1 minute read

BAB 3. PANGESTU DAN PRAKTIK INGENIOUS CITIZENSHIP

Sebagai pembahasan utama, bab ini akan menunjukkan bentuk govermentalitas pemerintah Indonesia terkait dengan agama dan kepercayaan melalui definisi, perundang-undangan dan lembaga kontrol. Sebagaimana telah dibahas secara singkat dalam pendahuluan, pengakuan agama dan kepercayaan membuat organisasi spiritual seperti Pangestu menjadi warga negara abjek yang memiliki keterbatasan dalam mengakses hak kewarganegaraan. Meski begitu, Pangestu berusaha menunjukkan strategi dan taktik untuk mengakses hak kewarganegaraan dengan upaya-upaya di luar jalur yang disediakan oleh pemerintah, sesuai dengan deskripsi Charles T. Lee (2016) atas apa yang disebut sebagai ingenious citizenship.

Kata “ingenious” menurut Lee berarti “pintar, orisinal, inventif, dan banyak akal.” Lee menggunakan “ingenious agency” untuk merujuk pada “kapasitas

Advertisement

merancang dan menyusun berbagai cara yang berbeda untuk menentukan diri secara politis dengan alat dan sumber daya terbatas agar dapat menghasilkan perubahan di lingkungan sekitar seseorang dan bahkan lingkungan sosial yang lebih besar (Lee, 2016, hal. 9). Sebagai organisasi spiritual, Pangestu tidak terdaftar baik sebagai agama di bawah naungan Kementerian Agama maupun sebagai organisasi kepercayaan/kebatinan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab posisinya yang tidak diterima di kedua kementerian, Pangestu menghadirkan Yayasan terpisah bernama Andana Warih sebagai penyokong kegiatan sosial sekaligus jaminan bagi pengakuan hukum dan mendaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM. Pendirian yayasan tersebut diperlukan sebab hingga pasca Putusan MK, pemerintah Indonesia hanya mengakui adanya agama dan kepercayaan dan tidak memberikan ruang bagi golongan spiritual lain untuk diakomodir dalam kementerian manapun. Jika suatu organisasi spiritual ingin dapat diakomodasi, pemerintah lewat aturan yang diciptakan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME mensyaratkan perubahan organisasi menjadi organisasi kepercayaan.

Namun Pangestu tidak memilih jalan tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan visi misi organisasi. Sebaliknya, dengan pelayanan yang terbatas dari pemerintah, Pangestu sebagai warga negara memilih jalan lain lewat pendirian Yayasan Andana Warih dan mendaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM. Dengan pengakuan legal yayasan, Pangestu tetap dapat mengakses hakhak administratif seperti ijin berkumpul, mendirikan bangunan dan lain-lain. Pangestu tidak harus terjebak dalam polarisasi antara agama dan kepercayaan, dan tidak perlu menyesuaikan identitas organisasi dengan salah satu kelompok tersebut untuk dapat terakomodir.

This article is from: