2 minute read
C. Kontrol terhadap Ekspresi Keberagamaan
Dengan kontrol terhadap adminduk, kelompok penghayat kepercayaan terpaksa harus memilih salah satu dari enam agama yang diakui sebagai indetitas keagamaan mereka, setidaknya hingga tahun 2006 saat UU No 23 tentang Administrasi Kependudukan diterbitkan. Melalui undang-undang ini, penghayat kepercayaan akhirnya diberi kebebasan untuk ‘kembali’ kepada identitas kepercayaannya, meski belum secara formal tercatat dalam KTP.
C. Kontrol terhadap Ekspresi Keberagamaan
Advertisement
Kembali menelisik sejarah praktik govermentalitas negara lewat politik agama, Samsul Maarif (2017) melihat pencantuman kata “agama” dalam Konstitusi 1945 pasal 29 sebagai awal mula infiltrasi politik agama kepada negara. Namun jika mengacu pada bagaimana negara dan pemerintah memiliki peran untuk “mengatur” warga melalui berbagai aspek –secara khusus agama–dapat dimaknai pula jika negara bukan hanya menjadi alat terlaksananya politik agama, namun juga berperan sebagai subjek yang mengatur.
Sebagai contoh, pemerintah menjadikan agama tertentu sebagai agama yang diakui secara administratif dan berhak mendapatkan pelayanan penuh serta membuat Departemen Agama yang secara khusus memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan beragama masyarakatnya. Departemen Agama (Depag) didirikan pada 3 Januari 1946 sebagai realisasi dan penjabaran ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Departemen Agama bertugas untuk mengakomodir dan membagi seksi bagi agama-agama yang diakui di Indonesia, serta mengontrol gerakan politis organisasi-organisasi keagamaan, namun sekarang diperluas menjadi wadah bagi agama-agama “legal” di Indonesia. Di samping dukungan politis, Depag juga memberikan dukungan dana bagi aktivitas keagamaan, seperti dakwah, fasilitas ibadah serta pendidikan agama formal (Bagir dan Hefner 2016: 201).
Di samping Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga semi-resmi ulama Indonesia yang didirikan Soeharto pada 1975 juga memiliki dominasi yang cukup besar dalam proses govermentalitas, meski secara khusus MUI hanya membawahi umat Islam saja. Fatwa yang dikeluarkan MUI dinilai banyak mengintervensi baik dimensi publik maupun privat dari kehidupan beragama (Munawar-Rachman 2010: 26-38). Menurut Bagir dan Hefner (2016: 204), MUI yang pada awalnya didirikan sebagai narahubung antara negara dengan komunitas muslim pada akhirnya menjadikan negara sebagai rekan untuk mengontrol ortodoksi dan keberagamaan Muslim di Indonesia.
Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan “sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Fatwa tersebut secara masif mempengaruhi proses purifikasi Islam dan menyempitkan definisi keberagaman paham dan kepercayaan di Indonesia (Hefner 2014: 35; Gillespie 2007). Setelahnya, penghakiman dan pendakwaan sesat terhadap Ahmadiyah dan Syiah juga terjadi. Fatwa tersebut mengakibatkan berbagai macam bentuk diskriminasi dan persekusi yang dialami oleh Ahmadiyah dan Syiah. Dalam hal ini, MUI telah keluar jauh dari peran utamanya untuk menjembatani antara negara dan ulama, namun berkontribusi pada praktik diskriminasi hak kewargaan masyarakat.
Pemerintah Indonesia, terlepas dari pengaruh dorongan dari kalangan politik agama juga mengatur berbagai aspek kehidupan beragama lewat masuknya nilainilai dan konsiderasi keagamaan dalam beberapa kebijakan nasional, seperti UU Anti Pornografi, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama menyangkut pendirian rumah ibadah, SKB tentang Jemaat Ahmadiyah, UU Administrasi Kependudukan yang sempat mengosongkan kolom agama bagi aliran kepercayaan, judicial review UU Pencegahan Penodaan Agama yang memposisikan enam agama resmi lebih tinggi dari kepercayaan lain, serta