4 minute read

Jalan Tol Rugikan Kehutanan, Regulasi pun Tak Memihak

Sumber Gambar : batutimes.com

Sumber Gambar : asumsi.co

Advertisement

u t a n a d a l a h bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya. Contohnya yakni penyedia air, penghasil oksigen serta tempat hidup bagi bermacam flora dan fauna. Pen g erti a n h u ta n sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1 999 tentang Kehutanan a d a l a h “Su a tu kesa tu a n ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam h a ya ti ya n g d i d om i n a si pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Selain itu dalam Pasal 4 Ayat (1 ) mengatur tentang penguasaan hutan oleh negara di seluruh wilayah Republik Indonesia. N e g a r a s e b a g a i penguasa hutan bertanggung j a wa b p en u h terh a d a p penggunaan kawasan hutan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2 0 1 2 (PP N o. 61 /2 0 1 2 ) tentang Peru bahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 4 Ta h u n 2 01 0 ten ta n g Penggunaan Kawasan Hutan. Bila kita melihat tujuan dari pem ben tu ka n pera tu ra n p e m e r i n t a h t e r s e b u t , pen g u ru sa n h u ta n ol eh negara dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya, serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat, serta pengaturan tata ruang. Pengatu ran terkait penguasaan hutan oleh negara

yang seolah berpihak pada masyarakat ini tidak selamanya berdampak positif. Hal ini ditunjukan pada Pasal 4 Ayat (1 ) Peraturan Pemerintah tersebut yang mengizinkan negara bahkan swasta dalam menggunakan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan yang mempunyai tujuan stategis dan tidak dapat dielakkan. Kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang dimaksud tersebut diatur pada Ayat (2) yang salah satu kegiatannya disebutkan pada poin e yakni pembangunan jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api. Setiap pembangunan jalan, baik jalan umum maupun jalan tol yang menggunakan dan memerlukan lahan hutan pasti akan memberikan dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Misalnya manfaat jalan tol, untuk menciptakan dan menumbuhkan daerah industri, melancarkan pengangkutan sembako, dan beragam hal baik lainnya. Namun, tidakkah pemerintah dan mereka yang membangun jalan tol memikirkan siksaan yang dialami warga yang tinggal di sekitar jalan tol? Dilansir dari kompasiana.com, terdapat warga yang tinggal di sebuah desa yang berjarak hanya 500 meter dari jalan Tol Ngawi-Kertosono. Sebelum jalan tol dibangun, desa mereka tenteram, nyaman, dan segar. Bila malam, hening, berteman suara jangkrik, kodok, dan hembusan angin

bersih. Namun sekarang, yang ada adalah suara hembusan truk, bus, dan kendaraan-kendaraan lainnya yang malaju kencang tiada henti. Asap hitam, suara bising, klakson terus menghantui mereka, dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai pagi berikutnya, dan seterusnya. Bil a kita mel ihat u nsu r sosiologis dari PP No. 61 /201 2, apakah benar telah memenuhi kebu tu han masyarakat d alam berbagai aspek? Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat. Semakin lebar atau luas lahan yang tergusur akibat pembangunan jalan tol, semakin besar pula kemungkinan kerusakan yang terjadi dan siksaan yang dialami masyarakat di sekitarnya. Misalkan akan dibuat jalan tol dengan lebar jalan 50 m dan panjang jalan tol dalam kawasan hutan lindung sepanjang 24 km, maka tidak kurang dari 120 ha kawasan hutan akan beralih fungsi. Maka, sepanjang jalur dengan luas 120 ha tersebut semua tumbuhan akan mati dan limpasan air dari tanah gusuran akan mempengaruhi wilayah yang lebih luas dari area yang berubah fungsi itu. M e n g i n g a t b a h w a pembangunan jalan tol akan melalui hutan, maka dampak yang akan terjadi yakni pada perubahan atau terganggunya bentang alam pada jalur yang akan dibuka. Terlebih lagi peraturan pemerintah tersebut juga memberi kepastian hukum dan dukungan berlebih terutama bagi pelaku usaha. Den g a n d i terbi tka n n ya peraturan pemerintah tersebut, d i si n ya l i r a ka n 'm em u ti h ka n ' pelanggaran pidana oleh perusahaan yang berproduksi di wilayah hutan. Selain melanggar batas hutan, tak sedikit pula perusahaan yang melanggar tata ruang. Misalnya, perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, pertanian, bahkan pertambangan. Adapun solusi dari masalah tersebut adalah dengan memperketat atau bahkan melarang pembukaan hu tan. Sebaiknya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan m em b eri ka n p era tu ra n d a n pengawasan yang ketat kepada pihak yang akan membuka hutan sebagai lahan dalam berbagai proyek pembangunan. Kemudian, yang utama adalah tidak membuat atau membangun jalan tol melalui hutan, dengan tidak melalui hutan maka tidak ada kerusakan yang cukup parah. Pembangunan jalan tol dapat melalui jalan penghubung antar kota yang sudah ada, sehingga tidak perlu merusak kawasan hutan lindung untuk pembangunan jalan tol.

This article is from: