3 minute read

VIEW

Next Article
HOT READS

HOT READS

Mengusut Kesehatan Mental Mahasiswa dari Sudut Pandang Psikolog

Akhir-akhir ini, banyak kasus bunuh diri yang melibatkan mahasiswa karena faktor penyebabnya yang beragam. Mulai dari masalah keluarga, pekerjaan, tugas kampus, hubungan pertemanan (termasuk pacaran), ataupun masalah terkait lingkungan sosial lainnya.

Advertisement

Menurut Nira Wulansari, S.Psi, M.Psi, selaku Psikolog koordinator Anahata Psikologi Bandung, bukan hanya mahasiswa saja yang berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental, melainkan setiap orang juga berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental. “Sebenarnya, kesehatan mental tidak hanya berlaku pada mahasiswa saja, tapi pada manusia secara keseluruhan. Ketika mental sudah tidak sehat, seseorang akan kesulitan untuk beraktivitas dan lebih memilih untuk diam, melamun, mudah terpancing emosi, atau mudah bersedih,” Ucap Nira. Bahkan, beberapa faktor lain juga berisiko memperparah kondisi tersebut. Seperti pernah mengalami kekerasan seksual, diacuhkan keluarga, maupun penderita yang sejak awal sudah bersifat anti-sosial.

Ketika pemicu gangguan kesehatan mental tidak segera diatasi, maka penurunan produktivitas akan semakin berlanjut hingga tahap yang paling buruk. Tahap tersebut yaitu pada saat pengambilan keputusan tanpa memikirkan resiko alias impulsif. Sehingga keputusan yang terburuk adalah memilih ide bunuh diri.

Nira juga menjelaskan bahwa cara pandang melihat masalah sangat berbeda pada mahasiswa dengan kesehatan mental yang bagus. Mahasiswa bermental sehat dapat melakukan aktivitas dengan baik. Terutama, ketika mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan dan permasalahan yang dialami. “Kalau kesehatan mental mahasiswa itu baik, maka aktivitas mereka juga berjalan lancar. Sebaliknya, mahasiswa yang labil, cenderung tidak produktif. Sebab, banyak waktu yang dihabiskan untuk melamun, bersedih, atau meratapi nasibnya,“ jelas wanita lulusan S1 Universitas Islam Bandung dan S2 Universitas Padjajaran Bandung ini.

Selain faktor usia pada masa transisi remaja menuju dewasa, beban perkuliahan yang berat pun turut berdampak. Ditambah adanya tuntutan eksternal dan internal yang membuat mereka mudah terkena stres dan depresi sehingga meningkatkan risiko bunuh diri.

Hal yang paling mengejutkan ternyata faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap bunuh diri mahasiswa adalah tekanan pihak keluarga atau orang tua. Padahal, keluarga atau orang tua merupakan aspek sosial yang justru seharusnya menjadi tempat berbagi rasa, bertukar pikiran, berbagi ide, dan kasih sayang. Nira juga mengungkap kalau keluarga yang cenderung cuek dan kurang perhatian bisa menyebabkan muncul ide bunuh diri pada mahasiswa.

“Tekanan yang bertubi-tubi akan membawa mahasiswa pada suatu titik di mana dia sudah tidak sanggup lagi menahannya. Terutama, ketika misalnya keluarga cenderung bersikap cuek terhadap apa yang dialami oleh

sang anak,” tambah Nira.

Selain dari faktor keluarga, faktor sosial lainnya yang memicu ide bunuh diri bisa dari pertemanan. Biasanya, masalah ini dialami oleh mahasiswa-mahasiswa tahun pertama. “Pertemanan yang tidak baik juga bisa menjadi faktor pemicu tindakan bunuh diri. Terutama bagi mahasiswa tahun pertama, teman bisa membawa pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan mental.” kata Nira.

Mahasiswa yang kesulitan untuk menemukan teman akan merasa kesepian sehingga sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi, jika ditambah dengan kasus bullying. Maka, bisa berpotensi memperbesar kemungkinan seorang mahasiswa melakukan bunuh diri.

Tidak hanya mendatangi terapi atau psikolog, Nira menyebutkan bahwa pencegahan yang paling efektif justru datang dari kesadaran diri akan kesehatan mental setiap mahasiswa itu sendiri. Selain rutin memeriksakan kesehatan mental sejak tahun pertama kuliah, Nira merekomendasikan agar mahasiswa lebih terbuka dan berani curhat atau berbagi kepada orang lain.

“Sebaiknya setelah selesai melakukan tugas kuliah yang berat juga segera periksa”

Ungkap Nira. Selain itu,

Nira juga mengimbau agar universitas juga peduli untuk menciptakan iklim yang membuat mahasiswa sehat secara jiwa, raga, dan mental.

Sayangnya, kesehatan mental dinilai belum menjadi kebutuhan yang dianggap krusial di Indonesia untuk saat ini. Bahkan, masyarakat Indonesia masih ada yang memandang sebelah mata terhadap orang yang mengalami gangguan mental.

Karena pandangan seperti itu, mahasiswa yang mengalami depresi atau stres akan kebingungan untuk mengungkapkan permasalahannya. Pada nantinya, justru akan membuat mahasiswa yang mengalami gangguan kesehatan mental semakin tertekan dan depresi.

Maka dari itu, Nira Wu lansari mendorong perlunya edukasi masyarakat atas kesadaran kesehatan mental. “Harus ada momen edukasi tentang kesehatan mental itu apa. Ini kebutuhan untuk mengembalikan mental menjadi orang menjadi sehat lagi,” ungkap Nira.

Untuk lingkup mahasiswa, Nira menilai akan sangat baik bila mahasiswa membuat kelompok dukungan atau support group yang menaungi mahasiswa dengan gangguan kesehatan mental. “Kalau ada support group, itu lebih baik. Saat kuliah kan, yang terdekat teman-teman mahasiswa. Pasti akan lebih siap dan bisa saling bantu kalau ada masalah,” tutupnya.

This article is from: