilah satu persatu dokumen kuno dari berbagai
tempat. Februari 2014 di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Tak cukup di ANRI, pusat arsip yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga menjadi acuan. Namun, data Djamhari dari tahun 1860-an hingga 1890-an belum kunjung ditemukan. Pencarian berlanjut dengan mencari narasumber. Ada yang mengatakan, Djamhari tinggal di Langgardalem (Kudus). Namun, ternyata tak ada kejelasannya. Kahfan Noor, selaku narasumber mengira-ngira bahwa Djamhari asli Kertosono (Jawa Timur) yang merantau ke Kudus karena memiliki keahlian sebagai master rokok. Dia bekerja di perusahaan Nitisemito. Setelah memasuki usia lanjut, ia kembali ke Jawa Timur (hal. 70-71). Pada bagian pembahasan Nyala dari Bandung, sudah mulai ada titik terang. Pencarian keturunan Djamhari satu persatu sudah ditemukan. Djamhari merupakan anak kedua dari enam bersaudra, kakak tertuanya bernama Djajuri, adiknya bernama Atmo, Sukirah, Soleh dan Irjam. Jika ingin meruntutkan silsilah yang tepat mengenai Djamhari, Ahmad lah orang yang tepat. Dia adalah keluarga besar Djamhari yang sekarang tinggal di Bandung. Ia sangat cakap menceritakan urutan silsilah dari Todirono, kakek Djamhari sampai pada keturun-keturunannya. Bagi Ahmad, Djamhari sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri. (hal. 121) Kerusuhan Perang Dunia I, kisaran tahun PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
69
Mula-mula, Djamhari merasa dadanya sesak. Kemudian ia mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Rasa sesak yang dideritanya mulai berkurang. Dari sana, ia mencoba meracik dan mencampurkan cengkeh ke rokoknya. Setelah rokok dihidupkan timbul suara “kretek..kretek..”,
1914-1918 berpengaruh pada kretek. Banyak karyawan kretek di-PHK di masa itu. Haji Djoefri, pengusaha kretek sukses yang juga mengisi kursi ketua di Sarekat Islam (SI) Kudus, mengalami kerugian akibat polemik perang dunia dan kasus penipuan. Mabruri, anak Djoefri kelahiran 1903 menceritakan, ayahnya merasa faktor terbesar kebangkrutan usaha mereka karena rokok Sepeda Motor dan Motor Sedan miliknya telah dipalsu (hal. 159). Memang benar jika Djamhari penemu kretek ini telah bekerja di pabrik milik Raja Kretek (Nitisemito). Namun, kejadian di Kudus pada Oktober 1918 menimbulkan kerusuhan mencekam pada abad ke-20. Kerusuhan antara kaum Tionghoa dengan pribumi ini membuat para pengurus Sarekat Islam (SI) ikut terlibat. Kerusuhan mengakibatkan para pengurus SI menjadi terancam. Akhirnya Djamhari dan Abdul Shomad ayahnya, pergi dari Kudus ke Tasikmalaya. Pemerintah Belanda menangkap dan mengintrogasi para pengurus SI, begitu juga Djamhari selaku pengurus SI ingin menghindar dari permasalahan yang ada. Sejak saat itu (1918), kehidupan Djamhari sudah tidak di Kudus. Perjalanan Djamhari terus berlanjut sampai menikah dengan Mas’idjah dan memiliki 13 70
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
anak. Sampai saat ini, keturunan Djamhari tinggal dua, Suaedah dan Kardin. Banyak foto dokumentasi dari Djamhari sendiri, tak kecuali barang-barang antik yang masih baik tersimpan. Lambang Bal Tiga (merek Kretek Nitisemito) berada di barang-barang peninggalan Djamhari berupa jam dinding. Suaedah, adalah anak yang sering diajak bepergian walau pun Djamhari sedang sibuk. Pernah suatu ketika, ia diajak ke Tasikmalaya dalam proyek jalan. Banyak hal yang diketahui olehnya. Sehingga banyak data yang didapat penulis ketika menggali lebih dalam tentang kehidupan tokoh kretek tersebut. Selain itu, Djamhari sering mengajak keluarganya untuk selalu mengunjungi keluarga-keluarga yang ada di Kudus. Misalnya, berkunjung ke rumah Affandi yang ada di Panjunan (hal. 150). Kretek yang berkhasiat Memang benar, eksperimen Djamhari dalam mengolah kretek yang dicampuri cengkeh sudah berjalan lama. Kardini, anaknya, adalah saksi keberhasilan Djamhari dalam mengolah kretek. Mulamula, Djamhari merasa dadanya sesak. Kemudian ia mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Rasa sesak yang dideritanya mulai berkurang. Dari sana, ia mencoba meracik dan mencampurkan
cengkeh ke rokoknya. Setelah rokok dihidupkan timbul suara “kretek.. kretek..”, inilah awal mula istilah kretek tercetus. Sejak saat itu, berkat pembicaraan dari mulut ke mulut, kretek buatan Djamhari semakin terkenal. Djamhari kemudian melayani permintaan banyak orang terhadap kreteknya. Kemunculan rokok kretek tersebut bisa dikatakan menjadi varian baru, menyusul rokok tembakau yang sudah ada seperti rokok kawung, klobot, bahkan rokok putih. (hal. 17-18). Kebiasaan menambahkan cengkeh di keluarga Djamhari juga dilakukan Wihatma, paman Kardini. Saat asma pamannya kambuh, ia merasakan khasiat rokok kretek khas Djamhari. Selama sekitar 90 tahun berkiprah di dunia kretek, perjuangan Djamhari berhenti pada tanggal 10 Juni 1962. Di tanggal tersebut, Djamhari menghembuskan nafas terakhirnya di kota Tasikmalaya. Buku ini menggambarkan perjuangan Djamhari dalam mengembangkan kreteknya untuk dunia. Menyadarkan kaum wirausaha untuk selalu berinovasi seperti yang dilakukan Djamhari. Penambahan cengkeh sebagai inovasi telah memberikan sumbangsih pada pelaku bisnis kretek besar Nitisemito yang terkenang sampai sekarang.[] *Mahasiswa pecinta buku sejarah
CERPEN
Inayah oleh : Ilmail*
J
arak dua meter dari kamarku, sengaja aku pasangi tangga menuju atap. Bukan ingin terlihat punya lantai dua, lebih tepat lagi untuk memudahkan aku bersembunyi dari ibu untuk aku pacaran. Malam yang bersahabat. Angin berhembus tak terlalu kencang. Bulan lolok dengan cahayanya. Berhias taburan bintang kecil bak serbuk berlian berhamburan. Sesekali bolam lampu kota terayun tak jelas arahnya. Pun mega mega malam sesekali dengan bulan . Mungkin ini yang dinamakan syahdu. Syahdu adalah suasana dimana paling tenang kedua setelah lailatu qodar. Di depan kaca aku mencoba membetulkan lengkungan kerudung yang sempat bengkong ke bawah. Malam ini kurencanakan pacaran di tempat terindah dimana hati kami bertemu pertama kali. Di atas genteng. Aku tak heran bila akhirnya hatiku tersangkut denganya. Sejak aku lahir, ayahku membisikan namanya sesaat setelah aku menghirup udara dunia. Pacarku selalu bertingkah semaunya. Sampai kita bertemu untuk pertama kalinya, adalah sebagian dari rencananya. Ada kalanya dia mengajakku kencan di bawah kolong tempat tidur ibuku. Ada kalanya lagi dia mengajakku bercumbu didalam almari tua milik bapakku. PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
71
CERPEN Wajahku harus selalu basah, satu syarat untuk meyakinkan ke dia aku tidak pakai bedak. Pacarku tidak suka dengan debu wangi itu. Alasannya sederhana, dia tak mau kehilangan rasa asin di pipiku. Ya… itulah pacarku memang sedikit membutuhkan imajinasi. Satu lagi yang ku suka, sampai saat ini dia masih memegang rekor dengan novel paling sulit dipahami sepanjang terbentuknya jagad raya. Perlahan ku naiki anak tangga satu satu. Tangga yang terbilang cukup langka bagiku. Bukan saja dalam usianya yang sudah setengah abad, bahan baku dari kayu jati asli, besar pegangan yang pas kugenggam. Tumpuan kaki sengaja dibuat lebar dengan panjang 45 cm, lebar 20 cm, serta tebal 2 cm. Belum lengkap ayah menceritakan sejarah tangga ini, tepat diusiaku yang ke tujuh ayah meninggalkanku bersama ibu. Aku tak terlalu bisa mengartikan bahasa Ibu bila menceritakan tangga legendaris ini. Ibu mengalami Stroke stadium menengah dengan memakan setengah dari tubuhnya. Ibu sulit berinteraksi dengan orang sekitar dengan keadaan yang menimpanya. Suasana malam di atas atap yang jauh lebih tenang dari malam sebelumnya. Atap genteng dengan angin sepi-sepoi remang-remang dengan hanya diterangi cayaha bulan. Menggugah semua nafsu birahiku. Tak sabar rasanya memadu cinta, membalas dendam kepada rindu yang menghujam kala jauh darinya. Dengan reflek cepat dengan tanpa pikir panjang aku merebahkan tubuh mungilku di atas genteng. Tanpa alas, kulit mulusku tepat bersentuhan dengan genteng dari lempung itu. Tanpa rasa ragu sedikitpun. “Ayolah, tinggal kita berdua sekarang,” pekik kecilnya. Entah apa yang membuat langit tak menunjukkan mendung sama sekali. Seolah langit merestui apa yang dilakukan oleh Inayah. “Ayo jemput aku malam ini tuhan,” Sekali lagi Inayah menjulurkan tangannya ke atas mengarah tepat ke bulan nan lolok. Seolah tak ada sedikitpun rasa ragu. Meminta tuhan menjemputnya malam itu juga. 72
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
*** Inayah lahir secara normal di kamar ibunya. Tanpa bantuan dokter kelas premium, hanya dukun beranak di desa tersebut. Di sebuah bilik dengan ukuran tiga kali dua meter. Di atas kasur kapuk yang sudah agak kusam. Bukanya menangis, setelah brojol dari rahim Ibunya Inayah malah tertawa keras. Dukun Njenggirat “Eh… lah dalah, ini bayi edan tenan.” Seluruh isian kamar sontak kaget dengan tingkah menyimpang Inayah. Bagi dukun beranak tingkat desa memang tingkah Inayah dianggap menyimpang. Seperti ada sesuatu yang ganjal dengan kelahiran Inayah. Perlahan kejanggalan kelahiran Inayah mulai dianggap wajar warga desa sekitar. Inayah tumbuh seumuran bocah. Tepatnya bocah edan. Ibunya yang buta karena penyakit bawaan dari lahir pun ia bantu mencari makan. Ayahnya menghilang dengan ajaib setelah tahu ibunya hamil. Tidak usah susah mencari makan sampai mana-mana. Inayah cukup meminta kepada pacarnya di atas genteng. Tepat setelah inayah menyelesaikan tugasnya, memuaskan pacarnya. Ibunya tak pernah tahu apa yang dilakukan Inayah untuk mencukupi segala makanan sehari-harinya. Pernah sekali ibunya Tanya tentang hal tersebut. Namun Inayah mengelak dengan jawaban yang tak memahamkan sama sekali. Malam yang sama, Supeno, Kang Jirin, Herman dan Harjo sedang berronda mengelilingi desa. Seketika mereka terkejut melihat bayangan sesosok wanita telanjang tepat diatas rumah Inayah. “Itu Inayah kan Kang?,” Tanya Herman. “Iya betul,” sahut Kang jirin. “Mana?,” Harjo mulai pensaran. “Sssssstttttt, jangan disoroti lampu,” seketika Herman menepis tangan Harjo yang memegang senter mencoba menghalang senter mengarah ke atap Inayah. “Pancen wong edan, selalu saja membuat sensasi,” timpal Supeno. “Haha…… Jangan gitu Kang, Inayah melakukan itu karena dia butuh akan seseorang untuk
Pacarku selalu bertingkah semaunya. Sampai kita bertemu untuk pertama kalinya, adalah sebagian dari rencananya.
CERPEN bermunajad,” Kang jirin dengan genre kalemnya menepis Supeno. “DIIARRRRR” Tiba-tiba suara petir dengan keras menyambar atap rumah Inayah. “Inayah,” Supeno dengan reflek cepat langsung berlari. Disusul ketiga temannya di belakang. Namun apa yang dilihat dirumah Inayah membuat keempatnya diam menghela nafas. Tepat dititik dimana Inayah jatuh tak ditemukan sesosok Inayah yang tergeletak di atas tanah. Hanya tumpukan tanah menyerupai sepetak kuburan lengkap dengan dua batu nisan yang tertata di kedua ujungnya. “Apa apa ini?,” keempat pasang mata melolok menangkap sesosok wanita paruh baya berdiri di ambang pintu. Yang muncul tiba tiba dari balik pintu rumah Inayah. *** Malam itu seolah menjadi malam yang menggetarkan relung batin keempat perjaka penjaga ronda malam. Hawa malam nan tenang sejuk dengan gemricik suara jangkrik. Berubah menjadi malam nan penuh teka teki dengan kejadian ajaib yang menimpa Inayah. Seluruh penduduk yang mulanya pulas dengan kembang tidurnya. Bergerombol berduyun duyun datang kerumah Inayah dengan penuh tanya. Ada apa? Pertanyaan yang menyeruak memenuhi isian kepala mereka. Yang lebih tidak dapat dinalar lagi. Ibu Inayah yang dulunya terhindap stroke, terbujur kaku dengan bahasa lisan yang tak mudah dicerna. Berbalik menjadi segar bugar ngomongnya jelas tanpa ada satu cacat pun. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Lutut keempat jejaka jomblo piket ronda itu tersungkur menyentuh tanah. Tubuhnya gemetar bukan main. Kepalanya tertunduk termangu dengan dagu menyentuh dada menandakan tubuhnya terkulai lemas. Pasang mata lainnya menyaksikan sebuah adegan seperti drama. Mimik muka yang terlihat penuh dengan tanya. Ada apa?. Tidak mampu mendesak keluar melalui ungkapan rongga bernama mulut. Seolah terhipnotis keadaan yang begitu penuh dengan sesuatu hal yang rumit.
Ibu Inayah maju selangkah dari ambang pintu yang semula ia terdiam. Mencoba mendekati ke empat jejaka yang berlutut di depan tumpukan tanah depan rumahnya. Dengan perlahan ibu inayah mencoba memegang bahu Kang Jirin. Kang Jirin dipilih karena paling tua diantara mereka berempat. Tetangga-tetangga Inayah dengan rasa penuh penasaran mengamping di depan pagar. Tetap seksama menyaksikan gerak gerik kelima manusia yang memaksanya untuk selalu mengerutkan dahi. Tiba tiba telinga mereka mendengar nada lirih yang keluar dari mulut ibu Inayah. Mungkin sebuah penjelasan. *** Yang berada di dalam kuburan ini memang Inayah nak, semua sudah di takdirkan yang Maha Agung pemilik alam semesta. Suatu malam Ibu mendapat bisikan dengan suara yang menggetarkan relung hati Ibu. Inayah tidak akan diterima oleh siapapun dengan keadaan yang dianggap orang awam edan. Inayah terlalu terpesona dengan cerita ayahnya yang selalu menceritakan surga. Hingga kata ayahnya yang paling diingat oleh Inayah, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu meninggal dengan kedaan mencintaiNya. Inayah tahu bentuk cinta seperti apa yang digambarkan oleh ayahnya. Dengan sering bermunajat dan selalu dekat
denganNya. Ayah Inayah selalu berkata, Dialah yang Maha menguasai langit dan alam semesta. Dengan kata lain, menurut hemat Inayah kala itu Dia selalu berada dilangit. Memanjat tangga ke atas genteng adalah satu cara untuk Inayah mendekatkan hatinya kepadaNya. Setiapkali Inayah berada di atas genteng, suasana rumah sangat tenang. Lebih tenang dari malam seribu bulan. Sepertinya Dia merestui kedatangan cinta Inayah. Selalu seperti itu setiap malam. Ibu terlalu merasakan ketenangan dari munajat cinta Inayah. Sehingga tidak ada sedikitpun rasa khawatir dalam benak Ibu pada Inayah di atas genteng. Hingga malam ini-tepat diulang tahun ke tujuh belas Inayah-di dalam mimpi, Ibu mendapat bisikan kedua. Inayah sudah mencapai puncak syahwatnya. Semakin celaka bila dibiarkan terlalu lama. Sebagai gantinya Ibu disembuhkan dari segala penyakit yang Ibu derita. Bukan hanya itu, sebagai ganti Inayah Ibu diremajakan kembali dengan taraf dua kali lipat lebih muda dari usia Ibu sekarang. Sekarang Ibu memilih pundakmu untuk Ibu menyandarkan bahu dan hati Ibu. Bolehkan aku menikahimu?.[]
Ade Achmad Ismail, atau ilmail lahir di Kudus dan besar di kota yang sama pula. Selain menulis cerpen, pria penggila bola ini mempunyai hobi fotografi dan desain grafis.
Redaksi Majalah Paradigma menerima kiriman tulisan cerpen panjang maksimal 10.000 karakter ke email : lpmparadigma@ gmail.com sertakan biodata singkat dan foto close up paling keren. Cerpen yang dimuat akan mendapat bingkisan menarik dari redaksi.
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
73
Puisi Bait Rindu I
Ibu dan Desaku Langkah kaki ku ringan Tatapan wajah ku menjauh ke depan Berseri menatap hari pagi Aku telah lama pergi Mengharap cita yang tinggi Aku telah sumringah Namun ketika lelah Tak satu pun obat Tak satu pun tabib mujarab Karena sudah tersemat dalam dadaku Pulang adalah cahaya Obat ku adalah desaku Dan tabib ku adalah ibuku
Kudus, Oktober 2016
Telah tiba kau di ujung rindu Menyatu dalam angan yang terselipkan Esok kau berkata padaku Bahwa cinta itu dalam pengharapan Lantunan bait rindu terasa merdu Hingga telinga ku tak mendengar bising debu Kilatan cahaya pun menjernihkan mata Dari amuk dunia yang kecewa Sampai kini terasa sesak sementara Namun indah nantinya
Pati 2009
Bait Rindu II Hujan yang menyapa mesra Di kedinginan jiwa yang sendiri Mengada dan mengadu di tepian rindu Kau yang memelukku dalam pilu
Pati, 2011
Sudut Kota Lorong-lorong itu menyambut Mengusir kabut yang sejak pagi menyelimut Aku masuk sendiri tanpa takut Membawa segenggam harap dan sepikul hasrat Sejauh itu langkahku sendiri Menyusuri rimba yang tak pernah aku kira Sejauh itu aku meniti cita Jauh benar-benar tak terkira Di ruang tak bertepi aku terhanyut Memandang wajah-wajah kusut Namun angan dan harap tetap tersulut Meski raga hampir lebur Meski jiwa terkoyak luka
Kudus, 2011
Achmad Ulil Albab, Lahir di Jepara 10 November 1994. Pecinta sejarah, puisinya bertema semangat kebangsaan terbit dalam antologi puisi PC IPNU/IPPNU Jepara “Ikrar Janjiku� (2014).
74
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Puisi MATA KACA Di sempit dan pekatnya jagad hati Maha Tsuroyya menyialukan semesta Dihimpit sepetak bangunan Bertirai gumpalan kertas Batin telinga ini tak mendua Menyusuri jernihnya desis itu Mata inipun hinggap Kepada kaca yang berkelip gurauan pendek bak pelukanku Sungguh . . Gemulai dihimpit mega Menawan dirundung asa Bongkahan cinta dilelehkan kata Dua jam yang sangat bermakna G.A.Q 24 Dzulqo’dah 1437 H
LEMBAR KERTAS
Istimewa
Kukuh hijabnya Piramida doa mengembang alisnya Halus menembus kamus Selembar kertas merajam riang Bersinggasana sejengkal Diperbudak rentang Teguh tanpa diseduh. . . utuh Teraba iba tanpa nestapa kini . . Tinta safaroh meningikannya Mengemasnya dengan mahkota Berpijar laksana fajar Didadari dalam rahim subuh. . Shohabat penggantiku . . Aku tak melaknat engkau Tengkurung sutra membentengi kisah Ulatmu mengurai yang kusut Tapi kenapa ? Tetap saja melilit bibirnya
SEKUFU Pesonanya menyita Merongrong pondasi sukma Memangkas jembatan angan Melilit tegukan jelata Ratu berpermaisuri nafsu Menunggangi syahwatku Di punggung sajadah lumpur yang menjijikkan Membentang selapang penyesalan Suguhan diatas nampan Mapan diatas tampan Lebih tua untuk tuan Mlarat berkarat ucapnya Tiada sudah Sirnalah ia Syukur mendengkur Menyingkap keghoiban sketsa bahwa . . Sekutu tak sekufu E.N Kudus. 30 Januari 2015
Choirul at madja Gedibal satra Lahir di Mojo-CluwakPati Aktif di gubuk sastra, LSM, dan LPPM. penggagas LPPM Dermo Wongsho FB : Choirul at Madja
H.W DAFASH 2007
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
75
SKETSA KAMPUS
KOPMA Jangan Hanya Jago Kandang operasi Mahasiswa (KOPMA) sebagai koperasi tingkat kampus harus bisa mengembangkan bisnisnya ke luar kampus. Hal itu menjadi inti pokok pembicaraan pada seminar nasional dan dialog interaktif di Aula Rektorat lantai 3 STAIN Kudus, Senin (31/10). Saekhan Muchit, Waket I STAIN Kudus mengungkapkan bahwa seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) termasuk KOPMA, jangan hanya berkutat di dalam kampus saja. “Koperasi mahasiswa harus keluar sangkar (kampus) membuka usaha di luar. Ini adalah tantangan bagi KOPMA,” ungkap Saekhan. Ia juga menambahkan, KOPMA yang berada di perguruan tinggi berbasis Islam (STAIN), seharusnya bisa mencoba menggali keterkaitan koperasi dengan Islam. “Di kampus umum, keberadaan koperasi dianggap biasa. Berbeda dengan kita (STAIN), ketika ditanya apa hubungan koperasi dengan 76
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
Islam, maka anggota harus bisa menjawab,” tegasnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ponco Prasetya. Laki-laki yang menjabat sebagai Pimpinan Koperasi Karyawan Djarum ini menilai bahwa KOPMA bukan dari, untuk, dan oleh mahasiswa saja, namun juga masyarakat. “Ketika kita sudah sukses di KOPMA dan menjadi jagoan di kandang sendiri, kemudian selesai, apa seperti itu?,” tanyanya kepada para audien. Ia menggarisbawahi jika KOPMA ingin melebarkan sayap koperasi harus mempunyai visi dan misi. Jangan keluar sangkar bila tidak mempunyai kedua elemen tersebut. Disamping itu, ada hal yang tidak kalah pentingnya, yakni mengetahui pelanggan koperasi. “Ketahui pelanggan koperasi dahulu sebelum mengembangkan bisnis,” pungkasnya.[] M. Nur salim
Ketika kita sudah sukses di KOPMA dan menjadi jagoan di kandang sendiri, kemudian selesai, apa seperti itu?
SKETSA KAMPUS
Gebrakan Kreatif Ala PGMI
Haidar/PARADIGMA
B
erbagai tarian tradisional telah dipentaskan secara apik oleh mahasiswa STAIN Kudus, Rabu (2/11). Acara tersebut merupakan kegiatan Gebyar Kreativitas Seni (GKS) mahasiswa semester 7, program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Acara yang berlangsung di GOR STAIN Kudus ini, mengangkat tema “PGMI Berkarya Melalui Seni untuk Membangun Negeri.” Tak hanya tari, Mahasiswa PGMI yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) PGMI STAIN Kudus ini, juga menampilkan pementasan angklung, musikalisasi puisi hingga musik gamelan. Dalam acara GKS yang perdana ini, memiliki kekhasan tersendiri. Dari berbagai penampilan yang ada, menunjukan kreativitas setiap mahasiswa yang ikut memeriahkan acara tersebut. “Sebagai pembuka acara dibuka dengan pementasan tari gambyong, tari kretek, tak lupa
Sebagai pembuka acara dibuka dengan pementasan tari gambyong, tari kretek, tak lupa paduan suara dan penampilan dari group karawitan.
paduan suara dan penampilan dari group karawitan,” terang Ni’matul Wafa selaku ketua kegiatan. Wafa menambahkan, penampilan utama (red: tarian) pentas budaya ini adalah 14 tarian dari berbagai daerah di Indonesia yang diperagakan 125 mahasiswa PGMI semester 7. Disela-sela pertunjukan utama, panitia menyuguhkan pentas selingan, berupa musikalisasi puisi, angklung maupun band. Untuk Musikalisasi puisi ditampilkan oleh mahasiswa semester tiga, band dari mahasiswa semester lima. Sedangkan pementasan angklung dimainkan oleh kelompok angklung Gema Nusantara PGMI. GKS yang terdiri dari 14 tarian mencakup semua jenis tarian. Mulai dari tari berpasangan, kelompok, hingga tari kreasi. “Saya sangat puas dengan penampilan ke 14 penari
walau hanya latihan selama empat kali pertemuan,” tutur pembimbing tari, Rakanita Dyah Ayu Kinesti atau yang akrab dipanggil Ines. Gebrakan Ketua Program Studi (Kaprodi) PGMI, Sulton menuturkan, lulusan PGMI STAIN Kudus haruslah memiliki keterampilan atau skill non-akademik, dan salah satu jalan untuk memilikinya dengan mengadakan GKS ini. Disamping itu, GKS yang termasuk mata kuliah dengan nol sks, sama dengan kegiatan yang telah berlangsung (senam jum’at pagi) dan Kursus Mahir Dasar (KMD) pada semester 6. Sulton menambahkan, bahwa semua kegiatan yang telah dilaksanakan oleh PGMI merupakan syarat munaqasah. “Kesemua itu diantaranya, mulai senam Jum’at pagi, KMD dan GKS ini akan ada sertifikat untuk persyaratan munaqasah,” pungkasnya.[] Melinda Candra A
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
77
SKETSA KAMPUS
Meluruskan Konsep Pendidikan Islam Salam/PARADIGMA
“
S
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu adanya pembenahan dalam konsep pendidikan Islam.
78
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
TAIN KUDUS - Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus menyelenggarakan workshop dan call for paper Conference on Islamic Education (CIE) 2016 di ruang Aula Gedung Rektorat lantai 3 Kampus Timur, Kamis (30/11). Acara yang mengangkat tema “Pendidikan Islam dan Kemanusiaan” ini menghadirkan Dede Rosyada selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai narasumbernya.
paper CIE tersebut. Bisa dipetakan, para peserta yang hadir berasal dari berbagai daerah, mulai dari ujung timur sampai barat. “Pendaftarnya tidak hanya dari Provinsi Jawa Tengah, namun juga dari beberapa penjuru seperti Surabaya, Malang, Banten dan Jakarta,” tuturnya.
Acara tersebut dijadwalkan mulai pukul 08.00 – 17.00 WIB dengan runtutan acara, pagi untuk workshop dan siangnya untuk sesi presentasi panel peserta call for paper.
Ia menambahkan, acara ini juga sebagai ungkapan rasa syukur atas diraihnya beberapa program studi baru khususnya di Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus. “Sampai saat ini Jurusan Tarbiyah sudah mempunyai 10 Prodi dan hal tersebut tidak luput dari persetujuan Beliau (Dede Rosyada),” pungkas Kisbianto.
Sebelum diskusi, Kisbiyanto selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, memaparkan laporan call for
Wakil Ketua I STAIN Kudus, Saekan Muchith yang sekaligus pembuka acara, mengungkapkan
SKETSA KAMPUS
“Konsep manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi merupakan konsep lama yang masih up to date. Manusia pada dasarnya bertugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi Tuhan dalam konteks kemanusiaan. Prof. Dr. Dede Rosyada MA Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
acara kali ini dihadiri oleh narasumber yang tepat. Pasalnya, selain rektor Dede juga pernah menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam pada periode 2011-2014. “Ia adalah figur yang paling banyak memberikan manfaat bagi STAIN Kudus, termasuk memberikan peluang dalam penambahan Prodi hingga mencapai 28 Prodi secara keseluruhan,” terangnya. Saekan juga menanggapi pelaksanaan workshop kali ini. Menurutnya, tema yang dipilih menarik karena membahas tentang pentingnya pendidikan Islam bagi manusia. “Setidaknya, manusia mempunyai beberapa aspek berdasarkan maknanya, sehingga wajar jika untuk membimbing mereka diperlukan jalur pendidikan,” ungkapnya. Refleksi Pemikiran Tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang ini kita sedang dihadapkan pada masalahmasalah yang berkaitan dengan kemanusiaan. Solusi dari itu semua adalah melalui Pendidikan Islam.
Materi yang disampaikan Dede Rosyada merupakan salah satu dari solusi baru yang ditawarkan dalam pendidikan Islam. Untuk menjawab tantangan kemanusiaan, ada beberapa indikator yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi bangsa terbaik khoira ummah. Melalui penguasaan terhadap sains dan teknologi, pengembangan peradaban, kemampuan ekonomi, stabilitas politik dan pertahanan keamanan.
pendidikan sebagai perubahan berpikir untuk masa depan.
“Konsep manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi merupakan konsep lama yang masih up to date. Manusia pada dasarnya bertugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi Tuhan dalam konteks kemanusiaan,” jelas Dede.
Sesi workshop berakhir pada pukul 12.30 WIB. Selang waktu satu jam untuk istirahat, acara dilanjutkan dengan presentasi panel. Jumlahnya mencapai 39 paper yang akan dipresentasikan. Ruangan untuk presentasi dibagi menjadi tiga, yaitu ruang aula tempat workshop (utama), ruang Senat dan aula samping Perpustakaan Tarbiyah. Untuk paper yang terpilih, akan diterbitkan di Jurnal STAIN Kudus nantinya.[]
Di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) saat ini, sudah semestinya lulusan sekolah menengah atau sarjana menguasai lima bidang yaitu teknologi-informasi, keterampilan berkarya, komunikasi visual, diversity dan Bahasa Inggris. Beberapa hal tersebut mencerminkan adanya
“Untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka perlu adanya pembenahan dalam konsep pendidikan Islam. Hal itu bisa direalisasikan melalui cara pengajaran guru di sekolah, seperti menggabungkan empat kompetensi ideal yakni thinking skill, multiple intelligence, taxonomy bloom dan habit of mind,” pungkasnya.
Qurrotu A’yun
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
79
CATATAN LEPAS
Ironi Komoditas “Tanah Surga” Oleh : Achmad Ulil Albab*
Kita perlu secangkir kopi
untuk sekedar mengingatkan bahwa hidup tak selalu manis. Pun dengan perjalanan bangsa Indonesia.
80
Ingatan saya terbentur bahagia, membaca catatan komoditas unggulan di Indonesia, yang dalam masa jayanya menguasai perdagangan dunia. Beberapa komoditas unggulan itu di antaranya adalah kopi, gula, dan kapuk. Dalam buku Ekspedisi Anjer-Panaroekan, laporan jurnalistik Kompas (Kompas: 2008) dikisahkan Kopi Jawa dulunya menjadi primadona bagi orang-orang kulit putih (baca: Eropa). Kopi Jawa dulunya diekspor ke daratan Eropa, pamornya sama seperti kina, karet, tebu, dan teh. Kini, beberapa komoditas unggulan itu meredup. Di Bandung ada kedai Kopi Jawa bernama “Aroma Kopi” yang berdiri sejak tahun 1930. Widya Pratama sang pemilik kedai mengklaim kopi terbaik dunia adalah Kopi Jawa. Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik ketimbang Afrika dan Amerika Latin, katanya. Kejayaan Kopi Jawa berawal dari politik tanam paksa (cultur stelsel) bikinan Gubernur Jenderal Johannes van de Bosch (1830-1833). Dalam kebijakannya itu petani diwajibkan mengalokasikan seperlima lahan untuk tanaman pasar Eropa, yaitu kopi, tebu, nila, teh, dan tembakau. Eksotisme Jawa pun menuai ketenaran berkat hasil buminya. Sayang, nasib komoditas Kopi Jawa kian meredup seiring sistem budidaya pertanian yang PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
coba sana coba sini sehingga kehilangan fokus. Ditambah banyak pengusaha kopi yang hanya mengejar omzet belaka tanpa memedulikan mutu. Hal ini turut menyumbang “senja kala Kopi Jawa.” Tak hanya kopi, komoditas lain yang turut memberi andil kemashuran bumi Jawa adalah gula. Industri gula di Jawa pernah merajai pasar dunia hingga melahirkan konglomerasi pertama di Asia Tenggara melalui sosok Oei Tiong Ham (18661924) asal Semarang, Jawa Tengah. Masih dalam buku yang sama, Masa itu John D Rockefeller pemilik Standard Oil ditahbiskan sebagai raja minyak awal abad ke 20, sementara Oei Tiong Ham adalah raja gula. Diberitakan dalam surat kabar berbahasa Belanda waktu itu, seperti De locomotief (Semarang) dan Java Bode (Batavia), ketika wafat raja gula itu memiliki total aset senilai 200 juta gulden.
Yang Hilang Pada masanya produksi gula turut menyumbangkan laba yang tidak sedikit bagi pemerintah kolonial. Namun ironis, di masa kemerdekaan gula lokal malah terkapar tak berdaya, tidak lain karena kebijakan impor gula (raw sugar: gula rafinasi) untuk industri. Lebih menyedihkan lagi ketika membaca riwayat komoditas pertanian kita yang lain semacam kopra dan garam, dalam buku Membunuh Indonesia; Konspirasi Global Penghancuran Kretek (Katakata: 2011) tulisan Abhisam DM dkk. Industri kopra dan garam disingkirkan dengan tidak sehat, sebab mitos-mitos kesehatan
diciptakan bukan semata kejujuran ilmiah. Demikian pernyataan dr. Saraswati, Mpsi, peneliti pada lembaga Penelitian Peluruhan Radikal Bebas, Malang. Ada agenda licik di belakangnya. Lucunya hal itu didukung pemerintah hingga mengkerdilkan ekonomi lokal. Rasa sesak di dada membaca kebesaran komoditas pertanian Indonesia yang begitu membanggakan, namun kini berantakan dan ah susah ngomongnya ..... Hari ini kita kehilangan. Selera kopi kita “dijajah” lewat serbuan “kedai kopi impor.” Meminum kopi sudah urusan gengsi. Tak masalah bila harga secangkir kopi berkali-kali lipat harga kopi di warung-warung lokal. Kita kehilangan martabat sebagai negara yang diibaratkan Cak Nun sebagai negeri penggalan surga, seakan-akan negeri ini kecipratan berkah surga. Yang diimajikan pula oleh Koes Ploes sebagai tanah surga: tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Namun nyatanya hari ini kita mengimpor gula, bahkan garam. Negeri ini kaya namun tak menyejahterakan warganya. Menutup tulisan ini, ada pepatah Jerman dalam buku Mencari Setangkai Daun Surga (IRCiSOD : 2016) besutan Anton Kurnia, berbunyi: “Orang boleh kehilangan semua, cinta, keluarga, harta, hingga harga diri, namun satu hal, jangan sampai kita kehilangan harapan.” Hmm... harapan, saya rasa harapan memang harus terus disemai dalam angan dan mungkin harus tertanam erat dalam pikiran. *Pimpinan Umum LPM Paradigma 2016
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016
81
82
PARADIGMA Edisi 30/Desember 2016