8 minute read
Spiritualitas sebagai Ingenious Citizenship
langsung membatasi ruang gerak serta mengikis hak-hak prinsipil, dan membuat pemerintah menjadi eksistensi yang bertentangan dengan warga. Namun dalam govermentalitas, kontrol tersebut tidak dilakukan melalui kekuatan hegemonik yang dimiliki subjek tertentu, yang kemudian serta merta menjadikan warga sebagai “objek kontrol langsung.” Kontrol dalam govermentalitas dilakukan melalui infiltrasi ideologi-ideologi yang diyakini pemerintah, salah satunya mengenai definisi agama dan kepercayaan.
Spiritualitas sebagai Ingenious Citizenship
Advertisement
Dalam bukunya, Charles T. Lee (2016: 27) menjelaskan apa yang dimaksud dengan “ingenious citizenship” sebagai gambaran dari bagaimana “kelompok abjek yang tersingkirkan dari ‘naskah’ dan memiliki kekurangan status, kekuatan serta sumber daya untuk mengakses hak-hak yuridis paripurna serta pengakuan sosial sebagai warga negara yang normatif, muncul dengan cara-cara asli dan kreatif untuk memasukkan diri mereka kembali kedalam naskah.” Lee di sisi
lain juga menyebutnya sebagai “nonexistent citizenship” (kewarganegaraan yang tidak ada) –dimana inklusi, kepemilikan dan kesetaraan serta hak-hak tidak dijamin atau dikodifikasi secara formal. Lee juga menggunakan kata “ingenious” untuk menggambarkan “agensi yang tidak terduga dari abjek.”
Menurut penjabaran Lee, abjek merupakan pelaku dari ingenuitas, sebab praktik ingenious citizenship cenderung dilakukan oleh kelompok abjek yang keberadaannya dalam ranah politis tidak diakui oleh negara. Mengaitkan dengan praktik govermentalitas pemerintah yang telah dibahas sebelumnya, telah disebutkan bahwasanya negara berusaha mengatur dan mengontrol warga negaranya lewat aturan, undang-undang tertulis dan implementasinya melalui kebijakan. Aturan negara tersebut penulis terjemahkan sebagai ‘naskah,’ yang kehadirannya berfungsi sebagai alat kontrol negara. Namun karena
difungsikan sebagai pijakan aturan, naskah tersebut memiliki keterbatasan dan kecenderungan untuk melimitasi.
Sebagai contoh, dalam politik pengakuan agama dan kepercayaan, naskah pemerintah hanya mengenal dua definisi yaitu agama dan kepercayaan, khususnya pasca Putusan MK No. 97 dimana kepercayaan mendapatkan pengakuan kesetaraan dengan agama. Akibatnya, kelompok lain diluar agama dan kepercayaan tersingkirkan dari pengakuan, sekaligus terabaikan dari pelayanan administratif oleh pemerintah. Salah satu kelompok yang tersingkirkan dari naskah definisi agama dan kepercayaan adalah Pangestu. Sebagai organisasi spiritual, Pangestu tidak tercatat dalam naskah pemerintah. Ketidaksesuaian identitas Pangestu dengan identitas kewarganegaraan beragama dan berkeyakinan yang diakui pemerintah membuatnya menjadi abjek.
Sebelum membahas mengenai Pangestu sebagai warga negara abjek, penting untuk membahas lebih rinci terlebih dahulu mengenai pengertian abjek. Judith Butler, seorang filsuf Amerika dan teoritisi gender mendefinisikan abjek sebagai zona kehidupan sosial padat penduduk yang “tidak dapat dihuni oleh mereka yang tidak dapat menikmati status subjek” (Butler, 1993: 3). Berbeda dengan Lee yang mendefinisikan abjek sebagai sebuah entitas, Butler menganggap abjek sebagai bentuk kehidupan sosial, dimana orang-orang di dalamnya tidak mendapat hak sosial yang paripurna. Engin F. Isin dan Kim Rygel (2007: 181183) juga muncul dengan teori “ruang abjek” untuk menunjukkan kelompok yang tidak dianggap sebagai subjek maupun objek, dan keberadaannya dianggap tidak ada sejauh tidak dapat didengar ataupun dilihat. Secara politis, kelompok abjek cenderung “menderita dari bentuk kemurnian kewarganegaraan yang menuntut mereka untuk menjadi korban bisu, tidak terlihat dan apolitis” (Nyers, 2003: 1073-1074). Meskipun abjek dapat dilihat sebagai sebuah kondisi maupun individu, namun seluruh penjelasan tersebut menekankan bahwsanya
abjek berada di posisi yang tidak terjamah, tidak terlihat, apolitis dan tidak mendapatkan hak yang sempurna.
Warga negara yang abjek secara politis tidak memiliki legalitas dan hak kewarganegaraan, serta keberadaannya tidak tercatat dalam naskah hingga seringkali golongan ini disebut sebagai nonexistent citizen. Dalam kasus Pangestu, bentuk organisasi spiritual tidak tercatat sebagai ekspresi religiusitas yang diakui oleh negara, sebab negara hanya mengakui adanya agama dan aliran kepercayaan/kebatinan. Sebagai lembaga pengatur, negara menghadirkan dua kementerian sebagai rumah besar dan tempat terakomodasinya agama dan kepercayaan, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hadirnya dua lembaga tersebut memang diperlukan untuk mempermudah pelayanan, namun sekaligus melimitasi. Hasilnya, Pangestu yang tidak dapat dilembagakan ke dalam kedua kementerian tersebut menjadi organisasi yang kasat mata di mata pemerintah.
Sebagai perbandingan dengan posisi Pangestu sebagai abjek di luar agama dan kepercayaan, penulis menghadirkan beberapa contoh golongan warga negara abjek lain di berbagai ranah. Charles T. Lee (2016: 85-90) menujukkan bagaimana pembantu rumah tangga imigran dari India Barat dan Filipina yang bekerja di Kanada berusaha membangun kehidupan sosial dan rasa kepemilikan dengan menyewa sebuah apartemen bersama pekerja lain. Sebagai pekerja imigran domestik, mereka seringkali tersingkirkan dari kelompok pekerja lain yang bekerja di ranah publik, tidak mendapatkan jaminan hak sebagai dan perlindungan dari lembaga yang menaungi, bahkan tidak dapat bersosialisasi dengan bebas layaknya seorang warga negara. Meski belum mampu mengakses hak sebagaimana pekerja lain, mereka berusaha memenuhi kebutuhan sosial mereka dengan saling berkumpul di hari libur, menikmati eksistensi pribadi yang bermartabat sebagai individu dengan memasak makanan sendiri –bukan
memakan sisa makanan majikan, dan memenuhi hasrat kepemilikan dengan menyewa sebuah apartemen secara berkelompok.
Contoh lain adalah bagaimana pekerja seks komersil (PSK) menjadi objek dari abjektivikasi masyarakat. PSK adalah golongan ‘kotor’ yang tidak pantas hidup di tengah masyarakat, perempuan jalang yang tersingkirkan dari kehidupan sosial. Selain eksistensi PSK sendiri menjadi sebuah abjek, prostitusi menurut Philippa Levine (2003, 191) juga merupakan zona abjek sebab pekerjaan tersebut selalu dilihat lebih rendah daripada pekerjaan pada umumnya, yang memberi hasil namun tidak memberi kehormatan pada pelakunya. Namun meski menjadi abjek, di sisi lain PSK dapat menghasilkan cukup atau bahkan lebih banyak uang untuk dapat bertahan hidup di negara kapitalis. Dengan cukup uang, mereka bisa membeli sebuah ‘kehidupan normal’ bagi anak-anak dan keluarganya (Lee, 2016: 107-108).
Tidak jauh berbeda dengan kelompok pekerja seks, trangender selama ini juga masih dianggap sebagai golongan di luar ‘normal’ yang keberadaaanya seringkali diacuhkan dan diasingkan. Dalam standar kewarganegaraan yang heteronormatif, seseorang masih diakui berdasarkan identitas gender secara umum, yaitu laki-laki dan perempuan. Beberapa negara seperti India dan Australia memang telah mengakui keberadaan gender ketiga lewat mandat Mahkamah Konstitusi yang diikuti dengan pencantumannya dalam paspor maupun akta kelahiran dan kartu identitas kewarganegaraan, namun hal serupa masih belum dilakukan di banyak negara.
Donita Ganzon, seorang transgender Filipina yang hidup di Amerika Serikat mengubah jenis kelaminnya dari laki-laki ke perempuan untuk mendapatkan kehidupan ‘normal’. Ganzon memang terjebak dalam kategorisasi biner lakilaki-perempuan, dan menginginkan kehidupan heteroseksual seperti layaknya pasangan lain yang memiliki membangun keluarga kecil dan melahirkan anak-
anak. Namun dengan melakukan operasi transseksual, Ganzon mendapatkan hak untuk menikah di Amerika secara sah, mendapatkan suami seorang lakilaki ‘normal’ dan menikmati kehidupan yang ia impikan. Sebaliknya, jika Ganzon yang secara natural memiliki ketertarikan kepada laki-laki dan tidak melakukan operasi transseksual, dia akan hidup sebagai seorang gay yang tidak dapat mengklaim hak pernikahan seperti yang diharapkannya (Lee, 2016: 150-152). Kesulitan kelompok transgender tidak hanya terbatas pada orientasi seksual yang melawan naskah kategorisasi biner laki-laki dan perempuan, namun juga terkait dengan hal mendasar seperti perubahan nama. Kelompok transgender yang belum mampu melakukan operasi transeksual namun ingin menegaskan identitas barunya (entah sebagai laki-laki atau perempuan baru) memerlukan perubahan nama. Sayangnya, proses pengurusan perubahan nama juga memakan waktu dan biaya yang cukup banyak (Wentling, 2020).
Kelompok pengungsi yang berada di daerah perbatasan, zona perang atau kemah pengungsian juga merupakan bagian dari masyarakat abjek dimana mereka dianggap tidak terlihat, bahkan tidak memiliki eksistensi (Hepworth, 2012; Redclift, 2013, Schweitzer, 2017). Menurut Engin F. Isin dan Kim Rygel (2007: 184), ketiadaan eksistensi mereka bukan disebabkan karena mereka secara nyata tidak ada, namun karena kelompok pengungsi tersebut berada di zona abjek. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, abjeksi dapat terjadi baik secara murni terhadap individu maupun karena pengaruh dari zona abjek yang ada.
Namun yang dapat digarisbawahai, baik abjeksi yang terjadi kepada individu secara langsung maupun yang berada dalam zona abjek disebabkan karena adanya ‘naskah.’ Dalam konteks prostitusi dan pekerja seks misalnya, ‘naskahneoliberal’ pasar dan dunia kewirausahaan menganjurkan agar pengusaha individu memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan melayani ambisinya (Lee, 2016: 128). Sebaliknya, prostitusi seringkali dianggap sebagai
sebuah pekerjaaan paksa, dimana pekerjanya merupakan korban kemiskinan yang ‘terpaksa’ memilih menjadi PSK ataupun hanya menjadi mesin uang dan objek dari mucikari. PSK dianggap tidak memiliki kebebasan pribadi, pekerja rendahan dan hina yang ‘menjual’ tubuh demi uang, tidak memiliki kehormatan dan menjadi sampah masyarakat.
Meski dalam banyak konteks kelompok PSK tersebut tidak berhasil masuk ke dalam ‘naskah’ kehidupan sosial yang normal dan memiliki kehormatan di mata masyarakat, mereka berusaha meminimalisir abjeksinya dengan cara lain. Pekerja seks di San Francisco misalnya, mencoba mengikuti logika kerja kapitalis dengan mengatur “jadwal kerja regular” layaknya pekerja kantor. Tidak hanya berusaha meminimalisir abjeksi, pekerja seks secara kreatif juga berusaha mengaburkan batasan antara abjek dan normal dengan memakai strategi iklan “menjadi pacar” bagi klien seksnya. Pekerja seks tersebut memposisikan diri bukan sebagai objek seks yang dapat dikontrol oleh klien, namun sebagai subjek kewirausahawan yang dapat mengontrol jenis, syarat dan standar pelayanan yang ditawarkan (Lee, 2016: 129-130).
Selanjutnya, daerah perang dan daerah perbatasan merupakan daerah yang berada di luar jangkauan jurisdiksi pemerintah. Akibatnya, pemerintah tidak bias memberi jaminan hak kepada masyarakat yang berada di zona tersebut. Kamp pengungsian juga merupakan tempat dimana identitas dan subjektifitas seseorang menjadi kabur, sebab sebagian besar dari pengungsi tersebut adalah korban perang atau kerusuhan dari negara lain yang berusaha mendapatkan kehidupan normal di negara tujuan. Isin dan Rygel (2007: 197) menyebut kamp sebagai tempat dimana hak-hak subjek ditangguhkan sementara, sebab zona tesebut merupakan daerah transisi antara satu subjek ke subjek lainnya. Individu pengungsi pada awalnya merupakan subjek, dimana di daerah asal mereka mendapat pengakuan penuh sebagai warga negara berikut haknya, namun adanya aturan bahwa kewarganegaraan seseorang perlu didapatkan melalui
proses resmi, dan larangan memasuki wilayah negara lain kecuali menggunakan passpor serta ijin tinggal membuat pengungsi menjadi kelompok warga negara yang terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai nonexistent citizen.
Meski begitu, beberapa kelompok pengungsi telah berhasil membangun agensi dan identitas baru di tengah-tengah zona abjek. Sebagian penghuni kamp Bihari di Bangladesh sebagai contoh mampu mendapatkan passport, kartu identitas palsu hingga pekerjaan di instansi pemerintah dengan memberikan suap kepada polisi dan otoritas lokal (Redclift, 2013: 313). Proses serupa juga dilakukan oleh kelompok nomaden Roma dari Romania yang menjadi pengungsi di Italia pada tahun 2000-an (Sigona, 2015). Meski melewati cara illegal, upaya tersebut dapat dilihat sebagai ‘aksi kewarganegaraan’ (Isin dan Nielsen, 2008) di mana mereka berupaya untuk mengklaim hak di tengah terbatasnya akses.
Lebih jauh, upaya untuk meraih kewarganegaraan tidak hanya dilihat dari bagaimana abjek berhasil membangun relasi dengan pemerintah ataupun kemampuan akses terhadap hak layaknya warga negara legal. Sparks (2017) menunjukkan bahwasanya governance (kepemerintahan) dan kewarganegaran dapat juga dimaknai sebagai relasi antar individu dan kolektif dalam ranah informal di dalam ruang abjek. Sebagai contoh adalah kelompok tunawisma yang tinggal di kamp bernama kota Tenda, Seattle. Mereka secara bahumembahu mengelola kota Tenda layaknya sebuah tempat tinggal yang layak dan terstruktur, dengan adanya penjagaan keamanan, kebersihan, keberlanjutan kebutuhan pangan serta aturan yang harus ditaati bersama. Kepemilikan sosial yang tercipta di antara penghuni kamp dan self-governance kolektif tersebut telah menciptakan sebuah kewarganegaraan informal bernama ‘campzenship’ (kewarganegaraan kamp).