Sastra kabarkan segala
Cerpen : Bawah Beringin Gedung Multipurpose…………………………………11
Kajian : Martin Heidegger…..20 Puisi : Meja Kayu……………25 Kursi Tua………………….25
Cerpen : Untai Cinta Berbentuk Lingkaran Tak Berujung………..26 2
31
36
35
50
51
Puisi : Sajak Tanah Basah Acara : Bulsn Bahasa dan Sastra 3
Kata Pengantar Setelah edisi pertama terbit dan beredar, kami persembahkan kembali edisi kedua ini kepada masyarakat sastra di Indonesia. Melalui media ini pembaca dapat menikmati sajian seputar dunia sastra dalam beberapa rubrik yang telah disediakan oleh redaksi, antara lain adalah : LenteraSastra, KajianSastra, Infosastra, ParaSastra, SastraCyber, dan PuraKarya. Diharapkan rubrik-rubrik tersebut akan menjadi sumber inspirasi segar bagi kita semua untuk berkarya.
Salam Budaya, Redaksi
4
Pengurus PURAKASASTRA Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi WAPEMRED Redaktur Pelaksana WaREDPEL EDITOR Desain Artistik
Manaek Sinaga Rizal Ricky Richard Sehajun Irfan Purnama Muhammad Ridw an Kholis Firman Dirgeisus Permana Heti Nuraisah Sindi Violinda Martono Loekito Pengurus rubrik
Alfian Nawawi Israwaty Samad Dianie Apnialis M Kisnawati Dian Rusdi Yudi Haryansyah Latifa Asnawati
Zainab Salsabil Enung Karwati, ST Adi Septa Suganda Bekti Puji Lesthari Ade Junita Itur Yuliastik Yessy Oktaviani Dicky Nugroho
redaksipuraka@gmail.com (pengiriman naskah) www.facebook.com/purakasastramedia www.twitter.com/purakasastra www.purakasastra.blogspot.com www.purakasastra.com Purakasastra adalah media independen yang bertujuan untuk ikut membangun dan memajukan dunia kesusastraan nasional. Kami menerima semua bentuk sumbangan naskah untuk dapat dipublikasikan secara nasional melalui media ini. Sumbangan tersebut dapat berupa kajian-kajian kesusastraan, liputan kegiatan sastra , tips-tips menulis, karya sastra, buku-buku sastra, dan lainlain. Naskah/ karya yang dikirim harus orisinal (asli), tidak menjiplak karya orang lain, dan tidak mengandung unsur kekerasan, pornografi atau pelanggaran unsur SARA (Suku, Agama, dan Ras). Penulis bertanggung jawab penuh atas orisinalitas naskah/karya tulisnya. Isi naskah/karya tulis sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, baik terhadap tuntutan plagiat atau pun tuntutan lainnya. Redaksi berhak menyunting naskah/ karya bila diperlukan, tanpa mengurangi maksudnya.
| CATATAN ANOMALI Oleh : Ricky Richard Sehajun
MERDEKA?? Makhluk Indonesia, melolong, “kami merdeka”. Tapi, lolongan itu disenyapkan realitas. Realitas berperan antagonis. Ia berkumandang, “Indonesia belum merdeka”. Kolom kemerdekaan Indonesia terdefinisi sebagai, terlepas dari jerat penjajah asing. Itu dulu. Sekarang lain lagi. Ada redefinisi kemerdekaan. Penjajah asing terlempar. Penjajah dalam negeri terdampar. Penjajah itu terjelma dalam kemasan kemiskinan, korupsi, ketidakadilan, kecurangan. Penjajah ini menoreh luka. Punya tusukan maut. Mendatangkan petaka. Disebut pembunuh berdarah dingin. Manusia dibuat mati pelan-pelan. Lantas, siapa bertanggungjawab memusnahkannya? Makhluk Indonesia, bukan? Pemimpin dan rakyat. Idenya, keduanya harus bersatu. Praktisnya, tercuat perceraian. Ide pemimpin yakni mengasihi, mengatur dan menjaga. Tapi kerap dibarengi tindakan memanfaatkan rakyat. Sebabnya, kepentingan. Hakikatnya, menilai penting atau tidak penting, tergantung kepentingannya. Perbedaan kepentingan inilah yang merangsang penjajah baru. Ia mengandeng racun tuk membungkam kesejahteraan. Lihat saja. Kata banyak calon pemimpin, “yang baik adalah menjadi pemimpin”. Tatkala jadi pemimpin, sukanya memacu dan memicu kemelaratan. Ironisnya, di tengah situasi rakyat yang telah dipusingkan oleh terpaan kemelaratan, pemimpin tidak ambil pusing. Senyumnya riang. Tawanya terkekeh. Namun, sewaktu rapat soal rakyat, malah tertidur. Sukanya duduk di sofa. Jarang turun ke lapangan rakyat. Makanannya serba luar negeri. Kalaupun telah berorasi, cinta akan produk dalam negeri. Belum lagi soal harga BBM yang kian melonjak.
6
Gilanya, kalau sudah jadi pemimpin, yang lain dianggap tidak bisa memimpin. Mengangap diri, hanya aku yang bisa. Aku luar biasa. Yang lain berbisa. Maka, berusaha saling menjerat dan menjarah. Pemimpin mengaggap diri sehat, padahal kesehatannya terganggu. Ada sakit KKN, sakit malas dan ego yg tinggi. Dibilang masuk rumah sakit untuk direhabilitasi, malah dianggap krtikan yang tidak membangun. Dianggap melecehkan pejabat. Udah salah tafsir-kan? Pantas saja segala rencana kerja tidak teratur. Tidak punya disiplin makna yang tertata karena memang ada salah tafsiran. Kalau salah tafsir, maka ngomongnya asal ngomong. Semuanya kosong. Yang kosong adalah pikiran baiknya. Kalau pikirannya kosong, besar kemungkinan ngomongnya kotor. Terjadilah janji kosong. Bahasa yang dipakai penuh gombalan maut. Muslihat yang gemilang. Tak ketinggalan imajinasinya pada semberawut semua. Yang ada cuma suara sumbang yang juga terlahir dari kekosongan. Omong kosong seraya berpikir tong kosong. Kasihan rakyat, selalu terbawa rayuan omong kosong. Padahal mereka bertindak untuk mengisi kekosonggan diri. Maklum, di rumah mungkin yang ada hanya rumah kosong. Peralatan kosong. Jadi, pantasan mereka mengambil uang kita, jati diri kita. Kita mau berkata apa? Rasa-rasanya, “kata�, kita mungkin dianggap omong kosong juga bagi mereka. Pemimpin yang baik harus sehat, tidak hidup dalam kekosongan dan omong kosong.
Indonesia dibelenggu oleh tudingan omong kosong. Omong kosong terpaut dengan retorika bahasa. Lontaran kata yang seolah-olah berasal dari sang kebenaran. Padahal dari sang kejahatan. Ini, mengharuskan ada kolom intelektual yang membantai retorika omong kosong. Seraya mengantikannya dengan suara kebenaran murni. Suara kebenaran tersebut diletakan pada tangan dan mulut para sastrawan atau kritikus sastra. Suara itu, tanpa kepentingan politik. Tanpa berhamba pada kekuasaan.
Bukan berminat pada
sogok-sogokan.
Sastrawan tidak boleh bungkam di hadapan
kekuasaan. Apalagi mati di tangan ketidakadilan. Sastrawan harus berada pada jalur kepentingan kemerdekaan Indonesia. Tampilan realitas kerapkali menampilkan sastrawan yang malah mengabdi pada kekuasaan omong kosong. Dengan pengabdian tersebut, sesungguhnya kemerdekaan para sastrawan direnggut. Dibumi hanguskan. Kita berjuang untuk cinta akan kebaikan. Ketika pemerintah bertindak kapitalis, kita mengusung pengabdian pada cinta demokrasi. Sembari berusaha menariknya pada jalur kebenaran. Kita tidak boleh menambah lagi krisis kejujuran negeri ini. Biar, negara Indonesia dapat terbebas segala pejajah asing dan dalam negeri.
KUNJUNGI FANPAGE FACEBOOK KAMI DI : www.facebook.com/majalahpurakasastra
7
LenteraSastra
Oleh : Nilam Dengan membaca, penulis dapat membuka wawasan tentang hal-hal baru. Kadang pada saat yang bersamaan, inspirasi yang didapat dari bacaan bisa menjadi dapur ide untuk dituangkan menjadi sebuah tulisan. Meski dalam prakteknya menulis tidak semudah seperti yang dipikiran, namun jika terus menerus dilatih tentu akan dapat menulis.
Berlatih menulis juga pada akhirnya membutuhkan sebuah ruang eksperimen. Sebuah percobaan terhadap ide-ide yang didapat. Lantas bagaimana penulis melakukan eksperimen tersebut? Salah satunya adalah dengan mengikuti lomba menulis. Lomba yang diselenggarakan oleh banyak pihak, baik lomba menulis ilmiah ataupun sastra.
Buang dulu pemikiran negatif tetang kapabilitas diri yang menghantui diri Anda. Kalau tidak dicoba, kapan lagi? Berikut ini ada beberapa tips mengikuti ajang lomba dalam dunia kepenulisan :
Harus Tahu Siapa Pihak Penyelenggara Lomba Hal ini untuk menghindari adanya unsur komersial/bisnis berkedok perlombaan. Pada kasus tertentu perlu ditelusuri latar belakang pihak yang menyelenggarakan lomba.
Perhatikan Syarat Ketentuan Lomba
dan
Pastikan karya yang diikutsertakan sudah memenuhi syarat dan ketentuan lomba,seperti tema, aturan teknis, dan kelengkapan pendaftaran karya. Jika tidak maka hanya buang-buang waktu saja. Dewan Juri hanya akan menyeleksi berdasarkan syarat dan ketentuan lomba
LOMBA MENULIS 2014 *syarat dan ketentuan berlaku
8
LenteraSastra
Perhatikan Tenggat Waktu Terkadang, tergiur dengan beberapa lomba dengan deadline yang hampir bersamaan. Sementara itu waktu yang dimiliki terbatas. Buatlah rencana pengerjaan yang baik. Yakinlah hasilnya pasti akan baik pula. Kebiasaan mengejar suatu pekerjaan menjelang batas akhir bisa berakibat fatal terhadap karya yang akan dilombakan.
Tetap fokus‌ dan fokus! Fokuslah pada tema cerita yang sedang dikerjakan. Kadang begitu antusias ingin menuangkan semua kemampuan sehingga hasil akhirnya malah berantakan. Perhatikan kembali detil yang dilombakan, gunakan teknik penulisan yang sesuai agar karya Anda mendapatkan hasil yang maksimal.
Lomba Bukan Garis Finish tapi Start Gagal menjadi pemenang dalam lomba bukan berarti kalah. Bisa jadi pembelajaran mematangkan karya untuk dikemudian hari. Demikianpun menjadi pemenang lomba bukanlah akhir dari totalitas karya. Waktu yang akan datang ada tantangan lebih besar yang harus ditaklukan.
Lomba adalah Latihan Semakin sering ikut lomba semakin tahu celah yang bisa dimasuki. Semakin tahu pula, kalau di luar sana ada banyak penulis dengan kemampuan bagus. Jadi, buatlah karya dengan kemampuan sendiri dan percaya dengan karya sendiri adalah modal.
9
LenteraSastra
Hadiah Hadiah juga penting untuk diketahui. Hal ini menumbuhkan motivasi untuk menghasilkan karya maksimal. Pastikan memilih lomba yang disesuaikan dengan kemampuan. Hadiah besar maka tingkat kesulitan penulisanpun sulit pula.
Bagi kalian yang telah beberapa kali mengikut lomba tapi belum menang, jangan berkecil hati, tetaplah optimis karena sejatinya seorang juara punya semangat untuk mencoba kembali. Manusia punya jiwa-jiwa besar untuk mengalahkan kegagalan. Menjadi pemenang untuk diri sendiri. Ayo berlomba! Tetap optimis. Menulislah karena dengan menulis belajar mengasah ketajaman wawasan. Teriakkanlah suara jiwa kalian dengan santun melalui pena dan keyboard. Berikan sentuhan kebaikan untuk merubah dunia melalui tulisan. Semoga tips ini bisa bermanfaat!
PuraKarya - Puisi PAGI-PAGI Oleh : Jabugart joeni regar
Di Lereng bukit kampungku Mentari malu Menengok kilau kerling embun Sesaat menunggu jatuh pendar kilau kristal Mentari memasuki gubuk Menyusup celah lubang jendela tua Menerbang debu yang melayang Pagi-pagi... Lintas kali bening dari mata air bukit Sirip kecil ikan tewas Menari lenggok Ekor mengolok pancur bambu Pagi-pagi.. Rindang wana riuh fauna mengurau alam Pagi-pagi.. Ia datang lagi Nanti ia pergi Untuk datang lagi
10
PuraKarya - Cerpen
Oleh : Nano Sudarno Siang hari. Terik matahari tidak terlalu panas. Hanya berkas-berkas sinar menembus gumpalan kapas langit kecokelatan. Terpaan angin yang berbolak-balik arah seakan menggambarkan musim tak lama lagi berganti. Di kejauhan sesekali terdengar ‘thiit’ panjang suara klakson kendaraan yang melintas di jalan raya berselingan dengan deru mesin yang tak pernah terhenti. 13.30 siang waktu itu. Beringin rindang dikelilingi beton melingkar tempat duduk terlihat bagai satu tanaman dalam pot raksasa. Di kanan kiri tegak berdiri beberapa pohon beringin lain berjajar dengan ketapang dan munggur. Daun-daun pohon yang berguguran hanya meninggalkan sedikit bagian melambai-lambai mengikuti kemana angin menariknya. Hanya nampak satu tanaman yang tetap rindang seakan-akan menjadi payung bagi manusia yang melintas di bawahnya. Kendatipun beberapa daun kuning berguguran beringin itu tetap perkasa di pot raksasanya. Beringin rindang itu tepat berada di depan sebuah gedung. Beton-beton raksasa nampak kokoh menjadi pilar-pilar penyangga atap. Rangka baja atap bangunan itu bagaikan cangkang keras gedung yang tak tergoyahkan oleh terpaan hujan dan angin. Warna orange menyalanya diselangi warna putih dan ornamen-ornamen keramik
berwarna tampak menjadi identitas. Pintupintu kaca lebar berjajar menunjukkan bahwa gedung itu mampu melahap ribuan manusia ke dalamnya. Tepat di bagian atasnya terpampang tulisan tegas yang menunjukkan nama dan identitas pemilik gedung itu. Ya, gedung serbaguna, Multipurpose Building dan satu istilah bahasa Arab yang tak bisa kubaca. Di bawah tulisan itu nampak satu tulisan lebih kecil “Universitas Gajah Wong� Siang itu, memang tak begitu terik. Nampak beberapa pedagang kakilima tidak dikerubuti pembeli seperti biasanya. Hanya terlihat lalu lalang mahasiswa yang beraktifitas di kampus. Berdekatan dengan gedung serbaguna memang terdapat beberapa gedung yang masih merupakan kompleks kampus Universitas Gajah Wong. Tak heran bila di depan gedung serbaguna, sering menjadi tempat berkumpul mahasiswa sekedar bersantai atau jajan pada pedagang kakilima yang biasanya mangkal. Kadang tempat duduk di sekeliling beringin perdu di depan gedung serbaguna itu dipenuhi mahasiswa sehingga nampak seperti manusiamanusia sedang duduk di bibir pot raksasa. Tapi siang itu hanya duduk sendiri. Sepi.
11
PuraKarya - Cerpen
“Whuueeedddannn, mahasiswa Bro!!”. Aku terhentak dan bertanya dalam hati siapa yang menganggapku sebagai mahasiswa. Tak pernah ada orang sebelumnya yang mengatakanku demikian selain teman-teman kuliahku dan dosen yang mengenalku. Aku memang berpenampilan seadanya, baju beli di loakan dengan sepatunya. Celana jeans yang kupakai setiap kuliah dan kegiatan di kampus karena memang hanya itu yang aku punya. Bahkan juragan di tempatku bekerja sebagai tukang fotokopi sekalipun tak pernah tahu jika aku sebenarnya juga mahasiswa di kampus tempatnya mengajar. Tukang fotokopi, demikian lebih banyak orang mengenalku. “Pinjam koreknya boss!! Laki-laki yang hanya berambut di atas telinga dan tengkuknya itu terus nyerocos berbicara. Pintanya meminjam korek api melihatku merokok. Aku masih terdiam heran melihatnya yang berstelan rapi sepatu pantofel, jas safari biru dan celana gelap mengkilat. Dengan senyumnya yang ngekeh terlepas Ncup temanku yang kebetulan lewat meletakkan jari telunjuk di depan jidatnya condong ke kanan. “Ngapa lo?” merasa dianggap gila oleh sahabatku, laki-laki itu melotot menghardik Ncup. Sementara Ncup memilih berbalik badan berpamitan. “Aku pulang dulu ya, No. Aku mau main bola nih.” Seraya berjalan menghampiri sepeda motornya yang diparkir, sekali ia menoleh padaku sambil tertawa. “Wealah, Suseno Badar Yogosworo, Caleg Partai Celeng!” Aku lebih terheran oleh sahutan pedagang siomay itu. Aku menduga-duga kenapa ia kenal dengan laki-laki berstelan rapi itu. Apakah tetangganya? Ataukah kerabatnya? Aku begitu tertarik hingga melupakan sahabatku yang berpamitan. “Ya Ncup, hatihati” jawabku sekenanya. “Melu edan koe No nek nanggepi wong kui.” Serunya menyebut namaku sambil berlalu masih terus tertawa. “Nyaleg gagal, hartanya habis jadi gila kok ngajak-ngajak”. Pedagang siomay itu sekali lagi tahu tentang laki-laki botak ubun-ubun berstelan rapi itu. Aku begitu tertarik, sangat tertarik. Tak sadar aku sedikit melamun terus bertanya dalam hati dan menduga-duga.
“Whoe… pinjam korek, boss!!! Suara keras laki-laki botak ubun-ubun itu di dekat telinga membuatku terperanjat. Geragapan aku mencari-cari korek apiku yang seingatku kutaruh di saku kanan celanaku. “Whoe…. Korek apinya ada tidak??Teriaknya lagi mengejarku. “Hagagagagagaga………….”. “Ya, ya sebentar. Baru saya cari” jawabku gugup. “Ini, Pak.” lanjutku sembari menyodorkan korek api warna hijau milikku padanya. “Hagagagaga.” Aku masih tak tahu setengah tak percaya apakah isyarat sahabatku tadi memang benar. Lalu laki-laki botak berstelan rapi itu tertawa ngakak tak terkendali seperti tak sadar diri. Aku masih tetap bingung dan terheran-heran. “Lha rokoknya mana?!” suara laki-laki itu lagi-lagi mengagetkanku. “Katanya pinjam korek?” tanyaku masih tetap dalam keheranan “Kok rokoknya juga minta?” lanjutku. “Mahasiswa kok pelit.” gumamnya. Dua batang rokok kretek murahan punyaku masih dalam bungkus orangenya pun kusodorkan. “Mahasiswa kok ngrokok kretek. Murahan lagi.” “Nek kerso ya monggo” jawabku agak bebah melihat keanehan orang yang kurang sopan menurutku ini. Tapi ketertarikanku mengalahkannya. “Ya gak apa-apa lah, daripada tidak ngebul” selorohnya. Cukup lama aku hanya duduk membatu di depan gedung serbaguna. Terlintas di pikiran kadang sekelebat gambar Ncup sahabatku yang sedang bermain sepak bola. Kadang lembaran-lembaran kertas fotokopi yang masih terasa hangat sisa cetakan. Entah sudah berapa jam aku duduk di depan gedung serbaguna itu. Sementara laki-laki berstelan rapi itu masih mondar-mandir di sekitar gedung serbaguna. Kadang ia memunguti guguran daun-daun beringin dan mengelompokkannya berdasarkan warnanya yang hijau, kuning dan kering.
PuraKarya - Cerpen
Kadang tiba-tiba berlari menghampiri mahasiswi yang melintas sembari menggodanya dan tertawa lepas. Kadang ia bergumam sendiri membicarakan undangundang, membicarakan demokrasi dan kampanye, entahlah tak semuanya bisa kudengar walaupun terus kuperhatikan. Aku memilih tetap mematung di depan gedung serbaguna itu sembari menghabiskan gelas kedua es cincauku. Rokok kretek murahan terakhir pun sudah terasa panas disela jari tengah dan telunjukku yang menjepitnya. Aku diam memperhatikan sekitar dan tetap tertarik tingkah laki-laki rapi itu. Gerakgeriknya tak sedikitpun lepas dari pengawasanku. Keabsurdannya pun kadang membuatku menyunggingkan senyum. Segerombolan angin tiba-tiba menarik dahandahan beringin dan mengajak daun-daunnya menari. Beberapa kutilang yang baru saja datang bernyanyi dan memberi irama. Mentari jelang senja yang semakin condong menyirami pancar-pancar jingga memaksa daun-daun beringin semakin rancak menari. Hingga tak sadar, beberapa daun lanjut usia mabuk jatuh tersungkur ke dasar konblok pot raksasa beringin itu. Sementara aku tetap termangu memperhatikan laki-laki berstelan rapi itu sembari sengaja melepas penat. Aku sengaja mengambil jatah libur kerjaku sekali seminggu hari itu. “Hagaga”. Berkali-kali laki-laki itu terus tertawa lepas tanpa kutahu apa yang ditertawakannya. Tiba-tiba ia berlari sekuat tenaga tergopoh-gopoh menuju pintu keluar. Entah apa atau siapa yang memanggilnya. Entah apa yang hendak dilakukannya. Atau entah apa yang membuatnya ketakutan. Aku hanya menduga-duga dan terus menerka dalam pikiranku. Satu hisap terakhir rokokku pun sudah kuhembuskan asapnya. Sejauh pandanganku aku mencoba mengikuti kemana laki-laki itu berlari. Tapi tak seberapa lama, kecepatan laki-laki itu segera membuat punggungnya tenggelam oleh pilar-pilar pintu gerbang. Ia berbelok ke kiri mengikuti trotoar berpagar yang memang disediakan untuk pejalan kaki. Tetap berlari. Kencang. Matahari beranjak senja. Semburat lembayung jingga semakin tegas terlihat menerobos sela-sela dedaunan seberang jalan. Sekawanan sebangsa camar melintas langit menuju tenggara.
Di tepi langit agak timur, bulan sabit tengkurap samar terlihat diantara segerombolan domba-domba langit. Seize the day, or die regretting the time you lost, its empty and cold without you here. Sekutip suara The Shadow, vokalis band kesukaanku nyaring terdengar dari saku celana seorang mahasiswi cantik yang melintas di depanku. Senyumnya yang manis memaksaku sedikit membungkukkan punggung tanda mempersilahkan. Aku kembali larut dalam dudukku. Satu bisikan makna ‘raihlah hari ini atau mati akan merebut waktumu, kau kalah’ merasuk ke dalam otakku melalui jejak-jejak mahasiswi yang baru saja melintas di depanku. Di seberang jalan riuh rendah suara cengkerama manusia dan bunyi kendaraan santer terdengar. Ah, jam pergantian kuliah pikirku. ‘Awas!! Awas!!’, satu teriakan keras berulang kudengar. Aku tidak begitu memperdulikan suara siapa atau ada apa. Bodo amat, pikirku. “Permisi. Minggir. Minggir, saya mau lewat. Saya harus sembunyi”. Namun suara itu terdengar tak begitu asing. Suara berat yang begitu kukenal. Atau setidaknya pernah kuperhatikan hingga aku mengenali suara lakilaki itu. “Pak…, Pak satpam, tolong saya dicarikan tempat sembunyi.” Suara yang sama makin jelas. Aku mencoba mengingat-ingatnya suara siapa sembari melongok. Ya, benar saja. Suara itu suara laki-laki berstelan rapi dan berkepala botak yang tadi mendadak lari tergopohgopoh. “Saya harus sembunyi Pak, Saya dikejar Petugas Komite Penyelamatan Kewarasan. Saya dituduh gila dan nilep uang rakyat.” rengeknya pada petugas keamanan yang berjaga di sekitar gerbang. Ia berpeluh keringat dengan suara terengah-engah. “Sembunyi di kuburan seberang tembok sana!!” sergah satpam berperawakan kurus tinggi itu sekenanya. Kesal. Mungkin petugas keaamanan itu pun juga merasa bingung harus bersikap apa. Sama sepertiku. “Haga…ga…ga…ga…ga...” Tiba-tiba laki-laki botak ubun-ubun itu tertawa lepas. ”Pak satpam tak tipu, Pak satpam gue kibulin, Pak satpam tak apusi”. Laki-laki botak berstelan rapi itu mengangkat kemejanya sedada sambil menari berputar-putar memamerkan perut buncitnya. Tetap tertawa lepas.
PuraKarya - Cerpen
“Ancriiiittttt, pancen wong edan”. Satpam itu begitu sebal menghujat seraya mengangkat pentungan. “Minggat sana atau tak pentung botakmu!!”, hardiknya seraya memasang wajah sangar. Hwekz..,tangtingtung, woyo woyo jos…” lakilaki itu berlari menghindar mundur beberapa langkah masih dengan telanjang perut dan menari-nari. Satpam yang berjaga masih tetap masam dan menggeleng-gelengkan kepala. “Hagagagaga… haga…” Laki-laki botak ubunubun itu tetap lepas tanpa beban menertawakan petugas keamanan yang memarahinya. Aku masih duduk di depan gedung serbaguna. Suara adzan ashar yang hampir dua jam berlalu tak juga membuatku beranjak dari singgasana sepiku. Gemericit belasan burung gereja nampak datang dan pergi berpindah-pindah hinggap. Hawa lengang kompleks kampus mulai terasa, berbalik dengan deru kuda baja yang beradu pacu di lintasan aspal. Krecitkrecit, derik roda gerobak pedagang bakwan malang melintas. Di depanku beriringan suara ‘Permisi bang, mari’. Hanya terlihat pedagang siomay dan es cincau yang masih nunggu pelanggannya yang belum selesai menikmati jajanannya. “Hagaga”. Suara tawa terengah-engah itu terasa sangat cepat mendekat padaku. “Kaburkabur….” suara meledek itu terus mengeras beriringan dengan jejak-jejak langkah yang kian mendekat. ’Plak’ satu tamparan agak keras mendarat mantap di punggung kananku. Aku terperanjat berbalik kanan. ‘Hegege’ satu senyuman lebar kepala botak berpeluh manis terpampang di depan batang hidungku. Hanya berjarak satu bungkus rokok berbungkus merah hitam tepi yang disodorkan tepat di depan wajahku. “Aku hanya melongo dan bingung”. Senang pasti bila rokok itu diberikan padaku karena memang kesukaanku andai aku punya cukup uang untuk membelinya. Bingung, apakah benar rokok ini untukku. Heran, mengapa lakilaki tambun berstelan rapi itu tiba-tiba menyodoriku sebungkus rokok. Puzzle-puzzle ingatanku mencoba menyambung dan memasangkan apakah ia tadi berlari tergopoh hanya untuk membeli rokok? Atau mungkin dimana ia mencuri rokok itu?
“Rokok, Mas. Koreknya tadi mana?” dua kalimat laki-laki itu kembali membuatku geragapan dan terbangun dari detik-detik bawah sadarku.” Saya lama tidak merokok dengan teman-teman seperti ini.” Curhatnya. “Oh ya… ini koreknya Pak.” jawabku masih canggung. ‘Hagagaga’. Tawanya memang selalu lepas. “Grogi ya…” menyindir menthel berlagak genit. Tingkahnya yang lepas tanpa beban sedikit membuatku iri pada kebebasannya. Rokok yang tadi disodorkannya ia buka lalu diambil sebatang dan dinyalakan. Lelaki itu menghisap dalam-dalam asap rokoknya hingga menembus sanubarinya yang mungkin kering, mungkin kosong atau terkoyak. “Hoe…, ayo dirokok”. Bungkusan rokok yang telah diambilnya sebatang itu sekali lagi ia sodorkan. Ia tetap menikmati hisapan dalam rokoknya. Beberapa kali bibirnya mengerucut mengepulkan bulat-bulat asap lalu ditiupnya hingga berpendar. “Satu ya, Pak,” pintaku. Kuhunus sebatang rokok lalu kusundut pula. Ujung rokok mulai membara diikuti hembusan asap tipis tegak ke atas seirama sedotanku dalam-dalam. Laki-laki itu hanya menjulurkan telapak tangan kanannya terbuka. Matahari tak lagi tampak. Pendar-pendar sinarnya mulai tersembunyi membentur dinding-dinding kampus. Burung-burung kutilang tak lagi tampak terbang jauh mengembara menjelang senja. Hanya beberapa kepak sayap tak jauh dari hinggapnya sekedar mencari tempat bertengger melewati dingin malam. Memang, di masa-masa pergantian musim yang dingin dan berangin tak menentu seperti saat itu, biasanya burungburung tidur di pohon-pohon yang perdu dan tidak terlalu tinggi seperti beberapa pohon beringin dan munggur di sekitar gedung serba guna itu. Burung-burung gereja sedikit lebih cerdas memilih tempat tidur. Ia menghangatkan diri menyelip di atas plafonplafon atap. Aku hanya diam membatu bersama lelaki berstelan rapi itu duduk berjajar. Tetapi pandangan lelaki itu tak pernah mengitari sekeliling selalu berlari kian kemari. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sebuah kain putih tepat di depan kami duduk berjajar. Tanpa mengalihkan perhatiannya tangannya menepuk bahu kiriku.
PuraKarya - Cerpen
Sampeyan mahasiswa kampus ini?Ia bertanya. “kampus Universitas Gajah Uwong, ya?” “Iya”. Aku mulai berempati setelah perangainya tak lagi liar seperti saat tadi pertama bertemu.“Saya mahasiswa Fakultas Tarbiyah, kenapa?” balik aku bertanya. “Lihat tulisan itu!”. Jari tengahnya menghadap ke atas menunjuk satu tulisan sedikit ganjil. “Tulisan apa?”Aku benar-benar mulai masuk dalam pembicaraannya. Dada bergetar memang karena belum pernah sebelumnya bertemu orang seperti ini. Tapi aku sedikit tenang karena selama beberapa jam kuperhatikan. Laki-laki berstelan rapi itu tak sekalipun menyakiti seseorang. “Tulisan yang mana?” “Itu… itu…” bahunya sedikit condong ke kanan sembari mengganti jari tengahnya dengan telunjuk untuk menunjuk tulisan yang dimaksudnya. Aku mulai memahami tulisan apa yang dimaksudnya. Lurus di depan terbentang sekitar 3 meter kain putih bertulisan merah dengan tangan “hancurkan penindasan, Indonesia bukan tempat hidup para penindas.” “Lha terus?”. Aku hanya mengangkat dua bahu agak sinis. “Apa hubungannya dengan saya mahasiswa sini atau saya fakultas apa??” Aku nyerocos bersungut-sungut tak tahu maksud laki-laki itu. “Ya tidak ada” “Lha terus menunjukkan tulisan itu??”
maksudnya
“Tidak ada”. Jawabnya tegas tapi kalem. “Hanya mengingatkanku dulu pas masih mahasiswa”. Laki-laki itu mulai bercerita. “Memang bagaimana?” rasa penasaranku tibatiba kembali muncul. “Ya dulu pas masa lengsernya New Era ‘kan, kerjaan saya setiap hari ya cuma demo”. Cerita lelaki itu semakin panjang. “Ya atribut seperti itu yang selalu saya bawa.” “Ya Pak??” aku berpura-pura bertanya. Sengaja. Aku tertarik dan ingin tahu apa cerita orang yang mungkin orang lain menganggap gila ini. “Gila!!”
Ia
menggeleng-gelengkan
kepala,
pandangan matanya kosong mungkin menerawang ke tahun 1998, atau hinggap ke tengah-tengah kerumunan masa yang berteriak-teriak “Suharno Turun, Suharno Turun.” Heran, malah orang ini mengatakan aku gila. “Gila?” tanyaku. “Gila gimana maksudnya?”. “Tulisan-tulisan seperti itu mungkin belum terlalu pedas dibandingkan ucapan-ucapan kami saat menghujat Suharno, pimpinan partai Kodok itu.” “Apanya yang gila?” aku terus memancing dengan umpan ‘gila’ agar kata-katanya terus mengalir. “Teman-teman saya yang berdemo itu kan jadi generasi penguasa selanjutnya” “Terus?” “Mereka sekarang pada di sel penjara” “Masak, Pak?” Gumamku tak begitu percaya. “Iya. Karmin dari partai Kadal itu. Kasto dari partai Coro itu” Ia menyebutkan satu-persatu nama pejabat yang menjadi tikus. “Sering lihat TV toh? Napis dari partai Semprul itu juga. Ada lagi siapa, itu yang sering diceritakan partai Sapi makan Sapi betina itu. Untung saja orangorang menganggapku gila, jadi aku tak sempat seperti mereka” Aku hanya mengangguk-angguk. Sebatang lagi rokok kunyalakan. Jalan konblok tepat kami duduk, dua mahasiswi bertubuh pendek bersepatu hak tinggi memeluk buku-buku tebal terlihat mirip biduan dangdut berjalan lenggaklenggok. Habis menggoyang dombret, goyang ngecor, atau jaran goyang di perpustakaan dugaku. Mungkin benar juga ungkapan laki-laki berstelan rapi itu, hatiku membenarkan melihat dandanannya yang mirip golongan eksekutif. Namun sedikit pula terbersit keraguan ‘jangan-jangan ia hanya mengakungaku’ berkebalikan dengan mereka yang pantang mengaku sebelum terjepit. Lalu, lakilaki berperawakan tegap rapi tambun itu juga menyalakan sebatang rokok lagi. Diulurkannya tangan-tangannya menengadah di depanku seraya berucap ‘Korek’.
PuraKarya - Cerpen
Jingga langit yang disepuh emas senja semakin memancarkan indahnya. Di ufuk timur sesabit bulan tua dan setitik bintang perlahan semakin cerah berselimut langit abuabu. Goresan-goresan jingga titik api menyala nampak berkobar di ufuk timur laut menangkap cahaya jingga. Hari menjelang tenggelam dalam gelap. Aku baru saja selesai menunaikan Ashar di masjid seberang. Aku masih kembali duduk di depan gedung serbaguna menunggu temanku yang sanggup menjemputku pulang ke kontrakan. Lelaki itu pun masih mematung ditempatnya. Melihat aku telah selesai melakukan kewajibanku ia menghampiriku. Ia kembali duduk didekatku. Ya, dua orang gila kembali bercengkerama. “Belum pulang?” laki-laki berstelan rapi itu memulai lagi pembicaraannya. “Nunggu jemputan temanku” Jawabku tak lagi begitu simpatik. Ya, aku harus segera pulang sebelum gelap kehidupan yang menyelimuti laki-laki botak ubun-ubun iku menulariku. Senja perlahan meredup hingga tak lagi menyisakan temaram. Daun-daun munggur mulai mengatup dan terlihat berwarna lebih tua. Gemericit suara burung gereja tak lagi utuh. Di depan pintu gerbang, cahaya-cahaya merah sekilas berkejaran dengan warnawarna terang saling bersliweran penuh deru. Warna-warna orange dinding-dinding bangunan kampus nampak tegas mengelilingi cahaya putih di tengah-tengahnya yang terletak di seberang jalan. Riuh rendah suara mahasiswa di kompleks kampus tak lagi terdengar. Lampu-lampu dalam ruangan gedung seberang juga tak lagi terlihat menyala. Burung-burung mungkin sudah terlelap dalam hangatnya rumpun-rumpun perdu daun rindang. Sabit angkasa yang tadinya terlihat cerah berpaling dari langit, memilih berselimut mendung seperti mengintip dua orang gila dengan sinis. Gerobak-gerobak kakilima dengan bau sedapnya di sekitar gedung serbaguna pun tak lagi terlihat, menyisakan ruang untuk kelelawar-kelelawar malam menyambut nafkah Ilahi. Gulita pekat bagai payung hitam raksasa menaungi langit tenggara.
“Hagaga…. Hagaga…..Hagagagaga….” Tawa keras yang masih membekaskan cerita di telingaku itu tiba-tiba terpecah di kejauhan. Ya, lelaki berperawakan tambun berkepala botak ubun-ubun dan berstelan safari rapi itu kembali memekik. Suara keras berbicara pada dirinya sendiri begitu jelas di telingaku. “Negeri ini negeri manusia, bukan negeri binatang atau negeri dhemit dan setan. Aku memang tak pantas memimpin negeri manusia ini. Jangankan memimpin, mewakili saja aku tak layak. Aku pun begitu bingung membedakan mana manusia, mana iblis, mana binatang. Bahkan aku pun bingung manusia kah, ibliskah, dhemitkah atau setankah aku ini? Tuhan jemput sajalah aku! Aku ingin menghadap-Mu. Aku akan bersujud pada-Mu dengan gilaku. Biarkan akal tak warasku memohon negeri ini dipimpin para MalaikatMu. “Hagagaga… hagagagaga… hagagagaga…” Ia berjalan meninggalkanku begitu saja. Semakin jauh. Wajahnya larut di balik dinding malam yang hitam, hanyut bersama gelap, membeku bersama embun.
Plumbon, 19 Juli 2014
SASTRAQUOTES Ajari kata-kata untuk menjadi kalimat yang baik. Tuanglah mereka di atas kertas dan bantulah dengan goresan pena.
Jangan biarkan mereka melontar di hati dalam keadaan setajam belati. (Charis Fitriyanto) 16
InfoSastra - Komunitas
FASBuK - Kudus Kota Kudus adalah kota kecil di Jawa Tengah yang mempunyai akar kesusastraan cukup berpengaruh. Pada masanya, sebut saja, Maria Magdalena Boernomo, Yudhi MS, Jumari HS, Arya Gunawan, Mukti Sp, ADI, dll, adalah sastrawan yang tak pernah kering karya. Merekalah yang membawa nama Kudus menjadi Kota sastra yang semerbak. Dari latar belakang tersebut, kemudian terbitlah ide untuk menggagas sebuah wadah bagi para generasi penerus sastra Kudus. Sekitar tahun 2010 lahirlah Forum Apresiasi Sastra dan Budaya Kudus atau biasa disingkat FASBuK. Forum ini adalah ruang kerja fisik dan pemikiran secara berkelanjutan untuk menciptakan inovasi serta varian-varian paket kemasan kegiatan dalam bidang kesusastraan dan kesenian lokal, yang nantinya mampu menjadi aset atas keberagaman kebudayaan nasional maupun daerah, sehingga tercapai ruang bersama untuk saling berbagi, bertukar pikiran, demi sebuah citacita luhur serta tumbuhnya nilai-nilai kesadaran manusia yang berbudaya. Begitulah visi-misi yang digaungkan. Secara rutin, tiap bulannya FASBuK menggelar acara Sastra dan Seni Budaya yang meliputi : Apresiasi sastra, sarasehan budaya, pertunjukan musik, tari, pementasan drama/teater, dan sebagainya.
Kegiatan Pementasan
17
InfoSastra - Komunitas
Kegiatan Diskusi
Event yang baru saja dilaksanakan , tepatnya 27 Oktober 2014, di Auditorium Universitas Muria Kudus, bekerja sama dengan kelompok teater kampus dan beberapa komunitas teater yang lain, mereka menggelar sebuah acara apresiasi sastra kampus yang bertema “Semesta Merindu�. Acara yang dimulai sejak pukul 19.30 WIB itu menampilkan pembacaan dan musikalisasi puisi, teatrikal puisi dan diskusi dengan nara sumber Yudhi MS (pendiri FASBuK). Acara tersebut diramaikan oleh penampilan dari Teater Obeng, Teater Coin, Teater Tigakoma, Teater Aura dan Sekam (UMK), Paradigma dan Teater Satoesh ( STAIN KUDUS ), dan Teater Amusa II. Dengan agenda seperti ini diharapkan generasi muda terutama di kota Kudus dan sekitarnya dapat terus semangat dalam menciptakan karya-karya sastra, serta menjaga nilai-nilai kearifan tradisi lokal dan budaya. Latifa / Red
Kegiatan Pementasan
28 Oktober 2014 KAUM MUDA, KAUM YANG BERKARYA MARI BERKARYA UNTUK INDONESIA..!!!
Memperingati
86 tahun Sumpah Pemuda
19
KajianSastra
PENYAIR SEBAGAI PENYINGKAP KEBENARAN Foto : Internet
Oleh : Elfridus Silman, SMM, SS
…and what are poets for in a destitute time?[1] Demikian Martin Heidegger[2] (1889-1976) memulai kalimat awal essay-nya yang berjudul, What are Poets for. Pertanyaan ini, juga di diajukan oleh seorang penyair besar Jerman abad 20, yakni Hölderlin,[3] dalam puisinya yang berjudul Bread and Wine. Sebuah pertanyaan menukik yang menyentuh persoalan hakekat seorang penyair. Heidegger menyukai puisi-puisi Hölderlin. Kesukaan tersebut memberi penegasan bahwa ia seorang penikmat puisi. Essay-nya, tentang What are Poets for, memberi ulasan mendalam soal “siapakah manusia itu”? Bagi, Martin Heidegger puisi adalah bahasa tertinggi. Bahasa puisi mampu membawa orang pada pengertian mendalam tentang otentisitas manusia beserta segala sesuatu yang hadir bersamannya dalam kehidupan. [1]
Martin Heidegger, What are Poets For? dalam Poetry, Language, Though, New York: Harper Perennial Classic, 2001, hlm 89. [2] Martin Heidegger, filsuf besar abad 20 asal Jerman. Pada 1923 ia menjadi professor di Universitas di Marburg. Pada 1927 ia menerbitkan karya besarnya berjudul Sein und Zeit (Ada dan Waktu). Gagasan filsafatnya banyak mempengaruhi berbagai bidang penelitian yang luas. Tradisi filsafat yang digeluti dan diwariskannya: Fenemenologi, Eksistensialisme, dan Hermeneutika. Dalam bidang Fenomenologi ia banyak berguru pada Edmund Husserl. Dalam bidang Eksistensialisme ia banyak berguru pada Nietzche dan Sorren Kierkegaard. Murid-muridnya yang menjadi filsuf terkemuka antara lain; Hanna Arendt, Hans Gadamer, Hans Jonas, Emanuel Levinas, Jacques Derrida, Jean-Paull Sartre, Leo Strauss, dll. Selain, karya besar Sein und Zeit, ratusan essay filsafat ditulisnya, termasuk beberapa diantaranya berkaitan dengan puisi (The Thinker as Poet, What are Poets for?, Language, Poetically Man Dwells). [3] Johann Christian Freiderich Hölderlin (1770-1843), penyair besar Jerman, kerap dikelompokan dalam aliran Romantisme.
20
KajianSastra Pertanyaan Heidegger, “untuk apa para penyair”? bukan pertama-tama mempertanyakan tujuan kehadiran seorang penyair di telinga dan mata para pengagumnya, melainkan mengantar manusia pada jalan ekspolorasi filosofis tentang keberadaannya. Apakah yang dapat menciptakan syair-syair? Rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, angin, ataukah bunga? Tentu tidak. Hanya seorang penyair yang dapat mengungkapkan bahwa rembulan, mentari, bintang, tetumbuhan, dan bunga, bisa berkata dan bersyair. Hanya manusia yang dapat menciptakan syairsyair. Bagi Heidegger, manusia yang dapat menciptakan syair adalah manusia otentik, yang secara eksisitensial berada dalam Destitute time. Namun, apakah manusia otentik itu?
Dalam karyanya, Sein und Zeit (Ada dan Waktu), Heidegger mengulas tentang manusia sebagai realitas Ada yang bereksistensi, dalam kemenduniaan dan kemewaktuan. Heidegger menyebut manusia dengan terminologi yang khas, yaitu Dasein. Kata Dasein dalam bahasa Jerman merupakan bentukan dari kata dasar, Da (secara harafiah berarti; di sini/di sana) dan Sein (menjadi/ada)[4]. Problem linguistik ini kerap kali mengakibatkan inkonsistensi dan ketidaktepatan dalam penerjemahan konsep Dasein Heidegger. Term ini secara tepat dapat diterjemahkan dengan “Ada-di-sana”. Sebab, bagi Heidegger, manusia bukanlah seperti yang kita lihat “di sini”. Tetapi manusia adalah dia, yang memiliki segala kekayaan “di sana[5]”. “Disana”, tidak merujuk pada suatu tempat. Tetapi memaksudkan makna kedalaman manusia yang tidak terlihat.[6] Keistimewaan manusia (Dasein) dari antara benda-benda (seiendes) adalah kemampuannya untuk mempertanyakan dirinya, dan segala sesuatu yang terlingkup oleh kesadarannya. Manusia “yang bertanya” mengindikasikan sebuah pencarian makna.
Magda King, Heidegger’s Philosophy: A Guide To His Basic Thoght, New York:The Macmillan Company, 1964, hlm 66. [5]Prof. Dr. Eko Armada Riynto, CM, Berfilsafat Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2011, hlm 41. [6]Ibid. [4]Bdk.
21
KajianSastra
Foto : Internet
Manusia paling otentik adalah manusia yang berada dalam destitute time. Destitute merupakan sebuah karakter situasional ketiadaan uang, makanan, rumah, kepemilikan[1] atau apa pun yang membuat hidup itu bermukim pada zona nyaman. Dalam destitute time manusia mengalami situasi naturalnya sebagai manusia. Heidegger menguraikan destitute time secara radikal dengan menginterpretasi kata abyss, sebagaimana yang telah digunakan HĂślderlin. Abyss (abyground) adalah dasar, di mana akar menusuk dan berpijak.[2] Di situlah manusia menemukan kodrat naturalnya. Manusia mengalami eksistensinya sebagai manusia murni, dengan kesadaran penuh akan Ada-nya. Ia mengalami dirinya sebagai manusia yang mencari makna sekaligus lapangan pencarian makna itu[3]. Dan, siapakah seorang penyair dalam Destitute time? Ia adalah figur yang menemukan originalitas manusia yang terjalin secara relasionaleksistensial dengan segala sesuatu yang hadir bersamanya dalam hidup.
Bdk. Cambrige Advanced Learner’s Dictionari, third edition. Martin Heidegger, Op. Cit., hlm 89. [3]Ibid. [1] [2]
22
KajianSastra Menjadi penyair dalam destitute time artinya menghadirkan/menyingkapkan segala sesuatu untuk menemukan orisinalitasnya[4]. Ia menyingkapkan otentisitas dirinya dan segala sesuatu yang terjalin secara relasional eksistensial dengan dirinya. Ia bernyayi tentang makna keberadaan dirinya dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Musikalitasnya tereksplorasi dalam keindahan kata. Ia adalah figur dewa yang menyingkapkan orisinalitas makna dari realitas “menjadi manusia�. Maka hakekat seorang penyair yakni sebelum dia sungguhsungguh menjadi seorang penyair, ia berada dalam situasi destitute time. Dalam situasi itu, ia menciptakan sebuah pertanyaan puitis bagi seluruh keberadaan dan panggilannya menjadi penyair[5]. Pertanyaan puitis itulah, yang menjadi sarana penyingkap kebenaran. Dan setiap pertanyaan selalu mengindikasikan adanya pencarian.
Jalan penyingkapan itu ditempuh dengan mengalami sendiri ketersembunyian hakekat segala sesuatu (manusia, benda-benda, peristiwa) dalam bentuk kontemplasi.[6] Dalam kontemplasinya, ia menyingkap ketersembunyian hakekat segala sesuatu menjadi ketaktersembunyian. Lain kata, segala yang tersembunyi akan menjadi tampak dalam kontemplasi. Setiap syair, merupakan jawaban atas manefastasi dari hakekat manusia beserta segala sesuatu yang ada. Dan puisi tidak secara langsung menerangkan hakekat dari segala sesuatu yang ada[7]. Ia menerangkan sesuatu melalui simbol, dengan teknik pengunaan diksi yang indah. Namun, hakekat puisi tidak terutama pada diksi, atau pada pesan yang memukau wilayah rasa, melainkan dialami sebagai sebuah orgasme akal budi. Sebab, in se seorang pemikir itu adalah seorang penyair, demikian pun sebaliknya. Teknik merangkai kata-kata indah juga tak dapat diabaikan. Sebab, menciptakan puisi itu adalah “the work of art.� Pertanyaannya adalah bagaimana pesan puisi sampai pada pendengar atau pembacanya? Sesungguhnya, pesan orisinalitas puisi tidak akan sampai pada pendengar atau pembacanya, jika pendengar atau pembaca tidak masuk di jalan yang sama dengan sang penyair dalam destitute time-nya. Dengan kata lain, pembaca harus masuk dalam kerangka kontemplasi penyairnya.
[4]
Bdk. Martin Heidegger, Bdk. Martin Heidegger, [6] Bdk. Martin Heidegger, [7] Bdk. Martin Heidegger, [5]
Op. Cit., hlm 90. Op. Cit., hlm 91. Op. Cit.,hlm 93. Op. Cit.,hlm 95
23
KajianSastra
Lihat saja, Chairil Anwar tampak menjadi salah satu dari antara beribu tulang berserak antara Kerawang-Bekasi, dalam puisinya Kerawang Bekasi. Ia dengan kesadaran penuh bahwa ada satu titik yang mengakhiri eksistensi manusia. Titik itu mengubah segalanya. Tak ada lagi situasi eksistensial yang menandakan kehidupan. Kegelapan tanpa suara. Sebagai penyair, Anwar bertanya tentang hakekat dari tulang-tulang berserakan itu, yang akhirnya dapat bersuara, seolah ia ada dalam dunia mereka. Hanya orang sadar sebagai manusia saja yang akan mengalami, menjadi tulang tanpa suara, yang dapat menangkap pesan kematian. Hanya orang yang peka akan situasi ketertindasan yang dapat merasakan bias terror. Anwar mampu menggeledah suara harapan dari beribu tulang yang berserakan antara Kerawang dan Bekasi.
SASTRAQUOTES “An author ought to write for the youth of his own generation, the critics of the next, and the schoolmaster of ever afterwards.� “Seorang penulis harus menulis bagi kaum muda dari generasinya sendiri, para kritikus berikutnya, dan kepala sekolah dari yang sesudahnya.�
F. Scott Fitzgerald 24
PuraKarya - Puisi
Meja Kayu Oleh : Zidny Ilma
warna-warna noda di atas meja membentuk lukisan abstrak wajah perempuan kusut, keriput bibirnya mengulum setengah potong senyum. lelehan kopi mengering tumpahan teh dan sirup diburu semut menyatu dengan barik-barik kayu berpumpun dengan debu-debu yang terbang dan hinggap di mana saja bukan semacam melanoderma dosa itu menodai jiwa.
Kursi Tua Oleh : Zidny Ilma
lapuk adalah usia yang ditawarkan senja patah lebih pada maskara di atas renta dan kesetiaanmu terhadapku menjadi kenangan yang tak lagi bisa menopang bokong-bokong kepedihan pun bersandarnya punggung-punggung kekecewaan. pada masanya kau harus istirahat melepas kerangkeng gelisah lekati sejarah meski akhirnya tubuhmu hanya bisa meringkuk tak tentu memejam pelupuk.
25
PuraKarya - Cerpen
Oleh : Jabugart joeni regar
UNTAI CINTA
BERBENTUK LINGKARAN TAK BERUJUNG
26 Ilustrasi : Martono Loekito
PuraKarya - Cerpen
Setahun menjalin rasa, jujur, hingga kini aku belum memahami kenapa Miranti menyukaiku dan menaruh aku sebagai seseorang yang amat penting dalam hidupnya. Aku hanya seseorang yang mungkin belum bisa masuk kategori pria idaman. Aku alumni perguruan tinggi swasta lokal di kotaku. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan jabatan standar keluarga seperti kebanyakan orang. Sementara Miranti dan keluarganya, barangkali jauh dari keadaan keluargaku. Mirantai boleh dibilang hidup dalam sebuah keluarga mapan, sejahtera, dan dikenal sebagai keluarga rukun. Kadang aku berpikir untuk berpisah. Sepertinya ia lebih baik menjadi sahabat ku saja. Semuannya itu, akibat dari perbedaan kasta yang kurasakan amat mencolok. Kalau ditanya apakah aku menyayanginya? Akan kujawab tanpa ragu sedikitpun, "ia, aku amat sayang padanya melebihi rasa sayang terhadap siapa pun". Jujur, awalnya aku ragu menjawab tawaran hati yang disampaikannya bukan dengan kata-kata tapi dengan rasa. Aku ragu karena takut, aku tidak mampu kelak memberikan kebahagiaan layaknya pria membahagiakan pasangannya. Itu saja yang mengganjal dalam pikiranku. Menurutku, ini amat prinsipil dalam menapaki sebuah hubungan. Aku tidak mau hubungan ini hanya sekedar proforma saja. Aku ingin memiliki dia seutuhnya tanpa dilandasi beban apapun. Suatu hari, saat langit senja membias warna keperakan di ufuk barat kotaku, aku bersama Miranti dĂ sebuah tempat sejuk hutan cemara. Ada kali berbatu berair bening, di dasarnya bertabur pasir putih dan ikan-ikan mungil berenang lalu lalang seperti sengaja ingin menghibur kami dengan kepakan sirip kecilnya dan lenggok ekornya yang lucu. Tempat sejuk ini terletak di pinggir di kotaku. Tempat itu menjadi tempat keluarga-keluarga atau pasangan sperti kami melepas lelah. Lelah bergurau di sungai, Miranti rehat duduk bersandar di sebuah pohon cemara ukuran sedang. Akupun menyusulnya duduk di tumpukan tebal daun-daun cemara kering. "Bang, Ranti gak pernah mengharap apapun selain rasa sayang yang telah abang berikan selama ini" sahut Ranti sambil kembali menaruh kepalanya di bahuku seraya menggosok-gosokkan rambut di leherku. Aku menahan debar yang makin kuat mengaliri sendi - sendi dadaku. Aku amat menyukai itu. Kupahami bahwa gerak tubuh itu adalah untuk lebih meyakinkan aku bahwa apa yang telah diperlihatkannya selama ini adalah gambaran ketulusan betapa besar rasa sayangnya kepadaku. Bahwa kalimat singkat yang barusan diutarakannya sudah cukup membungkam sisa rasa ragu yang mengganjal langkahku. Keraguan itu serta merta beranjak pupus ditelan kata-kata penuh makna. Kueratkan rengkuh tanganku di bahunya sebagai ganti kata dariku menjawab apa yang di sampaikannya. Kata yang cuman sedikit itu seolah melepas beban berat di pundakku selama setahun ini.
Dua tahun berjalan, entah kenapa satu ketika aku melakukan kesalahan yang menurutku sangat fatal. Miranti tahu tentang hal itu tetapi ia tidak pernah menyinggungnya, yang lebih membuat rasa bersalahku semakin menghantui adalah dengan sikapnya yang tidak berubah sedikitpun, seperti biasa ia selalu memperhatikanku, mengingatkanku lewat pesan-pesan singkat di ponselku agar jam makan siangku tidak terlewati saat aku sibuk bekerja. Ia menjemputku kala dia punya waktu senggang atau sekedar menitip penganan di pos security untuk ku nikmati senja hari dan beberapa bentuk perhatian lainnya masih dilakoninya seperti biasa. Dan kurasakan itu semua dilakukan dengan tulus seperti hari-hari lain. Karena dengan sikap itulah, aku yang sudah bertekad di dalam hati untuk tidak mengulangi kekhilafan itu, malah makin hari merasakan rasa bersalah yang kian mendera. Aku berharap, ia memulai mempertanyakan hal yang ketika itu berlangsung di matanya.
27
PuraKarya - Cerpen
Hal yang menjadi beban menderaku akhir-akhir ini adalah satu hari tak sengaja Miranti melihatku bersama seorang perempuan cantik. Ia salah satu senior di kantor kerjaku. Ia kerap kusapa Ririn. Saat itu aku dan Ririn keluar dari sebuah rumah makan yang ramai di kunjungi saat jam makan siang. Menu makanannya beragam, harga lumayan terjangkau, dekorasi taman dan ruangannya asri dan tertata apik unik. Kami usai makan siang di situ, rupanya Miranti juga ingin makan siang. Sebenarnya tidak masalah kalau saat itu Miranti tidak melihat tangan Ririn yg sudah kuanggap kakak itu, dan di kantor terbiasa bergurau denganku. Ia sedang menggamit lenganku, entah sejak kapan tanpa kusadari. Menyadari itu spontan, rasa bersalah menghinggapiku. Aku ingin memanggil Miranti tetapi belum sempat kupanggil ia sudah berbalik meninggalkan kami. Tampaknya ia membatalkan niatnya untuk makan siang. Satu hari di penghujung pekan, aku mengajak Miranti ke satu tempat yang kuanggap layak untuk menjelaskan problem yang mengganjalku. Sebuah tempat yang teduh, ditumbuhi beragam jenis bungabunga alam dan salah satunya Dandelion dengan untai seperti kapas-kapas putih di putiknya sedang bermekaran. "Ranti, aku ingin membicarakan sesuatu yang sangat menggangguku akhirakhir ini. Tetapi setelah aku mengungkapnya, kamu boleh memarahiku bahkan aku berharap kamu memukulku agar rasa bersalah yang membelenggu ini dapat kusingkirkan". Aku mencoba membuka kata untuk mengusir kebekuan yang kurasakan. Aku bicara seraya berdiri di hadapan Ranti yang duduk di sebuah bangku taman. "Hmm..Ranti mengerti apa yang akan abang utarakan" Ranti menyahut dengan memamerkan senyum sumringah seraya melirik kearahku. Ada kesan riang dipadu dengan gelitik yang menyusup ke hatiku, saat sikap yang baru kali ini di perlihatkan kepadaku. Aku menikmati sikap Ranti
barusan, dan serasa membuka belenggu hati. Lalu aku duduk di sampingnya, sengaja aku memberi jarak dengannya. "Bang, Ranti kan udah cukup dewasa untuk menyikapi kejadian seperti itu. Ranti banyak belajar dari abang untuk menyikapi hal seperti itu. Ranti sengaja tidak menyapa abang saat itu agar kehadiran Ranti tidak mengganggu suasana baik. Ranti mengikuti kata hati bahwa sikap itulah yang terbaik, yang bisa kulakukan saat itu. Ranti sangat percaya sama abang". Aku tidak menyelanya, kubiarkan ia bicara. Aku tahu bahwa Ranti sedang mengatakan kata hati yang sebenarnya dan aku lega sekali setelah ia mengatakan itu. Aku tahu bahwa bukan hanya aku saja yang terbebani problema itu. Ranti pun menyimpan itu denagan rapi, jauh lebih rapi dari caraku menyembunyikan kerisauan itu. Ia memahami bahwa aku mengajaknya ke sini fokus hanya untuk membahas itu. "Saat abang bersama Ririn, awalnya hatiku sakit melihat itu. Bohong kalau Ranti bilang tidak merasakan apa-apa. Tapi aku bisa netralisir suasana hatiku dengan menanam keyakinan bahwa yang kusaksikan itu bukanlah seperti yang ku pikirkan. Sengaja Ranti tidak menayakan ini karena kalau itu kulakukan, kedewasaan yang abang tanamkan padaku akan sia-sia". Kusela ia bicara dengan menaruh telunjukku perlahan di bibirnya. Menurutku kalimat itu cukup untuk memupus rasa bersalahku. "Ran, thanks atas rasa percaya yang telah kamu lakukan, aku janji akan menjaga itu" Ku raih tubuhnya, kurengkuh ia dengan sepenuh jiwaku. Sebuah senja yang teramat manis dengan hembusan angin semilir. Di langit melintas iring-iringan bangau di temaram siluet mentari merah jingga menuju ufuk peraduannya. Rentang hati putih Miranti membuka tali yang membelengguku. Thanks Miranti.Thanks honey. Cinta Miranti berwarna putih seperti lingkaran tak berujung mengalir seperti air bening susuri relung temui muaranya. Muara itu adalah aku. Ujung lingkaran itu juga aku. ***
28
PuraKarya - Puisi
Perempuan Sunyi Oleh :Zidny Ilma
ia selalu menunggu pendar purnama merambati guguran daun mahoni sambil menulis berbab-bab kesunyian dan sisa rentam hujan bersamaan itu di tepi sungai, katak melantun tembang temaram memancing rimbun awan agar pecah, lalu lelehannya membasahi kembara angan biar tak melulu terjebak dalam perut kunang-kunang perempuan, di rumahnya ia menyunting hening lekat menatap jendela yang terbuka memamah malam merekam rapal dan jejak yang kian pudar
“benamkan aku dalam doamu yang tak jua purna dalam sajak-sajak yang mulai sesak�
purnama belum sepenuhnya dara katak riang kerana seorang perempuan langit-langit matanya menurunkan hujan menggenangi wajah yang lupa bagaimana cara menulis rona purnama hatinya tenggelam di laut kenang
29 Gambar: Internet
Embun di Atas Daun Maple
Oleh : Hadis Mevlana
Secawan Harapan
Oleh : Sariak Layung, dkk
30
PuraKarya - Cerpen
AKU DAN YANG TAK KUTAHU
Foto : Internet
Oleh : Khairyl Achmad 31
PuraKarya - Cerpen
“Kau harus jatuh untuk bisa bangkit”. Hanya mampu melihat dari balik jendela. Bukan, bukan karena tak mau tapi, saat ia mendekat mereka selalu menghindarinya. Masih bisa tersenyum, melihat keriangan mereka, berlarian ke sana kemari, sungguh tampak sangat menyenangkan. Melekatkan jemari tangannya ke kaca jendela, seakan ikut bermain bersama, tersenyum lagi, mata bulat yang indah itu menatap senang kearah teman- temannya yang tengah asyik bermain di halaman. Bibir mungilnya bergerak- gerak, namun tibatiba ia menurunkan tangannya. Pandangannya juga berubah, buru- buru memalingkan wajahnya, seperti sedang ketakutan. Dari taman, seorang bocah laki- laki memandang sinis ke arahnya, nyalinya seketika ciut. Kembali menekuri buku pelajarannya. Ya, buku adalah satu- satunya teman yang tak pernah mengeluhkan keadaannya, buku juga tak pernah membuatnya sakit, kecuali jika buku itu jatuh mengenai kepalanya, sembari tersenyum kecil dengan pemikiran konyolnya. “Kenapa kamu ga ikut main?”. Suara lembut itu, suara yang begitu ia kenal, seseorang yang sangat ia hargai. Menoleh kearah sumber suara, wanita berkerudung lembut tersenyum ke arahnya, begitu hangat, begitu menentramkan, “Kinan sayang, ibu lihat kamu selalu di kelas, apa kamu ga bosen?”. Kinan tersenyum kecil lalu menggeleng. Tanpa suara, gadis kecil berwajah manis itu hanya menunjuk ke arah buku pelajaran yang sedang asyik ia “mainkan,” tersenyum lembut, tangan hangatnya membelai rambut Kinan penuh kasih sayang, “Baik lah, tapi belajar terus, apa kamu ga bosen?”. Tersenyum lebih lebar, masih tanpa suara, mata bulat mungil itu sangat menggemaskan. “Ya sudah lah, belajar yang rajin ya Kinan, semoga kamu jadi yang terhebat”. Menganggukangguk, lalu tersenyum lagi. Benar benar tak mau bicara. Ibu Riyanti pergi, melangkah keluar kelas. Mata Kinan masih mengikuti langkah wanita yang sangat ia hormati. Sepertinya, Kinan harus meralat semua pemikirannya tadi, temannya bukan cuman buku- buku pelajaran, tapi juga Ibu Riyanti, wanita yang selalu membuatnya terkagum, yang selalu menemaninya di jam istirahat. Kinan berjalan tertatih, kakinya memang tak sempurna. Kaki kanannya lebih kecil dari kaki kirinya. Ia berjalan perlahan menggunakan alat bantu kreg, satu langkah, tas kecil yang ada di punggunggnya ikut bergerak gerak. “Hey lihat, anak cacat, bisu itu. Hati-hati jangan dekat dekat dengannya”. Celoteh seorang bocah lelaki yang berjalan di seberang. Kinan hanya terdiam. Lagi pula apa yang di katannya memang benar. “Kenapa anak seperti dia boleh sekolah di tempat kita, dasar anak penyakitan!” timpal seorang gadis manja yang menggendong tas berwarna pink. Menatap sinis ke arah Kinan, dan lagi- lagi gadis mungil ini tak bisa berbuat apa- apa. Semua yang dikatakan teman-temannnya, memang dirasa benar. Kata ibuku, “Hati-hati, Kinan punya penyakit berbahaya, kalau dekat- dekat dia nanti bisa tertular”. Kinan malah tersenyum mendengar kalimat itu. Ia menghentikan langkahnya, membuat semua anak yang berjalan berhenti pula. Mereka tampak terkejut, entah tak percaya atau ingin tahu apa yang akan dilakukan Kinan. Namun dengan santai, Kinan kembali melanjutkan langkahnya, berjalan tertatih di tengah terik matahari yang mulai garang. Anak- anak bandel itu sedikit lega. Kinan tak berbuat sesuatu, mereka buru- buru mempercepat langkahnya menuju rumah. Setelah cukup jauh, Kinan berhenti, lalu duduk santai, di bawah sebuah pohon. Ibu hari ini tak bisa menjemput Kinan, ada urusan penting katanya. Jadi, kinan harus berusaha sendiri berjalan pulang, tanpa ditemani ibu yang sangat ia cintai.
32
PuraKarya - Cerpen
Gadis itu tersenyum-senyum memperhatikan tingkah para semut yang berderet, membawa apa saja ke sarangnya. Terkadang ia merasa iri, dan tak jarang mempertanyakan dirinya yang terlahir berbeda. “Andai aku bisa seperti kalian, selalu bersama dan bermain dengan senang,” lirih hatinya berkata pada semut- semut itu. Terkadang Kinan juga kesal dengan dirinya sendiri. Kinan tak pernah menyalahkan teman- temannya yang usil dan selalu menghinanya. Kinan tak pernah lagi menangis diperlakukan seperti itu. Kinan sudah mengerti dan yang menjadi teman baiknya saat ini hanyalah buku pelajarannya, buku yang tak akan berbuat jahat padanya. Entah lah, Kinan merasa tak begitu mengerti, mungkin karena Kinan masih kecil. Ah, sudahlah, Kinan capek, matanya mulai sayu, berjalan jauh dengan tongkat bantuan cukup melelahkan, tanpa sadar, ia tertidur tenang di bawah lindungan daun-daun hijau. Menutupinya dari sinar matahari yang membakar. “Kinan sayang, bangun”. Membuka matanya, senyum hangat ibu menyambutnya. “Maafkan ibu, kamu capek ya, kau tahu ibu sangat khawatir, mencari mu kemanamana”. Wanita kepala tiga itu mengangak tubuh mungil Kinan. “Ibu janji, Ibu akan jemput Kinan setiap hari”. Mengecup kening gadis itu penuh kasih sayang. Gadis itu sudah tak perduli, ia hanya merangkul tubuh Ibunya, erat- erat. Sangat erat. Perasaan itu tiba- tiba saja menyusup, wanita lembut itu merasakan getaran yang hebat, tersalur dari Kinan, air matanya meleleh, tak kuasa dengan apa yang ia rasakan. Tak percaya, begitu pahitnya perasaan yang Kinan rasakan, tak percaya gadis manisnya begitu menderita, tak percaya bahwa sedalam ini perasaan yang ada padanya. Kinan memang tak banyak bicara, tak seperti anak- anak lainnya yang mudah sekali mengadu pada orang tuanya jika mendapat masalah. Baru kali ini, Kinan menunjukkan perasaannya yang tersimpan jauh di lubuk hati. Dari dekapan erat itu, ia bisa rasakan, betapa kosong dan betapa gelapnya, betapa pahitnya semua yang Kinan rasakan. “Ya Allah, sebegitu ‘tega’ kah engkau pada gadis kecil ini. Lihatlah perasaannya yang menjerit- jerit, tersembunyi di balik wajahnya yang menggemaskan tersimpan rasa pahit yang cukup dalam”. Air mata itu harus meleleh lagi. Kinan semakin memeluk erat tubuh ibunya. “Baiklah sayang, Ibu akan menjagamu dan mencari obat untukmu”. Tak kuasa lagi, air mata itu terus menetes. “Ibu, Kinan takuutt,” lirih mulut kecil itu tak begitu jelas. Jantung wanita itu semakin terasa teriris, mendekap putri kecilnya, lalu berjalan pulang. “Tuhan, putri kecilku sudah terlahir tak sempurna, haruskah ia juga menderita penyakit terkutuk itu?” Satu keluhan terlontar dari bibir yang bergetar, mengingat kembali surat keterangan dari rumah sakit, sebuah pukulan yang menohok keras hatinya, seakan tak percaya bahwa putri kecilnya mengidap penyakit yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya. Benar- benar mengiris hatinya, hancur sudah. Bagaimana bisa? Dalam perjalanan pulang itu, air mata tak berhenti menetes, lirih- lirih keluh pun tak henti- hentiya mengalir. Kinan tertidur pulas, mata kecil yang indah itu tertutup, sangat lelap dan tampak begitu menggemaskan. wanita lembut itu mengambil secarik kertas yang terselip di saku baju Kinan. Membukanya, sebuah undangan sosialisasi terkait HIV AIDS untuk anak-anak. Air mata itu mengalir lagi, dipeluknya tubuh mungil itu erat- erat. “Kinan sayang, bagaimana pun keadaan mu, kau tetap akan jadi anak ibu, anak ibu yang ibu banggakan”. Mengecupnya berkali- kali. Air matanya jatuh mengenai pipi mungil Kinan. Gadis itu masih terlelap sangat pulas. Seakan tak ada lagi masalah. Tersenyum. “Mereka tak salah, mereka adalah korban seharusnya ditolong, bukan di benci”. “Mereka masih punya hak untuk mewujudkan mimpi”. “Mereka juga punya cita-cita, anggap saja mereka sedikit berbeda, dan kita tidak boleh saling membedakan”. “Dengan hanya dekat dengan mereka, tak akan tertular, jadi dekati mereka seperti yang lainnya”.
33
PuraKarya - Cerpen
Seorang dokter relawan dengan semangat memberi penjelasan, kepada seluruh murid beserta orang tua masing- masing. Pendapat dokter itu membuat sedikit kericuhan, berbincang satu sama lain, menyebutkan sebuah nama. Nama yang menurut mereka sudah menjadi momok, yang mengerikan bagi anak- anak mereka. Terdiam, mereka semua terdiam, seluruh mata memandang ke depan. Seorang gadis kecil, dengan tongkat kayu di tangannya, gadis manis itu meminta microphone, degub jantungnya berdebar hebat. Ia perlahan mulai mengatur nafasnya, tercengang. Mereka yang ada dalam ruangan itu menyaksikan Kinan yang berdiri. Guru- guru pun ikut kaget, tak tahu apa yang akan di lakukan Kinan dengan mic itu. Nuun, walqolami wamaa yasthuruun. Maa anta bini’mati robbika bimajnuun. Wa inna laka laajron ghoiro mamnuun. Wainnaka la ‘ala khuluqin adhim. Fasatubshiru wa yubshiruun. Biayyikumul maftuun Inna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilih, wa huwa a’lamu bilmuhtadiin. Fala tuthi’il mukadz-dzibiin. Waddu law tudhinu fayudhinuun. Wala tuthi’ kulla hallafimmahiin. Hammaazimmasysyaaim binamiim Mannaa'il lilkhoiri mu'tadin atsiim 'utullim ba'da dzaalika zaniim [1]. …………………………………………… Semua terdiam, membisu, suara itu begitu lembut, halus, indah. Seorang wanita, menangis. Air matanya tumpah. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tak tahu lagi harus berkata apa, hatinya renyuh, mendengar suara Kinan. Kinan yang jarang bersuara, Kinan yang sering membisu, Kinan yang pendiam, sebuah surat yang sering ia bacakan untuk Kinan, Sebuah surat yang sering ia perdengarkan lewat mp3 player, sebuah surat yang selalu menemani Kinan tidur. Tak sanggup lagi berkata apa- apa. Semua tamu yang ada di ruangan itu ikut tercengang, beberapa di antara mereka juga menetikkan air mata. Wanita itu berlari ke depan. Mendekap putri kesayangannya, memeluknya erat, sangat erat dan dalam. “Ibu, meski Kinan ga ngerti, penyakit apa yang Kinan derita, meski Kinan tak tahu berapa lama lagi Kinan harus bertahan hidup, meski Kinan anak yang terlahir cacat, meski Kinan anak yang penyakitan, meski Kinan tak punya teman, selalu dijauhi, karena penyakit yang Kinan ga ngerti, Kinan masih punya Ibu, Kinan masih punya buku, Kinan masih punya Bu Riyanti, Kinan masih punya semutsemut kecil yang menemani Kinan saat menunggu ibu datang menjemput, Kinan masih punya surat alqolam yang menemani tidur Kinan. Terima kasih bu”. Tangis pecah, gemetar memeluk tubuh mungilnya. “Maafkan Ibu Kinan, meski aku bukan ibu kandung mu, Kinan akan tetap jadi anak ibu”. Lirih kecil dalam hati itu tetap tersimpan begitu dalam, bersaman rahasia Tuhan, rahasia lima tahun silam, saat pertama kali ia menemukan Kinan, bayi malang yang terbuang, seperti kebanyakan anak malang korban lahir di luar pernikahan, atau kehamilan yang tak diinginkan oleh para pekerja seks jalang. Riyanti tak perduli, seketika rasa keibuannya muncul dan berhasrat untuk merawatnya, meski ia belum menikah. Banyak yang mencibir, menuduh tetapi ia tak perduli, yang ia tahu sampai saat ini hanya kasih sayangnya pada Kinan. Seseorang tiba- tiba berdiri, sebuah tepuk tangan. Satu- dua, semua mulai ikut memberikan semangat. Pada Kinan juga mewakili mereka yang menderita, seperti Kinan.
*Cerpen ini terinspirasi dari lirik lagu Katy Perry – Firework. [1].Al Qur’an Surat Al Qalam Ayat 1-13
34
PuraKarya - Puisi Tanya (Tanpa) Jawab Oleh :Arcee Rheinata
Dua kali jeda di kala yang sama Pada titik sebelum koma Semudah membalik lembar tanya Mata, bibir berdalil sangka Tak ingin meraba Ada Apa Pun memaki Apa Aku hanya Siapa Yang tak suka pada Kenapa Malam kembali temaram Lara telah rebah bersemayam Tidurlah, Rindu Ingatlah aku saat membuka matamu
Usai
Oleh: Anonimus
Diantara batas ujung mataku Berhentilah Lucuti semua amarah yang memaku Retakkanlah Menyemai nira pada pucuk rumbia Terdepak Jelaga menyisir percakapan gulma Tersedak Ingin kukemasi dawai bisu Lelah menelan nadanya Mati tak bergerak aku Pamit menelan gulita 35
PuraKarya – Cerita Rakyat
Cirebon – Jawa Barat
[1] Oleh : Ade Junita Kemat jaran guyang adalah pengasihan yang konon sangat ampuh untuk membuat lawan jenis tergila-gila. Pengasihan yang dulu mengharuskan sang lelakon puasa ngableng (puasa tanpa berbuka) selama 40 hari 40 malam dan di akhiri dengan patih geni (tidak tidur sehari semalam) ini biasanya di kerjakan oleh orang-orang jaman dulu karena sakit hati. Angin berarak menerpa dedaunan. Ujung atap rumbia yang mamayungi rumahnya dari panas dan hujan itupun ikut terombang-ambing oleh angin. Matahari menyenja di barat sana sedang dadanya berdebar tidak menentu. Menunggu memang hal yang paling menjengkelkan bagi setiap orang. Terlebih menunggu tanggapan dari lamaran yang dibawakan ibunya. Lamaran kepada seorang gadis kemayu yang ia temui sewaktu hendak mluku[2] di sawah Pak Bunawas. Gadis kemayu dan kenes yang mula-mula memang membuatnya kesal namun tak bisa ia pungkiri suara gadis itu telah memanggilmanggil jiwanya untuk merindu tiada henti.
36
JARAN GUYANG
PuraKarya – Cerita Rakyat
Yen isun iki aran Baridin Urip lagi menderita batin Saban dina lagi nyandang isin Sebabe durung ngalami kawin Arep kawin arep durung orang takon Bonggan sapa kader akeh wadon Kembang sirsak iwak blanak Wonge blesak ambune blenak Bagen mlarat baridin lanang Demen wadon ikuh wenang Mekonon soten lanang gah apa lanange Mekonon soten wadon gah apa wadone Wadone kula larang regane Ora pantes baridin jodone Yen bli kelakon sun bagen lara badane Lamun kelakon isun si bagen edane Ngomong mkonon apa temanan Gelem sumpah pitung turunan[3]
Ahh…, betapa mengingatnya adalah hal terindah yang bisa ia rasakan saat ini. Kekenesan gadis itu malah membuat hatinya ketar-ketir menahan cinta yang memenuhi jiwanya. Namun bukan kepalang kagetnya saat dilihatnya Mak Wangsih pulang dengan berurai air mata. Lantas debar-debur yang ia rasakan beberapa saat tadi kini berganti menjadi cemas yang tiada terkira. Pasti ada hal buruk yang menimpa Maknya. Dan yang lebih membuatnya cemas adalah inti hal buruk itu adalah menimpa dirinya. Ya, mungkin saja… “Baridin…!” ucap Maknya seketika di depan anak lelaki semata wayangnya. Lengan baju yang ia kenakan sudah kuyup dengan air mata yang terus mengalir sepanjang jalan. “Sing sabar, Cung. Ratmina ikuh dudu golongane kita. Bli pantes dadi jodoe sira. Wis Cung, lurua wadon sejen bae. [4]” “Memangnya kenapa, Mak? Lamaranku bagaimana, Mak?” jawab Baridin dengan sangat penasaran.
“Sudah jangan pikirkan lagi. Lamaranmu mereka tolak. Malah Makmu ini mereka anggap pengemis. Ratmina tidak peduli sama sekali.” “Tidak mungkin, Mak. Mak sudah ngomong baik-baik? Coba sekali lagi Mak! Tolonglah Mak coba sekali lagi! Anakmu ini tidak akan bisa hidup tanpa Ratmina, Mak.” “Baridin!” keluh Maknya. Didekatinya anaknya. Dielusnya pundak anak lelakinya. “Dengarkan Mak, cari saja wanita lain. Entah tetangga kita, entah anak teman Mak sewaktu tandur atau teman bermainmu. Mak akan melamarkannya untukmu. Asal jangan Ratmina. Mak tidak tahan direndahkan seperti itu.” “Mboten, Mak! Baridin cuma pengen Ratmina.” “Jadi kamu tidak mau mendengarkan Makmu?” tanya Mak tak percaya. “Tidak, Mak.” “Kalau begitu pergi kau dari sini! Kau lebih memilih membiarkan Makmu direndahkan daripada memilih wanita lain. Tidak pantas kau menjadi anakku!” kata Maknya.
37
PuraKarya – Cerita Rakyat
Perlahan dari belakang teman karibnya menghampiri. “Din! Kenapa kamu, Din?” Baridin tak menjawab. Pikirannya melayang tak tahu arah. Ia bingung sendiri. Maknya mengusir ia dari rumah. Uang tak punya, harta benda hanya pakaian yang ia kenakan. Malam nanti ia belum tahu akan tidur di mana. “Din!” kembali teman karibnya memanggil. “Ya, Dinulur. Sira kuh weruan bae ana batur lagi nelangsa. Tapi sayang, sira durung pernah ngrasani larane wong kapegot tresna. [5]” “Kamu sakit hati karena Ratmina menolak lamaranmu, Din. Aku tahu dari Makmu. Dan apa kau tahu Din? Sebagai seorang teman aku tidak tega melihatmu seperti ini.” ”Kesuwun, Lur. Melase sira bli bakal bisa ngobati laranengati. [6]” Mata hatinya barangkali sudah tertutup oleh kelabu perasaannya. Barangkali hatinya pun benar-benar sudah remuk yang berbentuk sehingga tak dihiraukannya tiap perkataan teman karibnya itu. Matahari semakin memerah. Semakin terasa cepat waktu berlalu. “Sepertinya warisan bapakku tepat untukmu, Din.” Baridin masih terdiam. Ia tidak ingin mendengar bualan sahabatnya. Ia tahu, Dinulur hanya yatim piatu yang papa.
Ia tak punya apa-apa. Orang tuanya pun dulu hanya seorang kuli sawah. Kakek-nenek tak ada. Hanya hidup sendiri. Tempat tinggal hanya gubuk rumbia yang tak jauh beda dengan rumah Maknya. Tak mungkin ada warisan yang sempat ditinggalkan orang tuanya. “Eh, Din. Kau tidak percaya kalau bapak mewariskan sesuatu padaku?” tanya Dinulur mencoba mengalihkan perhatian Baridin. “Bli ngandel!” [7] “Kalau kau benar-benar cinta Ratmina, warisan bapakku ini pantas untuk kau coba, Din. Coba lihatlah!” “Apa itu, Dinulur? Kertas kumal dengan tulisan aksara jawa kuna? Apa ini Dinulur? “Itulah bacaan kemat Jaran Goyang, Din,” jawab Dinulur dengan terkekeh. Ia begitu senang melihat sahabatnya beralih perhatian. Kedua mata Baridin kini begitu lekat memperhatikan tiap hurufnya. Tiap kata ia eja dengan begitu seksama. Perkata, perkalimat perlahan ia hapalkan. Senyumnya seketika merekah. Dinulur terkekeh melihat senyum kembali merekah di bibir sahabatnya. Sebagai seorang sahabat dari kecil memang sudah sepantasnya membantu kesusahan temannya.
38
PuraKarya – Cerita Rakyat Matahari sudah tenggelam. Gelap menyelimuti. Dari kejauhan kelapkelip obor yang menerangi tiap rumah terlihat menembus reranting semak belukar yang tumbuh sembarang dan memenuhi kebun. Bebunyi jangkrik dan katak sawah bersahutan seolah arakarakan sebuah pesta besar untuk alam tengah dimulai. Baridin beranjak dari duduknya. Bersama teman karibnya ia melangkah pulang. Ia akan tidur di gubuk sahabatnya. Tengah malam nanti, tepat malam jum’at kliwon ia akan merapalkannya. Ya, hatinya mantap untuk melakukan itu. Cinta telah membuat tekadnya bulat. Suratmina harus bisa ia luluhkan. ***** 40 hari pun berlalu. Terik siang begitu hangat menerpa bumi. Bebunyi belalang sawah terdengar dari beberapa sudut. CETARRR…! Dilecutkannya cambuk kecil untuk mendorong kembali tenaga kerbau yang dirasa mulai melambat. Tak jauh beda dengan Baridin yang memegang kendali. Napasnya begitu pelan. Dengan kedua mata yang lemah menatap. Juga hanya sedikit tenaga yang ia punya. Ya, telah 40 hari perutnya tidak kemasukan makanan dan minuman. Entah akan sampai pada napas yang ke berapa nyawanya terenggut. Di antara hentakan kerbau di tengah sawah, lamat-lamat dilihatnya seorang perempuan dengan pakaian compang-camping berjalan tergesa-gesa mendekat. “Kang Baridin…!” pelan didengarnya perempuan itu memanggil namanya. “Kang Baridin, kulane melu, Kang…” . Kini ia yakin ia tak salah dengar. Perempuan dengan dandanan yang sudah tidak karuan itu memang memanggil-manggil namanya. Semakin dekat semakin jelas Baridin melihat wajah perempuan itu.
Dan sedetik kemudian ia terkesiap. Ya, perempuan itu pasti perempuan yang telah menolak lamarannya tempo dulu. Ya, dia Suratmina. “Suratmina! Lhoh… lhoh… jadi kamu benar gila ya? Ternyata benar kata Dinulur, Suratmina gila karena kemat Jaran Guyang.” Baridin terkekeh melihat melihat kenyataan persis seperti yang ia inginkan. “Kang Baridin, kulane melu, Kang. Yuk kita nikah yuk! Hehehe… hehehe…!” Sekarang kau malah memintaminta dinikahi. Mana Suratmina yang dulu mengaku dilamar pilot, pengusaha, orang gedungan? Sekarang malah minta dinikahi Baridin yang hanya tukang bajaka sawah, lelaki miskin. Tapi Baridin tidak akan sudi menikahimu, Suratmina. Karena congkakmu Mak Wangsih sampai mengusirku dari rumah. “Kang… ayo nikah kang! Kang… Ba…” terputus-putus Suratmina berkata. Napasnya dengan seketika melambat dengan drastis. “Kang Ba… ri… di..n!” dan hilang. Tubuhnya pun ambruk di depan Baridin. Baridin hanya melongo melihat itu. Kakinya seakan terpaku melihat itu. Beberapa petani yang kebetulan melihatnya berteriak-teriak memberi tahu yang lain. Dan segeralah mereka berdatangan. Dinulur yang kebetulan pun ada di situ dengan cepat menghampiri Baridin. “Din, kok wajahmu pucat sekali. Din…!” Dinulur memanggilmanggil Baridin yang mulai kehilangan kesadarannya. “Kepengenan kula kelakon Lur. Sekien kula wis tenang!”[8] tepat beberapa detik setelah Baridin mengatakan itu, badannya ambruk. Dinulur memegang pergelangan tangan Baridin dan memeriksa nadinya. Lenyap. Tak ada lagi denyut nadinya. “Innalillahi…”
39
PuraKarya – Cerita Rakyat [1]
Keseluruhan cerita ini diambil dari cerita drama Tarling Klasik daerah Cirebon dengan judul Baridin. Membajak. [3] Ini aku yang bernama Baridin hidup sedang menderita batin tiap hari menyandang malu karena belum pernah kawin(nikah) mau kawin atau belum tak tanya sebab siapa padahal banyak perempuan bunga sirsak ikan blanak orangnya jelek baunya tidak enak biarpun miskin Baridin lelaki mencintai perempuan itu boleh begitupun siapa dulu perempuannya begitupun siapa dulu lelakinya perempuan itu saya mahal harganya tidak pantas berjodoh Baridin kalau tidak tercapai tak apa sakit badan ini kalau tercapai lebih baik aku gila ngomong seperti itu apa benar berani sumpah tujuh turunan. [2]
*Pantun berbalas yang dilakukan Baridin dan Suratmina sebagai dialog dalam Drama Tarling. [4]
Yang sabar, Cung. Ratmina bukanlah golongan kita.- Tidak pantas jadi jodohmu. Cari saja wanita lain. Kau tahu saja ada teman lagi nelangsa. Tapi sayang, kau tidak pernah merasakan sakitnya patah hati. [6] Terimakasih, Lur. Rasa kasihanmu tidak bisa mengobati hati yang terluka. [7] Tidak percaya. [8] Keinginanku sekarang tercapai, Lur. Sekarang aku sudah tenang. [5]
PuraKarya - Puisi
40
PuraKarya - Puisi
(KETIKA) DAWAI HARPA MENGELUS SUNYI Oleh : Jabugart joeni regar
Meraih bunyi nyanyi sunyi Menyibak sepi Menaruh sepi Di sini lentik lembut jemari Piawai petik warna seribu senar denting rupa beribu-ribu Malam merentang tangan Swara-swara jari jemari Memetik tali temali Tingkah rindu Ngiang lagu Lagu rindu Rindu biru (Ketika) Denting teringat susuri sunyi Lembut dawai elus sunyi malam sunyi bergelut dawai tersisa satu lagu sunyi lagi
Sarimatondang 090814 41
KajianSastra
Adalah Dahlan Iskan, pemilik HU Jawa Pos itu, pernah mengungkapkan bahwa membaca novel itu boleh dianggap sebagai pagar hidup. Mengapa demikian? Bagi Dahlan Iskan, seseorang yang pernah mengalami hidup miskin, bekerja keras, lalu menjadi kaya, “Ketika menjadi kaya, manusia berada di persimpangan”, ujarnya ketika diwawancari wartawan, saat menunggu acara peluncuran film “Sepatu Dahlan” di Islamic Book Fair Senayan, beberapa waktu lalu. Ketika menjadi kaya, demikian Dahlan Iskan, pasti bertanya dalam hatinya, apakah menjadi orang kaya yang baik atau menjadi manusia yang rakus. Kalau menjadi kaya rakus, step berikutnya stroke. Karena itu, perlu dicarikan langkah pengantisipasiannya. Salah satunya, kata Dahlan Iskan adalah melalui membaca novel. Dengan membaca novel karya sastrawan, seseorang yang berada di persimpangan,akan menjadi tenang. “ Membaca novel itu, semacam pagar dalam hidup”, ujarnya. 42
KajianSastra
Dahlan Iskan benar, bagaimanapun juga, dengan membaca misalnya membaca novel, berarti kita berhadapan dengan pengalaman orang lain. Di sana ada konflik, di sana pula ada solusinya meski tersirat, tetapi ketika kita mencermati alur ceritanya, pasti saja nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat membantu seseorang untuk mengatasi masalah hidupnya. Intinya, bagaimana rohani kita tersirami nilai – nilai hidup, sehingga rohani kita tidak kering kerontang. Itulah salah satu makna dari pagar dalam hidup tadi. Sayang sekali, fakta riil di lapangan, ada yang membiarkan jiwanya kering. Dia mengejar hidup agar jadi orang terkaya, tanpa mempertimbangkan kebutuhan rohani. Setiap waktu, diisinya dengan mengejar kekayaan. Sementara itu, dia tidak pernah takut rohaninya kering. Iya, akibatnya tepat seperti yang dikatakan Dahlan Iskan, “ Kalau kaya rakus, step berikutnya stroke”. Kita tidak menghendaki stroke, tentunya. Bagaimanapun juga, menjadi kaya tentu sejatinya, tidak saja kaya materi, akan tetapi juga harus kaya hati. Dengan kaya hati, sudah pasti, dapat dijadikan tempat berpijak yang kokoh dan kuat. Berbekal hati yang tentram juga, kita mengetahui duduk persoalan dari sebuah permasalahan yang sering bersarang di hati. Kita tidak mau menerima akibat dari persoalan yang membuat hidup kita hancur berantakan. Mencermati uraian sepintas di atas, tentu kita berkesimpulan, bahwa hidup ini harus ada pagarnya, sehingga hal-hal yang membuat kita stroke misalnya, tidak terjadi. Kata orang bijak,” Kita perkecil dan mengurangi keburukan-keburukan akibat dari keteledoran kita”. Ini pun dilaksanakan kalau kita menyadari bahwa hakikat hidup itu dipahami. Hidup , kata Ustad, adalah suatu karunia. Jadi, jangan sampai diabaikan, hidup hanyalah sementara, dan ketika waktunya tiba, kita pasti dipanggil-NYA. Sayang sekali, banyak orang yang tidak memperhatikan hakikat hidup itu. Akibatnya, banyak pula yang mengalami gangguan teknis dalam hidupnya, karena salah jalan dan salah haluan. Dia mengejar kekayaan tanpa memperhatikan kebutuhan rohaninya. Mestinya, dipahami, semakin kaya, semakin pegang petunjuk Allah yang tercantum dalam kitab suci. Dengan berpegang pada petunjuk Allah kita akan selamat sepanjang masa. Selain membaca petunjuk Allah dalam kitab sucinya, kita pun berusaha menyiram rohani dengan membaca karya sastra seperti novel. Bagaimanapun juga seperti diungkapkan Dahlan Iskan di atas tadi, patut diacungi jempol. Dahlan Iskan pahami bahwa kehadiran sastra dalam hal ini novel, adalah perpaduan antar subjek (diri sastrawan) dengan objek ( ide, suasana, tema, alam , dll).
Nah, untuk tidak sekedar ngomong, penulis mengangkat penggalan karya Kahlil Gibran dalam “Pakaian” yang terkumpul dalam Sang Musafir . Nilai apa yang akan kita petik setelah membaca isinya? Namun sebelumnya, kita berusaha mencermati terlebih dahulu, isi penggalannya, berikut ini : “Suatu hari si Cantik dan si Buruk bertemu di pantai. Keduanya saling mengajak, “Mari kita mandi di laut!” Keduanya menanggalkan pakaian, kemudian berenang. Tak beberapa lama si Buruk kembali ke pantai, lalu mengenakan pakaian si Cantik, lantas pergi. Si cantik pun lantas ke pantai. Ia tak dapat menemukan pakaiannya, karena malu telanjang, dikenakannya pakaian si Buruk. Sampai kini, kita tak dapat mengenali mereka masing-masing. Namun ada juga yang dapat mengenali wajah si Cantik, meski pakaiannya demikian. Dan ada pula yang dapat mengenali wajah si Buruk, karena pakaiannya tak dapat menyembunyikannya.” Dapatkah kita menangkap isi cerita singkat dan sederhana di atas? Iya , bentuk ceritanya amat sangat sederhana, bukan? Namun di balik sederhananya cerita tersebut, tersimpan pula sejumlah amanat yang amat berguna bagi kita. Amanat apa itu?
43
KajianSastra Bermula dari alur cerita, tergambar dua orang gadis, seorang berwajah cantik dan satunya berwajah buruk. Keduanya mandi bersama di laut dan seterusnya, akhirnya kita temukan amanat. Tentu saja, jangan lupa berusaha menghubungkan perangai dari kedua gadis tersebut. Pertanyaan yang perlu diangkat di sini, adalah “Wajarkah sikap si Buruk?” Dari rangkaian peristiwa yang dilakukan si Buruk, kita temukan karakternya, yakni Si Buruk ingin tampil cantik dengan cara yang tidak terpuji. Dari simpulan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan dari penggalan di atas, amanatnya adalah : (1) Sebaiknya kita menyadari kelemahan yang ada; (2) Jangan berbuat menghalalkan setiap cara untuk meraih ambisi; (3) Berpikirlah yang praktis tetapi harus berpositif; dan (4) Jadilah orang yang pandai dan bijaksana. Kedua sikap inilah yang dapat membedakan baik buruknya sesuatu. Ternyata, karya seseorang itu, bukan sekedar untuk dihadirkan di tengah masyarakat pembaca. Pada saat membaca karya, apakah itu fiksi berupa cerpen atau novel, bahkan puisi, tentu saja ada nilainya yang perlu ditangkap. Nilai-nilai itu, amat berguna bagi kemanusiaan , karena dapat menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Patutlah dicatat bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu dapat ditemukan juga dalam karya fiksi. Nilai-nilai tersebut antara lain : (1) Nilai budaya adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia; (2) Nilai etik adalah nilai manusia sebagai pribadi yang berkaitan dengan benar salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat, misalnya kejujuran; dan (3) Nilai keagamaan adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat pada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga menjadi” pedoman”, bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan. Hasil perpaduan ide/nilai sastrawan tersebut, ternyata sanggup berfungsi membangkitkan kesadaran bahwa kualitas pribadi pembacanya esok hari, lebih baik ketimbang kualitas pribadinya hari ini. Karena itu, ketika dia menemukan hal-hal yang menyenangkan dalam novel tersebut, dia mulai pasang senyum, selanjutnya dia ambil hikmahnya untuk dikonsumsikan dalam keseharian.
Nilai-nilai yang diambil pembaca itu, bukan tanpa dasar. Di dalam novel selalu ada nilai, antara lain nilai agama, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Bagi sastrawan, menulis karya sastra seperti novel, memiliki fungsi antara lain : (1) medium kreasi ( wadah buat proses dan hasil ciptaan ); (2) medium komunikasi ( sarana untuk berhubungan dengan khalayak atau siapa saja ); (3) medium ekspresi ( alat untuk mengungkapkan diri ); (4) meng-abadi-kan ide, memori, suasana, proses, nilai suatu tema, peristiwa, dll; (5) Proses dan medium untuk meningkatkan akal budi, mengembangkan daya cipta, memberi input/konsumsi bagi rohani jiwa, dan hati serta mempertinggi nilai insan pribadi. Sastrawan sudah menghadirkan nilai dalam karyanya, mengapa pula kita tinggalkan? Bukankah belajar sastra adalah belajar pengalaman orang lain? Kalau jawabannya, salah satunya adalah belajar pengalaman yang bernilai, maka adalah benar ungkapan Dahlan Iskan, bahwa dalam hidup ini, rohani harus diberi kebutuhannya, “Jangan biarkan rohani kering-kerontang!” ujarnya sembari menambahkan,” Membaca novel itu, semacam pagar dalam hidup”. ***)
Sumber bacaan: (1)Bundel Majalah Psikologi “ANDA” edisi no.76 s.d. 81g dalam , Agustus 1983 (2) Kimia dan Ekonomi Kata dalam Puisi: Usman D.Ganggang dalam HU Suara mandiri (3) Sjafi’e Imam,DR.H.1997.Kumpulan LKS.Jakarta:Depdikbud (4) Hardyani,Rita Dr.1990.Penuntun Belajar Bahasa dan sastra Indonesia.Bandung:GenecaExact. (5) Indriani K,Pudji.2005.Kompetensi Bahasa dan sastra Indonesia.Jakarta:Literatur Media Sukses. (6) Diknas.2006.Panduan Materi Ujian Nasional. Jakarta:Pusat Penilaian Pendidikan (7) Kliping Koran Pak Oles 16-31 Maret 2014
44
Karet Motivasi
Sampaikan pesan ajaibmu dengan cara yang ajaib
Oleh : Nuryanto Gracia
Kuas Mimpi
Melukis mimpi besar bersamamu
Oleh : Putu Dwieka Putri
45
Sastracyber - Wawancara
Drs. Azwar Chatib M.Si Oleh : Dian Rusdi
Pak Azwar Chatib bicara soal sastra. Kami berbincang renyah. Ide-ide yang dilontarkannya sangat menarik, sekaligus membuka cakrawala berpikir kita tentang sastra. Beliau mengulas beberapa ide sastra yang sungguh menyegarkan, termasuk mengulas soal sastra cyber. Dari ulasannya, mata dan hati kita dibawa pada pemahaman yang positif tentang setiap karya sastra. Dalam dunia cyber, khususnya Sastra Cyber Indonesia, barangkali kita mengenal sebutan “Sang Penulis Kopi” yang dialamatkan kepadanya. Disebut demikian oleh karena, dalam setiap karya-karya puisi yang terlahir darinya, selalu terselip kata “kopi” atau ”secangkir kopi”. Menurut pria kelahiran Bukit Tinggi, pada tanggal 1 Mei 1955 ini, maraknya karya sastra cyber di jaringan sosial atau media sosial, khususnya di Indonesia, terjadi oleh karena cara pandang kita. Kita memandang cyber sebagai wadah yang mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Jadi, wajar saja jika banyak orang memanfaatkannya untuk kepentingan penyajian karya sastra, seperti puisi, prosa, cerpen, dll. Menurut Pak Azwar, sastra sangat penting jika dikaitkan dengan konteks kebudayaan, dari sudut sistem tingkat enam, dalam lapis kebudayaan. Ketika kami, tanyakan rincian dari lapis tingkat enam itu, Pak Azwar pun tak pelit menjelaskannya.
46
Sastracyber - Wawancara
Kata Pak Azwar, “kebudayaan itu ada yang mengatakan isinya 7. Mulai dari lapis terluar yaitu sistem mata pencaharian (ekonomi), sampai ke lapis terdalam yaitu sistem religi (termasuk kepercayaan dan agama)”. Ketujuh isi yang dimaksud oleh beliau, sebagai berikut: • Sistem mata pencaharian • Sistem peralatan. • Sistem pengetahuan. • Sistem kemasyarakatan. • Sistem bahasa. • Sistem kesenian termasuk seni sastra. • Sistem religi. Lebih lanjut, Pak Azwar berkata, “Sastra itu termasuk mendekati kebudayaan. Jadi, salah satu sifat bawaan kesusastraan itu, di samping universal adalah nilai art (seni dan halus). Sastra yang sesungguhnnya bukan yang lebay, ngik ngok dan sebangsanya. Puisi, misalnya, bermuatan mulai ekonomi, sampai agama, juga memiliki muatan keindahan dan kehalusannya. Namun, itu juga tergantung dengan aliran yang dia pakai. Tidak apa sebenarnya orang menulis puisi penuh kata jorok. Tentu saja ada nilai artistik, estetika dan lain sebagainya, yang mempengaruhi atau tidak mempengaruhi”. Pak Azwar, seorang Dosen di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menambahkan, “dan sastra juga menjadi gambaran pemahaman dan perilaku serta kondisi atau situasi tertentu. Soal mendidik atau tidaknya, sangat tergantung dari cara pandang yang dipakai. Misalkan, saya mau membikin Tuhan mati tersungkur di cangkir kopi. Bagaimana coba? Selanjutnya, segala sesuatu ada ilmu dan seninya. Oleh karena ketiadaan penguasaan ketiga hal tersebut (pemahaman, prilaku dan kondisi), maka karya sastra yang dihasilkan ‘seenaknya,’ seperti yang sering dikeluhkan. Hal ini kerap terjadi pada karya puisi. Dalam puisi, perlu pemilihan diksi yang tepat, objektif, rasional, dan ada taste (rasa bahasa), sehingga karya yang dihasilkan memiliki kualitas makna dan karenannya tidak sekedar berkarya”. Disela-sela perbincangan itu, kami meminta pendapat beliau, prihal grup Forum Sastra Indonesia (Forsasindo). Beliau termasuk anggota di group tersebut. Menurutnya, grup Forsasindo adalah grup yang baik, bagus, dan memiliki anggota yang banyak. Dalam group tersebut kita berhadapan dengan publik. Karena itu, ia menyarankan supaya Group Forsasindo bisa merilis postingan sepuluh terbaik versi Forsasindo, terutama berkaitan dengan postingan puisi. Bagi Pak Azwar, postingan sepuluh puisi terbaik itu bisa menjadi acuan atau contoh puisi bagi publik atau pun penulis puisi. Jadi, ada nilai pendidikan dari postingan itu. Beliau menjelaskan metode yang bisa dipakai, misalnya, memilih sepuluh puisi terbaik yang diposting selama seminggu atau selama sebulan.
47
Sastracyber - Wawancara Salah satu contoh puisi milik Pak Azwar yang memakai kata “Kopi”.
SAJIAN Oleh : Azwar Chatib
Entah itu siang atau malam Selalu hadirkan, Bagian dari perjalanan Ada sajian, Selalu menemani setia Dari racikan aroma dan rasa Merengkuh sepanjang angan Dalam sajian secangkir kopi. Pamulang. 22/09/14
Pria yang telah mengabdikan diri menjadi staf dosen UIN Syarif Hidayatullah, sejak tahun 1985 itu berkata, “dulu namanya lAIN, sekarang namanya UIN, lalu mulai tahun 1990 dimutasi ke (FIDKOM) sampai sekarang”. Perkataan ini, membawa dia pada ingatan tentang dosendosen yang mengajar pada tahun 1985 di Fakultas Ushuluddin. Kemudian Pak Azwar berpesan, “pesan saya kepada penulis pemula, teruslah menulis dan sambil belajar, jangan pernah mencela karya pemula, beri like, beri komentar positif sambil mengarahkannya. Kalau ada yang minta saran minta koreksi, ya, dilayani saja, hitung-hitung bagi-bagi ilmu dan bimbingan”. Setelah itu, ia memberikan beberapa tips untuk menulis sastra yang baik, sebagai berikut : • Siapkan pesan • Siapkan latar • Pilih diksi • Bangun alur • Rangkai kata sesuai alur • Perhatikan dan pertimbangkan pilihan kata, struktur kalimat, kepantasan, rasa, kehangatan, dll. Diakhir wawancara itu, Pak Azwar berujar, “Jika mempunyai diksi kunci, jangan lupa agar selalu diselipkan, seperti tulisan saya yang kadang kala selalu ada kata kopi. Kalau inspirasinya boleh dari mana saja, yang penting bisa terolah menjadi suatu pesan. Sebab puisi tanpa pesan yang jelas sepertinya kehilangan kekuatan”.
•Aku berhak sebagai manusia, setelah terjamah, terjajah hidup resah, memilih merdeka mencari dan memungut orgasme celoteh jiwa, membuat coretan wadahi muntahan sepetak ladang isi kepala lewat kata dan kalimat. Itu sungguh merdeka! DZ Sandyarto
48
Sunset Di Tanah Anarki Oleh : Asrof - SIP
Batam dan Bintan Oleh : Ali Label 49
PuraKarya - Puisi
Sajak Tanah Basah Oleh : Andev
Aku mencintaimu dalam diam Saat kurasa burung-burung di atas ranting yang mulai lapuk itu Ikut-ikutan cemburu dan mencintaimu Kau ikat hatiku dengan senyum merekah yang kunanti Kau semikan kembang candu yang bersemayam di hati gundah yang tak kunjung memekar ini Aku hanya ingin kembang cintamu gugur di atas tanah merah yang kupeluk erat ini, Saat getaran sukma membungkam habis rintik hujan kesunyian yang tak pernah mengantarkan kembang cintamu itu Lalu sorot mata bagai ujung pedang melihat ke arahku dan berkata dengan tak sabaran, “Ah.. kau menggangguku saja, kubangan� Ya, aku hanya kubangan, kubangan rindu yang selalu menantimu Dengan malu, aku menjawab berbisik, “Aku hanya ingin melihat senyum kuncup kembang di pipimu itu� Kau menertawakan hamparan tanah merah yang basah dan bau rindu ini Mengejek getaran hati yang retak ini, Menghentikan degup jantung yang membiru Mengapa kau tertawa? Tak bersediakah kau menggugurkan kembang cintamu di tanah basah dan bau yang kau anggap kubangan ini?
50
InfoSastra - Acara
BBS 2014 Bulan Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Malang
Foto dari : http://news.acaraapa.com/
September merupakan bulan penting bagi Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang. Pada bulan inilah mereka yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sastra Indonesia, menggelar salah satu acara akbar yang sudah rutin diadakan sejak tahun 1988 setiap akhir bulan September hingga akhir bulan Oktober. Acara tersebut diberi nama : Bulan Bahasa dan Sastra. Bulan Bahasa dan Sastra (BBS) 2014 kali ini digelar mulai tanggal 18 September sampai 30 Oktober 2014 dengan mengusung tema "Melestarikan Kebudayaan Indonesia Melalui Bahasa dan Sastra untuk Mewujudkan Generasi Berkarakter di Era Globalisasi".
Ada 8 acara yang diselenggarakan dalam gelaran BBS tahun ini, antara lain : Seminar Nasional, Lomba Video Dokumenter ( LVD ), Pelatihan Manajemen Perpustakaan Berbasis Automasi, Lomba Adu Cerdas Bahasa Indonesia, Lomba Pidato Bahasa Jawa, Festival Teater tingkat SMA , Festival Teater tingkat SMP dan Expo Sasindo. Acara pembuka BBS diisi dengan Seminar Nasional, mendudukkan tema besar "Bahasa dan Sastra Indonesia : Teks dan Model Pembelajaran Inovatif dalam Implementasi Kurikulum 2013“ ujar Chairul Mustofa sebagai salah satu panitianya. Seminar yang terbuka untuk umum tersebut membahas topik-topik yang berkaitan dengan model pembelajaran yang berhubungan dengan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kurikulum 2013. Event yang digelar setiap tahun ini bertujuan agar anak bangsa tidak lupa dengan budaya asli bangsa Indonesia. Sebagai mahasiswa sastra, Mustofa memandang keadaan sastra saat ini masih banyak yang awam. “Saya masih sering menjumpai orang yang berpendapat kalau sastra itu identik dengan hal negatif, tapi juga tak sedikit yang memandang sastra itu sebagai suatu keindahan”, begitu ungkapnya. HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang didukung penuh oleh Bakti Budaya Djarum Foundation bersama-sama menjadikan event ini sebagai gerakan untuk memajukan sastra dan menghidupkan karakter generasi muda Indonesia di bidang bahasa dan sastra. “Saya yakin penerus bangsa ini pemuda-pemudi hebat. Jadikan bangsa ini bagai puisi cinta yang indah dan bermakna untuk bangsa lain”, begitu kata Mustofa menutup informasinya mengenai event BBS.
Latifa / Red
51
Untuk kerjasama, pemasangan iklan dan distribusi majalah, hubungi kami di : Telepon : E-mail : Alamat :
08 111 510 170 (Manaek Sinaga) 089 89 120 411 (Irfan Purnama) marketingpurakasastra@gmail.com Jl. Nuri No. 5A, Cipadu Jaya Tangerang, Banten 15155
52