1 minute read
C. Status Politik Netral
tidak bernegosiasi dengan ‘naskah’ identitas yang diciptakan oleh negara, tapi tidak serta merta menolak secara konfrontatif. Sebagai solusi, Pangestu terus melakukan dialog dan merespon pemerintah tanpa harus meleburkan diri menjadi bagian dari agama maupun kepercayaan.
C. Status Politik Netral
Advertisement
Melihat sejarah berdirinya, Pangestu lahir sebelum terbentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia)3 yang mengakomodasi dan menaungi kelompok kebatinan/kepercayaan lain. Namun setelah BKKI berdiri, Pangestu yang sejak awal menolak identitas sebagai aliran kepercayaan tidak turut serta bergabung dengan BKKI. Selain alasan perbedaan identitas organisasi, Pangestu yang memiliki status politik netral menganggap bergabungnya BKKI dengan Sekber Golkar pada tahun 1966 tidak cukup menguntungkan untuk perkembangan organisasi Pangestu ke depannya.
Pangestu memilih untuk bersikap netral secara politis sebab ada banyak anggota dan pengurus Pangestu yang merupakan aparatur negara, seperti kelompok Polri, TNI dan Jaksa Agung yang tidak bisa berpartisipasi dalam politik praktis. Keberadaan anggota tersebut sangat penting bagi perkembangan Pangestu, sebab merekalah yang dapat menjadi jembatan dialog dengan negara, seperti yang telah disebut oleh poin di atas. Pada tahun 1966 ketika ketegangan antara pemerintah dengan Partai Komunis Indonesia dan partaipartai simpatisannya semakin bergejolak, beberapa kelompok kebatinan yang bergabung dengan partai yang diduga merupakan simpatisan PKI seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dan lain-lain terpaksa harus memeluk agama-
3 BKKI didirikan pada 21 Agustus 1955, tepatnya pada Kongres Kebatinan Pertama di Semarang, terhitung 6 tahun setelah didirikannya Pangestu