13 minute read
Hutan Perum Perhutani
Penanganan Permasalahan Tenurial di Kawasan Hutan Perum Perhutani
Oleh: Ir. Mubarak N.A. Sigit, MM Penulis adalah Tenaga Profesional Madya II Kelola Bisnis Pusdikbang SDM Perum Perhutani.
Advertisement
Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Kehutanan.
Keberadaannya dipengaruhi oleh keseimbangan fungsi ekonomi dan ekologi Sumber Daya Hutan. Oleh karena itu, salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan oleh Perum
Perhutani untuk pengelolaan hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus direncanakan dengan baik, agar masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumber daya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan.
Berkaitan dengan Sertifikasi
Pengelolaan Hutan Lestari, sesuai Prinsip 1 Kriteria 5 Forest Stewardship Counsil (FSC), kawasan Pasal 2 undang undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menegaskan, “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Pasal selanjutnya menyebutkan, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. di sisi lain, fungsi kawasan hutan yang tetap terjaga dengan baik merupakan hal yang mendorong eksistensi Perum Perhutani. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana kita merencanakan pengelolaan hutan yang seimbang, yang bisa mengakomodasi Perum Perhutani maupun masyarakat desa di sekitar hutan.
pengelolaan hutan harus dilindungi dari penebangan ilegal, pendudukan ilegal, dan kegiatan lain yang tidak diizinkan. Maka, perlu upaya-upaya sosialisasi guna menyamakan persepsi dan memberikan pendidikan terhadap masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan. Kelola sosial akan berjalan dengan baik jika dapat mengintegrasikan pengelolaan hutan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Perum Perhutani telah melakukan kegiatan kelola sosial. Tidak sedikit manfaat yang telah dapat dirasakan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Namun, kegiatan kelola sosial oleh Perhutani belum sepenuhnya berhasil. Disadari, kelemahan kegiatan kelola sosial selama ini adalah sangat kurangnya koordinasi antara Perum Perhutani dan stakeholders yang lain, sehingga tidak ada sinergitas, kurang terarah.
Bermacam isu lingkungan dan sosial juga menerpa Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa dan Madura. Menjawab kondisi tersebut, tentunya Perum Perhutani tak bisa mengelola hutan dengan paradigma lama yang cenderung represif dan tertutup. Prinsip kelestarian lingkungan dan pelibatan multi stakeholders terutama masyarakat sekitar hutan merupakan paradigma baru yang harus dibangun demi menjaga kelestarian hutan.
Konflik tenurial yang banyak terjadi di dalam kawasan hutan adalah persoalan yang sangat kompleks yang saat ini dihadapi Perum Perhutani dalam mengemban tugas mengelola kawasan hutan. Timbulnya masalah tenurial banyak terjadi pada saat adanya euforia reformasi yang lalu, dimana ada beberapa bagian hutan
mendapat gangguan yang intens dari masyarakat dengan melakukan pencurian kayu dan kegiatan penggarapan hutan secara liar, bibrikan lahan, dan okupasi kawasan hutan. Selain hal tersebut, karena tekanan sosial yang semakin tinggi dengan meningkatnya populasi masyarakat, jumlah angka pengangguran, serta dinamika perubahan sosial politik di masyarakat sekitar hutan, akan memberikan dampak yang negatif terhadap eksistensi kawasan hutan.
Potensi Masalah Sosial dalam Tenurial
Permasalahan tenurial yang terjadi serta berkembang menjadi konflik tenurial dan konflik sosial itu merupakan akumulasi dari kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan oleh masyarakat atau pihak ketiga yang tidak mendapatkan penanganan serius. Misalnya kegiatan penggarapan lahan secara liar, bibrikan lahan, penambangan liar, kerja sama lahan yang melewati batas waktu kemudian berkembang menjadi pendudukan/ okupasi, dan klaim kepemilikan lahan.
Ada beberapa potensi permasalahan sosial dalam masalah tenurial. Pertama, kurangnya peran dan sinergitas di antara para pihak (stakeholder) semisal Perum Perhutani dengan Pemerintahan Daerah, dinas dan instansi terkait, tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, LMDH, dan Serikat Petani, dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga terjadi kesenjangan (gap) sosial, sulitnya menciptakan komitmen bersama dalam mengembangkan potensi sumber daya hutan secara optimal. Sehingga, pengelolaan sumber daya hutan menjadi kurang efektif dan efisien, serta laju pemberdayaan masyarakat pun terhambat.
Kedua, lemahnya akses masyarakat terhadap modal (finansial, lahan, saprodi), pasar, iptek, informasi, dan dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan hutan (bersama masyarakat). Hal ini menyebabkan masyarakat desa hutan tetap dalam kondisi marginal dan apatis, sehingga pemberdayaan masyarakat desa hutan berjalan lambat. Serta program pemberdayaan masyarakat cenderung bersifat top down dan kurang tepat sasaran.
Ketiga, lemahnya social capital (tingkat kepercayaan, kebersamaan, partisipasi dan jejaring sosial) masyarakat desa hutan yang diberdayakan, akan berdampak pada terhambatnya pengembangan potensi masyarakat dan kurang optimalnya internalisasi program pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat. Juga masih rendahnya inisiatif dan inovasi
masyarakat dalam pengelolaan hutan, sehingga masyarakat menjadi pasif dan kurang mandiri.
Keempat, tingginya akses terhadap sumber daya hutan namun kontras dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia, sempitnya lahan pertanian, banyaknya pengangguran (kurangnya alternatif pendapatan masyarakat desa hutan) dan belum terwujudnya kelembagaan masyarakat desa hutan yang kuat dan mandiri. Hal ini mengakibatkan tingginya tingkat gangguan keamanan hutan, terutama pencurian hutan, dan tingginya kasus tenurial.
Kelima, tekanan sosial terhadap kawasan hutan oleh kegiatan non kehutanan, kurangnya kepedulian dan kemampuan para pihak (stakeholder) dalam pelestarian sumber daya hutan, inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih peruntukan lahan, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya akseptabilitas (pengakuan) terhadap eksistensi tata ruang kawasan hutan. Serta tekanan terhadap kawasan hutan dari sektor lain untuk penggunaan kawasan hutan bukan kegiatan kehutanan, mengakibatkan sebagian kawasan hutan berubah status dan fungsinya.
Rencana Penanganan Masalah Tenurial
Setelah dilakukan pemetaan permasalahan tenurial yang ada, selanjutnya dibuat rencana dan target penyelesaian masalah tenurial. Rencana dan target penyelesaian masalah tenurial dibuat secara bertahap, yaitu adanya pengakuan atas status kawasan hutan, pernyataan penggunaan kawasan hutan, pemanfaatan bersama yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama dan pengembalian fungsi hutan. Dengan latar belakang bahwa akar masalah yang timbul lebih banyak disebabkan faktor sosial ekonomi dan budaya, maka ditempuh pendekatan strategi penanganan masalah tenurial dengan langkah partisipatif socio-kultural.
Pertama, resolusi konflik yang berbasis nilai kultural dengan membuka ruang komunikasi bagi persepsi dan pendapat masyarakat. Pendidikan masyarakat bertujuan mengubah pola pikir masyarakat menjadi positif terhadap Sumber Daya Hutan. Kedua, resolusi konflik pengembangan dan pelibatan struktur kelembagaan (LMDH) dan segenap stakeholder yang ada. Ketiga, resolusi konflik pendekatan silvikultur sebagai bentuk kegiatan pemulihan potensi SDH.
Sebagai tindak lanjut adalah dengan melalui pendekatan social (Social Approach) atau kegiatan sosialisasi kepada segenap pesanggem dan penggarap liar serta Aparat Desa maupun Muspika tentang status dan fungsi kawasan serta dasar hukum penguasaan wilayah Perum Perhutani. Sosialisasi diharapkan juga sebagai alat untuk menjaring keinginan masyarakat luas dan memadukan dengan kebijakan manajemen untuk mencari solusi yang terbaik dalam menyelesaikan permasalahan lahan serta membentuk opini dan alur pikir yang sama terhadap masalah yang dihadapi, sehingga bisa terbentuk kata mufakat. Apabila terjadi konflik tenurial juga diperlukan kegiatan manajemen resolusi konflik dengan melakukan negosiasi/perundingan maupun mediasi sehingga dapat dicapai kesepakatan dan mufakat.
Secara umum, kapasitas sumber daya manusia masyarakat di sekitar hutan relatif rendah dan marginal, tetapi masih memiliki potensi budaya yang dapat dibangkitkan dalam rangka penguatan modal sosial (social capital). Di antaranya saling percaya-mempercayai, mengakui pranata sosial, kemauan belajar,
tingkat kebersamaan, dan solidaritas yang tinggi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan modal sosial masyarakat desa hutan dapat melalui proses pendidikan, pelatihan, penyuluhan, penguatan kelembagaan sosial (keberadaan LMDH/KMDH Kelompok Masyarakat Desa Hutan dan Gapoktan diperkuat dengan peraturan desa/Perdes) dan pendampingan masyarakat yang dipandu secara terpadu di dalam Implementasi Perhutanan Sosial (PS)/Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Proses yang perlu waktu dan biaya ini akan memberikan wawasan dan cara berpikir masyarakat, sehingga dapat membuka akses terhadap informasi dan membebaskan masyarakat di sekitar hutan dari keterbelakangan dan kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan memang seharusnya bukan tanggung jawab Perum Perhutani semata. Seharusnya di bawah koordinasi Pemerintahan Daerah, dimana program-program khusus untuk kesejahteraan masyarakat desa hutan dapat disinkronkan dengan programprogram yang ada di Dinas dan Instansi Pemerintah Daerah. Bahwa
kegiatan pengentasan kemiskinan untuk masyarakat di sekitar hutan tidak dapat dilakukan dengan memberikan bantuan secara subsidi langsung kepada kelompok masyarakat miskin, tetapi harus dilakukan secara terintegrasi dalam sebuah pengelolaan sosial secara partisipatif, komprehensif, dan terencana secara baik, yang mendorong proses pemberdayaan (empowering), memberikan peluang (enabling), dan memberikan perlindungan (protection).
Di dalam rangka pembinaan dan pelaksanaan implementasi Perhutanan Sosial (PS) ataupun PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), Perum Perhutani harus menginventarisasi berbagai organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Sekitar Hutan. Baik yang berbentuk paguyuban atau kelompok masyarakat (Pokmas), yang secara umum disebut Kelompok Masyarakat Desa Hutan (KMDH). KMDH sebaiknya telah memenuhi syarat untuk diarahkan dan dibina oleh Perum Perhutani, agar secara formal dapat menjalin kerja sama dalam berbagai aspek pengelolaan hutan.
Syarat tersebut adalah, Pertama, anggotanya terdiri dari warga masyarakat desa hutan, diutamakan yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan dan atau punya kepedulian terhadap kelestarian sumber daya hutan. Kedua, memiliki struktur organisasi, peraturan dan mekanisme kerja, rencana kerja, rencana pengelolaan, dan rencana pemanfaatan hasil berbagi secara partisipatif. Ketiga, direkomendasi dan diajukan oleh Lembaga Pemerintahan Desa dengan surat permohonan kerja sama kepada Perum Perhutani. Keempat, sepakat bekerjasama dengan Perum Perhutani yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS) dengan Pola PS/PHBM.
KMDH punya sistem keanggotaan, kepemimpinan, dan bentuk organisasi yang sangat beragam. Untuk kemudahan pembinaan, koordinasi, dan monitoring pelaksanaan pekerjaan, bentuk kelembagaan KMDH yang dibina Perum Perhutani diarahkan menjadi Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) tanpa harus mematikan eksistensi kelompok, serta dengan tetap memerhatikan karakteristik wilayah dan kekhasan sosial budaya setempat. Pengembangan LMDH dalam rangka pengelolaan sumber daya bersama masyarakat dimulai beberapa tahap pra-kondisi.
Tahap tersebut, Pertama, pelaksanaan sosialisasi pembentukan/pengembangan LMDH dan keterkaitannya dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat di Perum Perhutani. Kegiatan sosialisasi pembentukan/ pengembangan LMDH bertujuan untuk memerkenalkan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat kepada semua pihak terkait. Kedua, membangun kesepahaman (bilateral matching institution) tentang pengembangan LMDH dan pengelolaan hutan bersama masyarakat kepada semua pihak terkait dan menciptakan hubungan sinergis antara Perum Perhutani, Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kecamatan dan Desa), masyarakat, dan LSM.
Langkah pertama dalam membangun kelembagaan LMDH adalah melakukan identifikasi kelembagaan di desa. Hal itu adalah kegiatan inventarisasi kelembagaan yang ada di dukuh/desa baik lembaga formal, non formal, maupun Informal, yang dapat menjadi mitra kerja dalam kegiatan. Identifikasi terhadap pihak yang berkepentingan merupakan kegiatan inventarisasi terhadap kelompok/lembaga di desa dan kota dalam bentuk usaha kecil, koperasi, dan perusahaan berbadan hukum yang dapat menjadi mitra usaha.
LMDH yang bekerjasama dalam pengelolaan hutan diutamakan yang telah berbadan hukum dan telah direkomendasikan serta diajukan oleh pemerintah desa, dengan surat permohonan kerja sama kepada Perum Perhutani. Pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) dapat berperan langsung (sebagai investor) maupun tak langsung (sebagai motivator, fasilitator, maupun
dinamisator) untuk bekerjasama dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat. Bentuk kerja sama bisa dengan skema Tripartit, yaitu Perhutani – Investor – LMDH, dengan pola kemitraan sejajar.
Bentuk kerja sama dengan skema tripartit yang efektif diterapkan di lapangan adalah kegiatan Agroforestry (On Farm) maupun kegiatan Wana Farma, dengan menanam komoditi Agricultural yang bernilai tinggi dalam pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Misalnya kopi, cokelat, cengkeh, porang, jahe, kapulogo, cabe jamu, nanas, jeruk, pisang, nilam, dan lain lain.
Agroforestry adalah salah satu alternatif yang mampu meningkatkan produktifitas lahan hutan, sehingga mampu meningkatkan pendapatan perusahaan, maupun masyarakat desa hutan, dan terjaminnya kelestarian fungsi-fungsi hutan. Dengan demikian, dapat meminimalkan dampak negatif adanya lapar lahan atau ekses penggarapan lahan secara liar.
Peningkatan produktivitas lahan hutan dengan program Agroforestry (Agribisnis) juga diiringi dengan peningkatan kualitas SDM MDH dan SDM Petugas yang mendampingi (Human Capital). Sehingga, kegiatan agroforestry dapat menghasilkan keuntungan bagi Perhutani juga meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian MDH. Sumber daya manusia yang mendampingi kegiatan Agroforestry harus memiliki mutu SDM yang tinggi baik kapasitas dalam penguasaan teknik produksi dan pemasaran.
Fokus pada modal manusia (Human Capital) dalam kegiatan pendampingan PS/PHBM/kegiatan Agroforstry juga sangat menentukan dalam meningkatkan kapasitas modal sosial (Social Capital). Pendamping MDH, selain sebagai motivator dan fasilitator, juga berperan menjadi perekat masyarakat (kohesi sosial) dan hubungannya dengan jejaring sosial yang dibangun dengan saling percaya di antara individu MDH. Hal ini menjadi modal dalam membangun kerja sama dan solidaritas.
Dalam kegiatan Agroforestry/ Agribisnis, peran petugas pendamping dari Perhutani sangat memengaruhi peningkatan kapasitas modal sosial, yang dapat dilihat langsung dalam peningkatan pendapatan bisnis (bisnis yang menguntungkan) yang berdampak langsung terhadap tingkat kepercayaan MDH, tingkat pendapatan masyarakat dan secara langsung meningkatkan produktivitas MDH. Petugas pendamping dari Perhutani tak terbatas Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) tetapi juga perlu peran aktif jajaran KRPH, Asper/KBKPH, dan KSS Kelola Sosial. Juga harus sering melakukan kegiatan pendampingan kepada MDH melalui kegiatan Komunikasi Sosial, yaitu melalui kegiatan simpatik (Bantuan Sosial dan Kegiatan Sosial), Pendekatan kepada Key Person, Penyuluhan dan Pelatihan, maupun kerja sama kolaborasi pola PS/PHBM.
Apabila petugas Perhutani tak pernah melakukan kegiatan Komunikasi Sosial semisal Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat Desa Hutan (MDH) tentu dampaknya akan terjadi deviasi modal sosial MDH, dimana akan terjadi melemahnya modal sosial positif disebabkan oleh adanya intervensi modal sosial negatif. Terjadinya penggerusan/pemudaran modal sosial positif pastinya akan mengganggu interaksi sosial (keharmonisan hubungan Perhutani dengan MDH), pelanggaran norma sosial (kegiatan illegal logging, illegal mining maupun konflik tenurial), krisis kepemimpinan, sifat pasif/apatis, dan akhirnya terjadi kerenggangan hubungan sosial. Modal sosial negatif seperti nilai budaya konsumerisme, individualistik, sentimen individu, primordialisme dan hedonisme (suka bersenang-senang seperti kebiasaan minum-minuman keras/mo-li-mo) akan dengan mudah menimbulkan pelanggaran norma
sosial, perilaku menyimpang dan konflik-konflik.
Monitoring dan Evaluasi
Rendahnya intensitas dan kualitas kegiatan pemberdayaan dan pendampingan MDH melalui Komunikasi Sosial, mengakibatkan lemahnya fungsi kontrol sosial. Apabila tiada kepedulian dari Petugas Perhutani, akan terjadi krisis kepercayaan dan pelanggaran sosial yang lebih besar. Yaitu terjadinya Penjarahan Hutan dan Okupasi Kawasan Hutan.
Jadi, penting Petugas Perhutani melakukan Kegiatan Komunikasi Sosial melalui pemberdayaan dan pendampingan MDH. Kegiatan implementasi PS/PHBM dan Komunikasi Sosial mampu meningkatkan kapasitas modal sosial positif dan meminimalkan modal sosial negatif. Beberapa pendekatan yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan kapasitas modal sosial positif, dengan kegiatan:
Satu, pendidikan agama, pendidikan sosialisasi keluarga, dan pendidikan karakter sebagai sumber pengembangan nilai-niai luhur untuk membangun sifat kebersamaan dan saling percaya antara sesama manusia, meningkatkan nilai moral kehidupan. Dua, pemeliharaan kearifan lokal (local wisdom) punya makna bahwa struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif, nilai-nilai sosial yang digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman perilaku untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan. Tiga, pengembangan komunikasi informasi lewat beragam media dan saluran seni budaya, diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur dari kearifan lokal, kerja sama, saling percaya dan tanggung jawab.
Sehubungan hal di atas, pada dasarnya petugas perhutani dalam rangka sebagai pendamping MDH yang memfasilitasi kegiatan pemberdayaan MDH maupun kegiatan Agroforestry harus memiliki peran dasar. Pertama, Teknik Analisa Permasalahan, dimana pendamping harus memiliki kemampuan mengumpulkan data, menganalisis dan mengidentifikasi masalah, serta merumuskan kegiatan bersama masyarakat yang didampingi (LMDH). Kedua, Pembimbing Kelompok, dimana pendamping melakukan bimbingan dan memberi masukan yang dibutuhkan kelompok (LMDH) dalam menghadapi permasalahan.
Ketiga, kemampuan sebagai Pelatih. Pendamping MDH harus mampu menularkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada MDH/LMDH. Perlu pelatihan manajerial, kepemimpinan dan teknis (teknik budi daya, agribisnis, dan lain-lain) juga perlu studi banding ke daerah lain. Keempat, Inovator sebagai pendamping perlu selalu membuat kajian dan menemukan hal baru untuk dijadikan input pemberdayaan masyarakat desa hutan, misalnya dalam bentuk inovasi model pembinaan kelompok, metoda penyuluhan dan manajemen administrasi berbasis kearifan lokal.
Kelima, Penghubung/Mediator. Permasalahan masyarakat yang dihadapi multidimensi. Maka, pendamping perlu menjadi penghubung, membuka akses kepada para pihak terkait semisal Pemda, Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Instansi terkait lainnya, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Tujuannya agar hambatan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dapat segera diatasi dan dicarikan solusinya.
Pemberdayaan masyarakat desa hutan (MDH) dan LMDH perlu disertai peningkatan kemampuan masyarakat (Capacity Building) dan penguatan kelembagaan LMDH (Institutional Building) dalam mengembangkan potensi sumber daya dan jaringan sosial yang ada. Hal ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat desa hutan. Penguatan kapasitas masyarakat (Capacity Building) dan penguatan kelembagaan LMDH (Institutional Building) merupakan suatu proses pemberdayaan MDH dengan meningkatkan atau menambah pola perilaku individu, organisasi (LMDH), dan sistem yang ada di masyarakat, untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu MDH yang sejahtera dan mandiri.
Perlu terus menerus Monitoring dan Evaluasi Permasalahan Tenurial. Tujuannya untuk memeroleh gambaran dan perkembangan detail peta permasalahan tenurial, sebagai dasar penetapan dan feedback strategi dalam penanganan masalah.
• DR