2
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
aktu dan kesempatan akan menjadi berharga manakala apa yang akan dilakukan bisa bermanfaat bagi banyak orang. Selalu memanfaatkan waktu luang adalah cara terbaik untuk bisa menyelesaikan tugas tanpa menggeser tugas yang lain. Banyak godaan dan gangguan ketika kita akan melaksanakan sesuatu yang penting. Salah satunya menyelesaikan penggarapan majalah. Ajakan berkumpul dengan teman, tugas kuliah, dan kegiatan lain yang tak kalah penting memiliki peluang besar mengalihkan perhatian kita. Sebenarnya semua itu bukan masalah jika kita mau memanfaatkan waktu dengan bijak. Waktu terus berjalan dan tugas menunggu kita untuk segera merampungkannya. Meluangkan waktu lalu mengerjakan tugas satu per satu adalah tindakan paling logis. Berani menunda tugas sekali saja, akan muncul tunda-tunda yang lain. Menggunakan waktu ibarat menikmati soto. Menikmati soto harus segera dimakan dalam keadaan hangat, jika dalam keadaan dingin maka soto itu tidaklah nikmat Dalam edisi kali ini, tim majalah Paradigma menggarap bidikan tentang peradaban kuliner Kudus. Jika dilihat dari segi kuliner, kuliner Kudus memang tidak ada habisnya untuk dikupas. Membincang kuliner Kudus tidak akan jauh-jauh dengan Soto Kudus. Soto Kudus yang kaya akan rempah-rempahnya itu telah melambungkan nama Kudus. Penggunaan daging kerbaunya memberikan cita rasa kekhasan yang berbeda dengan soto pada umumnya. Selain itu, Soto Kudus juga memiliki nilai histori yang menakjubkan. Menelisik lebih jauh kekayaan kuliner Kudus akan merambah pada aspek-aspek yang lebih menarik dan memberikan nuansa baru di wajah majalah Paradigma saat ini. Banyak pengalaman dan wawasan baru yang didapat, mulai nama-nama kuliner yang sudah jarang dijumpai di telinga pemuda saat ini, seperti Geplak Sari dan Pecel Pakis sebagai makanan tradisional dari Kudus. Kuliner hadir dari tradisi dan kebiasaan masyarakat zaman dulu. Seperti Jenang makanan khas Kudus yang sudah dikenal di semua kalangan hingga merambah ke luar negeri, juga memiliki nilai budaya yang mendalam. Hadirnya Kirab Tebokan dan Tari Jenang menjadi bukti kekayaan budaya yang berkembang di masyarakat. Inilah yang akan dikupas oleh tim majalah tentang kuliner yang ada di Kudus. Perjalanan waktu yang lama akan berbuah manis ketika bisa memanfaatkannya dengan baik. Ibarat memasak adonan jenang yang ekstra sabar dan siap menunggu. Seperti inilah yang akan ditunjukan oleh tim majalah tentang pentingnya menggunakan waktu agar yang dilakukan tidak sia-sia. Selamat membaca! PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
3
DAFTAR ISI
Nomor 01/Tahun XVII/Edisi XXIX/Agustus 2016
Bidikan Utama
Menu Khusus STAIN Kudus Siapkan Delapan Prodi Baru Demi memenuhi tuntutan masyarakat, terutama calon mahasiswa baru, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus menyiapkan delapan program studi baru. Empat Prodi baru akan dibuka di Jurusan Syariah dan empat lainnya di Jurusan Tarbiyah. Dari delapan prodi yang diajukan, sementara ini baru tiga Prodi baru yang disetujui . . . . . . . 50
Warung yang terletak di Jalan Pesanggrahan Nomor 193 tempat Supaat makan itu sendiri bukan warung biasa. Bangunan bercat hijau dengan bentuk bangunan yang cukup tua itu menjadi saksi bisu awal mula pecel pakis dibuat . . . . . . 19
Budaya
Konon, istilah berkat berasal dari Bahasa Arab yang bermakna “berkah”. Sehingga masyarakat lumrah memaknai berkat sebagai sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang Allah limpahkan dalam kehidupan sehari-hari . . . . . . 58 Salam Redaksi 1 Daftar Isi 2 Suara Kampus 3 Etalase 5 Parist 6 Kolam 8 Kang Asbun 9 Editorial 10 Bidikan Utama 12
Artikel Utama 22 Teknologi 25 Gaya Hidup 27 Wawawancara 30 Kolom 34 Profil 36 Kacamata 39 Jalan-jalan 43 Menu Khusus 48
Kolom 54 Budaya 56 Infografis 60 Info Buku 62 Sinema 64 Resesi Buku 67 Cerpen 71 Sketsa Kampus 76 Catatan Lepas 80
Majalah Paradigma Edisi XXIX
Pelindung: Dr.H.Fathul Mufid, M.Si (Ketua STAIN Kudus), H. Shobirin, M.Ag (Wakil Ketua III). Pembina: Dr. Kisbiyanto, S.Ag., M.Pd. Staf Ahli: Muhammad Hamdan,Wahyudi Zulfi Hidayat, M. Nasrurrahman, Munawir Aziz, Nur Habibi. Litbang: Zakki Amali, Hubeb Muhajir, Adi Purnomo, M. Zainal Arifin, Femi Noviyant, M. Agus Iqbal, Arif Rohman, Diyah Ayu Fitriani. Pimpinan Umum: Achmad Ulil Albab. Bendahara : Muhammad Farid. Kholifatul Maulida Sekretaris: Ahmad Afandi, Mahya Hidayatun Ni’mah Pimpinan Redaksi: Yaumis Salam. Redaktur Pelaksana: Muhammad Nur Salim Redaktur Berita: Farichatul Ibriza. Redaktur Budaya: Qurrotu Ayyun. Redaktur Opini: Kholidia Evening Mutiara. Redaktur Sastra: Dewi Kusmita. Reporter: Siti Rokhimah, Sari Rahmawati, Faqih Mansur Hidayat, Melinda Candra Agustina. Devisi Kajian dan Riset: Fuad Hasan. Devisi Publikasi: Bisri Musthofa. Karikatur: Ade Achmad Ismail. Layouter: Ismail. Alamat Redaksi: Gedung UKM Lantai Satu Kampus Barat STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembal Rejo. Bae, Kudus. 4
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
SUARA KAMPUS
BUTUH RUANG KELAS DARURAT
M
ohon kepada pihak STAIN Kudus, terutama pada pihak yang mengatur pada bidang infrastruktur kampus untuk menyediakan ruang kosong khusus kegiatan perkuliahan darurat. Pasalnya, kelas kami sangat dirugikan dengan adanya peristiwa runtuhnya langit-langit kelas yang saya tempati, yaitu Ruangan 11 B. Peristiwa ini membuat kami (mahasiswa Tarbiyah/PAI/B/2013) kehilangan 2 jam pertemuan perkuliahan, yang pada dasarnya perkuliahan ini adalah praktek dari micro teaching dan tergolong perkuliahan yang penting. Itu baru kerugian yang kami rasakan, belum lagi kelas yang menempati ruang tersebut. Maka, dimohon dengan sangat kepada pihak pengelola STAIN KUDUS untuk mempertimbangkan keluhan kami, karena sulitnya ketika kami mencari jadwal ruang kelas yang kosong.
(Khoerul Anas/Tarbiyah/PAI/B/2013)
JAWABAN :
Terimakasih Saudara Khoerul Anas, atas perhatian dan usulannya. Pada prinsipnya, pengelola perkuliahan, yaitu jurusan/program studi sudah menyiapkan ruang-ruang kelas sesuai peruntukannya masing-masing. Namun, apabila ada kendala karena keadaan fisik ruangan tertentu sehingga menggangu perkuliahan, seharusnya ketua kelas/atau perwakilan segera lapor ke pihak pengelola perkuliahan, yaitu jurusan/program studi. Biasanya, pihak jurusan/program studi akan mengalihkan ke ruang lain yang siap digunakan, sehingga perkuliahan tidak terganggu. Terima kasih. HUMAS
SERAGAM KAMPUS
S
atu lagi, kekompakan dan kebersamaan adalah kunci persatuan dalam suatu perbedaan. Kebersamaan akan terwujud bila memiliki identitas yang membanggakan. Alangkah baiknya, STAIN Kudus memiliki seragam baju kuliah yang santai, tidak terlalu resmi, serentak untuk mahasiswa. Terima kasih.
(Miftakhur Rohmah,/Tarbiyah/PBA/ semester 6)
JAWABAN :
Terima kasih Saudari Mifthakhur Rohmah, atas saran dan kecintaan Anda pada almamater STAIN Kudus. Memang benar, kekompakan dan kebersamaan menunjukkan identitas penting sebagai mahasiswa STAIN Kudus, dan bahkan menjadi kunci dari kesuksesan bersama dalam menempuh perkuliahan hingga lulus di STAIN Kudus. Tentang pemakaian seragam almamater, masing-masing mahasiswa sudah mempunyai jas almamater yang digunakan secara resmi dalam berbagai kegiatan kampus, misalnya seminar, diskusi, PKL, PPL, KKN, dan sebagainya. Untuk seragam yang bersifat fleksibel dan terkesan santai, silakan mahasiswa mengadakan tersendiri sesuai selera dan model fashion terkini yang trend, bisa per kelas, per angkatan, per program studi atau per jurusan. Yang penting tetap sopan dan sesuai tata tertib kampus serta bisa diterima mayoritas pemakainya. Selamat mendesain dan mengenakan baju baru yang santai dan sesuai alam gaul mahasiswa. Terima kasih, wassalam HUMAS
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
5
SUARA KAMPUS
MINIM TAMAN, TERASA MEMBOSANKAN
S
alah satu cara ampuh mengusir penat adalah dengan melihat kehijauan, bukan hanya gedung bercat hijau yaa. Tetapi hijau alam yang segar, taman. Seperti yang kita tahu, hari ini tata ruang kampus kita tak terlalu nyaman, malah terkesan sumpek. Lihat saja di kampus barat, setiap berjalan yang kita lihat hanya sesak oleh kendaraan. Praktis tidak ada ruang terbuka nan nyaman. Sehingga wajar bila mahasiswa enggan berlamalama di kampus. Selesai kuliah langsung ke warung atau malah pulang. Alangkah eloknya bila gedung-gedung hijau STAIN Kudus dipadu-padankan dengan taman-taman kecil di setiap pojokan. Saya kira taman tidak hanya menjadi pengusir penat atau penghias komplek semata. Bisa jadi hadirnya taman-taman impian nanti, akan merangsang laku mahasiswa untuk melingkar sederhana, kemudian mendiskusikan hal-hal kecil yang luar biasa. Pastilah aura intelektualitas kampus akan terasa kental. Semoga. (Melinda Candra Agustina, Mahasiswa PGMI Semester 5)
JAWABAN : Terima kasih Saudari Melinda Candra Agustina, atas harapan dan saran yang baik dan menyejukkan untuk kita semua. Sebagaimana kita kethaui bersama, bahwa STAIN Kudus sudah mempunyai beberapa taman kecil dan air mancur. Tetapi, seiring dengan perluasan area kampus, dan pembangunan gedung-gedung baru sehingga beberapa taman itu tergantikan dengan situasi baru. Konsentrasi pembangunan fisik pada saat ini untuk memenuhi kebutuhan pokok perkuliahan mahasiswa, karena itu, agenda penambahan taman-taman mini sesuai saran Anda, akan dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Sekiranya mahasiswa juga mau, maka bisa ikut serta dalam program penghijauan kampus, seperti yang pernah dilakukan oleh para alumni. Mahasiswa pro-green yang berarti mendukung penghijaun kampus, dan juga keindahannya. Wassalam Humas
(MASIH) MENANTI PERBAIKAN PERPUSTAKAAN
M
engingat kapasitas mahasiswa yang tidak diimbangi dengan fasilitas yang ada. Kami kesulitan mencari referensi untuk tugas dan lainnya. Disamping itu, perpustakaan yang sempit membuat kami berdesakdesakan dan tidak nyaman dalam membaca maupun mencari buku. Selain itu, pelayanan yang ramah juga diperlukan. Mohon untuk perpustakaannya segera ditingkatkan dalam segala hal, baik dari koleksi buku, pelayanan, serta tempat yang lebih luas lagi. Kalau perlu tiap jurusan dimohon ada perpustakaannya sendirisendiri. (Junianto, Mahasiswa Ekonomi Syariah, semester 5)
JAWABAN :
Terima kasih Saudara Junianto, atas saran dan harapan. Intinya, pengelola kampus STAIN Kudus tercinta ini, selalu mengembangkan kapasitas dan kualitas perpustakaan. Sebagaimana kita semua tahu, bahwa perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi. Insya Allah, dalam waktu tidak lama, STAIN Kudus akan membangun gedung perpustakaan yang lebih luas dan lebih representatif, di samping pengayaan koleksi buku-bukunya tentu lebih utama agar mahasiswa bisa mengakses lebih banyak referensi yang terbaru. Terima kasih. Humas Bagi pembaca yang mempunyai kritik dan saran untuk kampus STAIN kudus, baik dari segi sarana dan prasarana, atau apapun yang berhubungan dengan Kampus STAIN Kudus. Silahkan kirim kritik dan saran anda ke : lpmparadigma@gmail.com dengan menyantumkan nama dan jurusan.
6
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
ETALASE
Nancy, Pencipta Matahari di Malam Hari Nancy Matthews Edison
Tangguh, tekun dan penuh keyakinan merupakan sifat istimewa yang dimiliki oleh Nancy, yang dari ketiga sifatnya itu mampu mengubah dunia yang gelap ketika malam tiba. Nancy Matthews Edison adalah sosok yang berpendidikan lahir di Chenango, New York, pada tanggal 4 Januari 1808. Darinya lahirlah seorang ilmuan yang sangat berjasa bagi dunia yaitu Thomas Alfa Edison. Thomas merupakan anak ke 7 dan terakhir dari Nancy. Thomas Alva Edison lahir pada 11 Februari 1847 di kota Milan, Ohio, Negara bagian Amerika Serikat. Banyak temuan hebat yang disumbangkan Thomas yaitu salah satunya lampu pijar yang sampai sekarang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu Thomas Alva Edison telah mematenkan 1.093 penemuan atas namanya, baik berupa kirofon, mesin penerima telepon, bola lampu listrik, gramophone, dan kamera film. Penemuan besarnya membangkitkan industri-industri besar, seperti industri listrik, rekaman, serta film, yang akhirnya memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Tetapi semua temuan itu Ia pelajari tidak melalui sekolah formal, bahkan Thomas bersekolah kurang lebih hanya tiga bulan lamanya. Ketika lahir, Thomas dalam keadaan demam dan kepala
yang terlalu besar, pada usia dua tahun Thomas belum juga bisa berkata-kata, dokter mengira terjadi kelainan otak. Tetapi Nancy yakin bahwa anaknya adalah seorang yang cerdas sehingga ia sabar mangasuh dan mendidik Thomas, hingga akhirnya Thomas dapat berbicara pada usia empat tahun. Rasa ingin tahu yang dimiliki Thomas akan suatu hal sangat besar. Pada tahun 1854 Thomas besarta keluarga pindah ke Michigan. Pada saat usia Thomas 7 tahun, Nancy menyekolahkannya di sekolah lokal Family School for Boys and Girls. Dengan harapan bahwa pengetahuan dan pengalaman Thomas dapat berkembang. Namun, yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Thomas yang terbiasa belajar dengan ibunya dan bertanya hal-hal yang dilihatnya, tidak bisa ia lakukan di sekolah, sehingga ia tidak bisa mengikuti peraturan dengan baik. Untuk mendukung pendidikan anaknya di rumah, Nancy membelikan buku-buku pendidikan, seperti buku bahasa, sejarah dan ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu buku yang ia berikan kepada anaknya ialah School of Natural Philosophy karya R.G Parker, yang menjelaskan tentang eksperimen fisika dan kimia di dalam rumah. Nancy sadar bahwa anaknya suka melakukan percobaan.
Pada saat Thomas berusia 16 tahun ia menemukan temuan pertamanya setelah bekerja di berbagai kantor telegraf yaitu automatic repeater atau pengulang otomatis yang berfungsi untuk menghantar sinyal diantara stasiun yang kosong. Sehingga memungkinkan orang dengan mudah dan akurat menerjemahkan kode morse tanpa ada gangguan Thomas mewarisi sifat dari ibunya yaitu pantang menyerah, hingga Thomas menemukan sesuatu yang sangat berguna bagi keidupan manusia, dalam penemuannya bola lampu ia gagal hampir 999 kali baru yang keseribu ia berhasil menemukan matahari yang mampu menyinari di malam hari. Thomas Alva Edison banyak belajar tentang inisiatif dan sikap pantang menyerah dari sang ibu. Dengan membaca buku, ia mempelajari pengetahuan praktis, inspirasi, dan kebijaksanaan. Melalui obeservasi yang dilakukan, ia berhasil menambah pengalamannya. Sikap pantang menyerah dan terus berusaha untuk menjadi orang sukses. Walaupun tercapainya kesuksesan tidak mudah dan harus melewati kegagalan-kegagalan, seperti saat ia menciptakan bola lampu, namun ia terus berusaha tanpa menyerah. [] (Dikutip dari berbagai sumber)
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
7
KAJIAN
PENELITIAN
PENERBITAN
JURNALISTIK
Kebiri, Setimpalkah?
B
erbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak memicu keresahan publik. Belakangan ini kasus yang terungkap cenderung meningkat. Data menyebut 21,6 juta kasus pelanggaran hak anak pada 2015, 58 persen merupakan kejahatan seksual yang merusak masa depan dan perkembangan psikologis anak (Kompas, 23/05). Apabila hal ini dibiarkan tanpa ada payung hukum yang pasti untuk memberikan efek jera pada pelaku kejahatan, maka tidak menutup kemungkinan kejahatan seksual akan semakin meningkat. Berbagai wacana penambahan hukuman pun bermunculan, mulai dari hukuman hingga 20 tahun penjara ditambah dengan suntikan kebiri, memasang Chip mikro pada mantan narapidana kejahatan seksual (Kompas, 23/05). Beberapa orang kontra keputusan tersebut, dengan dalih melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih keputusan itu berdampak jangka panjang bagi psikis maupun fisik seseorang. Dari latar belakang tersebut maka LPM Paradigma mengadakan survei untuk mengetahui pendapat mahasiswa STAIN Kudus terkait rencana pemberlakuan hukuman kebiri pada pelaku kejahatan seksual. Bedasarkan polling yang dilakukan LPM Paradigama di STAIN Kudus dengan 100 responden. Hasilnya 93% menyatakan kejahatan seksual di Indonesia meningkat, 3% menjawab sedang, serta 4% lainnya menyatakan kejahatan seksual di Indonesia menurun. Melemahnya payung hukum tentu mempengaruhi tingkat kejahatan yang terjadi, sebab 8
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
apabila payung hukum tersebut berlaku, seharusnya tingkat kejahatan semakin menurun. Hal ini diperkuat dengan 70% responden menyatakan payung hukum di Indonesia lemah. Sehingga membuka kemungkinan perlu penguatan aturan hukum seperti yang diputuskan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Kebiri. Mengenai penambahan hukum bagi pelaku kejahatan seksual 96% responden menyatakan setuju untuk memberi penambahan hukum bagi pelaku kejahatan seksual, meskipun 4% menyatakan kurang setuju dan 0% tidak setuju untuk penambahan hukum. Berlanjut pada penjatuhan hukum kepada pelaku kejahatan seksual, kita mengetahui terdapat beberapa wacana, mulai dari penambahan waktu kurungan dan kebiri kimia. Melalui polling yang telah dilakukan, 10% menyatakan untuk penambahan waktu kurungan, 8% untuk melakukan kebiri kimia dan 82% memilih untuk melakukan penambahan waktu kurungan dan kebiri kimia. Hal lain yang juga diwacanakan adalah pemasangan chip mikro, pada mantan narapidana kejahatan seksual pada alat kelamin, sehingga apabila kejahatan tersebut dilakukan lagi, maka alat tersebut akan mendeteksi pelaku kejahatan tersebut secara otomatis dan dengan mudah terlacak keberadaannya. Hasilnya 12% responden menyatakan tidak setuju dan 87% menyatakan setuju dalam wacana pemasangan chip mikro bagi mantan narapidana kejahatan seksual. Dalam wacana kebiri kimia juga chip mikro pada pelaku kejahatan seksual seakan
maju mundur dilakukan, sebab hal tersebut berkaitan dengan HAM yang dimiliki setiap penduduk, bedasarkan suara mahasiswa, 38% menyatakan bahwa wacana di atas menyalahi HAM, 61% menjawab bahwa wacana di atas tidak menyalahi HAM.[] KHOLIDIA EVINING MUTIARA /SALMA
KAJIAN
PENELITIAN
PENERBITAN
Iya
JURNALISTIK
Tidak
Metode Poling : Poling diambil di STAIN Kudus dan sekitarnya pada awal Juni 2016, dengan pengambilan poling secara random sebanyak 100 mahasiswa.
Disclaimer : Ilustrasi : Mael
Hasil poling ini tidak bermaksud mewakili pendapat seluruh civitas akademika STAIN Kudus. Melainkan sebagai data yang disajikan ke publik dan tidak dimaksudkan untuk pengambilan keputusan oleh siapapun.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
9
KOLAM [Kolom Alumni]
Kuliner Bergantung Bahasa Lidah Lidah menentukan persepsi dan tafsir atas rasa berdasar stimulus, sehingga lidah dapat menerjemahkan dan membahasakannya dalam bentuk asin, pahit, asam, manis, pedas dan lain sebagainya. Lidah akan kecanduan menerangkan dan menafsirkan berbagai masakan dengan menyimbolkannya dalam bentuk rasa.
B
erbicara tentang kuliner tak pernah habis untuk dibahas, hampir di setiap kota atau daerah mempunyai khas tersendiri mengenai kuliner. Dengan menawarkan berbagai jenis hidangan dan rasa, kuliner Indonesia umumnya banyak menggunakan rempah dan bumbu beraneka ragam. Demikianpun dengan warna, jenis masakan, dan cara memasaknya. Indonesia memiliki pelbagai keragamanan. Mulai dari keragaman suku dan budaya, bahasa dan pola kehidupan, agama dan pemikiran, hingga makanan dan rasa. Sebagai contoh kecil pengalaman pribadi, bahwa masakan orang Kudus dengan masakan orang Pati sangat berbeda. Masakan orang Kudus dikenal orang Pati dengan cita rasa manis, sedangkan orang Kudus menyebut masakan orang Pati dikenal masakan pedas; walaupun tidak semuanya begitu karena rasa bergantung pada bahasa lidah. Lidah menentukan persepsi dan tafsir atas rasa berdasar stimulus, sehingga lidah dapat menerjemahkan dan membahasakannya dalam bentuk asin, pahit, asam, manis, pedas dan lain sebagainya. Lidah akan kecanduan menerangkan dan menafsirkan berbagai masakan dengan menyimbolkannya dalam bentuk rasa. Tampaknya, kuliner dijadikan sebagai pertukaran identitas yang saling mengisi. Di dalamnya terdapat berbagai unsur daerah lain, lihat pada bumbu racikan tidak akan diperoleh identitas tunggal, terdapat akulturasi dari berbagai daerah. Namun demikian terdapat perbedaan nama, bentuk penyajian yang menunjukkan ciri khas suatu daerah. Kuliner juga dijadikan sebuah alat perlawanan, dalam film Ratatouille (2007) mengisahkan tentang tikus bernama Remy yang ambisius dan idealis akan bakat meramu kuliner, ia bersahabat dengan manusia. Walaupun kebanyakan bangsa tikus menganggap 10
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
manusia tidak akan pernah bersahabat dengan bangsa tikus, begitu pula sebaliknya. Anggapan itu dibantah oleh Remy sebagai perlawanan atas persahabatan dengan manusia dan bakatnya. Walaupun tikus yang membuat masakan itu, namun dalam masakan yang dibuatnya mempunyai cita rasa masakan yang luar biasa dilidah manusia. Simbolisme Rasa Soal rasa, makanan tak pernah bohong. Enak ataupun tidak, akan terungkap dengan sendirinya, sadar atau tak sadar lidah tak akan mengelak kecuali kata-kata. Secara ontologis rasa adalah hasil dari indra perasa ‘lidah’ yang ada pada saat bertemunya makanan atau apa saja dengan lidah. Jadi, rasa ini tidak akan bisa hilang walaupun sudah tercuci oleh pasta gigi karena
MOH. ANDRIK FAHRURROZI*
dia akan tetap menjadi kesan. Rasa pada makanan memiliki makna filosofis tersendiri. Jika kita jalan-jalan ke warung untuk sarapan, maka ada banyak rasa. Dan kalau makanan di warung itu enak maka akan ada kesan untuk datang kembali karena enaknya yang membuat anda harus datang. Dan jangan salah, setiap yang enak itu akan terasa damainya. Karena kenikmatannya ini bermakna bahwa jikalau kita berbuat sesuatu yang baik kepada orang lain maka akan ada kesan untuk dia harus datang kepadamu. Begitu pula sebaliknya jika makanan di warung itu tidak enak maka akan ada kesan bahwa anda tidak akan datang untuk kedua kalinya. Satu kisah tentang rasa, saya teringat kisah lucu Abu Nawas yang menyimbolkan akan rasa pada sebuah kuliner. Pernah suatu ketika Abu Nawas meminang wanita tercantik di desanya (sebut: kembang desa).
Rupanya dari kecantikan istri Abu Nawas tersebut membuat semua lelaki yang melihat menggodanya. Dari kecerdikannya ia menemukan solusi untuk mengatasi lelaki yang meggoda istrinya itu. Ia membeli ubi-ubian untuk dijadikan makanan yang berbeda-beda dan berwarna-warni. Tak perlu waktu lama, para tamu pun langsung menikmati hidangan dengan antusias. Mereka juga berhasrat menikmati makanan dengan warna yang berbeda. Ternyata, dari banyak warna itu, rasanya sama saja. Hingga, mereka saling berbisik menanyakan kepada Abu Nawas rasa hidangan yang dimakan. Singkat cerita Abu Nawas menjelaskan bahwa “Saudara-saudaraku, aku mengundang hanya agar kalian menikmati hidangan itu,” tuturnya menerangkan, “yang kalian makan itu, tak ubahnya istri-istri kita.” “Memang,” lanjutnya, “bentuk fisiknya beda-beda, sama halnya makanan itu.” Kisah di atas, saya sekedar mengajak pembaca memetik inspirasi dan berspekulasi dalam pemaknaan sebuah simbolisme rasa. Dengan begitu menjadi jelas dalam pengejawantahan rasa kuliner sarat dengan simbol. Pertama simbolis atas identitas; identitas akan suatu bangsa, budaya, kemajuan pemikiran, kultur masyarakat, tradisi, dan pertahanan hidup. Kedua simbolis sebagai alat perlawanan, dan ketiga simbolis suka atau tidak suka, enak atau tidak enak rasa kuliner bergantung pada bahasa lidah dalam menafsirkan. Begitu! [] *Mahasiswa Pascasarjana STAIN Kudus, pernah menjabat Devisi Kajian dan Riset LPM Paradigma 2012, STAIN Kudus. Facebook: Moh Andrik Fahrurrozi, Email: andrikfahrurrozi@yahoo.co.id
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
11
Karikatur : ismail
UKT naik untuk Mahasiswa angkatan 2016/2017. -Memang harus seperti itu, semakin tua cucu semakin banyak Lulusan STAIN diragukan di Masyarakat -Omong kosong, peringkat STAIN Kudus ini kan nomor 10 Nasional Kampus STAIN Kudus kampus terbersih se-Karisidenan -Akademik dan keuangannya apa sudah bersih juga pak? Atap ruang 11 B roboh, Mahasiswa kehilangan 2 jam kuliah -Mungkin banyak tikus yang bermain-main di atas atap
12
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
EDITORIAL
Merawat Kuliner Khas Kota Kretek
G
iles Milton dalam bukunya, Pulau Run (2015) menceritakan kekayaan rempah berupa pohon pala yang tumbuh subur di pulau Run, Kepulauan Banda, Maluku. Sebuah pulau kecil yang menjadi perebutan Belanda dan Inggris di era kolonialisme. Tak hanya di Pulau Run, kekayaan rempah juga menyebar rata di Nusantara. Sebuah warisan berharga yang bisa diolah menjadi beragam kebutuhan. Obat-obatan, bumbu masakan dan makanan mustahil ada tanpa adanya rempahrempah dari alam. Berkembang dari rempah-rempah segala jenis masakan (baca : kuliner) khas tercipta oleh tangan-tangan kreatif. Budaya yang beragam semakin menegaskan kuliner khas dicipta sebab jati diri individunya. Karakter tegas misalnya, menghasilkan kuliner khas yang cenderung pedas. Di Kudus, jati diri itu terekam pula dalam makna filosofis kulinernya. Masyarakat Kudus menjadikan Soto Kudus sebagai ikon kuliner yang dianggap mewakili jati diri mereka sebagai pribadi yang toleran. Tidak hanya itu saja, kuliner di Kudus juga syarat akan daya kreativitas masyarakatnya. Seperti halnya pecel pakis, jenang kudus, madu mongso, geplak sari, yang kian memikat para penikmatnya. Berbagai inovasi ditawarkan demi mempertahankan eksistensinya sebagai kuliner khas Kudus yang bernilai jual. Beberapa yang lain dapat dijadikan kajian dan wacana go internasional sebagai destinasi wisata kuliner. Bagi masyarakat Kudus, kuliner
bahkan patut untuk disakralkan. Seperti halnya, nasi jangkrik dan nasi uyah asem, yang hanya dikeluarkan di saat-saat tertentu. Yaitu dalam peringatan khaul Sunan Kudus atau biasa dikenal dengan sebutan buka luwur. Sebuah daerah dikatakan maju manakala terdapat ragam kuliner yang khas. Konon perkataan itulah yang dianggap relevan bila dikaitkan dengan peradaban dan kemapanan. Kuliner adalah simbol pangan yang menandakan kesejahteraan. Tantangannya kini melebar kepada persaingan wisata, gaya hidup dan makna filosofis. Dan begitulah pangan (baca : kuliner) berkembang. Kita perlu menyadari bahwa kuliner tidak lagi sekadar perlambang kesejahteraan yang ditandai dengan perut yang terisi. Kuliner akan
menjelma menjadi bagian dari gaya hidup. Di dalamnya pula terdapat bahasan kesehatan, filosofi sampai gengsi. Tidak hanya di Kudus, kekayaan kuliner Indonesia tersebar di berbagai wilayah dengan segala ciri khasnya. Baru-baru ini, Kudus dianugerahi penghargaan Adipura Kirana Tahun 2016 sebagai kota yang mampu menumbuhkan potensi ekonominya dan menjadi destinasi para turis baik lokal maupun mancanegara. Wisata kuliner akan selalu menjadi nilai lebih bagi suatu daerah. Kudus, dengan segala kekayaan intelektual dan potensi kreativitas masyarakatnya ialah titik penting bagi kemajuan Indonesia. Itu menegaskan bahwa dunia harus “melihat� kita. Yang senantiasa kaya akan segala daya. Termasuk pangan dengan berbagai jenis masakannya. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penghargaan bukanlah pencapaian. Sebab, semua itu akan sirna manakala kita tidak merawatnya. Di tengah terpaan pasar bebas yang menggila, peluang terbuka untuk mempromosikan itu semua. Masalahnya ialah seberapa kuat kita menjaga diri atas godaan budaya, kuliner dan segala daya dari luar negeri yang kian mendesak masuk menggerogoti pola pikir generasi kita. Sekali lagi, merawat adalah kuncinya.[] REDAKSI
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
13
BIDIKAN UTAMA
Soto Kudus Melintas Zaman Aroma dan kelezatannya telah mencapai mancanegara. Bagaimanapun, jejak-jejak budaya telah mengantarkan soto menjadi kuliner yang khas.
D
ari daratan Tiongkok yang bergejolak, para imigran membawa soto melintas benua. Cerita yang panjang. Jarak budaya dan geografi yang terlampau jauh untuk ditelusuri menjelma dalam semangkuk soto. Siapa menyangka, soto telah menjadi identitas kuliner sebuah daerah. Satu soto beragam variasi. Apapun bentuk dan sebutan, soto tetaplah soto. Dijajakan pikulan pada puluhan tahun silam, sekarang soto menempati warung dan ruko yang mapan. Aroma dan kelezatannya telah mencapai mancanegara. Bagaimanapun, jejak-jejak budaya telah mengantarkan soto menjadi kuliner yang khas. Warisan China ini disinggung oleh Indonesianis, Dennys Lombard yang menyebut asal muasal soto dari daratan Tiongkok dengan kata asli Caudo. Hidangan berkuah yang disajikan di perabotan keramik ini pertama dikenal di Semarang. 14
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Caudo lambat laun menjadi soto. Orang Makassar menyebut Coto, sementara orang Pekalongan menyebutnya Tauto. Soto memang serba China. Dari penyajian yang mengandalkan perabotan hingga bumbu utamanya dan taburannya yakni bawang putih. Di kedai-kedai masakan Tionghoa, bawang putih adalah unsur utama. Tidak berlebihan bila soto ini disebut produk migrasi kuliner yang telah lepas dari konteks zamannya. Soto telah melintasi zaman. Kuliner hadir dengan modifikasi, menyesuaikan lidah dan selera masyarakat lokal hingga jadilah hidangan soto seperti yang kita nikmati hari ini. Soto Kudus menjadi salah satu kuliner ikonik kota berjuluk “Yerussalem Van Java� ini, yang mempunyai cita rasa khas lidah lokal Nusantara. Geriliya Juragan Soto Peran para juragan soto sebagai medioker peradaban kuliner soto.
Tanpa geriliyanya dan ketabahannya berjualan tanpa alas kaki dan berkeliling di sekitar Kudus, saat ini mungkin soto ini tinggal cerita dan jadi makanan yang terpinggirkan. Soto Ramidjan, terletak di Jalan Raya Kudus-Jepara No 79 A atau sebelah Pasar Jember. Letaknya yang strategis menjadikannya mudah dijangkau dari kedua arah. Semerbak harum kuah soto ini pun langsung tercium, saat memasuki warung. Durasi operasional warung mulai pukul 06.00 sampai 20.30 WIB. Sudah tiga dekade, dinasti soto Ramidjan ini mewarnai wajah kuliner Kudus. “Sebelum buka di Jember, Pak Ramidjan membuka warung soto di Terminal Mall Matahari. Pada waktu yang bersamaan, juga mempunyai cabang di sekitar alun-alun Simpang Tujuh (Sekarang pindah ke Taman Bojana) dengan nama warung soto Bu Ramidjan,� ungkap Ferry Roosmawan (39), cucu Ramidjan yang mewarisi warung soto saat ini.
BIDIKAN UTAMA Sambil sesekali memainkan ponselnya, Ferry melanjutkan ceritanya, soto khas Kudus berbahan pokok daging kerbau, dengan isian nasi putih, taoge, kucai, daun seledri. Kemudian disiram kuah kaldu daging kerbau yang bening, dan juga dilengkapi dengan taburan bawang goreng, yang membuat rasanya semakin kental. Orang Padang mengatakan lamak rasanyo, meskipun tidak menggunakan santan. Sehingga menjadi daya tarik sendiri oleh para pembeli yang mampir ke warung bercat hijau dengan perpaduan kuning tersebut. Yang menjadikan soto ini berbeda dari daerah lain seperti Soto Betawi dan Soto Lamongan adalah kuahnya yang bening, karena tanpa menggunakan santan. “Orang zaman sekarang enggan dengan makanan yang berkuah kental, yang mengandung banyak lemak,” tukasnya. Di Kudus, tidak hanya Ramidjan. Ada juga Denuh yang memulai usaha sejak masa penjajahan Jepang. Taram (66), anak Denuh yang ke-6 dari 15 bersaudara, merupakan penerus usaha warung Soto Pak Denuh yang sekarang. Menu Soto Kudus yang dijual di warungnya saat ini dimasak dengan cara yang berbeda, yakni kuah soto dibuat agak bening. “Dulu, masakan soto berkuah kental sangat digemari, karena lidah merasakan enak karena lemak yang kental. Namun karena tren sekarang banyak orang yang takut lemak, kuah soto dibuat agak bening,” ujar pemilik warung di Jalan AKBP Agil Kusumadya ini. Taram menambahkan, bahanbahan yang digunakan untuk Soto Kudus sebenarnya sama dengan soto lainnya. Tidak ada resep khusus, karena yang membuat cita rasa suatu masakan itu berbeda adalah tergantung kokinya. Ada istilah “lain koki lain masakan”. Penggemar Soto Kudus pun tidak datang dari masyarakat lokal Kudus saja, banyak pejabat-pejabat dari
tingkat provinsi sampai pusat yang selalu menyempatkan makan soto setiap kali berkunjung ke Kudus. “Pernah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bertandang ke sini, dan mencicipi segarnya Soto Kudus di siang hari,” jelas pensiunan PNS ini, dengan gelak tawa yang khas, sembari memperlihatkan foto-foto yang dipajang di dinding warungnya. Lain halnya dengan warung soto Pak Di yang mempertahankan kentalnya rasa melalui kuah kaldunya. Warung yang buka mulai pukul 16.00 sampai 21.00 di Pasar Kliwon ini memiliki resep soto dengan kuah yang agak kental. Karena dengan begitu, daging kerbau menjadi lebih empuk. Soto Kudus Pak Di tak kalah mentereng dengan yang lainnya, meskipun tempatnya begitu sederhana. Hanya sebuah tenda semi permanen di teras Pasar Kliwon. Warung ini sering kali diliput media cetak lokal maupun nasional, suara merdeka, jawa pos, kompas hingga beberapa media elektronik. Pelanggan yang sering bertandang ke sini pun beragam, mulai dari kelas menengah ke atas, artis, hingga pejabat kabupaten. “Soto Kerbau Pak Di mampu membuat ketagihan para penggemarnya, dan terkadang menjadi nostalgia para perantau yang berasal dari Kudus. Selain beberapa turis Australia yang dulu pernah ketagihan sampai nambah tiga porsi,” tutur Siti Aminah Muslih (53), pemilik warung soto kerbau Pak Di saat ini. Aminah melanjutkan ceritanya, ketenaran warung soto Pak Di ini tak luput dari pasang surut. Sejarah Soto Kerbau Pak Di bermula dari warisan dan kerja keras leluhurnya, yang sampai saat ini sudah diturunkan ke generasi keempat. Dulu, di era penjajahan Jepang, rintisan Soto Kerbau ini sudah ada. Namun belum seperti sekarang yang sudah mempunyai warung tetap. “Istilah zaman dulu itu mbabat alas.
Mbah buyut berjualan soto dengan menggunakan pikulan. Berkeliling tanpa lelah mulai dari pasar kliwon, sampai daerah pentol.” “Mengenai resep masakan, sebenarnya tidak ada yang berbeda. Bumbu utama dibuat dari bawang merah, bawang putih dan merica,” ungkap wanita yang terkenal ramah dengan pelaggannya ini. Adapun cara penyajiannya pun sama, dengan menggunakan mangkuk kecil yang khas berisikan nasi putih, kecambah, irisan kol, daun seledri dan potongan daging kerbau yang kemudian disiram kuah kaldu kental yang hangat. Strategi penjualan yang merupakan wejangan dari Mbah Di pun masih dijalankan, yaitu dengan resep masakan yang turun temurun. Selain itu, kuota penjualan pun diatur sesuai dengan waktunya. “Bulan Apit (baca : Dzulqo’dah) biasanya agak sepi, kata Mbah Di, titenono nek wayah duren lan ace (rambutan), penggean seret. Dadi kurangi porsi daganganmu,” ungkap Ibu tiga anak ini. Setiap warung soto memiliki pelanggan masing-masing. Persaingan ketat dan sehat tercipta dengan sendirinya.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
15
Soto Kudus berisikan nasi putih, potongan daging kerbau, tauge, irisan kol, daun seledri dan kucai. kemudian disiram kual kaldu daging kerbau yang hangat. Dengan sedikit tambahan tambahan kecap, sambel dan perasan jeruk nipis soto ini akan terasa lebih nikmat
ULIL/PARADIGMA
Karso Karsi, yang sudah mulai berjualan soto pada tahun 1940-an berusaha keras untuk mempertahankan cita rasa soto dengan menggunakan kayu bakar dalam memasak kuah. “Bapak Karso Karsi saat itu menjual soto dengan cara berkeliling kampung menggunakan pikulan. Baru mulai tahun 1950an, beliau mendirikan warung di Desa Jati Kulon tepatnya di depan kantor PLN Kudus,” terang Nanik Cahayani (43), penerus Karso Karsi. Warung soto ini sedikit unik dibanding lainnya, di mana dalam proses memasaknya masih menggunankan kayu bakar. “Hal ini karena api kayu bakar awet panasnya,” imbuh wanita yang mulai meneruskan usaha Karso Karsi sejak tahun 2000. Tentang pelanggan, alumnus Fakultas ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini punya cerita unik. “Banyak pembeli yang belum pernah mencoba Soto Kerbau, awalnya tidak mau setelah mencoba lalu ketagihan. Mereka membayangkan hewan kerbau yang besar hitam dan kotor, pasti dagingnya alot.” 16
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Sabda Kultural Soto Kudus menjadi daya tarik tersendiri. Hal itu mengingat ketika daging kerbau menjadi konsumsi mayoritas wong Kudus. Kekhasannya dikenang hingga menjadi ikonik kota. Berbicara soal kuliner dengan bahan baku daging kerbau di Kudus, tentunya ada sederet cerita yang mengekor dibelakangnya. Hadirnya kuliner soto kerbau tidak serta merta hadir begitu saja. Seperti penggalan puisi ini. Maka bila berkunjung ke kota kami Jangan kalian cari kuliner daging sapi Sebab bagi saudara kami sapi adalah hewan suci Sebab sang terpilih pernah berfatwa “untuk menenggang rasa saudaramu Jangan sekalipun kau menyembelih lembu !” Serentak kami mengamini tanpa ragu (Quds, Itulah Nama Kota kamiMukti Sutarman Espe) Pemilihan daging kerbau menggambarkan toleransi antar pemeluk agama di Kudus, utamanya Islam dan Hindu. Karena
dilatarbelakangi sabda toleransi Sunan Kudus yang melarang menyembelih sapi, sebagai wujud menghormati orang Hindu. “Sabda Toleransi ini awalnya muncul karena masa itu masyarakat Kudus mayoritas beragama Hindu, yang menganggap sapi sebagai hewan suci yang dihormati,” tutur Zamhuri, pemerhati sosial dan budaya di Kudus. Larangan ini menjadi semacam kultur yang diwariskan turun temurun, yang kemudian dikreasikan oleh masyarakat dalam suguhan kuliner. Selain kuliner sate kerbau dan pindang kerbau yang juga terinspirasi dari sabda wali yang berjuluk Waliyul Ilmi itu. Penggunaan daging kerbau merupakan warisan toleransi yang diajarkan, bukan murni kreasi kanjeng sunan. “Warisan tersebut menjadi semacam kultur yang pantang untuk dilanggar. Sudah menjadi sistem keyakinan begitu,” imbuhnya. [] QURROTU AYYUN KHOIRUL ANAS
BIDIKAN UTAMA
“Sroook...sroook...sroook...” Begitulah suara yang terdengar saat pengaduk dari kayu bergesekan dengan kuali besi berukuran cukup besar terdengar. Dari adonan kental berwarna cokelat yang tengah diaduk itu, aroma gula yang keluar sudah memberikan gambaran jika adonan itu memiliki rasa manis yang legit. Makanan itu dinamai jenang. Di Kudus, jenang sudah menjadi bagian identitas. Tapi tak banyak yang tahu jika makanan lengket itu terkait erat dengan Desa Kaliputu Kecamatan Kota.
F
atkah (49), tokoh agama di desa setempat ini mengisahkan dua versi cerita yang diyakini berkaitan dengan asal-usul jenang. Makanan yang berbahan baku utama tepung ketan itu terkait erat dengan nama Desa Kaliputu Kecamatan Kota. Konon, ada seorang kakek bersama cucunya menghadiri acara takbiran pada malam hari raya Idul Fitri di sebuah tempat, di masa lalu. Di acara tersebut sang cucu tanpa sengaja terjatuh ke sungai. Kebetulan kala itu air sungai sedang mengalir deras. Tubuh cucu hanyut ke tengah dan tenggelam diambil Kalap, sejenis makhluk halus yang menghuni sungai. Sunan Kudus (Syeh Ja’far Shodiq) yang hadir di acara tersebut datang menolong.
Setelah dibawa ke tepi, Sang Sunan mengatakan anak itu sudah mati. Lain halnya dengan pendapat Syekh Jangkung atau Saridin (salah satu tokoh legendaris dari Kabupaten Pati) yang berseberangan pendapat dengan Sunan Kudus. Syekh Jangkung yang datang bersama Sunan Kudus saat acara itu mengatakan bahwa cucu dari kakek itu hanya mati suri. Syekh Jangkung menyarankannya untuk menyuapi anak itu dengan bubur gamping. “Bubur gamping yang ada bisa diartikan sebagai bubur putih yang sampai saat ini dijual di pinggiran jalan di Desa Kaliputu. Namun ada yang mengatakan bubur gamping tersebut sebagai jenang,” jelas Fatkah. Setelah disuapi, sang cucu
tersebut hidup kembali. Setelah ‘menyembuhkan’ cucu yang tenggelam tadi, Syekh Jangkung berkata kepada masyarakat. Ketika masa ramai kelak, penduduk di sini akan berprofesi sebagai pengusaha bubur. Masyarakat kemudian mengartikan bubur yang dimaksud adalah jenang. Versi lain diceritakan oleh Zaenal Arifin (51). Dia mengutarakan, konon ada seorang kakek bernama Mbah Dempok Suponyono. Dikisahkan, suatu ketika Mbah Depok Suponyono sedang bermain burung dara. Saking asyiknya ia lupa jika cucu yang dari tadi bersamanya terjatuh ke sungai, hingga ditarik ke tengah sungai oleh kalap (disebut juga banaspati). Kemudian, datanglah Syekh Jangkung yang PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
17
kebetulan melintasi desa tersebut. Syeh Jangkung menyarankan untuk menyuapi cucu tersebut dengan bubur gamping atau jenang. Nama desa Kaliputu diambil dari penggalan tiga kata yang diambil dari asal usul cerita di atas. “Cerita turun-temurun dari keluarga saya, nama Kaliputu sendiri diambil dari kata kalap, lali, dan putu,” tambah Zaenal. Di luar benar tidaknya kisah itu dari sudut pandang ilmiah, kenyataannya, pengrajin jenang mayoritas terdapat di desa yang terletak di sebelah utara pusat Kota Kudus itu. Di Desa Kaliputu, usaha jenang berkembang secara turun temurun. Saat ini, rasa jenang tak lagi semata manis rasa gula. Tapi lebih bervariasi. Cara pengemasan juga lebih baik. Tak sekedar bulatan hasil gulungan telapak tangan. Zaenal Arifin, bos dari pusat jenang Karomah mengatakan, dalam pembuatan jenang memerlukan waktu yang tak sesingkat saat memakannya. Sekitar empat jam lebih jenang baru bisa dinikmati. Untuk satu kuali dengan ukuran diameter kurang lebih 90 cm, tinggi 32 cm, dan tebal 1 cm membutuhkan 25 buah kelapa, Sembilan kilogram ketan, gula aren 10 kilogram, dan gula pasir 18 kilogram. Dalam satu kali pemasakan bisa menghasilkan 10 loyang dengan batas muatan loyang sebanyak lima kilogram per loyang. Meski membutuhkan tenaga kerja lebih serta tenaga yang besar, Zaenal mengakui jika pembuatan jenang dengan tenaga manusia lebih baik, serta lebih singkat. Untuk pengadukan secara manual hanya memerlukan waktu empat jam karena adonan cepat menyatu. Namun ketika menggunakan mesin otomatis bisa sampai lima jam. Hal ini dikarenakan proses pengadukan mesin yang tidak sempurna. Jenang Kudus terus “diakali” agar tetap diminati generasi saat ini. Salah satunya dengan menawarkan sejumlah rasa. Sejak 2000-an, 18
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Zaenal mencoba mengembangkan bahan baku kombinasi ketan; seperti jagung, kedelai dan kacang ijo (jalejo). Selain itu, kacang tanah dan rumput laut juga digunakan. Meskipun ada inovasi rasa, bahan baku utamanya masih ketan. Pengemasan menjadi strategi kedua. Jika dulu sekitar tahun 1972 orang tuanya mengemas jenang dengan cara ditaruh di atas tebok atau tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Agar lebih ramping, jenang dipotong kecil-kecil kemudian dikemas dengan plastik dan diikat. Namun sekarang jenang tak pakai cara itu, tapi dengan kemasan yang lebih menarik “Seperti bungkus jenang yang mudah dibuka dan dikemas dengan cover yang menarik,” tambahnya. Tak terhitung toko oleh-oleh yang menjual jenang Kudus. Tapi tempat penjualan yang paling legendaris sekaligus strategis yakni di area Makam Sunan Kudus dan Makam Sunan Muria di Desa Colo. Para peziarah di dua makam itu kerap menjadikan jenang sebagai buah tangan untuk sanak keluarga. Para peziarah tidak hanya datang dari Pulau Jawa. Kedatangan peziarah ini membawa berkah bagi pembuatnya, karena dengan tidak langsung jenang jadi terkenal di pulau seberang. Dari sini, jenang Kudus bisa merambah ke luar Jawa. Di antaranya ke Batam, Nusa Tenggara Barat, dan Palembang. ”Saat bulan Ramadan, jenang banyak diburu, hingga lonjakan pemesanan mencapai tiga kali lipat,” ungkap Zaenal Arifin, yang juga peraih Juara I Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara Tingkat Nasional Kategori Pemangku Ketahanan Pangan Tahun 2014 itu. Perjalanan kuliner jenang tak selamanya mulus. Laki-laki paruh baya yang bernama Anwar (48) yang sudah bergelut dengan jenang sejak 1981-an hingga saat ini menyampaikan keluhan mengenai kelanjutan penganan khas itu.
Berpindah-pindah tempat sebagai pengrajin jenang tidak mematahkan semangatnya. Dirinya juga membuat jenang di rumahnya sendiri. Masalah yang diakui mengganjal hatinya itu terkait dengan gaji pengrajin yang tak pernah menentu dan pemuda sekarang enggan berkerja seperti dirinya. “Upah perkuali matang hanya diberi harga Rp 35.000. Itu pun jika perharinya memasak jenang. Kekhawatiran pemuda saat ini jika bekerja sebagai pengrajin jenang tidak memenuhi kebutuhan mereka,” ungkap Anwar. Ada Kirab dan Tarian Jenang Jenang telah menyatu ke dalam denyut nadi masyarakat Kaliputu. Bukan sekadar urusan perut. Sekarang merambah ranah kebudayaan. Bentuknya berupa Kirab Tebokan yang diadakan masyarakat desa Kaliputu bertepatan pada 1 Muharram. Kirab Tebokan adalah tradisi yang dimaknai sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta yang telah melancarkan usaha jenang selama ini, di desa tempat Makam Sedo Mukti yang di dalamnya terdapat makam keluarga RA Kartini itu. Tradisi Kirab Tebokan jenang sendiri diambil dari nama tempat penyajian atau wadah jenang yang terbuat dari anyaman bambu yang berasal dari kata dasar tebok. Ketika kirab, ratusan buah tebok di atas kepala. Menurut penuturan Fatkah, dulu acara kirab itu tak seramai sekarang. Hanya 180-an orang yang ikut membawa tebok untuk didoakan di masjid. Namun, semenjak masjid Syuhada direnovasi total, acara tersebut dipindah ke Balai Desa. Semenjak itu tradisi tebokan banyak dikenal orang. Pada tahun 2008, tradisi ini sudah mulai dilirik masyarakat sekitar Kaliputu. Tepat di tahun 2010, Kirab Tebokan sudah mulai ramai dan banyak orang yang menghadirinya. Baca Tebokan... Hal 18
BIDIKAN UTAMA
Inovasi Penganan Sebuah Keniscayaan
Geplak Sari Desa Padurenan merupakan salah satu desa di Kecamatan Gebog, Kudus yang terkenal dengan industri
“
Adalah sebuah keniscayaan dalam dunia kuliner. Selera pasar yang berubah, tak cukup hanya sekadar mempertahankan kualitas. Inovasi diperlukan agar tetap bisa bertahan.
“
I
novasi pada makanan tradisional bisa diwujudkan melalui beberapa cara, mulai dari menambah variasi rasa, bentuk hingga kemasan. Jenang misalnya, makanan khas Kudus itu kini diproduksi dengan wajah baru. Bahan dasarnya tetap sama yakni ketan, kelapa dan gula. Inovasi dimunculkan dengan menciptakan varian rasa baru dengan menambahkan ekstrak buah ke dalam adonan. “Kini bahan utama dari jenang yang diproduksi tidak sebatas “tanpa gula” alias ketan, kelapa dan gula. Jagung, kedelai, ketan hitam, dan kacang hijau juga bisa dimasukkan ke dalam campuran adonan utama,” terang pengusaha jenang Karomah Kudus, Zainal Arifin (51), pada Minggu (27/6/16) Pusat jenang yang ada di Desa Kaliputu itu produknya sudah sampai di luar kota. “Pemasarannya sudah sampai ke Jepara, Kendal, Magelang, Sumatera, Lampung bahkan Nusa Tenggara Barat (NTB),” terang pengusaha jenang sejak 1995 itu. Inovasi juga terus dilakukan pada pengemasan barang yaitu dengan kardus, tas, serta plastik. Biasanya dalam satu wadah, pembeli bisa menikmati berbagai macam varian rasa jenang. Permintaan pasar akan jenang meningkat pada bulan Ramadan. Permintaannya bisa tiga sampai empat kali lipat dari hari biasa. Selain itu, peningkatan permintaan juga terjadi pada waktu liburan panjang.
konveksinya. Tak banyak diketahui, bahwa di desa inilah geplak sari diproduksi. Nur Afroh (50), salah satu produsen kuliner khas Kudus yang mulai memproduksi geplak sari sejak 2013. Ilmu membuat makanan kudapan sudah lama ia peroleh dari ibu mertuanya. Puluhan tahun yang lalu, ibu mertuanya sering
memproduksi makanan ringan. Mulai dari keciput, marning, sagon, semprit, bolu dan geplak sari. Dan sampai sekarang yang masih dipertahankan adalah geplak sarinya. Geplak sari termasuk salah satu jajanan lokal Kudus yang sudah mengikuti beberapa festival kuliner. Kudapan yang berbahan utama PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
19
ketan ini, berbeda dengan geplakgeplak yang lain. Geplak ini bisa bertahan kurang lebih tiga minggu. Kalau geplak yang biasa ditemui, sifatnya mudah basi, tidak tahan lama. Gula yang membalutnya mencair kalau diletakkan di tempat terbuka. Namun tidak dengan geplak sari. Makanan ini dibuat dengan gula yang dicampur menjadi satu dengan air, parutan kelapa muda dan ketan. Cara memasaknya tak susah. Mulanya, gula merah dipanaskan terlebih dahulu hingga mendidih setelah itu dicampurkan dengan tepung ketan. Diaduk hingga jadi satu adonan. Setelah satu jam, adonan tadi didinginkan sebelum diambil untuk dicetak. Proses pembuatan menuju setengah jadi membutuhkan perhatian khusus. “Gelintirine jlimet, kudu sabar Mbak,” tutur Afroh. Setelah proses cetak, geplak sari dijemur di bawah terik matahari selama kurang lebih tiga jam. Sehingga dalam pembuatan geplak sari ini sangat tergantung pada kondisi cuaca, apabila matahari
terik tentu pembuatan geplak ini akan lancar. Berbeda apabila kondisi penghujan, tentu pembuatan geplak ini mengalami kendala. Di situ lah uniknya makanan ini, proses memasaknya sangat bergantung dengan matahari, tidak bisa digantikan dengan pemanggang lain, seperti oven. Apabila dipanggang dengan api, bentuk dan rasanya berubah. Bukan lagi geplak sari tapi wingko. Setelah dijemur, proses selanjutnya adalah pengemasan. Dalam proses ini juga harus telaten dan sabar, karena harus memasukkan ke plastik satu persatu. Afroh menjelaskan bahwa pesanan yang ia terima tidak hanya dari orang lokal Kudus saja, melainkan sampai Jakarta dan luar Jawa. Festival Kuliner Upaya pemerintah Kudus dalam mempromosikan panganan lokal salah satunya adalah dengan mengajak para produsen untuk mengikuti berbagai pameran atau festival kuliner. Kepala Seksi Destinasi Pariwisata Kabupaten Kudus, Jami’an, menyampaikan
pengadaan festival dan pameran tersebut disesuaikan dengan tema dan anggaran. “Kalau anggaran ada dan temanya berkaitan dengan kuliner, ya kami ajak produsen kuliner.” Dalam pameran kuliner tersebut produsen mempresentasikan inovasi barunya sekaligus praktik proses pembuatan makanan yang dibuat. Pemerintah Kudus juga memanfaatkan teknologi informasi baik website maupun media sosial. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan panganan lokal Kudus di kancah global. Adanya ekonomi kreatif di bidang kuliner ini diharapakan Kudus menjadi kota yang paling banyak didatangi wisatawan. “Dengan adanya ekonomi kreatif berupa wisata kuliner kita berharap Kudus menjadi tujuan wisata unggulan. Selain itu, adanya ekonomi kreatif juga diharapkan mampu mengurangi pengangguran.” []
Legenda Bubur Gamping Yang Menghidupi
Barongsai dan Reog Ponorogo. Saat Kirab Tebokan, ada visualisasi legenda asal-usul Desa Kaliputu dan jenang yang diperankan masyarakat. Setelah kirab jenang selesai, jenangjenangnya dibagikan ke masyarakat yang hadir. Mereka yakin, ada barokah yang tersimpan dalam jenang-jenang yang telah dikirab. ”Tidak perlu menunggu lama, acara puncak belum selesai jenangjenangnya sudah habis,” tambah Fatkah. Sejak 2013, ada yang berbeda dalam Kirab Tebokan. Sebab dalam kirab itu ditambahi Tari Jenang. Tarian ini menggambarkan prosesi pembuatan jenang dari awal hingga akhir. Jumlah penari mulai empat hingga delapan orang. Para penari mengenakan kebaya khas Jawa dan berkerudung bagi perempuan. Dengan iringan alunan Mujarab
(musik Jawa-Arab). Hingga kini, Tari Jenang belum dipatenkan. Hal ini dikarenakan kurangnya dana yang harus disiapkan untuk menyempurnakan tarian ini. Meski terhitung masih baru, Tari Jenang pernah mewakili Jawa Tengah saat pentas di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) Jakarta, pada 2013 kemarin. “Adanya kirab dan tari itu merupakan cara melestarikan jenang itu sendiri. Jenang terus dipertahankan dan dilestarikan melalui jalur kesenian, selain juga melalui dapur yang terus mengepul,” tuturnya. []
Tebokan Sambungan dari hal 15
Sebelumnya, rute kirab ini pendek. Beberapa ratus meter saja di Jalan Sunan Muria desa setempat. Setelah ramai, rute dibuat lebih panjang dengan melintasi perkampungan yang memiliki gang-gang sempit. Fatkah juga menceritakan prosesi kirab. Ketika kirab berlangsung, peserta membawa tebok dengan cara menyungginya di atas kepala. Peserta yang ikut tak terbatas, dari berbagai elemen masyarakat dan instansi. Acara ini boleh diikuti warga non-muslim juga. Beberapa kali, acara ini diramaikan dengan 20
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
KHOLIDIA E.M, MAHYA HIDAYATUN .N.
YAUMIS SALAM
BIDIKAN UTAMA
Pecel Pakis yang Melegenda
i warung sederhana dengan papan nama bertuliskan “Pecel Pakis dan Ayam Bakar Mbok Yanah”, Supaat (69) tak lama memandang sepiring hidangan yang sudah di hadapannya. Sendok dan garpu segera ia mainkan untuk mengaduk sebongkah nasi dengan setumpuk sayur hijau yang telah dilumuri bumbu kacang yang telah dihaluskan. Tak lama ia mengaduk, sesendok nasi yang telah bercampur sayur dan bumbu itu sudah masuk ke mulutnya. Hidangan di hadapan Supaat yang disajikan di warung berukuran 15 x 5 meter yang terbagi dalam ruang dan bejajar sejumlah meja
itu tak asing bagi warga Colo. Sebuah desa yang terletak di Lereng Muria, secara administratif masuk Kabupaten Kudus. Masyarakat setempat menamakan hidangan itu “pecel pakis”. Tak jauh beda dengan masakan pecel pada umumnya. Yang membedakan hanya pada sayurannya yang menggunakan pakis. Sejenis tumbuhan yang mudah ditemukan di wilayah pegunungan, termasuk di pegunungan Muria. Dari sekian lauk tambahan yang tersaji, Supaat yang mengaku menjadi pelanggan di warung itu sejak 1960-an memilih ayam goreng. “Bagi saya, pasangan yang cocok untuk pecel pakis ya ayam
SEPORSI, Seorang pengunjung warung makan pecel “Mbok Yanah” sedang menyantap seporsi pecel pakis.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
21
MENGINTIP, Bukan hanya warga asli Muria saja yang penasaran dengan pecel pakis “Mbok Yanah”, tapi warga luar kota juga banyak yang berkunjung hanya untuk memakan seporsi pecel pakis.
goreng,” ungkap Supaat yang merupakan warga asli Desa Colo. Warung yang terletak di Jalan Pesanggrahan Nomor 193 tempat Supaat makan itu sendiri bukan warung biasa. Bangunan bercat hijau dengan bentuk bangunan yang cukup tua itu menjadi saksi bisu awal mula pecel pakis dibuat. Suliyati (50), pemilik warung yang tengah asyik melayani pelanggannya selain Supaat merupakan generasi ketiga penemu resep pecel pakis. Hingga saat ini populer menjadi makanan khas daerah setempat. Warung itu menjadi salah satu warung yang masih menjaga kualitas dan keaslian resep turun temurun pecel pakis. Demi menjaga kualitas serta keaslian rasa, Suliyati generasi kedua dari Mbok Yanah, sejak tahun 1974 ini harus turun tangan sendiri untuk membuat bumbu dan mengawasi pegawainya dalam memilah pakis yang dijadikan pecel. Termasuk tata cara perebusan agar pakis tetap terlihat segar dan renyah. “Memang harus sedikit cerewet mas,” kata Mbak Sul, panggilan 22
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
akrab Suliyati dengan ramah. Ada cara yang unik untuk memasak pakis supaya tidak memudarkan warnanya, selain itu juga untuk menjaga agar rasanya tetap nikmat dan renyah. Bu Yati menggunakan cara yang cukup mudah untuk dilakukan, rebus air hingga mendidih, kemudian masukkan sayur pakis sekitar lima menit suapaya tidak terlalu lembek, setelah usai, ditiriskan dan didinginkan dengan air dingin. “Jika tidak begitu maka pakis rebus nantinya akan menghitam tak terlalu sedap,” ungkap ibu empat anak ini. Dalam membuat bumbu, untuk menjaga kualitas, Bu Yati tetap konsisten memilih kacang tanah yang berkualitas. Kacang tanah itu digoreng kemudian dicampuri kencur, bawang merah, bawang putih, cabai, penyedap rasa, garam dan gula tebu. Semua rempah ini dioseng kemudian ditumbuk dengan sedikit air. Awal Mula Suliyati mengungkapkan, resep pecel pakis berawal dari pengalaman Aminah, neneknya, saat menjadi
juru masak di Keraton Surakarta. Pada waktu itu makanan kesukaan dari orang dalam keraton adalah pecel. Karena telah belajar lama membuat bumbu pecel, saat pulang ke tanah halaman di Colo, Aminah kemudian mengembangkan apa yang didapatkan. Untuk mengembangkan kemahirannya mengolah bumbu pecel, Aminah mendorong anaknya, Yanah (ibu dari Suliyati) untuk mendirikan warung makan dengan menu utama pecel, dengan menjadikan pakis sebagai pengganti sayur yang umum dalam masakan pecel. Seperti kangkung maupun kacang panjang. “Ibu saya awalnya coba-coba. Namun, setelah dicoba kok enak dan banyak orang yang suka, termasuk kanjeng Adipati (sebutan Bupati era sebelum 1950-an), maka dari itu kemudian menggunakan sayur pakis sebagai bahan utamanya. Selain itu tanaman ini mudah dijumpai di sekitar gunung Muria, juga belum banyak yang menggunakan pakis sebagai bahan pecel” terang Mbak Sul. Tanaman pakis menjadi pengganti
BIDIKAN UTAMA sayuran karena pada waktu itu tanaman ini masih mudah dijumpai di sekitar Colo. Dengan adanya resep pecel pakis serta dibukanya warung Mbok Yanah, banyak ibu-ibu desa setempat mencari tanaman pakis untuk kemudian dijual ke Mbok Yanah. Tapi seiring berjalannya waktu tanaman pakis di sekitar Lereng Muria mulai menipis. “Yang dulunya hampir di setiap tempat yang lembab itu ada, sekarang sudah sangat jarang dijumpai tanaman ini. Sekarang untuk mendapatkan tanaman pakis, saya setiap dua hari sekali mendatangkan dari Mayong Jepara untuk membeli pakis. Di hari biasa terkadang habis 20-25 ikat setiap dua hari. Pada akhir pekan dan hari libur biasanya habis 30 ikat, dengan harga perikat Rp 5.000,” ungkap Bu Sul, panggilan akrabnya. Dalam sejumlah literatur, pakis merupakan tamanan yang tumbuh liar di hutan dan biasanya di tempat-tempat lembab, seperti dipinggir anakan sungai, sungaisungai kecil, di bawah pohon besar yang rimbun atau hutan yang agak basah. Jenis pakis yang dibuat pecel adalah pakis Diplazium Esculentum Swart atau terkenal dengan sebutan daun muda. Manfaatnya sebagai sumber kalsium, yang sangat baik sumber fosfor dan sumber yang baik dari besi serta mengandung vitamin B. Di Filipina daun muda nya digunakan dengan gula, karena baik untuk hemoptisis dan batuk biasa. Di Indonesia pakis ini tersebar mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi sampai ke Papua. Selain dari riwayat warung pecel pakis Bu Yanah, tak ada literatur yang menulis mengenai sejarah pecel pakis. Riwayat masakan yang sudah melegenda itu praktis hanya berdasarkan cerita lisan. Minimnya referensi sejarah tentang pecel pakis juga diakui sejarawan Kudus, Edi Supratno. Ia mengaku berulang kali mencari
data referensi tapi tidak menemukan banyak tulisan yang membahas secara mendalam terkait makanan yang menjadi salah satu ikon desa wisata Colo ini. “Referensi utama mengenai sejarah pecel pakis nyaris tak ada. Praktis memang hanya sebatas reportase. Kebanyakan hanya berupa cerita turun temurun,” kata Edi. Pecel pakis hampir tak lepas dari Desa Colo. Penjual pecel pakis yang berjualan di luar desa itu pun tetap menyandingkan Colo dalam spanduk dan papan nama warungnya. Itu seperti yang dilakukan Tutik (30), penjual pecel pakis di Jalan Tit Sudono Kota Kudus. Di papan nama warna hijau warungnya, ia menulis “Warung Makan, Spesial Pecel Pakis Khas Colo, Asli Colo.” Ia mengaku bahwa makanan ini memang khas Colo sejak zaman dulu. Resep membuat pecel pakis ini ia dapatkan dari neneknya, yang waktu itu juga jualan pecel pakis di daerah jalan masuk menuju makam Sunan Muria. Sama seperti Sulyati, untuk mendapatkan tanaman pakis sebagai bahan dasar dagangannya, ia juga mendapatkan setoran dari orang Mayong. “Karena memang di daerah Colo sudah langka,” jelasnya. Saat ini di Colo sudah ada sekitar 2-4 warung pecel pakis di harihari biasa dan puluhan di acaraacara tertentu. Walau pun masih cukup terbatas penjual makanan khas desanya ini, ia mengaku sengaja menjajakan pecel pakis di daerah kota agar mudah dijangkau. “Sehingga dapat mempermudah orang yang rindu dengan makanan khas Colo ini, dan dapat ditemukan dengan mudah di sekitar Kota Kudus,” jelasnya. Memiliki darah Colo membuat orang yang akrab disapa Mbak Tutik ini semangat mendirikan warung
pecel pakis. Menurutnya, warisan makanan dari nenek moyang ini hendaknya selalu dilestarikan, agar tidak punah dan bisa dikenal oleh generasi penerus. “Selain itu, tujuan saya berjualan pecel pakis ini juga ingin mengenalkan pada masayarakat bahwa pakis itu sehat,” imbuh Tutik. [] AHMAD AFANDI
SEGAR, Tanaman pakis yang baru dipanen dari salah satu daerah di Kec. Mayong, Jepara.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
23
“Pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang tidak pernah bisa ditunda, karena manusia tidak bisa menimbun pangan di dalam perutnya”(Fransika Z Rungkat)
P
angan, dalam UU No 18 tahun 2012 merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sedangkan kata “pangan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai padanan kata dengan “makanan”. Sebagai kebutuhan dasar, makanan tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Pedagang nasi harus bangun jam 3 dini hari demi menyiapkan sarapa untuk pelanggannya. Ia tak mau pelanggannya yang ingin sarapan kecewa hanya karena makanan yang dibutuhkan belum matang. Seorang ibu harus bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan keluarganya. Bahkan ketika salah satu anggota keluarganya tidak sempat untuk makan di rumah, seorang ibu membawakan bekal makanan. Ia tak mau anak atau suaminya sakit. Urusan makanan adalah urusan kebutuhan tubuh, dan dengan demikian adalah uruan kesehatan. Ihwal Makanan (Tho’am), Allah Swt menyebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 48 kali. Belum lagi ayatayat lain yang menggunakan kata 24
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
selainnya. Begitu penting makanan bagi kita. Purwiyatno Hariyadi dalam bukunya Ulas Pangan menyebutkan“ Jika dianggap paling tidak setiap orang makan 3 kali sehari, setelah berumur 30 tahun, maka seseorang itu telah menyantap makanan sebanyak 30X365X3 atau 32850 kali”. Itu baru makanan berat alias nasi, belum termasuk makanan ringan, jajanan dan lainlain. Sebanyak itukah yang kita konsumsi? Al-Qur’an membatasi makanan yang layak konsumsi dan tak layak
konsumsi. Bahkan dengan jelas ada pembatasan makanan yang halal dan yang haram. Hal ini disebabkan karena tidak semua makanan yang masuk ke dalam tubuh kita mempunyai dampak positif. Ada makanan-makanan yang dapat merusak kesehatan. Ada makanan yang mempunyai dampak negatif bagi tubuh kita. Meminjam istilah Purwiyatno Hariyadi (2015) banyak penyakit yang diderita manusia adalah penyakit yang berhubungan dengan pangan (foodborne diseases).
MAHYA HIDAYATUN NI’MAH*
Oleh karena itu, berlebih-lebihan dalam hal makan tidak dianjurkan dalam agama. Bahkan ada perintah membagikan makanan kepada orang melarat dan butuh (Wawasan AlQur’an, 1996:136) Inilah bentuk kasih sayang sang Khalik kepada makhluq-Nya. Kesejahteraan Dalam KBBI menyebutkan kata “sejahtera” sama artinya dengan “aman sentosa” dan “makmur”, “selamat” (terlepas dari segala macam gangguan). Terkait dengan
kesejahteraan, Allah telah memberi peringatan kepada Adam (QS. Thaha (20): 117-119). Quraish Shihab menjelaskan bahwa istilah tidak lapar, dahaga, telanjang maupun kepanasan dalam ayat tersebut adalah kebutuhan sandang, pangan dan papan yang harus terpenuhi. Kebutuhan primer tersebut menjadi unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial (Wawasan AlQur’an, 1996:128) Saya teringat pada pelajaran IPS sewaktu duduk di bangku sekolah dasar. Selain sebagai negara maritim,
Indonesia juga dijuluki negara agraris. Ya, negara yang mayoritas penduduknya bekerja di bidang pertanian. Selain itu, Indonesia juga tersohor dengan gemah ripah loh jinawi-nya. Tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Saya juga teringat lagunya Koes Plus “Kolam Susu”, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, begitu kutipan syairnya. Indonesia tanah surga, bisa dibilang seperti itu. Perumpamaan yang selaras dengan peringatan Allah Swt ketika Nabi Adam berada di surga, di mana kebutuhan tercukupi, dan—menurut Quraisy Shihab, merupakan unsur utama kesejahteraan. Kemudian, benarkah Indonesia merupakan tempatnya orang-orang yang sejahtera, tempatnya orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya? Data Food Agriculture Organization (FAO) memperkirakan sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan, (Pikiran Rakyat, 2015/06/11). Beberapa bulan yang lalu, di NTT terancam kelaparan, (Tempo.co, 2016/01/11). Dan saya kira masih banyak orang kelaparan yang tidak terekspos oleh media. Dua tahun silam, bahkan sebuah media menerbitkan sebuah berita bertajuk, “Kelaparan, 10 Desa Perbatasan Ancam Pindah Warga Negara Tetangga.” Sungguh ironi.[] *Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Tarbiyah/ Pendidikan Bahasa Arab.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
25
Drone, Trobosan Teknologi Eksklusif D
i zaman sekarang, banyak orang yang mengabadikan suatu momen atau kejadian dengan menggunakan kamera. Baik itu, kamera digital, kamera ponsel maupun jenis kamera lainnya. Kamera biasanya digunakan untuk memotret pemandangan alam, kehidupan sosial, aktivitas, kejadian dan juga untuk selfie. Seiring dengan perkembangan zaman, pengembangan – pengembangan teknologi pun terus dilakukan. Termasuk pengembangan di bidang fotografi. Kebanyakan kamera hanya bisa dioperasikan di darat saja. Saat ini, ada kamera yang dapat diterbangkan. Drone, sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot atau mampu 26
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
mengendalikan dengan hukum aerodinamika untuk mengangkat dirinya, bisa digunakan kembali dan mampu membawa muatan baik senjata maupun muatan lainnya. Dahulu orang mengenal fungsi drone sebagai alat yang digunakan oleh tentara militer untuk mematamatai musuh di daerah konflik. Drone kini lain, menjadi tren baru. Penggunanya juga beragam mulai dari anak sekolah hingga orang dewasa. Drone selain berfungsi untuk keperluan militer juga dikembangkan untuk misi pencarian dan penyelamatan. Tak hanya itu, drone juga sudah mulai dikembangkan untuk keperluan jurnalistik, misalnya untuk memotret, merekam video dan pengumpulan data. Selain itu, juga
mulai digunakan untuk pengiriman barang, makanan bahkan memancing ikan seperti yang dilakukan pria asal Kansas bernama Derek Klingenberg. Berdasarkan video yang diunggah di youtube pada 20 Januari 2016, ia memancing ikan dengan menggunakan Drone jenis DJI Phantom 2 Quadcopter. Fungsi drone bisa dikembangkan oleh siapa saja yang memiliki keahlian khusus. Pada umumnya, drone masih dikendalikan secara manual atau menggunakan remot kontrol. Namun sekarang drone bisa dikendalikan secara semi otomatis menggunakan sistem algoritma pada unit kontrol drone itu sendiri. Salah satu reporter pengguna drone di Info Seputar Kudus (ISK) bagian video jurnalistik,
TENTANG OWIK : Nama Owik Vernanda Domisili Kudus Tempat Lahir Kudus Tanggal Lahir 4 Agustus 1992 Pekerjaan Video Jurnalistik Info Seputar Kudus (ISK)
Owik Firnanda (23) warga asal Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus mengungkapkan, bahwa menjadi pilot drone itu tidak mudah. Karena harus hati – hati saat menerbangkannya. “Takutnya terkena kepala orang, ranting pohon dan gedung atau kabel listrik. Jadi saat menerbangkan drone itu harus dua orang. Orang pertama, yang memegang remot kontrol sedangkan yang kedua mengawasi dan mengarahkan posisi drone,” terangnya. Pria berperawakan kurus ini juga menerangkan tentang bahaya menggunakan drone. Terutama untuk para pemula saat mencoba mendaratkannya. Jika tidak hatihati maka dapat melukai orang. Drone yang ia gunakan jenis DJI’s
Phantom 4 seharga Rp 20 juta. “Saya pernah menerbangkan drone di tengah laut dan posisi saya berada di atas perahu. Saat saya mencoba mendaratkan drone, itu kesulitan. Jadi saat drone sudah cukup rendah itu langsung disambar oleh teman saya,” ujar Owik. “Tetapi karena tenaga drone yang cukup besar. Alhasil, teman saya tidak sanggup menyeimbangkannya. Sehingga posisi drone menjadi miring lalu kipasnya melukai kepala dan tangan kanan teman saya,” lanjutnya. Meskipun begitu, Owik mengaku, senang sekali dapat menerbangkan drone. Banyak tantangan dan keseruan saat menerbangkannya. Namun dengan pengalaman – pengalaman pahit yang pernah ia peroleh, kini ia dapat menerbangkan drone sendiri tanpa bantuan orang lain. Selain seru dan menyenangkan, menurutnya view gambar yang diambil dari drone juga sangat bagus daripada kamera darat. “Kualitas mengambil gambar dengan drone itu sangat istimewa dan hasil gambarnya eksklusif tidak mainstream. Karena dengan drone dapat mengambil gambar yang tidak dapat dijangkau oleh kamera biasa,” terang Owik. Ia menambahkan, di Kabupaten Kudus belum ada komunitas drone. Di Kudus baru enam orang yang memiliki drone. Dan juga, jika dapat mengoperasikan drone akan memperoleh banyak manfaat. ”Manfaatnya, membuat video jurnalistik menjadi eksklusif dan kadang saya disewa untuk merekam acara pernikahan dengan drone. Jika direkam dengan drone itu view pernikahannya tampak bagus. Memetakan batas wilayah, liputan wisata dan masih banyak tawaran – tawaran lainnya,” pungkas Owik.
Kemajuan teknologi sudah tidak diragukan lagi, sehingga setiap ada hal yang baru segera ingin dicoba dan dinikmati. Begitu juga dengan drone yang menjadi obrolan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Tidak heran jika setiap orang yang bisa menggunakan teknologi baru ini, akan mendapatkan banyak manfaat.[] FARUQ HIDAYAT
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
27
Burung Kicau:
Hobi, Jati Diri, dan Pundi-pundi BERNYANYI : Para Juri sedang menilai gaya burung bekicau (Songbird)
D
i Jawa, ada pitutur yang menyatakan bahwa kesatria akan lengkap jika sudah memiliki lima hal yaitu tempat tinggal, pusaka, wanita, burung piaraan, dan tunggangan (wisma, curiga, wanodya, kukila dan turangga). Pitutur itu menjadi sebuah bukti jika memelihara burung memang sudah dilakoni masyarakat Jawa sejak lama. Bahkan dalam sebuah survei yang dilakukan Oxford University pada 2006 di enam kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya dan Denpasar, dengan jumlah responden 1.781 orang. Lebih dari 40% pemelihara burung ketika ditanya kenapa memelihara burung? Mereka menjawab, “burung mengingatkan saya akan suasana desa.� 28
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Kemudian ketika disurvei pemelihara burung berdasarkan jenisnya, 33,9% memelihara dove (perkutut atau derkuku), 31,5% memlihara songbird (burung kicau), 25,2% memelihara ayam, 8% memelihara merpati, dan 1,4% memelihara burung langka. Melihat hasil survei di atas, persentase burung jenis songbird (burung kicau) memiliki persentasi yang cukup tinggi yakni 31,5%. Melihat dari semakin hari semakin popular dan digemari masayarakat, potensi naiknya persentasi burung jenis songbird ini sangat kentara. Selain hanya sebagai penghibur dikala pening menjalani kehidupan sehari-hari, burung jenis ini juga dilombakan. Tak heran jika banyak masyarakat rela merogoh koceknya hingga jutaan untuk membeli
burung jenis ini. Itu seperti yang terlihat di Pasar Hewan Kecamatan Jati, Kudus. Puluhan sangkar bergelantungan di teras dan dalam kios burung. Nampak para calon pembeli yang datang melihat-lihat dan memilahmilah burung mana yang akan ia beli. Keramaian pembeli juga terlihat di kios burung milik Pramono (50). Ia memulai berjualan burung sejak tahun 1995. Terjadi pasang surut dalam berjualan. Namun, karena memang sudah menjadi hobi atau kesenangan, sehingga tak membuat orang yang akrab disapa Cak Mono ini tidak patah semangat dan tetap menekuni profesinya ini. “Istilahnya jualan hobi saja mas, jadi tidak melulu menginginkan keuntungan dari segi finansial yang
Burung itu memerlukan perawatan yang intensif, jadi penjual pun harus memiliki hobi memelihara burung, biar tau cara merawatnya.
terlalu tinggi. Tapi Alhamdulillah cukup dan setiap hari pasti ada yang beli,” katanya. Kronologi bisnisnya berawal dari hobinya memelihara burung sejak masih muda. Menurutnya, memelihara burung itu tidak mudah. “Burung itu memerlukan perawatan yang intensif, jadi penjual pun harus memiliki hobi memelihara burung, biar tahu cara merawatnya,” jelas pria berkumis tebal itu. Selain hanya berjualan burung, sejak 1998 ia juga mendirikan sebuah komunitas atau paguyuban yang beranggotakan para penjual dan penghobi burung. “Karena memang sejak dulu banyak yang menginginkan informasi atau sekedar bertukar pikiran terkait pemeliharaan dan perawatan burung untuk dilombakan,” kata ketua Sanggar Kicau Mania (SKM) ini. Banyaknya burung yang saling saut-menyaut di kios Cak Mono membuat ramai suasana di Pasar burung yang terbilang cukup baru ini. Rata-rata burung yang Cak Mono jual adalah burung jenis songbird (burung Kicau). Diantaranya, berbagai jenis Murai, lovebird, cucak ijo, dan kenari. “Namun, yang paling laris dan digemari masyarakat jenisnya lovebird,” terangnya. Kharis (49) salah satu penghobi burung jenis songbird ini, saat ia memenangi perlombaan kategori Murai, burung yang dulunya ia beli dengan harga Rp 900 ribu, saat memenangi lomba itu burungnya dibeli orang dengan Rp 10 juta. “Saya juga pernah beli Lovebird seharga 200 ribu saat menang dibeli orang dengan harga Rp 2 juta,” katanya. Selain itu, karena banyaknya penghobi burung khusunya songbird membawa paradigma positif diberbagai bidang, diantaranya seni dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi misalnya, banyaknya penghobi burung mendorong pengrajin sangkar untuk meningkatkan produksinya. Selain
itu juga para penjual makanan burung setiap hari mampu meraup untung dari jualan pakan burung. Perlu Ketelitian Bukan perkara sembarangan sebenarnya dalam memelihara burung. Dalam memelihara burung, terutama jenis burung kicau memiliki seni tersendiri dalam merawatnya. Mulai dari harus bangun pagi, mengeluarkan burung dari rumah untuk dijemur, memberikan makan, mengganti air minum, membersihkan kotoran, dan memandikannya. Selain itu hal yang paling penting yaitu melatihnya supaya memiliki suara bagus dan keras, serta memiliki berbagi variasi untuk perlombaan. Seni memelihara burung juga dimiliki oleh Kharis. Di sela kesibukannya sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di Kudus, ia setiap hari merawat burungnya dengan telaten. Burung yang dimilikinya diantaranya lovebird, cucak ijo, dan murai. “Itu yang sering dibuat lomba, sebenarnya masih banyak burung lain yang masih dalam tahap pendidikan,” jelasnya. Memerlukan kesabaran dan ketelatenan yang ekstra dalam merawat burung jenis songbird ini. Menurutnya supaya bagus, setiap hari pagi-pagi sekali burung dikeluarkan untuk dibersihkan kandangnya, diberi makan sesuai kebiasaan, dan diganti air minumnya supaya tetap jernih, kemudian dimandikan. Setelah itu sekitar burung digantang di gantangan luar rumah untuk dijemur. Sekitar jam sembilan sampai setengah sepuluh, digantang diteras, setelah itu beberapa menit kemudian ditutup dengan kain khusus penutup sangkar. “Dengan demikian, burung pasti akan menjadi bagus saat lomba,” pungkasnya. [] AHMAD AFANDI
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
29
CAR FREE DAY ; Ruang Sosial Hingga Sensasional
D
i beberapa kota, hari minggu pagi sudah menjadi Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau lebih tenar disebut sebagai Car Free Day (CFD). Kegiatan yang dipelopori oleh aktivis lingkungan dan transportasi ini bertujuan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat agar menurunkan ketergantungan terhadap kendaraan bermotor. Muzdalifah, Dosen Psikologi STAIN Kudus menjelaskan bahwa CFD menjadi tren saat ini untuk mensosialisasikan kepedulian lingkungan. “Car Free Day merupakan sebuah ide yang bagus, yaitu salah satu cara untuk mengurangi polusi, untuk mencegah semakin memanasnya bumi (global warming). Suatu kegiatan yang semacam itu memang perlu dikampanyekan supaya orangorang peduli terhadap lingkungan,” tandasnya. Menurutnya, dengan berinteraksi di CFD dapat meminimalisir kecanduan interaksi daring. Ketika kegiatan Car Free Day dibudayakan, maka akan muncul interaksi secara langsung (face to face) sehingga tumbuh empati dan dengan empati kita akan bersimpati. “Selain itu, dengan interaksi sosial orang bisa melepas stres, melepas ketegangan, kita bisa tertawa ditanggapi orang lain, kita sedih ditanggapi orang lain, hal itu tidak mugkin kita temukan di dunia maya,” tuturnya. Sayangnya, makna CFD mulai bergeser, tujuannya tak 30
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
lagi untuk bumi. Banyak yang menggunakannya untuk mencari sensasi. Ada yang pergi CFD hanya sekadar berselfi dan makan-makan. Dan mereka justru suka membuang sampah sembarangan. Berbeda dengan Muzdalifah, Choiron, dosen psikologi di STAIN Kudus sepenunuhnya menilai positif kegiatan yang diselenggarakan pemerintah ini. Menurutnya, ini menjadi fasilitas yang komprehensif. Setelah menjalani aktivitas yang memenatkan selama enam hari kerja, CFD bisa menjadi pilihan refreshing yang murah. “Kalaupun di sana kemudian tidak dibenargunakan atau disalahgunakan dengan orangorang yang tidak bertanggung jawab itu lain lagi persoalannya,” tegasnya. Menebar Pengaruh Tak ingin ketinggalan memanfaatkan momen, beberapa komunitas pun turut ambil bagian menebarkan “virus” yang sesuai visi mereka. Salah satunya komunitas Rombongan Sepeda Santai Indhekindhek (ROSSI). Ketua klub ROSSI Kudus, Wahid Ismanto, menuturkan kegiatan bersepeda sehat yang mereka lakukan kedepannya akan merambah ke kegiatan sosial yang bermanfaat. “Kegiatannya saat ini baru bersepeda sehat, kalau kegiatan lain kita baru sebatas membantu teman yang membutuhkan tenaga, kita kumpul bersama, selanjutnya menuju ke kegiatan sosial yang positif lainnya,” jelasnya. Saat ini tim anggota dari ROSSI
Maka yang penting kita bisa masuk menyampaikan pesanpesan positif, misalkan gerakan anti narkoba atau mewaspadai bahaya terorisme bisa kita sampaikan lewat forum seperti ini. (M. Fathul Munif, Ketua Pimpinan Anak Cabang GP ANSHOR Kota) kebanyakan dari orang-orang satu tempat kerja di salah satu perusahaan percetakan besar di Kudus yang memiliki latar belakang yang sama. Ingin menyempatkan diri untuk merefresh badan dan pikiran setelah enam hari sibuk bekerja. Mereka ingin memanfaatkan momen CFD untuk menambah personil. “Pas hari minggu di CFD ini kita ingin menjaring, barangkali ada teman-teman dari luar perusahaan yang ingin bergabung. Intinya kita tetap berusaha manambah personil baik dengan teman satu kerjaan maupun dengan personil dari luar,” imbuhnya. Konsep sederhana yang ditawarkan kelompok ini ternyata cukup memikat orang-orang untuk bergabung. Jauh dari kesan high class, seperti komunitas-komunitas sepeda pada umumnya yang bersepeda dengan properti yang serba mahal. Bagi mereka yang penting kumpul dan sehat dengan bersepeda, tanpa harus memiliki
SANTAI ; seorang pesepeda menikmati suasana Car Free day (CFD) yang menjadi kebijakan pemerintah Kabupaten Kudus setiap hari Minggu pagi.
merk atau jenis sepeda khusus. Sulikan, salah satu anggota klub ROSSI yang sudah bergabung sejak pertengahan tahun 2015, menjelaskan motivasinya bergabung dengan ROSSI. Ia terpikat dengan slogannya, yaitu agar bisa berolahraga untuk menjalin silaturahim, bisa olahraga sekaligus cari teman. “Menurut saya, yang menarik dari ROSSI ini tidak hanya muter-muter ke tempat tertentu saja, tapi juga bersilaturahim mengunjungi tempat tinggal para anggota ROSSI,” terangnya. Selain ROSSI, Gerakan Pemuda Ansor Kecamatan Kota juga ambil bagian di CFD. “Kita mengambil momen CFD untuk mengajak para orang tua khususnya yang punya anak-anak usia masih produktif untuk menggerakkan maghrib mengaji,” kata M. Fathul Munif, Ketua Pimpinan Anak Cabang Kota. Mereka mensosialisasikan gerakan maghrib mengaji dengan cara membagikan suvenir berupa gelas kecil dan selebaran stiker dan pemasangan spanduk di beberapa tempat. Mereka bermaksud mengingatkan warga untuk kembali
mengaktifkan maghrib mengaji. Karena menurut mereka budaya maghrib mengaji di masjid atau di musholla itu memang ciri khas orang Islam Indonesia yang perlu dilestarikan. “Kita memilih momen ini karena momen CFD ini merupakan momen di mana orang ingin santai dan juga pada hari libur biasanya banyak orang yang datang. Jadi, saya anggap ini sebagai media awal untuk kembali mensyiarkan gerakan maghrib mengaji, karena budaya maghrib mengaji sudah hampir hilang,” jelasnya. Mereka berharap kegiatan tersebut bisa berlanjut, karena rencananya mereka juga akan mengadakan kegiatan yang kaitannya dengan gerakan maghrib mengaji. “Rencananya kita juga akan membuat event minimal ada stan untuk membuat orang terhipnotis ke arah kita,” terang aktivis yang berusia 31 tahun ini. Mereka memanfaatkan momen CFD untuk mengumpulkan orang banyak. Dengan memanfaatkan momen CFD, mereka cukup menghemat energi. Mereka
berharap langkah gerakan yang kecil tersebut ada efeknya sehingga maksud dan tujuan mereka tercapai. “Kedepannya kita akan konsep ulang lagi kegiatannya seperti apa, yang bisa mengundang perhatian orang untuk melihat, biar CFD itu tidak hanya sekedar diisi senam aerobik tapi ada yang lainnya,” imbuhnya. Menurut Munif CFD itu seperti mata pisau, tergantung siapa yang menggunakan dan bagaimana menggunakannya. “Kalau kita mengambil sisi negatifnya tentu ada, tapi paling tidak ketika memang kondisinya sudah seperti ini, maka yang penting kita bisa masuk menyampaikan pesan-pesan positif, misalkan gerakan anti narkoba atau mewaspadai bahaya terorisme bisa kita sampaikan lewat forum seperti ini, yang penting kita tidak boleh menyerah, tapi kita harus tetap berlomba-lomba mengambil ruang untuk menyampaikan nilai positif lainnya,” pungkasnya.[] BISRI MUSTHOFA
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
31
W A W A N C A R A
Andreas Maryoto
Wartawan Kompas
Tempat Tanggal Lahir : Wonosobo, 26 November 1969 Alamat : BSD-Tangerang Selatan Sosmed : Facebook/Instagram/Twitter/LinkedIn/Path : Andreas Maryoto e-mail : amaryoto@gmail.com Pendidikan : Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Department of Communication, School of Social Science, Loyola School, Ateneo de Manila University, Philippines. Karya Tulis : Jejak Pangan, Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan (2009)
32
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
W A W A N C A R A Wawancara Eksklusif
I
ndonesia dengan berbagai kultur masyarakatnya pastilah mempunyai “lidah� yang berbeda pula. Kekayaan kultur ini juga yang menyebabkan terciptanya beragam masakan di Nusantara. Masing-masing memiliki ciri khas dari segi bumbu, bahan, sampai pada teknik pengolahan, sehingga masakan itu siap disajikan dan dimakan. Seperti di daerah kami, Kudus, ada soto kerbau, sate kerbau, pecel pakis, pentol muria, nasi pindang kerbau, nasi pindang ayam, dan lain sebagainya. Sayangnya, kita seringkali lupa akan kekayaan ini. Sebab terlalu menyepelekan, atau justru lebih familiar dan cinta dengan masakan
luar, generasi kita gagap dalam melestarikan makanan khasnya. Banyak dari generasi kita yang akhirnya juga merasa kehilangan masakan khas dari daerah asalnya. Berikut wawancara tertulis Majalah Paradigma dengan wartawan lapangan Kompas sekaligus Peneliti Bidang Pangan dan Kuliner, Andreas Maryoto. Salam Pak Andreas, semoga Bapak senantiasa sehat dan sejahtera. Bagaimana sebenarnya ciri khas masakan Indonesia terutama Jawa? Sesungguhnya tidak ada yang disebut makanan khas Indonesia.
Sebagian besar makanan Indonesia adalah hasil dari persilangan budaya. Berbagai bangsa hadir di Nusantara. Mereka membawa kebudayaan masing-masing, termasuk makanan. Bahkan, suku bangsa awal yaitu Austronesia yang bermigrasi dari Tiongkok Selatan menuju Nusantara melalui Taiwan dan Filipina telah membawa kebiasaan makan, menu makanan, dan juga bahan-bahan makanan. Setelah itu diperkaya oleh kebudayaan India, Tiongkok, Arab dan Barat. Makanan yang hadir di meja makan kita sesungguhnya hasil persilangan dari berbagai kebudayaan itu.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
33
W A W A N C A R A
Apakah ciri itu sepenuhnya disadari oleh orang Indonesia atau hanya kebetulan saja? Sangat sedikit masyarakat yang menyadari bangunan kuliner Indonesia yang dipengaruhi kebudayaan-kebudayaan dari berbagai tempat itu. Bila disadari maka sangat mungkin sentimen kesukuan dan lain-lain tidak muncul. Toh, tidak ada yang murni bisa disebut makanan Indonesia. Saat ini hanyalah klaim-klaim saja bahwa semua itu adalah makanan Indonesia. Dalam masyarakat kita juga seringkali memaknai makanan dengan filosofi tertentu, sejauh mana filosofi itu berguna? Kelebihan kebudayaan Timur adalah semua mempunyai makna. Makanan juga selalu diberi makna, baik nama makanan itu maupun fungsinya. Kita mengetahui ada makna dalam nasi tumpeng berikut lauk-lauknya. Kegunaan makna itu sejauh ini masih pada kepentingan reflektif seperti penanda umur, citacita, dan pemberian berkah. Akan tetapi kita perlu meneliti lebih dalam lagi dibalik makna-makna itu sehingga bisa bermanfaat secara kontekstual, semisal terkait dengan fungsi medis, diversifikasi menu, makanan nutrasetikal, dan lain-lain. Bagaimana agar generasi muda cinta kepada masakan daerahnya sendiri? Tidak ada cara yang manjur. Seni kuliner hanya satu aspek dari kebudayaan sebuah negara atau daerah. Kemajuan kebudayaan suatu negara atau satu daerah ditentukan oleh kemajuan keseniankesenian yang ada. Untuk itu harus dicari cara agar seni kuliner di daerah maju sehingga anakanak muda mencintai makanan setempat. Anak-anak muda harus 34
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Ilustrasi : Maiel
memulai dengan berbagai cara. Teknologi digital bisa membantu mempopulerkan seni kuliner suatu daerah terutama untuk pemasaran dan promosi. Sejauh mana potensi masakan khas daerah di Nusantara khususnya Kudus di kancah Nasional maupun Internasional? Seni kuliner Indonesia masih sulit untuk dikenal di pasar internasional. Salah satu kendalanya adalah jumlah makanan Indonesia terlalu banyak. Makanan yang mana yang akan ditampilkan di pasar global? Sudah ada upaya untuk memilih beberapa menu makanan di Indonesia untuk tampil
di pasar global akan tetapi saya sendiri tidak terlalu yakin upaya itu berhasil. Kita masih memerlukan ahli komunikasi dan pemasaran untuk mencari makanan-makanan Indonesia yang bisa dikenal di pasar internasional. Bagaimana agar orang lain mau mengenal “masakan� kita? Kita butuh mengkomunikasikan secara intensif. Media sosial adalah fasilitas yang paling mudah dan murah untuk mengkomunikasikan makanan-makanan kita. Anak-anak muda mampu membuat komunikasi dengan media sosial lebih indah dan berbobot melalui pembuatan foto dan video bertema makanan.
Perlukah adanya kombinasi masakan? Tidakkah itu akan mengancam citra khas dari masakan aslinya? Kombinasi ataupun persilangan adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah. Biarkan makanan itu bersaling-silang sehingga bisa ditemukan menu baru ataupun rasa baru. Kita tidak bisa menjaga makanan dengan batas atau garis tertentu. Selera orang bisa berubah dan kadang malah mencari tantangan baru sehingga memunculkan sensasi-sensasi yang jauh dari batasan-batasan selera dan cita rasa selama ini. Bagaimana tantangan dan peluang masa depan untuk kuliner khas kita? Peluang sangat besar karena petualangan kuliner baik di pasar nasional maupun internasional masih besar. Lihatlah acara wisata makanan di televisi dan media sosial yang masih memukau. Acara-acara itu mengajak kita untuk datang dan mencoba berbagai jenis menu makanan. Kembali, kita kadang lemah dalam komunikasi dan pemasaran sehingga banyak potensi kuliner kita yang didiamkan, bahkan bisa hilang. Kita membutuhkan bukan hanya ahli icip-icip makanan tetapi ahli komuniasi kuliner sehingga promosi dan pemasaran bisa tepat sasaran.
TH
Bagaimanapun Juga NKRI Harus Tegak Berdiri LPM Paradigma
Sejauh mana kita bersiap menghadapi hal itu di masa depan? Kita belum siap. Kita butuh kerjasama dan dana besar untuk membawa makanan ke berbagai pasar global. Orang-orang kreatif masih dibutuhkan untuk menampilkan makanan dan minuman kita agar makin dikenal di dunia.[] MUHAMMAD FARID
085-740-395-357
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
35
Hiduplah dengan Bertoleransi
D
i negara Indonesia ini, kita hidup dalam beragam perbedaan, mulai dari suku, budaya sampai agama. Perbedaan pemikiran, prinsip dan idealisme, seringkali menimbulkan permasalahan yang bahkan berujung pada kematian. Sudah semestinya kita menanamkan sikap toleransi kepada semua manusia, agar perbedaan menjadi kesatuan bukan permasalahan. Perbedaan akan selalu ada sampai kapan pun, jika kita tidak mampu menerima perbedaan maka selamanya kita akan hidup dalam permusuhan. Dalam agama Islam kita diajarkan untuk berlaku adil kepada orang yang berbeda agama. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8). Jelas bahwa Islam agama yang mengajarkan toleransi, dan agama-agama yang lain pun pasti demikian. Para pahlawan kita terdahulu berjuang mati-matian untuk mempertahankan negara ini dari jajahan negara lain. Walaupun dari golongan, budaya, suku, agama yang berbeda namun tujuannya tetap satu, bersatu dalam perbedaan atas nama Indonesia. Bukan 36
PARADIGMA Edisi 29/Juli 2016
mempersoalkan agamamu apa? sukumu apa? tapi bagaimana kamu melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Kita akan malu jika tahu bahwa Indonesia diperjuangkan oleh orangorang yang tidak satu agama, tidak satu golongan dan tidak satu suku dengan kita. Sedangkan kita sampai sekarang masih mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang justru membawa kita kepada sebuah kemerdekan. Dalam film “Tanda Tanya” yang disutradarai Hanung Bramantiyo, rilis pada 7 April 2011 memberikan pelajaran bagi kita betapa indahnya sebuah toleransi jika kita mau menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam satu keluarga yang berbeda keyakinan dapat hidup rukun, saling mengingatkan ibadah satu dengan yang lain. Sampai-sampai siap menjaga acara keagamaan orang lain. Umat muslim yang tergabung dari Banser (Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama) menjaga peringatan Paskah orang Kristen demi lancarnya acara yang diselenggarakan. Kita disuguhi makna-makna yang sangat luar biasa. Seorang ibu yang beragama Katolik mengantarkan anaknya yang beragama Islam pergi mengaji di masjid. Dan menungguinya di depan masjid sampai selesai. Begitupun orang China yang beragama Buddha, dia mempunyai karyawan orang Islam. Tak lantas
dia sewenang-wenang. Malah justru memberi waktu salat kepada orang Islam ketika sudah waktunya sholat. Karena orang China tersebut menjunjung tinggi toleransi, sampai-sampai dia belajar Asmaul Husna sebab banyak karyawannya yang muslim. Sungguh semua itu adalah pemandangan yang sangat indah. Kita pun bisa belajar toleransi dari film “Cinta Tapi Beda”. Film yang disutradarai oleh Hesstu Saputra dan diputar di bioskop secara serentak
FUAD HASAN*
pada tanggal 27 Desember 2012 ini banyak mengundang kontroversi. Meski begitu, ada hikmah yang bisa kita ambil dari cerita film tersebut. Di antaranya, cerita seorang tokoh masyarakat yang tidak menyambut tamu non muslim dengan baik, justru dia bersikap sinis. Padahal tamu non muslim tersebut adalah teman dekat anak tokoh masyarakat di situ. Sebagai orang yang dijadikan tokoh di suatu masyarakat, seharusnya memberikan contoh yang
baik kepada semua orang. Dia harus bersikap adil dan menghargai orang lain sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tidak boleh menyentuh wilayah kepercayaan yang dianutnya. Karena itu wilayah keyakinan bukan wilayah peraturan. Yang perlu dilakukan seorang tokoh masyarakat hanyalah bersikap adil dan memberikan teladan yang baik bagi orang lain. Kita pernah memiliki guru besar yang patut diteladani. Beliau adalah Abdurrahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur. Sosok yang humoris, bersahaja dan santai ini terkenal dengan sikap toleransinya yang tinggi kepada setiap perbedaan. Beliau tidak pernah mempermasalahkan agama, suku, etnis dan lain sebagainya. Prinsip yang beliau junjung tinggi adalah “Berbuatlah baik kepada semua orang selagi dia tidak menyakitimu�. Dan dengan prinsip itu, Gus Dur semasa hidupnya dihargai banyak orang dari berbagai agama, dan etnis lainnya. Di dalam Pancasila sudah tercantumkan dalam sila ke lima yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia�. Maka setiap manusia yang hidup berhak mendapatkan keadilan dalam bersosialisasi di masyarakat. Termasuk perbedaan yang sudah seharusnya diterima dalam lingkup masyarakat maupun negara. Dan berkewajiban pula bertoleransi,
tidak mengganggu kelompokkelompok lain. Meskipun memiliki perbedaan, sebagai manusia kita perlu bertoleransi. Kita tidak bisa hidup sendiri. Karena kita saling membutuhkan agar bisa melanjutkan kehidupan. Umat Islam butuh umat Kristen, umat Kristen butuh umat Hindu, umat Hindu butuh umat Budha, dan seterusnya. Toleransi bukan mengikuti atau menyepakati perbedaan orang lain, melainkan menghargai atau menghormati apa yang dianggap orang tersebut baik dan benar. Manusia mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya masingmasing. Agama adalah keyakinan hati yang masuk dalam wilayah sensitif. Dan dengan dalih agama sering memicu perselisihan hanya karena anggapan agama mereka yang paling benar. Maka fungsi toleransi adalah menerima pilihan seseorang untuk hidup mereka. Dan kita sebagai orang yang tidak satu arah hanya memiliki hak untuk menghargai tanpa mengusik. Supaya hidup bersosial tidak memicu konflik dan rukun satu dengan yang lain. Hingga hidup rukun dalam beragam perbedaan namun tetap memeluk kepercayaan masing-masing.[] *) Bergiat di Paradigma Institute Kudus. Tinggal di www.facebook.com/fuad.l.hasan
PARADIGMA Edisi 29/Juli 2016
37
PROFIL FATKAH SUDARMAJI
Promosikan Jenang lewat Seni Tari Jenang merupakan salah satu warisan kuliner khas Kudus yang sudah tak diragukan lagi kualitas maupun kelezatannya. Namun, untuk mengangkatnya ke pasar global diperlukan usaha ekstra. Fatkah Sudarmadji (49), seorang perangkat desa, turut mempromosikannya. Ia tak hanya “menjual� rasa dan kemasan, tetapi seni dan budaya. Tari Jenang adalah produk utamanya.
T
inggal dalam keluarga yang agamis tidak membuat seorang Fatkah merasa bangga. Hal itu terbukti dengan keramahannya ketika tim LPM Paradigma datang berkunjung untuk beberapa kali, maupun masyarakat yang lain. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat setempat memilihnya sebagai modin. Keinginan Fatkah untuk mempopulerkan jenang melalui seni tradisional tak bisa dipandang sebelah mata. Meski tergolong baru, namun tekadnya telah bulat. Melalui tarian, dia berupaya menggambarkan proses pembuatan jenang. Hingga Tari Jenang dikenal masyarakat luas, khususnya di Kaliputu, desa tempat tinggalnya. Tak hanya kaya akan gerakan, 38
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
pada Tari Jenang yang digagasnya Fatkah juga memadukan unsur Jawa dan Islam. Hal itu tampak pada kostum yang dikenakan para penarinya. Para penari perempuan memakai kebaya dengan jarik dibagian bawahnya dan berkerudung. Sedangkan penari laki-laki mengenakan surjan dan kepala diikat dengan kain. Musik pengiring yang digunakan juga unik. Dia memadukan musik jawa dengan arab. Kaliputu lebih akrab menyebutnya sebagai musik mujarab, yaitu musik jawa arab. Ada beberapa alat musik yang dipakai, yakni kentongan, gendang, gong, Â terbang dan dumbuk (darbuka). Gerakan Tari Jenang menggambarkan proses dari
pembuatan jenang secara tradisional mulai dari gerakan mencampur bahan, mengaduk, sampai pengemasan. Penari laki-laki memainkan tarian pembuatan atau mengaduk jenang sedangkan penari perempuan memainkan tarian bagian pengemasan. Tari Jenang mulai ditampilkan sejak dua tahun yang lalu, sekitar tahun 2013 pada acara Kirab Tebokan di pesarean Sedo Mukti. Penampilan perdana itu tak mengecewakan, sambutan meriah dari masyarakat setempat mendorong Fatkah untuk lebih mengembangkan tari yang dipeloporinya itu. Dalam kesempatan yang berbeda, tari jenang juga mampu menghibur segenap tamu yang hadir dalam acara pelantikan Karang Taruna di Kudus. Bahkan, tari jenang juga
BIODATA Nama Fatkah Sudarmaji Lahir Demak, 9 Maret 1967 Alamat Kali Putu RT 08 RW 01 Kecamatan Kota Kabupaten Kudus Anak ke 3 dari 5 bersaudara Jabatan Perangkat desa (modin) Jenjang Pendidikan Formal : 1. SD Tuwang Karanganyar Demak (lulus tahun 1974) 2. MTs Mazroatul Huda Karanganyar Demak (lulus tahun 1986) 3. MA Mazroatul Huda Karanganyar Demak (lulus tahun 1989)
pernah mewakili Jawa Tengah dalam pagelaran budaya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta. Inisiatif menciptakan Tari Jenang ini sebenarnya muncul sejak 2010 lalu. Fatkah terinspirasi dari Tari Kretek yang kala itu ditampilkan pada acara pagelaran desa di Balai Desa Rahtawu. Sejak saat itu, dia berkeinginan mencetuskan Tari Jenang. Sebab menurutnya, selain terkenal dengan kreteknya, Kudus juga khas dengan jenangnya. Tidak hanya Kudus Kota Kretek tetapi Kudus juga Kota Jenang. “Selain memiliki Tari Kretek, Kudus juga harus mempunyai Tari Jenang. Sehingga jenang tidak hanya sebagai produk unggulan yang hanya dapat di makan, tetapi juga dapat dinikmati melalui
kesenian,” kata laki-laki yang juga menjabat sebagai perangkat Desa Kaliputu itu. Fatkah mengakui bahwa dia tidak sendiri dalam mengenalkan Tari Jenang ini. Wahyudin (40) adalah sosok kedua dibalik menterengnya Tari Jenang. Dia membantu Fatkah melatih koreografi para penari pada saat menjelang pementasan. Mulanya, Fatkah kesulitan mencari penari untuk kesenian yang dipeloporinya, sampai akhirnya dia menjalin kerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah Kudus dan mendapatkan lima sampai delapan orang penari. Fatkah juga memaknai Tari Jenang dari sudut pandangnya sendiri sebagai suatu yang unik. Dilihat dari bahan jenang yang lengket,
memiliki makna untuk mempererat hubungan tali silaturrahim, supaya diantara masyarakat dapat menjadi rukun. Di Kudus sendiri, saat lamaran banyak masyarakat yang tidak meninggalkan jenang. Tujuannya agar kedua pengantin dapat bersifat layaknya jenang yang lengket sehingga tidak terpisahkan. Selain itu, bahan dasar pembuatan jenang mulai dari gula, kelapa dan ketan yang dicampur menjadi adonan jenang, melambangkan penonton yang meski berasal dari etnis yang berbeda mereka akan tetap mau disatukan dalam satu ‘adonan’ seni tari. Dari pemaknaan tersebut Fatkah berharap agar penonton juga menikmati tari jenang sebagaimana mereka menikmati jenang itu sendiri. Yaitu terlihat manis dan PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
39
Kesadaran akan pentingnya nguriuri warisan budaya serta membuat ruang berekspresi para pecinta seni masih minim. Sehingga untuk bisa tampil dan mengenalkan suatu karya seni dan budaya pelaku seni masih kesulitan. (Fatkah Sudarmadji) berkesan. Terkendala Sarana Prasarana Memperkenalkan sesuatu yang baru tentu bukan hal yang mudah. Fatkah berkali-kali mengalami hambatan, terutama dalam bidang sarana dan prasarana. Mulai dari kostum, alat musik serta ruang untuk berlatih. Sampai sekarang dia terus berupaya mendapatkan kucuran dana baik dari pemerintah desa maupun pihak swasta. Kendala lainnya yaitu ruang pentas. Kesadaran akan pentingnya nguri-uri warisan budaya serta membuat ruang berekspresi 40
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
para pecinta seni masih minim. Sehingga untuk bisa tampil dan mengenalkan suatu karya seni dan budaya pelaku seni masih kesulitan. Belum lagi untuk mengadakan sebuah pementasan besar, tentu membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Di tengah keterbatasannya, Tari Jenang  terus dikenalkan. Tak hanya bagi masyarakat sekitar Kudus, tarian ini juga pernah disuguhkan pada warga negara asing yang berkunjung. “Saat itu ada akademisi Thailand yang melakukan kunjungan studi banding di STIKES Muhammadiyah Kudus.
Pentas : Pementasan Tari Jenang di depan tamu dari Thailand yang melakukan study banding di STIKES Muhamadiyah Kudus beberapa waktu lalu.
Harapannya Tari Jenang ke depan bisa lebih mendunia dan bisa menginspirasi daerah lain untuk melestarikan kuliner khas melalui kesenian,� pungkasnya.[] DEWI KUSMITA
40
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
41
42
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
43
44
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
S
etelah menempuh perjalanan selama 3 jam lebih dari kota Kudus. Akhirnya, kami tiba juga di Kampus Universitas Muhamadiyah Semarang (UNIMUS). Kedatangan kami ke sana untuk mengikuti Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang ke-23. LPM Paradigma yang tergabung dalam PPMI Dewan Kota Muria berkesempatan mengikuti acara tersebut, yang bertema “Pers Mahasiswa Bangkit dan Melawan Penindasan�. Selama tiga hari penuh mulai tanggal 29 Januari sampai 1 Februari 2016 kami dihadapkan pada rutinitas acara yang sangat luar biasa, dan tentunya menambah pengalaman serta kawan yang tak terkirakan. Dies natalis PPMI ke-23 berlangsung selama tiga hari. Dengan acara kelas jurnalistik mulai dari materi pengelolaan media online, advokasi hingga investigasi. Setelah penat dengan berbagai kegiatan sebelumnya, panitia mengajak peserta untuk berwisata bersama pada Minggu (01/2), sebagai acara penutupnya. Berikut catatan kami selama berkeliling kota Semarang. Mengenal Kuil Sam Poo Kong Tujuan pertama kami adalah kuil Sam Poo Kong. Sesudah semua peserta naik ke bus DAMRI (Djawatan Angkoetan Repoeblik Indonesia), pukul 09.30 WIB roda bus mulai bergerak menuju tempat wisata yang berada di barat daya kota Semarang ini. Berdirinya klenteng Sam Poo Kong tak terlepas dari cerita yang berkembang di masyarakat setempat. Laksamana Cheng Ho, merupakan tokoh legendaris di kalangan warga keturunan Cina, di mana ia diceritakan bisa menjelajahi hampir separuh belahan bumi dengan naik kapal. Jelajah Cheng Ho, begitu sebagian orang menyebutnya, semula berangkat dari daratan Cina menuju Asia Tenggara. Menurut cerita, pada abad ke-15 ia singgah di semenanjung utara pulau Jawa. Jika ingin merasakan keramaian khas klenteng di sini, datanglah pada bulan Agustus. Biasanya selalu diadakan festival mengenang datangnya Cheng Ho ke Semarang. Sayangnya, kami tidak hadir pada bulan tersebut. Warisan Belanda Setelah dari Kuil Sam Poo Kong, kami melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu. Bangunan yang terkenal angker ini, letaknya tak jauh dari wisata pertama. Berhubung lalu lintas Kota Semarang sedikit macet, terpaksa bus kami mengambil jalan alternatif. Dari kejauhan kegagahan bangunan yang dibuat pada 27 Februari PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
45
Foto: Salim & Antara Foto (Foto atas) : Kebersamaan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dari berbagai Daerah se-Indonesia foto bersama di kuil Sam Poo Kong Jalan Simongan Raya No. 129, Bongsari, Semarang Barat, Semarang, Jawa Tengah usai acara Dies Natalis ke 23 PPMI. Kemarin (1/2). (Foto bawah) : Delegasi dari LPM Paradigma STAIN Kudus, Achmad Ulil Albab (kiri) dan Muhammad Nur Salim (kanan) foto diatas prasasti pengesahan Klenteng Agung Sam Poo Kong oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
46
PARADIGMA Edisi 29/Juli 2016
1904 dan selesai pada bulan Juli tahun 1907 ini sudah nampak jelas. Tepat pukul 11.15 WIB kami pun sampai di Lawang Sewu, tepat bersamaan dengan pengambilan gambar sebuah acara stasiun TV swasta nasional. Perasaan senang dibalut penasaran dapat mengunjungi Lawang Sewu. Sekitar 10 menit kami menunggu di halaman wisata yang penuh dengan rumput hijau segar. Kami dari Dewan Kota Muria bermusyawarah dan memutuskan untuk tidak ikut masuk dan hanya berjalan-jalan di sekitar halaman. Di samping bangunan ini terdapat sebuah papan persegi panjang yang menerangkan sejarah Lawang Sewu. Disitu tertulis kata Lawang Sewu sendiri berasal dari julukan (paraban Jawa). Lawang yang berarti “pintu” sedangkan Sewu berarti “seribu”. Sebuah toponim untuk bangunan ini, karena memiliki pintu-pintu yang sangat banyak meskipun jumlahnya tidak sampai seribu, cukup dengan tiket Rp. 10.000,- saja kita dapat menjelajahi tempat ini. Gedung ini tercatat pernah digunakan sebagai kantor oleh Nederlandsh-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Setelah sekitar 35 tahun digunakan tepatnya 19421945, gedung ini dipakai oleh Jepang dengan nama Riyuku Sokyuku (Jawatan Transportasi). Tahun 1945 berubah lagi menjadi kantor DKRI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Pesona Lawang Sewu tak pernah luntur walau sudah berusia ratusan tahun. Dengan konstruksi yang kokoh, namun nampak artistik. Siapapun yang melihatnya, pasti tertarik. Tidak jarang banyak pasangan yang memanfaatkan wisata ini untuk foto prewedding. Setelah membaca sekilas, kami pun beristirahat di taman dengan rumput hijau terang. Beberapa saat kemudian, seorang penjaga gedung menghampiri kami dan menyuruh kami untuk keluar dari halaman gedung karena tidak membeli tiket masuk. Terpaksa kami keluar sambil menunggu bus. Seperti kata orang, menunggu memang membosankan. Kami memutuskan menyeberang jalan dan ber-selfie ria di Tugu Muda. Masjid Serba Unik Puas dengan Tugu Muda, kali ini rombongan diajak ke Masjid Agung Jawa Tengah sekaligus istirahat makan siang
dan menunaikan salat dzuhur. Beberapa dari kami memasuki pelataran serambi masjid. Cuaca yang sangat panas membuat lantai serambi masjid terasa menyengat. Terlihat kain berwarna hijau membentang lurus menuju pintu masjid. Bagian atas teras masjid ini seperti masjid Nabawi yang memiliki payung elektronik. Payung ini bisa dibuka dan ditutup sesuai kebutuhan. Ditambah lagi dengan empat menara masing masing setinggi 62 meter di tiap penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam yang lengkap. Satu lagi yang membuat masjid ini terkenal ialah menara alHusna. Menara ini berdiri setinggi 99 meter dan bagian dalamnya terdapat studio radio dengan frekuensi 107.9 FM atas nama Radio Dakwah Islam (DAIS). Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar di pelataran masjid. Pilar-pilar bergaya koloseum di Romawi dihiasi kaligrafikaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul, di gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu“Sucining Guno Gapuraning Gusti“. (Wikipedia) Terlihat di dalam masjid ada sebuah Mushaf Alquran dengan ukuran yang sangat besar. Disampingnya terdapat tulisan bahwa mushaf ini panjangnya 145 cm dan lebar 95 cm. Ditulis oleh dosen Universitas Sains Alquran (UNSIQ) Wonosobo Drs. Hayat selama 2 tahun 3 bulan. Diterima oleh pengurus masjid agung pada tanggal 26 Oktober 2005. Disebelah kanan mushaf, ada beduk berwarna hijau tua dan ditutupi dengan kain hijau. Beduk yang bernama Beduk Ijo Mangunsari ini dilapisi dengan tulisan kaligrafi berwarna putih. Panjang beduk 310 cm dengan garis tengah depan belakang 188 cm. Garis bagian tengah 220 cm dan keliling tengah 683 cm. Beduk yang dibuat pada 20 Sya’ban 1424 H ini adalah karya KH. Ahmad Shobri dari Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Banyumas. Ini menjelaskan bahwa beduk merupakan gaya khas masjid nusantara. Kurang lengkap rasanya bila ada masjid tidak ada beduk. Selepas dari Masjid Agung Jawa Tengah. Kami pun kembali ke tempat peristirahatan dan bersiap pulang kembali ke kota Kudus.[] MUHAMMAD NUR SALIM
PARADIGMA Edisi 29/Juli 2016
47
MENU KHUSUS
STAIN Kudus Siapkan Delapan Prodi Baru
TAMBAH : seorang pengendara motor sedang melintasi gedung Kantor Jurusan. Tahun depan STAIN Kudus akan resmi membuka Prodi baru. yaitu Tadris / Pendidikan Bahasa Inggris, Tadris/ Pendidikan IPS dan Hukum Ekonomi Syariah
48
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Jika SK untuk pembukaan semua Prodi tersebut sudah bisa diturunkan tahun ini, maka paling cepat kedelapan prodi sudah bisa dipilih oleh calon mahasiswa baru tahun 2017 mendatang. (M. Saekhan Muchit)
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
49
MENU KHUSUS
SK Tiga Prodi Sudah Turun //Total Delapan Prodi Disiapkan D
emi memenuhi tuntutan masyarakat, terutama calon mahasiswa baru, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus menyiapkan delapan program studi baru. Empat Prodi baru akan dibuka di Jurusan Syariah dan empat lainnya di Jurusan Tarbiyah. Dari delapan prodi yang diajukan, sementara ini baru tiga Prodi baru yang disetujui. Tiga Prodi baru tersebut yakni Tadris IPS dan Tadris Bahasa Inggris pada Jurusan Tarbiyah. Sedangkan Tadris IPA pada jurusan yang sama masih menunggu Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Agama. Adapun yang diajukan dari Jurusan Syariah baru satu disetujui yaitu Hukum Ekonomi Syariah. Sedangkan Prodi Akutansi Syariah, Perbankan Syariah, dan Tatanegara Syari’ah sementara belum disetujui. Wakil Ketua I STAIN Kudus Saekhan Mukhit menjelaskan, secara prosedur, jika SK untuk pembukaan semua Prodi tersebut sudah bisa diturunkan tahun ini, maka paling cepat kedelapan prodi sudah bisa dipilih oleh calon mahasiswa baru 50
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
tahun 2017 mendatang. Saekhan mengungkapkan sejumlah alasan penambahan sejumlah Prodi tersebut. Pertama, pertimbangan lembaga yang masih mengemban mimpi tujuan untuk memperbesar kapasitas lembaga. Jumlah prodi di STAIN Kudus saat ini ada 18 prodi. Padahal, suatu Perguruan Tinggi (PT) dikatakan besar dan mumpuni bila mengayomi minimal 20 prodi aktif. Kedua, mengoptimalkan pengembangan ilmu pengetahuan dan Dakwah Islam. Alasan lainnya, lanjut Saekhan, satu-satunya PTAIN di eks Karesidenan Pati itu segera alih status menjadi institut, bahkan universitas. Secara kelembagaan, STAIN yang saat ini berstatus sekolah tinggi, memiliki level di bawah institute (IAIN) dan universitas (UIN). Mempercepat hal itu, STAIN harus mampu menyelesaikan masalah sekaligus kebutuhan masyarakat. Masalah tersebut tidak hanya rumpun keagaman saja,
namun juga masalah sosial. Antara rumpun satu dengan yang lain harus terintegrasi. Sehingga prodi yang rencananya akan dibuka memang memiliki rumpun pengetahuan umum. “Ini diwujudkan dengan adanya pembentukan prodi,� ungkap Saekhan. Salah satu Dosen Jurusan Tarbiyah, Muhtarom mengemukakan, bahwa penambahan prodi tersebut juga
STAIN Kudus Siapkan Prodi Baru
Foto: Ulil/PARADIGMA
Spanduk ucapan selamat atas diraihnya program studi baru di STAIN Kudus tertpampang di depan gedung Rektorat. Prodi yang diraih ialah pendidikan Bahasa Inggris, pendidikan IPS dan Hukum Ekonomi Syariah.
telah disosialisasikan kepada masyarakat. Baik jalur intern maupun ekstern. Sosialisasi intern seperti dalam kegiatan forum-forum mahasiswa, public hearing, juga pada forum dosen setiap satu bulan sekali yang membahas persoalan dan tantangan STAIN Kudus. “Kalau sosialisasi ekstern kita menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga lain. Lewat media, web, pertemuan rutin forum alumni STAIN, lewat rapat MGMP PAI, hingga forum-forum madrasah.
Jadi sosialisai disampaikan tidak hanya melalui atasan STAIN saja, forum lain juga ikut berperan,” tutur Muhtarom yang juga Ketua Ikatan Alumni (IKA) STAIN Kudus itu.
pula peluang masyarakat untuk memilih mana yang menjadi keinginan mereka,” jelas Muhtarom mengakhiri.[] HAIDAR ALI
Muhtarom menandaskan, prodi baru tersebut dibuat untuk menjawab tuntutan masyarakat. Tapi ia mengingatkan agar kualitas dan kuantitas prodi baru agar diperhatikan. “Semakin banyak prodi yang ditawarkan pada masyarakat semakin banyak PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
51
MENU KHUSUS
Prodi dan Dosen Baru, Tapi Fasilitas Masih Menunggu
S
ecara prosedur kebijakan mendirikan Prodi (progam studi) baru dimulai dari perencanaan, penyusunan proposal dan pengajuan untuk kemudian diproses. Sesuai dengan yang disyaratkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia di dalam proposal itu juga harus mencantumkan jumlah tenaga pendidik (dosen). Barulah Kementerian Agama memberikan izin terkait adanya prodi baru yang dicanangkan. STAIN Kudus sudah melaksanakan prosedur tersebut guna mewujudkan impian membuka delapan Prodi baru. Empat pada Jurusan Tarbiyah dan empat lainnya dari Jurusan Syariah. Tiga Prodi yakni Hukum Ekonomi Syariah, Tadris Bahasa Inggris dan IPS sudah mengantongi Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Agama RI. Lima lainnya masih mengantre. Selain berkonsekuensi harus merekrut dosen baru, pembukaan Prodi baru tersebut harus pula disertai penambahan fasilitas. Baik ruang kelas, hingga fasilitas penunjang pembelajaran lainnya. Siapkah Kampus Hijau penuhi tuntutan itu sehingga pembukaan prodi baru itu bukan hanya ambisi yang dipaksakan? Ketua Jurusan Tarbiyah, Kisbiyanto menandaskan jika persiapan untuk menunjang
pembukaan prodi baru itu sudah direncakan secara matang. Untuk mengejar persyaratan minimal enam dosen baru, STAIN Kudus sudah melakukan perekrutan dosen baru yang menurutnya cakap. Perekrutan sudah dilakukan sejak sebelum pengajuan. Di antara dosen yang baru direkrut melalui proses seleksi tersebut, kata Kisbiyanto yakni dosen Bahasa Inggris yang merupakan lulusan alumni S2 Bahasa Inggris dari sejumlah kampus ternama. Dosendosen tersebut berstatus calon pegawai negeri sipil (CPNS). Juga beberapa dosen tetap Non PNS lulusan Biologi, Matematika, Kimia dan Ekonomi Syari’ah. Untuk mempersiapkan dosen tersebut, Kisbiyanto menyebut STAIN Kudus sudah cukup berpengalaman. Salah satunya berbekal pengalaman saat awal mula pembentukan prodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) yang kini telah berdiri. “Dulu saat mendirikan jurusan PGMI, STAIN bahkan sampai ‘menyekolahkan’ dosen yang sudah ada,” ungkap Kisbiyanto. Meski demikian, dalam perekrutan dosen baru tak lepas dari masalah. Menurut Kisbiyanto, masalah utama yakni adanya moratorium CPNS yang mengakibatkan sulit untuk mengangkat dosen baru. Alhasil,
ISTIMEWA
skema perekrutan kebanyakan memang mengangkat dosen tetap non PNS. Selain itu, pendaftar mahasiswa baru selalu bertambah setiap tahunnya juga menjadi kendala penyesuaian rasio dosen. Bicara tentang prodi dan dosen baru, komponen lain yang tak kalah penting dalam proses pembelajaran yaitu gedung dan fasilitas pendidikan. Karena dalam perencanaan pendidikan ruang kelas juga menjadi skala prioritas dalam persyaratan pengajuan prodi baru. Demikian itu penting sebab pengelolaan kelembagaan tidak akan maksimal tanpa ditunjang fasilitas yang memadai. Misalnya saja pada prodi baru, Biologi yang memang memang membutuhkan laboratorium dan fasilitas lainnya.
STAIN Kudus Siapkan Prodi Baru
FASILITAS : Tampak dari belakang gedung perkuliahan dan fasilitas penunjang lapangan Tenis
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua II STAIN Kudus, Ahmad Supriyadi, menyampaikan bahwa anggaran pembangunan dan pengembangan fasilitas sebenarnya sudah diajukan tahun ini. Namun, sebagaimana prosedur yang berlaku anggaran tersebut baru bisa direalisasikan pada 2017 mendatang. Beberapa yang hendak dibangun yaitu gedung terpadu, perpustakaan, ruang kelas dan laboratorium. Gedung terpadu nantinya menjadi tempat pembelajaran prodi yang serumpun. Maksudnya, baik itu ruang kelas, ruang dosen dan tenaga pegawai akan menjadi satu atap. Masing-masing akan menjadi fakultas yang mandiri dan mempunyai gedung sendiri mulai dari Tarbiyah, Syari’ah, Dakwah
serta Ushuluddin. “Gedung terpadu itu nantinya juga dilengkapi dengan laboratorium dan perpustakaan sebab itu merupakan jantungnya perguruan tinggi,� tuturnya. Saat ini gedung baru disiapkan untuk kelas belajar mahasiswa yang sudah dalam tahap penyelesaian akhir. Tahap demi tahap pemenuhan fasilitas dan sarana prasarana demi menunjang kualitas kampus yang berdiri tegak di Conge Ngembalrejo itu. Yang diperlukan lagi, imbuh Supriyadi, ialah manajemen kampus yang satu visi, termasuk juga alumni untuk berperan memajukan kampus tercinta STAIN Kudus. []
Namun, sebagaimana prosedur yang berlaku anggaran tersebut baru bisa direalisasikan pada 2017 mendatang. Beberapa yang hendak dibangun yaitu gedung terpadu, perpustakaan, ruang kelas dan laboratorium. (Ahmad Supriyadi)
SARI ROHMAWATI
PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
53
KOLOM
Sistem Terintegrasi untuk Kudus Smart City
P
ermasalahan keakuratan data untuk mengambil keputusan merupakan pijakan awal sebagai parameter adil atau tidaknya sebuah kebijakan. Karena data yang akurat akan memengaruhi ketepatan dari keputusan yang diambil. Dengan tepatnya keputusan tersebut, menjadikan tidak ada pihak yang dirugikan. Lalu pertanyaannya, bagaimana menyajikan data yang akurat untuk pengambilan keputusan? Untuk itu, harus tersedia sebuah data center yang terintegrasi dari berbagai sektor di E-Government pemerintahan. Data tertentu seharusnya dipublikasikan kepada khalayak. Data center tersebut yang bisa dijadikan bahan pemimpin dalam “ber-ijtihad� untuk kemaslahatan umat. Tentunya dalam membangun pusat data (date center) membutuhkan sebuah perumusan yang matang. Harus ada pakar teknologi serta pakar di masing-masing sektor pemerintahan. Lalu apa untungnya? Mari kita lihat kasus di bawah ini. Facebook terbentuk dari jutaan manusia yang telah terdaftar. Sedikitnya 1,4 Miliar orang pada kuartal I 2015 meningkat 13% dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia hanya 256 Juta jiwa. Ini berarti perusahaan facebook mengelola lebih banyak data kependudukan dari pada Indonesia. Banyaknya data yang terkumpul itulah yang kemudian dikelola dan menjadi bahan pengembangan perusahaan. Jika kita tahu, di facebook kita bisa
54
PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
mengambil keputusan berdasarkan data yang mereka miliki. Misalnya kita ingin memperkenalkan suatu produk untuk kawasan tertentu (misal Indonesia) maka Facebook akan menampilkan iklan tersebut hanya pada akun yang bermukim atau berasal dari wilayah yang dimaksud (Indonesia). Jika ada perusahaan ingin mengiklankan pembalut maka facebook bisa menyediakan layanan bagi perusahaan tersebut untuk menampilkan iklan hanya untuk perempuan dengan rentang umur 16-46 tahun (perkiraan masa menstruasi pada perempuan). Data yang dimiliki facebook juga tidak terbatas untuk kepentingan bisnis semata. Di bidang budaya, facebook bisa membaca pola komunikasi suatu wilayah melalui status, foto atau video yang dibagikan. Facebook bisa mengatakan bahwa masyarakat generasi muda Indonesia gemar melakukan pembicaraan secara aktif di media sosial. Dan kini facebook telah memanfaatkan datanya untuk membuat sebuah peta (3 W) kepadatan penduduk guna mengetahui seseorang sedang di mana dan melakukan apa dengan kerahasiaan data pribadi tetap terjaga. Menurut Keera Morrish yang bekerja di facebook sebagai digital humanitarian, data tersebut pernah digunakan untuk membantu gempa Ekuador. Intinya dengan kepemilikan sebuah data center, kita bisa membuat keputusan lebih akurat serta efisien dan efektif. Karena data center memiliki ciri khas sebagai
data yang terpusat dan terintegrasi. Data tersebut menjadi data handal karena minim duplikasi. Konsep Data Center Untuk membangun sebuah data center dengan kapasitas data yang besar, seseorang harus memperhatikan bagaimana tipologi (struktur) perancangan hardware yang akan dibangun. Tipologi tersebut akan berpengaruh pada keamanan dan kecepatan akses terhadap data. Data center yang dibangun, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, politik, ekonomi, pengembangan wisata, atau perihal lainnya. Data center tersebut bisa terdiri dari data kependudukan, data geografis (peta), data iklim, data kebencanaan, data perdagangan dan masih banyak data lain yang dapat disinkronisasikan. Namun, dalam pemerintahan, data yang paling sering digunakaan adalah data kependudukan. Data ini penting untuk disatukan dengan yang lain agar tidak ada ketimpangan data (redudancy). Contohnya, untuk menghitung jumlah pemilih (DPT) dalam pemilihan umum, kita seringkali mempertanyakan ke akuratan data yang disajikan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Banyak orang-orang teriak bahwa datanya tidak sesuai dengan data yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS). Data warga miskin yang digunakan untuk penyaluran kartu sakti, bantuan sosial, program kesehatan dan lain sebagainya. Berlatar pada pentingnya keakuratan data kependudukan semacam itulah
KOLOM
WAHYU DWI PRANATA* yang menjadikan alasan bahwa hadirnya data center bisa menjadi solusi. Data Center, Kota Cerdas (Smart City) dan Internet of Things (IoT) Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk mempercepat pembangunan daerah merupakan salah satu ciri sebuah kota bisa dikatakan cerdas. Kota cerdas (Smart City) memiliki beberapa komponen yang diantaranya: smart people, smart environment, smart mobility, smart economy, smart goverment dan smart living. Teknologi menjadi penopang utama dalam akselerasi pembangunan. Sekarang bisa kita lihat sebuah negara tropis dengan luas wilayah yang tak seberapa, Singapura, berhasil mengembangkan desain kota, salah satun lokasinya Garden by the Bay yang menyejukkan. Namun apa daya, selama ini konsep yang telah ada tentang Smart City belum bisa diwujudkan secara utuh, terkhusus pada integrated system for all purpose. karena menurut pengamatan penulis selama ini masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan dinas masih belum bisa berkoordinasi dengan baik. Dalam satu kasus misalnya, Pemerintah Kudus bisa membuat sistem terintegrasi dari alat detektor banjir yang ada di sekitar sungai dan terkoneksi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), rumah sakit, kepolisian, dan alarm yang ada bagi masyarakat setempat. Sistem tersebut bisa menyajikan data berupa ketinggian
air secara akurat, luasan lokasi yang terdampak banjir dan jumlah korban banjir secara berkala. Sistem ini dimaksudkan agar kejadian bencana bisa dicegah atau ditanggulangi secara cepat melibatkan pihakpihak yang terkoneksi. Mendorong Peningkatan Peran serta Masyarakat Pemerintah harus mulai memikirkan juga bagaimana masyarakat bisa terlibat aktif dalam proses pembangunan. Dalam menyukseskan pembangunan berbasis Smart City, pemerintah perlu mengajak masyarakat untuk berperan aktif. Alangkah baiknya kini, paradigma pembangunan kita harus melihat bahwa desa merupakan masa depan dari kehidupan manusia. Menurut sebuah studi menyatakan 82,37% manusia akan hidup di kota pada tahun 2045. Teori tersebut tidak menyebutkan bahwa ramalan itu bukan efek dari urbanisasi (perpindahan orang dari desa ke kota), melainkan dari pertumbuhan jumlah penduduk serta akibat dari pembangunan desa menjadi kota. Jika kita bisa mengantisipasi data statistik di atas, maka desa bisa menjadi lebih siap dalam menghadapi globalisasi. pada mulanya ekplorasi teknologi dilakukan untuk kebaikan umat manusia, tetapi entah kenapa sisi jahat dalam diri manusia selalu saja merusaknya.[] *CEO Kudus Smart City OpenLabs
PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
55
BUDAYA Tradisi “Jembul” Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara :
Dok. pemdes
Atraksi Budaya yang Memesona
MELIHAT : Para penduduk sekitaran memeriahkan prosesi “Jembul Tulakan” di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara.
I
ndonesia ditakdirkan menjadi negara yang kaya raya. Melimpah ruah tersebar indah di bumi Nusantara, dari karunia alam hingga warisan budaya. Di Jawa dikenal ada budaya sedekah bumi. Sedekah bumi menjadi sebuah ritual wujud syukur atas nikmat dan karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Hampir di seluruh wilayah di Jawa menjalankan ini, namun ada kekhasan tersendiri di setiap daerahya. Keunikan pada setiap prosesi yang dijalankan menjadi 56
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
pembeda antara sedekah bumi di daerah tertentu. Di beberapa daerah ritual sedekah bumi identik dengan iring-iringan gunungan yang berisi makanan dan hasil bumi. Berbeda dengan di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Tradisi sedekah bumi ditandai dengan prosesi iring-iringan Jembul. Prosesi Jembul dimaknai sebagai langkah untuk mengingat laku tapa brata yang dilakukan oleh Nyai Ratu Kalinyamat di bukit Donorojo. Ini dilakukan sebagai aksi menuntut
keadilan atas kematian suaminya. Sunan Hadirin, yang dibunuh oleh Arya Penangsang. Jembul merupakan perlambangan sumpah Nyai Ratu Kalinyamat yaitu ora pati-pati wudhar tapa ingsun, yen durung keramas getehe lan kramas keset jembule Aryo Panangsang. Yang berarti tidak akan menyudahi semedinya kalau belum keramas dengan darah dan keset rambut Aryo Penangsang. Jembul sendiri merupakan usungan ancak (semacam tumpukan bambu yang disusun menyerupai
BUDAYA gunungan) yang di dalamnya berisi makanan. Jembul terdiri dari dua jenis, yaitu jembul lanang dan jembul wadon. Jembul lanang dihiasi dengan iratan bambu tipis yang kemudian membentuk seperti gunungan dengan dihiasi golek (red: boneka) diatasnya. Sedangkan Jembul wadon tidak. Arak-arakan berupa iratan bambu, yang sebelumnya diarak dari balai desa ke rumah kepala desa. Kemudian menjadi bahan rebutan masyarakat untuk ngalap berkah keberhasilan panen, dengan ditancapkan disudut-sudut sawah. Prosesi sedekah bumi di desa Tulakan dimulai pada hari Kamis malam Jum’at, dilanjutkan Jum’at pagi dengan acara manganan di pertapaan Ratu Kalinyamat. Malam Ahad diisi dengan pengajian dan istighosah. Malam Senin diisi dengan pagelaran wayang kulit dan di hari Senin, puncak acara iringiringan Jembul. Ada empat jembul yang akan diarak dalam prosesi sedekah bumi ini, yang mana keempat jembul itu adalah perwakilan dari masingmasing dukuh. “Di setiap dukuh menampilkan Jembul dengan ikon dukuh masing-masing,” ungkap Hafid, Sekretaris Desa Tulakan. Lebih lanjut ia menambahkan, Jembul dukuh Krajan dihias dengan sebuah boneka yang melambangkan Sayid Usman. Seorang abdi yang menemani pertapaan Ratu Kalinyamat yang dikemudian hari menyebarkan Islam di sekitar dukuh krajan. Kemudian ada dukuh Ngemplak dengan tokohnya Sutamangunjaya, dukuh Drojo dengan Ki Leseh dan dukuh Winong yang menampilkan semangat satria gagah perkasa dengan lambang barisan tentara. Menurut Hafid, ditetapkannya hari Senin Pahing bulan Dzulqo’dah. Konon hari tersebut bertepatan dengan datangnya Nayoko Projo dari Kalinyamatan. Kedatangannya mengabarkan berita terbunuhnya Arya Penangsang, serta membawa
Ora pati-pati wudhar tapa ingsun, yen durung keramas getehe lan kramas keset jembule Aryo Panangsang. darah dan rambut Arya Penangsang sebagai tanda bukti. Pesona budaya Tradisi ini menjadi sangat sakral, masyarakat menganggap ritual ini sangat penting dan pantang untuk ditinggalkan. Selain wujud syukur, sedekah bumi dengan prosesi arakarak jembul dimaknai pula sebagai tradisi tolak bala. Selain tradisi tolak bala, budaya yang diwariskan turun temurun ini menjadi perlambang kerukunan masyarakat desa. “Konon dalam arak-arakan Jembul pasti terjadi bentrok, namun setelah itu masalah usai dengan sendirinya,” jelas Hafid. Tradisi Jembul Tulakan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat sekitar, atraksi yang heboh menjadikan jembul tulakan sebagai tontonan yang dinantikan. Tidak hanya warga Tulakan sendiri yang merasa memiliki budaya ini, masyarakat luas pun berbondongbondong mengerumuni tontonan ini. “Hari sedekah bumi di Tulakan menjadi hari libur tingkat desa, warga perantauan pun rela pulang kampung demi sebuah perayaan budaya ini, tidak ketinggalan siswa
di sekolah pun dipulangkan lebih awal, ketika perhelatan Jembul akan dimulai,” imbuh alumnus Fakultas Peternakan Universitas Jendral Sudirman ini. Pesona budaya dalam tradisi jembul tulakan ini, terbukti menarik perhatian masyarakat luas, di tahun kemarin (2015) ada beberapa warga negara Jepang yang turut hadir bersama dinas pariwisata dan kebudayaan Jepara. Ini menunjukan sebuah potensi wisata yang besar. Jembul tulakan memang layak dimasukkan sebagai paket wisata yang bisa mendongkrak pendapatan sektor pariwisata di Kabupaten Jepara.[] ACHMAD ULIL ALBAB
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
57
BUDAYA
Berkat : Makna Sakral yang Mulai Berubah
Ilustrasi : zainbie.com
“Mas, bapak sudah pulang,” teriak Kafa (5) dari teras rumahnya, saat melihat ayahnya pulang mengikuti prosesi selametan nyewu di rumah tetangganya, di Desa Medini RT 2 RW 3 Kecamatan Gajah Kabupaten Demak. Jumat malam, 29 Juli lalu. Dengan bersemangat Kafa dan tiga kakak laki-lakinya meminta ayah mereka segera membawa berkat ke ruang makan
B
egitulah kebiasaan empat bersaudara itu menyambut ayahnya usai mengikuti acara selametan. Dalam tradisi Jawa, selametan umumnya diperuntukan saat sunatan, pernikahan, kehamilan, kelahiran anak, dan kematian. Dalam prosesi selametan, pemilik hajat mengundang tetangga, sanak saudara untuk berkumpul dan berdoa yang dipimpin seorang Kiai. Setelah berdoa, tamu undangan menyantap hidangan yang disediakan. Itu jika memang ada. Saat pulang, undangan diberi berkat untuk dibawa pulang. Konon, istilah berkat berasal dari Bahasa Arab yang bermakna “berkah”. Sehingga masyarakat lumrah memaknai berkat sebagai sebagai bentuk rasa syukur atas berkah yang Allah limpahkan dalam kehidupan sehari-hari. Aktualisasi 58
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Selametan merupakan tradisi yang hingga kini tetap dilestarikan sebagian masyarakat Jawa. Selametan dilakukan dengan mengundang beberapa keluarga dan tetangga. Acara ini dimulai dengan do’a bersama, duduk bersila melingkari nasi tumpeng beserta lauk pauk.
dalam bersyukur itu diwujudkan dengan membagikan sesuatu kepada orang lain. Berkat dalam prosesi selametan tertentu ada sajian ciri khas yang dapat ditemui di rata-rata semua tempat. Isi dalam berkat disesuaikan dengan jenis selametan yang diadakan. Menu procotan misalnya, dibuat untuk acara selametan saat kehamilan. Procotan berisi apem atau jenang yang dibungkus dengan daun nangka yang berbentuk kerucut, lepet, ketupat, janur, biting dan rujak (mirip acar). Adapun gudangan untuk slametan setelah kelahiran bayi. Serta berkat berupa apem, ikan asin, kacang panjang bagi selametan untuk orang meninggal. Sayangnya, berkatan tak lagi selalu berwajah sama sebagaimana
yang diwariskan oleh nenek moyang. Menu dalam berkat kerap tak sesuai dengan peruntukkannya. Sulhan (52) yang kerap memimpin doa di Medini Gajah Demak ini mengungkapkan, perubahan tersebut diantaranya sajian makanan yang dari tradisional menjadi lebih fleksibel. Seperti procotan menjadi agar-agar siap saji yang berbentuk kerucut, penggunaan biting menjadi jarum. Selain itu, sebagian masyarakat juga mengubah makanan yang siap santap menjadi bahan-bahan mentah. Misalkan mengantikan dengan mie instan, telur, gula dan beberapa bahan makanan lainnya. “Mungkin masyarakat saat ini tidak mau repot. Yang terpenting sudah selametan, meski sajian berkatnya tak seperti dulu,” kata
BUDAYA Sulhan. Padahal, sajian berkat yang berbeda-beda dan dengan sejumlah menu itu memiliki tujuan dan makna tertentu. Nur Sa’id, tokoh agama di Desa Honggosoco Kecamatan Jekulo, Kudus menyebut berkat memiliki makna simbolik sesuai ekspresi hajatan gawe. “Di balik berkat ada pesan,” kata Dosen Filologi pada Jurusan Ushuludin STAIN Kudus ini. Sajian berkat yang tidak sama dengan zaman dulu, kata dia, merupakan dampak dari krisis identitas. Karena tidak memahami makna di balik berkat, banyak orang mengubahnya begitu saja. “Kebanyakan orang terjangkit budaya instan, inginnya cepat, nggak mau repot dan pada satu sisi terkena krisis makna,” tambahnya. Berkat Sebagai Solusi Manijo, budayawan Kudus menyampaikan tiga konsep tentang berkat dalam masyarakat Jawa. Pertama, berkat dalam sejarah digunakan sebagai solusi bagi masyarakat pada waktu itu. Masyarakat yang masih beragama Kapitayan merasa dirugikan dengan adanya persembahan yang berlebihan. Banyak orang yang ketakutan akan nasib hidupnya. Mereka hanya tinggal menunggu giliran mati menjadi tumbal. Banyak masyarakat yang ketakutan dan memutuskan pergi dari asal desanya. Datangnya Islam di Jawa kemudian mengubah konsep yang ada. Ulama membuat konsep yang tidak memberatkan masyarakat. “Gawe (pemilik hajat) selanjutnya cukup diminta menyajikan makanan sesuai arahan ulama. Makanan yang menjadi sajian berkat tidak memberikan kerugian bagi siapapun,” terangnya. Kedua, sebagai edukasi bagi masyarakat. Adanya sajian makanan untuk berkatan yang dibedakan menurut tujuan hajatan. Dalam slametan bagi orang hamil misalnya, ada procotan (kue apem) berbentuk kerucut yang bagian
lancipnya di bawah. Pengetahuan ini diibaratkan sebagai jalan keluar bayi meskipun kecil namun pasti mampu dikeluarkan. Pewarnaan kue dengan warna merah, simbol dari warna kulit bayi yang baru lahir. Sajian lain yang kerap ada dalam slametan bagi orang hamil cengkir (kelapa), ketupat, janur, biting (lidi yang dipotong menjadi beberapa bagian), rujak (seperti acar) juga memiliki nilai edukasi. Ulama di masa lalu, lanjut Manijo, memberikan makna filosofis masing-masing sajian untuk memudahkan memahami apa yang ingin disampaikan. Filosofi sajian ini dimaksudkan sebagai nilai yang mampu dipahami tamu undangan dan atau pengharapan orang tua kepada jabang bayi. Cengkir ; kependekan dari kencenge pikir, pengharapan atas pemikiran yang kuat. Ketupat; janur yang saling bertalian, pengharapan atas semangat persatuan. Janur: kependekan dari jannatin nur (cahaya surga), pengharapan anaknya nanti mampu memberikan pencerahan agar mendapatkan surga. Biting; dibuat lancip agar bisa menusuk janur, pengharapan atas proses kelahiran agar secepat biting menusuk janur. Rujak; rasanya ada asam-manis-pahit namun segar, pengharapan anaknya kelak mampu menjalani kehidupannya dengan segala ujian Allah yang serasa rujak. Ketiga, konsep egalitarian (kesamaan). Berkat mengandung konsep sama-sama berbagi, antara tamu undangan memberi doa dan gawe memberi makanan berupa berkat. Gawe mengundang tetangga, sanak saudara yang diminta turut mendoakan hajat gawe. Sebagai imbalan (sedekah) atas kesediaan doa kedatangannya, gawe memberikan buah tangan kepulangan tamunya berupa berkat. Perubahan sajian berkat yang terjadi dipandang sebagai perubahan yang wajar. Substansi berkatan yang ada sekarang dikembalikan lagi kepada maksud gawe. Melihat
fenomena berkat pada zaman sekarang yang serba instan menurut Manijo, berkat hanya dipandang sebagai media saling berbagi. Sekalipun perubahan cara pandang masyarakat mengenai berkat sekedar media berbagi, banyak nilai yang dipetik masyarakat. “Dalam selametan dan berkat ada nilai kebersamaan, husnudzon, persamaan dan keharmonisan masyarakat,” tambah Manijo. Dalam proses selametan, para undangan berkumpul dalam suatu tempat. Selametan sebagai media berkumpul menjadikan masyarakat lebih berbaur dan membentuk nilai kebersamaan. Perkumpulan ini juga dapat menjembatani pemimpin untuk menyampaikan progam kerja pemerintah dan mendengarkan masalah yang terjadi di masyarakat. Penyelenggaraan selametan yang hanya dalam waktu tertentu memberikan nilai prasangka baik masyarakat kepada seseorang. Dalam selametan petangpuluh atau peringatan kematian pada hari keempat puluh misalnya, bagi seorang wanita yang ditinggal mati suaminya ini menjadi tanda berakhirnya masa iddah. Masyarakat akan berprasangka baik jika wanita tersebut keluar rumah, karena sudah mengetahui tidak dalam masa iddah. Isi berkat yang sama diberikan dalam suatu hajatan kepada seluruh undangan. Pemberian itu mencerminkan nilai persamaan masyarakat tanpa memandang kelas sosial seseorang. Dan konsepsi berkatan sebelumnya bahwa samasama berbagi dapat menambah nilai keharmonisan masyarakat. [] ISMAH NURANI
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
59
Tanjung-Jati
Kuliner yang satu ini kerap dijumpai sebagai hidangan sarapan. Lentog merupakan akronim dari pulen dan montok, bentuknya mirip lontong. Namun yang membedakan dari lontong biasa adalah teksturnya yang terlampau lembut. Hidangan sarapan ini disajikan dengan sayur gori (nangka muda) dan lodeh tahu. Cobalah kuliner ini di tempat asalnya, Desa Tanjung Kecamatan Jati.
Pindang kerbau merupakan masakan yang disajikan dengan kuah pindang berwarna kehitaman karena dicampur kluwak. Sebagai pelengkap ditambah daun melinjo. Selain dijajakan di pinggir jalan, kuliner satu ini kerap kita jumpai di acara hajatan/pesta.
60
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Sama seperti pecel pada umumnya, yang membedakan adalah bahan utama pecel ini adalah tanaman pakis yang banyak tumbuh di daerah lembab dan pegunungan. Resep pecel ini merupakan warisan Aminah, juru masak Keraton Solo
Soto Kerbau
Berangkat dari larangan Sunan Kudus untuk menyembelih sapi, soto kerbau hadir mewarnai kreasi kuliner wong Kudus. Kini kuliner legendaris ini menjadi ikon Kota Kudus.
Merupakan olahan ayam yang berkuah santan dimasak menggunakan daun pisang dan didominasi oleh rasa asam dan pedas. Banyak yang mengatakan hidangan ini khas Jawa Tengah, namun yang paling nikmat tentunya ada di Kudus. Oleh karena itu, masakan satu ini kerap menjadi incaran para pelancong yang datang ke Kudus. Hidangan ini biasa disajikan dengan nasi hangat, tempe goreng serta perkedel. Rasa asam masakan ini diperoleh dari belimbing sayur.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
61
INFO BUKU Ditemukannya Bapak Kretek
Judul Buku : DJAMHARI, penemu kretek : 100 Tahun Sejarah yang Terpendam dan Lika-Liku Pencaroan Jejaknya Penulis : Edi Supratno Editor : Irfan Afifi Penerbit : Pustaka Ifada Cetakan : Pertama, Mei 2016 Tebal : xvi + 180 halaman ISBN : 978-602-72250-4-6
Pada 1932 B. Van Reijden, peneliti Belanda menyebut Djamhari sebagai penemu kretek, sejak itu pertanyaan mulai muncul, siapa Djamhari? Puluhan orang mencarinya, bahkan ada yang mencari selama puluhan tahun. Kini semua tentang Djamhari secara gamblang terangkum dalam buku ini.
Tentang Sidarto Danusubroto
S
Penulis : Sudirman Tarigan dan Hendri F. Isnaeni
Penulis :
Di publikasikan : 6/12/2016 12:00:00 AM
Penerbit:
ISBN : 978-602-412-086-3
13×20,5 ISBN : 978-602-1246-98-6 Jumlah halaman: 296
elain menguraikan perjalanan hidup Sidarto Danusubroto, buku ini juga menguraikan kegundahannya mengenai masalah yang mendera bangsa ini. Dia menyebutnya “jalan terjal perubahan” dan sebagai bangsa besar kita harus tertantang mampu mengatasinya. Buku yang kental akan syarat politik ini cocok bagi kalian yang penasaran dengan politik.
62
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Naik Haji dengan cara yang berbeda Terbit :
Format :
S
Trinity Juli 2016 B first
eri lanjutan dari “The naked Traveler” dari Trinity ini mempunyai keseruan sendiri. Berbeda dari sebelumnya, di edisi kali ini Trinity mencoba mengeksplor Makkah Madinah dengan cara yang berbeda. Bagi kamu yang suka dengan Traveling berkeliling dunia tapi tidak punya cukup dana. Buku ini akan menceritakan tentang keindahan alam di luar sana.
MEREKA GIGIH BERJUANG TANPA MENGHARAP UANG !
085-740-395-357
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
63
SINEMA
64
PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
SINEMA
Judul film Rilis Durasi Sutradara Skenario Pemain
: Tabula Rasa : September, 2014 : 1 jam 47 menit : Adriyanto Dewo : Tumpal Tampu Bolon : Jimmy Kabogau, Dewi Irawan, Yayu Unru, dan Ozzol Ramlan
Perkara kuliner tak lagi sekadar bagaimana rasa dan penampilannya. Kuliner juga tentang perasaan juru masaknya.
H
al itu tergambar lewat tokoh Mak dalam film Tabula Rasa yang skenarionya ditulis oleh Tumpal Tampubolon. Berbeda dengan Madre (Benni Setiawan) yang mengangkat kuliner sebagai penghubung antar tokohnya. Tabula Rasa tampil lebih garang dengan menjadikan kuliner sebagai permasalahan pokok yang dihadapi antar tokoh. Tumpal Tampubolon sengaja memasukkan kuliner sebagai konflik yang dihadapi para tokoh, sekaligus sebagai pengikat kembali hubungan mereka. Suatu visi sang penulis skenario yang kemudian menjadi keunggulan dari film ini. Tabula Rasa bercerita tentang pemain sepakbola asal Seruai, Papua, bernama Hans (Jimmy Kabogau). Hans bermain bagus di tempat asalnya. Ada klub sepakbola dari Jakarta yang tertarik. Ia pun bergabung dan meninggalkan kampung. Tak dinyana, kaki Hans cedera dan klubnya tak mau memberi biaya. Klub beralasan biaya pengobatannya
terlalu mahal. Adegan pembuka film seakan langsung menyindir dunia persepakbolaan negeri ini. Perlahan ingatan kita digiring ke sosok Diego Mendeita, pemain Persis Solo asal Paraguay, yang meninggal usai mengalami cytomegalovirus. Hans menjadi gelandangan di Jakarta. Sampai kemudian bertemu dengan Mak (Dewi Irawan) dan Natsir (Ozzol Ramlan) yang punya warung Padang “Takana Juo”. Setelah jadi gelandangan, Hans berkenalan dengan masakan Padang. Gulai Ikan Kakap adalah masakan Mak yang pertama kali Hans cicipi. Dan bukan main! Hans terdiam sejenak, seakan tak percaya dengan kreasi masakan yang Hans tak pernah merasakan sebelumnya. Hans bukan saja merasakan kenyang, Hans juga dipekerjakan Mak, seperti mengelap kaca, meja, menyapu lantai dan juga mengantar belanja ke pasar. Kedatangan Hans memunculkan konflik baru di warung Padang “Takana Juo” milik Mak. Memang, saat itu warung Padang “Takana PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
65
SINEMA Juo” sedang sepi pembeli. Belum lagi gaji karyawannya yang belum dibayar. Adalah Parmanto (Yayu A.W Unru) sang juru masak yang sekaligus mewarisi resep masakan Padang Mak. Parmanto menaruh benci yang mendalam kepada Hans, karena di saat “Takana Juo” sedang sepi, Hans hadir menambah beban upah karyawan. Emosi Parmanto meluap, kemudian ia keluar meninggalkan rumah makan Padang. Ketika esoknya kembali, Parmanto memutuskan untuk berhenti jadi juru masak di “Takana Juo”. Tak disangka, selang beberapa waktu, Parmanto justru menyaingi Mak. Parmanto menjadi juru masak di warung Padang yang lebih besar, lebih bersih, lebih modern dan lebih bagus dari “Takana Juo”. Letaknya pun berdekatan dengan “Takana Juo”. Pembelian bahan baku masakan Padang di pasar pun saingan. Semua daging dibeli Parmanto. Mak
66
PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
kehabisan daging. Hans berinisiatif menyerang balik Parmanto, dengan menambahkan menu Gulai Kepala Kakap. Terlebih resep masakan itu, Parmanto belum tahu. Namun, usahanya ditentang oleh Mak. Mak menganggap Hans tak tahu apa-apa tentang Gulai Kepala Kakap. Ada rahasia yang belum diketahui Hans. Pada akhirnya, Mak menyetujui ide Hans. Dengan menu masakan Gulai Kepala Kakap, “Takana Juo” ramai kembali. Mak mengajar Hans cara memasak. Kini, meski gagal jadi pesepakbola profesional, Hans bisa dibilang sukses jadi juru masak warung Padang. Film yang cukup berhasil mengajak penontonnya sedikit mengerutkan dahi, mengajak penonton mengingat kembali kejadian lampau. Seperti adegan yang berisi sindiran kepada pemerintah tentang persepakbolaan Indonesia yang bobrok. Selain itu, juga ada adegan yang sedikit
menyentil tentang pasar kebutuhan pokok. Yakni tentang harga barang lokal yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan impor. Didukung dengan alur yang rapi dan tampilan makanan yang dijamin bikin ngiler. Tak heran rasanya, jika kemudian sutradara dari film ini, Adriyanto Dewo, dinobatkan sebagai peraih sutradara terbaik oleh FFI (Festival Film Indonesia) tahun 2014. Hal yang dirasa kurang dari film ini adalah tidak adanya subtitle ketika ada dialog minang. Selain itu ada kejanggalan tentang kehidupan Hans sebelum berangkat ke Jakarta. Apakah Hans itu anak panti asuhan yang dirawat, atau memang anak kandung yang mempunyai dua belas saudara kandung. Endingnya juga kurang dikemas secara tuntas dan ngambang.[] AA ISMAEL
B
ercerita tentang lika-liku kehidupan Sarwono sebagai tokoh utama, SDD seolah mengungkap kisah pribadinya yang sedang menjalani kehidupan di latar Universitas Indonesia. Alkisah, dosen muda di bidang Antropologi bernama Sarwono sedang jatuh cinta kepada Pingkan, pengajar prodi Jepang di universitas yang sama. Jauh sebelum itu, Sarwono dan Pingkan sebenarnya sudah lama saling mengenal. Lantaran hubungan pertemanan antara Sarwono dengan Toar, kakak Pingkan. Perjalanan kedua insan yang ternyata saling mencintai itu tak selalu mulus. Begitu banyak aral yang melintang, termasuk perbedaan suku, budaya dan agama. Meskipun demikian, mereka tak mempersoalkannya. Mereka tetap menjalani romantika di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Awal kisah diceritakan tentang kekaguman Pingkan pada Sarwono. Selain sebagai peneliti, tulisantulisan Sarwono juga selalu
menghiasi media cetak. Bisa dibilang ia menjadi pengisi tetap, terutama melalui sajak puisipuisinya. Kepiawaian Sarwono dalam membuat bait-bait puisi itulah yang membuat Pingkan semakin jatuh hati. “Kata temannya yang menjadi redaktur budaya koran Swara Keyakinan, puisinya akan dimuat hari itu. Koran sore yang menyediakan ruangan khusus sastra setiap Sabtu.� (Hal.2) Suasana Bulan Juni yang biasanya diselimuti panas tinggi kini berubah seketika. Entah mengapa hujan tiba-tiba datang. Padahal Bulan Juni tidak bisa dipisahkan dari bedhidhing. Kalau siang panas minta ampun. Tidak ada awan di langit, masih juga ditambah dengan polusi. Tetapi kalau malam panas bumi membubung ke atas atmosfir dan dunia ini ditinggalkan dalam keadaan kedinginan. (Hal. 15) Dingin yang selalu menetap dalam kegelapan malam itu terkadang memaksa Sarwono untuk selalu memakai jaket kesayangannya. Demi menutupi PARADIGMA Edisi 28/Desember 2015
67
Kita tak akan pernah bertemu Aku dalam dirimu Tiadakah pilihan Kecuali di situ? Kau terpencil dalam diriku tubuhnya yang kerempeng karena batuk-batuk yang diderita. Keadaan lemah Sarwono itu sebenarnya sudah diketahui oleh kekasihnya, namun tetap saja Pingkan selalu mencintainya. Studi ke Jepang Kehidupan di Jakarta kini rasanya mulai berubah, bagi Sarwono. Karena seiring berjalannya waktu, Pingkan harus melanjutkan studinya ke Jepang. Saat itulah Sarwono mulai takut akan kehilangan kekasihnya. Bukan karena meragukan cinta Pingkan, namun karena di Jepang ada sosok sontoloyo Katsuo yang dulu pernah sangat dekat dengan Pingkan. Akhirnya saat-saat yang dikhawatirkan datang juga. Pingkan yang sudah berada di negeri Jepang, kini menikmati indahnya pohon sakura yang berbusana bunga putih dan kemerahan berkemerkahan bersama Katsuo. Hal yang selalu diimpikan itu benar-benar dilihatnya sampai puas. Karena ia tahu lembar demi lembar keindahan bunga yang ia lihat harus segera gugur untuk 68
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
melepaskan diri dari sisa-sisa udara dingin yang menerpa. Sementara itu, Sarwono yang masih menetap di negerinya hanya bisa berhubungan melalui WA dengan Pingkan. Ia hanya bisa berharap agar waktu dapat secepat mungkin mempertemukannya dengan Pingkan. Namun, apalah daya. Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap. Tetapi takdir harus ditandatangani di atas meterai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk. (Hal.20) Sarwono yang sekian lama ditinggalkan oleh Pingkan kini diketahui jatuh sakit. Ia menderita paru-paru basah. Keadaan yang cukup parah, ditambah dengan benak dan hatinya yang basah karena menahan rindu ingin bertemu dengan Pingkan, kekasihnya. Cerita yang mengharukan akhirnya ditutup dengan “Tiga Sajak Kecil” karya Sarwono yang dulu pernah dimuat di koran Swara Keyakinan. Sajak ke tiga, Kita tak akan pernah bertemu;//aku dalam dirimu//tiadakah pilihan//kecuali di situ?//kau terpencil dalam diriku (Hal.133) Ini yang menjadikan para pembaca masih menebaknebak ending-nya. Terkesan menggantung, sehingga dianggap cukup membingungkan. Apakah akan menjadi sad ending atau malah sebaliknya. Atau bisa jadi novel ini masih akan dilanjutkan dengan sequel atau seri lainnya yang akan datang. Mungkin itu memang salah satu taktik yang dipilih penulisnya dan menjadi sebuah keunikan tersendiri. Novel “Hujan Bulan Juni” ini bersampul menarik. Ketika pertama kali melihat sampulnya, terasa daya tarik yang bisa memikat siapapun yang memandangnya untuk segera membaca. Bersampul sederhana namun elegan. Ditambah penulisan judul buku dengan efek terlihat pudar seakan terkena rintik hujan.
Alur cerita yang disuguhkan memang bisa membuat baper (baca: bawa perasaan) bagi para pembacanya. Buku “Hujan Bulan Juni” ini di dalamnya juga tak jarang disisipkan beberapa syair atau bait puisi. Namun saya merasa bahasa sastra yang digunakan dalam novel ini terlalu tinggi. Sehingga saya agak kesulitan memahami makna per kalimatnya. Waktu yang digunakan untuk menghabiskan satu buku ini pun menjadi cukup lama. Terlepas dari hal itu, sosok penulis Sapardi Djoko Damono dapat menginspirasi kita, terutama bagi kalangan muda. Karena penulis yang sudah mencapai usia 75 tahun itu masih saja produktif dalam melahirkan karya-karyanya.[] QURROTU ‘AYYUN
Judul buku : #Narasi (Antologi Prosa Jurnalisme) Penulis : Andina Dwifatma dkk Penerbit : Pindai Tahun Terbit : 2016 Tebal : i- xviii + 466 hlm.; 13,5 x 20 cm ISBN : 978-602-1318-21-8
P
erkembangan dunia jurnalistik menemukan pencapaian. Jurnalistik yang mulanya hanya berfungsi menyampaikan fakta kepada publik, kini memiliki banyak versi tata cara penulisan. Dahulu kita hanya mengenal jurnalistik dengan berita langsung, berita berkisah, berita tak langsung dan lain-lain. Sebagaimana fungsinya, yaitu merekam dan menyampaikan suatu kejadian kepada khalayak ramai, banyak kisah yang menyentuh, mulai dari tahap wawancara, penulisan hingga disajikan. Dalam jurnalistik mestinya memang tidak ada lagi yang bisa ditutupi. Sayangnya, berbagai kendala seperti keterbatasan halaman, minat pasar, serta permainan politik tertentu terkadang
Doc. Paradigma
Membaca Reportase ‘‘Nyata’’ menjadikan karya jurnalistik terlepas dari fungsi yang telah disebutkan. Alih-Alih mendapat berita secara utuh pembaca menjadi korban harapan palsu sebab kendala-kendala tadi. Reportase yang disampaikan tak lagi murni sesuai kenyataan seperti harapan pembaca. Demikian itu adalah tantangan bagi para jurnalis untuk tetap melayani masyarakat dengan reportase “nyata” namun juga bebas dari kendala tadi. Nah, buku #Narasi ini hadir untuk menjawab tantangan itu, para penulis mengisahkan reportasenya semua secara “nyata”. Mengajak pembaca untuk seolaholah hadir dan larut dalam suatu kejadian seperti yang diharapkan. #Narasi (Antologi Prosa Jurnalisme) merupakan buku yang
Judul :
#NARASI : Antologi Prosa Jurnalisme
Penulis :
Andina Dwifatma
Penerbit :
Pindai, Yogyakarta
Tahun : 2016
Tebal :
xviii + 466 hlm
ISBN :
978-602-1318-21-8
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
69
Resensi berisi kumpulan reportase panjang karangan Andini Dwifatma dkk. Buku ini terbit karena masih minimnya prosa nonfiksi lewat tangan-tangan jurnalisme dalam dunia percetakan Indonesia. Yang perlu disadari, karya jurnalistik adalah karya individual seorang reporter, ia baru layak diturunkan ke halaman media dan menjumpai pembaca setelah melalui proses pengolahan yang merupakan usaha kolektif keredaksian. Buku kedua yang diterbitkan Pindai ini merupakan kumpulan reportase bergenre reportase naratif. Karya jurnalistik yang biasanya terkenal kaku, serba cepat, ringkas dan padat sama sekali tidak ditemukan di buku ini. Gaya penulisan fiksi dalam novel dengan penyampaian yang juga lugas dan sistematis membuat buku ini memberi “dunia baru”. Kita seakan diajak duduk berdua, bercengkrama, bercakap dengan santai sembari menikmati teh hangat dan biskuit renyah nan nikmat. Tulisan dalam buku #Narasi ini tidak hanya menuangkan sejumlah pengalaman tetapi juga pengamatan kritisnya pada fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Kita seakan melihatnya bercerita dengan ekspresi beragam. Berbagai tragedi dan kisah para pencari keadilan disajikan. Perasaan kita diaduk sedemikian rupa oleh para penulis dengan reportasenya masingmasing. Berbagai kisah perjuangan disajikan, mulai dari perjuangan melawan kekerasan, perda dan aturan yang mematikan, keadilan, bahkan penyakit. Ironi-ironi yang tidak bisa disampaikan oleh reporter media cetak maupun elektronik dengan kemampuan jurnalistiknya terbuka dalam buku ini. Kisah tentang penculikan sebagai akibat kekejaman perang AcehIndonesia oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), konflik sengketa tanah Suku Anak Dalam Batin 9 dengan PT Asiatic Persada, Billy Sindoro atas kasus korupsi yang 70
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Tulisan dalam buku #Narasi ini tidak hanya menuangkan sejumlah pengalaman tetapi juga pengamatan kritisnya pada fenomena yang terjadi di masyarakat. Kita seakan melihatnya bercerita dengan ekspresi beragama. Berbagai tragedi dan kisah para pencari keadilan diajikan. Perasaan kita diaduk sedemikian rupa o;eh para penulis dengan reportasinya masing-masing.
aliran dananya sampai ke lembaga agama, kisah seorang penderita Skizofenia dalam melawan penyakitnya, sampai budi daya tembakau yang terus meningkat bahkan ketika krisis ekonomi nasional maupun global, tersaji apik dalam buku ini. Naskah mengenai sosok penderita Skizofrenia misalnya, yang ditulis oleh Bayu Maitra, editor Bacaan Malam blog agregator. Naskahnya begitu lincah, dramatis dan menyentuh. Naskah berjudul “Hantu-hantu di Kepala” menggambarkan detail perjuangan pengidap Skizofrenia dalam bertahan hidup. “Waktu itu 2005, sekitar pukul 11 malam, di kamar indekosnya di daerah Ciumbuleut. Saat berbaring menunggu tidur, emosi Rini tibatiba meluap-luap, membuncah tanpa sebab. Ia merasakan kesedihan luar biasa yang tak kuasa ia tahan. Rini menangis sesenggukan. Ketika butuh berteriak ia membekap wajahnya dengan bantal.” (hlm.
241) Di situ Bayu tidak hanya menceritakan kejadian yang dilihatnya, namun dituliskannya secara lengkap sesuai apa yang dialami oleh Rini. Jadi, pembaca seolah ditarik kedalam kehidupan Rini dan dipaksa turut merasakan apa yang dialami Rini. Tidak hanya itu, kisah tentang perjuangan seorang ibu dalam mencari keadilan anaknya dalam “Perempuan berpayung hitam” juga menegaskan bahwa kita masih hidup dalam bayangan “kesedihan” negeri ini. Reportase karya Andina Dwifatma mengaduk emosi pembaca ketika tergambar suasana tragedi Semanggi. Pasca itu, para orang tua korban mengadakan kegiatan demonstrasi rutinan setiap kamis. Mereka setia menunggu di depan Istana Negara dan berharap pintu hati para petingginya terbuka untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ya. Demikianlah kita membaca Indonesia. Berbagai kenyataan pahit itu masih ada. Para pemangku kebijakan seolah mempunyai tujuan yang kompak untuk pelanpelan membunuh rakyatnya. Kenyataan itu memang harus terus diperjuangkan demi terciptanya tatanan negara dan peradaban yang diharapkan. Tiada lagi yang harus ditutupi untuk sekadar pencitraan. Membaca buku ini menggiring kita untuk mengetahui lebih dalam sejumlah hiruk-pikuk negeri ini. Pengantar singkat dari penulis disetiap awal bab mampu memberi inspirasi, gambaran dan bekal dalam melihat lebih dalam ihwal “kenyataan”. Demikian itu juga berguna bagi seseorang yang hendak meliput suatu kejadian. Kita dapat mempelajari kegesitan para penulis menembus “pertahanan” narasumber yang sulit ditemui serta jaringan persahabatan yang luas. Sebagaimana pengantar Fahri Salam, buku ini adalah dorongan agar kelak banyak terbitan tulisan dengan genre serupa. Semoga.[] KHOLIFATUL MAULIDA
CERPEN
MERAK DAN GAGAK
YUNDRA KARINA*
T
etes gerimis mulai membasahi telapak tanganku. Sepertinya sudah terlalu lama aku menjulurkan tangan ke luar jendela kamar. Tak terasa malam semakin menggelayut. Hembusan udara mulai menggelitik kulitku yang secara langsung memberikan sinyal untuk segera membalikkan diri lalu mengunci jendela. “Belum tidur, Ning?” suara khas seorang pemuda mengagetkanku. Suara yang sudah tidak asing lagi bagiku. “Eh, Belum, Kang. Jam segini masih di luar memangnya dari mana, Kang? Latihan pencak silat ya?” “He-he, iya, Ning. Tadi ada latihan pencak silat di padepokan sebelah. Jauh. Tidak ada temannya pula. Jadi jalan kaki sendirian.” “Iya sudah, Kang. Sudah malam, tidak enak kalau ada orang yang lihat. Lekas Akang pulang. Hati-hati di jalan, Kang.” “Iya, Ning. Terima kasih. Akang pulang dahulu.” Kubalikkan tubuhku setelah memastikan bayangan sesosok pemuda itu hilang di balik tikungan. Angin mulai semilir sepoisepoi. Kututup tirai jendela yang kontras dengan cahaya lampu yang mulai redup. Hampir setiap hari aku sempatkan untuk menunggu seseorang dari balik tirai jendela kamarku berharap dapat melihat siluetnya meski sekilas atau sesekali mengobrol sebentar. Kang Jaka. Iya, namanya Jaka. Ia adalah seorang pemuda yang aku kenal dua tahun terakhir ini. Orang tuanya asli Pasuruan
mengajaknya pindah ke kampung ini. Waktu itu aku baru lulus SMA ketika teman-teman sebayaku sedang gencar membicarakan seseorang yang istimewa. Selain mempunyai perawakan yang tinggi semampai dan wajah yang tampan, Kang Jaka terkenal jago silat dan sangat baik di kalangan warga kampung. Rumahnya pun tidak jauh dari rumahku. Lagipula jalan utama menuju kampung sebelah tepat di samping rumahku sehingga cukup dengan membuka jendela aku bisa melihat siapa saja yang lewat. Hingga saat ini aku hanya bisa mengaguminya dari jauh. Mengobrol sebentar ketika tidak sengaja berpapasan atau hanya melihatnya sekilas dari balik tirai. Meski pendatang baru, keluarganya bisa dibilang keluarga terhormat di kampung ini. Sepertinya kantukku sudah tidak mau diajak kompromi lagi. Dengan bermodalkan selimut dan bantal, kubenamkan mukaku menuju alam lain. Alam mimpi. PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
71
CERPEN *** Sekali dua kali kutolehkan wajahku pada Mbak Anis. Setelah seharian ini mengoceh tidak jelas kini ia malah asyik berpacaran di dekat sungai meninggalkanku seorang diri sebagai obat nyamuk lengkap menjabat sebagai hansip. Kalau bukan karena takut tidak jadi diajak ke Jogja minggu depan tentu aku sudah kabur meninggalkannya. Tapi lagi-lagi kadang hidup tidak memberikan pilihan. Aku merasa ini tidak adil. Kalau aku kabur tentu minggu depan lagi-lagi aku tidak bisa melihat kampus Mbak Anis yang selama ini sering diceritakannya padaku. “Ning, kamu lagi ngapain disini?” Aku tahu suara khas itu. “Eh, Kang Jaka. Anu, Kang..., anu...” jawabku bingung. Kaget bercampur malu. “He-he, iya. Kamu di sini lagi ngapain? kok sendirian di sungai?” wajahnya yang penuh dengan senyum simetris itu mulai mematungkanku. “Ning… Ning… hei… ha-ha ah! kamu ini unik sekali. Ditanya malah bengong begitu kenapa? Atau jangan-jangan kamu kesurupan?” Kang Jaka mulai menggodaku. “Eh! tidak apa-apa, Kang. He-he. Kang Jaka sendiri dari mana? Kok sendirian juga?” “Biasa, Ning. Menikmati panaroma alam. Menikmati nikmat yang diberikan Tuhan pada makhluk-Nya. Ayo kita jalan-jalan bareng. Bukannya kita tidak pernah ngobrol lama?” “He-he iya, Kang. Ide bagus” Tuhan, Kutarik kembali prasangkaku. Tolong ampuni hamba-Mu yang nakal ini. Mungkin ini hikmah tersembunyi di balik lelahnya menunggu Mbak Anis. Aku tersenyum sendiri membayangkan Mbak Anis yang kebingungan mencariku. “Ning…” “Iya, Kang…” “Boleh Akang tanya sesuatu?” “Silakan, Kang. Memangnya 72
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Kang Jaka mau tanya apa pada Ning?” aku sedikit gugup menatap wajah itu. Wajah manis itu. “Ning. Apakah kamu tahu perbedaan burung merak dan gagak?” Aku diam sejenak. Kenapa Kang Jaka bertanya soal burung? Apa Kang Jaka ingin memelihara burung? Lalu kenapa ia tanya pada seorang gadis seperti aku ini yang jelas-jelas sangat awam mengenai burung dan hewan lainnya? “Emmm… Emmm... setahu Ning warna bulunya, Kang.” jawabku malu-malu. “Kalau burung merak warnanya bagus, Kang. Berwarna-warni. Sedangkan burung gagak warnanya hitam, Kang.” lanjutku. “Iya, Ning. Meskipun mereka sama-sama burung, namun banyak hal yang membedakan mereka. Apakah kamu tahu, Ning? Ketika seekor burung gagak berusaha merubah diri agar bisa seperti burung merak. Meskipun ia rela mati-matian berusaha. Ia akan tetap menjadi gagak. Meskipun ia mencabut seluruh bulunya atau mewarnai bulunya seperti merak ia akan tetap menjadi gagak. Suara dan bulunya takkan pernah menyamai burung merak.” Kang Jaka terdiam sejenak. “Dan hukum itu berlaku dalam hidup manusia, Ning. Trah, derajat, pangkat, warna kulit terkadang masih dielu-elukan. Mustahil seekor gagak akan dapat diterima baik di sekumpulan burung merak, Ning. Meskipun kita sudah berusaha mati-matian untuk berubah. Burung gagak akan tetap dianggap sebagai burung gagak, Ning. Tak mungkin bisa berubah menjadi merak”. Kang Jaka mulai menitikkan air mata. Setetes. Dua tetes. Aku semakin bingung. “Tidak, Kang. Tidak selamanya itu semua benar. Bukankah yang terpenting burung gagak sudah berusaha? Kenapa Kang Jaka tibatiba sedih seperti ini? Apakah Kang Jaka sedang jatuh cinta pada
CERPEN seorang gadis?” tanyaku dengan bibir gemetar. Aku tak menyangka aku bisa mengeluarkan pertanyaan seperti ini. “Iya, Ning. Aku mencintai seorang gadis yang lembut tutur katanya. Dia gadis desa ini. Namun keluargaku menentang keras-keras karena beranggapan bahwa trah kami berbeda. Aku mencintai sedari dulu, Ning. Sedari awal perjumpaanku dengannya dua tahun yang lalu. Aku selalu merindukannya, Ning. Aku merindukanmu.” Satu kata itu tepat melesat sepersekian detik melewati sudut waktu. Aku sendiri tak akan pernah berani bermimpi dapat dicintai olehnya. Atau aku hanya salah dengar? “A a apa, Kang?” tanyaku gugup. Bingung. “Aku mencintaimu, Ning. Sedari dulu. Namun aku sendiri tak kuasa melawan kehendak orang tua,” Kang Jaka mulai terisak. “Kang…” kuberanikan diri menyentuh pundaknya. “Mungkin ini mimpi bagi Ning dapat dicintai oleh Kang Jaka. Akang harus tahu. Meskipun Ning menjadi seperti burung gagak, Ning tak akan pernah berusaha untuk menjadi seekor merak, Kang. Ning akan menikmati hidup Ning sebagai seekor gagak. Karena itu adalah anugerah dan rezeki dari Tuhan untuk Ning. Namun, Kang… Ning akan selalu berusaha untuk menjadi gagak yang terbaik. Gagak yang bermanfaat. Setidaknya untuk sekumpulan para gagak.” Aku sedikit gugup untuk mengontrol suasana hatiku. Sedetik kemudian mulut ini masih saja tak mau diam mengungkapkan apa yang ada di hati. “Mungkin kelak Ning dapat berjumpa dengan sekumpulan
para merak. Namun Ning akan tetap bangga menjadi diri Ning. Ning tak perlu mati-matian mencabuti bulu ning atau mewarnai bulu ning. Ning cukup menjadi diri Ning apa adanya, Kang. Ning bersyukur meski Ning hanya tercipta seperti seekor gagak. Ning tak akan marah pada Sang pencipta. Ning terima itu, Kang,” aliran deras kata-kataku meluncur tanpa kusadari darimana kuperoleh kekuatan itu. “Ning… itulah yang kusuka darimu. Itulah yang kucinta darimu. Maukah kamu menjadi pendamping hidupku, Ning? Bersama-sama mengarungi bahtera kehidupan ini?” mantap Kang Jaka mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang seakan-akan hujan emas di hatiku. “A a apa, Kang? Apa Ning salah dengar? Ning merasa ini seperti mimpi, Kang. Bukankah tadi Akang bilang kalau orang tua dan keluarga Akang tidak menyetujui?” “Tidak, Ning. Semua tadi hanya rekayasa Akang untuk mengetahui ketulusan cinta Ning. Dan setelah mendengar jawaban dari Ning, Akang semakin yakin dengan pilihan Akang. Akang sudah matur pada keluarga. Dan mereka menyetujuinya.” Pelan kutundukkan wajahku. Hamparan hijau sawah yang dipenuhi palawija. Aliran air sungai yang mengalir dengan tenangnya. Suara kicau burung dan jangkrik yang bersahutan seakan membuat alunan melodi yang syahdu. Indah, damai, dan tenteram. Sesejuk hatiku saat ini. Bukankah kita hanya insan biasa? Rencana Tuhan tentu lebih baik daripada rencana hamba-Nya, kan? *** * Penulis novel Yuna & Juna (2016), siswa kelas membaca “Pram” di Kedai Kopi ABG Jalan Patemon 48G Semarang
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
73
Puisi
Rembulan Malam Pilu Gadis malam yang malang... Wajahmu murung bila datang malam Menyimpan rasa takut namun terpendam Hanya senyum yang berkembang Itu pun terpaksa, agar tamu mu senang Gadis malam menyimpan duka... Tangisan air mata yang dia simpan Menjadi senjata penguat untuk tetap bekerja Menyambung hidup yang semakin lara Apa lagi dunia semakin berkuasa diatas segalanya Gadis malam hanya mampu berdoa.. Semoga jalan hidup tak selalu menderita Semoga anak cucu tak seperti dia Semoga manusia-manusia tak meremehkanya Dan semoga Tuhan yang maha pengampun Memberi ampunan kepadanya dan menghalalkan Semua hartanya agar keluarganya tak menikmati Harta yang mungkin tak ada halalnya sama sekali Namun ketahuilah.. Di dalam setiap langkah Mereka mengingat dosa dan detak jatungnya Selalu menyebut nama Tuhanya..... Dosakah mereka? Kupu-kupu malam.... Fuad Kahayang
74
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
Puisi
TANAH Tempat pijakan setiap makhluk yang hidup Saksi peka dari hanya sekedar pengamat Pengadu dikala diberlakukan tak adil Oleh tangan-tangan manusia yang tak bertanggung jawab Mengeluarkan semua yang dikandungnya Tanpa menyisakan meski sececer pun Tragis dan sangat menakutkan Bukan jera justru terus dilakukan Mungkin itu merupakan dari sifat manusia Yang selalu melupakan untuk bersyukur Ingatlah,, Mita El-mianu
I am On You Night, Over here I realize I am on you The pray recite its vigour The tears answer the struggle Trouble just for a while I am on you Still Angel’s hearts entreat the paradise However foot of devil aim to sin Scandalize Maharadell Mahasiswa UKM STEC STAIN Kudus
مشتاق
يا رسول هللا يا حبيب هللا انتم بشر ال كالبشر وانتم نور فوق نور وجهكم كال ّشمس والبدر يا رسول هللا يا حبيب هللا كيف حالكم فى الجنّة يا رسول هللا نحن نريد لقاءكم يا رسول هللا واشوقاه اليكم يا رسول هللا يا رسول هللا يا حبيب هللا جئ يا رسول هللا جئ يا حبيب هللا جئ فى نومنا ولو لحظة يا حبيب هللا نحن نريد ان نقبّل يديكم يا حبيب هللا يا رسول هللا يا حبيب هللا نحن هنا واشوقاه اليكم يا رسول هللا يا هللا اغفرلنا يا هللا بوسيلة حبيبنا مح ّمد ّيا هللا يا رب القفا برسول هللا فى يوم القيامة نحن نرجو بشفعته يا هللا امين امين امين يا رب العالمين Muhammad Syaifudin Fuad
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
75
SKETSA KAMPUS Hari Kartini ;
Memaknai Perayaan yang Berbeda
BARU : Narasumber sekaligus penulis buku “Kartini Nyantri” Amirul Ulum, menyampaikan materi kepada audiens di Laboratorium Ibadah STAIN Kudus (21/4)
STAIN KUDUS − Selama ini hari Kartini kerap diperingati dengan merias diri dan berpakaian kebaya bagi para perempuan. Baik itu di sekolah maupun di instansi pemerintahan. Namun berbeda peringatan yang dilakuakan Pusat studi Gender (PSG) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus pagi ini. Lantai satu Laboratorium Ibadah STAIN Kudus ramai. Kamis (21/4/16) bedah buku dan sosialisasi bertajuk “Kartini Nyantri” digelar. Tak kurang sekitar 100 peserta duduk lesehan memenuhi ruangan. Dalam sambutanya Wakil Ketua I, Dr. Saekhan Muchit, M.Pd menyentil kaum perempuan yang kerap menuntut kesamaan dan kesetaraan dengan laki-laki, namun secara tidak langsung mereka menunjukan kelemahannya sendiri. “Kita sering melihat, semisal ada kegiatan rapat di organisasi, perempuan pasti akan meminta 76
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
rapat selesai tidak melebihi pukul 9 malam. Karena tidak baik perempuan pulang larut malam,” jelas pria yang sering berpenampilan necis ini. Hadir dalam acara bedah buku tersebut, Amirul Ulum, sang penulis yang berlatar belakang santri. Mengawali pembicaraan dengan kegelisahan-kegelisahanya. Selama ini Kartini digambarkan sebagai sosok yang sekuler dan menganut ajaran feminisme. Ini disebabkan karena teman curhatya adalah orang-orang Belanda yang notabene Yahudi-Orientalis. Namun semua itu dapat dibantah dengan pemahaman yang jeli ketika membaca pemikiran-pemikiran dan suratnya kepada teman Belandanya. Dalam surat yang ditujukan kepada Ny. Abendanon tertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menunjukan dengan gamblang mengenai spiritualitas-religiusnya. Ia mengatakan kepada teman
curhatnya itu untuk memakai gelar tertinggi untuk umat manusia. Gelar tertinggi yang diimpikan para nabi yaitu Hamba Allah. Seperti tulisan milik Pramoedya Ananto Toer, “Panggil Aku Kartini Saja”. Kartini dengan sendirinya menunjukan sikap kesederhanaanya, ia tidak mementingkan gelar kebangsawanannya. Tidak hanya itu, Amirul Ulum menjelaskan bahwa “Habis Gelap Terbitlah Terang”, jika dipahami merupakan tafsiran dari Surat Al Baqorah ayat 257. “Allah pelindung orang-orang yang beriman ; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.” Ini yang tidak banyak diketahui masyarakat luas. Hal ini buah dari ngajinya kepada Kyai Soleh Darat, ulama yang melahirkan tokoh-tokoh besar sekaliber KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim As’yari, yang sayang tidak disebutkan namanya dalam sejarah.
SKETSA KAMPUS Berbeda Sebagai pembedah, Nur Said ketua PSG STAIN Kudus mengatakan, banyak masyarakat yang memperingati hari Kartini hanya sebatas seremonial belaka. Namun sebenarnya hanyalah kelatahan yang miskin arti. “Selama ini di masyarakat kerap kita jumpai peringatan hari kartini dengan berdandan mengenakan kebaya serta lomba memasak, kartinian lebih kepada kegiatan masak dan macak dalam bahasa jawa,” ungkap peminat kajian manuskrip kuno ini. Lebih lanjut ia mengatakan, kita harus berbeda. Dalam memperingati hari kartini harus dengan olah rasa
maupun olah fikir. Mendiskusikan pemikiran-pemikiran Kartini jauh lebih penting. Masyarakat umum tidak banyak yang tau sosok Kartini dalam perspektif religiusitasnya. Kebanyakan masyarakat mengenal Kartini sebatas pejuang emansipasi wanita. Ada hal yang patut dipahami oleh masyaraat bahwa perjuangan Kartini untuk memperoleh kesamaan dan kesetaraan bukan untuk menyaingi ataupun mengambil peran kaum laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam surat tertanggal 4 Oktober 1901 yang ditujukan kepada Ny. Abendanon. “Kami disini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”[] MELINDA CANDRA A,
Reporter Buletin DET!K
HANDS UP : Penampilan anggota baru UKM Musik STAIN Kudus yang tergabung dalam “CADENZA”. Konser tersebut mampu menyedot antusiasme yang tinggi dari Mahasiswa STAIN sendiri maupun luar kampus bahkan luar kota Kudus.
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
77
SKETSA KAMPUS
CADENZA Gelar Konser Bertajuk Nasionalisme STAIN KUDUS − Salah satu Grup Band yang dibentuk oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) STAIN Musik Studio (SMS), CADENZA gelar konser perdana di Gedung Olah Raga (GOR) STAIN Kudus. Dengan mengangkat tema “Jiwaku Tanah Airku”, mereka menyajikan lagu-lagu Nasionalisme, Kamis (26/5). Tema nasionalisme dipilih oleh CADENZA dalam konser musik perdana mereka. Dalam konser tersebut juga dilakukan pengukuhan anggota baru oleh ketua SMS. Mas’udi Jufri, selaku pembina SMS, mengatakan adanya pengukuhan anggota baru diharapkan mampu memberikan semangat bagi mereka. “Selamat berproses di SMS, lakukan yang terbaik, tunjukkan kreatifitas kalian setelah pengukuhan ini,” tuturnya. Konser dihadiri oleh segenap jajaran petinggi kampus, seperti wakil ketua III Abdurrahman Kasdi dan ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa, Zahrotul Anisa. Tak hanya itu, konser yang diadakan juga menyedot perhatian mahasiswamahasiswa dari kampus lain. Di antaranya dari STAIN Pekalongan, IAIN Salatiga dan IAIN Cirebon. Penampilan terbagi menjadi dua sesi. Pertama, sesi musik band, CADENZA menyajikan beberapa lagu berbau nasionalisme dengan aransemen mereka sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan sesi paduan suara. Pada sesi paduan suara, penonton dihibur dengan beberapa lagu nasionalisme juga. Lagu ciptaan Guruh Soekarno Putra, Zamrud Katulistiwa, menjadi salah satu penampilan yang mampu 78
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
memukau dan memicu keramaian konser tersebut. Pangestu, salah satu mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, mengungkapkan konser yang bertema nasionalisme tersebut sangat tepat di era sekarang. Pasalnya, sekarang banyak pemuda yang jiwa nasionalismenya luntur. “Penyajian lagu-lagu yang dipilih sangat menarik sesuai dengan tajuk yang diangkat,” ujarnya. Ketua CADENZA, Arif, mengaku cukup senang dengan penampilan perdananya. Meskipun banyak kesalahan dan kurang kompak, mereka tetap bangga dengan hasil kerja kerasnya selama ini. “Kesalahan yang tadi pasti akan kami bayar tuntas pada konserkonser mendatang,” jelasnya. Ahmad Syafi’i, selaku ketua umum SMS, mengatakan masih ada kekurangan dalam hal kekompakan anggota CADENZA saat tampil di atas panggung. Namun baginya, kekurangan mereka merupakan suatu hal yang biasa dalam konser perdana. “Untuk CADENZA, saya harap untuk selalu berlatih supaya menjadi lebih baik lagi, mengembangkan bakat dan memberikan yang terbaik untuk kampus,” pungkasnya.[] FAQIH MANSUR H
Reporter Buletin DET!K
BELENGGU : Penampilan Kudus dalam pentas berta ini juga sebagai ajang pen mengenal keadaan pangg
foto : ISMAIL/PARADIGMA
n anggota baru UKM Teater SATOESH STAIN ajuk “Karya ?” selasa (3/5/2016). Pementasan ngenalan panggung kepada anggota baru agar gung teater.
A
SKETSA KAMPUS
Tarian Harmoni Pukau Ratusan Pasang Mata STAIN KUDUS − Teater Satoesh berhasil memukau ratusan pasang mata saat mementaskan pagelaran bertajuk Tebar Bahasa II. Bertempat di Gedung Olah Raga (GOR) STAIN Kudus, pagelaran yang mengusung tema “Karya?” tersebut menyajikan berbagai pertunjukan puisi dan musik, Selasa (3/5). Salah satu agenda yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Satoesh, Pentas teaterikal kali ini dimainkan oleh anggota baru. Sebagai langkah awal bagi anggota baru, para pemain berhak menentukan tema sesuai kesepakatan mereka. Berbeda dengan pagelaran-pagelaran yang sebelumnya, kali ini mereka menyuguhkan sendra tari bertajuk “Tarian Harmoni” tanpa bahasa lisan. “Kegiatan ini memang kami sengaja untuk memainkan anggota baru sebagai langkah awal,” jelas Mamat, Lurah Teater Satoesh. Mamat juga menambahkan alasan terkait pemilihan tema tersebut. Para pemain sengaja menyuguhkan tarian teatrikal tanpa bahasa lisan sedikitpun. Pasalnya, mereka ingin memberikan karya yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. “Itu merupakan salah satu kreasi dalam memaknai sebuah karya, baik teatrikal berupa bahasa lisan maupun bahasa tubuh,” lanjutnya. Menurut penuturan Mamat, Tarian Harmoni merupakan sendra tari yang diperankan oleh dua orang tokoh, Hitam dan Putih. Melalui harmoni hitam putih, pemain
memberikan gambaran nyata atas konflik antara sifat jahat (Hitam) dan baik (Putih) yang seolah tak akan pernah menemui titik temu. Kedua pemain menunjukan aksinya dengan pertengkaran fisik tanpa berbicara sepatah katapun. “Dari pementasan tersebut, diharapkan penonton mampu menikmati aksi teatrikal dan memaknai setiap gerakan yang diperankan,” ungkapnya. Muhammad Taufiq, mantan ketua Teater Satoesh yang turut hadir menyaksikan acara tersebut mengaku bangga pada anggota baru yang ikut pentas. Ia berpesan supaya anggota baru tidak bosan berkreasi dan tidak malas untuk selalu belajar dan berproses. “Ini merupakan gemblengan atau langkah awal bagi anggota baru untuk belajar menjadi pegiat seni teater yang berkualitas,” tandasnya. Pengakuan dari salah satu penonton, Mualifah Zakia, mengungkapkan kekagumannya atas suguhan dari Teater Satoesh yang membuatnya terpukau. Suguhan puisi teatrikal, puisi monolog dan penampilan musikal sangat menarik, terlebih pertunjukan Tari Harmoni. “Paling membuat terpukau itu tarian harmoni, saya hampir tak bisa berkata-kata,” pungkasnya.[] FAQIH MANSUR H
Reporter Buletin DET!K
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
79
CATATAN LEPAS
Bahagia Oleh : ACHMAD ULIL A*
80
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Surat Al Baqarah ayat 7) Banyak yang mendamba hidup berjalan bahagia. Menjadi bahagia memang menggiurkan, orang ramai-ramai berusaha untuk mewujudkan kebahagiaan yang diimpikan. Dengan berbagai cara dan berbagai tafsiran, bahagia menjadi cita-cita. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kebahagiaan sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram (terbebas dari hal yang menyusahkan). Motivator Mario Teguh memaknai kebahagiaan sebagai kegembiraan dalam rasa damai yang penuh kesyukuran. Seringkali kita melihat, atau bahkan diri kita sendiri memandang dan meyakini bahagia itu soal kesuksesan, pangkat, gemerlap kemewahan dan pengakuan. Hingga mengaburkan esensi bahagia yang sebenarnya. Lalu bagaimanakah bahagia itu? Beberapa waktu lalu, saya iseng menonton video di akun Youtube Eka Gustiwana. Video berjudul Mana Janji Ayah? yang berdurasi 8 menit lebih 4 detik tersebut sudah dilihat 1,003,307 viewers ketika tulisan ini dibuat. Menceritakan seorang gadis yang hidup dengan ayahnya yang melarat sejak kecil hingga PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016
dewasa. Gadis itu sering diejek dan menjadi bahan cemoohan temannya. Ia berpenampilan kumal dan ndeso. Pada akhirnya ia kecewa kepada ayahnya. Sebagai supir bajaj, ayahnya tentu tak bisa memberikan barang-barang mewah, sebagaimana orang tua temannya yang kaya. Kemudian ayah anak tersebut menabung. Dan ketika anaknya ulang tahun diberinya hadiah berupa jam tangan, perhiasan dan ponsel baru. Tak dinyana, ayah tersebut malah mengalami kecelakaan dan meninggal. Anak itu tentu sedih. Barang-barang yang diminta berada di pelukan. Namun, tidak dengan ayahnya. Gadis itu itu pun dilanda kesedihan. Sehabis melihat film pendek itu, saya menduga, sebenarnya yang kita butuhkan adalah keikhlasan menerima, bersyukur. Dengan begitu, barangkali kita bisa menciptakan rasa bahagia kapan pun, di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Saya menjadi teringat Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran dari Mataram yang mengajarkan tentang bahagia. Dalam buku Ilmu Bahagia (2010) karya Afthonul Afif dikatakan bahagia itu bukan hanya mendapat untung, prestasi, atau pengakuan, tapi bejo (beruntung). Bahagia itu Rasa Salah satu ajaran Ki Ageng adalah memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita
atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua: rasa enak dan tidak enak. Dalam pergaulan, seseorang harus mengerti rasa dari yang lain. Ketidakpengertian akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan akhirnya timbul perselisihan, kekecewaan. Dalam Novel Rima-Rima Tiga Jiwa (2016) besutan Aksa Dwipa, digambarkan sebuah momen kebahagiaan. “Dulu dengan memilikinya sebagai kekasih, aku berlimpahan kebahagiaan. Sebagaimana yang sering ku dengar, tidak ada keabadian. Kebahagiaan berubah ketika aku menerima kenyataan ia memilih perempuan,” demikian tokoh Silvy (seorang waria yang dikisahkan teramat mencintai kekasihnya, penyair melarat bernama Susanto) mengungkapkan kegelisahannya. Silvy dalam novel tersebut memaknai kebahagiaan bisa berubah. Menyesuaikan kenyataan yang dia alami. Kembali lagi, kebahagiaan itu milik orangorang yang dapat bersyukur. Kebahagiaan ada di sekeliling kita, keluarga, teman hingga kekasih. Wallahua’lam.[] *Pimpinan Umum LPM Paradigma 2016 Mengelola wanawarta. blogspot.com
82
PARADIGMA Edisi 29/Agustus 2016