3 minute read

Sampah Reklamasi Jakarta Hancurkan Ekosistem Laut

eklamasi menjadi masalah masa lalu yang kembali hangat untuk diperbincangkan. Pasalnya, belum ada titik terang mengenai ketetapan akhir dari kebijakan yang seharusnya dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ketetapan yang dapat dikatakan labil ini menjadi tombak untuk Anies sendiri, bahwasanya sukar untuk mengambil keputusan mengenai nasib reklamasi Teluk Jakarta di Jakarta Utara. Tak hanya itu, dari beberapa pulau yang diiming-imingi akan diberhentikan untuk direklamasi, malah telah didirikan hunian. Alasannya karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada para pengembang, sehingga dapat dikatakan proses tersebut menjadi resmi. Permasalahan mengenai reklamasi bukan hanya muncul pada masa kepemimpinan Anies saja. Menarik garis waktu ke belakang, masalah mengenai reklamasi ini telah muncul dari Presiden Soeharto, tepatnya pada tahun 1 995 ketika ada wacana memperluas wilayah Jakarta karena tanah di Jakarta tidak memungkinkan

untuk dikembangkan lebih lanjut. Diawali adanya Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1 995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, kemudian aturan tersebut diturunkan ke Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1 995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. N a m u n , d a l a m p r o s e s pengelolaannya tidak berjalan mulus dan kemudian pembangunan terhenti. Meskipun demikian, perbincangan mengenai reklamasi kembali muncul pada tahun 2003 atas penolakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang telah mengkaji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atas dilakukannya proyek reklamasi, seperti rusaknya ekosistem laut, pencemaran lingkungan, dsb. Tahun 2009, pengembang dan KLH sempat saling menggugat. Kemudian Mahkamah Agung (MA) memenangkan KLH di tingkat kasasi, sehingga menyatakan bahwa reklamasi tersebut tidak sah. Pada tahun 2011, MA malah menyatakan bahwa Teluk Jakarta menjadi sah jika Pemprov DKI Jakarta memperbaiki proposal yang dibuat pada 2003. Peraturan Presiden Nomor 1 22 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi landasan mulanya proses pembangunan reklamasi Jakarta pada 2012. Tahun 2016, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 206 tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jawa. Kepemimpinan dan nasib DKI Jakarta berganti ke tangan Anies yang masih menjadikan dasar peraturan tersebut untuk pengelolaan reklamasi yang seyogyanya bertentangan dengan janjinya saat kampanye. Banyak perbincangan mengenai peraturan, tetapi di sisi lain terdapat aspek yang perlu lebih diperhatikan dari adanya reklamasi Teluk Jakarta, yaitu masalah lingkungan hidup. Meskipun ada beberapa AMDAL yang diterima oleh Pemprov DKI Jakarta, pengamat lingkungan Universitas Indonesia, Dr. Ir. Tarsoen Wahyono, M.Si. mengatakan bahwa pengaruh dari pembongkaran pulau hasil reklamasi dapat merusak kehidupan biota laut karena adanya sampah hasil pembongkaran yang biasanya langsung dibuang ke laut, sehingga pada saat air laut pasang sampah terbawa ke daratan. Sebaliknya, pada saat air laut surut sampah tadi kembali lagi ke laut. Selain Tarsoen, Ahmad Martin Hadiwinata sebagai Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta juga angkat bicara. Ia mengatakan perihal pengelolaan air, tidak ada pemisahan antara air hujan drainase dan air limbah. Efeknya, semuanya bertumpuk di Teluk Jakarta. Ahmad juga mengatakan bahwasanya Jakarta itu delta dan kemudian di ujung muara dulunya kawasan mangrove. Kawasan ini secara alami berfungsi sebagai filter terhadap pencemaran. Dengan adanya reklamasi, kawasan tersebut secara kualitas akan terdegradasi kemudian arusnya tidak akan berjalan dengan lancar dan mungkin dalam 10 atau 20 tahun mangrovenya akan mati. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengatakan bahwa pembongkaran pulau hasil reklamasi di Teluk Jakarta memang akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa karena lahannya cukup besar yaitu 350 ha. Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta tidak akan membongkar kembali daratan hasil reklamasi yang sudah dibangun, walaupun proyek reklamasi telah dihentikan. Ba n ya k perm a sa l a h a n d a ri pembangunan pulau reklamasi, dari IMB ya n g d i perta n ya ka n d a n seol a h dipermainkan oleh kelas menengah ke atas, AMDAL yang dinilai masih disembunyikan oleh Pemprov DKI Jakarta karena tidak transparan, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, di balik permasalahan itu semua, ada persoalan lingkungan hidup yang seharusnya lebih diperhatikan, karena tanpa lingkungan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan besar terkait reklamasi Teluk Jakarta.

Advertisement

This article is from: