3 minute read

E. Yayasan Andana Warih Sebagai Institusi Formal Pendamping Pangestu

sosial dengan membangun hubungan dengan pemuka agama setiap daerah serta masyarakat sekitar.

Sebelum membangun gedung Dana Warih misalnya, perwakilan Pangestu akan mengunjungi sesepuh masyarakat, pendeta dan kyai setempat untuk menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan di gedung tersebut, serta latar belakang spiritualitas Pangestu. Pangestu menyadari bahwa masih banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai aliran kepercayaan/kebatinan, dan stigma negatif tentang aliran kepercayaan masih terus ada hinga saat ini. Karena itulah, demi membangun kenyamanan dan keamanan organisasi, penting bagi Pangestu untuk terus memberi penjelasan kepada semua pihak yang terlibat. Gedung Dana Warih sendiri dimanfaatkan tidak hanya oleh anggota Pangestu, namun juga masyarakat sekitar yang memerlukan. Menurut Darmastuti, gedung Dana Warih selama ini juga digunakan untuk upacara 17 Agustus dan perkumpulan warga, gedung pernikahan hingga tempat penyembelihan hewan kurban saat Idul Adha.

Advertisement

E. Yayasan Andana Warih Sebagai Institusi Formal

Pendamping Pangestu

Untuk pembangunan gedung Dana Warih dan penggalangan dana serta dukungan sosial, anggota Pangestu bekerjasama membangun Yayasan Andana Warih dengan persetujuan Kementerian Hukum dan HAM dengan nomor AHU- 3387.AH.01.02, 2008. Yayasan tersebut menangani ijin pendirian bangunan dan dan mendukung kegiatan sosial yang dilakukan Pangestu. Pangestu menyadari bahwa setelah mengeluarkan diri dari Direktorat Kepercayaan, ada banyak kebutuhan organisasi yang melibatkan ijin hukum tidak bisa diselesaikan. Sebab seperti yang tercantum dalam Staatsblad 1933-84 Pasal 11 point 8, “Perkumpulan yang tidak didirikan sebagai badan hukum menurut peraturan

umum tidak dapat melakukan tindakan-tindakan perdata.” Dengan didirikannya Yayasan Andana Warih, Pangestu dapat mengurus ijin pendirian bangunan dan keperluan administratif lain tanpa perlu mengubah identitasnya menjadi organisasi kepercayaan dan memaksakan diri tergabung dalam Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan YME Kemendikbud.

Dengan kata lain, yayasan Andana Warih merupakan strategi paling utama Pangestu sebagai kelompok abjek dalam memulihkan hak kewarganegaraannya. Menurut Darmastuti, organisasi Pangestu hadir hanya untuk berkiprah di bidang pengolahan jiwa dan aktivitas spiritual lain, dan Andana Warih menangani kebutuhan ekonomi-sosialnya. Berikut tujuan dan kegiatan pokok dari Yayasan yang telah disahkan AD/ARTnya oleh Kemenkumham pada 01 Agustus 2008 lalu:

1. Mendirikan, memperbaiki, memperbarui, melengkapi dan memelihara bangunan-bangunan, gedung-gedung dan ruangan untuk keperluan kegiatan organisasi Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu).

2. Menerbitkan buku-buku, majalah-majalah dan brosur-brosur mengenai pendidikan dan pelajaran kerohanian dan kejiwaan. Buku pegangan utama

Pangestu, yaitu Sasangka Jati serta majalah bulanan Dwija Wara serta bukubuku tambahan lain diterbitkan oleh yayasan ini.

3. Memberikan sumbangan dan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana alam, panti-panti sosial sesuai dengan keperluan dan kemampuan yayasan.

4. Menampung dan menyalurkan sumbangan dan dana dari para anggota organisasi Paguyuban Ngesti Tunggal dan dari masyarakat umum untuk mendukung kegiatan Pangestu dan keperluan lainnya.

5. Melaksanakan usaha lainnya yang sah yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan yayasan

Anggota Yayasan Andana Warih seluruhnya berasal dari warga Pangestu, oleh karenanya, meski memiliki tujuan dan fokus kegiatan yang berbeda, Pangestu dan Andana Warih sejatinya tidak bisa dipisahkan. Sebagai sebuah yayasan mandiri, Pangestu-Andana Warih mendapatkan sumbangan dana dari swadaya pribadi anggotanya. Salah satu donatur utama swadaya tersebut adalah Katering Alfabet, sebuah katering besar di Jakarta milik warga Pangestu bernama Andika yang sekaligus cucu dari Sultan Hamengkubuwono VIII. Selain itu, Universitas Setia Budi Solo yang didirikan oleh Ketua Umum Pangestu, Budi Darmadi juga menjalin kerjasama dengan Pangestu dalam urusan kegiatan sosial. Dengan kerjasama dan sistem seperti ini, Pangestu bersama Andana Warih dapat terus memainkan peran sosial sebagai warga negara, meski di sisi lain identitasnya masih dikesampingkan dari pengakuan negara.

Selain daripada menunjukkan bahwasanya governmentalitas pemerintah telah mengeksklusi sejumlah kelompok warga negara, dengan melihat ingenuitas yang dilakukan Pangestu, tulisan ini beranggapan bahwa warga negara sejatinya juga memiliki peran dalam proses kontrol tersebut. Apa yang dilakukan Pangestu dengan terus mempertahankan identitas sebagai organisasi spiritual di tengah masifnya pengakuan kepada agama dan kepercayaan, serta bagaimana mereka dapat bertahan meski tanpa pengakuan resmi, telah menunjukkan celah dimana govermentalitas pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Pangestu berusaha mengimbangi eksklusi negara dengan resistensi taktikal menuju ruang inklusi baru (Wright, 1997: 52). Walaupun dianggap sebagai nonexistent citizen, Pangestu telah menciptakan naskah baru dan ruang iknlusi (Isin, 2009: 381) tersendiri terkait dengan ekpresi keberagamaan masyarakat, yaitu dalam wujud identitas organisasi spiritual.

This article is from: