5 minute read
E. Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Munculnya Ketimpangan Baru
E. Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Munculnya
Ketimpangan Baru
Advertisement
Terlepas dari berbagai bentuk diskriminasi pemerintah, upaya-upaya pemulihan hak konstitusional penghayat kepercayaan juga mulai digalakkan. Sejak tahun 2009, Setara Institute mengupayakan judicial review (JR) terhadap UU No. 1/PNPS/1965 meski belum berhasil. Di sisi lain, pihak internal penghayat kepercayaan juga melakukan akomodasi dan penguatan kapasitas organisasi lewat penggabungan BKK dan BKOK menjadi Majelis Luhur Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) secara resmi pada 13 Oktober 2014 (Sudarto, 2017: 71). Sayangnya, MLKI hanya dapat mengakomodasi kelompok yang sudah terorganisir, karena itulah banyak kelompok kepercayaan yang kemudian membentuk organisasi dan mendaftarkan diri kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di bawah naungan Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum melakukan pencatatan terhadap suatu kelompok kepercayaan, Direktorat Kepercayaan akan terlebih dulu melakukan survei terkait sesat atau tidaknya kepercayaan tersebut. Direktorat mensyaratkan beberapa hal, seperti kepastian bahwa kelompok menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan bukan merupakan kelompok klenik-okultis. Kedua, kelompok tersebut tidak boleh memiliki atribut-atribut keagamaan seperti nama ataupun lambang yang merujuk kepada agama tertentu.30 Dalam Laporan Kinerja 2018 Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi (hal: 3), Direktorat menuliskan definisi administratif sebuah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai “pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan YME serta pengalaman budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
Kehadiran MLKI dan Direktorat sebagai lembaga yang menaungi dan memberikan ruang bagi kelompok kepercayaan tentunya membuka jalan bagi pemenuhan hak sipil penghayat. Namun tidak bisa dipungkiri bila di sisi lain, adanya syarat dan ketentuan yang berlaku sedikit banyak menyumbang proses pendefinisian yang terus berlanjut terhadap aliran kepercayaan. Beberapa kelompok yang memakai nama berbahasa Arab atau bercorak Islam, memiliki simbol nama Nabi Muhammad dalam lambang organisasinya diminta untuk merubah sebelum mendaftarkan diri kepada Direktorat.31 Mengingat bagaimana Mulder (2017) mendefinisikan mistisme jawa sebagai “produk pertemuan antara Islam dan peradaban Jawa kuno,” peminjaman istilah dan simbol seperti tersebut sebenarnya tidak mudah untuk dihindari. Tetapi menimbang bagaimana pemerintah masih membatasi gerakan aliran kepercayaan dengan undangundang penodaan agama, negosiasi terhadap syarat dan definisi pemerintah akhirnya menjadi pilihan.
Keluar dari definisi Direktorat tentang apa yang sepantasnya disebut aliran kepercayaan, perdebatan internal di dalam diri MLKI juga terjadi terkait dengan golongan kepercayaan. Hingga saat ini, masih ada fragmentasi tiga golongan aliran kepercayaan. Golongan pertama adalah kepercayaan murni yang hanya memeluk kepercayaan dan bukan merupakan bagian dari umat agama. Kelompok kedua adalah kepercayaan campuran yang beragama, namun masih mendalami ajaran kepercayaan tertentu. Kelompok ketiga merupakan kepercayaan campuran, yaitu kelompok yang memiliki anggota keluarga berkepercayaan dan beragama, serta secara umum masih memiliki KTP agama. Di kalangan Direktorat sendiri, kategori ketiga mewakili kelompok spiritual yang tidak terdaftar sebagai organisasi kepercayaan, kebanyakan memiliki anggota umat agama dan menjadikan organisasi spiritualnya sebagai sarana untuk berkumpul saja. Definisi tersebut memang diperlukan dalam ranah administratif guna mempermudah pendataan. Namun secara tidak langsung, lembaga pemerintah
yang diwakili oleh MLKI dan Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa masih melakukan estafet pendefinisian dan pembatasan kepada aliran kepercayaan, meski di satu sisi, MLKI membantu memulihkan hak kewarganegaraan mereka.
Kembali kepada progres kemajuan penerimaan penghayat kepercayaan, Putusan MK No. 97 yang ditetapkan pada tanggal 7 November 2017 patut dicatat sebagai kemajuan besar, sekaligus titik awal perjuangan bagi pemenuhan hak kelompok penghayat. Dalam putusan tersebut ditetapkan bahwasanya aliran kepercayaan dijamin kesetaraan yang sama dengan agama, serta pengosongan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan dihapuskan. Selanjutnya, penghayat dapat mencantumkan kepercayaannya di kolom agama KTP dan mempermudah kepengurusan administrasi seperti pencatatan akta nikah, kelahiran, pendaftaran sekolah dan melamar kerja.
Sayangnya, pengakuan pemerintah tidak pernah lepas dari timbulnya definisi dan aturan lain. Pasca Putusan MK, pemerintah lewat Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Menteri Pendidikan dan Budaya mensyaratkan pengorganisasian kelompok kepercayaan untuk dapat diakomodir. Selain syarat kemurnian ajaran yang tidak bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa ataupun menyerupai ajaran agama yang telah ada, beberapa syarat administratif juga diajukan oleh Direktorat. Dalam Standar Pelayanan Penerbitan Tanda Inventarisasi Organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tertulis beberapa syarat pendaftaran organisasi penghayat kepercayaan yaitu:
1. Surat Permohonan Inventarisasi dari pengurus Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada Direktur Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi.
2. Mengisi formulir A (tentang nama kepercayaan, sifat, dasar ajaran dan tujuan wadah sosial dan sebagainya), A1 (tentang sejarah pendirian, alamat sekretarIat pusat dan penanggung jawab, identitas lambang, A.D. & A.R.T. serta pendaftaran kepada instansi pemerintah tertentu), dan A2 (terkait dengan tata cara ritual dan hari-hari suci) yang telah disediakan oleh Direktorat.
3. Menyerahkan AD/ART.
4. Memiliki ajaran tertulis (sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan dan disediakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan Tradisi).
5. Susuan pengurus organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME
6. Daftar nominatif anggota.
7. Program kerja organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan YME.
8. Riwayat sesepuh.
9. Surat Rekomendasi dari Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa Indonesia setempat.
10. Surat rekomendasi dari dinas yang membidangi Kebudayaan di tingkat
Kabupaten/Kota Setempat.
11. Organisasi yang mendaftar bukan merupakan pecahan dari organisasi yang telah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Banyak dari golongan kelompok kepercayaan pada awalnya hanya merupakan paguyuban kecil tanpa sistem. Mereka meneruskan ajarannya secara turun temurun lewat lisan dan bahkan tidak memiliki ajaran pakem layaknya yang disyaratkan oleh Direktorat. Namun untuk dapat diakomodasi, kelompok tersebut terpaksa merumuskan AD/ART, membuat profil sesepuh dan menuliskan ajaran mereka sesuai format yang telah ditentukan. Pengakuan
administratif yang mereka butuhkan harus diselaraskan dengan aturan yang diciptakan. Dalam kasus ini, Direktorat Kepercayaan sebagai perwakilan pemeritah kembali menciptakan definisi “tunggal” organisasi aliran kepercayaan lewat syarat-syarat tersebut.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini menelisik kembali berbagai macam bentuk govermentalitas lewat pendefinisian agama di Indonesia. Pertama, definisi minumun agama bekerja sebagai fondasi dengan memanfaatkan lembagalambaga seperti Departemen Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kejaksaan, bahkan lembaga non-formal seperti MUI sebagai ruang dan sarana pengesahan aturan bergama. Selain itu, berbagai macam undang-undang juga dimunculkan, bahkan pemerintah juga memanfaatkan lembaga keamanan sebagai alat pengontrol terlaksananya undang-udang dan sistem aturan tersebut. Upaya pemerintah yang sedemikian rupa selaras dengan apa yang didefinisikan Foucault (2009: 108) sebagai govermentalitas, yaitu “pelaksanaan bentuk kekuasaan kompleks yang ditargetkan untuk mengelola populasi oleh ansambelansambel berikut: lembaga, prosedur, analisis dan refleksi, perhitungan dan taktik, yang menggunakan ekonomi politik sebagai dasar pengetahuan dan aparat keamanan sebagai instrumen teknis.”
Di sisi lain, meski Foucault menyebut warga negara sebagai objek tidak langsung dari govermentalitas, namun ia juga menyatakan jika “populasi (warga negara) juga dapat menjadi objek manipulasi pemerintah; vis-a-vis kepada pemerintah selain sebagai subjek dari kebutuhan dan aspirasi. Populasi terkadang menyadari atas apa yang mereka inginkan, namun juga tidak menyadari atas apa yang sudah dilakukan kepada mereka” (Foucault, 2007: 105). Pernyataan Foucault tersebut membantu menggambarkan kelompok warga negara abjek yang sejatinya ada dalam status yang bertentangan dengan pemerintah, sebab itulah mereka harus berjuang untuk memenuhi hak-hak kewargaan secara kreatif. Dalam beberapa kasus, negara yang mengontol warga juga secara tidak